POTENSI PELANGGARAN PASAL 15 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 PADA KONTRAK KEMITRAAN UNGGAS DI PROVINSI JAWA TIMUR
Ahmad Ramadhan Siregar Abstrak Investasi perunggasan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap konsumsi daging telur. Pola berinvestasi pada usaha perunggasan banyak dilakukan dengan sistem kemitraan. Sistem kemitraan diharapkan dapat mengakseptasi kepentingan para pemodal dengan para peternak. Sistem kemitraan dapat digunakan oleh para pemodal untuk menambah kapasitas produksi sebagai wujud perluasan dan ekspansi usaha. Kemitraan dapat pula bertujuan membantu usaha kecil dari sisi permodalan, teknologi dan memperluas akses pasar. Menjalin sistem kemitraan dapat diwujudkan dengan kontrak yang mengikat para pihak yang bersepakat. Kontrak merupakan perjanjian dua belah pihak yang memuat hak dan kewajiban yang tertera dalam sejumlah pasal serta harus dilaksanakan oleh para pihak. Kontrak harus dibuat berdasarkan dan disetujui secara sadar para pihak yang bersepakat. Kontrak harus menguntungkan semua pihak, serta tidak bertentangan dengan etika dan aturan yang berlaku. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah terdapat potensi pelanggaran pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Kontrak Kemitraan Unggas di Provinsi Jawa Timur. Lokasi penelitian ini ditetapkan secara purposive di Provinsi Jawa Timur. Provinsi ini memiliki populasi unggas yang cukup besar dan sebagian diantaranya dilakukan dengan cara kemitraan antara investor dengan peternak. Selanjutnya dilakukan random sampling, dimana dipilih tiga usaha kemitraan unggas yang memiliki populasi di atas 25000 ekor. Penelitian ini menemukan kontrak kemitraan unggas yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha sehat dan berpraktek monopoli. Ditemukan praktek monopoli pada sistem kontrak karena adanya perjanjian tertutup yang diberlakukan oleh pihak investor kepada pihak peternak. Kontrak kemitraan unggas berpotensi melanggar pasal 15 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kata Kunci: Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Kemitraan Unggas.
Kontrak dilakukan dan disepakati oleh dua pihak demi memenuhi kepentingan bisnis ataupun kepentingan lainnya. Terdapat dua jenis kontrak menurut namanya, yakni kontrak nominat dan kontrak innominat. Kontrak nominat adalah kontrak yang dikenal dalam BW misalnya sewa menyewa, persekutuan
perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan kontrak innominat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, misalnya leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim,
joint venture, kontrak karya, keagenan dan production sharing. Kontrak telah diterapkan pula pada sistem kemitraan usaha peruggasan. Kemitraan pada usaha perunggasan termasuk kontrak innominat. Kontrak pada kemitraan unggas mengikat pihak perusahaan sebagai investor dengan pihak peternak yang menerima sarana produksi. Berkembangnya sistem kontrak pada industri perunggasan didukung oleh tumbuhnya investasi pada usaha perunggasan beserta diferensiasi produk pada industri hilir. Pertumbuhan industri perunggasan sangat didukung oleh meningkatnya konsumsi dan daya beli masyarakat. Konsumsi telur masyarakat Indonesia telah mencapai 87 butir/kapita/tahun dan daging ayam 7 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2014 pemerintah menargetkan angka konsumsi daging dan telur akan meningkat 150 %. Industri perunggasan telah tumbuh seiring dengan diferensiasi produk yang makin beragam sesuai dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Berkembangnya diferensiasi produk menarik industri hulu perunggasan yang didominasi oleh peternak skala kecil. Perkembangan industri perunggasan pada industri hulu hingga ke hilir telah menarik pemodal untuk melakukan investasi pada industri ini. Pertumbuhan industri perunggasan turut memacu pembentukan modal dari pihak swasta dan tidak terlalu membebani beban anggaran pemerintah. Industri perunggasan Indonesia telah tumbuh menjadi investasi yang mampu mendukung dan menarik industri lainnya. Akumulasi investasi pada sektor ini tidak terfokus lagi pada produk inti dari industri unggas, namun telah
