PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINKPAIR-SHARE PADA KONSEP CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SAINS BIOLOGI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 LAUNG TUHUP TAHUN PELAJARAN 2007/2008 Agus Haryono Beny Aripudi Kitoy
Abstrak Model pembelajaran yang dapat digunakan di dalam kegiatan pembelajaran sangat banyak dan bervariasi, salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS). Model pembelajaran ini telah diterapkan di SMP N 2 Laung Tung Tuhup yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep Ciriciri Makhluk hidup dapat meningkatkan Hasil Belajar Sains Biologi Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Laung Tuhup Tahun pelajaran 2007/2008. Hasil penelitian tindakan kelas menunjukkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran Biologi dengan model kooperatif tipe TPS dapat terlaksana dengan baik. Aktivitas guru yang dominan dalam KBM yaitu pada tahap perencanaan memberi informasi isi materi yang dipilih untuk diajarkan (15,00%), sedangkan pada pelaksanaan adalah tahap mengorganisasikan persentasi siswa dan mengorientasi siswa pada situasi masalah (13,30%). Aktivitas siswa dalam KBM sains yang dominan adalah kebenaran ide yang disampaikan (16,50%). Respon guru mitra sains Biologi terhadap perangkat dan model kooperatif tipe TPS termasuk kategori baik. Ketuntasan hasil belajar secara klasikal telah tuntas karena dari keseluruhan siswa, tercapai 97 % tuntas dan dari keseluruhan PTK 100% telah tuntas. Dengan demikian penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat digunakan untuk mengajarkan konsep ciriciri mahluk hidup di kelas VII SMP Negeri Laung Tuhup Kalimantan Tengah.
Kata kunci : Tindakan kelas, kooperatif think-pair-share, hasil belajar biologi Kedudukan siswa dalam proses belajar mengajar adalah menerima, mengingat, menghafal dan memaknai semua ilmu pengetahuan yang terbaru, maka penyampain
Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Palangkaraya. e-mail:
[email protected] :
[email protected] Alumni Prodi Pendidikan Biologi UNPAR/Guru SMP N 2- Laung Tuhup Kalimantan Tengah
2
materi pelajaran harus bermakna. Menurut Usman (1989) proses belajar mengajar perlu diupayakan agar lebih menarik dan berkesan dalam benak para siswa. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mempelajari tentang makhluk hidup. Ilmu ini lahir dan berkembang melalui pengamatan dan eksperimen di laboratorium maupun di lapangan. Jadi untuk mempelajari biologi harus dikembalikan lagi pada karakteristik dasarnya yaitu melibatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga akan lebih bermakna dan pemahaman siswa dengan ilmu yang dipelajarinya akan lebih baik. Hal itu juga tertera dalam tujuan pendidikan nasional bahwa tujuan pembelajaran sains di SMP dan MTs adalah memberikan pemahaman tentang berbagai gejala alam, prinsip dan konsep sains serta keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat (Depdiknas, 2004). Berdasarkan tujuan pendidikan di atas, maka guru-guru mata pelajaran IPA, khususnya sain biologi harus dapat memilih model dan metode yang dapat memberikan pengalaman kepada siswa dalam merencanakan dan melakukan kerja ilmiah untuk membentuk sikap ilmiah. Proses belajar mengajar di kelas diperlukan adanya suatu metode mengajar yang mengarahkan pada interaksi antara guru dan siswa, siswa dan lingkungannya, sehingga siswa diberi kesempatan penuh untuk berpikir (Sardiman, 2001). Ketepatan guru dalam memilih suatu metode yang sesuai dengan jenis dan sifat materi pelajaran akan sangat menentukan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan pengalaman guru sain Biologi di SMP Negeri 2 Laung Tuhup, walaupun selama ini kurikulum KTSP sudah diterapkan pada kelas VII, namun belum semua dapat dilaksanakan. Guru masih menggunakan model pembelajaran ceramah dan diskusi sehingga mengakibatkan kegiatan pembelajaran tidak bervariasi dan menyebabkan kurangnya minat siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar dengan lebih seksama. Hal itu juga dilakukan pada pengajaran konsep Ciri-Ciri Makhluk Hidup yang hasil pembelajarannya mencapai nilai rata-rata di bawah 60. Dengan demikian konsep tentang ciri-ciri mahluk hidup tersebut belum tuntas dikuasi siswa. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pengajaran yang mengacu pada kerjasama antar siswa dalam kelompok kecil, saling membantu dalam belajar untuk menguasai konsep-konsep yang diberikan dalam pembelajaran (Emberger, 2000).
3
Salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu tipe Think-Pair-Share (TPS). Model ini merupakan salah satu strategi pembelajaran untuk meningkatkan partisipasi siswa, misalnya mata pelajaran biologi (Anom, 2006). Siswa akan menggunakan waktu belajarnya untuk berpikir, bertanya dan berbagi pemikiran dengan temannya. Hasil pemikiran dengan pasangannya kemudian didiskusikan di dalam kelas (Uecket, 2001). Dengan demikian model pembelajaran kooperatif, khususnya model pembelajaran kooperatif tipe TPS akan sangat membantu siswa memahami konsep-konsep sulit dan menumbuhkan kemampuan ketrampilan dan kolaborasi. Untuk mengetahui hal tersebut telah dilakukan penelitian penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS tentang konsep ciri-ciri makhluk hidup untuk meningkatkan hasil belajar siswa sains biologi siswa kelas VII SMPN 2 Laung Tuhup tahun pelajaran 2007/2008. . METODE Penelitian dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan model Kemmis dan Taggart (Anonim, 1999).
Hal ini dipilih dengan alasan mengkaji
keadaan ilmiah peserta didik yang memiliki aktivitas dan nilai sains rendah. Pelaksanaan penelitian mencakup empat langkah, yaitu: 1) Penyusunan Rencana, 2) Pelaksanaan tindakan, dan 3) Refleksi atas tindakan (Kasbulah, 1998). Data utama berupa hasil pre-tes dan pos-tes, aktivitas guru dan peserta didik, keterampilan guru mengelola pembelajaran. Sedangkan untuk data pendukung adalah respon peserta didik dan respon guru mitra setelah pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS selesai. Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dengan model mengalir yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Anonim, 1999).
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemampuan Guru Mengelola Kegiatan pembelajaran dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diperoleh dari lembar pengamatan pembelajaran yang didasarkan pada sintak model pembelajaran kooperatif tipe TPS, hasilnya terlihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 tersebut terlihat, bahwa kemampuan guru dalam
4
Tabel 1. Kemampuan Guru Mengelola Kegiatan Pembelajaran
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Aspek yang Diamati Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Mengajukan permasalahan Mengorganisasikan siswa dalam tim belajar Berbagi dengan seluruh siswa Melakukan evaluasi Pengelolaan waktu KBM Pelaksanaan KBM Rata-rata
Skor Pengamatan Siklus 1 Siklus 2 3,00 3,25
Rata-rata
Kategori
3.125
Baik
3,00 3,00
3,25 3,56
3.125 3.280
Baik Baik
3,00
3.58
3,290
Baik
3,25 3,50 3,25. 3,14
3,60 3,50 3,50 3,46
3.420 3.500 3.375 3,30
Baik Baik Baik Baik
mengelola pembelajaran biologi dengan model kooperatif tipe TPS dapat dilaksanakan dengan baik. Hal itu terlihat dari peningkatan penilaian pada setiap siklus. Penyampai tujuan dan memotivasi siswa, mengajukan permasalahan, mengorientasikan siswa dalam tim belajar, berbagi dengan seluruh siswa, melakukan evaluasi, pengelolaan waktu dalam kegiatan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan rencana pembelajaran mengalami peningkatan. Pada siklus 1 memiliki ratarata 3,14 sedangkan pada siklus 2 meningkat menjadi 3,46. Skor rata-rata secara keseluruhan pengelolaan pembelajaran sains biologi dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS yaitu 3,30. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS yang diterapkan di kelas VII SMP Negeri 2 Laung Tuhup terbukti dapat mendorong partisipasi anak dengan memberikan kesempatan untuk berdiskusi, bertanya, mengekspresikan sesuatu dan menyampaikan pendapat. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat digunakan untuk menggantikan model konvensional dan mengarahkan pada perilaku siswa aktif.
B. Aktivitas Guru dan Siswa dalam Kegiatan pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS
dengan
1. Aktivitas Guru Tabel 2 memperlihatkan hasil pengamatan aktivitas guru pada tahap perencanaan yang terdiri dari 6 kategori pengamatan dan tahap pelaksanaan dan
5
aktivitas siswa adalah 7 kategori pengamatan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa, persentase aktivitas guru pada tahap Tabel 2. Aktivitas Guru Pada Tahap Perencanaan KBM Ciri-ciri Mahluk Hidup dengan Model Pembelajaran Kooperatif tipe TPS. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Aktivitas yang Diamati Memberikan informasi konten/isi materi yang dipilih untuk diajarkan Memberikan informasi tentang kejelasan tujuantujuan konten Memberikan informasi tentang kejelasan tujuantujuan penyelidikan Membuat situasi-situasi masalah penuh kriteria Memberikan bahan pengajaran yang sesuai Melakukan persiapan secara keseluruhan Rata-rata
Aktivitas dalam KBM (%) Siklus 1 Siklus 2 15.00 15.00
Rata-rata (%) 15.00
14.60
14.60
14.60
14.60
16.60
15.60
16.00 17.50 13.00
17.00 17.50 16.00
16.50 17.25 14.50
90.70
96.70
93.70
perencanaan yang diamati terdiri dari aspek memberikan informasi isi materi yang dipilih untuk diajarkan memiliki rata-rata 15,00 %, memberikan informasi tentang kejelasan tujuan-tujuan konten atau isi rata-rata mencapai 14,60%, memberikan informasi tentang kejelasan tujuan-tujuan penyelidikan rata-rata 15,60%, membuat situasi-situasi masalah penuh kriteria rata-rata 16,50%, memberikan bahan pengajaran yang sesuai rata-rata 17,25 %, melakukan persiapan secara keseluruhan 14,50%. Aktivitas guru yang paling dominan pada pelaksanaan KBM dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS mulai siklus pertama (90,70%) dan kedua (96,70%) menujukkan aktivitas yang sesuai dengan model pembelajaran kooferatif tipe TPS, demikian juga dengan aktivitas siswa mencapai rata-rata 93,70%. Berdasarkan nilai rata-rata di atas, aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran sains biologi telah dilakukan dengan baik. Hasil tersebut menunjukkan, bahwa proses belajar mengajar telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan dengan ketentuan-ketentuan yang seharusnya ada dalam proses belajar mengajar telah dilaksanakan dan dilakukan oleh guru dan juga guru telah memberikan materi pembelajaran serta dalam mengelola proses belajar mengajar dengan baik yaitu terjadi interaksi proses belajar antar siswa dan guru Walaupun demikian beberapa aktivitas individu pada awal KBM masih ada yang menyimpang tetapi setelah siklus yang kedua berubah sesuai dengan model
6
yang digunakan. Hal itu juga dinyatakan oleh Ibrahim (2000), bahwa pada model pembelajaran kooperatif, setelah beberapa kali diadakan pembelajaran siswa menunjukkan kemajuan yang sangat baik dalam kegiatan belajar. Persentase aktivitas guru pada tahap pelaksanaan yang diamati meliputi aspek mengorientasi siswa pada situasi masalah seperti Tabel 3. Pada Tabel 3 rata-rata 13,30%, Tabel 3. Aktivitas Guru pada Tahap Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran Ciri-ciri Mahluk Hidup Model Pembelajaran Kooperatif tipe TPS No
Aktivitas yang Diamati
1. 2.
Mengorientasi siswa pada situasi masalah Mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar Membimbing atau membantu siswa dalam kelompok belajar Memberi informasi membantu menjelaskan tahapan tentang presentasi karya siswa Mengorganisasikan presentasi siswa Memperhatikan dan menghargai upaya masingmasing siswa/individu Memperhatikan dan menghargai upaya kelompok
3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah
mengorientasi
siswa
dalam
kelompok
Aktivitas dalam KBM %) Siklus 1 Siklus 2 12.80 13.80 13.70 12.70
Rata-rata (%) 13.30 13.20
14.80
15.80
15.30
14.80
13.00
13.90
16.60 10.70
16.60 10.70
16.60 10.70
11.70
12.70
12.20
95,10
95,30
belajar
memiliki
rata-rata
95,20
13,20%,
membimbing dan membantu siswa dalam kelompok belajar memiliki rat-rata 15,30%, memberi informasi atau menjelaskan tahapan tentang presentasi karya siswa memiliki rata-rata
16,60%,
mengorganisasi
presentasi
memiliki
rata-rata
10,70%,
memperhatikan dan menghargai upaya masing-masing siswa atau kelompok memiliki rata-rata 10,70%, memperhatikan dan menghargai kerja kelompok atau tim memiliki rata-rata 12,20%.
