ah seorang nyonya muda yang usianya baru dua puluh lebih. Dialah seorang wanita modern, tubuhnya sedang, romannya cantik, badannya langsing. Rambutnya, yang hitam mengkilat, dipotong pendek seperti rambut pria. Tubuhnya yang ramping itu berpeta dengan bajunya, baju chipao, atau Shanghai-dress hitam dan bergigi-balang putih perak. Sepatunya juga berwama hitam. “Yang mana Nona In? “ sapanya lantas. “Aku,” In Hong jawab. “Nyonya, kaukah Nona Wie Menny atau nyonya Ong Sie Koe!” Nyonya itu mengangguk. “Benar,” sahutnya. “Rasanya kita belum pernah berkenalan, karena itu, nona mempunyai urusan apakah yang penting yang hendak dibicarakan dengan aku? “ Nyonya Ong cantik dan manis akan tetapi suaranya serak. “Kapankah Tuan Ong keluar? “ “Kira jam 6 magrib kemarin.” “Ia pulang atau tidak tadi malam? “ “Tidak. Ia telah membilangi aku bahwa ia tidak akan pulang: Ia telah berjanji dengan dua orang sahabatnya untuk pergi ke Soochow untuk menagih hutang. Besok barulah dia akan pulang. Ada apa nona menanyakan tentang suamiku itu? “ “Harap kau tidak kaget, nyonya. Kami hendak menyampaikan suatu kabar buruk...” In Hong berkata begitu sebab ia lihat si nyonya kaget. “Kabar apakah itu? “ Nyonya Ong mendesak. “Lekas bilangi aku! Apakah telah terjadi sesuatu atas dirinya Sie Koen?“ “Ya, nyonya,” sahut In Hong perlahan. “Ia telah menutup mata...” “Oh...!” berseru nyonya itu, tertahan. “Nona In, bagaimana kau ketahui itu? “ “Menyesal, nyonya, aku telah melihat jenazahnya,” sahut pula In Hong, yang terus menuturkan hal diketemuinya mayat Sie Koen di kali di dekat jembatan Tsing-shih. Menny menjerit menangis. “Dia tentu dianiaya dua sahabatnya itu!” teriaknya kemudian. In Hong membujuki, buat membikin orang bersabar. “Kenapa nyonya tahu kedua sahabat itu yang mencelakainya? “ “Sebab merekalah dua orang buaya darat besar dari Shanghai Timur!” sahut Nyonya Ong. “Mereka mempunyai murid dan tukang pukul sejumlah beberapa ratus orang, yang semua terdiri dari bangsa luntang-lantung dan buronan. Dua orang itu tukang melepaskan uang panas akan tetapi mereka sendiri tidak mempunyai uang, biasanya mereka pinjam dengan paksa dari sahabat-sahabatnya. Umpama Sie Koen, dia telah dipinjam lima potong emasnya, sudah sering mereka ditagih, belum juga mereka mau bayar pulang. Kata mereka, orang yang berhutang pada mereka masih belum membayar kepada mereka. Itulah sebabnya kenapa mereka mengajak suamiku pergi menagih ke Soochow. Menurut dugaanku, hutang itu telah dibayarkan kepada mereka. Karena sudah terang, tidak ada yang berhutang kepada mereka yang berani main gila atau membayar ayal-ayalan. Beberapa sahabat lainnya dari Sie Koen juga telah dipinjam uangnya dan sampai sekarang masih belum dibayar pulang. Maunya mereka ialah hutang itu dianggap sebagai sudah hanyut di sungai Whang-poo. Siapa diam saja, yaitu tidak memaksa menagih, dia selamat, sebaliknya, siapa mendesak padanya, mereka tak segan-segan menurunkan tangan jahat! Membunuh orang bagi mereka adalah hal umum. Mereka itu jahat tetapi Sie Koen menganggapnya baik. Sie Koen tidak mau percaya keteranganku. Oh, Sie Koen...” Nyonya ini menangis sesenggukan “Nyonya kenal dua buaya darat itu? “ tanya Kat Po. “Siapa nama mereka? Di mana tinggalnya mereka? “ “Yang satu A Hok dan yang lain A Kin,” sahut si nyonya. “Aku tidak tahu di mana mereka tinggal tetapi aku tahu mereka membuka sebuah warung teh di dekat Yangtze-poo dan setiap hari jam duabelas tengah hari tentu mereka berada di sana mengepalai perjudian. Pernah aku naik oto bersama Sie Koen lewat di sana-Chun-kung Road-dan ia menunjuki aku warung teh itu.” “Dapatkah kau memberitahukan aku namanya warung teh itu serta letaknya yang tepat? “ “Aku tidak tahu tetapi aku ketahui keletakannya.” “Sekarang begini,” kata In Hong, “sebagai Nyonya Ong, dapatkah kau mengajak kami ke warung teh itu? Kau sendiri, kau dapat sekalian menanyakan tentang suamimu.” “Buat guna Sie Koen, dapat aku menunjuki kau,” kata Menny. “Cuma kita bangsa lemah dan mereka itu bangsa kasar, kalau kita lancang masuk, kita dapat diperhina ataupun nanti dilukakan mereka! Paling benar kita melaporkan dahulu pada polisi, supaya polisi turut bersama kita...”
“Hm! Kami bangsa lemah? “ Kat Po berseru mendongkol. “Aku bilang terus terang kami tidak takut buaya darat atau cabang atas! Hayo kau antarkan kami, jangan kau takut! Minta bantuan polisi? Hm! Detektip To menganggap kematian suamimu sebagai perkara bunuh diri, dia tidak ingin menyelidiki lebih jauh!” “Benarkah polisi demikian dungu hingga dia tidak mau mengurus perkara jiwa ini? “ tanya si nyonya, heran dan penasaran. “Aku kasi tahu padamu!” Ouw A campur bicara. “Aku seorang diri, aku dapat melawan puluhan buaya darat, maka itu, kami bertiga, kenapa kami mesti jeri pada kawanan penjahat itu? Dia ini ialah Oey... ayo... In Hong yang berkenamaan!” “Oh, kiranya Nona In Hong!” kata Menny. “Maaf, maaf!” “Sebenarnya bukan melainkan suamimu seorang yang kena dibikin celaka,” In Hong kata. “Masih ada beberapa korban lainnya. Itulah sebabnya kenapa kami hendak mencari tahu perkara ini. Kau mengarti sekarang? “ “Ya, nona. Kalau begitu, mari aku antar kau!” Nyonya ini menepas airmatanya. “Chun-kung Road di Yangtze-poo itu jauh dari sini,” kat a Kat Po. “Kita harus menyewa oto!” “Tak usah,” kata Menny. “Aku mempunyai sebuah kereta tua yang dapat membawa kita kesana. Modelnya saja sudah lewat jaman, mesinnya masih baik sekali dan pasti memuaskan!” Tak jauh dari Kang Tsing Building, di tepi jalan, berdiam sebuah sedan model kuno wama kuning, setelah Menny memasuki kuncinya, mesinnya kendaraan itu lantas berbunyi. “Silahkan naik!” si nyonya mengundang ketiga tetamunya sambil ia turun untuk membukai pintu. Ouw A naik paling dulu, Kat Po menyusul. In Hong baru menaruh sebelah kakinya ketika ia bertanya, “Mana sopirmu, Nona Menny? “ “Sudah beberapa hari dia terserang malaria, karenanya saban keluar, terpaksa aku mengendarai sendiri sedan ini,” sahut Nyonya Ong. Selekasnya In Hong berada di dalam kereta, pintu oto segera ditutup dan anak kunci diputar pula, maka menggeleserlah sedan itu di jalan yang sunyi itu. Sedan itu sudah tua, hanya sudah salin rupa menjadi putih. Di bagian depan, tempat sopir kapnya sudah tidak ada, sebagai gantinya dipasanglah kap model gubuk. Tempat duduk terpisah dari tempat sopir, di sisinya ada sebuah pipa, kalau si penumpang mau menyuruh sesuatu kepada sopir, dia mesti bicara dimulut pipa itu. In Hong menanyakan sopir sebab ia melihat, sangat tak surup Menny yang demikian modern mengendarai oto kuno itu. Ia heran, meski ia tidak bercuriga sesuatu. Jawaban Menny masuk di akal. Hanya setelah berada di dalam oto, kecurigaannya timbul. Caranya Menny menutup pintu tak wajar, dan gerakannya naik ke tempat duduk sopir, cepat luar biasa. Demikian pun caranya dia melarikan oto itu. Kat Po dan Ouw A sebaliknya tidak menyangsikan apa juga. Segera juga kecurigaan In Hong berbukti. Ia meraba pintu oto, untuk kagetnya, ia tidak memegang kunci. Tanpa pegangan pintu oto tidak dapat dibuka, dan itu berarti, mereka sukar keluar dari dalam oto itu! “Kat Po, kita terpenjara di dalam oto tua ini!” kata si nona, sabar dan tenang, walaupun mereka sudah terjebak, artinya mereka tengah terancam bahaya. “Apa? “ tanya Kat Po, kaget. Ia pun segera mendapat kenyataannya. “Bukankah dia bergurau maka dia mengurung kita dalam oto ini? “ tanya Ouw A, tertawa. “Mari kita hajar pecah jendela kacanya!” kata Kat Po. “Kita harus bekuk perempuan busuk itu!” “Aku menduga kepada kaca yang tak dapat retak,” kata In Hong tawar. “Kau cobalah!” Kat Po meloloskan sebelah sepatunya, dengan itu dia menghajar kaca oto. Ia mendapat bukti dari dugaan In Hong. Kaca kuat dan tak pecah. Ketika ia mencoba ke kaca samping dan belakang, sama juga kesudahannya. “Coba putar kacanya,” kata Kat Po. “Percuma, putarannya juga sudah disingkirkan,” kata In Hong, tetap tenang. “Habis, apakah kita mesti berdiam saja, untuk menantikan sang maut? “ tanya Kat Po, yang panas hati berbareng bingung.