melibatkan nilai investasi sejumlah sektor yang terkait. Industri perunggasan memiliki keterkaitan vertikal dengan industri penunjang dan industri yang didukung. Industri ini memiliki pula keterkaitan horizontal dengan industri pendukung seperti jasa-jasa finansial, perbankan, transportasi, perdagangan dan lainlain. Keterkaitan luas ini menunjukkan potensi investasi perunggasan untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pendorong utama pertumbuhan industri perunggasan adalah konsumsi masyarakat (private consumption), seiring dengan meningkatnya daya beli dan tumbuhnya permintaan masyarakat terhadap konsumsi daging dan telur. Pertumbuhan konsumsi ini dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan angka konsumsi telur dan daging di wilayah Asean, seperti terhadap Malaysia yang mengonsumsi telur 311 butir/kapita/tahun (hampir 1 butir/kapita per/hari) dan daging ayam mencapai 36 kg/kapita/tahun. Kapitalisasi yang besar serta diversifikasi usaha yang beragam dan merata pada seluruh wilayah Indonesia, menyebabkan industri ini menarik minat investor untuk menanamkan modalnya. Pertumbuhan industri perunggasan turut memacu pembentukan modal dari pihak swasta dan relatif kurang memberatkan anggaran pemerintah. Penanaman modal pada industri perunggasan dapat dilakukan dengan berbagi cara, seperti akuisisi, merjer ataupun melalui sistem kerjasama atau kemitraan. Kemitraan menjadi pilihan yang paling banyak diminati oleh investor, baik oleh pihak pengusaha besar yang terintegrasi maupun pihak peternak sebagai pengusaha kecil. Kemitraan dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada dua pihak yakni pengusaha dan
ii
petani/peternak itu sendiri. Kepastian atas imbal hasil terhadap curahan modal yang dikeluarkan menjadi harapan pihak investor sedangkan peternak mengharapkan bantuan sarana produksi dan kepastian pasar. Sistem kemitraan usaha dilakukan untuk mengantisipasi persaingan usaha yang semakin ketat. Persaingan sehat di antara para pelaku usaha akan menciptakan kompetisi di antara mereka untuk melakukan efisiensi atas pemanfaatan sumber daya. Mereka akan belomba melakukan tingkat efisiensi baik dengan pemanfaatan maksimal sumber daya yang tersedia ataupun upaya menekan biaya produksi lainnya. Tindakan ini akan menopang terciptanya kontinyuitas, pelestarian dan ketersediaan sumber daya alam secara terus menerus dan dalam jangka yang panjang. Tidak dapat dipungkiri bahwa pro persaingan akan menciptakan suasana berkompetisi di antara para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Mereka akan berlomba untuk menciptakan produk barang dan pelayanan terbaik bagi pelanggan mereka. Kondisi ini akan selalu terjadi bilamana suasana kondusif pro persaingan selalu muncul sehingga satu sama lain saling berlomba untuk unggul dibandingkan yang lain. Terciptanya iklim persaingan sehat akan selalu mendorong pelaku usaha melakukan inovasi untuk menciptakan tekonologi yang terbaru dan terbaik dalam memproduksi barang dan jasa. Perkembangan teknologi baru dalam menciptakan barang dan pelayanan sangat pesat, sehingga pelaku usaha yang selalu sanggup berinovasi dan membuat teknologi baru akan tampil sebagai pemenang persaingan. Implementasi atas pemahaman terhadap Undang undang No 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sangat diharapkan oleh semua pemangku kepentingan. Investor, masyarakat dan aparat pemerintahan dapat merubah ataupun memulai perilaku yang pro kepada persaingan sehat. Sehingga pemahaman yang memadai atas UU No 5 Tahun 1999 selanjutnya akan memberikan manfaat positif dalam perbaikan ekonomi di negeri ini. Terciptanya iklim yang kondusif terhadap persaingan usaha akan berdampak pula pada munculnya pelaku usaha baru yang siap untuk berkompetisi dengan pelaku usaha yang telah ada sebelumnya. Sehingga kondisi ini akan memunculkan pelaku usaha yang memiliki daya juang besar dan enterpeneur sejati yang memenangkan pasar. Mengacu pada kondisi di atas, sangat jelas bahwa persaingan usaha merupakan wujud keinginan seluruh pihak agar tercipta kompetisi diantara pelaku bisnis sehingga mucul kreativitas, efisiensi dan motivasi untuk selalu unggul. Pro kompetisi akhirnya menjadi acuan utama pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah karena diyakini dapat memberikan manfaat yang sangat berarti dalam memajukan perekonomian khususnya aktivitas investasi dan muculnya pelaku ekonomi baru. Momentum kerja sama usaha dengan sistem kemitraan menjadi pilihan utama saat ini. Kerja sama usaha dengan sistem kemitraan diwujudkan dalam kontrak yang mengikat para pihak yang bersepakat. Kontrak tersebut mengandung sejumlah klausula yang harus dipatuhi oleh para pihak, namun tetap harus memperhatikan sejumlah etika dan regulasi yang berlaku. Kontrak yang dilakukan harus mempertimbangkan
iii