2. Aktivitas Siswa Hasil analisis aktivitas siswa selama KBM ciri-ciri mahluk hidup dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS tertera pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, persentase Tabel 4. Aktivitas Siswa Selama KBM dengan Model Pembelajaran Kooperatif tipe TPS No
Aktivitas yang Diamati
Aktivitas dalam KBM (%) Rata-rata (%)
7
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah Bekerjasama dan berdiskusi dengan baik Kejelasan penyampaian hasil karya secara ilmiah Kemampuan mempertahankan ide Kebenaran ide yang disampaikan Keterbukaan dalam menerima masukkan
Jumlah
Siklus 1 13.50
Siklus 2 12,00
12.75
12.80 12.80 12.50
13,00 13,00 15,00
12.90 12.90 13.75
11.57 16,00 13.70
11,00 17,00 15,00
11.28 16.50 14.35
92.87
96,00
94.43
aktivitas siswa yang diamati meliputi aspek mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru memiliki rata-rata 12,75%, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah memiliki rata-rata 12,90%, bekerjasama dan berdiskusi dengan baik memiliki rata-rata 12,90%, kejelasan menyampaikan hasil karya secara ilmiah memiliki rata-rata 13,75%, kemampuan mempertahankan ide memiliki rata-rata 11,28%, kebenaran ide yang disampaikan memiliki rata-rata 16,50%, keterbukaan dalam menerima masukan memiliki rata-rata 14,35%. Persentase aktivitas siswa selama KBM dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. Pendapat siswa terhadap perangkat pembelajaran antara lain materi 85,25% siswa baru, LKS, 91,10% siswa berpendapat baru, charta yang digunakan 91,45% baru. Suasana belajar di kelas 77,90% siswa yang berpendapat baru, sedangkan cara penyajian materi oleh guru semua siswa berpendapat baru (100%). Keterbacaan bahasa lembar kerja siswa sebanyak 86,70% siswa jelas terhadap (LKS). Tampilan huruf pada LKS, 75% siswa yang menyatakan jelas. Langkah kerja pada LKS, 93,60%, jelas. Pada uraian 6, tampilan gambar pada charta, 93,6% siswa merasa jelas, tampilan huruf pada charta, 72,10% jelas. Pendapat siswa tentang model pembelajaran untuk diterapkan pada materi lain sebanyak 98,5% siswa merasa senang jika pokok bahasan selanjutnya disajikan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan 100% siswa menyatakan, bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS bermanfaat pada proses belajar mengajar. Respon siswa yang menyatakan cara mengajar guru dan cara belajar siswa sangat menyenangkan dan menarik. Sebagian besar siswa senang dengan kegiatan
8
pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPS. Demikian juga dengan materi, semua siswa senang dengan materi yang diberikan. Hal tersebut disebabkan karena guru sangat sedikit memberikan materi pembelajaran sehingga mereka harus siap dengan materi sebelum berlangsungnya kegiatan pembelajaran dimulai agar dapat menyelesaikan permasalahan atau isu yang diajukan oleh guru pada awal kegiatan pembelajaran. Siswa yang senang dengan LKS, charta, dan cara penyajian materi oleh guru masing-masing memiliki persentase yang cukup besar. Sedangkan ketidaksenangan dengan suasana belajar di kelas dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS memiliki persentase yang rendah. Hal ini disebabkan karena situasi belajar di kelas sangat berorientasi kepada siswa dan mengharuskan siswa melakukan penyelidikan secara ilmiah dan dalam memecahkan permasalahan. Model pembelajaran ini menuntut siswa, secara mandiri maupun kelompok untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi kemudian siswa juga dituntut untuk saling berbagi hasil ide atau pikiran mereka dengan siswa yang lainnya. Semua siswa berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS sangat bermanfaat bagi mereka serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dinyatakan oleh Slavin Depdiknas, (2004) bahwa model kooperatif ini unggul dalam membantu siswa dalam memahami konsep-konsep atau masalah yang sulit dipecahkan oleh siswa. Model pembelajaran kooperatif juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa, misalnya pada saat sekarang ini sering terjadi pertikaian kecil antara individu yang dapat mengakibatkan tindak kekerasan tetapi dengan adanya pengembangan keterampilan sosial siswa maka masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik (Depdiknas, 2004).
C. Data Tes Hasil Belajar Ciri-ciri Mahluk Hidup Siswa SMP N 2 Laung Tuhup Kelas VII Semester II Tingkat ketuntasan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar Ciri-ciri mahluk hidup pada awal dan akhir proses belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dianalisis menggunakan ketuntasan individual terhadap PTK. Berdasarkan patokan di Kelas VII Semester II SMPN 2 Laung Tuhup, batasan ketuntasan hasil belajar individual dan PTK adalah 65%, sedangkan
9
ketuntasan klasikal dalam kelas dari hasil penelitian ini dinyatakan tuntas karena mencapai lebih dari 70% . Siswa yang tidak tuntas dalam mengikuti proses belajar mengajar Ciri-ciri mahluk hidup dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah 1 orang dari 34 siswa, sedangkan persentase ketuntasan siswa secara klasikal adalah 97%. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan proporsi jawaban benar pre-tes dan pos-tes siswa pada setiap siklus untuk hasil belajar Ciri-ciri mahluk hidup dari 0,46 menjadi 0,87. Seluruh butir soal memiliki sensitivitas bernilai positif sehingga dapat dinyatakan sensitif untuk mengukur efek pembelajaran. Model kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan proporsi jawaban benar untuk hasil belajar siswa kelas VII dari 0,56 menjadi 0,90. Secara keseluruhan dari 8 PTK, 100% PTK telah tuntas. Sedangkan berdasarkan sensitivitas, 20 butir soal yang ada dapat dikatakan positif untuk mengukur efek pembelajaran (tidak ada sensitivitas butir soal yang bernilai negatif). Peningkatan proporsi jawaban benar masing-masing siswa untuk pre-test dan pos-tes. Secara klasikal, pembelajaran dikatakan tuntas karena 97% dari keseluruhan siswa telah tuntas. Berdasarkan patokan di SMP Negeri 2 Laung Tuhup, batas ketuntasan hasil belajar individual dan PTK adalah 65%, sedangkan ketuntasan klasikal dalam kelas dinyatakan tuntas jika mencapai 70%. Berdasarkan dari hasil analisis penelitian, ada 1 orang siswa yang belum tuntas belajarnya berdasarkan ketuntasan belajar di SMP Negeri 2 Laung Tuhup. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa ketidaktuntasan ini disebabkan karena pengetahuan siswa masih rendah, ini terlihat pada saat kegiatan pembelajaran dimana siswa tersebut kurang begitu aktif menanggapi pertanyaan guru yang mencoba mengingatkan materi pembelajaran sebelumnya. Pengetahuan siswa menjadi syarat utama dan menjadi syarat penting dari pembelajaran selanjutnya yang masih terkait dengan materi pembelajaran sebelumnya (Dahar, 2001). Hal ini sesuai dengan pernyataan Arends (1997) bahwa pengetahuan awal siswa adalah sekumpulan dari pengetahuan dan pengalaman individu yang diperoleh sepanjang hidup yang diterapkan pada pengalaman belajar yang baru. Pembentukan konsep ciri-ciri mahluk hidup, terutama dipengaruhi oleh model mengajar yang berpusat pada siswa, seperti
10
yang dinyatakan oleh Nur (2000), bahwa penanam konsep akan lebih bermankna jika siswa dapat mengkonstruk materi berdasarkan pengalamannya. Dari 8 aspek penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model pembelajaran TPS pada konsep ciri-ciri mahluk hidup dapat dinyatakan bahwa PTK 100% telah tuntas. Hal itu menunjukkan, bahwa model kooperatif tipe TPS sangat efektif untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. Hasil penelitian tindakan kelas ini menunjukkan, bahwa tuntasnya seluruh PTK tersebut karena siswa telah memahami materi dan metode-metode ilmiah serta aktivitas secara ilmiah dalam sains biologi pada materi sebelumnya sehingga guru dapat lebih mudah untuk menerapkan pada materi selanjutnya ditunjang dengan model kooperatif tipe TPS yang menagarah pada student centered.
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada konsep ciri-ciri mahluk hidup untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Laung Tuhup Tahun pelajaran 2007/2008 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik. 2. Aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran sains selama kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. 3. Pembelajaran sangat menyenangkan dan menarik serta merupakan hal baru dalam kegiatan pembelajaran. 4. Respon guru baik terhadap perangkat dan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. 5. Hasil belajar secara klasikal mencapai 97% telah tuntas dan dari keseluruhan PTK 100% telah tuntas. 6. Hasil belajar sains biologi siswa pada siklus 1 dan 2 mengalami peningkatan pada konsep Ciri-ciri mahluk hidup kelas VII SMP Negeri 2 Laung Tuhup tahun pelajaran 2007/2008
11
DAFTAR RUJUKAN Anomim (1999). Penelitian Tindakan (Action Research.) Bahan Penelitian Depdikbud Anom, I. W. (2006). Peningkatan hasil belajar Biologi Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Pendekatan Struktur Think-Pair-Share Pada Konsep Bioteknologi Kelas X SMA Negeri 1 Pahandut Tahun pelajaran 2005/2006.. Palangka Raya : FKIP UNPAR. Arends, R.I. 1997. Classroom Instructional And Management. New York : McGrawhill Book Companies, Inc Dahar, W. (2001). Teori-Teori Belajar. Bandung. IKIP Bandung Depdiknas (2004). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains SMP dan MTs, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Emberger, M. (2000). Cooperative learning: The missing ingredient for school improvement. Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran kooperatif. Surabaya: Pusat sains dan matematika sekolah program pasca sarjana UNESA. Universitas Press. Kasbullah, K. (1998). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Proyek Pendidikan Guru SD Malang: Depdikbud. Nur, M. (2000). Pengajaran berpusat kepada siswa dan pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran. Surabaya. Pusat Studi MIPA. Sekolah UNESA Sardiman, A.M. (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta Raja Gravindo Persada. Uecket, C. (2001). Incorporating learner cantered education strategies in large enrolment biology lecture. www. abor.asu.edu Usman, U. (1989). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (Student Team Achievement Division) DENGAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SD NEGERI 1 MENTENG PALANGKARAYA PADA KONSEP GAYA DAN ENERGI Nuriman Wijaya Abstrak Model pembelajaran kooperatif tipe STAD memungkinkan guru mengaktifkan siswa sekaligus dapat mencapai tujuan pembelajaran, baik bersifat kognitif, afektif dan psikomotorik. Apalagi jika dikombinasikan dengan strategi peta konsep. Model pembelajaran ini memposisikan guru sebagai fasilitator, mediator dan motivator. Penelitian ini berangkat dari masalah proses pembelajaran yang terjadi setiap hari di SDN 1 Menteng, yaitu kurangnya pemahaman siswa tentang materi gaya dan energi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa tentang konsep gaya dan energi dengan rincian sub-sub tujuan mendekripsikan aktivitas guru dan siswa, pengelolaan pembelajaran, respon siswa dan guru terhadap pembelajaran, serta ketuntasan hasil belajar siswa setelah penerapan kombinasi model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan strategi peta konsep. Penelitian tindakan kelas ini mengacu pada model yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc. Taggart, yang terdiri dari 4 langkah penyusunan rencana, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi atas tindakan yang dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus. Analisis data menunjukkan bahwa hasil pre-tes yang diperoleh siswa mempunyai skor rata-rata 46, ada 1 orang siswa dengan nilai tertinggi yakni 55 dan 5 orang siswa dengan nilai terendah yakni 35. Hal ini berarti 100% tidak tuntas. Sedangkan hasil pos-tes yang diperoleh siswa skor rata-rata 78 dengan nilai tertinggi adalah 95 terdapat 3 orang dan nilai terendah adalah 50 yang menyatakan bahwa 93,1% tuntas dan 6,9% tidak tuntas. Berdasarkan temuan ini ada peningkatan pemahaman dan penguasaan materi yang diiringi dengan meningkatnya hasil belajar siswa. Hal ini juga didukung oleh data hasil aktivitas guru dan siswa, pengelolaan pembelajaran, respon guru dan siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikombinasikan dengan peta konsep dapat diterima dengan baik oleh siswa. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka disarankan agar guru menyesuaikan materi pelajaran yang akan diajarkan dengan model pembelajaran yang akan digunakan. Untuk itu penguasaan
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unpar Palangkaraya
13
materi bagi guru juga sangat perlu ditingkatkan mengingat tanpa penguasaan materi oleh guru semua strategi belajar mengajar tidak akan bisa diterapkan. Disarankan pula agar guru menggunakan peta konsep dalam mengajar IPA, untuk membuat siswa menjadi lebih memahami materi pelajaran dengan baik. Kata-kata kunci : Pembelajaran kooperatif, STAD, peta konsep, hasil belajar Konsep gaya dan energi tidak bisa dipisahkan pada materi pelajaran IPA di SD, karena konsep gaya dan energi bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari siswa SD. Konsep gaya dan energi pada matapelajaran sains di SD adalah konsep yang cukup sulit untuk dimengerti siswa. Kata gaya sendiri tidak dikenal dalam kehidupan sehari-hari siswa SD di Indonesia. Tidak terkecuali siswa-siswa SD di Palangkaraya. Padahal siswa-siswa SD belajar sains melalui pergaulan hidup sehari-hari melalui bahasa. Untuk memahami konsep gaya dan energi, terlebih dahulu siswa harus mendapatkan pengalaman kongkrit dengan benda-benda nyata, dengan cara melakukan suatu percobaan. Salah satu tujuan guru mengajar adalah agar siswa memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan. Dalam konteks ini, maka pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pelajaran sangat penting bagi guru. Banyak model pembelajaran yang bisa digunakan untuk menyesuaikan materi pelajaran dengan keadaan dan kondisi siswa. Salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dipadukan dengan peta konsep. Jika konsep gaya dan energi ini diajarkan dengan cara ceramah maka siswa tidak akan memahami inti mata pelajaran itu dengan baik. Oleh karena itu, maka perlu diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Division). Tetapi sebelum siswa diberikan pengalaman melakukan percobaan, sebaiknya terlebih dahulu siswa diberikan informasi dahulu struktur keilmuan pada konsep gaya dan energi dengan menggunakan peta konsep. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD akan lebih efektif, karena sintaks model pembelajaran ini memungkinkan untuk dipadukan dengan peta konsep. Dalam sintaks model pembelajaran kooperatif tipe STAD, siswa terlebih dahulu diberikan materi pengantar untuk mempersiapkan siswa dalam melakukan percobaan. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk melakukan percobaan untuk memperdalam pemahaman siswa tentang konsep yang sedang
14
dipelajari. Selanjutnya perwakilan setiap kelompok mempresentasikan hasil percobaannya guna mendapatkan umpan balik dengan kawan sekelasnya dan dengan guru. Selanjutnya siswa-siswa yang mempunyai kinerja bagus diberikan penghargaan (reward) oleh guru. Peranan peta konsep adalah pada fase kedua dari sintaks model pembelajaran koopertaif tipe STAD. Peta konsep adalah alat semantik untuk menggambarkan seperangkat makna dari konsep yang dilekatkan dalam jaringan proposisi. Peta konsep membuat jelas gagasan pokok bagi guru maupun bagi siswa yang sedang memusatkan perhatian pada konsep pelajaran IPA yang spesifik. Peta konsep adalah suatu teknik untuk mengeksternalisasi konsep-konsep dan proposisi. Dengan peta konsep akan diketahui bahwa seseorang akan memahami konsep pelajaran atau tidak. Jika seorang siswa tidak bisa menghubungkan suatu konsep dengan konsep yang lainnya dengan suatu proposisi, maka bisa dipastikan bahwa siswa tersebut tidak mengerti materi pelajaran tersebut. Miskonsepsi ditandai dengan hilangnya proposisi dalam skemata seseorang. Alasan lain penggunaan peta konsep seperti ini karena kebanyakan guru di Indonesia, terutama di Palangkaraya, tidak bisa langsung diajak untuk mengajarkan IPA dengan menggunakan model pembelajaran yang murni berorientasi pada siswa (student center) seperti model Jigsaw dan Learning cycles (LC). Perlahan-lahan mereka diajak menggunakan model pembelajaran yang mengaktifkan siswa sementara kebiasaannya selama ini menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center) masih dipertahankan. Guru tidak dianjurkan mengajar dengan cara sangat berbeda dengan sebelumnya. Karena secara psikologis usaha yang tiba-tiba dan revolusioner seperti itu akan membuat guru shock, sehingga berakibat guru akan menolak tugas tersebut dengan cara langsung maupun tidak langsung. Ini pula yang dijadikan alasan menggunakan peta konsep. Salah satu tujuan guru mengajar adalah agar siswa memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan. Dengan kata lain ia berhasil mengajarkan konsep yang ia ajarkan pada siswa-siswanya. Dalam konteks itu, maka pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pelajaran sangat penting bagi guru. Banyak sekali model pembelajaran yang bisa digunakan untuk menyesuaikan materi pelajaran dengan keadaan dan kondisi siswa. Salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dipadukan dengan peta konsep.
