ABSTRAK FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Desember 2009 Ahmad Nur Hidayah, NIM: 105104003444 Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan Praktek Keluarga Tentang Pencegahan DBD Di Rw 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan Tahun 2009 xv + 71 halaman + 15 tabel, 3 gambar, 5 lampiran Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sangat meresahkan bagi masyarakat, karena belum ada vaksin yang dapat mencegah penyakit ini. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan, karena vektor penyebab penyakit DBD dapat berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak mendapat perhatian dari keluarga. Keluarga dapat melakukan gerakan pencegahan DBD jika keluarga tersebut mempunyai pengetahuan, sikap dan praktek yang baik terhadap pencegahan DBD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD di Rw 09 Kelurahan Kramatpela. Jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional, variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2009. Sampel penelitian berjumlah 73 responden yang berasal dari lingkungan Rw 09 kelurahan Kramatpela, tekhnik pengambilan sampel menggunakan tekhnik systematic random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk variabel pengetahuan dan sikap, lembar observasi digunakan untuk pengambilan data praktek. Data yang telah diperoleh lalu dianalisa menggunakan software komputer dengan analisis yang digunakan adalah analisis univariat. Hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata umur responden adalah 37 tahun, sebagian besar responden (42,5%) memiliki tingkat pendidikan sampai SLTA dan sebanyak 50,7% responden adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 90,4% responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD dan pencegahannya, 98,6% responden memiliki sikap positif terhadap pencegahan DBD. Sebanyak 57,5% responden memiliki tingkat praktek yang cukup terhadap pencegahan DBD, 24,7% responden memiliki tingkat praktek yang kurang, dan hanya sebesar 17,8% responden yang memiliki tingkat praktek yang baik terhadap penceghan DBD. Kata kunci : pengetahuan, sikap, praktek, DBD Daftar bacaan : 26 (1987-2009)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan daerah penyebarannya bertambah luas. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian dalam anggota keluarga, dan tentu saja berkurangnya usia harapan hidup penduduk Indonesia. Dampak ekonomi langsung yang ditimbulkan pada penderita DBD adalah biaya pengobatan, kerugian disebabkan karena rata-rata lama dirawat untuk kasus DBD di rumah sakit sekitar 5-10 hari untuk kasus berat. Perawatan intensif diperlukan untuk pasien yang sakit berat berupa cairan intravena, tranfusi darah atau plasma, obat-obatan dan semua itu pasti membutuhkan uang yang tidak sedikit (WHO, 1999). Dampak ekonomi tidak langsung yang ditimbulkan akibat DBD adalah kehilangan waktu kerja, waktu untuk pendidikan dan biaya lain yang dikeluarkan selain untuk pengobatan seperti biaya untuk transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita. Dampak yang paling berat yang ditimbulkan oleh DBD tentu saja kematian, karena penderita DBD yang tidak ditangani secara tepat dan cepat akan sangat meningkatkan resiko terjadinya kematian. Penyakit DBD juga merupakan salah satu penyakit yang meresahkan bagi masyarakat, karena sampai
saat ini belum ada obat atau vaksin untuk mencegah penyakit ini (Dirjen P2PL Depkes RI, 2007). Sejak pertama kali ditemukan penyakit DBD di Indonesia (Surabaya dan Jakarta) pada tahun 1968 jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Kejadian luar biasa (KLB) masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi kejadian luar biasa dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan kejadian luar biasa terbesar sejak pertama kali penyakit DBD ditemukan di Indonesia dengan 1.411 kematian (case fatality rate / CFR) sebesar 2%. Pada tahun 2006 selama periode Januari-September tercatat 3 propinsi mengalami kejadian luar biasa, yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat dengan jumlah kasus 1.323 orang, 21 orang diantaranya meninggal dunia (CFR: 1,59%). Jumlah pasien DBD di Indonesia tahun 2007 sebanyak 156.767 orang dengan jumlah kematian 1.570 orang (Dirjen P2PL Depkes RI, 2007). Kasus penyakit DBD di propinsi DKI Jakarta sejak tahun 1968 sampai tahun 2002 cenderung meningkat, bahkan berdasarkan data tahun 2002 diketahui bahwa propinsi DKI Jakarta merupakan salah satu propinsi yang angka kasus penderita DBD tertinggi di Indonesia. Menurut data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta pada tahun 2009 pada periode Januari sampai Februari di DKI Jakarta sudah tercatat 2.940 pasien yang dirawat akibat DBD dan lima orang diantaranya meninggal dunia. Peningkatan kejadian DBD di Jakarta saat ini terbilang ironis,
karena Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang menjadi tolak ukur tingkat derajat kesehatan untuk Indonesia. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menekan angka kejadian penyakit DBD dan akibat yang ditimbulkannya diantaranya memerintahkan semua rumah sakit baik negeri atau swasta untuk tidak menolak pasien yang menderita DBD, melakukan foging atau pengasapan secara masal dan membagikan bubuk abate secara gratis pada daerah yang penduduknya banyak terkena DBD, penyebaran pamflet dan poster tentang pentingnya melakukan pencegahan DBD dengan melakukan kegiatan 3M (Dirjen P2PL Depkes RI, 2007). Salah satu kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam upaya pencegahan DBD adalah setiap keluarga wajib untuk melakukan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui kegiatan 3M selama 30 menit setiap hari jumat yang dimulai pada pukul 09.00 – 09.30 WIB. Tentu saja kebijakan pemerintah tentang anjuran setiap rumah sakit (RS) untuk menerima pasien DBD mempunyai beberapa kendala, Pemerintah Provinsi DKI misalnya telah meminta 17 RS untuk tidak menarik biaya bagi penderita DBD dari keluarga miskin tanpa harus menunjukkan surat keterangan tidak mampu, sedangkan 56 RS lainnya dihimbau untuk memberikan pelayanan gratis asalkan korban DBD menunjukkan kartu tidak mampu. Kenyataan di lapangan menunjukkan, ada sejumlah RS tetap meminta bayaran untuk menangani kasus DBD. Agar jumlah korban akibat DBD bisa ditekan sekecil mungkin, Pemerintah Provinsi DKI sebaiknya perlu memantau pelaksanaan kebijakan di lapangan guna menunjukkan sikap konsistensi pemerintah terhadap penderita DBD, terutama
dari keluarga miskin (Martinah, 2005). Pelaksanaan kebijakan pemerintah berupa pengasapan atau fogging untuk menekan kejadian DBD ternyata masih mempunyai kelemahan, karena pengasapan hanya akan membunuh nyamuk dewasa saja dan tidak dapat membunuh jentik nyamuk. Menurut Wuryadi (2001) dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI bahwa pengasapan hanya bersifat psikologis dan mahal, bahkan fogging mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan. Upaya-upaya pemerintah untuk menekan angka kejadian DBD akan tercapai apabila ada peran dari keluarga. Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kebersihan lingkungannya, karena penyakit DBD sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan. Keluarga merupakan suatu sistem dimana keluarga mempunyai kesempatan untuk memperhatikan kebersihan lingkungannya dan menjaga kesehatan anggota keluarga. Informasi masalah kesehatan khususnya tentang DBD akan mempengaruhi tugas keluarga di bidang kesehatan yang meliputi pertama adalah mengenal masalah kesehatan, kedua adalah membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat, tugas kesehatan keluarga yang ketiga adalah memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit, tugas kesehatan keluarga yang keempat
adalah keluarga dapat
menggunakan fasilitas kesehatan yang ada, dan tugas kesehatan keluarga yang kelima adalah menciptakan lingkungan rumah yang sehat. Hal ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya pendidikan kesehatan yang diberikan perawat komunitas kepada keluarga. Peran dari keperawatan komunitas terhadap keluarga sangat besar dalam upaya pencegahan
DBD karena keperawatan komunitas merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan sebagai upaya dalam pencegahan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan keperawatan langsung (direction) terhadap individu, keluarga, dan masyarakat (Mahyudin, 2009). Grout (1958, dalam Machfoedz, 2003) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan adalah upaya menerjemahkan apa yang telah diketahui tentang kesehatan kedalam perilaku yang diinginkan dari perorangan ataupun masyarakat melalui proses pendidikan. Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pendidikan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap serta mengarahkan keluarga kepada perilaku yang dapat mencegah DBD (Setiawan, 2008). Pengetahuan merupakan domain terendah dalam perubahan sikap dan praktek. Menurut Roger (1974, dalam Notoadmodjo, 2003) sikap dan praktek yang tidak didasari oleh pengetahuan yang adekuat tidak akan bertahan lama pada kehidupan seseorang, sedangkan pengetahuan yang adekuat jika tidak diimbangi oleh sikap dan praktek yang berkesinambungan tidak akan mempunyai makna yang berarti bagi kehidupan. Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap, dan praktek merupakan 3 komponen penting yang harus dimiliki oleh keluarga untuk mencegah penyakit DBD. Penanganan masalah DBD di Indonesia pada dasarnya tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi harus juga
melibatkan keluarga untuk melakukan upaya pencegahan. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD.
B. Identifikasi Masalah 1. Rumusan Masalah Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menekan angka kejadian DBD, untuk daerah Jakarta Selatan pemerintah daerah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menekan angka kejadian DBD seperti kegiatan PSN setiap hari jumat dan pengasapan / fogging. Meskipun upaya pencegahan DBD telah dilakukan, namun berdasarkan data dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan tahun 2008 bahwa kejadian DBD yang terjadi di daerah Kelurahan Kramatpela dalam satu tahun masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan kelurahan lain yang ada dalam wilayah Kecamatan Kebayoran Baru, yakni sebanyak 40 kasus DBD. Melihat upaya pemerintah sudah maksimal untuk mencegah DBD, maka peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD. 2. Batasan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, tujuannya hanya untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan tahun 2009.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran perilaku keluarga
tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan tahun 2009. 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi data demografi keluarga di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009. b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009. c. Mengidentifikasi sikap keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009. d. Mengidentifikasi tingkat praktek keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti a. Menambah wawasan bagi peneliti mengenai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD untuk ikut terlibat dalam upaya peningkatan pencegahan primer penyakit DBD. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian lanjutan bagi peneliti dan peneliti lain.
2. Bagi institusi pendidikan keperawatan a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan keperawatan komunitas dalam mengembangkan program pembelajaran keperawatan komunitas. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat.
3. Bagi perawat komunitas Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD untuk meningkatkan kualitas dalam memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga khususnya dalam pencegahan DBD sebagai pertimbangan dasar bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang upaya pencegahan DBD dan memberikan pelayanan keperawatan keluarga.