prinsip kesetaraan dan keseimbangan sehingga harus menguntungkan para pihak. Pola kemitraan menjadi pilihan yang paling banyak diminati oleh investor, baik oleh pihak pengusaha besar yang terintegrasi maupun pihak peternak sebagai pengusaha kecil. Pengusaha terintegrasi memiliki tujuan melakukan ekspansi usaha dengan tetap berkonsentrasi pada produk utama mereka, sedangkan pihak usaha kecil bermaksud memperoleh kesempatan berusaha ditengah keterbatasan dana, teknologi dan pengalaman. Kerjasama usaha dengan sistem kemitraan menjadi pilihan investor dan peternak. Investor tidak perlu mengeluakan biaya besar untuk membeli lahan dan biaya pembuatan kandang. Peternak pun hanya perlu menyiapkan kandang dan memanfaatkan bagian lahan yang selama ini tidak digunakan. Kemitraan usaha pada perunggasan diyakini sebagai salah satu kiat bisnis untuk memenangkan persaingan. Keinginan memenangkan pasar dan unggul dalam transaksi bisnis sering mengingkari konsep persaingan itu sendiri. Akhirnya terjadi praktek bisnis yang dapat merugikan masyarakat, pesaing dan pemerintah. Persaingan sehat diantara para pelaku usaha akan menciptakan kompetisi diantara mereka untuk melakukan efisiensi atas pemanfaatan sumber daya. Mereka akan belomba melakukan tingkat efisiensi baik dengan pemanfaatan maksimal sumber daya yang tersedia ataupun upaya menekan biaya produksi lainnya. Tindakan ini akan menopang terciptanya kontinyuitas, pelestarian dan ketersediaan sumber daya alam secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang panjang. Tidak dapat dipungkiri bahwa pro persaingan akan menciptakan
suasana berkompetisi di antara para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Mereka akan berlomba untuk menciptakan produk barang dan pelayanan terbaik bagi pelanggan mereka. Kondisi ini akan selalu terjadi bilamana suasana kondusif pro persaingan selalu muncul sehingga satu sama lain saling berlomba untuk unggul dibandingkan yang lain. Keinginan berkompetisi dapat berdampak pula pada terciptanya penetapan harga yang mengacu pada biaya produksi yang wajar. Pelaku usaha akan berupaya supaya dapat menekan biaya produksi sehingga mampu menetapkan harga jual produk dan jasa yang murah. Sehingga nampak jelas di peta persaingan industri bahwa produk dan jasa yang murah sangat dicari dan digemari oleh konsumen. Terciptanya iklim persaingan sehat akan selalu mendorong pelaku usaha melakukan inovasi untuk menciptakan tekonologi yang terbaru dan terbaik dalam memproduksi barang dan jasa. Perkembangan teknologi baru dalam menciptakan barang dan pelayanan sangat pesat, sehingga pelaku usaha yang selalu sanggup berinovasi dan membuat teknologi baru akan tampil sebagai pemenang persaingan. Implementasi atas pemahaman terhadap Undang undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sangat diharapkan oleh semua pemangku kepentingan. Investor, masyarakat dan aparat pemerintahan dapat mengubah ataupun memulai perilaku yang pro kepada persaingan sehat. Sehingga pemahaman yang memadai atas UU No 5 Tahun 1999 selanjutnya akan memberikan manfaat positif dalam perbaikan ekonomi di negeri ini.
iv
Terciptanya iklim yang kondusif terhadap persaingan usaha akan berdampak pula pada munculnya pelaku usaha baru yang siap untuk berkompetisi dengan pelaku usaha yang telah ada sebelumnya. Sehingga kondisi ini akan memunculkan pelaku usaha yang memiliki daya juang besar dan enterpeneur sejati yang memenangkan pasar. Pelaku usaha yang siap berkompetisi tidak tereleminasi oleh pesaing dan produk baru. Mereka bahkan mampu menunjukkan keunggulannya untuk bersaing dengan produk dan jasa lain yang masuk ke pasar. Kondisi yang baik atas terciptanya persaingan sehat akan memberikan kesempatan berusaha bagi semua orang, baik investor besar maupun investor kecil. Semua lapisan masyarakat dapat saja masuk ke pasar untuk menawarkan produk dan jasa mereka. Mereka dapat memberikan yang terbaik bagi konsumen atas barang dan jasa yang dihasilkan. Dengan demikian kesempatan berusaha terbuka luas bagi semua orang, baik investor lama untuk mengembangkan usahanya maupun investor baru yang muncul dengan produk dan jasa yang kompetitif. Mengacu pada kondisi di atas, sangat jelas bahwa persaingan usaha merupakan wujud keinginan seluruh pihak agar tercipta kompetisi diantara pelaku bisnis sehingga mucul kreativitas, efisiensi dan motivasi untuk selalu unggul. Pro kompetisi akhirnya menjadi acuan utama pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah karena diyakini dapat memberikan manfaat yang sangat berarti dalam memajukan perekonomian khususnya aktivitas investasi dan muculnya pelaku ekonomi baru.