15
Konsep gaya dan energi pada mata pelajaran sains di SD adalah konsep yang cukup sulit untuk dimengerti siswa. Kata gaya sendiri tidak dikenal dalam kehidupan sehari-hari siswa SD di Indonesia. Tidak terkecuali siswa-siswa SD di Palangkaraya. Padahal siswa-siswa SD belajar sains melalui pergaulan hidup sehari-hari melalui bahasa. Untuk memahami konsep gaya, terlebih dahulu siswa harus mendapatkan pengalaman kongkrit dengan benda-benda nyata, dengan cara melakukan suatu percobaan kepada siswa. Jika konsep ini diajarkan dengan cara ceramah maka siswa tidak akan memahami inti dari gaya. Oleh karena itu, maka perlu diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Tetapi sebelum itu siswa sebaiknya diberikan informasi dahulu struktur keilmuan pada konsep gerak pada tumbuhan dengan menggunakan peta konsep. Dengan demikian penggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD akan lebih efektif bila dipadukan dengan peta konsep.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Dimana kegiatan penelitian dilakukan sebanyak 2 siklus dengan masing-masing siklus terdiri dari dua kali tatap muka untuk siklus 1 dan dua kali tatap muka untuk siklus 2. Langkahlangkah penelitian ini meliputi: 1) penyusunan rencana tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi tindakan dan 4) refleksi atas tindakan yang dilakukan. Prosedur penelitian ini mengacu pada penelitian tindakan kelas yang meliputi dua tahapan utama, yaitu tahap pertama perencanaan dan tahap kedua implementasi tindakan. 1. Perencanaan Dalam tahap perencanaan ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah a) Melakukan langkah koordinasi pada sekolah mitra untuk menjaga kesalahpahaman den memberikan penjelasan mengenai bentuk tindakan yang akan digunakan dalam penelitian, b) Memberikan penjelasan pada guru mitra tentang pelaksanaan pendekatan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD yang dipadukan dengan peta konsep, c) Menyusun lembar observasi yang meliputi lembar observasi aktivitas guru dan siswa, lembar pegelolaan kelas, lembar pertanyaan tentang respon siswa, dan lembar pertanyaan tentang respon guru. Selain itu juga dilakukan penyusunan lembar LKS materi pembelajaran tentang gaya dan energi serta
16
menyusun RP yang berorientasi pada model pembelajaran kooperatif. d) Menyusun kisi-kisi dan perangkat tes untuk mengukur tes hasil belajar siswa, dan e) memberikan pelatihan kepada guru mitra dengan cara mensimulasikan satu RPP tertentu.
2. Implementasi Tindakan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan sebanyak 2 kali siklus tindakan dengan 4 kali tatap muka. Kedua siklus yang dimaksud dapat dijabarkan sebagai berikut. Siklus 1 Siklus 1 dilaksanakan 2 kali tatap muka dengan materi pokok gaya dan energi. Pada tatap muka 1 yang diajarkan dalah materi pokok gaya, pada tatap muka 2 yang diajarkan dalah materi pokok energi, kemudian dilakukan refleksi. Hasil refleksi pada siklus pertama digunakan sebagai pertimbangan untuk dilanjutkan ke siklus 2. Kegiatan guru mitra bersama peneliti adalah menyusun urutan materi pelajaran tentang konsep gaya dan energi yang akan dipraktikan selama pembelajaran sesuai kriteria kesulitan yang selama ini dirasakan oleh guru mitra. Diagnostik dilakukan oleh peneliti bersama guru mitra dengan mendiskusikan dan melakukan evaluasi terhadap tingkat kesulitan yang dirasakan oleh guru dan siswa selama ini. Berdasarkan hasil diagnostik dilakukan terapi yang meliputi a) Peneliti memberikan masukan dan arahan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan serta memberikan dorongan terhadap kelebihan-kelebihan yang ada pada guru mitra, b) Peneliti memberikan masukan dan arahan mengenai cara pembelajaran konsep gaya dan energi yang berorientasi pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD, c) Guru mitra mempersiapkan diri untuk menyampaikan pembelajaran dan target pencapaian dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Siklus 2 Siklus 2 dilaksanakan 2 kali tatap muka berdasarkan hasil refleksi pada siklus 1. Kegiatan guru mitra bersama peneliti adalah menyusun urutan materi pelajaran tentang konsep gaya dan energi yang akan dipraktikan selama pembelajaran sesuai kriteria kesulitan yang selama ini dirasakan oleh guru mitra. Diagnostik dilakukan oleh peneliti bersama guru mitra, hasil diskusi berupa a) peneliti bersama guru mitra melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan pada siklus 1 dan
17
menjadikan sebagai acuan untuk perbaikan pada siklus 2, dan b) peneliti dan guru mitra bersama mengidentifikasi permasalahan- permasalahan yang harus diperbaiki. Berdasarkan hasil diagnostik dilakukan terapi meliputi a) peneliti memberikan masukan dan arahan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan serta memberikan dorongan terhadap kelebihan-kelebihan yang ada pada guru mitra, b) peneliti memberikan masukan dan arahan terhadap penyampaian konsep gaya dan energi yang masuk kriteria kesulitan mudah, sedang, dan sulit termasuk memberikan masukan mengenai sintaks model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang digunakan, c) guru mitra mempersiapkan diri untuk menyampaikan pembelajaran dan target pencapaian dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) lembar observasi aktivitas guru dan siswa 2) lembar observasi pengelolaan pembelajaran (3) perangkat tes untuk mengukur kemampuan kognitif siswa 4) lembar angket respon siswa dan 5) lembar angket respon guru. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD yang Dikombinasikan dengan Peta Konsep Aktivitas Guru dan siswa dari awal hingga akhir kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikombinasikan dengan peta konsep (4 kali pertemuan dalam 2 siklus) yang diamati oleh 2 orang pengamat terhadap guru dengan mengisi instrumen 3 serta menuliskan kode kategori pengamatan dengan memberikan tanda (√). Hasil analisis terhadap pengamatan aktivitas guru selama kegiatan belajar mengajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikombinasikan dengan peta konsep ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil analisis terhadap pengamatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikombinasikan dengan peta konsep ditunjukkan pada Tabel 2.
18
Tabel 1. Aktivitas Guru dalam Mengelola Pembelajaran dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD yang Dikombinasikan dengan Peta Konsep
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
Aktivitas yang Dinilai Menyampaikan tujuan pembelajaran (indikator) Memotivasi siswa/menghubungkan dengan pelajaran yang lalu Memberikan informasi/menjelaskan materi pelajaran Mengorganisasi siswa dalam kelompok-kelompok belajar Membimbing siswa mengerjakan LKS, memandu mengamati kegiatan siswa Membimbing siswa mengkomunikasikan hasil kerja kelompok Membimbing siswa membahas hasil kerja kelompok dan memberikan penghargaan Memberikan evaluasi
Tabel 2.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rata-rata Aktivitas dalam KBM
Rata-rata
Kategori
Siklus 1 3,35
Siklus 2 3,25
3,25
Baik
3,00
3,00
3,00
Baik
3,50
3,50
3,50
Baik
3,00
3,00
3,00
Baik
3,50
3,50
3,50
Baik
3,50
3,50
3,50
Baik
3,75
3,25
3,50
Baik
3,75
3,25
3,50
Baik
Aktivitas Siswa Selama Proses Pembelajaran dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD yang Dikombinasikan dengan Peta Konsep
Aktivitas yang Dinilai Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain Membaca buku siswa dan LKS Bekerja dengan mengguna kan alat Menulis yang relevan dengan KBM Berdiskusi/bertanya antara siswa/ kelompok/guru Bertanya antar siswa lain Perilaku yang tidak relvan dengan KBM
Rata-rata Aktivitas Dalam KBM
Rata-rata
Kategori
Siklus 1 2,50
Siklus 2 3,50
3,00
Baik
3,00 3,50 3,50 3,20
3,50 3,50 3,60 3,30
3,25 3,50 3,55 3,25
Baik Baik Baik Baik
3,00 3,25
3,80 3,50
3,40 3,38
Baik Baik
Pengelolaan Pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD yang Dikombinasikan dengan Peta Konsep Kemampuan
guru
dalam
mengelola
kegiatan
pembelajaran
dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikombinasikan dengan peta konsep diamati oleh dua orang pengamat pada instrumen dengan menuliskan tanda checklist (√) pada kolom skor penilaian yang sesuai. Selama
19
pembelajaran (4 x pertemuan), penilaian pengamat terhadap kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Penilaian Pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Skor Pengamatan No 1 2 3 4 5
Aspek yang Dinilai RP-01 3,00 3,00 3,00 3,50 4,00 3,30
Persiapan Pelaksanaan Pengelolaan kelas Teknik bertanya guru Suasana kelas Rata-rata
RP-02 3 4 4 3,5 3,5 3,60
Rata-rata
Kategori
3,00 3,50 3,50 3,50 3,75 3,45
Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Data Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Data
hasil
pengamatan
respon
siswa
terhadap
penggunaan
model
pembelajaran kooperatif tipe STAD ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran Sikap No
Uraian
1
Tanggapan siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran a. Tanggapan siswa terhadap materi pelajaran b. Tanggapan siswa terhadap lembar kegiatan siswa c. Tanggapan siswa terhadap suasana belajar di kelas d. Tanggapan siswa terhadap cara penyajian materi oleh guru
2
Senang F 27
% 93,10
25 26 26 25
86,20 89,70 89,70 86,20
4 3 3 4
% 82,80
Tidak Baru F % 5 17,20
Baru 3
Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD
F 24
Senang 4
5
Tanggapan siswa jika konsep selanjutnya menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD
Tanggapan siswa terhadap konsep IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
Tidak Senang F % 2 6,90
F 25
% 86,20
Bermanfaat F % 26 89,70
13,80 10,30 10,30 13,80
Tidak Senang F % 4 13,80 Tidak F 3
% 10,30
20
Data Tes Hasil Belajar Kognitif (Pre-tes dan Pos-tes) Hasil belajar pada kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD seperti Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 hasil pre-tes diperoleh Tabel 5. Data Hasil Belajar Siswa (Pre-tes dan Pos-tes) Nomor siswa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Presentase
Skor Pre-tes 50 35 50 40 45 45 50 45 35 50 40 45 50 45 50 55 50 50 35 35 45 55 40 35 40 50 35 55 50 46
Ketuntasan T TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT 0% 100%
Skor Pos-tes 80 85 75 60 70 75 90 90 75 95 75 75 95 95 85 70 70 80 50 80 70 85 65 70 75 80 65 90 80 78
Ketuntasan T TT T T T T T T T T T T T T T T T T T T TT T T T TT T T T T T T 93,1% 6,9%
siswa skor rata-rata 35,9 dalam bentuk grafik seperti Gambar 1. Pada Gambar 1, menyatakan pada pre tes jumlah siswa yang tuntas dalam belajarnya adalah 46%. Ini berarti bahwa ada 54,1% yang tidak tuntas. Sedangkan pada pos tes siswa yang tuntas adalah 78%. Ini berarti ada 22% siswa yang tidak tuntas. Perbandingan antara skor pre tes dan pos tes terhadap penguasaan materi terlihat bahwa skor pos tes mengalami peningkatan yang diikuti dengan peningkatan persentase penguasaan materi.