4. Bagi Puskesmas Kelurahan Kramatpela Dapat membantu puskesmas dalam menurunkan jumlah kasus penderita DBD melalui data dan informasi yang diperoleh mengenai pengetahuan, sikap dan praktek keluarga di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru, sehingga dapat menjadi perhatian serius bagi puskesmas dalam usaha pencegahan DBD dan pengembangan sasaran pelayanan kesehatan kepada masyarakat di masa mendatang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Terdapat berbagai macam kebutuhan diantaranya kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan (Purwanto, 1999). Robert Kwick (1974, dalam Notoadmodjo, 2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Skinner (1938, dalam Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan yang dilakukan baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003) Skinner (1938, dalam Notoatmodjo, 2003) membedakan dua respon perilaku terhadap suatu rangsangan, yaitu: 1. Respondent response atau reflexive response, ialah suaatu respon yang timbul akibat rangsangan-rangsangan tertentu dan rangsangan ini disebut eliciting stimuli dan akan menimbulkan respon yang relatif tetap. Contohnya suatu
cahaya yang kuat akan menyebabkan mata secara otomatis akan tertutup. Respon ini juga mencakup respon emosi yang timbul akibat hal yang kurang menyenangkan bagi individu. 2. Operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan berkembang akibat adanya rangsangan-rangsangan tertentu yang disebut reinforcing stimuli. Rangsangan ini bersifat menguatkan respon yang telah dilakukan oleh manusia. Contohnya jika sebuah keluarga mendapatkan penghargaan atas upaya yang dilakukan untuk mencegah DBD di lingkungan rumahnya dengan teratur mengikuti gerakan pemberantasan sarang nyamuk, maka keluarga tersebut akan lebih
giat dan rajin lagi untuk melakukan
gerakan pemberantasan sarang nyamuk. Operant response atau instrumental response merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari dan kemungkinan untuk memodifikasi respon tersebut sangatlah besar bahkan dapat dikatakan tidak terbatas (Notoatmodjo, 1997). Perilaku kesehatan adalah suatu respon individu terhadap suatu rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, diantaranya: 1. Perilaku
pemeliharaan kesehatan (health
maintenance),
perilaku
ini
menggambarkan usaha-usaha individu untuk menjaga kesehatannya dan upaya yang dilakukan individu untuk untuk penyembuhan jika individu tersebut sakit. 2. Perilaku terhadap pelayanan kesehatan, adalah respon individu terhadap
sistem pelayanan kesehatan. Perilaku ini mencakup upaya individu pada saat menderita penyakit mulai dari pengobatan sendiri sampai berobat keluar negeri. 3. Perilaku kesehatan lingkungan, adalah upaya seseorang untuk merespon rangsangan yang berasal dari lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya agar lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Perilaku ini menggambarkan upaya individu mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya. Becker (1979, dalam Notoadmodjo,2003) membagi tiga kelompok perilaku kesehatan, diantaranya: 1. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. 2. Perilaku sakit (illness behavior), mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakitnya, persepsinya terhadap sakit dan pengetahuannya terhadap penyakit. 3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), perilaku ini meliputi tindakan untuk
memperoleh
kesembuhan,
mengenal
sarana
pelayanan
untuk
penyembuhan penyakit dan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai individu yang sedang sakit. Dilihat dari bentuk respon manusia terhadap rangsangan ini, maka perilaku dibagi menjadi dua yaitu perilaku tertutup (bentuk pasif) dan perilaku terbuka (bentuk aktif). 1. Perilaku tertutup (covert behavior) adalah respon internal, yaitu respon yang
terjadi di dalam diri manusia dan tidak dapat diamati secara langsung oleh orang lain. Respon ini masih terbatas terhadap perhatian, persepsi, pengetahuan dan sikap individu terhadap suatu rangsangan. 2. Perilaku terbuka (overt behavior) yaitu apabila perilaku tersebut dapat secara langsung diamati oleh orang lain. Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan respon individu terhadap suatu rangsangan dan masih bersifat perilaku tertutup (covert behavior), sedangkan tindakan nyata seseorang merupakan respon individu terhadap suatu rangsangan yang bersifat perilaku terbuka (overt behavior).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku Terbentuknya suatu perilaku ditentukan oleh faktor-faktor baik yang terdapat dari dalam maupun dari luar. Green (1980) menjelaskan dalam teorinya bahwa terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi terjadinya suatu perilaku, yaitu: 1. Faktor predisposisi, yaitu merupakan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang yang meliputi pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, usia, kerampilan, tingkat pendidikan dan social ekonomi. 2. Faktor
pemungkin
(enabling
factor),
adalah
faktor-faktor
yang
memungkinkan atau yang memfasillitasi terjadinya suatu tindakan. Dalam hal ini adalah sarana dan prasarana seperti air bersih, tempat pembuangan
sampah, puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcing factor), adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terbentuknya suatu perilaku seperti contoh perilaku dari tokoh masyarakat, perilaku tokoh agama, peraturan, undang-undang, surat keputusan, dan sebagainya.
C. Domain Perilaku Bloom (1987, dalam Notoatmodjo, 2003) mengatakan bahwa aspek perilaku yang dikembangkan dalam proses pendidikan meliputi tiga ranah yaitu: ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor. 1. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan merupakan hasil tahu yang didapatkan dari lima penginderaan individu seperti indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasa terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia didapat melalui indera penglihatan dan pendengaran (Notoatmodjo, 1997). Menurut taksonomi Bloom (1987) pengetahuan mencakup enam tingkat domain kognitif, yaitu : a. Mengetahui (knowledge), tingkat ini merupakan tingkat terendah dari domain kognitif. Pada tingkat ini individu mampu mengingat kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk hal-hal dari fakta yang spesifik sampai suatu teori lengkap tetapi penekanannya hanya sebatas informasi yang sesuai.
b. Memahami
(comprehension),
pada
tingkat
ini
individu
mampu
menjelaskan tentang objek yang diketahuinya dan menyerap arti dari informasi serta menginterpretasikan objek tersebut secara benar. c. Mengaplikasikan (application), pada tingkat ini individu mampu menggunakan informasi yang didapatnya dalam situasi nyata. Perilaku pada tingkat domain ini meliputi aplikasi prinsip atau aturan, metode, konsep, hukum, dan teori. d. Menganalisa (analysis), pada tingkat ini individu mampu menjabarkan materi suatu objek ke dalam komponen-komponen yang saling berkaitan dalam situasi yang teroganisasi. Perilaku yang termasuk pada domain ini antara lain identifikasi komponen, analisa menyangkut hubungan antara komponen. e. Mensisntesis (synthesis), pada tingkat ini individu mampu untuk menyusun komponen yang ada secara bersama-sama untuk membentuk sesuatu yang baru. f. Mengevaluasi (evaluation), tingkat ini merupakan tingkat tertinggi pada hierarki domain kognitif. Pada tingkat ini individu mampu membuat penilaian terhadap suatu objek, penilaian ini berdasarkan pada kemampuan untuk mengorganisasi dan menentukan keterkaitan dengan informasi yang ada. Menurut Rogers (1974, dalam Notoatmodjo, 2003) sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut sudah terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul. c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. d. Trial (mencoba) dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e.
Adoption dimana subjek telah berperilaku
baru
sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Menurut Hendra (2008), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Umur Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Semakin tua umur seseorang maka proses – proses perkembangan mentalnya bertambah baik., akan tetapi pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental seperti ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. b. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan nonformal. c. Pekerjaan Hurlock (1998) mengatakan bahwa pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lama bekerja merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan kehidupannya seharihari. 2. Sikap (attitude) Notoatmodjo (2003) mengatakan sikap adalah respon individu yang masih bersifat tertutup terhadap suatu rangsangan dan sikap tidak dapat diamati secara langsung oleh individu lain. Sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap merupakan suatu faktor pendorong individu untuk melakukan tindakan. Proses terbentuknya suatu sikap pada individu dapat dijelaskan pada diagram ini:
Reaksi
Stimulus Proses Stimulus Rangsangan
Tingkah laku (terbuka)
Sikap
Gambar 2.1. Proses terbentuknya sikap
Menurut Allport (1954, dalam Notoadmodjo, 2003) sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu: a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek. c. Kecenderungan untuk bertindak Ketiga komponen itu secara bersama-sama membentuk suatu sikap yang utuh (total attitude) dan dipengaruhi oleh pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi. Sikap mempunyai beberapa tingkatan, diantaranya : a. Menerima (receiving), pada tingkat ini individu mau memperhatikan stimulus yang diberikan berupa objek atau informasi tertentu. b. Merespon (responding), pada tingkat ini individu akan memberikan jawaban apabila ditanya mengenai objek tertentu dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Usaha individu untuk menjawab dan menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan indikator bahwa individu tersebut telah menerima ide tersebut terlepas dari benar atau salah usaha yang dilakukan oleh individu tersebut. c. Menghargai (valuing), pada tingkat ini individu sudah mampu untuk
mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah, berarti individu sudah mempunyai sikap positif terhadap suatu objek tertentu. d. Bertanggung jawab (responsible), pada tingkat ini individu mampu bertanggung jawab dan siap menerima resiko dari sesuatu yang telah dipilihnya. 3. Praktek atau Tindakan (practice) Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan terwujudnya suatu tindakan, diantaranya adalah faktor fasilitas dan faktor dukungan dari pihak lain. Beberapa tingkatan dalam praktek antara lain: a. Persepsi (perception), merupakan praktek pada tingkat pertama. Pada tingkat ini individu mampu mengenal dan memilih berbagai objek terkait dengan tindakan yang akan diambil. b. Respon terpimpin (guide response), indikator pada tingkat ini adalah individu mampu untuk melakukan sesuatu dengan urutan yang benar. c. Mekanisme (mechanism), pada tingkat ini individu sudah menjadikan suatu tindakan yang benar menjadi suatu kebiasaan. d. Adopsi (adoption), individu sudah mampu memodifikasi suatu tindakan tanpa mengurangi nilai kebenaran dari tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung dengan cara wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh individu sebelumnya,
dan secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan atau kegiatan individu tersebut (Notoadmodjo, 2003).
D. Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Pengertian Suhendro (2006) mengatakan bahwa DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan hemoragik. Hadinegoro (1999) mengatakan DBD adalah penyakit penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Menurut WHO (1999) DBD adalah penyakit yang ditandai oleh empat manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, sering disertai oleh hepatomegali, dan pada keadaan berat terjadi tanda-tanda kegagalan sirkulasi. 2. Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) DBD disebabkan oleh virus dengue yang merupakan bagian dari falimi flaviviridae. Virus ini terbagi menjadi empat, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, untuk mengetahui jenis virus dapat dilakukan melalui uji serologi. 3. Bionomik Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) Bionomik vektor adalah tata cara atau perilaku vektor. Vektor penyakit DBD adalah nyamuk aedes aegypti. Nyamuk ini memiliki kemampuan jarak terbang sejauh 40-100 meter dan tidak dapat hidup diatas
ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut dan kurang dapat berkembang biak dengan baik didaerah bersuhu rendah (Tapan, 2004). Pada dasarnya dalam kehidupan nyamuk terdapat 3 macam tempat yang dibutuhkannya, yaitu tempat untuk beristirahat (resting places), tempat untuk mendapatkan makanan (feeding places), dan tempat untuk berkembang biak (breeding places). Tempat berkembang biak nyamuk aedes berupa genangan air yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, jernih dan gelap baik yang berada di dalam ruangan ataupun di luar ruangan. Dalam kehidupan di air, perkembangan nyamuk aedes dari telur sampai mencapai nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-14 hari, yaitu 2-3 hari untuk perkembangan dari telur menjadi jentik, 4-9 hari dari jemtik menjadi pupa, 1-2 hari dari pupa menjadi nyamuk dewasa. Berdasarkan kesenangan untuk mendapatkan darah, nyamuk aedes biasanya menggigit manusia pada pukul 09.00-10.00 pagi dan antara pukul 16.00-17.00 petang. 4. Manifestasi Klinik Demam Berdarah Dengue (DBD) Manifestasi klinik yang khas pada penderita DBD adalah demam tinggi, fenomena perdarahan, pembesaran hati (hepatomegali), dan terjadi kegagalan sirkulasi. Perubahan patofisiologis utama yang menentukan penyakit DBD adalah terjadinya peningkatan permeabilitas membran kapiler sehingga terjadi kebocoran cairan plasma yang ditandai oleh peningkatan hematokrit. WHO (1997) membagi derajat DBD menjadi empat derajat, yaitu: a. Derajat I : demam mendadak 2-7 hari diikuti gejala tidak spesifik. Satu satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif.
b. Derajat II : gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau tempat lain. c. Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah. d. Derajat IV : syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. 5. Patogenesis Demam Berdarah Dengue (DBD) Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk aedes aegypti, virus memasuki aliran darah
manusia untuk kemudian melakukan replikasi
(memperbanyak diri). Bentuk perlawanan yang akan dilakukan oleh tubuh adalah tubuh akan membentuk antibodi dan selanjutnya akan terbentuk kompleks antigen antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks antigen antibodi tersebut akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, proses ini disebut proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditandai dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah), saluran pernapasan (epistaksis), dan organ vital seperti jantung, ginjal dan hati yang sering mengakibatkan kematian (Widoyono, 2008). 6. Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
WHO (1997, dalam Sardjana, 2007) menyebutkan diagnosis demam berdarah dengue dapat ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi: a. Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan seperti uji tourniquet positif, terdapat petekie, perdarahan mukosa atau perdarahan dari bagian tubuh lain dan hematemesis atau melena c. Trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul) d. Terdapat minimal satu tanda dari kebocoran plasma seperti peningkatan hematokrit lebih dari 20%, penurunan hematokrit lebih dari 20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya dan tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites, atau hipoproteinemia. Seorang penderita DBD dikatakan mengalami Sindrom Syok Dengue (SSD) apabila seluruh kriteria diatas terjadi ditambah tanda-tanda kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun sampai diastolik dibawah 20 mmHg, kulit dingin serta pasien gelisah. 7. Penanganan Keperawatan untuk Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) Tindakan mandiri perawat: a. Kaji saat timbulnya demam, rasional tindakan ini adalah untuk mengidentifikasi pola demam klien dan sebagai indikator untuk tindakan selanjutnya. b. Observasi tanda – tanda vital klien seperti suhu, nadi, tensi, pernapasan, tiap 4 jam atau lebih sering, rasional tindakan ini adalah sebagai pedoman
/ acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. c. Berikan kompres hangat pada kepala dan axilla, rasional tindakan ini adalah untuk membantu menurunkan suhu tubuh yang sedang mengalami demam. d. Catat intake dan output, rasional tindakan ini adalah untuk mengetahui adanya ketidakseimbangan cairan tubuh. e. Observasi adanya tanda – tanda syok, rasional tindakan ini adalah agar dapat segera dilakukan tindakan apabila klien mengalami shock. f. Anjurkan klien untuk banyak minum, rasional tindakan ini adalah untuk menambah volume cairan tubuh klien. g. Kaji tanda dan gejala dehidrasi/hipovolemik (riwayat muntah, diare, kehausan, turgor kulit buruk), rasional tindakan ini adalah untuk mengetahui penyebab defisit volume cairan. Tindakan kolaborasi: a. Pemberian antipiretik, rasional tindakan ini adalah untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus. b. Pemberian cairan intra vena sesuai indikasi, rasional tindakan ini adalah untuk mengatasi defisit volume cairan dengan keadaan umum yang buruk. 8. Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Berikut ini akan diuraikan cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah DBD menurut Dirjen P2PL Depkes RI tahun 2007 adalah: a. Fogging focus. Salah satu upaya efektif untuk pencegahan DBD adalah dengan cara memutuskan mata rantai kehidupan nyamuk aedes aegypti.
Pengasapan (fogging) adalah salah satu cara yang cukup banyak dipakai di Indonesia, walaupun sebenarnya cara ini kurang efektif. Pengasapan hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada suatu wilayah dengan radius 100-200 meter di sekitarnya dan efektif hanya untuk satu sampai dua hari. Pengasapan tidak dapat membunuh larva nyamuk. b. PSN
(Pemberantasan
Sarang
Nyamuk)
DBD.
Pencegahan
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sangat tepat dilakukan dengan program 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan, menutup rapat tempat penampungan air serta mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai yang kesemuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD sangat perlu dilakukan. c. Abatisasi. Dilaksanakan dengan cara menaburi bubuk abate di semua tempat penampungan air di rumah dan bangunan yang mempunyai resiko sebagai tempat perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti. d. Memasang kawat nyamuk halus pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi diseluruh bagian rumah. e. Tidur menggunakan kelambu atau menggunakan obat nyamuk (bakar atau gosok) untuk mencegah gigitan nyamuk. f. Mengganti air vas bunga, minuman burung dan temapt lainnya yang dapat dijadikan tempat perkembangbiakan vektor DBD minimal satu minggu sekali.
g. Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk. h. Menggunakan obat nyamuk (lotion atau obat nyamuk bakar) untuk mencegah gigitan nyamuk.
E. Perilaku Keluarga Terhadap Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Duvall (1985, dalam Iqbal, 2006) menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang ysng dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. UndangUndang No. 10 tahun 1992 manyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak atau ayah atau ibu dan anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998) menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Tugas kesehatan keluarga dalam upaya pencegahan terhadap DBD adalah keluarga pertama kali harus mampu mengenal masalah yang berkaitan dengan penyakit DBD, keluarga dapat mengenal masalah DBD dengan beberapa cara seperti penyuluhan dari petugas kesehatan, informasi dari majalah atupun peran aktif keluarga untuk mencari tahu informasi mengenai DBD. Kesadaran akan tumbuh pada tiap anggota keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap DBD jika keluarga sudah dapat mengenal masalah kesehatan yang berhubungan dengan DBD.
Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluraga harus mampu memutuskan tindakan yang tepat jika ada salah satu anggota keluarga yang terkena penyakit DBD, keluarga harus dengan cepat memutuskan tindakan yang tepat untuk anggotanya yang terkena DBD dengan memutuskan untuk segera membawa anggota keluarganya yang terkena DBD ke rumah sakit. Keputusan harus segera diambil oleh keluarga karena keluarga yang dapat memantau keadaan anggota keluarganya yang terkena DBD. Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluarga harus mampu merawat anggota keluarganya yang terkena DBD. Keluarga harus mempunyai kemampuan untuk memberikan perawatan pertama pada anggotanya yang terkena DBD karena penyakit DBD akan sangat fatal akibatnya jika keluarga tidak segera memberikan perawatan pertama pada penderita DBD. Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluarga harus dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Kemampuan keluarga ini sangat erat hubungannya dengan pencegahan penyakit DBD karena nyamuk penyebab DBD dapat berkembangbiak di lingkungan rumah yang tidak diperhatikan oleh keluarga. Keluarga dapat melakukan tindakan 3M pada lingkungan rumahnya untuk mencegah terjadinya DBD. Tugas kesehatan keluarga yang terakhir adalah keluarga harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada untuk membantu anggota keluarganya yang terkena DBD. Pemerintah Indonesia telah membebaskan biaya untuk pasien DBD, jadi tidak ada alasan bagi keluarga untuk tidak membawa anggotanya yang
terkena DBD karena penyakit ini akan menimbulkan kematian yang sangat cepat jika penderitanya tidak segera dibawa ke rumah sakit. Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan DBD adalah keterlibatan semua anggota keluarga baik tanggung jawab secara mental dan emosional. Pengelolaan sarana yang diadakan agar tetap terjamin dan terpelihara sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiakkan vektor penyakit DBD. Maironah (2005) dan Yatim (2001) mengatakan bahwa dalam melakukan pencegahan DBD keluarga perlu melakukan beberapa metode yang tepat diantaranya: 1. Lingkungan, metode ini digunakan untuk mengendalikan perkembangbiakan nyamuk tersebut antara lain dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), memakai pakaian dengan lengan panjang untuk menghindari gigitan nyamuk penyebab DBD, menghindari tidur siang, menggunakan kelambu saat tidur, merapikan pakaian kotor yang bergantungan dibalik pintu. 2. Biologi, pencegahan DBD dengan metode biologi antara lain keluarga dapat memelihara ikan pemakan jentik jika di rumah mereka terdapat kolam. 3. Kimiawi, cara pencegahan DBD dengan menggunakan metode kimiawi antara lain
keluarga
dapat
memberikan
bubuk
abate
pada
tempat-tempat
penampungan air dengan dosis takaran 1 gram bubuk abate untuk 10 liter air dan keluaraga dapat juga melakukan pengasapan atau fogging dan menggunakan obat nyamuk (obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot dan lotion anti nyamuk).
Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa cara yang paling efektif yang dapat dilakukan
keluarga
untuk
pencegahan
DBD
adalah
dengan
kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk yaitu menguras, menutup dan mengubur serta tindakan lainnya seperti memberikan bubuk abate, memasang obat nyamuk, melakukan pemeriksaan jentik berkala (Yatim, 2001).