Kemitraan unggas berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Kontrak kerja sama usaha yang dikemas dengan sistem kemitraan ini menimbulkan adanya perjanjian tertutup dengan klausula yang berpihak dan menguntungkan pihak inti. Perjanjian tertutup adalah perjanjian usaha yang dilakukan oleh pihak pertama dan pihak kedua dimana perjajian tersebut mengikat salah satu atau keduanya untuk tidak dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk mendapatkan barang dan atau jasa dari pihak serta akses pasar dengan pihak lainnya. Kemitraan unggas dapat diwujudkan dalam suatu kontrak kerja sama antara pihak investor dan peternak. Perjanjian tersebut dapat berwujud exclusive dealing. Exclusive Dealing adalah suatu perjanjian yang terjadi diantara orang-orang yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa. Exclusive dealing atau Perjanjian Tertutup ini terdiri dari: 1. Exclusive Distribution Agreement Dalam hal ini, pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau di tempat tertentu saja. Distributor diikat berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian untuk hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan di tempat tertentu saja. 2.
v
Tying Agreement Tying Agreement adalah bentuk perjanjian distribusi dimana distributor diperbolehkan untuk membeli suatu barang tertentu (tying product) dengan
syarat harus membeli barang lain (tied product). Pada kondisi ini, penjual menjual produknya kepada pembeli dengan menetapkan persyaratan bahwa pembeli akan membeli produk lain dari penjual. Produk yang diinginkan oleh pembeli adalah produk pengikat (tying product) dan produk yang oleh penjual diwajibkan untuk dibeli oleh pembeli disebut sebagai produk ikatan (tied product).
pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar. 1.
Spesial Discount Special discount terjadi bilamana pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk suatu produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lainnya, maka pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya. Pasal 15 ayat (3) UndangUndang No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atau; b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing. Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku
Kewajiban untuk membeli produk ini ditetapkan secara sepihak tanpa dapat dihindari oleh pembeli karena tidak ada pilihan penjual lainnya, penjual akan memiliki posisi tawar yang tinggi dan menjadikan perjanjiannya berat sebelah. Nilai tawar yang dimiliki oleh penjual akan menjadi tinggi karena penjual memiliki market power yang besar. Nilai positif lain adalah bilamana produk yang ditawarkan memiliki kualitas yang lebih baik, akan sesuai dengan keinginan pembeli untuk membelinya secara sukarela. Tying agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan menyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya. Melalui praktek tying agreement, pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) ke tied product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen). Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan tied product), pelaku usaha dapat menciptakan hambatan bagi calon
vi
usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut. Pasal 15 ayat (3) UndangUndang No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara perse illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No.5/1999, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum Aktivitas budidaya peternakan unggas telah banyak melibatkan kaum peternak. Kegiatan ini bersifat padat karya dan dilakukan dengan skala usaha kecil. Namun karena jumlah populasi yang sangat banyak, maka nilai ekonomi usaha ternak ini cukup besar. Akumulasi kegiatan usaha perunggasan merupakan harapan besar bagi negara guna mendorong perekonomian khususnya kegiatan ekonomi di daerah. Unit usaha yang banyak dan tersebar di seluruh wilayah merupakan potensi yang besar bagi pengembangan perekonomian ke depan. Potensi diversifikasi usaha yang beragam dan peluang untuk meningkatkan nilai tambah menyebabkan sektor ini menjadi prioritas utama agenda pembangunan nasional. Usaha perunggasan mampu memberikan perluasan kesempatan berusaha serta dapat berkontribusi pada produk domestik bruto. Tumbuhnya usaha ternak dapat berkembang karena didukung oleh keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi produk domestik, sehingga tidak terlalu tergantung pada belanja pemerintah. Berkembangnya