21
100–
Skor Pre tes dan Post-tes
90 – 80 –
78
70 – 60 – 50 – 40 –
46
30 – 20 – 10 – 0
Pre-tes
Pos-tes
Gambar 1. Hasil Rata-rata Pre-tes dan Pos-tes
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran IPA dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas V SDN 1 Menteng Palangkaraya, Kalimantan Tengah dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk mengetahui hasil belajar siswa, peneliti memberikan tes setelah kegiatan belajar mengajar. Dengan mengingat bahwa hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat dari suatu proses belajar. Ini berarti bahwa optimalnya hasil belajar siswa tergantung pula pada proses pembelajaran di kelas. Hasil belajar tidak hanya dinilai dengan tes, tetapi .Instrumen observasi digunakan untuk memperoleh data mengenai perilaku individu atau proses kegiatan belajar mengajar. Pengamatan atau observasi pada penelitian ini dilakukan oleh dua orang pengamat yang memenuhi kriteria. Pembahasan Tes Hasil Belajar Kognitif (Pre-tes dan Pos-tes) Hasil pre-tes, skor rata-rata yang didapat siswa sebesar 46.(100%) tidak tuntas, hal ini berarti bahwa semua siswa tidak bisa menjawan soal-soal pre-tes. Pada pos-tes skor rata-rata 78 dengan ketuntasan belajar siswa sebesar 93,1% (27). Ini berarti ada 2 siswa (dari 29 jumlah siswa) yang tidak tuntas (6,9%). Dari tes hasil
22
belajar siswa juga diketahui bahwa nilai pos-tes mengalami peningkatan dari nilai pre-tes. Hal ini disebabkan karena dalam kelompok yang heterogen, siswa yang kurang pandai akan termotivasi oleh siswa yang pandai. Siswa yang pandai memberi bantuan pada siswa yang kurang pandai guna meningkatkan prestasi belajarnya. Ini berarti juga untuk meningkatkan nilai kelompok mereka. Dengan adanya kesungguhan siswa dalam belajar, maka tujuan pembelajaran yang diharapkan akan tercapai. Hal ini sesuai dengan teori motivasi yang menyatakan bahwa motivasi siswa dalam pembelajaran kooperatif terutama terletak pada bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan saat siswa melaksanakan kegiatan belajar (Nur 1997, dalam Ibrahim 2000). Pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berdasarkan hasil penilaian yang diberikan oleh pengamat dalam pengelolaan pembelajaran inisudah menunjukkan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan skor yang diberikan oleh pengamat terhadap pengelolaan pembelajaran pada masng-masing siklus. Hasil penilaian pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe STAD menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam tahap persiapan proses pembelajaran memiliki skor rata-rata 3 dengan kategori baik. Kemampuan guru dalam pelaksanaan KBM memiliki skor rata-rata 3,5 dengan kategori baik. Kemampuan guru dalam pengelolaan kelas memiliki skor rata-rata 3,5 dengan kategori baik. Kemampuan guru dalam teknik bertanya memiliki skor rata-rata 3,5 dengan kategori baik dan untuk aspek suasana kelas memiliki skor rata-rata 3,75 dengan kategori baik. Secara keseluruhan guru telah dapat mengelola pembelajaran dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Piter (2000:1) yang menyatakan bahwa pengelolaan pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, sebab tanpa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, maka kegiatan pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik. Aktivitas Guru Berdasarkan hasil penilaian aktivitas guru selama KBM dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam menyampaikan
tujuan
pembelajaran,
kemampuan
guru
memotivasi
siswa,
23
kemampuan guru menjelaskan, kemampuan guru mengorganisasi siswa dalam kelompok belajar, kemampuan guru membimbing siswa mengerjakan LKS, memperoleh skor diatas 3 dengan kategori baik. Hal ini disebabkan karena cara guru berinteraksi dalam pembelajaran cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas guru selama pembelajaran memenuhi peranan guru sebagai demonstrator, pengelola kelas, mediataor, fasilitator maupun evaluator. Hal ini sesuai dengan pendapat Anam (2000 : 3) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif peran guru sangat kompleks. Disamping sebagai fasilitator dan mediator, guru juga berperan sebagai manager dan konsultan dalam memberdayakan kerja kelompok siswa. Aktivitas Siswa Aktivitas siswa yang penting yang diamati pada kegiatan ini adalah mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain, membaca buku siswa dan LKS, bekerja dengan menggunakan alat dan bahan, menulis yang relevan dengan KBM, berdiskusi antar kelompok dan siswa lain. Semua aktivitas tersebut mendapatkan skor dengan kategori baik. Santoso dalam Anam (2000:2) menyatakan di dalam kelompok belajar, siswa bekerja dan bertanggung jawab dengan sungguhsungguh sampai selesainya tugas-tugas individu dan kelompok. Respon Siswa Selama mengikuti pembelajaran 93,10% siswa merasa senang, dan sebanyak 6,9% siswa merasa tidak senang. Tanggapan siswa terhadap materi pelajaran 86,20% senang dan sebanyak 13,80% merasa tidak senang. Tanggapan siswa terhadap lembar kegiatan siswa 89,70 senang dan 10,30% tidak senang. Tanggapan siswa terhadap suasana belajar di kelas 89,70 merasa senang dan 10,30% tidak senang. Tanggapan siswa terhadap cara penyajian pelajaran oleh guru 86,20 merasa senang dan 13,80% tidak senang. Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD 82,80% siswa berpendapat bahwa model ini baru bagi mereka dan sebanyak 17,20% menyatakan tidak baru. Jika konsep ini diajarkan dengan model STAD, kebanyakan siswa berpendapat senang sebanyak 89,70%, dan sebanyak 10,30% tidak senang. Tanggapan siswa terhadap konsep menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
24
STAD 89% siswa merasa bermanfaat, dan sisanya menyatakan tidak bermanfaat. Ini disebabkan mereka masih belum memahami model pembelajaran kooperatif tipe ini. Menurut Rejeki (2001:1) model pembelajaran kooperatif merupakan tindakan pemecahan masalah yang dilakukan karena dapat meningkatkan kemajuan belajar, sikap siswa yang lebih positif, menambah motivasi dan percaya diri. Juga menambah rasa senang siswa terhadap pelajaran biologi. Respon Guru Berdasarkan hasil angket respon guru IPA terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini guru menilai bahwa rencana pembelajaran sangat membantu, LKS dan panduannya juga sangat membantu, perangkat evaluasi sangat membantu, media pembelajaran sangat membantu dan mudah untk dilaksanakan. Guru juga berpendapat bahwa dengan cara seperti ini guru juga dapat lebih mudah menyampaikan materi tanpa lebih banyak berbicara di depan kelas, tetapi memberi motivasi kepada siswa untuk bisa berpikir lebih kritis dan berani dalam bertanya. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa juga dapat mengemukakan kesulitan-kesulitan belajar yang dialaminya sehingga guru bisa lebih memahami karakteristik siswanya. Menurut guru kelas dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh model ini maka model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini layak digunakan sebagai model pembelajaran yang inovatif
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan hasil pre-tes belum tuntas karena siswa mempunyai skor rata-rata 46, ada 1 orang siswa dengan nilai tertinggi yakni 55 dan 5 orang siswa dengan nilai terendah yakni 35. Hasil postes telah mencapai ketuntasan karena skor rata-rata siswa 78 dengan nilai tertinggi adalah 95 terdapat 3 orang dan nilai terendah adalah 50 yang menyatakan bahwa 93,1% tuntas dan 6,9% tidak tuntas. Berdasarkan temuan ini ada peningkatan pemahaman dan penguasaan materi yang diiringi dengan meningkatnya hasil belajar siswa. Hal ini juga didukung oleh data hasil aktivitas guru dan siswa, pengelolaan pembelajaran, respon guru dan siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikombinasikan dengan peta konsep dapat diterima oleh siswa.
25
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka disarankan agar guru menyesuaikan materi pelajaran dengan model pembelajaran yang digunakan. Penguasaan materi juga perlu ditingkatkan bagi guru, tanpa penguasaan materi semua pendekatan pembelajaran tidak akan bisa diterapkan. Disarankan pula agar guru menggunakan peta konsep dalam mengajar IPA supaya lebih memahami materi pelajaran.
DAFTAR RUJUKAN Corebima dkk. 2002. Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi: Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Djamarah, S.B.2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rhineka Cipta. Suparno, S.2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta :Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Sudjana, N. 2004. Dasar-dasar Proses pembelajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sudjana, N. 1989. Penilaian Hasil Proses pembelajaran . Bandung: Rosdakarya. Ibrahim, M. & Nur, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA-UNIVERSITY PRESS. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rhineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta : Bumi Aksara. Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sinulingga, P. 2002. Pembelajaran Kooperatif Fisika Dasar II Konsep arus Listrik dan Rangkaian Listrik Arus Searah dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis Tidak Diterbitkan. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Tim Penyusun, 2003. IPA 3 Kelas 5 SD. Klaten : Intan Pariwara Tim Penyusun
PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATERI SINTESIS PROTEIN Aminuddin Prahatamaputra
Abstrak Pengajaran biologi menyangkut keserasian dan keseimbangan antara pengetahuan akademik dengan pengetahuan praktik, sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik. Agar pembelajaran biologi sangat menarik perhatian siswa serta dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, maka perlu dilakukan dengan menggunakan metode yang menarik dan tepat. Belajar sambil bermain lebih diutamakan melalui latihanlatihan mengamati dengan menggunakan seluruh indera dan alat atau benda-benda konkret lainnya. Dalam pembelajaran tentang sintesis protein yang sulit dilakukan dengan percobaan dan pengamatan dapat dilakukan dengan belajar sambil bermain peran. Kata kunci: pemahaman, sintesis protein, bermain peran
Materi tentang sintesis protein dalam pengajaran biologi di sekolah menengah umum merupakan sebuah konsep yang sukar dipahami oleh para siswa. Pemahaman atas proses yang terjadi dalam pembuatan suatu protein agaknya merupakan hal yang rumit bagi siswa, di samping uraian dalam buku pegangan dengan ilustrasinya kerapkali gagal menyajikan suatu penjelasan yang memadai. Mekanisme sintesis protein merupakan mekanisme biosintesis yang paling kompleks mengingat ada tiga proses yakni inisiasi, elongasi, dan terminasi polipeptida yang terjadi dalam mekanisme tersebut. Selain itu adanya keterlibatan RNA ribosom dan RNA transfer serta makromolekul lain untuk melangsungkan translokasi terhadap RNA duta pada saat polipeptida tersebut dikemaskan (Lehninger, 1994). Oleh karena itu diperlukan suatu model pembelajaran yang memerlukan kreativitas guru agar para siswa terbantu dan lebih menyenangi dalam memahami langkah-langkah yang terjadi dalam sintesis protein dan salah satunya melalui bermain peran (Rode, 1995).
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin
27
Tulisan ini bertujuan untuk menerangkan sebuah metode pembelajaran dengan bermain peran yang dapat dilakukan di dalam ruang kelas oleh para siswa dalam menjelaskan pokok bahasan yang terasa rumit ini, meskipun mempersiapkan bahan-bahan untuk melaksanakan kegiatan tersebut agak merepotkan, tetapi aktivitas yang dilakukan tidak memerlukan bahan yang mahal dan dibuat cukup satu kali sehingga dapat dilakukan berulang-ulang dengan persiapan yang minim. SINTESIS PROTEIN DAN PENGATURANNYA Banyak pengetahuan mengenai proses keseluruhan sintesis protein, tetapi, mungkin ini hanya sebagian saja dari pengetahuan yang masih harus dipelajari terus. Menakjubkan, bahwa sintesis protein merupakan mekanisme biosintetik yang paling kompleks, yang memerlukan sejumlah besar enzim dan makromolekul spesifik lainnya. Menurut Lehninger (1994) di dalam sel eukaryotik, sintesis protein memerlukan partisipasi lebih dari 70 jenis protein ribosom; 20 atau lebih enzim dibutuhkan untuk mengaktifkan prekursor asam amino; selusin atau lebih enzim pembantu dan faktor protein spesifik untuk proses inisiasi, pemanjangan, dan terminasi polipeptida; dan mungkin 100 atau lebih enzim tambahan dibutuhkan untuk pengolahan berbagai jenis protein. Selain itu kita perlu menambahkan 70 atau lebih jenis RNA ribosom dan RNA pemindah. Jadi, hampir 300 jenis makromolekul harus bekerja sama untuk melakukan sintesis polipeptida. Selain itu, banyak di antara makromolekul ini yang disusun menjadi struktur tiga dimensi ribosom yang kompleks, untuk melangsungkan translokasi terhadap RNA duta pada saat polipeptida ini dikemaskan. Protein bersifatnya kompleks, akan tetapi protein dapat dibuat dengan kecepaan tinggi. Contohnya hanya kira-kira 5 detik diperlukan bagi satu ribosom Escherichia coli untuk membuat rantai polipeptida lengkap dengan 100 residu. Selain itu, sintesis ribuan jenis protein di dalam sel diatur secara ketat, sehingga hanya sejumlah molekul yang dibutuhkan saja yang dibuat pada setiap keadaan metabolik tertentu (Cano, 1986).