“Apakah kamu ada membawa sesuatu alat atau barang besi yang kecil? “ In Hong tanya L Ia menduga bahwa Ouw A dan Kat Po tak akan membawa barang yang disebutkan itu tetapi ia toh menanya, sekedar untuk memenuhkan pengharapan, kalau-kalau... “Tidak,” sahut Kat Po, masgul. “Cuma pisau lepit serba guna...” “Baik,” kata In Hong. “Mari kasikan itu padaku!” Kat Po merogoh sakunya dan mengeluarkan pisaunya itu. In Hong menarik keempat macam alat serba guna itu, untuk dicoba satu demi satu, dimasuki ke dalam liang kunci, untuk diputar atau dipakai mengorek. Ia mencoba berulang-ulang, ia mengorek pergi pulang. Ia mesti menggunai tempo dan otaknya, memikir pelbagai cara mengorek itu. Daun jendela tak terbuka tetapi berkisar sedikit. Sementara itu oto sudah melintasi jembatan dan mengkol ke Pailao-huai Road, rodanya terus berputar dengan cepat. “Ah, In Hong...” kata Kat Po, berduka, “asal jendela ini terbuka sekaki setengah saja, dapat kita nyeplos keluar. Kalau tidak, kita pasti bakal terus terkurung sampai mati...” In Hong tidak menjawab. Ia berdiam mengawasi jendela itu. Ia memikiri daya untuk membuka terus. Kat Po menjadi putus asa. Daun jendela berkisar naik, lalu turun pula ke tempat asalnya. Ketika oto sampai di dekat Yangtze-poo dan membelok ke Chun-kung Road di sepanjang sungai Whang-poo, Menny meluncurkannya sekeras-kerasnya di jalan yang sepi dan gelap. Tak ada lain kereta atau orang di situ. Segera dia mendekati Woosung. Kat Po melihat kedepan. Tampak air sungai Whang-poo bergelombang. Tampak juga seorang polisi bermotor lagi mcndatangi, hanya jaraknya masih sangat jauh. In Hong terus bungkam akan tetapi tangannya bekerja semakin keras. Tepat itu waktu, Menny mengangkat sebelah tangannya dan menarik sesuatu, atas mana tendanya lantas terangkat. Maka oto itu menjadi oto tanpa kap. Habis itu dia berjongkok di tempat duduknya. Kat Po heran. Mau apa nyonya itu? Dan, kemana dia mau pergi melarikan otonya itu demikian keras? Saking mendongkol, ia mencaci di antara pipa saluran bicara itu. Dilain ujung terdengar tertawa nyaring dan dingin dari Menny, disusul dengan kata-katanya ini, “Kamu menyangka aku Wie Menny? Hm! Aku bukannya Nyonya Ong Sie Koen! Hm! Hm!” “Habis, siapakah kau? “ Kat Po tanya. “Akulah Tong Soat Koan!” jawab si nyonya. “Kamu tahu siapa Tong Soat Koan? Hahaha!” Sekarang ini suara wanita itu tak serak lagi hanya merdu, sedap didengarnya. “In Hong,” kata Kat Po, “dia bilang, dialah Tong Soat Koan...” Oey Eng memotong, “Keadaan kita berbahaya sekali! Kau dengar kata-kataku! langan...” '\ Kata-kata In Hong dipegat suara tertawa di lain sebelah, tertawa keras sekali, diiringi kata-kata ini, “Nona-nona, kamu bertiga, hayo kamu turut aku pergi ke dalam sungai Whang-poo!” Begitu ia berkata, begitu si nyonya memutar kemudi otonya, diarahkan ke sungai yang lagi bergelombang dahsyat itu. Maka lantas juga terdengar suatu mencebur yang berisik sekali dan air muncrat tinggi dan jauh, dan tempo air muncrat itu sirap, oto tak nampak pula, terlihat melainkan sang ombak... V Hari itu pagi, kira jam 09.00, A Poan di dalam kantornya menerima telepon dari seksi polisi Yangtze-poo yang berkedudukan di Chun-kung Road, “Tadi malam lebih kurang jam 11.00, seorang anggauta kami yang pulang habis bertugas di Woosung, menemui suatu kecelakaan. Dia sedang bersepeda, dia mau pulang ke Shanghai. Dia berkendaraan di sepanjang tepian sungai Whang-poo. Tiba-tiba dia melihat sebuah oto dilarikan sangat keras ke arahnya. Ketika kedua belah pihak mendatangi semakin dekat, tiba-tiba oto itu seperti lepas dari kendali, memutar arah, terus terjun kesungai. Dia lantas berhenti, dia lari ke tepian. Dengan lampu sepedanya dia menyoroti tetapi tidak melihat apa-apa lagi. Di waktu malam dan gelap seperti itu, dia tidak bisa dapat pertolongan siapa juga. Ketika dia pulang, dia membuat laporannya. Baru tadi pagi-pagi kami pergi ke tempat kejadian. Kami juga tidak melihat apa-apa, tanda kecelakaan pun tidak.”
“Apakah agen itu melihat nomor otonya? “ tanya A Poan. “Nomor itu tidak kelihatan, cuma otonya sedan kuno, rodanya putih. Tempat duduk sopir dan penumpang terpisah kotaknya.” “Ya, itulah oto model ku\o yang sudah sangat jarang nampak. Apakah warnanya? “ “Warnanya pun tak tampak tegas, kira-kira kuning telur.” “Baiklah, kalau ada pengaduan atau laporan, akan aku urus perkara ini.” Habis berkata, A Poan menyampaikan laporan itu kepada bagian kendaraan. Selagi A Poan berniat menelepon In Hong, untuk menanyakan si nona tentang hasil kunjungannya ke rumah Ong Sie Koen, ia didatangi Lie Hoe Gan, yang terus saja berkata padanya, “Oh A Poan, celaka betul! Gangguan memedi di rumahku bertambah hebat! Tak tahu aku harus bikin apa...!” Dia menjatuhkan diri di kursi di samping meja, sepasang alisnya rapat, romannya sangat berduka. “Kalau begitu, kau pindah saja!” kata A Poan. “Tidak dapat. Itulah rumahku sendiri. Pindah pun sangat berabe. Laginya saudarasaudaraku tak ingin pindah dari rumah yang sangat menyenangkan itu.” “Apakah tetap Tjoei Go si setan penggantungan yang mengganggumu? “ “Ya. Kemarin malam aku pulang dari Venus Dancing hall kira jam 01.00. Lantas aku pulang masuk tidur. Sebelum aku pulas, aku melihat setan wanita itu yang mengenakan baju pendek dan celana panjang dengan sepatu sulamnya, rambutnya kusut, kulit mukanya hitam. Dialah Tjoei Go yang mati menggantung diri. Di lehernya masih ada tambang gantungannya. Dia berayun-ayun di luar jendela sebelah utara, sembari bersuit, memperdengarkan lagu hantunya... Hanya satu kelebatan, dia menghilang, akan muncul di sebelah depan, lagi berjalan di tembok.” “Ha? Dia jalan di tembok? “ sela Detektip To, yang duduk di meja di ruang tengah kantornya. “Ya, tuan, setan itu jalan di tembok,” Hoe Gan tegaskan. “Bagaimana dia dapat jalan di tembok? “ kata si detektip, bingung. “Dia jalan di tembok sama seperti orang jalan di tanah rata! Dia jalan secara begini!” Hoe Gan mengambil dua batang pena, ia bawa ke tembok, lalu ia lintangkan itu. “Kau maksudkan setannya Tjoei Go jalan dengan menghadap ke atas sembari rebah? “ Detektip To tanya. “Benar. Dia melintang, cuma kakinya nempel pada tembok. Dia jalan seperti kita berjalan di tanah. “ “Tak mungkin! Mana dapat orang jalan dengan tubuh direbahkan? Tentu tubuhnya roboh!” “Harap jangan lupa, tuan, dialah setan!” kata A Poan. “Untuk setan tak ada rintangan apa juga! Dia dapat menembusi tembok atau terbang di udara! Tinggal terserah kepadanya, dia mau rebah, mau terbang atau mau bagaimana!” “Kemudian bagaimana? “ tanya Tjie An, yang menjadi tertarik. “Aku lantas lari keluar dari kamarku, akan menggedor kamarnya kakakku yang nomor empat. Aku panggil kakak dan iparku datang ke kamarku itu. Ketika itu setannya Tjoei Go sudah jalan sampai di tembok gudang, mendekati tingkat keempat. Tibatiba cahaya terang lenyap, lenyap juga Tjoei Go. Hanya di lain saat, dia terlihat pula diluar jendela utara, tengah main ayunan dengan lehernya yang tergantung...” “Berapa jauhnya jendela utaramu itu dengan tembok gudang di tingkat keempat itu? “ “Sedikitnya dua puluh kaki lebih. Tjoei Go itu, sebentar dia bergelantungan diluar jendela utara, sebentar dia jalan di tembok. Dapatkah manusia biasa melakukan itu? Iparku takut hingga dia menjerit. Kakakku membuka jendela utara, dia mau pergi menangkap setan itu...” “Berhasilkah dia menangkapnya? “ tanya Tjie An. “Bukan saja dia tidak berhasil, dia malah disembur air hitam oleh setan itu!” “Habis, setannya? “ “Setannya menghilang pula!” “Kemudian? “ “Tadi malam aku pulang kira jam 01.00 juga. Selagi aku melewati tingkat kedua dan mau menindak ke tingkat ketiga, dalam gelap gulita, aku membentur setan penggantungan itu! Aku kaget dan takut sekali, aku kabur turun pula...” “Bukankah setannya Tjoei Go menantikanmu di tengah tangga? “ A Poan tanya.