usaha perunggasan searah dengan azas kemandirian ekonomi yang diharapkan semakin besar dewasa ini. Pengembangan komoditas usaha unggas serta produk yang telah terdiferensiasi perlu dilakukan untuk memicu pertumbuhan ekonomi di daerah. Beberapa daerah terkenal dengan sumber daya alam yang cukup potensial untuk mendukung usaha peternakan khususnya unggas.. Potensi tersebut perlu dieksplorasi lebih lanjut untuk menciptakan kesempatan ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah. Ternak unggas sangat potensial secara ekonomi untuk diusahakan di berbagai daerah. Jumlah modal yang dibutuhkan relatif tidak terlalu besar dibandingkan usaha lainnya. Model usaha perunggasan dengan sistem kemitraan telah berkembang dan banyak dilaksanakan pada industri perunggasan di Provinsi Jawa Timur. Kontrak kerjasama usaha yang dikemas dengan sistem kemitraan ini perlu diteliti lebih lanjut apakah tidak menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah kontrak kemitraan unggas tidak bertentangan dengan pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Materi Dan Metode Penelitian Materi penelitian ini adalah kontrak yang diberlakukan pada sistem kemitraan unggas, khususnya ayam pedaging. Penggolongan kontrak dilakukan berdasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak
vii
nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang dan perdamaian. Kemitraan unggas yang diteliti adalah kerjasama antara investor dan peternak yang diikat dalam suatu kontrak nominaat. Populasi penelitian adalah kemitraan unggas yang dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Kemitraan unggas yang dipilih adalah kerja sama yang mengikat para peternak dari sisi penyiapan sarana produksi dan pemasaran. Populasi usaha unggas yang bergabung dalam sistem kemitraan bervariasi mulai dari 5000 ekor hingga 50000 ekor. Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah usaha perunggasan yang bergabung dalam sistem kemitraan dengan populasi di atas 25000 ekor. Selanjutnya dilakukan random sampling, dan dipilih tiga (3) usaha kemitraan unggas.
hulu hingga ke hilir telah menarik pemodal untuk melakukan investasi pada industri ini. Petumbuhan populasi dan produk unggas telah mendorong modal yang dicurahkan dan meningkatkan aktivitas perdagangan pada industri perunggasan. Beragam bentuk usaha dilakukan termasuk dengan melakukan kerjasama usaha. Salah satu sistem dagang yang menonjol pada industri perunggasan adalah kemitraan usaha yang dilakukan antara pihak investor atau pengusaha dengan para petani/peternak. Kemitraan diwujudkan dalam suatu kontrak atau perjanjian. Perjanjian adalah suatu kesepakatan yang dibuat oleh dua atau lebih para pihak yang memiliki tujuan atau maksud yang sama. Sedangkan perjanjian tertutup merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha sebagai upaya untuk dapat melakukan pngendalian terhadap pelaku usaha lain secara vertikal, baik melalui pengendalian harga maupun melalui pengendalian non-harga. Pengendalian bersifat non-harga yang termuat dalam perjanjian eksklusif diantaranya adalah pembatasan akses penjualan atau pasokan, serta pembatasan wilayah. Perjanjian tertutup ini pada umumnya lebih banyak dilakukan pada level distribusi produk barang dan/atau jasa. Perjanjian tertutup memiliki dua kategori yaitu hambatan untuk persaingan yang sifatnya intrabrand dan hambatan untuk persaingan yang sifatnya interbrand. Persaingan intrabrand adalah persaingan antara distributor atau pengecer suatu produk yang berasal dari manufaktur atau produsen yang sama. Hambatan yang bersifat intrabrand terjadi ketika akses penjualan distributor atau pengecer dibatasi oleh produsen. Sedangkan persaingan interbrand adalah persaingan antar manufaktur atau
HASIL DAN PEMBAHASAN Kontrak Kemitraan Usaha Perunggasan Investasi perunggasan telah berkembang secara pesat. Pertumbuhan usaha perunggasan didukung pula oleh berkembangnya diferensiasi produk yang makin beragam. Daya beli dan populasi yang semakin meningkat mendorong jumlah konsumsi produk unggas yang semakin besar pula. Diferensiasi produk asal unggas telah menarik industri hulu perunggasan yang didominasi oleh peternak skala kecil. Perkembangan industri perunggasan pada industri