28
SINTESIS PROTEIN TERJADI DALAM LIMA TAHAP UTAMA Sintesis protein memerlukan sejumlah komponen pada masing-masing tahapannya. Tabel 1 memperlihatkan komponen-komponen yang diperlukan di dalam E. coli dan prokariotik lainnya. Tahap 1: Aktivasi Asam Amino Pada tahap ini, yang terjadi di dalam sitosol, dan bukan pada ribosom, masingmasing dari 20 asam amino ini diikat secara kovalen dengan suatu RNA pemindah spesifik, dengan memanfaatkan energi ATP. Reaksi ini dikatalis oleh enzim pengaktif yang memerlukan Mg2+ sebagai kofaktor, masing-masing spesifik bagi satu asam amino dan bagi RNA transportnya. Tabel 1. Komponen yang Diperlukan di Dalam Lima Tahap Utama Sintesis Polipeptida pada Escherichia coli. Tahap 1. Aktivitas asam amino
2. Inisiasi rantai polipeptida
3. Pemanjangan
4. Terminasi 5. Pelipatan dan pengolahan
Komponen yang diperlukan 20 asam amino 20 aminoasil RNA transport sintetase 20 atau lebih RNA pemindah ATP Mg2+ RNA pembawa pesan N-Formilmetionil-RNA transport Kodon Inisiasi pada RNA duta (AUG) Subunit 30S ribosom Subunit 50S ribosom GTP Mg2+ Faktor inisiasi (IF-1, IF-2, IF-3) Ribosom 70S fungsionil (kompleks inisiasi) RNA transport aminoasil, dikhususkan oleh kodon Mg2+ Faktor pemanjangan (Tu, Ts, dan G) GTP Peptidil transferase Kodon terminasi pada RNA duta Faktror pembebas polipeptida (R1, R2, dan S) Enzim dan kofaktor khusus untuk melepaskan residu penginisiasi dan pemuka yang memberi isyarat, untuk melakukan modifikasi residu ujung, pengikatan gugus prostetik enzim, dan modifikasi kovalen gugus R asam amino spesifik melalui pengikatan gugus fosfat, metil, karboksil, atau gugus karbohidrat.
Tahap 2: Inisiasi Rantai Polipeptida Selanjutnya, RNA pembawa pesan yang membawa sandi bagi polipeptida yang akan dibuat diikat oleh subunit ribosom yang berukuran lebih kecil, diikuti oleh inisiasi asam amino yang diikat oleh RNA transportnya, membentuk suatu kompleks
29
inisiasi. RNA transport asam amino penginisiasi ini berpasangan dengan triplet nukleotida spesifik atau kodon pada RNA duta yang menyandi permulaan rantai polipeptida. Proses ini, yang memerlukan guanosin trifosfat (GTP) dilangsungkan oleh tiga protein sitosol spesifik yang dinamakan faktor inisiasi. Tahap 3: Pemanjangan Rantai polipeptida sekarang diperpanjang oleh pengikatan kovalen unit asam amino berturut-turut, masing-masing diangkut menuju ribosom dan diletakkan ketempatnya secara benar oleh RNA transport masing-masing, yang berpasangan dengan kodonnya pada molekul RNA pembawa pesan. Pemanjangan digiatkan oleh protein sitosol yang dinamakan faktor pemanjangan. Energi yang diperlukan untuk mengikat setiap aminoasil RNA transport yang datang untuk pergerakan ribosom di sepanjang RNA pembawa pesan satu kodon diperoleh dari hidrolisis dua molekul GTP bagi setiap residu yang ditambahkan ke polipeptida yang sedang tumbuh. Tahap 4: Terminasi dan Pembebasan Penyempurnaan rantai polipeptida, yang dicirikan oleh suatu kodon terminasi (pengakhir) pada RNA duta, diikuti oleh pembebasannya dari ribosom, yang dilangsungkan oleh faktor pembebas. Tahap 5: Pelipatan dan Pengolahan Untuk memperoleh bentuk aktifnya secara biologis polipeptida harus mengalami pelipatan menjadi konfirmasi tiga dimensi yang benar. Sebelum atau setelah pelipatan, polipeptida
baru dapat mengalami pengolahan oleh kerja
enzimatik untuk melepaskan asam amino penginisiasi, dan mengikat gugus fosfat, metil, karboksil atau gugus lain pada residu asam amino tertentu, atau untuk mengikat gugus oligosakarida (gugus prostetik) (Stansfield, Cano, & Colome, 2006). PERSIAPAN KEGIATAN DALAM KELAS Bermain peran mempersyaratkan partisipasi minimal sejumlah 21 siswa. Jika banyaknya siswa anda kurang dari jumlah tersebut, para siswa dapat memainkan peran ganda (Suwono, 2000). Dalam kegiatan berikut para siswa akan menampilkan bagaimana proses pembuatan gastric juice peptide (peptida getah lambung) manusia yang hanya terdiri dari 10 asam amino sehingga konstruksinya dapat diatur untuk
30
ditampilkan pada simulasi di dalam kelas. Rangkaian asam amino gastric juice peptide manusia menurut Croft (1980) adalah sebagai berikut : LEUSIN – ALANIN – ALANIN – GLISIN – LISIN – VALIN – ASAM GLUTAMAT – ASAM ASPARTAT – SERIN – ASAM ASPARTAT. Bahan-bahan yang perlu disiapkan antara lain karton manila putih, penggaris, gunting, hanger pakaian (penggantung baju dari kawat) 10 buah, peniti 11 buah, kawat pegas, bola pimpong, dan kertas label bertuliskan LEUSIN; ALANIN (2); GLISIN; LISIN; VALIN; ASAM GLUTAMAT; ASAM ASPARTAT (2); dan SERIN. Kegiatan berikutnya melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membuat 11 buah kartu indeks berukuran 4 x 6 cm, masing-masing ditulisi kode DNA (triplet), di mana A = adenin; T = timin; G = guanin; dan C = sitosin. Agar masing-masing basa nitrogen tersebut memiliki ciri yang mudah dikenali, pada bagian bawah kartu dipotong sehingga basa komplementernya sesuai satu sama lain selama proses sintesis, di mana A komplemen dengan T, dan G dengan C (Gambar 1).
Gambar 1. Kartu Indeks Menunjukkan Pesan dari Kiri ke Kanan, yang Menggambarkan Triplet DNA.
2. Melakukan penomoran pada bagian belakang kartu agar mudah disimpan bila kegiatan sudah berakhir.
31
3. Membuat 11 buah kartu indeks lain sebagai 10 kodon RNA (RNA duta) dan 1 kodon penyetop, di mana A = adenin, U = urasil, G = guanin, dan C = sitosin. Bagian atas kartu indeks dipotong agar sesuai dengan basa komplemennya (Gambar 2).
Gambar 2. Kartu Indeks Menunjukkan Pesan dari Kiri ke Kanan, yang Menggambarkan Kodon RNA Duta
4. Membuat model RNA transfer dari hanger pakaian yang dibengkokkan. Di bawah hanger dibuat tempat triplet antikodon dengan melekatkan sebuah kartu indeks berisi variasi huruf A, U, G (Gambar 3).
Gambar 3. Hanger yang Ditempati Kartu Indeks dengan Kodon Pemula dan Asam Amino Metionin
32
Gambar 4. Kartu Indeks Menunjukkan Pesan dari Kiri ke Kanan, Menggambarkan Molekul Antikodon RNA Transfer
5. Pada bagian belakang kartu ditulis nama asam amino yang sesuai dengan kodon yang nantinya mempresentasikan kodon pada RNA duta. 6. Melubangi bola pimpong pada dua sisi yang berlawanan, kemudian merekatkan masing-masing label nama asam amino yang berbeda pada bola tersebut. Sebagai contoh, jika guru meminta untuk membentuk kodon pemula, bahanbahan berikut yang harus didapatkan adalah: sebuah kartu indeks DNA dengan tulisan “T A C”; sebuah kartu RNA duta dengan tulisan “A U G”; sebuah model kawat RNA transfer dengan antikodon “U A C”; sebuah pegas; dan sebuah bola pimpong yang diberi label “METIONIN”.
PROSEDUR KEGIATAN Tahap Transkripsi 1. Informasikan kepada para siswa bahwa sebuah peptida yang disebut gastric juice peptida manusia harus dibentuk oleh sebuah sel. Rancanglah suatu areal misal di bagian belakang ruang kelas sebagai nukleus (meja percobaan) dan pada sisi yang lain terdapat ribosom. 2. Proses transkripsi dimulai jika molekul DNA imajiner melepaskan pilinannya dan urutan helaian DNA-nya tersingkap.
33
3. Letakkan kartu-kartu indeks (seperti Gambar 1) berjejer satu sama lain dengan urutan yang tepat pada meja percobaan. 4. Bagikan 11 kartu indeks kodon RNA duta kepada 11 orang siswa yang berbeda. 5. Perintahkan mereka untuk membentuk helaian RNA duta komplementer dengan cara mencari tempat yang sesuai di sepanjang helaian “DNA“ yang tersingkap tersebut. Para siswa harus mencocokkan kartu kodon mereka dengan urutan basa yang tepat, sematkan kartu tersebut pada baju (bagian dada), dan tetaplah berdiri di tempat. Kini telah terbentuk sebuah model molekul RNA duta. 6. Dengan menggunakan kodon yang disematkan, mereka berbaris bergandengan tangan (sebagai ikatan kimia “RNA duta”) ke luar dari “nukleus” menuju “ribosom” di bagian ruangan yang berlawanan. Pastikan siswa dengan kodon “A U G” sebagai pemimpin.
Tahap Translasi 1. Bagikan 10 hanger berbentuk daun semanggi kepada 10 siswa yang lain, dan ini menggambarkan molekul-molekul RNA transfer. 2. Bagikan 10 buah bola pimpong yang sudah dilabel kepada siswa yang belum berpartisipasi. Jika tidak ada lagi siswa yang belum berpartisipasi, letakkan bola tersebut di atas meja. 3. Katakan “molekul RNA transfer” mengikat “asam amino” yang tepat sesuai dengan nama asam amino yang terdapat pada bagian belakang kartu indeks atau pada label bola pimpong. 4. Kemudian mintalah siswa untuk memasukkan bola-bola pimpong tersebut pada bagian atas dari hanger model RNA transfer. 5. Ketika siswa yang berperan sebagai model RNA duta bertemu dengan “ribosom”, model “molekul RNA transfer” yang menunggu (siswa yang memegang kawat yang telah ditulisi “asam amino”) harus mengetahui kodonkodon mereka yang cocok sebelum memasukkan bola asam amino.
34
6. Jika penyesuaian komplementer sudah dilakukan antara kodon RNA duta dengan antikodon RNA transfer, “ribosom” bergerak di sepanjang helaian model RNA duta. 7. Asam amino dilepaskan dari molekul RNA transfer untuk dimasukkan satu persatu ke dalam pegas yang merupakan model pembentukan ikatan peptida setelah asam amino tersebut dibawa ke ribosom. 8. Translasi akan berakhir begitu ribosom sampai pada kodon penyetop, dan tidak ada lagi asam amino yang disandi. Dalam kegiatan bermain peran ini guru dapat berpura-pura sebagai enzim yang memungkinkan terjadinya proses mulai dari tahap transkripsi hingga translasi dan pembentukan ikatan kimia antar asam amino. Kegiatan ini diperkirakan memakan waktu kurang lebih 25 menit sehingga dapat divariasikan bergantung pada jumlah siswa atau besarnya kelas, kemampuan siswa, dan waktu yang tersedia. Luangkan lebih banyak waktu jika siswa anda menemui kesulitan dengan pokok bahasan sintesis protein, atau jika anda ingin menyediakan waktu untuk berdiskusi sesudah kegiatan ini.
SINTESIS PROTEIN DALAM PENGAJARAN BIOLOGI Mekanisme biosintesis protein, dengan semua keragaman aktivitas hayati dan spesifitas spesiesnya, telah menjadi salah satu tantangan terbesar di dalam sejarah biologi khususnya biokimia. Akan tetapi, sampai bertahun-tahun, bahkan pertanyaan yang amat sederhana mengenai sintesis protein tidak dapat dijawab dengan memuaskan. Sekarang kita mengetahui banyak mengenai proses keseluruhan sintesis protein, tetapi, mungkin ini hanya sebagian saja dari pengetahuan yang masih harus kita pelajari terus dan kita ajarkan kepada para siswa kita. Menakjubkan, bahwa sintesis protein merupakan mekanisme biosintesis yang paling kompleks, yang memerlukan sejumlah besar enzim dan makromolekul spesifik lainnya kalau hal ini ingin kita pelajari lebih mendalam lagi. Pola pengajaran behavioristik pada dasarnya merupakan pola pengajaran yang membutuhkan perilaku baku secara ilmiah. Dari sisi pengetahuan pola pengajaran ini sangat statis. Sedang dari pemahaman pengajaran, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan pengajarnya. Padahal siswa sudah bukan waktunya lagi
35
untuk menerima model pengajaran seperti itu. Mestinya pengajaran yang diberikan mampu menciptakan pemikiran yang berbeda dengan apa yang ada dalam buku teks untuk mengembangkan pemikiran siswa itu sendiri. Ini dalam ilmu pendidikan dinama-kan model konstruktivistik (Dahar, 1992). Menurut Subiyanto (1990), seorang guru tidak dapat mengajar dengan baik dengan jalan meniru suatu metode yang memang sangkil bagi guru lain. Metode adalah lebih dari sekedar tahap-tahap yang berurutan, juga lebih daripada sekedar pemberian pelajaran secara mekanis dan peragaan alat-alat peraga dengan cara yang itu-itu juga. Metode adalah semacam “way of teaching” dalam dunia pendidikan yang agaknya mempunyai makna setara dengan “way of life” dalam kehidupan sesuatu bangsa. Di samping itu ada sembilan peristiwa instruksi belajar menurut Robert Gagne yang dapat dirancang oleh seorang pengajar (eksternal) untuk membantu proses belajar dalam diri siswa (internal) (Suciati dan Irawan, 1993). Bentuk seutuhnya dari setiap peristiwa tersebut tidak dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran, namun penulis mencoba mengaplikasikan beberapa peristiwa fase belajar ini sesuai dengan penggunaan metode bermain peran dalam pengajaran sintesis protein, diantaranya sebagai berikut : 1. Menimbulkan minat dan memusatkan perhatian siswa. Siswa tidak selalu siap dan terfokus perhatiannya pada awal pelajaran. Pengajar perlu menimbulkan
minat dan perhatian peserta didik melalui mengemukakan
sesu-atu yang baru, aneh, kontradiksi atau kompleks yang berkaitan dengan kemajuan bioteknologi dalam bidang rekayasa genetika. Ketrampilan ini merupakan bagian dari rasa seni mengajar pengajar, dan memerlukan pemahaman tentang apa yang dapat menarik siswa. 2. Menyampaikan tujuan pengajaran. Hal ini dilakukan agar siswa tidak menebak-nebak apa yang diharapkan dari dirinya oleh pengajar dari kegiatan bermain peran ini. Mereka perlu mengetahui unjuk kerja apa yang akan digunakan sebagai indikasi bahwa dirinya telah menguasai suatu pengetahuan/ketrampilan tentang sintesis protein. Hal ini sesuai juga dengan prinsip keterbukaan.