“Tidak. Tiba di mulut tingkat kedua, aku menyalakan lampu listrik. Lantas aku menoleh kebelakang. Aku menjadi kaget dan heran. Yang menggantung diri bukan Tjoei Go hanya kakakku yang nomor lima! Lantas aku berteriak-teriak minta tolong! Semua saudaraku lainnya terjaga dengan kaget, semua lari kepadaku. Kami lantas menolongi saudaraku itu, yang telah pingsan. Kami mencoba menyadarkannya. Setelah itu kami tanya, kenapa dia menggantung diri. 'Tidak ada niatku membunuh diri', kata saudara kami itu. 'Disaat aku mau pulas, aku memandang ke jendela utara. Di sana aku melihat seorang lagi bergelantungan pada lehernya. Dialah seorang wanita dengan baju kuning yang bawahnya bergaris hijau, sepatunya sepatu sulam, rambutnya awutawutan dan kulitnya hitam. Ketika aku membuka jendela, untuk melihat tegas, dia lenyap dengan tiba-tiba. Lantas aku naik ke pembaringan. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Tak tahu kenapa aku jadi menggantung diri.' Keempat iparku jadi sangat ketakutan, hingga mereka mengajaki pindah, supaya rumah kami itu dijual, buat uangnya dipakai membeli rumah lain. Keempat kakakku menentang. Karena itu pagi ini dua iparku, yang ketiga dan keempat, pulang ke rumah orangtuanya, buat sementara waktu saja. Ipar kesatu dan kedua masih dapat memberanikan diri. Demikian soal kepindahan kami tinggal soal saja.” “Kemarin Nona In Hong pergi ke rumahmu, kau kebetulan keluar,” A Poan kasi tahu. “Nona itu ingin bicara denganmu, ia mengharap nanti dapat membebaskan kau dari gangguan setan itu. Mari kita pergi menjenguknya di Hung-yao Road. Nona In Hong kata dia dapat menaklukkan siluman dan menawan setan, lebih-Iebih dalam hal menangkap setan!” “Siapa itu Nona In Hong? “ Hoe Gan tanya. “Dialah Lie-hiap In Hong, pendekar wanita yang kesohor,” A Poan menerangkan. “Oh, dia!” kata Hoe Gan. “Baik, mari sekarang kita pergi padanya!” A Poan sudah lantas bersiap, maka pergilah mereka bersama. Di pintu pekarangan In Hong, mereka memencet bel. Hanya sebentar, muncullah seorang nona dengan pakaian biru seluruhnya. “Nona Hiang Kat, satu di antara ketiga nona gagah itu,” A Poan membisiki kawannya. “Sungguh cantik!” Hoe Gan memuji. “Kau belum melihat Nona In Hong,” A Poan bilang. “Dia lebih cantik lagi!” Segera juga pintu pekarangan dibuka A Poan heran. Sikap si nona tak gembira seperti biasanya. “Selamat pagi, Nona Hiang Kat!” ia menyapa. Ia terus memperkenalkan Hoe Gan, untuk kemudian menanya, “Nona In Hong ada di rumah atau tidak? “ “Ia belum pulang.” “Apakah ia pergi semenjak tadi pagi? “ “Bukan. Ia pergi sejak kemarin magrib kira jam 06.30. Ia pergi bersama Kat Po dan Ouw A.” “Tahukah nona kemana perginya mereka? “ “Mereka pergi kemarin setelah kami menerima telponmu. Mereka pergi ke Kang Tsing Building di Kiao-chow Road, buat mengunjungi keluarga Ong Sie Koen. Setelah itu, entah kemana lagi perginya mereka...” A Poan terkejut. “Mungkinkah terjadi sesuatu? “ tanyanya, ragu-ragu. “Entahlah...” “Bagaimana kalau sekarang kita pergi bersama ke Kang Tsing Building untuk melihat-lihat? “ A Poan sarankan. “Baiklah. Memang aku berniat pergi ke sana. Kamu tunggu, hendak aku masuk dulu sebentar.” Ia masuk ke dalam, akan membekal sebuah revolver, untuk menutup jendela dan pintu. Ia pun mengunci pintu pekarangan. Tidak lama, mereka sudah berada di muka Kang Tsing Building. Mereka naik ke tingkat tiga dari flat itu, untuk di muka kamar nomor 303 memencet bel pintu. Sampai sekian lama, meski beberapa kali mereka menekan kenop, tidak ada orang yang menjawab atau membukai pintu. Maka akhirnya mereka mencari penjaga flat, untuk meminta keterangan. “Bukankah di sini ada tinggal seorang setengah tua bernama Ong Sie Koen? “ “Apakah dia yang tubuhnya gemuk? “ “Benar .” “Dia menempati rumah nomor 303, tingkat tiga.” “Dia berkeluarga atau tidak? “
“Dia tinggal bersama isterinya. Mereka menikah belum dua bulan.” “Sudah berapa lama dia tinggal di sini? “ “Tiga bulan.” “Kecuali Ong Sie Koen, apa ada lain orang yang tinggal di dalam rumahnya? “ “Tidak. Cuma mereka sepasang suami isteri.” “Bagaimana Nyonya Ong itu? “ “Dialah Nona Wie Menny yang sangat terkenal gemar bergaul,” sahut si penjaga rumah, suara dan sikapnya memandang rendah. “Buat apa kau menanyakan begini melit? “ “Aku mempunyai tugas meneliti keadaannya,” sahut A Poan, yang terus perkenalkan diri sebagai orang polisi. Ia juga memperlihatkan surat keterangannya. “Tadi kami membunyikan bel pintu rumah nomor 303 itu tetapi Kami tidak memperoleh jawaban. Tahukah kau, Nyonya Ong ada di rumahnya atau tidak? “ “Oh,” kata penjaga pintu itu. “Di dalam flat ini sama sekali ada lima puluh pintu, orang yang datang atau pergi, yang keluar masuk, tak hentinya, tak dapat aku memperhatikan mereka satu demi satu. Karena kamu telah membunyikan bel dengan sia-sia, mungkin Nona Wie Menny serta suaminya itu, tuan Ong Sie Koen, kebetulan lagi keluar.” “Kau lihat atau tidak kalau-kalau kemarin magrib ada tiga orang nona datang kemari? “ tanya Hiang Kiat. “Mereka...” “Yang datang kemarin magrib bukan cuma tiga orang perempuan,” memotong si penjaga pintu. “Kau belum dengar habis perkataanku,” kata Hiang Kat, sabar. “Ketiga nona itu mudah diingat, sebab pakaian mereka beda satu dari lain. Nona yang satu mengenakan kemeja warna kuning muda dengan celana jas panjang kuning muda juga. Yang satu lagi serupa pakaiannya, cuma warnanya putih mulus. Dan yang ketiga, bajunya pendek hitam dan celananya panjang hitam juga...” “ Aku tidak merasa pasti. Kemarin aku pergi menyampaikan laporan kepada pemilik flat ini,” sahut si penjaga pintu. “Hanya ketika aku kembali, aku melihat tiga nona yang pakaiannya luar biasa bersama-sama seorang wanita berpakaian Shanghai dress hitam bergigi-balang putih perak tengah berjalan turun di tangga...” “Apa? “ tanya Hoe Gan, terperanjat. “Nona dengan Shanghai-dress hitam yang bergigi-balang putih perak? Oh, kalau begitu, Nona In Hong beramai pun bertemu dengan Tong Soat Koan...!” “Eh, Lie, jangan kau bingung tidak keruan!” tegur A Poan. “Tak mestinya asal wanita berpakaian hitam dengan bergigi-balang putih perak lantas dialah Tong Soat Koan!” “Bukankah wanita itu berpotongan muka kwacie? “ Hoe Gan tanya si penjaga pintu. “Benar.” “Bukankah dia tak tinggi dan tak kate dan tubuhnya langsing serta romannya sangat cantik? “ Hoe Gan menegaskan. “Benar,” penjaga pintu itu mengangguk. “Oh, Thian, tak salah lagi!” Hoe Gan berseru, mengeluh. “Pastilah Nona In Hong bertemu dengan Tong Soat Koan...!” Dengan lantas dia jadi bergelisah. “Tahukah kau, kemana perginya mereka itu? “ Hiang Kat tanya. “Mereka pergi naik sebuaht oto di tepi jalan sana. Itulah sebuah oto tua sekali. Tempat duduk sopir dan penumpang terpisah. Si wanita dengan Shanghai-dress hitam yang menutup pintu oto, lantas dia lompat naik ke depan, untuk segera menjalankan mesinnya. Sudah lama aku tidak pernah melihat oto semacam itu.” “Bagaimanakah macamnya? “ “Oto dengan ban putih, bagian depannya tanpa kap, cuma ditutup tenda.” “Warnanya? “ tanya A Poan, tegang hatinya. “Kuning muda!” “Oh, celaka!” seru si detektip terokmok. “Oto itu sudah tenggelam di dasarnya sungai Whang-poo di dekat Woo sung...” “Sabar, A Poan,” kata Hoe Gan. “Tak semua oto tua dapat terjun ke sungai...” “Tapi inilah benar. Tadi pagi datang laporan dari polisi Chun-kung Road bahwa seorang polisi setempat telah menyaksikan sendiri oto semacam itu tercebur ke sungai di Woo-sung itu, begitu kecemplung lantas lenyap...” “Habis, siapakah wanita yang duduk di depan itu? “ “Entahlah. Mungkin dia Tong Soat Koan...”