viii
produsen untuk suatu jenis atau kategori barang di pasar bersangkutan yang sama. Hambatan interbrand terjadi bila produsen menciptakan pembatasan persaingan terhadap produk pesaingnya. Perjanjian tertutup merupakan salah satu strategi yang ditempuh oleh pelaku usaha untuk meningkatkan kekuatan pasar yang mungkin akan mengganggu iklim persaingan dan pada akhirnya akan merugikan konsumen. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dengan membuat Perjanjian Tertutup pelaku usaha dapat menjalankan usahanya untuk kepentingannya sendiri atau golongan tertentu dengan cara-cara yang dapat merugikan pelaku usaha lain. Pada sistem kerjasama kemitraan unggas di Provinsi Jawa Timur, pihak investor menyiapkan sarana produksi yang dibutuhkan selama proses budidaya. Investor juga memberikan bimbingan dan asistensi selama masa pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak. Kewajiban lain pihak investor yang tertera dalam kontrak adalah memastikan pasar produk unggas tersebut. Sedangkan kewajiban pihak peternak adalah memelihara dan menjaga sarana produksi yang dititipkan kepadanya. Selain itu, pihak peternak berkewajiban memasarkan hasil produksinya kepada pihak investor. Kemitraan usaha ini sebenarnya bermanfaat untuk memberdayakan pihak peternak yang mengalami kesulitan permodalan dan juga mempermudah akses pemasaran hasil produksinya. Namun, kontrak kemitraan pada industri perunggasan umumnya dilakukan atas prakarsa sepihak dari pengusaha untuk dipatuhi oleh pihak peternak. Kemitraan berlangsung timpang dan tidak memiliki posisi kekuatan tawar menawar yang sama.
Pihak peternak sangat terikat dengan aturan yang ditentukan oleh pihak investor, sehingga akhirnya tidak berdaya dan lebih banyak dirugikan dalam kerjasama berdasarkan kontrak kemitraan ini. Kontrak kemitraan usaha perunggasan mengandung pasal yang mengikat peternak dari sisi suplai dan pemasaran. Sehingga berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999, kerjasama ini mengadopsi perjanjian tertutup, yaitu peternak tidak memiliki alternatif pilihan kecuali tergantung pada pihak investor. Potensi Pelanggaran terhadap Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 Pengertian praktek monopoli berbeda dengan istilah monopoli. Kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah praktik monopoli. Pada dasarnya praktik monopoli ini merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Adapun unsur-unsur dari praktek monopoli, yaitu: 1. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha; 2. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu; 3. Terjadi persaingan usaha tidak sehat, serta 4. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar barang atau jasa tertentu oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan penguasaan itu pelaku usaha tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa (hal ini dikenal pula dengan istilah price fixing).
ix
Sedangkan persaingan tidak sehat dapat terjadi bila persaingan yang terjadi di antara para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran batang atau jasa dilakukan dengan tidak jujur atau melawan hukum serta dapat menghambat persaingan usaha. Tidak semua penguasaan atas dasar suatu barang atau jasa tertentu merupakan suatu pelanggaran. Jika kita perhatikan dengan seksama pengertian praktek monopoli di dalam UU No. 5 Tahun 1999 seperti yang disebutkan di atas, maka penguasaan yang dilarang adalah penguasaan yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan tujuan UU No. 5 Tahun 1999 ini menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Dengan demikian, tidak semua tindakan penguasaan atas produksi atau pemasaran merupakan pelanggaran. Monopoli yang terjadi karena keunggulan produk, atau perencanaan dan pengelolaan bisnis yang baik, atau terjadi melalui perjuangan dalam persaingan jangka panjang sehingga menghasilkan suatu perusahaan yang kuat dan besar serta mampu menguasai pangsa pasar yang besar pula, tentu saja bukan merupakan tindakan penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan jasa yang dilarang. Salah satu bentuk praktik monopoli adalah melakukan perjanjian tertutup. Bentuk-bentuk Perjanjian Tertutup yang dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah : 1. Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
2.