36
3. Mengingat kembali konsep/prinsip yang telah dipelajari yang merupakan prerequisite. Banyak pengetahuan baru yang merupakan kombinasi dari konsep, prinsip atau informasi yang sebelumnya telah dipelajari, misalnya tentang protoplasma dan sel. Siswa perlu mengingat kembali hal-hal tersebut untuk dapat mempelajari materi baru dengan baik. 4. Melaksanakan bermain peran. Dalam pelaksanaan bermain peran tentang materi sintesis protein perlu juga menggunakan contoh, penekanan untuk menunjukkan perbedaan atau bagian yang penting, baik secara verbal maupun menggunakan “features” tertentu (warna, huruf yang berbeda, dan sebagainya). 5. Memberikan bimbingan belajar. Bimbingan
diberikan
melalui
pertanyaan-pertanyaan
yang
membimbing
proses/alur berpikir siswa. Bimbingan tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban kepada siswa. Perlu diperhatikan agar bimbingan tidak diberikan berlebihan, sebab bagi siswa yang cerdas akan dirasa meremehkan mereka. Tetapi bagi mereka yang lemah, kalau terlalu sedikit, tidak akan membantu. 6. Memperoleh unjuk kerja siswa. Siswa diminta untuk menunjukkan apa yang telah dipelajari, baik untuk meyakinkan pengajar bahwa mereka telah menguasai materi, juga untuk meyakinkan mereka sendiri. 7. Memberikan umpan balik tentang kebenaran pelaksanaan bermain peran. Umpan balik perlu diberikan untuk memberitahu siswa sejauh mana kebenaran atau untuk kerja yang dapat dihasilkan. 8. Mengukur/mengevaluasi hasil belajar. Pengukuran hasil belajar dapat dilakukan melalui pemberian tes atau melakukan suatu tugas. Dalam hal ini masalah realibilitas dan validitas tes yang diberikan dan hasil observasi pengajar perlu dipertimbangkan. 9. Memperkuat retensi dan transfer belajar. Unsur lupa sangat mempengaruhi retensi. Retensi dapat ditingkatkan dengan berkali-kali berlatih bermain peran tentang sintesis protein menggunakan prinsip yang dipelajari dalam konteks yang berbeda. Untuk meningkatkan transfer,
37
perbedaan antara situasi waktu belajar dengan situasi transfer harus semakin besar. Memecahkan suatu masalah dalam suasana kelas akan sangat berbeda dengan dalam suasana riil yang mengandung resiko. Kesalahan yang dibuat akan memberi konsekuensi tertentu. Dengan demikian dalam mendidik siswa, guru mestinya banyak memberikan interpretasi pemikiran kepada siswa. Bukan mendoktrin pengetahuan dan ilmu dalam mata pelajaran tersebut. Tapi kalau bisa menciptakan pemikiran baru dalam memahami materi pelajaran yang diajarkan (Degeng, 2000). Penerapan perangkat pembelajaran seperti bermain peran (peer teaching) dan atau ajar nyata (real teaching) di sekolah bagi calon guru, telah menyebabkan mahasiswa calon guru memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menerapkan hasil belajarnya sebagai guru dalam bentuk latihan-praktik-latihan (Ibrahim, 2000).
SIMPULAN Pembelajaran dengan teknik belajar sambil mengambil peran sebagai bagian sel dalam mengajarkan sintesis protein merupakan satu alternatif yang dapat dilakukan untuk lebih mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang terasa sulit. Metode bermain peran banyak membantu siswa berbakat memanfaatkan kemampuan akademik dengan sebaik-baiknya, sementara siswa yang lambat dapat memperoleh kepuasan ketika mengerjakan bermain peran. Dengan demikian pemikiran siswa akan lebih berkembang dan menghasilkan pemahaman yang lebih memadai. Sintesis protein yang terjadi melalui tahapan yang agak rumit akan lebih mudah dipahami siswa dengan teknik belajar menggunakan bermain peran sehingga akan lebih memperkuat retensi belajar siswa.
DAFTAR RUJUKAN Croft, L. R. 1980. Handbook of Protein Sequence Analysis, 2nd ed. New York: John Wiley and Sons. Cano, Raul J. 1986. Microbiology. Los Angeles: West Publishing Company. Degeng, S. Nyoman. 2000. Karena Faktor Pembelajaran. Jawa Pos. Edisi 27 September 2000.
38
Ibrahim, Muslimin. 2000. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Problem Based Instruction”. Seminar Nasional Pemerhati Pendidikan Biologi 15 Juli 2000. Universitas Negeri Malang. Lehninger, 1994. Dasar-Dasar Biokimia Jil. 3. Alih Bahasa Maggy T. Penerbit Erlangga Jakarta. Rode, A. Geralynne. 1995. “Teaching Protein Synthesis”. The American Biology Teacher Vol. 57 No. 1, January 1995. Stansfield, W., Cano, R., & Colome, J. 2006. Molecular and Cell Biology. The McGraw-Hill Companies. Subiyanto. 1990. Strategi Belajar-Mengajar. Penerbit IKIP Malang. Suciati dan Irawan, P. 1993. Suplemen 1: Bahan Ajar Pekerti untuk Dosen Muda. Dirjen Dikti Depdikbud. Suwono, H. 2000. “Pengajaran IPA Biologi di Sekolah Dasar melalui Permainan”. Seminar Nasional Pemerhati Pendidikan Biologi 15 Juli 2000. Universitas Negeri Malang.
PENGGUNAN STRATEGI METAKOGNISI DENGAN TEKNIK CATATAN PINGGIR DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR (Penelitian Tindakan Kelas di SD Negeri Banjarbaru Kota 4) H. Abdul Hafidz Siti Sarniah Abstrak Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran tentang konsep “Tokoh Pahlawan Nasional “dengan menggunakan pendekatan metakognisi di sekolah dasar. Penelitian ini dilaksanakan 2 siklus dengan waktu belajar efektif sebanyak 2 jam pelajaran. Setiap siklus terdiri dari 2 jam pelajaran. Siklus 1 mengkaji tentang sub konsep tokoh-tokoh perjuangan dalam memproklamasikan kemedekaan Indonesia, siklus 2 mengkaji tentang peristiwa pertempuran 10 Nopember di Surabaya “Secara ringkas”, Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 yang berjumlah 24 orang siswa tahun pelajaran 2007/2008. Penelitian dilakukan selama 3 bulan (Maret-Mei 2007. Pembelajaran dilaksanakan di SDN Banjarbaru Kota 4 Kota Banjarbaru. Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini adalah aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran, aktivitas siswa selama proses pembelajaran, dan hasil belajar. Hasil penelitian diperoleh aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 hanya 3 parameter yang telah mengalami penurunan yakni parameter 1 (membimbing siswa dalam memahami LKS), parameter 6 (mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru), dan parameter 8 (membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pelajaran). Dengan kata lain guru masih aktif dalam proses pembelajaran. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran pada siklus 1 dan 2 hanya ada 2 parameter yang mengalami peningkatan yakni parameter 7 (bertanya kepada siswa lain atau kepada guru) dan parameter 9 (membuat atau menulis rangkuman pelajaran). Dikatakan aktivitas siswa belum mengalami peningkatan. Hasil belajar siklus 1 pada pretes diperoleh 45.83% dan post tes 75% sedangkan hasil belajar siklus 2 pada pretes diperoleh 29.06% dan post tes 100%. Jadi ketuntasan klasikal sudah tercapai pada siklus 2 dengan gain sebesar 25%).
Diangkat dari Laporan Pemantapan Kemampuan Profesional guna Menyelesaikan Program S1 PGSD UT. Dosen Program Studi Pendidikan IPS UPBJJ UT Banjarmasin. Guru SD Negeri Banjarbaru Kota 4 Kota Banjarbaru
40
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan partisipasi siswa dalam pembelajaran tentang konsep “Tokoh Pahlawan Nasional” dengan menggunakan pendekatan metakognisi dengan teknik catatan pinggir belum mengalami peningkatan. Sedangkan hasil belajar siswa telah tercapai ketuntasan klasikal pada siklus 2 dengan gain sebesar 25%. Kata Kunci: Strategi metakognisi, teknik catatan pinggir, hasil belajar, proses pembelajaran Berdasarkan pengalaman sebagai guru IPS selama kurang lebih 20 tahun sebagai guru kelas di SD, konsep-konsep dalam mata pelajaran IPS bukanlah hal sulit bagi guru. Ketika melakukan pembelajaran pada konsep pahlawan nasional yang dilaksanakan pada tanggal 30 April 2008 dijumpai nilai siswa yang belum mencapai ketuntasan klasikal. Dari 24 orang siswa kelas VA hanya 18 orang (75%) yang mencapai nilai ketuntasan individual. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, maka akan berdampak negatif pada materi-materi dan topik-topik berikutnya. Sebagai guru yang senantiasa mengajar di kelas tinggi tidak merasakan kesulitan dalam memahami konsep-konsep IPS, jadi diduga kelemahan ada pada proses pembelajaran. Berbagai usaha telah dilaksanakan untuk memperbaiki pembelajaran, di antaranya menggunakan alat/media pembelajaran, membaca buku, mengadakan remedial, mengadakan tanya jawab dengan siswa, memberi tugas individu, dan memberi pekerjaan rumah. Akan tetapi cara-cara seperti ini belum dapat memperbaiki proses pembelajaran siswa. Jadi kesulitan di dalam belajar diduga berpangkal dari kelemahan guru dalam proses pembelajaran. Kelemahan di dalam proses pembelajaran akan berdampak pada hasil belajar siswa. Jadi untuk memperbaiki kualitas pembelajaran maka dicari pendekatan pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran di atas (pendekatan konsep) belum dapat memperbaiki hasil belajar siswa. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki hasil belajar siswa adalah menggunakan strategi metakognisi dengan teknik catatan pinggir. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat membangun pengetahuan, berdasarkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Menurut Simon (1986) dalam Abdurrahman (1999) keterampilan metakognisi merupakan pengetahuan tentang proses kognisi itu sendiri dan kemampuan menggunakan proses tersebut. Penelitian tentang pembelajaran dengan menggunakan
41
strategi metakognisi belum pernah dilaksanakan khususnya di SDN Banjarbaru Kota 4. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian tentang penggunaan strategi metakognisi dengan teknik catatan pinggir untuk meningkatkan pemahaman tokoh Pahlawan Nasional pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah penggunaan strategi metakognisi dengan teknik catatan pinggir dapat meningkatkan pemahaman tentang tokoh Pahlawan Nasional pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4. Penelitian ini bertujuan 1) mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran tentang konsep “Tokoh Pahlawan Nasional “ pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 tahun pelajaran 2007 / 2008 dengan menggunakan pendekatan metakognisi. 2) mengetahui peningkatan partisipasi siswa dalam pembelajaran tentang konsep “ Tokoh Pahlawan Nasional ” pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 Kota Banjarbaru tahun pembelajaran 2007/2008 dengan menggunakan pendekatan metakognisi. Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perbaikan pembelajaran berorientasi pada peningkatan aktivitas siswa dalam belajar. Oleh karena itu pembelajaran dirancang sesuai dengan langkah-langkah tipe TAI dalam pendekatan metakognisi dengan teknik catatan pinggir. Menurut Simon (1986) dalam Abdurrahman (1999) keterampilan metakognitif merupakan pengetahuan tentang proses kognitif itu sendiri dan kemampuan menggunakan proses tersebut. Menurut Flavell (1985), Garner dan Alexander (1989) dalam Nur (1998) istilah metakognisi berarti pengetahuan tentang belajarnya diri sendiri atau pengetahuan tentang bagaimana belajar. Keterampilan berpikir dan keterampilan belajar adalah contoh-contoh keterampilan metakognisi. Strategi metakognisi yang lain adalah kemampuan untuk memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak. Menurut Preisseisen (1985) dalam Pannen (1994) metakognisi merupakan keterampilan siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Metakognisi meliputi empat jenis keterampilan, yaitu 1) Keterampilan pemecahan masalah, 2) Keterampilan pengambilan keputusan, 3) Keterampilan berfikir kreatif.