F. Peran Perawat Komunitas dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue 1. Pengertian Keperawatan Komunitas Menurut WHO (1959, dalam Mahyudin, 2009), keperawatan komunitas adalah bidang perawatan khusus yang merupakan gabungan keterampilan ilmu keperawatan, ilmu kesehatan masyarakat dan bantuan sosial, sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat secara keseluruhan guna meningkatkan kesehatan, penyempurnaan kondisi sosial, perbaikan lingkungan fisik, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada individu, keluarga, yang mempunyai masalah dimana hal itu mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Keperawatan kesehatan komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada kelompok resiko tinggi, dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan keperawatan (Spradley, 1985; Logan and Dawkin, 1987
dalam Mahyudin 2009). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan kesehatan komunitas adalah suatu bidang dalam ilmu keperawatan yang merupakan keterpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta masyarakat, serta mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan dengan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif, secara menyeluruh dan terpadu ditujukan kesatuan yang utuh melalui proses keperawatan untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal.
2. Peran Perawat Komunitas dalam Pencegahan DBD a) Pencegahan Primer (Primary Prevention) Sasaran pencegahan primer dapat ditujukan pada faktor penyebab terjadinya DBD, lingkungan serta faktor pejamu. Pencegahan primer yang dapat dilakukan oleh seorang perawat komunitas adalah dengan cara memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang pencegahan penyakit DBD. Tujuan dari pencegahan primer adalah agar tidak terjadi penyakit DBD di masyarakat. b) Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) Peran perawat komunitas dalam pencegahan sekunder adalah melakukan diagnosis dini pada penderita DBD dan memberikan pengobatan yang tepat kepada penderita DBD agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah DBD dan agar
tidak timbul komplikasi pada penderita yang ditimbulkan oleh penyebab DBD. c) Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention) Peran perawat komunitas dalam pencegahan tersier adalah mencegah bertambah parahnya suatu penyakit, dan mencegah penderita DBD mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Perawat juga berperan dalam proses rehabilitasi untuk mencegah terjadinya efek samping dari proses penyembuhan penyakit DBD.
G. Penelitian Terkait 1. Penelitian yang dilakukan oleh Dadang Fitrajaya tahun 2002 dengan judul penelitian “Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Kelurahan Tanjung Hulu Terhadap PSN DBD Tahun 2002”. Penelitian ini menghasilkan bahwa masyarakat yang melaksanakan program PSN DBD sebesar 71,3% dan masyarakat yang tidak melakukan PSN DBD sebanyak 28,7%. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Wirawan Sakti tahun 2004 dengan judul penelitian “Gambaran perilaku PSN DBD Kepala Keluarga di Kecamatan Curup Kabupaten Lebong Tahun 2004”. Dari hasil penelitian diketahui sebanyak 55,5% perilaku kepala keluarga terhadap PSN DBD termasuk kedalam kategori baik dan sebanyak 44,5% perilaku kepala keluarga terhadap PSN DBD termasuk kategori kurang baik. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Marlina tahun 2007 dengan judul penelitian “Perilaku Keluarga terhadap Usaha Pencegahan Penyakit DBD di
Lingkungan Rumah di Desa Suka Makmur Kecamatan Delitua Tahun 2007”. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat perilaku responden terhadap usaha pencegahan penyakit DBD mayoritas baik (78%), kategori sedang (21 %), dan buruk (1,0%) H. Kerangka Teori Gambar 2.2. Kerangka teori berdasarkan Green (1980), Bloom (1987), Depkes RI (2007), Hurlock (1998) Faktor Predisposisi: - Pengetahuan - Sikap - Praktek - Karakteristik individu - Tradisi dan kepercayaan
Faktor Pemungkin: - Ketersedian sarana dan prasarana - Tempat pembuangan sampah - Puskesmas - Rumah sakit
Faktor Penguat: Contoh perilaku dari tokoh masyarakat, adanya peraturan, surat keputusan.
Perilaku keluarga untuk tindakan pencegahan DBD
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep Sesuai
dengan
tujuan
penelitian
yang
bersifat
deskriptif
atau
menggambarkan variabel yang akan diteliti yaitu tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga terhadap pencegahan DBD, maka kerangka konsep pada penelitian ini adalah: Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Jakarta Selatan Tahun 2009
Variabel: a. Karakteristik individu: - Umur - Pendidikan - Pekerjaan b. Pengetahuan responden mengenai DBD - Penyebab - Bionomik vektor - Tanda dan gejala - Pengobatan - Pencegahan c. Sikap responden mengenai pencegahan DBD - Kecenderungan untuk melakukan gerakan pencegahan 3M (menguras, menutup, mengubur) di tempat yang menjadi sarana perkembangbiakan vektor DBD d. Praktek responden tentang pencegahan DBD - Menguras - Menutup - Mengubur - Menaburkan bubuk abate - Menggunakan kelambu - Memelihara ikan pemakan jentik
B. Definisi Operasional Variabel Pengetahuan
Sikap
Praktek
Definisi Operasional Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluarga mengetahui tentang penyakit DBD meliputi penyebab, bionomik vektor, tanda dan gejala, pengobatan serta pencegahan penyakit demam berdarah dengue Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecenderungan keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan DBD seperti melakukan gerakan 3M (menutup, menguras dan mengubur) tempat-tempat yang dapat menjadi sarana perkembangbiaka n vektor DBD Aktifitas keluarga dalam upaya pencegahan terhadap demam berdarah dengue seperti melakukan gerakan 3M+ yaitu menutup, menguras, mengubur serta menaburkan bubuk abate, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang obat
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur Ordinal
Wawancara
Kuisioner B1-B10
1. Pengetahuan tinggi jika total nilai 7-10 2. Pengetahuan sedang jika total nilai 4-6 3. Pengetahuan rendah jika total nilai 0-3
Wawancara
Kuisioner C1-C10
1. Sikap negatif jika total skor kurang dari nilai median (<25) 2. Sikap positif jika total skor lebih dari nilai median (≥25)
Ordinal
Observasi
Lembar Obsversasi D1-D10
1. Praktek keluarga baik jika total skor 7-10 2. Praktek keluarga cukup jika total skor 4-6 3. Praktek keluarga kurang jika total skor 0-3
Ordinal
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
nyamuk, menyemprotkan insektisida, menggunakan lotion, memelihara ikan pemakan jentik Banyaknya angka dalam tahun yang dihitung sejak responden lahir Jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil diselesaikan oleh responden Pekerjaan responden saat dilakukan penelitian
Wawancara
Kuisioner
Data numerik
Interval
Wawancara
Kuisioner
Ordinal
Wawancara
Kuisioner
1. Tidak sekolah 2. SD 3. SLTP 4. SLTA 5. Perguruan Tingggi 1. IRT 2. Wiraswasta 3. Buruh 4. PNS 5. Karyawan Swasta 6. TNI 7. Polisi
Nominal
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional. Tujuannya untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD dengan cara mengajukan pertanyaan tertutup melalui kuisioner yang akan dijawab oleh kepala keluarga atau penanggung jawab dalam keluarga dan lembar observasi yang akan diisi oleh peneliti.
B. Tempat dan Waktu Lokasi penelitian dilakukan RW 09 kelurahan Kramat Pela Jakarta Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan RW 09 kelurahan Kramat Pela sebagai lokasi penelitian adalah karena menurut data yang diperoleh dari Puskesmas kelurahan Kramatpela, pada daerah ini masih ditemukan kasus DBD sebanyak 40 kasus pada tahun 2008 dan belum pernah dilakukannya penelitian mengenai gambaran tingkat pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramat Pela Jakarta Selatan.
C. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota keluarga di lingkungan RW 09 kelurahan Kramat Pela kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Sampel merupakan gambaran dari populasi yang telah ditetapkan berdasarkan kriteria penelitian dan perhitungan besar sampel menggunakan rumus yang sesuai. Kriteria sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Merupakan keluarga di wilayah RW 09 kelurahan Kramat Pela kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. 2. Dapat membaca dan menulis. 3. Bersedia menjadi responden dalam penelitian. Tekhnik pengambilan sampel menggunakan systematyc random sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan urutan anggota populasi yang telah diberi nomor urut. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan ketentuan rumus besar sampel yang sesuai dengan rancangan penelitian yaitu rumus sampel uji estimasi proporsi.
n
Rumus : n = (Z1-α/2)2.P (1-P) d2 = jumlah sampel
Z1- α/2
= confident interval = 95% = 1,96
d
= presisi = 10% = 0,1
P
= 78% = 0,78 (proposi penelitian terdahulu Marlina, 2007) n = 1,962 . 0,78 . (1 - 0,78) 0,12
= 66 keluarga
Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan hilangnya data atau ketidaklengkapan pengisian kuisioner, maka perhitungan sampel ditambahkan 10% dari jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya. n2 = n1 + 10% . n1 = 66 + 6,6= 72,6 = 73 keluarga
D. Instrumen Penelitian Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan lembaran kuesioner yang disusun secara terstruktur berdasarkan teori dan berisikan pertanyaan yang harus dijawab responden. Instrumen ini terdiri dari empat bagian yaitu data demografi meliputi inisial nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Bagian kedua kuisioner untuk tingkat pengetahuan keluarga berisi 10 pertanyaan tertutup tentang DBD dan pencegahan penyakit DBD meliputi penyebab, transmisi vektor, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahan DBD. Penilaian untuk pertanyaan positif tentang pengetahuan menggunakan skala diskontinu yaitu jika jawaban benar mendapatkan nilai 1 dan jika jawaban salah tidak mendapat nilai (0). Bagian ketiga kuisioner berisi 10 pernyataan tertutup tentang sikap keluarga mengenai pencegahan DBD dan penilaiannya menggunakan skala Likert. Penilaian untuk pernyataan positif sikap keluarga yaitu: Sangat setuju
:4
Setuju
:3
Tidak setuju
:2
Sangat tidak setuju
:1
Sedangkan penilaian pernyataan negatif sikap keluarga tentang pencegahan DBD juga menggunakan skala Likert, yaitu: Sangat tidak setuju
:4
Tidak setuju
:3
Setuju
:2
Sangat setuju
:1
Bagian keempat lembar kuisioner berisi 10 lembar observasi yang diisi oleh peneliti tentang praktek keluarga tentang pencegahan DBD dengan menggunakan skala diskontiniu yaitu jika keluarga melakukan praktek mendapatkan nilai 1 dan jika tidak malakukan praktek mendapat nilai (0). Kuesioner yang digunakan sebelumnya telah diuji coba dan dilakukan uji validitas dan reabilitasnya pada 30 keluarga di tempat yang berbeda dengan karakteristik yang sama dengan ketentuan pada penelitian ini. Hasil uji validitas menunjukkan bahwa terdapat 4 pertanyaan yang tidak valid, akan tetapi peneliti tetap mengikutsertakan pertanyaan tersebut ke dalam penelitian karena pertanyaan tersebut sangat diperlukan untuk proses analisis. Hasil uji realibilitas didapatkan hasil Alpha Crombach sebesar 0,770 yang berarti pertanyaan yang berada dalam kuesioner dapat dikatakan realibel.