3.
dan/atau jasa hanya akan memasok barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau di tempat tertentu Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pihak (pelaku usaha) lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok : a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok ; atau b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Perjanjian tertutup yang secara aktual maupun potensial berakibat secara umum merugikan pelaku usaha lain dan/atau konsumen dan/atau secara khusus melanggar/menghambat persaingan usaha yang sehat harus dilarang dan jika hal tersebut telah terjadi harus ditindak. Melalui Perjanjian Tertutup pelaku usaha dapat menjalankan usahanya untuk kepentingan sendiri atau golongan tertentu dengan cara-cara yang dapat merugikan pelaku usaha lain. Dalam konteks Perjanjian Tertutup pada umumnya pelaku usaha bersedia menerima persaingan antar produk bersaing yang dihasilkan oleh produsen yang berbeda pada pasar yang sama (interbrand competition) yang bersaing ketat, tetapi kemudian
x
secara sangat kuat mengendalikan persaingan antar distributor (intrabrand competition). Dengan demikian, melalui Perjanjian Tertutup pelaku usaha dapat secara negatif memanfaatkan peluang pasar yang dimilikinya, yang diperolehnya dari Perjanjian Tertutup tersebut untuk mengurangi persaingan yang sehat, dan selanjutnya mengganggu iklim usaha. Akibatnya pelaku usaha yang tidak terlibat dalam Perjanjian Tertutup dapat mengalami kesulitan mengakses pasar. Hal ini menjadikan Perjanjian Tertutup potensial melanggar kententuan Pasal 25(1) a dan Pasal 25(1) c. Bila persaingan yang sehat terganggu, maka produsen yang melaksanakan Perjanjian Tertutup kemungkinan besar akan berperilaku oligopoli atau bahkan monopolis, yaitu mengenakan harga yang lebih tinggi dari harga persaingan guna memaksimalkan keuntungan. Akibatnya konsumen harus membayar harga yang lebih mahal dari harga pada level persaingan. Sering kali strategi ini sangat effektif bagi pelaku usaha untuk melakukan pengaturan harga maupun non-harga dalam mendistribusikan produk. Tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian besar yang ditanggung konsumen pada level distribusi dan kemungkinan terjadinya hambatan bagi pengusaha baru untuk masuk pasar, karena tidak dapat dihindari bahwa Perjanjian Tertutup kemungkinan juga memiliki akibat posisif, maka dalam melaksanakan ketentuan Pasal 15 tentan Perjanjian Tertutup pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dalam kaitannya dengan pasal-pasal lain dari undang-udang tersebut maupun tidak, diperlukan penafsiran yang fleksibel atas ketentuan Pasal 15 tersebut untuk membantu berbagai pihak menafsirkannya.
Diperlukan penafsiran yang tepat atas ketentuan Pasal 15 supaya tidak terjadi tumpang-tindih antara ketentuan pasal tersebut dengan pasal-pasal lain pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pemenuhan unsur untuk menetapkan pelanggaran terhadap Pasal 15 perlu dilakukan secara hipotesis untuk membuktikan bahwa Perjanjian Tertutup tersebut memenuhi alat bukti yang dipersyaratkan. Perjanjian Tertutup (exclusive agreement) adalah perjanjian antara pelaku usaha selaku pembeli dan penjual untuk melakukan kesepakatan secara eksklusif yang dapat berakibat menghalangi atau menghambat pelaku usaha lain untuk melakukan kesepakatan yang sama. Di samping penetapan harga, hambatan vertikal lain yang merupakan hambatan bersifat non-harga seperti yang termuat dalam perjanjian eksklusif adalah pembatasan akses penjualan atau pasokan, serta pembatasan wilayah dapat dikategorikan sebagai Perjanjian Tertutup. Perjanjian Tertutup pada prinsipnya merupakan bagian penting dari hambatan vertikal, maka Perjanjian Tertutup memiliki dua kategori yaitu hambatan untuk persaingan yang sifatnya intrabrand dan hambatan untuk persaingan yang sifatnya interbrand. Perjanjian Tertutup merupakan salah satu kiat pelaku usaha untuk meningkatkan kekuatan pasar yang akan mengurangi iklim persaingan usaha dan pada akhirnya akan merugikan konsumen. Perjanjian Tertutup berpotensi menimbulkan kerugian masyarakat (welfare loss). Khusus pada Pasal 15 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999, beberapa tindakan yang dilarang meliputi : 1. Perjanjian distribusi eksklusif
xi
2. Perjanjian penjualan/pembelian barang dan/atau jasa tertentu yang bersifat mengikat (tying agreement) 3. Perjanjian penetapan harga dan/atau diskon tertentu yang dikaitkan dengan tying agreement. 4. Perjanjian penetapan harga dan/atau diskon tertentu yang dikaitkan dengan pelarangan untuk membeli barang dan/atau jasa dari pesaing (exclusive dealing dikaitkan dengan potongan harga)
tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. 2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. 3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok; harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Berdasarkan penelitian terhadap kontrak kemitraan unggas di Provinsi Jawa Timur yang dilakukan antara pihak investor dan peternak berpotensi melanggar pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sejumlah pasal dalam kontrak memuat perihal : 1. Kewajiban peternak untuk hanya membeli pakan dari pihak investor 2. Kewajiban peternak untuk hanya membeli obat dan vaksin dari pihak investor. 3. Kewajiban peternak untuk hanya memasarkan hasil produksinya kepada pihak investor. Isi kontrak di atas menunjukkan bahwa pihak investor sangat mengikat pihak peternak sehingga tidak memiliki peluang mendapatkan kondisi yang terbaik. Hal tersebut terjadi karena : 1. Peternak wajib mengambil pakan dari pihak investor.