Ketermpilan berpikir krisis, dan 4)
42
Konsep metakognitif ini relevan dengan teori pembelajaran konstruktivis. Teori ini berkenaan dengan teori yang melihat bagaimana siswa belajar. Guru-guru yang konstruktivistik mengamati bagaimana setiap siswa itu berpikir dan kemudian menggunakan informasi ini untuk mengembangkan ke dalam belajar siswa (Setyosari, 1997). Para praktisi strategi-strategi konstruktivis, menekankan prinsipprinsip dasar dari para siswa untuk membangun pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan dasar yang telah mereka miliki dan para guru dapat memperbaiki pembelajaran (Lai dan Kong, 2005). Lai dan Kong (2005) telah melakukan penelitian dengan menggunakan strategi konstruktivis. Mereka menggunakan pre tes post tes dengan rancangan kuasi eksperimen terhadap 2 kelompok siswa. Para siswa pada kelompok perlakuan (pembelajaran dengan menggunakan strategi konstruktivis) memperoleh hasil belajar yang signifikan dibanding dengan pembelajaran tradisional. Morano dkk (2005) telah melaksanakan penelitian tentang pemahaman prosedural dan semi struktur konstruktivis kerja praktek. Studi ini membandingkan pengaruh 3 macam model kerja praktek yakni struktur non-konstruktivis, sturktur konstruktivis dan semi sturktur konstruktivis. Desain pretes post tes kuasi eksperimen digunakan dalam penelitian ini yang dianalisis dengan analisis covarian dan analisis multivariat covarian. Model kerja struktur non konstruktivis dijadikan sebagai kontrol. Hasil pembelajaran menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan dan konrol. Eryanti (2002) telah melakukan penelitian tentang
model pembelajaran
konstruktivisme melalui pendekatan keterampilan proses sains untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berkomunikasi siswa pada konsep hormon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran konsep hormon dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme melalui pendekatan keterampilan proses
sains,
dapat
meningkatkan
penguasaan
konsep
dan
keterampilan
berkomunikasi siswa. Surtika (2005) melakukan penelitian menggunakan metode penelitian ini adalah kuasi eksperimen pada konsep perkembangbiakan tumbuhan selama 18 jam pelajaran dengan 9 kali pertemuan Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan pemahaman konsep sebelum dan sesudah pembelajaran ke arah yang lebih baik.
43
Strategi metakognsi merupakan salah satu strategi dalam pendekatan konstruktivis. Strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berfikir dan pembelajaran yang berlaku. Apabila kesadaran ini terwujud seseorang dapat mengarahkan pemikirannya dengan merancang, memantau atau dan menilai apa yang dipelajari (Muisman, 2003). Othman telah melakukan penelitian tentang faktor amalan metakognisi dan motivasi intrinsik
terhadap
pencapaian
akademik
pelajar
melayu.
Hasil
penelitian
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara amalan metakognisi di antara pelajar dengan pencapaian
akademik tinggi, sedang dan lemah. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian di atas, menunjukkan pendekatan berbasis konstruktivis telah mampu memperbaiki hasil belajar siswa, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Zahra (2004) telah melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan strategi metakognisi melalui teknik menggarisbawahi terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem pencernaan makanan siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Marabahan. Hasil pembelajaran dengan penggunaan strategi metakognisi melalui teknik menggarisbawahi menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan dan kontrol.
METODE Penelitian tindakan kelas ini bertujuan agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman dalam setiap tindakan, dan memperbaiki kondisi dalam proses pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan dengan kegiatan yang terdiri atas 2 siklus dengan waktu belajar efektif sebanyak 2 jam pelajaran terstruktur (sesuai dengan alokasi waktu dalam GBPP), Setiap siklus terdiri dari 2 jam pelajaran. Hal ini dilakukan karena pembelajaran ini menggunakan strategi/pendekatan metakognisi dengan teknik catatan pinggir. Siklus 1 terdiri dari 1 kali pertemuan yang mengkaji tentang sub konsep tokoh-tokoh perjuangan dalam memproklamasikan kemedekaan Indonesia; Siklus 2 juga terdiri dari 1 kali pertemuan mengkaji tentang peristiwa pertempuran 10 Nopember di Surabaya “Secara ringkas”, kegiatan masing-masing siklus seperti pada Tabel 1.
44
Tabel 1. Skema Rencana Kegiatan Penelitian Tindakan Siklus
Materi Pokok
1
Peranan Tokoh-Tokoh Perjuangan dalam Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia
2
Guru
Peristiwa Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya
Peneliti
Kolega/Mitra
Megawatie SPd.
Lokasi Pembelajaran SDN Banjarbaru Kota 4
Hj. Jubaidah SPd.
Peneliti
Megawatie SPd.
SDN Banjarbaru Kota 4
Hj. Jubaidah SPd.
Refleksi Awal penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1) Sub konsep peranan tokoh-tokoh perjuangan dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 tidak pernah diberikan dengan menggunakan pendekatan metakognisi, 2) Para siswa SDN Banjarbaru Kota 4 telah memiliki pengetahuan awal tentang konsep peranan tokoh-tokoh perjuangan dalam memproklamasikan “Kemerdekaan Indonesia” pada mata pelajaran IPS yang diterima di lingkungan sekitar sekolah maupu di kelas-kelas sebelumnya. Di antara pengetahuan awal tersebut masih dipelajari secara konseptual saja dengan cara membaca buku dan dikerjakan perorangan. 3) Siswa SDN Banjarbaru Kota 4 seharusnya sudah mengenal berbagai alat peraga dan mampu mengkaji artikel pada mata pelajaran IPS. Akan tetapi guru didalam mengajarkan konsep tersebut masih memanfaatkan buku teks yang tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks pembelajaran. Pada siklus 1 ini membahas tentang “peranan tokoh-tokoh perjuangan dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia” pada mata pelajaran IPS, tahapan dalam perencanaan ini meliputi 1) Peneliti mengkaji kurikulum dan menyiapkan bahan yang diperlukan, 2) Menyusun rencana pembelajaran (RP) dan LKS tentang sub konsep “peranan tokoh-tokoh perjuangan dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia”,
3)
Merancang
model
pembelajaran
menggunakan
pendekatan
metakognisi pada mata pelajaran IPS, termasuk didalamnya menyusun tes hasil belajar yang menjadi satu kesatuan dengan rencana pembelajaran dan tes selama proses pembelajaran yang menyatu dalam LKS. 4) Menyusun instrumen kinerja siswa selama proses pembelajaran instrumen yang digunakan di adaptasi dari Borich, 1994 (Borich 1994 dalam Supramono, 2005).
45
Ada 2 hal yang dilakukan dalam melaksanakan tindakan, yakni 1) Para siswa ditugaskan membaca dan mempelajari artikel pada mata pelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan metakognisi dengan teknik catatan pinggir, maksudnya agar konsep yang dipelajari telah dipahami para siswa sehingga diperoleh kesiapan belajar. dan 2) Melaksanakan kegiatan pembelajaran, dalam kegiatan ini para siswa dengan bimbingan guru mengerjakan LKS. Proses pembelajaran berlangsung sejak pukul 10.05 –11.15 WITA. Observasi dan evaluasi tindakan meliputi 1) Observasi terhadap aktivitas siswa dalam PBM dengan menggunakan lembar observasi yang di adaptasi dari Borich, 1994 (Borich 1994 dalam Supramono, 2007). dan 2) Penguasaan materi pelajaran diperoleh dari tes hasil belajar dan tes selama proses pembelajaran. Seluruh data hasil penelitian dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan refleksi tahap kedua. Pada tahap refleksi akhir dilakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran pada siklus 1 dan menjadi pertimbangan untuk memasuki siklus 2. Pertimbangan digunakan bilamana salah satu dari tiga komponen di bawah ini belum terpenuhi yakni 1) Siswa mencapai ketuntasan individual > 65 dan ketuntasan klasikal jika > 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual. 2) Hasil selama proses pembelajaran termasuk kategori baik berdasarkan Arikunto (1998). 3) Aktivitas siswa menjadi meningkat atau aktivitas guru mengurangi dominasinya yang dilihat dari pergerakan antar siklus. Pada siklus 2 di laksanakan pembelajaran seperti pada siklus 1, dengan memperhatikan hasil-hasil refleksi siklus 1. Materi yang dipelajari adalah sub konsep Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 yang berjumlah 24 orang siswa tahun pelajaran 2007/2008. Penelitian di lakukan selama 3 (Maret-Mei 2007). Lokasi pembelajaran di SDN Banjarbaru Kota 4 yang beralamat Jalan Kartini Nomor 64 Banjarbaru. Hasil penelitian berupa data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar dan tes selama proses pembelajaran. Hasil belajar adalah skor siswa yang diperoleh ketika menjawab soal-soal tes ( pre tes dan post tes ), hasil selama proses pembelajaran diperoleh dari kemampuan siswa dalam mengerjakan LKS. Sedangkan data kualitatif
46
diperoleh dari hasil observasi terhadap proses pembelajaran yang mengacu pada lembar obsevasi Borich (1994) dalam Supramono (2005). Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kuantitatif dilakukan secara deskriptif yakni dengan menghitung ketuntasan klasikal dan ketuntasan individual. Analisis data kuantitatif diperoleh dari hasil tes selama proses pembelajaran (LKS) menggunakan kategori yakni : baik (76–100%), sedang (56–75%), kurang (40–55%), dan buruk (< 40%), (Arikunto, 1998). Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kualitatif dianalisis secara deskriptif dan diperlihatkan dalam bentuk histogram. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tentang upaya meningkatkan partisipasi dan hasil belajar tentang konsep “tokoh pahlawan nasional” pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 telah diperoleh data kualitatif dan data kuantitatif. Hasil Penelitian Aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 Deskripsi aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 seperti pada Tabel 2. Ada 3 parameter aktivitas guru yang telah mengalami Tabel 2. Aktivitas Guru Dalam Pengelolaan Pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2
Siklus
Parameter (%) 1
2
3
4
5
6
7
8
1
15
10
5
10
10
20
10
20
2
11.11
11.11
16.66
11.11
11.11
16.66
11.11
11.11
Keterangan : 1. Membimbing siswa memahami LKS. 2. Membimbing siswa melakukan pengamatan / percobaan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. 4. Membimbing siswa berdiskusi antar siswa / kelompok / guru. 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. 6. Mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. 7. Membimbing siswa menyusun / melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. 8. Membimbing siswa membuat / menulis rangkuman pelajaran.
penurunan yakni parameter 1 (membimbing siswa dalam memahami LKS), parameter 6 (mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru), dan parameter 8
47
(membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pelajaran). Dengan kata lain guru masih aktif dalam proses pembelajaran. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran siklus 1 dan siklus 2. Deskripsi aktivitas siswa selama proses pembelajaran pada siklus 1 dan 2 seperti pada Tabel 3. Pada Tabel 3 ada 2 parameter di mana aktivitas siswa terjadi Tabel 3. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran pada Siklus 1 dan Siklus 2 Parameter (%)
Nama Siswa
Siklus
Intan K
Nina R
Erma L
Eka A M. Nur Ibadaly
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
15
15
10
15
20
5
5
10
5
2
16.52
19.52
14.26
19.52
21.52
19.52
19.04
19.52
9.52
1
10
15
15
10
15
5
5
20
5
2
18.33
18.33
22.5
12.5
16.66
12.5
12.5
23.33
8.33
1
11.76
17.64
17.64
11.76
5.88
5.88
11.76
11.76
5.88
2
14.21
17.15
22.7
14.43
6.71
5.91
11.43
0
5.71
1
21.05
10.52
21.05
10.52
10.52
5.26
10.52
10.52
0
2
10
15
15
10
15
5
15
16
5
1
5.26
15.76
21.05
10.52
15.76
10.52
10.52
10.52
0
2
11.76
5.88
22.76
11.76
11.76
15.88
17.64
11.76
11.76
Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lainnya. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. Melakukan pengamatan / percobaan. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM. Berdiskusi antar siswa / kelompok / guru. Melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. Menyusun / melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan Membuat / menulis rangkuman pelajaran.
peningkatan yakni parameter 7 (bertanya kepada siswa lain atau kepada guru). Parameter 9 (membuat atau menulis rangkuman pelajaran). Sedangkan 7 parameter lainnya cenderung menurun Berdasarkan data ini terlihat peningkatan keaktifan siswa dari siklus 1 ke siklus 2.