E. Metode Pengumpulan Data 1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh penguji, maka dilanjutkan dengan mengajukan surat permohonan ijin penelitian ke Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Menyerahkan surat permohonan ijin penelitian kepada Puskesmas Kelurahan Kramat Pela kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. 3. Menyeleksi calon responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti. a. Peneliti menentukan calon responden dengan terlebih dahulu melihat kerangka sampel yang ada. b. Dengan menggunakan tekhnik systematic random sampling peneliti menentukan calon responden sebanyak 73 keluarga sesuai dengan besar sampel yang telah ditentukan. 4. Setelah mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, peneliti melakukan pendekatan dengan cara mendatangi satu persatu rumah responden serta memberikan penjelasan mengenai penelitian ini. Kemudian jika calon responden bersedia menjadi responden dapat membaca lembar persetujuan kemudian menandatanganinya. 5. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan, responden selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai cara pengisian kuisioner dan responden dianjurkan bertanya apabila ada pertanyaan ataupun pernyataan yang kurang jelas. 6. Peneliti memberikan waktu kira-kira 15 menit kepada responden untuk menjawab pertanyaan dalam kuisioner. 7. Responden diharapkan menjawab seluruh pertanyaan di dalam kuisioner, setelah selesai lembar kuisoner dikembalikan kepada peneliti.
8. Kuisioner yang telah diisi selanjutnya akan diolah dan dianalisa oleh peneliti.
F.
Pengolahan Data Seluruh data yang terkumpul akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1.
Mengkode data (data coding) Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut.
2.
Menyunting data (data editing) Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian ini.
3.
Memasukkan data (data entry) Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan klasifikasi.
4.
Membersihkan data (data cleaning) Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
G. Etika Penelitian Etika penelitian bertujuan untuk menjamin kerahasiaan identitas responden, melindungi dan menghormati hak responden dengan mengajukan surat pernyataan persetujuan (informed consent). Sebelum menandatangani surat
persetujuan, peneliti menjelaskan judul penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan menjelaskan kepada responden bahwa penelitian tidak akan membahayakan bagi responden. Peneliti akan menjamin kerahasiaan identitas responden, dimana data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan apabila penelitian telah selesai maka data tersebut akan dimusnahkan.
H. Analisa Data Dalam analisa data dilakukan / diolah secara statistik untuk data kuantitatif dengan menggunakan perangkat komputer dan dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan analisa univariat. Pada analisa univariat setiap variabel dari hasil penelitian akan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan prosentase.
BAB V HASIL PENELITIAN Hasil
penelitian
disajikan
dalam
bentuk
analisa
univariat
yang
menggambarkan distribusi frekuensi dari responden. A. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kelurahan Kramatpela sebagian besar merupakan daerah tempat tinggal yang teratur, kecuali di lingkungan RW 09 yang merupakan daerah pemukiman padat penduduk. Kelurahan kramatpela tidak ada daerah sawah dan rawa juga tidak memiliki daerah industry berat. Luas daerah Kramatpela adalah 124 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 19.232 jiwa, kepala keluarga berjumlah 3.786 jiwa. RW 09 sendiri mempunyai kepala keluarga sebanyak 501 jiwa. Batas dari kelurahan ini adalah: 1. Utara: berbatasan dengan Jl. Kyai Maja dan Kelurahan Gunung 2. Timur: berbatasan dengan Jl. Panglima Polim dan Kelurahan Melawai 3. Selatan: berbatasan dengan Kelurahan Gandaria dan Kelurahan Pulo 4. Barat: berbatasan dengan kali grogol dan wilayah Kecamatan Kebayoran Lama
B. Karakteristik Responden 1. Umur Data umur responden disajikan dalam bentuk tabel dan menggunakan data numerik. Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Variabel
Mean
Median
SD
Minimum
Maksimum
Umur
37.52
36
10.032
22
73
Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata umur responden adalah 37 tahun. Umur termuda responden adalah 22 tahun dan umur tertua responden adalah 73 tahun. 2. Pendidikan Pada penelitian ini peneliti membagi tingkat pendidikan responden yaitu SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Tabel 5.2 menunjukkan distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikannya. Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Tingkat Pendidikan
Frekuensi
Prosentase %
SD
15
20,5
SLTP
24
30,9
SLTA
31
42,5
Perguruan Tinggi
3
4,1
Total
73
100
Tabel 5.2. menunjukkan sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan setingkat SLTA yaitu sebesar 42,5% dan hanya sebagian kecil responden yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu sebanyak 3 orang responden atau 4,1%. 3. Pekerjaan Pada penelitian ini, peneliti membagi pekerjaan responden menjadi beberapa jenis pekerjaan seperti ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, wiraswasta, polisi, dan TNI. Dibawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi responden menurut jenis pekerjaannya. Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Pekerjaan di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Jenis Pekerjaan
Frekuensi
Prosentase %
PNS
3
4,1
Ibu Rumah Tangga
37
50,7
Karyawan Swasta
11
15,1
Wiraswasta
20
27,4
Polisi
2
2,7
TNI
0
0
Total
73
100
Tabel diatas dapat menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah sebagai seorang ibu rumah tangga yaitu sebanyak 37 responden atau sebesar 50,7%. Sebanyak 27,4% responden memiliki pekerjaan sebagai
seorang wiraswasta dan 15,1% responden bekerja sebagai karyawan swasta. Responden yang bekerja sebagai PNS hanya berjumlah 3 orang (4,1%) dan responden yang bekerja sebagai polisi sebanyak 2 orang (2,7%). C. Pengetahuan Responden Tabel dibawah ini menggambarkan seberapa jauh pengetahuan responden mengenai DBD dan pencegahannya. Tabel 5.4. Pengetahuan Responden Mengenai DBD Dan Pencegahannya di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Pengetahuan Responden Penyebab DBD adalah virus dengue 1. Benar 2. Salah Nama nyamuk penyebab DBD adalah Aedes Aegypti 1. Benar 2. Salah Nyamuk Aedes hanya menggigit ketika malam hari 1. Benar 2. Salah Jarak terbang nyamuk Aedes 100M 1. Benar 2. Salah Ciri nyamuk DBD adalah loreng hitam putih 1. Benar 2. Salah Tanda awal DBD adalah demam tinggi dan timbul bintik merah pada kulit 1. Benar 2. Salah DBD dapat menyebabkan kematian jika terlambat ditangani 1. Benar 2. Salah Tindakan pertolongan pertama pada pasien DBD adalah berikan minum yang banyak dan kompres air dingin 1. Benar 2. Salah Sampai saat ini belum ada obat untuk DBD 1. Benar 2. Salah 3M adalah cara efektif untuk pencegahan DBD
Frekuensi
Prosentase
42 31
57,5 % 42,5 %
66 7
90,4 % 9,6 %
70 3
95,9 % 4,1 %
29 44
39,7 % 60,3 %
71 2
97,3 % 2,7 %
72 1
98,6 % 1,4 %
72 1
98,6 % 1,4 %
63 10
86,3 % 13,7 %
35 38
47,9 % 52,1 %
1. Benar 2. Salah
73 0
100 % 0%
Tabel 5.4. dapat menunjukkan bahwa responden yang belum mengetahui penyebab DBD adalah virus dengue sebanyak 31 orang (42,5 %) dan 42 responden (57,5 %) mengetahui bahwa penyebab DBD adalah virus dengue. Pertanyaan mengenai nama nyamuk penyebab DBD, sebagian besar responden (90,4 %) sudah mengetahui nama nyamuk penyebab DBD dan hanya 9,6 % responden yang belum mengetahui nama nyamuk penyebab DBD. Pertanyaan mengenai waktu nyamuk penyebab DBD menggigit ketika malam hari, sebagian besar responden (95,9 %) sudah menjawab dengan tepat dan mengetahui bahwa nyamuk penyebab DBD menggigit tidak pada malam hari, sedangkan responden yang tidak mengetahui waktu nyamuk DBD menularkan virus dengue sebanyak 3 orang responden (4,1 %). Tabel 5.4. juga menunjukkan masih banyak responden (60,7 %) yang belum mengetahui jarak terbang nyamuk penyebab DBD adalah 100M dari tempat perkembangbiakannya, sedangkan sebanyak 29 responden (39,3 %) mengetahui jarak terbang nyamuk penyebab DBD. Pertanyaan mengenai ciri-ciri nyamuk penyebab DBD, sebanyak 71 responden (97,3 %) mengetahui bahwa ciriciri nyamuk Aedes adalah loreng hitam putih di seluruh tubuh dan hanya 2 responden (2,7 %) yang tidak mengetahui ciri dari nyamuk Aedes. Pertanyaan tentang tanda dan gejala awal pada penderita DBD, sebagian besar responden mengetahui tanda dan gejala penderita DBD yaitu sebanyak 72 responden (98,6 %) dan hanya 1 responden yang tidak mengetahui tanda dan gejala yang dialami oleh penderita DBD.
Tabel 5.4. menunjukkan sebanyak 72 responden (98,6 %) mengetahui bahwa DBD dapat menyebabkan kematian pada penderitanya jika tidak segera mendapatkan pertolongan dan hanya 1 responden (1,4 %) yang tidak mengetahui bahwa DBD dapat menyebabkan kematian jika tidak segera mendapatkan pertolongan. Tabel 5.4. juga menunjukkan sebanyak 63 responden (86,3 %) mengetahui tindakan pertolongan pertama yang harus diberikan kepada penderita DBD dan 10 responden (13,7 %) tidak mengetahui tindakan pertolongan pertama yang harus diberikan kepada penderita DBD. Tabel 5.4. menunjukkan masih banyak responden (38 responden) yang belum mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit DBD dan sebanyak 35 (47,9 %) responden mengetahui bahwa sampai saat ini tidak ada obat untuk DBD. Seluruh responden mengetahui bahwa 3M adalah cara paling efektif untuk pencegahan DBD. Tingkat pengetahuan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan nilai titik potong dimana nilai terendah adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 10. Kategori pengetahuan responden dapat dilihat pada tabel 5.5. dibawah ini. Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Tingkat Pengetahuan
Frekuensi
Prosentase %
Rendah
0
0
Sedang
7
9,6
Tinggi
66
90,4
Total
73
100
Tabel 5.5. menunjukkan sebagian besar responden atau sebanyak 66 responden (90,4 %) mempunyai tingkat pengetahuan baik, 7 responden (9,6 %) mempunyai tingkat pengetahuan sedang dan tidak ada responden yang mempunyai tingkat pengetahun yang rendah.