“Kau masih menyebut mungkin! Toh sudah terang, tak dapat disangsikan lagi, bahwa dialah Tong Soat Koan si setan yang kelelap di dalam air!” “Nona Hiang Kat,” kata A Poan kemudian, “kelihatannya mungkin Nona In Hong bertiga telah mendapat kecelakaan kecemplung di dalam sungai Whang-poo. Kalau benar...” Detektip terokmok ini lantas jadi sangat lesu. “Aku numpang bertanya,” kata Hiang Kat pada si penjaga pintu. “Nona Wie Menny itu, atau Nyonya Ong Sie Koen, bagaimana roman atau potongan tubuhnya? “ Ia bersikap tenang sedangkan sebenarnya hatinya sangat gelisah. “Dialah seorang wanita biasa saja. Tubuhnya kate dan kecil, mukanya bundar, matanya kecil juga,” sahut si penjaga pintu. “Kau tahu atau tidak kalau-kalau wanita dengan Shanghai dress hitam itu ada hubungannya dengan Nona Wie Menny? “ Hiang Kat tanya pula. “Aku tidak tahu,” sahut si penjaga. Dia menggeleng kepala. “Belum pernah aku melihat wanita itu. Dia bukan penghuni flat ini dan juga bukan sanak atau kenalan salah seorang penghuni.” “A Poan, inilah aneh,” kemudian Hiang Kat kata pada si gemuk, “In Hong menjenguk Sie Koen dan wanita dengan Shanghai dress itu bukan anggauta keluarganya Sie Koen, kenapa mereka dapat bertemu satu dengan lain dan lalu pergi bersama? “ “Inilah soal sulit, nona,” kata Hoe Gan. “Tong Soat Koan bukan manusia, dialah setan, bahkan setan air, mana dapat dia diselidiki? Dia memang mau mencari pengganti jiwanya, maka dia melakukan pelbagai tipu untuk mengakali orang...” “Nona Hiang Kat,” kata A Poan, “sekarang baik kita pulang dulu, di rumah baru kita memikirkannya...” Hiang Kat setuju, bahkan ia pulang sendiri ke Hung-yao Road. Segera ia berdandan, menukar pakaian dan menyalin muka. Selesai itu, dengan membekal revolver, ia kembali ke Kiao-chow Road, ke dekat-dekat Kang Tsing Building, untuk membuat penyelidikan. A Poan, yang pulang ke kantor, terus mengasi laporan pada sep-nya. “Apa? “ tanya Tjie An, heran. “Benarkah In Hong, Kat Po dan Ouw A diceburkan ke sungai oleh Tong Soat Koan? “ Ia bersangsi. Tapi cuma sejenak, terus ia tertawa terbahak. Terhadap In Hong, ia jelus dan dengki, selagi panas hati, Ia menjumpai si nona mati. Sekarang pengharapannya itu kesampaian. Maka ia kata pada sebawahannya, “A Poan, sebentar aku jamu kau, setelah itu, kita pergi ke tempat dansa semalam suntuk! Hendak aku memberi selamat buat kematiannya In Hong!” Tapi hati A Poan panas. “Kematian In Hong berarti kehilangan tuan penolong bagi masyarakat”, kata ia. “Kematian itu harus disesalkan dan dibuat duka, kenapa kau justeru mau berpestapora karenanya? Aku menolak undangan kau ini, tuan! Kau pergilah berpesta seorang diri!” Tjie An tertawa pula. “Bukankah dia kata dia dapat menaklukkan siluman dan menangkap setan? “ katanya, sangat puas. “Bukankah dia menyuruh kami menanti dan menyaksikan dia menawan setan? Nah, sekarang dialah yang dibekuk setan! Bersamanya, dia kehilangan juga Kat Po dan Ouw A!” VI Kat Po dan In Hong melihat gerak gerik si wanita dengan Shanghai-dress hitam itu yang menyetir oto yang mereka tumpangi. Wanita itu membuka tenda oto dan berjongkok. Kat Po tidak curiga apa-apa, dia cuma heran. In Hong sebaliknya. Nona ini terkejut, ia bercuriga. Tiba-tiba ia dapat menerka bahwa mereka mau dicemplungkan ke dalam sungai! Itulah akal sangat licik dan jahat. Orang dikurung di dalam kereta yang tak dapat dibuka pintu dan jendelanya, yang kacanya tidak dapat dipecahkan juga. Itulah sangat berbahaya. Sekali kecemplung ke sungai, pasti orang akan mati napas sesak dan menenggak banyak air hingga perutnya kembung! Tak dapat orang meloloskan diri! Semenjak tadi, In Hong terus berusaha membuka jendela. Ia berhasil pula menurunkan sampai satu kaki lebih tiga atau empat dim. Justeru itu, ia melihat ancaman maut itu. “Lekas!” ia berseru. “Kamu turut aku!” Segera nona ini menggunai kepandaian dan kesebatannya. Sambil membalik tubuh
menjadi celentang, ia menceploskan kepalanya di renggangan jendela, kedua tangannya menyusul keluar. Tangannya itu dipakai menjambret ke atas, untuk menarik tubuhnya. Dibantu tolakan kedua kakinya, ia membikin tubuhnya nyeplos keluar, hingga ia jadi berada di atas oto. Ia bekerja cepat dan tanpa suara apa-apa. Si penyetir oto tidak dapat melihat apa yang orang lakukan di dalam oto itu. Dia justeru tertawa terbahak-bahak karena saking puas hatinya. Dia cuma pikir untuk mereka bersama-sama nyebur ke dalam sungai... Setelah lolos, In Hong membantui Ouw A, lalu Kat Po. Tak mudah buat Kat Po dapat nyeplos, tubuhnya jauh lebih besar. Dalam keadaan sangat mendesak itu, In Hong mendapat akal. Ia cekal kedua tangan Kat Po, ia menarik dengan kedua kakinya menjejak samping oto. Ketika itu, oto sudah terjun ke sungai, masuk ke dalam air. Ouw A mental sendirinya. Kat Po lolos juga tetapi dia pingsan, tempo In Hong menariknya muncul di muka sungai, dia diam bagaikan mayat. Keluar dari dalam air, In Hong dapat bernapas lega. Ia mesti terus menolongi Kat Po, tak sempat ia mencari Ouw A. Ia berkuatir kalau ia ingat Ouw A belum mahir ilmu renangnya. Dalam malam gelap, rembulan dan bintang-bintang tak bersinar. Gelombang tetap mendampar-dampar. Sukar untuk melihat sesuatu. In Hong pandai berenang tetapi berat tugasnya memegangi Kat Po, supaya orang tak usah kemasukan air dari mulut, hidung dan telinganya. Sambil mencoba berenang ke arah pinggiran, ia pun memikirkan Ouw A... Hampir si Burung Kenari membuka mulutnya, akan memanggil-manggil Ouw A tatkala matanya melihat suatu sinar kuning remang-remang yang bergerak-gerak jauh di sebelah depannya. Ia tidak tahu bahwa itulah sinar lenteranya si orang polisi, yang berdiri di tepian menyoroti ke muka sungai, mencari-cari oto yang tercebur dan tenggelam itu. Ia tidak mau membuka suara, karena ia bercuriga kalau-cahaya api itu datang dari kawannya si nyonya yang jahat yang mengenakan Shanghai-dress hitam bergigibalang putih perak itu... Tidak lama, lenyaplah sinar api itu. Tapi sinar itu menolong nona ini. Ia jadi ketahui mana arah tepian. Maka sambil menyeret Kat Po, ia berenang ke tepian. Sang gelombang membantu menolak tubuh mereka. Lalu, terus memegangi tubuh Kat Po, ia mulai memanggil, “Ouw A! Ouw A! Kau di mana? “ “Aku di sini!” datang penyahutan cepat. “Aku di sini... Oey Eng... aku tidak dapat bertahan... tenagaku... sudah... habis... aku... bakal lekas tenggelam...” In Hong girang berbareng berkuatir. Ia masih memegangi Kat Po, tidak dapat ia segera menolongi adik seperguruan yang termuda itu. “Lekas kau celentang, Ouw A!” ia berseru. “Kau geraki kedua kaki dan tanganmu. Tak nanti kau kelelap! Gerakilah kaki dan tanganmu, walaupun perlahan! Sabansaban kau mesti memanggil aku!” “Aku di sini... Aku di sini...” demikian suara Ouw A tetap lemah. Oleh karena tidak dapat ia menyia-nyiakan ketika, sambil menyeret tubuh Kat Po, In Hong berenang selekasnya bisa ke arah Ouw A. Di tempat segelap itu, sukar mencari orang. “Ouw A, kau di mana? “ berulang-ulang kakak seperguruan menanya. “Aku di sini...” sahut Ouw A. Suaranya masih jauh dan sangat lemah. Kemudian... “Ouw A, kau di mana? “ Tidak ada jawaban... “Ouw A, kau di mana? “ Kembali tidak ada jawaban... Ouw A kuat tetapi mungkin dia kehabisan tenaga. Mungkin, habis mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dia menjadi lelah, sedangkan diwaktu tercebur tadi tentulah dia menenggak juga air sungai. Dengan oto nyemplung pesat, mestinya dia terbanting ke muka air dan kaget, lalu terus tenggelam, hingga sekian lama, baru dia muncul dan ngambang, untuk berenang sebisa-bisanya. Berenang di dalam gelombang pun meminta tenaga berlebihan. Mungkin dia telah tenggelam dan kelelap... “Ouw A, kau di mana? “ ;
“Aku... aku... di sini... lekas… lekas...” Itulah suara si sembrono, yang biasanya keras, tetapi sekarang menjadi sangat lemah. Hanya sekarang suara terdengar lebih dekat. Terus In Hong berenang secepatnya bisa. Syukurlah, ia lantas dapat mendekati adik seperguruan itu. Ouw A berenang dengan tengkurap, kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak, perlahan dan kacau, tak teratur lagi. Itulah disebabkan keletihannya, karena dia masih mencoba sebisa-bisanya. Lagi beberapa detik, tentulah dia akan sudah tenggelam. Begitu ia kena pegang tubuh orang, begitu In Hong membalikinya. Syukur Ouw A masih sadar, dia dapat bernapas pula. Inilah menolong padanya. Dengan ditahan In Hong, bisa dia berenang pula dengan kedua kaki dan tangannya. Sekarang In Hong yang paling berat tugasnya. Ia mesti berenang dengan mengandalkan kaki saja. Kedua tangannya mesti memegangi tubuh Kat Po dan Ouw A. Ia menarik dua saudara itu menuju ke tepian. Celakanya mereka masih berada di tengah sungai. Sementara itu jauh di sebelah depan nampak setitik sinar lerang. Mestinya itu apinya sebuah kendaraan air. “Sebuah perahu lagi mendatangi,” kata In Hong pada Ouw A. Adik seperguruan itu girang. “Tolong! Tolong!” mendadak dia berkaok-kaok. Tapi suaranya tetap lemah. “Orang tak dengar suaramu!” kata In Hong. Ouw A tidak menghiraukan, ia berteriak pula berulang-ulang. Sinar api tadi mendatangi semakin dekat. Itulah sebuah perahu layar. Penghuni perahu sudah lantas mendapat dengar teriakan minta tolong. Perahu dilajukan lebih cepat. Lalu tibalah saatnya kedua pihak datang dekat satu pada lain. In Hong melepaskan tubuh Ouw A, ia menjambret pinggiran perahu, lantas ia menolak, mengangkat Kat Po. Dari atas beberapa orang lantas menyambuti, mengangkat naik Kat Po. In Hong girang, hatinya lega sekali. Ia jadi mendapat tenaga baru. Ia menyambar pula tubuh Ouw A, untuk terus diangkat. Lagi sekali awak perahu menolongi, maka Ouw A pun tiba diatas perahu seperti Kat Po. In Hong lantas menyusul. Ia dapat naik sendiri. Selekasnya ia mengucap terima kasih, ia meminjam lentera angin, untuk menyuluhi Kat Po, yang masih pingsan. Ia melihat sebuah benjol pada kepalanya adik seperguruan itu. Itulah terang akibat kepala membentur oto. “Apakah kamu mempunyai arak kao-liang? “ In Hong tanya. “Kalau ada, tolong bagi sedikit.” “Ada” sahut orang Yang diajak bicara, seorang setengah tua. “Syukurlah aku setan arak, selamanya aku sedia air kata-kata.” Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol whisky merek Kuda Putih. In Hong menyambuti, tanpa ayal lagi, ia membuka mulutnya Kat Po dan menuang isi botol itu ke dalamnya, kira-kira satu cangkir, kemudian dengan lekas ia berdaya menolongi. Ia tahu caranya bagaimana harus menolongi orang kelelap. Perahu sementara itu dilajukan terus. Beberapa awak perahu tidak dapat menanya In Hong, maka mereka menanya Ouw A kenapa bertiga mereka berada ditengah sungai. “Kami ditipu telur busuk, kami dicemplungkan ke dalam sungai,” jawabnya, sengit. “Ditipu? “ tanya seorang. “Inilah aneh! Coba ceritakan bagaimana tipunya si telur busuk? “ Awak perahu itu tahu, si telur busuk ialah orang jahat. “Aku tidak bisa bercerita,” kata Ouw A. “Aku juga kurang jelas. Baiklah kau tanya nona itu, Nona Oey... ayo... In Hong!” “Nona In Hong? “ awak perahu itu mengulangi “Oh inilah Nona In Hong? “ “Benar!” kata salah seorang awak, yang tubuhnya besar dan kepalanya gundul. Dia seperti kenal nama In Hong. “Oh, Nona In Hong! Tolong kau tuturkan caranya kau ditipu! Sudikah, nona? “ “Nanti aku tolongi dahulu kawanku ini,” sahul In Hong sambil bekerja terus. “Sebentar setelah dia sadar, dapat kita memasang omong. Kami pun harus menghaturkan terima kasih kepada kamu.” Terus kakak seperguruan ini mengangkat pergi datang kedua tangannya Kat Po, yang tubuhnya ia rebahkan celentang di depannya. Ia masih bekerja terus meskipun dada
si soemoay, adik seperguruan, sudah mulai bergerak. Ia baru berhenti selekasnya soemoay itu sadar. Mulanya Kat Po bingung, lantas ia ingat segala apa. In Hong membekal uang kertas tetapi uang itu rusak bekas kerendam dan tidak dapat dipakai lagi, maka itu, guna membalas budinya awak perahu, ia meloloskan jam tangannya, bersama sebotol whiskey, ia angsurkan kepada salah satu awak perahu sambil ia berkata, “Aku mengucap terima kasih untuk pertolongan kamu, harap kamu sudi terima ini barang tidak berharga.” Tukang perahu itu menyambut, ia mengawasi jam tangan itu sekian lama. Nampak ia sangat girang. “Ah, inilah jam tangan yang dapat berjalan sendiri!” katanya. “Kau baik sekali, nona!” Lantas ia masuki benda itu ke dalam sakunya. Selama itu, perahu berlayar terus masuk ke wilayah sungai Yangtze. “Kamu ini mau pergi kemana? “ In Hong tanya kemudian. “Ke Liuho!” Liuho tidak terpisah jauh dari Shanghai. In Hong suka mendarat di sana. Tiga awak perahu lainnya, yang melihat gerak gerik In Hong dan kawan itu, menghampirkan. “Tjoei Loojie, kau simpan apa itu dalam sakumu? “ mereka tanya. Panggilan “Tjoei Loojie” itu berarti, “Loojie, si nomor dua, tukang mabuk arak.” “Nona ini memberikan aku jam tangan selaku tanda mata,” sahut Loojie, yang tahu tak dapat ia mendusta. “Kamu jangan banyak berisik, supaya yang lain-Iain tidak tahu. Nanti, setelah aku jual, uangnya kita bagi rata berempat!” “Begitu pun baik, cuma, coba kasi kami lihat dulu jam tangannya,” kata satu diantara tiga kawan itu, yang agaknya kurang percaya. Tjoei Loojie mengasi lihat jam tangannya. Dan mereka itu melihatnya di pojok lain dari perahu itu secara diam-diam. Didalam gelap, mereka tetap menggunai lentera angin mereka. In Hong bertiga duduk-berkumpul. Ada tempat luang untuk mereka. Hanya Ouw A, tak peduli bajunya kuyup, dia sudah lantas rebah dan tidur pulas dengan menggeros keras. “In Hong,” tanya Kat Po, “ketika tadi kau dapat keluar dari dalam oto, kenapa kau tidak lantas hajar setan perempuan yang jahat itu atau kau membekuknya? Aku sangat benci dia, ingin aku memuaskan hatiku!” Memang, ingat si jahat, hawa amarahnya nona ini meluap. “Dia memang jahat akan tetapi untuk menghajar dia masih banyak waktunya,” kata In Hong. “Tak dapat aku menyerang atau membekuk dia selagi oto kabur sehebat itu. Umpama kita jatuh dari oto dan bertempur, bagaimana dengan kau dan Ouw A? Mana bisa kamu keluar dari dalam oto? Tidakkah itu berbahaya? “ Kat Po mengangguk! “Ya, aku tidak memikir sampai disitu,” katanya. “Aku heran akan wanita itu, tak peduli dia Tong Soat Koan atau bukan! Kenapa dia seperti telah mengetahui terlebih dahulu bahwa kita bakal datang ke Kang Tsing Building? Kenapa dia telah siap menantikan kita, bahkan dia dapat menyediakan juga otonya yang istimewa dan kuat itu? “ “Itulah bukan soal yang sederhana,” sahut In Hong. “Aku mencurigai satu orang. Dialah si tukang sayur yang mengangguk dengan A Poan ketika tadi pagi kita pergi ke jembatan Tsing-shih melihat mayatnya Ong Sie Koen. Tempo A Poan dan Lie Hoe Gan pergi ke jembatan itu, dia telah menantikan mereka dan dia dengan sengaja menuturkan hal ikhwalnya Tong Soat Koan serta menganjuri mereka pergi ke villanya Touw Eng Djin untuk membuktikan penuturannya mengenai Tong Soat Koan. Itulah sebabnya A Poan kenal padanya. Disini orang telah membuat rencana sedari siang-siang. Tadi pagi itu si tukang sayur tetap mematai-matai kita. Dia melihat kita menanyakan keterangan si tukang jahit, dia pasti telah menduga bahwa kita bakal mengetahui halnya Ong Sie Koen dan akan pergi membuat penyelidikan, maka dia lantas pulang untuk memberi laporan pada orang dibelakang layar itu, orang mana sudah lantas mengatur tipu dayanya yang liehay itu untuk membunuh kita. Sayang kau tidak dari tadi-tadinya mencurigai tukang sayur itu.” “Mungkinkah Nona Wie Menny isterinya Ong Sie Koen serta si wanita berpakaian Shanghai-dress hitam itu berkonco satu dengan lain? “ tanya Kat Po. “Atau mungkinkah wanita itu Wie Menny sendiri? “ “Entahlah.” “Menurut aku, mestinya mereka berkonco. Kalau tidak, tidak nanti dia berada di rumah Wie Menny dan mengaku menjadi Wie Menny sendiri...”
“Entahlah. Tak dapat aku sembarang menerka.” “Dia bicara dari halnya dua orang buaya darat, si A Hok dan si A Kin, yang meminjam uangnya Ong Sie Koen dan tidak dibayar pulang. Benarkah itu? “ “Pastilah itu kedustaan belaka. Hanya dia menceritakannya sempuma sekali serta dia menghubunginya dengan tempat peristiwa di jembatan Tsing-shih itu, hingga kita percaya empat korban itu benar menjadi korban-korbannya orang jahat. Aku tidak memikirkan itu dalam-dalam maka aku kena terpedayakan. Sekarang aku bisa menerka. Dari antara keempat korban itu, yang dua yaitu keponakannya si saudagar obat-obatan mungkin benar terlibat dalam urusan uang, akan tetapi korban yang keempat, pegawainya si tuan tanah, sebagai pegawai, mana dia mempunyai uang dalam jumlah besar? Aku duga Ong Sie Koen dan empat korban itu, mereka bukan terbinasa lantaran urusan hutang, mesti didalamnya ada satu urusan lain, yang sekarang “Urusan apakah itu? “ Kat Po tanya. “Sekarang ini belum dapat aku menerka...” Ketika itu, di langit tampak samar-samar sinar putih. Rupanya sang fajar lagi mengintai. Ketika itu pula di dalam gubuk perahu, seorang setengah tua yang jangkung dan kurus, telah mendusin dari tidurnya dan memanggil seorang pembantunya, ialah seorang berkepala botak yang tubuhnya besar. “Malam tadi kita bekerja dengan sia-sia belaka,” kata dia pada pembantunya itu. “Sebentar malam kita akan mencoba pula. Sesampainya di Liuho, kau titahkan mereka bubaran buat sementara waktu, nanti jam empat lohor, baru kita pergi.” Si jangkung kurus itu ini menjadi kepala penyelundup. “Ya,” sahut si pembantu, yang mengangguk, lalu terus ia berkata pula, “tadi di sungai Whang-poo kami menolongi tiga orang wanita muda, nama satu diantaranya aku rasa mengenal baik sekali. Dia mengenakan sweater dan wol kuning muda serta celana panjang kuning muda juga. Rasanya kau pernah menyebut namanya...” “Bukankah dia bernama In Hong? “ tanya orang itu “Benar.” “Kenapa ingatanmu tumpul sekali? “ tegur si pemimpin. “In Hong itu musuh besar kita, musuh hidup dan mati! Dialah yang membekuk adikku, Tam Pit Seng, serta beberapa kawannya, dan mendesak polisi untuk menghukumnya! Aku memang mau membalaskan sakit hati adikku itu, kebetulan sekarang aku bertemu dengannya! Di mana adanya mereka sekarang? “ Si jangkung kurus ini bernama Tam Pit Eng. Dialah kakaknya Tam Pit Seng. “Mereka berada di kepala perahu kita. Bagaimana kau hendak turun tangan? “ “Hendak aku menggunai senjata api,” sahut Pit Eng. “Akan aku keluar secara diam-diam, untuk menembaknya secara diam-diam juga...” “Jangan, itulah tidak sempurna,” kata si pembantu, yang diantara kawan-kawannya kesohor paling cerdik. “Pernah aku dengar kau membilang bahwa In Hong gagah dan