Kemitraan pada usaha perunggasan termasuk kontrak innominat. Kontrak pada kemitraan unggas mengikat pihak perusahaan dengan pihak peternak. Selayaknya kontrak yang dilakukan tidak boleh melanggar regulasi yang berlaku. Kontrak kemitraan unggas dilakukan antara dua pihak. Pihak investor bertindak sebagai pemasok sarana produksi dan juga berhak mendapatkan hasil produksi dari para peternak. Pihak peternak bertindak sebagai penerima sarana produksi dan berkewajiban menyerahkan hasil produksinya kepada pihak investor. Kontrak seperti ini mengadopsi perjanjian tertutup dan dibuat untuk berpihak dan lebih menguntungkan pihak investor. Kontrak dan klausul yang tertera lebih banyak mengandung hak dari pihak investor sedangkan pada pihak peternak lebih ditekankan perihal kewajiban. Kontrak kemitraan unggas dikaji dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut : 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa
xii
Padahal seharusnya peternak diberi alternatif untuk memperoleh pakan dari pihak lain. Hal ini mestinya dimungkinkan agar peternak berpeluang mendapatkan jumlah dan kualitas pakan yang lebih bagus. Selain itu, peternak bisa mendapatkan alternatif pasokan pakan bilamana suatu saat pasokan dari pihak investor terhambat. 2. Peternak berpotensi mendapat harga pakan dan obat/vaksin yang mahal. Padahal bisa saja pakan dan obat/vaksin dari pihak pertama sangat mahal. Sehingga kontrak perjanjian ini mengikat peternak untuk wajib membeli sarana produksi hanya dari pihak investor, dimana harga tersebut berpeluang lebih mahal dibandingkan harga yang berlaku umumnya. 3. Peternak tidak memiliki alternatif memasarkan hasil produksinya. Peternak wajib menjual hasil produksinya kepada pihak investor. Mereka dilarang menjual kepada pihak lain. Padahal peternak semestinya diberi peluang untuk memasarkan produknya ke pihak lain yang akan memberi harga lebih mahal dan sistem pembayaran lebih cepat.
Berdasarkan analisa terhadap pasal pada kontrak kemitraan unggas, maka dapat diketahui: 1. Peternak tidak memiliki pilihan perolehan pakan 2. Peternak tidak memiliki pilihan menjual produksinya. 3. Peternak tidak memiliki alternatif harga terbaik untuk membeli dan menjual sarana produksi 4. Peternak tidak dapat mengembangkan kemampuan kewirausahaannya. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian di atas, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Kontrak kemitraan unggas tidak menunjukkan adanya kesetaraan dari para pihak yang melakukan perjanjian. Pihak investor lebih dominan dalam menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian. Selanjutnya kontrak tersebut membuat pihak peternak terikat dan tidak memiliki alternatif pilihan. 2. Kemitraan unggas yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur berpotensi melanggar pasal 15 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelanggaran tersebut terjadi karena kontrak yang disetujui memuat perjanjian tertutup yang diberlakukan oleh pihak investor kepada pihak peternak.
xiii
DAFTAR PUSTAKA -------------. 2011. Konsumsi Ayam dan Telur Digenjot, Warta Kota live.com, Jakarta. --------------. 2011. Pedoman Pasal 15 tentang Perjanjian Tertutup, KPPU, Jakarta. Deshinta, M. 2006. Peranan Kemitraan terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak Ayam Broiler. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Dillon,H.S. 1999. Pertanian Membangun Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta..
Lubis,
A.F. dkk.2009. Hukum Peraingan Usaha, Antara Teks dan Konteks, KPPU & GTZ, Jakarta. Siregar, A.R. 2007. Kajian Kemitraan Agribisnis : Implementasi Perjanjian Tertutup yang Merugikan Pihak Plasma. KPPU, Jakarta Tambunan,T.T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa Isu Penting, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2008. KPPU, Jakarta
.
xiv