D. Sikap Responden Tentang Pencegahan DBD Tabel dibawah ini akan menggambarkan sikap responden tentang pencegahan DBD. Tabel 5.6. Sikap Responden Tentang Pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Sikap Responden Lingkungan rumah yang bersih akan mengurangi resiko terkena DBD 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Jika ada kegiatan 3M di lingkungan saya tidak akan mengikuti kegiatan tersebut 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Tempat yang dapat menampung air harus selalu dalam keadaan tertutup 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Barang bekas yang dapat menampung air hujan akan dibiarkan saja 1. Sangat setuju 2. Setuju
Frekuensi
Prosentase
55 17 1 0
75,3 % 23,3 % 1,4 % 0%
0 1 41 31
0% 1,4 % 56,2 % 42,5 %
32 36 5 0
43,8 % 49,3 % 6,8 % 0%
1 1
1,4 % 1,4 %
3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Air dalam vas bunga harus diganti minimal satu kali seminggu 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Bak tempat penampungan air dikuras satu bulan sekali 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Tidur siang lebih baik menggunakan kelambu 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Menguras bak mandi jika sudah kotor saja 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Barang bekas yang dapat menjadi tempat perkembangbiakkan nyamuk harus dikubur 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju Saya tidak akan menggerakkan keluarga saya untuk melakukan 3M 1. Sangat setuju 2. Setuju 3. Tidak setuju 4. Sangat tidak setuju
19 52
26 % 71,2 %
20 38 11 4
27,4 % 52,1 % 15,1 % 5,5 %
4 11 38 20
5,5 % 15,5 % 52,1 % 27,4 %
14 52 7 0
19,2 % 71,2 % 9,6 % 0%
2 2 25 44
2,7 % 2,7 % 34,2 % 60,3 %
48 22 1 2
65,8 % 30,1 % 1,4 % 2,7 %
2 1 35 35
2,7 % 1,4 % 47,9 % 47,9 %
Sikap responden tentang pencegahan DBD selanjutnya dibagi menjadi 2 kategori, yaitu positif dan negatif berdasarkan nilai median yang dicapai. Kategori sikap positif terdiri dari responden yang nilainya lebih besar atau sama dengan nilai median dan sikap negatif terdiri dari responden yang nilainya kurang dari nilai median. Kategori sikap dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Sikap Terhadap Pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Sikap Responden Tentang
Frekuensi
Prosentase
Pencegahan DBD
%
Positif
72
98,6
Negatif
1
1,4
Total
73
100
Tabel 5.7. menggambarkan hampir semua responden (72 responden) memiliki sikap positif terhadap pencegahan DBD dan hanya 1 responden yang memiliki sikap negatif terhadap pencagahan DBD.
E. Praktek Responden Tentang Pencegahan DBD Tabel 5.8. menggambarkan praktek yang dilakukan oleh responden dalam upaya pencegahan DBD. Tabel 5.8. Praktek Responden Terhadap Pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Praktek Responden Terhadap Pencegahan DBD Menutup bak tempat penampungan air 1. Ya 2. Tidak Memberikan bubuk abate pada bak mandi
Ferkuensi
Prosentase
28 45
38,4 % 61,6 %
1. Ya 2. Tidak Menguras bak penampungan air minimal satu minggu sekali 1. Ya 2. Tidak Mengganti air dalam vas bunga satu minggu sekali 1. Ya 2. Tidak Memasang kawat kassa pada ventilasi udara 1. Ya 2. Tidak Tidak membiarkan pakaian kotor bergantungan dibelakang pintu 1. Ya 2. Tidak Memelihara ikan pemakan jentik 1. Ya 2. Tidak Menyemprotkan insektisida atau memasang obat nyamuk bakar atau menggunakan kelambu saat tidur 1. Ya 2. Tidak Menelungkupkan barang bekas seperti ember bekas dan kaleng bekas 1. Ya 2. Tidak Tidak membuang sampah plastik dan kaleng bekas sembarangan 1. Ya 2. Tidak
22 51
30,1 % 69,9 %
42 31
57,5 % 42,5 %
60 13
82,2 % 17,8 %
59 14
80,8 % 19,2 %
6 67
8,2 % 91,8 %
15 58
20,5 % 79,5 %
68 5
93,2 % 6,8 %
38 35
52,1 % 47,9 &
47 26
64,4 % 35,6 %
Tabel 5.8. menggambarkan praktek yang dilakukan oleh keluarga tentang pencegahan DBD, hampir semua responden (91,8 %) membiarkan pakaian kotor bergantungan di belakang pintu dan hanya 8,2 % responden yang tidak membiarjan pakaian kotor bergantungan di belakang pintu. Praktek responden terhadap pencegahan DBD dalam penelitian ini selanjutnya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kurang, cukup, dan baik berdasarkan
titik potong yang dicapai dengan nilai terendah 0 dan nilai tertinggi 10. Kategori tingkat praktek responden terhadap pencegahan DBD dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9. Distribusi Responden Menurut Tingkat Prakteknya Terhadap Pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Praktek responden terhadap
Frekuensi
Prosentase
pencegahan DBD
%
Kurang
18
24,7
Cukup
42
57,5
Baik
13
17,8
Total
73
100
Tabel 5.9. menggambarkan 42 responden (57,5 %) mempunyai tingkat praktek yang cukup terhadap pencegahan DBD, 18 responden (24,7%) mempunyai tingkat praktek yang kurang terhadap pencegahan DBD dan hanya sebagian kecil responden (13 responden/ 17,8 %) yang mempunyai tingkat praktek yang baik terhadap upaya pencegahan DBD. F. Distribusi Proporsi Pengetahuan berdasarkan Pendidikan Responden Tentang DBD Tabel 5.10. distribusi proporsi pengetahuan berdasarkan pendidikan responden tentang DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Tingkat Pengetahuan Pendidikan
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
SD
0
0
5
33,3
10
66,7
15
100
SLTP
0
0
2
8,3
22
91,7
24
100
SLTA
0
0
0
0
31
100
31
100
Perguruan Tinggi
0
0
0
0
3
100
3
100
Total
0
0
7
9,6
66
90,4
73
100
Tabel 5.10. menggambarkan bahwa hampir sebagian besar responden yang berasal dari tingkat pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD. Dari 15 responden yang tingkat pendidikannya adalah sekolah dasar hanya 5 responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang sedang, 10 responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang DBD dan tidak ada responden yang tingkat pendidikannya sekolah dasar memiliki tingkat pengetahuan yang kurang tentang DBD. Responden yang tingkat pendidikannya SLTP dalam penelitian ini berjumlah 24 orang, hampir sebagian besar dari responden yang tingkat pendidikannya SLTP memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang DBD yaitu sebesar 22 orang (91,7%) dan hanya 2 (8,3%) responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang sedang mengenai DBD. Responden yang tingkat pendidikannya SLTA dalam penelitian ini berjumlah 31 orang dan semuanya memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai DBD. Responden yang tingkat pendidikannya mencapai perguruan tinggi dalam penelitian ini berjumlah 3 orang dan semuanya memiliki pengetahuan yang tinggi tentang DBD.
G. Distribusi
Proporsi Sikap
Berdasarkan
Pendidikan
Responden
Tentang
Pencegahan DBD Tabel 5.11. akan menggambarkan distribusi proporsi sikap berdasarkan pendidikan responden mengenai pencegahan DBD.
Tabel 5.11. distribusi proporsi sikap berdasarkan pendidikan responden tentang DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Sikap Pendidikan
Negatif
Total
Positif
n
%
n
%
n
%
SD
1
6,7
14
93,3
15
100
SLTP
0
0
24
100
24
100
SLTA
0
0
31
100
31
100
Perguruan Tinggi
0
0
3
100
3
100
Total
1
1,4
72
98,6
73
100
Tabel 5.11. menggambarkan bahwa hampir sebagian besar responden yang berasal dari tingkat pendidikan sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi mempunyai sikap positif terhadap usaha pencegahan DBD. Hanya satu responden (1,4%) yang berasal dari tingkat pendidikan sekolah dasar memiliki sifat negatif terhadap usaha pencegahan DBD.
H. Distribusi Proporsi Praktek Berdasarkan Pendidikan Responden Tentang Pencegahan DBD Tabel 5.12. akan menggambarkan distribusi proporsi praktek berdasarkan
pendidikan responden tentang pencegahan DBD.
Tabel 5.12. distribusi proporsi praktek berdasarkan pendidikan responden tentang DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Praktek Pendidikan
Kurang
Cukup
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
n
%
SD
8
53,3
6
40
1
6,7
15
100
SLTP
6
25
11
45,8
7
29,2
24
100
SLTA
3
9,7
25
80,6
3
9,7
31
100
Perguruan Tinggi
1
33,3
0
0
2
66,7
3
100
Total
18
24,7
42
57,5
13
17,8
73
100
Tabel 5.12. menggambarkan bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar berjumlah 15 responden dan hampir separuhnya (8 responden / 53,3%) mempunyai tingkat praktek yang kurang terhadap pencegahan DBD, 6 responden (40%) mempunyai tingkat praktek yang cukup terhadap pencegahan DBD dan hanya 1 responden yang memiliki tingkat praktek yang baik terhadap pencegahan DBD. Responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP dalam penelitian ini berjumlah 24 responden dengan 6 responden (25%) mempunyai tingkat praktek yang kurang terhadap pencegahan DBD, 11 responden (45,8%) mempunyai tingkat praktek yang cukup terhadap
pencegahan DBD dan sebanyak 7 responden (29,2%) memiliki tingkat praktek yang baik terhadap pencegahan DBD. Tabel 5.12. juga menggambarkan dari 31 responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTA sebanyak 25 responden (80,6%) mempunyai tingkat praktek yang cukup terhadap pencegahan DBD, 3 responden (9,7%) mempunyai tingkat praktek yang kurang terhadap pencegahan DBD dan sisanya sebanyak 3 responden (9,7%) mempunyai tingkat praktek yang baik terhadap pencegahan DBD.