cerdas, sedang kepandaian menembakmu biasa saja. Tak dapat kita menggeprak rumput membikin ular kaget.” “Habis, apakah dayamu? “ Pit Seng tanya. “Tjoei Loojie mempunyai racun tikus yang ia dapat dari seorang sahabatnya, katanya siapa kena makan itu, dalam satu atau dua menit saja, jiwanya bakal melayang, maka aku pikir, haik aku minta itu dari dia, nanti kita campur di dalam arak, kita kasi mereka bertiga minum. Mereka itu tengah kedinginan, melihat alkohol, tentu mereka girang sekali. Kau lihat, akal ini baik atau tidak? “ “Bagus! Nah, pergilah kau minta racun itu!” Si botak keluar, untuk menghampirkan Tjoei Loojie. “Di perahu kita ada tikusnya,” katanya, “aku minta sedikit racun untuk membasminya. Dapatkah kau membagi racunmu sedikit? “ “Tentu!” kata Tjoei Loojie sambil merogo sakunya dan mengeluarkan sebuah peles kecil. “Hanya awas, racun ini keras sifatnya, kau pakai sedikit saja sudah cukup. Jaga supaya jangan kau sentuh, atau kau mesti lekas-lekas mencuci tangan!” “Aku tahu!” kata si botak. Dia menyambuti, lantas dia kembali ke dalam gubuk perahu. Di sini dia lantas bekerja. Dia mengambil sebotol brandy bersama empat buah cawan. Yang secawan ia isikan brandy dan terus tenggak. Ke dalam botol brandy ia mengeteskan racun tikusnya. Karena ia kuatir racun itu kurang kuat, ia menambah lagi. Habis itu ia bawa brandy itu serta tiga cawan kosong keluar, ke tempatnya In Hong bertiga. “Nona-nona duduk di kepala perahu, tempat yang terbuka, tentunya kamu merasa
dingin,” kata dia, bersenyum. “Terima kasih, dapat kami bertahan,” kata In Hong. Sebenarnya ia merasa dingin tetapi tak sudi ia meminta ini atau itu. “Aku mempunyai setengah botol brandy cap Kapak yang tersohor, silahkan nona-nona minum untuk melawan hawa dingin,” katanya pula. “Terserah pada nona-nona hendak membayar berapa padaku. Kalau tidak, brandy ini bakal habis dicuri Loojie si pemabukan...” Kata-kata yang terakhir itu ialah alasan untuk orang tidak cunga. Ouw A rebah kedinginan, mendengar ada brandy, ia mendahului lompat bangun. “Kalau ada arak, mari bagi aku!” katanya. “Aku bisa mati kedinginan!” Kat Po juga menyatakan suka minum arak. Cuma In Hong yang berlaku tenang. “Silahkan minum!” kata si botak, yang terus mengisikan tiga buah cawan. Paling dulu ia mengangsurkan cawan pada In Hong, baru pada Kat Po dan Ouw A. Ia pun menenggak pula cawannya, yang berisi brandy tanpa racun. In Hong minum satu hirupan, atau lantas ia mengerutkan alis. Ouw A dan Kat Po menenggak habis isi cawannya. “Rasanya brandy ini lain...” kata In Hong. Tapi Kat Po berteriak, “Celaka! Brandy ini ada racunnya!” Itulah sebab ia lantas merasakan perutnya panas. “Aku merasa brandy ini keras dan memusingkan kepala,” kata Ouw A. “Kita terjebak!” seru Kat Po. “Oh, rasanya sakit sekali, mungkin aku tidak dapat bertahan...” Si botak mengawasi dan mendengari, dia bersenyum. Dia percaya ketiga nona itu bakal roboh binasa dalam tempo satu atau dua menit, atau paling lama, tiga atau empat menit... VII In Hong mengawasi Kat Po dan Ouw A. “ Aku merasa tubuhku tak enak sekali,” kata Kat Po. “ Aku tidak merasakan apa juga,” kata Ouw A. In Hong sebaliknya mendadak lompat kepada si botak yang bertubuh besar itu sambil sebelah tangannya mencekuk leher orang. “ Aku minta kau minum secawan ini!” katanya. “Oh... tidak!” kata si botak kaget. “Aku tidak kuat minum... Sudah aku minum satu cawan, tak dapat aku minum lagi...” Di dalam hatinya, dia heran sekali. Kenapa kedua nona ini tidak kurang suatu apa. “Kau mesti minum!” kata In Hong memaksa. Ia masih memegangi leher orang. Bukan main bingungnya si botak. Dia pun tidak berani melawan. Dia merasa tangan si nona menjepit keras sekali. “Kau mau minum atau tidak!” bentak In Hong. “Biar mati, tidak...” sahut si botak. Dia sendiri yang menaruh racun, sudah tentu tak sudi dia minum itu. “Jikalau begitu, pasti arak ini ada racunnya!” kata In Hong, yang memperkeras cekelannya. Lalu, dengan menyuruh Kat Po memencet hidung orang, ia paksa mencekoki. Baru setelah araknya kena tertelan, ia memperkendor cekalannya. Si botak susah bernapas. Itulah sebabnya, mau atau tidak, ia telah kena minum araknya itu. Dia pun tidak dapat meronta. Maka sekarang dia mengharap-harap racunnya tidak bekerja... In Hong melepaskan tangannya begitu lekas arak sudah masuk ke dalam perut orang. “Kenapa kau menaruh racun dalam arak ini? “ tanyanya. “Karena kau menangkap Tam Pit Seng,” sahut si botak, meringis. “Kakak dia, Tam Pit Eng, hendak membalaskan sakit hati adiknya itu. Sekarang aku bakal mengikut kamu mati bersama...” “Obat apa itu yang kau pakai? “ tanya In Hong, dingin. “Racun tikus...” “Apa, racun tikus? “ seru Kat Po. “Oh...!” Ia kaget bukan main. Ia tahu hebatnya racun itu. In Hong segera mengawasi mukanya Kat Po dan Ouw A bergantian. Ia percaya racun bukan racun hebat seperti dikatakan si botak. Kalau tidak, Kat Po dan Ouw A mestinya sudah roboh atau binasa dan ia sendiri tentu bakal roboh juga. Ia jadi heran. “Sebenarnya kau gunakan obat apa? “ ia desak si botak.
“Racun tikus!” si botak memastikan. “Itulah racun jahat yang segera akan membunuh mati siapa yang meminumnya!” Justeru itu muncullah Tjoei Loojie si pemabukan, yang jalannya limbung. Melihat kawan itu, si botak berkata, “He, Loojie, aku minta kau pulang ke kampung untuk memberitahukan isteriku jikalau aku mati, dia mesti menanti sampai satu atau dua tahun, baru dia boleh menikah pula, jikalau tidak...” “Kau tidak bakal mati, sahabatku!” kata si pemabukan. “Tadi kau minta racun padaku dengan mengatakan kau hendak meracuni tikus, aku merogoh ke dalam sakuku dan memberikan racun yang kau minta itu, akan tetapi sekarang aku dapat kenyataan bahwa aku telah salah memberikannya. Racun itu masih ada padaku, yang tadi aku berikan padamu melainkan vitamin bubuk. Sekarang mari kembalikan vitaminku itu.” “Oh, Thian, terima kasih, terima kasih!” si botak berseru, kegirangan. “Aku ketolongan! Aku ketolongan!” lantas dia lompat berjingkrakan. Hati In Hong lega sekali. Inilah kesudahan yang tak pernah ia sangka. Jadinya Kat Po itu merasa tak enak akibat dari getaran asabatnya. Selekasnya ia merasa seperti biasa pula. Justeru itu pada saat itu terdengar suara, “Tar! Tar!” demikian dua kali letusan senjata api saling menyusul dan peluru mendesing lewat di sisi nona In. Ketika In Hong menoleh dengan segera maka ia melihat, bersembunyi dibelakang layar, seorang jangkung kurus yang menembaknya. Kedua tangan orang itu masingmasing mencekal sebuah pistol dan dia mengulangi menembak! Di situ tidak ada tempat berlindung, sambil berlompat berkelit, In Hong memberikan tanda rahasia agar kedua kawannya terjun ke air. Maka bertiga, bergantian mereka lompat ke sungai, akan selulup berenang di dalam air, akan timbul dan selulup pula, untuk berenang lebih jauh. Dengan cara demikian, mereka menyingkir dari serangan lebih jauh berulang-ulang dari penembaknya itu. Selagi cuaca mulai terang, perahu lenyap dari pandangannya In Hong bertiga. Mereka menyingkir ke arah pinggiran. Ouw A dibantu dua saudara seperguruannya itu sampai di tepi di mana mereka mendarat dengan tidak kurang suatu apa. Diwaktu lohor lebih kurang jam tiga, mereka telah berhasil sampai dirumah mereka di Hung-yao Road. Setelah menderita sepuluh jam lebih, baru sekarang mereka bisa bernapas lega. Paling dulu mereka salin pakaian dan dandan. Sementara itu, Hiang Kat tidak ada di rumah. “Dia keluar, tentu dia pergi mencari kita,” Kat Po mengutarakan dugaannya. “Coba terka, In Hong, kemanakah dia pergi? “ “Tentu dia pergi ke Kang Tsing Building,” In Hong menjawab. “Kalau begitu, mari lekas kita menyusul dia!” kata Kat Po, yang tidak biasa dapat mengendalikan dirinya. “Dia bisa terjebak penjahat!” In Hong setuju, maka itu, bertiga mereka lantas pergi pula. Tak jauh dari flat mendadak mereka dihampirkan seorang wanita setengah tua, yang tubuhnya kate, yang muncul dari sebuah gang yang gelap sambil terus berseru, “Eh, kamu mau pergi kemana? “ “Hiang Kat! Kami justeru mencari kau!” seru Kat Po. “Oh, Hiang Kat, kenapa kau menyamar begini rupa? “ tegur Ouw A. “Kau nampak jadi lebih tua dua puluh tahun!” “Menurut katanya A Poan, kamu telah diseret Tong Soat Koan ke dalam sungai,” kata Hiang Kat. “Memang kami menempuh bahaya,” sahut In Hong, yang terus memberikan keterangannya. “Oh, begitu,” kata Hiang Kat, yang menuturkan keterangannya penjaga flat itu. “Baru saja lima menit yang lalu aku melihat Wie Menny, wanita bermuka bundar bermata kecil itu, yang tubuhnya kate dan kecil juga, masuk ke dalam flat yang besar di Kiao-chow Road itu. Nampaknya dial sangat gugup. Aku sedang memikirkan akal apa harus dipakai untuk dapat masuk ke sana, ketika barusan aku melihat kamu.” “Perempuan itu memincuk kami dan mencemplungkan ke dalam sung ai, dengan dia buat apa kita banyak bicara lagi? “ Ouw A pun kata sengit, dan tak sudi dia memikirkan soal yang sulit itu. “Kita hajar saja dia sampai tubuhnya hancur luluh!” “Buat apa kau memikirkannya lagi? “ kata Kat Po. “Kita pergi padanya, kita