I. Distribusi Proporsi Pengetahuan Berdasarkan Pekerjaan Responden Tentang Pencegahan DBD Tabel 5.13. akan menggambarkan distribusi proporsi pengetahuan berdasarkan pekerjaan responden tentang pencegahan DBD. Tabel 5.13. distribusi proporsi pengetahuan berdasarkan pekerjaan responden tentang DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Tingkat Pengetahuan Pekerjaan
Rendah
Sedang
Total
Tinggi
n
%
n
%
n
%
n
%
PNS
0
0
0
0
3
100
3
100
Karyawan Swasta
0
0
0
0
11
100
11
100
Wiraswasta
0
0
4
20
16
80
20
100
Ibu Rumah Tangga
0
0
3
8,1
34
91,9
37
100
Polisi
0
0
0
0
2
100
2
100
Total
0
0
7
9,6
66
90,4
73
100
Tabel 5.13. menggambarkan responden yang mempunyai pekerjaan sebagai PNS sebanyak 3 responden, karyawan swasta sebanyak 11 responden dan polisi sebanyak 2 responden semuanya memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD dan pencegahannya. Responden yang mempunyai pekerjaan sebagai seorang wiraswata sebanyak 20 responden, 4 responden (20%) mempunyai tingkat pendidikan yang sedang tentang DBD dan sisanya sebanyak 16 responden (80%) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD. Responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebanyak 37 responden, hanya 3 responden (8,1%) yang memiliki tingkat pengetahuan yang sedang tentang DBD dan sisanya sebanyak 34 responden (91,9%) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD dan pencegahannya.
J. Distribusi Proporsi Sikap Berdasarkan Pekerjaan Responden Tentang Pencegahan DBD Tabel 5.14. akan menggambarkan distribusi proporsi sikap berdasarkan pekerjaa responden tentang pencegahan DBD. Tabel 5.14. distribusi proporsi sikap berdasarkan pekerjaan responden tentang pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Sikap Pekerjaan
Negatif
Total
Positif
n
%
n
%
N
%
PNS
0
0
3
100
3
100
Karyawan swasta
0
0
11
100
11
100
Wiraswasta
0
0
20
100
20
100
Ibu rumah tangga
1
2,7
36
97,3
37
100
Polisi
0
0
2
100
2
100
Total
1
1,4
72
98,6
73
100
Tabel 5.14. menggambarkan bahwa responden yang bekerja sebagai PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan polisi mempunyai sikap yang positif terhadap pencegahan DBD. Responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga berjumlah 37 responden, hanya 1 responden (2,7%) yang mempunyai sikap negatif terhadap pencegahan DBD dan sisanya sebanyak 36 responden (97,3%) mempunyai sikap yang positif terhadap pencegahan DBD.
K. Distribusi Proporsi Praktek Berdasarkan Pekerjaan Responden Tentang Pencegahan DBD Tabel 5.15. akan menggambarkan distribusi proporsi praktek berdasarkan pekerjaan responden tentang pencegahan DBD.
Tabel 5.15. distribusi proporsi praktek berdasarkan pekerjaan responden tentang pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Tahun 2009 Praktek Pekerjaan
Kurang
Cukup
Total
Baik
n
%
n
%
n
%
n
%
PNS
0
0
1
33,3
2
66,7
3
100
Karyawan swasta
2
18,2
9
81,8
0
0
11
100
Wiraswasta
7
35
9
45
4
20
20
100
Ibu rumah tangga
9
24,3
21
56,8
7
18,9
37
100
Polisi
0
0
2
100
0
0
2
100
Total
18
24,7
42
57,5
11
17,8
73
100
Tabel 5.15. menggambarkan dari 3 responden yang bekerja sebagai PNS hanya 1 responden (33,3%) yang memiliki tingkat praktek yang cukup tentang pencegahan DBD dan 2 responden (66,7%) memiliki tingkat praktek yang baik tentang pencegahan DBD. Responden yang bekerja sebagai karyawan swasta pada penelitian ini berjumlah 11 responden, 2 responden (18,2%) mempunyai tingkat praktek yang kurang tentang pencegahan DBD, 9 responden (81,8%) mempunyai tingkat praktek yang cukup tentang pencegahan DBD dan tidak ada responden yang bekerja sebagai karyawan swasta mempunyai tingkat praktek yang baik tentang pencegahan DBD. Tabel 5.15. juga menggambarkan dari 20 responden yang bekerja sebagai seorang wiraswasta, 7 orang responden (35%) memiliki tingkat praktek yang kurang tentang pencegahan DBD, 9 responden (45%) memiliki tingkat praktek yang cukup tentang pencegahan DBD dan hanya 4 responden (20%) yang memiliki tingkat praktek yang baik tentang pencegahan DBD. Responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dalam penelitian ini sebanyak 37 responden dan sebagian besar (21 responden / 56,8%) mempunyai tingkat praktek yang cukup tentang pencegahan DBD, 9 responden (24,3%) mempunyai tingkat praktek yang kurang tentang pencegahan DBD dan hanya sebanyak 7 responden (18,9%) mempunyai tingkat praktek yang baik tentang pencegahan DBD. Responden yang bekerja sebagai polisi dalam penelitian ini hanya berjumlah 2 responden dan semuanya mempunyai tingkat praktek yang cukup
tentang pencegahan DBD.
BAB VI PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan pembahasan yang meliputi interpretasi dan diskusi dari hasil penelitian, keterbatasan penelitian dan selanjutnya akan dibahas juga tentang bagaimana implikasi dari hasil penelitian untuk pelayanan keperawatan dan penelitian yang berhubungan dengan DBD.
A. Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian ini seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bertujuan untuk
mengidentifikasi
dan
menggambarkan
perilaku
keluarga
tentang
pencegahan penyakit DBD. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Agustus 2009 di daerah RW 09 kelurahan Kramatpela dengan pengumpulan data menggunakan tekhnik wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti kepada 73 responden. Perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari 3 domain, yaitu pengetahuan, sikap, dan praktek, berikut uraian hasil penelitian dari 3 domain tersebut.
1. Pengetahuan Keluarga Tentang DBD dan Pencegahannya Notoadmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu yang didapatkan dari lima penginderaan individu seperti indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasa terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga mampu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penyakit DBD dan caracara pencegahannya. Hasil penelitian didapatkan bahwa hampir sebagian besar keluarga atau sebanyak 66 keluarga (90,4 %) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap DBD dan pencegahannya, sebanyak 7 keluarga (9,6 %) memiliki tingkat pengetahuan yang sedang terhadap DBD dan pencegahannya dan tidak ada keluarga yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah terhadap DBD dan pencegahannya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata keluarga di RW 09 Kelurahan Kramatpela mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD.
Peneliti berpendapat bahwa tingginya tingkat pengetahuan
keluarga disebabkan karena pemerintah dalam hal ini adalah Depkes RI melakukan sosialisasi informasi tentang DBD dan pencegahannya yang berupa penyuluhan melalui media cetak, media elektronik dan penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Upaya pemerintah tersebut membuat keluarga mendapatkan informasi mengenai DBD dan pencegahannya dan secara langsung akan meningkatkan tingkat pengetahuan keluarga mengenai DBD.
Tingginya
tingkat
pengetahuan
keluarga
tentang
DBD
dan
pencegahannya juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pendidikan mayoritas responden adalah SLTA (42,5%) dimana pengetahuan dan pemahaman responden tentang usaha pencegahan penyakit DBD kemungkinan lebih baik daripada
pendidikan SD dan SLTP. Muzaham (1995) menyatakan bahwa pendidikan formal pada dasarnya akan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk berpikir rasional dan objektif dalam menghadapi masalah hidup terutama yang berkaitan dengan penyakit DBD. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan diikuti oleh semakin tingginya tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang. Tingkat pengetahuan keluarga yang tinggi tentang DBD dan pencegahannya akan sangat mempengaruhi tugas kesehatan yang dimiliki oleh keluarga, yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan yang ada didalam keluarga. Dengan tingkat pengetahuan yang tinggi diharapkan keluarga mampu mengenali dan mengidentifikasi masalah kesehatan yang terjadi di dalam keluarga. Kesadaran akan tumbuh pada tiap anggota keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap DBD jika keluarga sudah dapat mengenal masalah kesehatan yang berhubungan dengan DBD (Wahit, 2006). Tingkat pengetahuan keluarga tentang DBD dan pencegahannya di RW 09 Kelurahan Kramatpela rata-rata sudah cukup tinggi, tetapi angka
kejadian DBD di daerah ini pada tahun 2008 masih cukup tinggi yaitu sebanyak 40 kasus. Hal ini disebabkan karena keluarga yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap DBD dan pencegahannya belum tentu memiliki tingkat ketrampilan yang baik untuk melakukan tindakan pencegahan DBD. Bloom (1987, dalam Notoadmodjo 2003) mengatakan domain perilaku dibentuk oleh 3 ranah, yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah attitude (sikap), dan ranah psikomotor (praktek). Jadi pengetahuan hanya merupakan dasar atau domain terendah keluarga untuk membentuk suatu perilaku yang berkaitan dengan upaya pencegahan DBD. WHO (1999, dalam Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa pendekatan edukasi berupa pendidikan kesehatan akan lebih tepat bila digunakan untuk pembinaan dan peningkatan kesehatan di dalam keluarga karena dapat meningkatkan pengetahuan dan menimbulkan kesadaran tentang kesehatannya serta perubahan yang dicapai dapat bertahan lebih lama. Peran perawat komunitas dalam hal ini sangat diperlukan karena perawat mempunyai peran dalam upaya pencegahan primer terhadap penyakit DBD. Pencegahan primer yang dapat dilakukan oleh seorang perawat komunitas adalah dengan cara memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga secara berkala tentang pencegahan penyakit DBD. Promosi kesehatan juga dapat dilakukan melalui media atau gerakan masyarakat seperti kampanye jumat bersih dan program-program yang mengarah ke peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatan khususnya tentang pencegahan DBD. Tujuan dari
pencegahan primer adalah agar tidak terjadi penyakit DBD di masyarakat ataupun di dalam keluarga.