bekuk, sebelum kita minta keterangannya, kita hajar dulu! Biar dia tahu rasa” “Biar bagaimana, kita harus bekerja dengan melihat selatan,” In Hong turut bicara. Lantas berempat mereka bertindak ke arah flat. Penjaga pintu kaget melihat orang-orang dengan warna pakaiannya berlainan itu, dia lantas mengangkat kaki. “Dia tentu takut sebab dia mengira kamu setan-setan air,” kata Hiang Kat. Segera mereka tiba di tingkat ketiga, di muka pintu nomor 303. Bel pintu sudah lantas ditekan. “Siapa? “ tanya suara seorang wanita dari dalam kamar. “Kamu siapa? “ tanya pula wanita di dalam itu. Tak lantas dia mau membuka pintu. “Ada urusan apa kamu hendak mencari Nona Wie Menny? “ “Kami hendak mewartakan halnya Ong Sie Koen kedapatan mati di kali.” Secara mendadak daun pintu dibuka, maka di situ muncul seorang wanita yang tubuhnya kate dan kecil, yang mengawasi dengan roman curiga. “Kamu siapa? “ dia tanya. “Kenapa kamu ketahui Ong Sie Koen mati di kali? “ “Akulah In Hong,” In Hong menjawab. “Aku mempunyai hubungan dengan polisi maka aku memperoleh kabar itu. Sekarang ini mayatnya Ong Sie Koen berada di kamar mayat menantikan anggauta keluarganya datang untuk mengenali dan mengambilnya.” “Oh! Adakah kabarmu ini benar? “ tanya wanita itu, yang romannya lantas bingung dan berduka. “Pasti benar!” In Hong memberikan kepastiannya. “Jikalau begitu, silahkan masuk!” kata si wanita. “Duduklah dulu!” Itulah kamar tamu diantara mereka kemarin berbicara dengan si orang perempuan yang mengenakan Shanghai-dress hitam bergigi-balang putih perak. “Adakah kau Nona Wie Menny, yaitu Nyonya Ong Sie Koen sendiri? “ In Hong tanya. “Ya,” si orang perempuan menjawab sambil meng-angguk. “Kemarin lohor, nyonya ada di rumah atau tidak? “ “Kemarin lohor jam satu, aku keluar, baru hari ini aku pulang,” sahut si nyonya. “Kemana kau pergi kemarin, nyonya? “ “Ada apakah maksudmu maka kau menanya begini? “ Si nyonya balik menanya. Sekarang tampak lenyap kedukaannya, hanya tinggal bingungnya dan dia coba melenyapkannya. “Dalam urusan suamimu ini, nyonya,” kata In Hong, “polisi menerka pasti dia telah mati dengan menerjunkan diri ke dalam sungai, sedangkan aku, aku menyangka dia telah orang celakai, maka itu, aku hendak minta keteranganmu, supaya kalau benar sangkaanku, dapat aku bekerja untuk membikin terang perkara suamimu ini.” “Oh, aku mengarti sekarang!” kata Wie Menny. “Kau tentulah Nona In Hong yang namanya sangat tersohor!” Dengan cepat roman bingungnya lenyap. Maka ia lantas berkata terus, “Nona In Hong, datangmu ini sangat kebetulan. Aku memang lagi memikir buat pergi kepada polisi untuk memohon perlindungannya serta sekalian mencari si orang jahat. Aku masih ragu-ragu sebab aku sangsi polisi suka menolong aku atau tidak. Sebenarnya kemarin aku telah diculik orang jahat, sedangkan kematiannya suamiku mestinya ada hubungannya dengan sepak terjangnya komplotan penjahat itu.” “Kau diculik penjahat? “ Kat Po tanya. “Benar. Kemarin lohor kira jam satu, aku lagi bingung memikirkan Sie Koen. Satu malam itu, dia tidak pulang. Aku ingin mencari dia di rumahnya beberapa sahabat. Belum jauh aku meninggalkan rumahku itu, di tempat sunyi sebelah sana itu, tibatiba aku dipegat dan dikurung lima orang jahat. Dengan ancaman senjata api, aku dipaksa menaiki sebuah oto model kuno yang warnanya kuning muda.” “Bukankah itu kereta yang tempat duduknya penumpang lerpisah dari tempat duduknya si sopir? “ In Hong tanya. “Betul. Aku dibawa ke tempat sepi di Tsao-ho-ching, dipaksa masuk ke dalam sebuah rumah gubuk yang buruk. Di situ aku diikat pada sebuah pembaringan kayu bobrok. Tubuhku digeledah, anak kunci diambil. Seorang penjahat, yang bermuka kuning mirip lilin, menyuruh semua kawannya pergi keluar dari gubuk, hingga aku berada berdua saja dengannya. Aku duga penjahat ini sedang menyamar, untuk tak memperlihatkan wajahnya yang asli. Cuma empat buah gigi emasnya, atas dan bawah, yang tak dapat disalin rupanya... Dia lantas menanyakan banyak hal padaku, semua mengenai Sie Koen, tentang penghidupan suamiku dahulu dan sekarang. Aku beritahu padanya, aku menikah dengan Sie Koen baru beberapa bulan, dari itu, tentang penghidupannya dulu-dulu, aku tidak tahu, aku pun tidak pernah menanyakan,
sedangkan Sie Koen sendiri juga tidak pernah menceritakannya.” “Kemudian? “ “Penjahat itu agak tak puas dengan jawabanku itu. Lantas dia tanya hal yang terjadi satu hari dimuka, diwaktu tengah hari, disaat kami bersantap. Ketika itu Sie Koen pernah bicara telepon dengan seorang sahabatnya. Si penjahat tanya she dan namanya sahabat itu, teleponnya nomor berapa, dan apa saja yang Sie Koen bicarakan dengan sahabatnya itu. Tapi nama sahabat itu, nomor teleponnya dan urusan yang suamiku bicarakan itu, semuanya aku tidak tahu. Lalu dia tanya, habis bicara telepon itu, apa saja kata Sie Koen kepadaku. Aku membilangi bahwa Sie Koen bangsa pendiam, karenanya, Sie Koen tidak bicara apa juga. Dia tidak percaya aku, dia tertawa tawar, lantas dia menghunus sebilah pisau belati. Dia mengancam hendak menikam aku kalau aku tetap tidak mau memberikan keterangan padanya. Aku takut sekali, aku sangat bingung. Aku tetap membilang bahwa aku tidak tahu. Dia masih menanya berulang-ulang, dia terus mengancam. Akhirnya dia percaya aku tidak apa-apa, maka dia menyuruh dua orang kawannya menunggui aku, dia sendiri lantas pergi bersama dua kawannya yang lain lagi.” Menny berhenti sebentar, baru ia melanjuti pula, “Sementara itu, aku memperhatikan satu diantara dua penungguku itu. Dialah yang hidungnya merah. Dia bicara dengan lagu suara penduduk Tsao-ching. Karena itu aku menduga, gubuk itu mesti gubuknya sendiri. Seterusnya orang tidak mengganggu padaku, sampai tadi lohor lebih kurang jam tiga, seorang penjahat datang padaku, untuk memberitahukan bahwa pada sepak terjang mereka itu sudah terjadi kekeliruan, oleh karenanya tanpa perjanjian apa juga aku dimerdekakan, cuma aku dipesan dengan ancaman, sekeluarnya aku dari situ, tak dapat aku menyebut-nyebut lagi perkara penculikan itu. Dia mengancam hendak membinasakan aku apabila aku membuka rahasia mereka. Setelah itu aku melihat dia memberikan uang kepada si hidung merah itu. Aku lantas dimerdekakan, anak kunciku dikasi pulang. Dengan sebuah oto hitam, yang diparkir di tepi jalan, aku diangkut pergi, diturunkan di dekat Kiang-wan. Oto itu dilarikan keras meninggalkan aku.” “Apakah kau dapat melihat nomornya oto hitam itu? “ “Tidak. Ketika itu, aku tidak dapat memikir sampai disitu. Baru kemudian aku ingat akan tetapi oto sudah pergi jauh...” Menny nampak sangat menyesal. “Kau tidak tahu, tidak apalah,” kata In Hong. “Mungkin Juga dia memakai nomor palsu. Sekarang, mari aku tanya, benarkah kau tidak tahu apa-apa tentang Ong Sie Koen? “ “Benar-benar aku tidak tahu. Dia bertabiat aneh dan mulutnya tertutup rapat bagaikan peles tersumbat.” “Bagaimana dengan sahabat yang menelepon itu serta nomor teleponnya? Apa juga kau tidak tahu? “ “Benar, benar aku tidak tahu.” “Coba kau ingat-ingat, urusan apa yang suamimu bicarakan ditelepon itu? Asal kau mengingat satu atau dua patah kata, mungkin itu ada harganya untuk penyelidikan kami.” In Hong sabar sekali. “Aku ingat kira-kira...” kata si nyonya. “Katanya, 'Oh, mereka menampik...? Kau harus ingat, malam panjang itu banyak impiannya, maka kau harus bekerja lebih keras... Jikalau kau tidak berdaya, bagaimana jikalau kau serahkan itu padaku, untuk aku yang melakukannya... Baik..: Habis meletaki pesawat pendengar telepon itu, Sie Koen lantas duduk berpikir dalam kamar tulisnya. Aku mengajak dia bicara, dia menyahuti tetapi tanpa dihati. Itu hari juga lebih kurang jam enam, dia menelepon pula, kali ini dia menjanjikan seorang yang bernama Lie Hoe Sin untuk pergi minum kopi di tempat adiknya. Selang setengah jam, dia pergi seorang diri, untuk seterusnya dia tidak kembali lagi...” In Hong mengangguk. “ Ada keterangan apa lagi yang dapat kau berikan padaku? “ “Itulah apa yang aku ketahui. Adakah itu faedahnya? “ “Besar sekali, nyonya!” Kecurigaan Kat Po terhadap Menny lenyap berangsur-angsur. Sekarang pastilah sudah bahwa dia benar Wie Menny adanya dan apa yang dia bilang dapat dipercaya, bahwa nyonya ini, dengan begitu, menjadi pihak lawannya si nyonya Shanghai-dress hitam yang bergigibalang putih perak itu.
“Tahukah kau apa namanya tempat di dekat Tsao-ho-ching itu di mana terdapat itu gubuk butut? “ tanyanya kemudian. “Aku tidak tahu. Cuma aku masih ingat di dekat situ ada sebuah kuburan yang pekarangannya luas sekali, yang terkurung tembok, yang batu tanda perbatasannya diukir dengan empat huruf besar yang berarti itulah tempat pekuburan Keluarga Oey.” “Nona Menny,” kata In Hong kemudian, “buat berlaku waspada, untuk menjaga dirimu, sekarang baik secara diam-diam kau mengungsi ke rumah salah seorang sanak atau sahabat karibmu, untuk bersembunyi di sana, dan baru kau pulang ke rumahmu ini sesudah aku berhasil membikin perkara suamimu menjadi terang.” “Terima kasih, Nona In Hong,” berkata si nyonya, yang terus menulis sebuah nomor telepon yang dia kasikan pada si nona. “Hendak aku pergi ke rumah kakakku buat satu atau dua minggu, jikalau kau memerlukan aku, dapat kau menelepon padaku. Inilah nomor teleponnya” In Hong menyambuti nomor telepon itu, lalu ia berpamitan. Mereka berjalan keluar bersama, karena Menny mengantari para tetamunya. Ketika lewat di dekat tempat di mana pesawat telepon, In Hong melihat ada tergantung sehelai kertas yang ada catatannya banyak nomor telepon serta nama orang. Ia ketarik hati, ia minta kertas itu. Menny tidak berkeberatan, dia memberikan. Tiba di rumah, Kat Po melihat In Hong lantas duduk berdiam saja. Dia menjadi tidak sabaran. “In Hong, apakah yang kau pikirkan? “ tegurnya. “Kenapa kau bukan lantas bekerja? Bukankah kita telah memperoleh petunjuk walau pun sedikit? “ “Petunjuk apakah itu? “ In Hong tanya, acuh tak acuh. “Bukankah dapat kita pergi ke Tsao-ho-ching mencari si hidung merah? Menurut Wie Menny, rumah gubuk itu mesti rumahnya si hidung merah itu. Dari mulut dia kita tentu akan memperoleh keterangan siapa yang berada dibelakang layar...” “Memang, inilah salah satu jalan,” kata In Hong. “Hanya aku berani pastikan si hidung merah tak akan ketahui siapa orang dibelakang layar itu. Aku mempunyai jalan lebih langsung untuk mencari dia.” “Jalan apakah itu, In Hong? “ “Aku maksudkan sahabatnya Sie Koen yang diajak bicara ditelepon itu. Jikalau aku tidak menerka keliru, sahabat itu ialah si orang dibelakang layar, dan dia juga orang dengan kulit muka seperti lilin kuning yang telah menculik Wie Menny, yang giginya memakai emas. Dia telah menyamarkan diri.” “Bukankah dia pun lagi menanyakan she dan namanya orang berbicara telepon dengan Sie Koen itu? “ tanya Kat Po. “Kenapa dia justeru sahabatnya Ong Sie Koen? “ “Dia bicara telepon bukan untuk menanyakan she dan nama si sahabat. Sebab dia sendirilah orang yang tersangkut itu.” “Habis, dia menanyakan apakah? “ tanya Kat Po heran. “Dia menanyakan kalau-kalau Wie Menny ketahui tentang usaha mereka berdua.” “Usaha apakah dari mereka berdua itu? “ “Berdua mereka memegang sebuah rahasia besar. Sie Koen mencela sahabatnya kurang gesit, memikir buat kerja seorang diri saja. Karena itu, terutama karena rahasia besar itu si sahabat lantas mencelakai Sie Koen. Dengan begitu sekarang si sahabat sendiri yang menyimpan rahasia!” “Kenapa kau ketahui Sie Koen mencela sahabatnya kurang gesit dan halnya si sahabat yang menyimpan rahasia? “ “Kau akan ketahui itu apabila kau memahamkan pembicaraan telepon Sie Koen. Tentang si sahabat menyimpan rahasia, itu pun mudah diterka. Bukankah sahabat itu si penjahat, telah menculik Menny dan ketika dia menanya Menny, dia menanyakan seorang diri? Itulah karena dia tak ingin kawan-kawannya mengetahui rahasia itu. Dia cuma mau tahu sendiri saja. Dia pula menculik Menny supaya kita jangan dapat bicara dengan Nyonya Sie Koen itu. Dia kuatir Menny nanti membuka rahasia, supaya kita tidak memperoleh jalan untuk menyelidikinya. Dilain pihak dia menyuruh si wanita berpakaian Shanghai-dress dengan gigi balang putih perak itu menyaru jadi Menny, untuk memancing kita, guna membinasakan kita beramai. Dia gagal memeriksa Menny. Dia mendapat kenyataan Menny benar-benar tidak tahu apa-apa, maka itu, legalah hatinya. Dia jadi lebih lega pula ketika malam itu dia mestinya telah menerima laporan dari si wanita jahat halnya kita sudah diceburkan ke sungai hingga mestinya tak dapat kita hidup lebih lama pula. Itulah sebabnya kenapa Menny dimerdekakan. Dia tidak takuti segala apa lagi,
jadi tak ada perlunya buat menahan lebih lama pula pada Nyonya Sie Koen.” “In Hong,” tanya Kat Po, “umpama kata Menny ketahui rahasia itu, atau she dan nama orang, atau nomor teleponnya saja, apakah dia bakal dibinasakan? “ “Ada kemungkinannya asal Menny tahu satu saja diantara tiga hal itu!” “Sebenarnya rahasia itu rahasia apakah? “ Kat Po tanya pula. Dia tidak mengarti. “Buat sementara ini, aku belum tahu,” sahut In Hong. “Aku cuma menduga itu mesti ada sangkut pautnya dengan Tong Soat Koan yang mati kelelap dan Tjoei Go yang mati sebagai setan penggantungan. Atau tegasnya, itu ada hubungannya dengan persaudaraan Lie yang enam orang itu. Sie Koen mengundang Lie Hoe Sin minum kopi. Lie Hoe Sin itu ialah yang nomor lima dari persaudaraan Lie itu.” “Sekarang,” tanya Kat Po, “apakah kau hendak membuat penyelidikan dengan berdasarkan keterangannya Wie Menny atau pelbagai catatan di dalam memo yang kau ambil dari rumahnya nyonya itu? “ “Tidak. Aku cuma henda memahamkan itu. Yang ingin aku cari tahu paling dulu ialah tentang Lie Hoe Sin dan Lie Hoe Gan.” “Kenapa kau tidak mau cari dahulu si bandit hidung merah di Tsao-ho-ching itu? “ “Aku hendak lebih dahulu mencari pokoknya. Kamu bertiga, kamu berdiam di rumah, untuk beristirahat, jangan kamu sembarangan bertindak. Sekarang juga aku hendak pergi kepada dua saudara Lie itu. Andaikata mereka tidak ada di rumah, akan aku terus pergi ke Venus Dancing hall.” VIII Seperginya In Hong, Kat Po bergelisah sendirinya. Ia tidak mengarti akan cara bertindaknya kakak seperguruan itu, yang ia anggap telah mengambil jalan mutar. Dari tidak mengarti, ia menjadi penasaran. Kenapa In Hong tidak mengambil jalan memotong, yang dekat? Menurut ia, asal si bandit hidung merah dibekuk, maka teranglah sudah perkara gelap itu Berdasarkan pengakuannya si hidung merah, bukankah mudah akan mencekuk penjahat yang bersembunyi dibelakang layar...? Bukankah dengan begitu, rahasia besar itu akan lantas pecah sendirinya? Bukankah orang dibelakang layar itu mudah dikenali karena mempunyai empat buah gigi emas? Jikalau si jahat tidak lekas dibekuk, maka di sungai di jembatan Tsing-shih itu pasti bakal timbul lebih banyak mayat lagi! Tong Soat Koan telah meminta ganti sembilan jiwa, sekarang baru lima, masih ada empat jiwa lagi! Kejahatan itu jadinya perlu segera dicegah dan ditindas! “Eh, Kat Po, kenapa kau tampaknya sangat tidak tenang?” tanya Hiang Kat, yang melihat orang seperti berdiri salah dan berduduk salah. “Tidak apa-apa, aku Cuma merasa iseng,” Kat Po menjawab. Ia mendusta karena ia percaya Hiang Kat telah dapat membade hatinya. Tak mau nona itu nanti mencegah ia pergi ke Tsao-ho-ching. “Jikalau kau iseng, mari aku temani kau main catur.” “Tidak, aku tidak mau main catur. Sebelah kakiku terasakan tak enak, kalau dipakai duduk diam saja, mungkin dia menjadi makin tak enak lagi. Hendak aku berjalan-jalan sebentar di luar, untuk melemaskannya.” “Bukankah kau hendak pergi ke Tsao-ho-ching? ” Hiang Kat tanya. “Oh, bukan, bukan..” Kat Po menyangkal, cepat. “Benar-benar aku hendak berjalanjalan saja sebentaran.” Kat Po jujur, tak pernah ia mendusta, maka itu, Hiang Kat percaya padanya. “Kau terendam lama di sungai, mungkin otot-otot kakimu kaku,” katanya. “Sekarang kau baik rebah-rebahan saja, nanti aku ambilkan air hangat untuk dipakai menghangatkannya.” “Terima kasih, Hiang Kat. Jangan kau ambilkan aku air hangat. Aku lebih suka berjalan-jalan saja.” “Baiklah kalau begitu. Mari aku temani kau.” “Tak usah, tak usah,” Kat Po menolak pula. “Kau lagi repot, kau mesti menyediakan santapan malam. Biar aku pergi berdua Ouw A. Aku akan jalan hanya seputaran.” “Baiklah kalau begitu. Tapi ingat, jangan kamu pergi jauh-jauh!” “Mungkin aku pergi jauh juga,” kata Kat Po. “Belum pernah aku jalan sampai di ujungnya sebuah jalan besar yang panjang. Atau aku hanya akan putar kayun di sekitar sini.” Ia berkata demikian karena Ia belum pernah pergi ke Tsao-ho-ching.
“Nah, kau pergilah!” kata Hiang Kat. “Kau mesti lekas kembali!” Kat Po mengangguk, terus bersama Ouw A, ia bertindak keluar. Di luar pagar pekarangan ia menoleh dan mengulapkan tangannya seraya berkata, “Sampai ketemu pula, Hiang Kat!” Hiang Kat pun membalas lambaian tangannya. Setindak demi setindak, Kat Po mengajak Ouw A berjalan. Setindak demi setindak, mereka meninggalkan rumah mereka. Makin jauh, makin jauh mereka pergi. Sang Surya dan musim rontok, yang bercahaya keemas-emasan, mulai selam di ufuk barat. Akhirnya, dengan sebuah roda tiga, mereka pergi ke Tsao-ho-ching. “Kat Po, kita pergi kemana? ” tanya Ouw A, heran. Ia tolol tetapi ia mengarti bahwa untuk berjalan-jalan tak usahlah orang duduk kereta. “Ouw A, aku hendak pergi membekuk si telur busuk!” sahut Kat Po, terus terang. “Ialah si telur busuk yang membunuh orang! Kau pikir saja, apakah bangsa mereka itu dapat dikasi tinggal hidup sekali pun buat satu atau dua hari lamanya? ” “Memang tidak! Tidak sekali pun satu atau dua jam!” sahut Ouw A. “Benar! Nah, sekarang kau bilanglah, kau suka atau tidak, mengikut aku membekuk si telur busuk beberapa antaranya, untuk membinasakannya? ” “Aku memang paling gemar membekuk si telur busuk!” Ouw A kata, gembira. Ketika mereka sampai di Tsao-ho-ching, cuaca belum lagi gelap. Dengan tanyatanya orang, Kat Po dapat mencari tempat pekuburan Keluarga Oey. Benar, tidak jauh dan situ, terlihat sebuah rumah gubuk. Tempo Kat Po berdua menghampirkan, pintu gubuk itu dikunci dengan sebuah kunci kuningan model kuno. “Si hidung merah tidak ada di rumah!” kata Kat Po, menyesal. “Dia tidak ada di rumah, habis kemana kita pergi mencarinya? ” tanya Ouw A. Kat Fo melihat kelilingan. “Tempat ini sepi dan tidak ada tetangganya,” katanya. “Mari kita pergi ke sana, untuk mencoba mencari keterangan” Ia menunjuk ke depan, sejauh satu lie atau lebih, di sana tampak samar-samar sebuah kampung kecil. Ouw A menurut. Mereka sampai di tempat yang ditunjuk itu di mana mereka mendapatkan belasan rumah bilik, di depan itu ada sebuah tegalan kosong. Kebetulan di depan sebuah rumah ada seorang laki-laki tua lagi berduduk menghisap pipa panjang. Kat Po bertindak kepada orang tua itu. “Paman, dapatkah aku numpang bertanya? ” ia menyapa. Orang tua itu mengawasi, ia mengurut kumisnya. “Kamu tanya apa? ” ia membaliki. “Aku mohon bertanya tentang si hidung merah dan rumah gubuk di dekat tempat pekuburannya Keluarga Oey,” Kat Po memberitahukan. “Oh, apakah kau maksudkan si hidung merah Touw