2. Sikap Keluarga Tentang Pencegahan DBD Notoatmodjo (2003) mengatakan sikap adalah respon individu yang masih bersifat tertutup terhadap suatu rangsangan dan sikap tidak dapat diamati secara langsung oleh individu lain. Dalam penelitian ini sikap keluarga adalah bagaimana keluarga bersikap terhadap pencegahan DBD. Dari hasil penelitian diketahui hampir seluruh responden (72 responden) atau sekitar 98,6 % yang memiliki sikap yang positif tentang pencegahan DBD. Sikap pencegahan ini meliputi kecenderungan keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan DBD seperti melakukan gerakan 3M (menutup, menguras dan mengubur) tempat-tempat yang dapat menjadi sarana perkembangbiakan vektor DBD, menggunakan kelambu saat tidur dan ikut berpartisipasi dalam gerakan 3M yang diadakan di lingkungannya. Dengan demikian masyarakat RW 09 Kelurahan Kramatpela sudah memiliki sikap yang positif terhadap pencegahan DBD. Tingginya angka kejadian DBD di RW 09 Kelurahan Kramat Pela kemungkinan karena sikap belum merupakan suatu tindakan tetapi merupakan predisposisi tindakan dan sesuatu yang belum tentu akan dikerjakan jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan lingkungan sekitar, dan dipengaruhi oleh situasi atau kondisi yang memungkinkan keluarga untuk melakukan praktek pencegahan DBD.
3. Praktek Keluarga Terhadap Pencegahan DBD Robert Kwick (1974, dalam Notoadmodjo, 2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Skinner (1938, dalam Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Praktek dalam penelitian ini adalah tindakan yang dilakukan oleh keluarga yang berhubungan dengan kegiatan PSN DBD melalui pelaksanaan 3M (menguras, menutup, dan mengubur) dalam upaya pencegahan penyakit DBD. Dalam hal ini cara yang terbaik untuk mendapatkan informasi mengenai praktek yang dilakukan oleh keluarga adalah dengan cara mengobservasi secara langsung pada penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di daerah RW 09 Kelurahan Kramatpela diketahui 17,8% keluarga termasuk dalam kategori praktek baik, 57,5% keluarga termasuk dalam tingkat kategori praktek cukup, dan 24,7% keluarga termasuk dalam tingkat kategori praktek kurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (57,5%) keluarga termasuk dalam tingkat kategori cukup. Hal ini menyebabkan masih tingginya angka kejadian DBD yang terjadi di daerah RW 09 Kelurahan Kramatpela karena masih banyak keluarga yang tidak melaksanakan kegiatan PSN DBD secara sungguh-sungguh. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sebagian besar responden (91,8%) membiarkan pakaian kotor bergantungan di belakang pintu, padahal hal tersebut dapat
mendorong terjadinya kejadian DBD karena nyamuk penyebab DBD menjadikan tempat tersebut sebagai tempat transmisinya. (Dirjen P2PL Depkes RI) Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden adalah seorang ibu rumah tangga (50,7%) dan jika dilihat dari distribusi frekuensi proporsi antara jenis pekerjaan dengan tingkat praktek didapatkan hasil bahwa responden yang bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga sebanyak 24,3% mempunyai tingkat praktek yang kurang, 56,8% mempunyai tingkat praktek yang cukup dan hanya 18,9% yang mempunyai tingkat praktek yang baik terhadap pencegahan DBD. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Maironah (2005) yang mengatakan bahwa seorang ibu rumah tangga mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya memutuskan mata rantai penularan penyakit di lingkungan keluarganya sendiri dan ibu rumah tangga mempunyai peran yang terdepan dalam pencegahan dan memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD di lingkungan rumahnya karena ibu rumah tangga memiliki tugas dan fungsi melaksanakan kegiatan untuk membuat rumah tangga menjadi bersih dan sehat, nyaman dan tenang serta aman bagi anakanak dan suaminya. Hal ini mungkin disebabkan karena responden belum mencapai ke dalam tahap perubahan perilaku, yaitu tahap adopsi, dimana menurut pendapat Rogers (1974, dalam Notoadmodjo, 2003) bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut sudah terjadi proses berurutan yaitu awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial (mencoba) dan adoption.
Green (1980) mengatakan bahwa untuk membentuk suatu perilaku diperlukan 3 faktor, yaitu predisposisi (faktor pendukung), faktor pemungkin dan faktor penguat. Penelitian ini berfokus pada salah satu faktor, yaitu faktor pendukung yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktek. Pengetahuan yang tinggi, sikap yang positif, jika tidak diimbangi dengan praktek yang baik maka tidak akan membentuk suatu perilaku baru. Ketiga domain ini sangat saling berhubungan satu sama lain, untuk membentuk suatu perilaku khususnya yang berhubungan dengan pencegahan DBD maka ketiga domain ini (pengetahuan, sikap dan praktek) harus dipenuhi secara maksimal oleh individu.
B. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini, keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:. 1. Desain yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, jadi hanya menggambarkan tingkat pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan penelitian dengan jenis penelitian kualitatif untuk menggali lebih dalam penyebab terjadinya kejadian DBD di dalam keluarga pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya. 2. Belum ada instrumen pengumpulan data yang baku dalam penelitian ini, sehingga instrumen dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan literatur yang didapatkan mengenai DBD dan sudah dilakukan uji validitas dan reabilitas terhadap instrumen ini. 3. Houthrone effect ; subjek penelitian mengetahui bahwa dirinya sedang diteliti sehingga dapat mempengaruhi jawaban responden.
C. Implikasi Hasil Penelitian 1. Implikasi Terhadap Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan keperawatan komunitas dan dapat dijadikan rujukan tambahan dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat. 2. Implikasi Terhadap Pelayanan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan berpengaruh pada peningkatan pelaksanaan upaya promosi kesehatan yang dilakukan oleh perawat komunitas, karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga belum memiliki tingkat praktek yang baik terhadap pencegahan DBD.
Promosi
kesehatan
dititikberatkan
pada
usaha
mewujudkan
pengetahuan dan sikap yang baik tentang DBD dengan tindakan nyata pencegahan DBD. 3. Implikasi Terhadap Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar penelitian selanjutnya bagi peneliti dan peneliti lainnya.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Rata – rata umur responden dalam penelitian ini adalah 37 tahun dengan umur termuda 22 tahun dan umur tertua 73 tahun.
2.
Pendidikan responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah SLTA (42,5%). Pendidikan akan mempengaruhi terbentuknya perilaku secara tidak langsung, karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuannya dan tingkat pengetahuan merupakan salah satu domain dalam pembentukkan suatu perilaku.
3.
Responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah ibu rumah tangga (50,7%) sehingga berpotensi untuk memperhatikan kesehatan lingkungannya, karena mempunyai banyak waktu untuk melakukan gerakan PSN DBD.
4.
Pengetahuan responden tentang DBD dan pencegahannya di RW 09 Kelurahan Kramatpela sudah tinggi. Hampir sebagian besar responden (90,4%) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai DBD dan pencegahannya. Tingkat pengetahuan responden yang tinggi dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan perilaku keluarga dalam melakukan upaya pencegahan penyakit DBD karena pengetahuan merupakan domain terendah dalam pembentukan perilaku seseorang.
5.
Secara umum sikap responden terhadap kegiatan PSN DBD sudah baik, dimana sebagian besar dari responden (98,6%) mempunyai sikap positif terhadap kegiatan PSN DBD dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD. Sikap positif ini merupakan faktor pendorong seseorang untuk melakukan peningkatan upaya pencegahan DBD.
6.
Praktek yang dilakukan oleh keluarga di daerah RW09 Kelurahan Kramatpela masih kurang baik, dimana hampir separuh dari jumlah responden (57,5%) memiliki tingkat praktek cukup terhadap tindakan pencegahan DBD. Domain praktek dalam pembentukkan suatu perilaku mempunyai nilai yang sangat penting, karena pengetahuan yang tinggi dan sikap yang positif terhadap upaya pencegahan DBD tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan praktek yang baik.
B.
Saran 1.
Keluarga Dalam upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD, partisipasi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat sangat diperlukan. Untuk itu diharapkan masing-masing keluarga dapat secara aktif dan berkesinambungan melakukan gerakan 3M di lingkungan rumahnya.
2.
Puskesmas Kelurahan Kramatpela Puskesmas diharapkan membuat suatu kebijakan baru terkait dengan program pencegahan DBD dan mengoptimalkan kembali program yang sudah dibuat untuk pencegahan DBD seperti gerakan PSN DBD, pemantauan jentik, penyebaran pamflet atau poster tentang kegiatan pencegahan.
3.
Pelayanan Keperawatan Komunitas Pelayanan keperawatan khususnya keperawatan komunitas diharapkan mampu menjalankan perannya dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD dengan melakukan kegiatan promosi kesehatan yang
berupa
memberikan pendidikan kesehatan tentang cara pencegahan penyakit DBD kepada keluarga secara berkala. 4.
Bagi Peneliti Lain Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam dengan menggunakan penelitian kualitatif mengenai faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian DBD agar dapat diketahui penyebab atau
masalah utama yang terjadi yang menyebabkan masih tingginya kejadian DBD.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom. The Teaching Process Theory and Practice Nursing. USA: Appleton Century. 1987 Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI. 2007
Effendi. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. 1998 Green & Kreuter. Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach. Toronto: Mayfield Publishing Company. 2000 Hadinegoro. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: FKUI. 1999 Hendarwanto. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. 1996 Hurlock. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. 1998 Mahyudin. Konsep Keperawatan Kesehatan Komunitas. 2009 http://tugassekolahonline.blogspot.com/2009/02/konsep-keperawatankesehatan-komunitas.html. Diperoleh tanggal 18 Juni 2009 Maironah. Peran Ibu dalam Pencegahan DBD. 2005. http://www. infoibu.com. diperoleh tanggal 6 April 2009
Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: EGC. 2000 Marlina. Perilaku Keluarga terhadap Usaha Pencegahan Penyakit DBD di Lingkungan Rumah. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2007 Martinah. Fenomena Wabah DBD di Musim Kemarau. 2005 http://www.suarakaryaonline.com/news.html. Diperoleh tanggal 11 April 2009. Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. Ilmu Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Sagung Seto. 2006 Muhazam. F. Memperkenalkan Sosiolagi Kesehatan. Jakarta: UI Pres. 1995 Noor, Nasry. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rineka Cipta. 2006 Notoadmodjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. 1997 Notoadmodjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003 Purwanto. Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 1999 Sardjana & Nisa. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Press. 2007 Sastroasmoro, Sudigdo. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2002 Setiawan. Pendidikan Kesehatan. 2008. http://ckj-ckj.blogspot.com/. Diperoleh tanggal 9 April 2009. Suhendro, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. 2006 Suliha, dkk. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC. 2002 Tapan, Erick. Demam Berdarah dan Tifus. Jakarta: Pustaka Populer Obor. 2004 WHO. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC. 1999 Widiastuty, P. Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: EGC. 2005 Widoyono. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga. 2008
Yatim, F. Macam-Macam Penyakit Menular dan Pencegahannya. Jakarta: Pustaka Populer Obor. 2001