48
Hasil belajar siswa yang di peroleh pada pretes dan post tes siklus 1 dan siklus 2 Hasil belajar siswa yang di peroleh pada pretes dan post tes seperti pada Tabel 4. Pada Tabel 4 ada penurunan pada pretes, namun ada kenaikan pada post Tabel 4. Hasil Pretes dan Post Tes Siklus 1 dan Siklus 2
Hasil Belajar (%)
Siklus
Pretes
Post Tes
1
45.83
75
2
29.06
100
tes. Ketuntasan klasikal sudah tercapai pada siklus 2 dengan gain sebesar 25%). Hasil selama proses pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 Pada siklus 1 proses pembelajaran sudah tergolong kategori baik, begitu juga pada siklus 2. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan guru telah mampu mengurangi aktivitasnya dalam proses pembelajaran. Aktivitas siswa meningkat. Data kuantitatif ketuntasan klasikal sudah tercapai dan hasil selama proses pembelajaran sudah baik. Dari hasil penelitian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognisi dengan tehnik catatan pinggir mampu meningkatkan aktivitas siswa dan pembelajaran seperti ini cukup menarik bagi siswa. Pembahasan Pembelajaran
menggunakan
strategi
metakognisi
dengan
teknik
menggarisbawahi berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Setyosari, 1997; Othman, 1999; Eriyanti, 2002; Lai dan Kong, 2005; Morano dkk; 2005, Surtika; 2005). Melalui pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivis siswa akan berpikir dan menggunakan informasi ini untuk mengembangkan ke dalam proses belajar siswa (Setyosari, 1997). Hal ini sejalan dengan keinginan para praktisi strategi-strategi konstruktivis yang menekankan prinsip-prinsip dasar untuk membangun pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan dasar yang telah mereka miliki. Para guru juga
49
memperoleh keuntungan, karena mereka dapat memperbaiki proses pembelajaran (Lai dan Kong, 2005). Berdasarkan hasil belajar siklus 1 dan siklus 2 sebagai perwujudan ketuntasan klasikal dan individual melalui proses pembelajaran dengan penggunaan strategi metakognisi dengan teknik catatan pinggir tentang konsep tokoh pahlawan nasional diukur dari pre tes, post tes, dan tes pengetahuan serta keterampilan proses. Hasil belajar berupa pre tes dan post tes pada siklus 2 ternyata lebih tinggi dari siklus 1, dimana perbandingan hasil pre tes dan post tes siklus 1 dan siklus 2 dapat di lihat pada tabel 4. Hasil belajar selama proses pembelajaran yaitu tes pengetahuan dan tes keterampilan proses berupa LKS juga mengalami peningkatan seperti pada Tabel 3. Peningkatan
hasil
belajar
ini
membuktikan
bahwa
pembelajaran
dengan
menggunakan strategi metakognisi dengan teknik catatan pinggir dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Naparin (2004) menunjukkan bahwa pendekatan kooperatif dapat meningkatkan produk, proses dan keterampilan para siswa sebagai indikator pemahaman terhadap materi pembelajaran dan terdapat peningkatan kinerja para murid dalam pembelajaran. Secara kuantitatif hasil belajar sudah mencapai ketuntasan klasikal dan hasil selama proses pembelajaran telah meningkat dari katagori sedang pada siklus 1 dan meningkat menjadi katagori baik pada siklus 2. Ketuntasan klasikal telah tercapai pada siklus 2. Sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Nur 1998, Pannen 1994, Abdurrahman 1999). Penelitian ini pada dasarnya telah memperoleh hasil pembelajaran dan hasil selama proses pembelajaran sudah tergolong baik. Meskipun beragam mata pelajaran yang diteliti melalui penelitian tindakan kelas, akan tetapi secara kuantitatif adalah sama yakni hasil belajar diperoleh melalui kemampuan siswa dalam mengerjakan LKS. Secara kualitatif hasil penelitian berupa aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Pada umumnya guru sudah mengurangi aktivitas dalam pembelajaran, dan peningkatan aktivitas pada siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, adanya peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan sudah berpusat pada siswa meskipun tidak maksimal. Peningkatan
50
aktivitas siswa ini merupakan dampak positif dari berkurangnya dominasi aktivitas dalam pembelajaran. Hal ini juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Ariyani, 2005; Hidayah, 2006). Artinya aktivitas guru mulai berkurang dan pembelajaran diupayakan berpusat kepada siswa. Guru tidak bisa sepenuhnya melupakan dominasi didalam pembelajaran, hal ini disebabkan oleh kebiasaan guru dalam mengajar yang penyampaian konsep dari guru kepada siswa. Dengan kata lain guru masih menganut paham posistivisme bukan konstruktivisme. Aktivitas siswa sudah mmenunjukkan peningkatan. Jadi bilamana aktivitas guru sudah menurun dan aktivitas siswa sudah meningkat, ini sejalan dengan perubahan pembelajaran berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada siswa. Indikator keberhasilan pembelajaran ini juga ditunjang oleh pendapat siswa selama proses pembelajaran seperti tertuang pada lampiran. Penelitian ini dirancang untuk penelitian tindakan kelas (PTK) yang dianggap dapat memperbaiki kinerja guru dan meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Wardhani (2007) penelitian tindakan kelas ini dilakukan oleh guru yang bersangkutan sebab menurut pengertian PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Dengan kata lain penelitian tindakan kelas merupakan sarana untuk memperbaiki kinerja guru karena selama ini guru menguasai dalam pengelolaan pembelajaran dan siswa cenderung pasif menerima informasi dari guru.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1
Partisipasi siswa dalam pembelajaran tentang konsep “Tokoh Pahlawan Nasional” pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 dengan menggunakan pendekatan metakognisi dengan teknik catatan pinggir terjadi peningkatan. Hal ini ditandai dengan aktivitas guru yang berkurang, dan aktivitas siswa yang meningkat.
51
2
Hasil belajar siswa dalam pembelajaran tentang konsep “Tokoh Pahlawan Nasional”pada siswa kelas V SDN Banjarbaru Kota 4 telah tercapai ketuntasan klasikal pada siklus 2. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1
Pembelajaran perlu dikembangkan lebih lanjut mengingat hasil pembelajaran sudah memperoleh ketuntasan dan proses selama pembelajaran sudah baik.
2
Agar pembelajaran lebih bermakna dan aktivitas selama proses pembelajaran lebih baik hendaknya pembelajaran semacam ini perlu dilaksanakan di kelas secara berkelanjutan.
DAFTAR RUJUKAN Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Rineka Cipta, Jakarta. Dworetzky, J.P. 1990. Introduction to Child Development. Fourth Edition West Publishing Company. St. Paul. Ellis, Arthur & Jeffrey Fouts. 1993. Research on Education Innovations. USA: Eye on Education, Inc, USA. Eryanti. 2002. Model Pembelajaran Konstruktivisme melalui Pendekatan Ketrampilan Proses Sains untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Ketrampilan Berkomunikasi Siswa pada Konsep Hormon. www.geocities.com Hadiat. 1994. Pendidikan Sains Teknologi Masyarakat di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta. Hayah, Zahratul & Aminuddin. 2007. Pengaruh Penggunaan Strategi Metakognisi Melalui Teknik Menggarisbawahi terhadap Hasil Belajar pada Konsep Sistem Pencernaan Makanan Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Marabahan. Jurnal Landasan Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2007. Huitt. 2003. Constructivism, Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State, USA. Lai, Sow Kong & Ng Wai Kong. 2005. Constructivist Strategies within Direct Instruction for Science Education. International Conference on Science and Mathematics Education CoSMED “Bridging the Theory-Practice Gap in Science and Mathematics Education: The Challange to Change 6-8 Desember SEAMEO RECSAM. Penang, Malaysia.
52
Morano, Lourdes N., Edna Dominguez & Purita P. Bilbao. 2005. Procedural Understanding and Constructivist Semi-Structured Practical Work. International Conference on Science and Mathematics Education CoSMED “Bridging the Theory-Practice Gap in Science and Mathematics Education: The Challange to Change 6-8 Desember SEAMEO RECSAM. Penang, Malaysia. Muisman. 2003. Analisis Jalur Hasil Belajar Mata Pelajaran Ekonomi Berdasarkan Kecerdasan, Strategi-strategi Metakognitif, dan Pengetahuaan Awal. IKIP Negeri Singaraja, www.damandiri.or.id Nugroho. 2005. Self-Regulated Anak Berbakat. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
[email protected] Nur, Mohamad, Prima RetnoWikandari & Bambang Sugiarto. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Surabaya. Pannen, Paulina. 1994. Mengajar Di Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta. Setyosari, Punaji. 1997. Model Belajar Konstruktivis. Universitas Negeri Malang, http://www. malang .ac.id/indo/jfmipaa.htm. Surtika, Resmiati. 2005. Upaya Meningkatkan Potensi Belajar Siswa pada Konsep Perkembangbiakan Tumbuhan dengan Menggunakan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. www.geocities.com Susantini, Endang. 2005. Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Kualitas Proses Pembelajaran Genetika di SMA. Universitas Negeri Surabaya. Daftar Judul dan Abstrak 2004. http:/www. malang.ac.id/ jip/2005a.htm
UPAYA MENGENALKAN MODEL RUMAH LANTING YANG RAMAH LINGKUNGAN UNTUK MENGURANGI LAJU ABRASI SUNGAI MARTAPURA DALAM WILAYAH KOTA BANJARMASIN H. Muhammad Zaini Abstrak Kota Banjarmasin dikenal dengan kota seribu sungai, akan tetapi julukan kota seribu sungai saat ini sulit dipertahankan, karena banyak sungai yang tidak berfungsi, dangkal, dan sempit; sebaliknya sungai-sungai besar justru bertambah lebar karena mengalami abrasi. Masyarakat yang tinggal di rumah lanting berpotensi terhadap menurunnya kondisi lingkungan perairan, Akan tetapi mereka juga sebagai penyelamat lingkungan, karema rumah mereka dapat menahan laju abrasi. Kehadiran rumah lanting masih dilematis bagi pengambil kebijakan di kota seribu sungai ini. Pada satu sisi ada pengakuan oleh pemerintah kota, sehingga kelak sepanjang Sungai Martapura akan dijadikan permukiman di atas air seperti Kota Banjarmasin pada tahun 50-an. Akan tetapi pada sisi lain penggusuran rumah lanting terus berlangsung. Berdasarkan analisis situasi yang telah diuraikan, masalah penerapan teknologi dirumuskan sebagai berikut, bagaimana mengenalkan model rumah lanting yang ramah lingkungan untuk mengurangi laju abrasi sungai Martapura dalam wilayah Kota Banjarmasin. Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, secara umum penerapan teknologi ini bertujuan untuk mengenalkan model rumah lanting yang mengutamakan aspek-aspek keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. Adapun kegunaan kegiatan ini yaitu 1) masyarakat di lingkungan perairan, kegiatan ini merupakan tawaran model rumah lanting agar dapat diikuti, karena mengutamakan prinsip-prinsip keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi 2). Pemerintah Kota Banjarmasin dapat memanfaatkan inovasi ini sebagai bahan rekomendasi permukiman di lingkungan perairan, dan dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Kegiatan penerapan teknologi masyarakat dilaksanakan dalam bentuk bimbingan dan tindakan terprogram sesuai dengan rancangan tindakan yang dibuat. Metode kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu obesrvasi dan kolaborasi Tim dengan penghuni rumah lanting. Kegiatan berlangsung secara keseluruhan pada tanggal 8–10 Mei 2006 dengan tenaga kerja berjumlah 15 orang terdiri dari mahasiswa dan seorang tenaga ahli.
Pembimbing Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penerapan Teknologi tahun 2006. Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin
54
Hasil kegiatan telah terselesaikannya renovasi 2 buah rumah lanting yang ramah lingkungan dengan mengutamakan aspek-aspek keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan tidak mengganggu kelancaran transportasi. Atas dasar hasil yang diperoleh, dan dengan mempertimbangkan respon masyarakat sebagai pemilik rumah lanting, maka rumah lanting perlu dipertahankan guna mengurangi laju abrasi sungai, karena rumah jenis ini merupakan bagian dari lingkungan pemukiman di perkotaan yang juga dapat diciptakan sesuai dengan kaidah-kaidah rumah sehat dan indah. Kata kunci: rumah lanting, ramah lingkungan PENDAHULUAN Masyarakat Banjar sejak zaman dahulu akrab dengan kehidupan di air. Di sini digunakan istilah masyarakat Banjar bukan suku Banjar. Masyarakat Banjar merupakan perpaduan berbagai suku yakni Dayak, Melayu, Bugis, Jawa, dan Madura. Perkampungan didirikan di tepi sungai, baik rumah panggung maupun rumah lanting. Rumah lanting diikatkan pada sebatang pohon, pada umumnya tanah di sekitar rumah lanting milik penghuni lanting itu sendiri atau milik keluarganya. Rumah lanting memiliki nilai ekologis karena dapat meredam gelombang air. Bukan saja sebagai tempat tinggal, akan tetapi juga sebagai toko menjual barang dagangan, kegiatan usaha, pandai besi dan lain-lain (Saleh, 1986:18). Rumah lanting pada awal abad ke21 ini, juga berfungsi sebagai stasiun pengisian bahan bakar bagi kapal motor, tempat pandai besi, dan bengkel. Sebagian masyarakat di lingkungan perairan, memanfaatkan rumah lanting sebagai tempat tinggal sementara, setelah cukup mampu mereka membangun rumah di darat, sedangkan rumah lanting miliknya dialihkan kepada orang lain. Rumah lanting juga berfungsi sebagai tempat menginap ketika menjajakan barang dagangan ke kota, setelah barang dagangan habis mereka pulang ke daerah asal, mereka umumnya berasal dari lingkungan perairan di hulu sungai. Masyarakat di lingkungan ini terdiri atas Masyarakat Banjar Batang Banyu dan Masyarakat Banjar Kuala. Kedua masyarakat ini secara historis telah menjadikan perairan Sungai Barito dari muara hingga daerah hulu sebagai tempat tinggal, mereka menempati pula perairan Sungai Martapura untuk menambatkan rumah lantingnya.
55
Masyarakat Banjar yang telah beradaptasi ratusan tahun dengan lingkungan perairan menjadi perhatian pemerintah kota saat ini. Perhatian ditujukan pada status pemilikan rumah lanting dan rumah-rumah di bantaran sungai (rumah yang dibangun menghadap sungai), khususnya di sekitar kawasan pasar terapung untuk diberi sertifikat pemilikan rumah, asal sesuai dengan pola perumahan di atas air. Kawasan yang berada di muara Sungai Kuin ini merupakan pusat kota lama yang terbentuk dari konsentrasi permukiman penduduk di sekitar keraton tempo dulu yakni ketika Kerajaan Banjar didirikan. Kini kawasan pasar terapung telah ditetapkan sebagai obyek wisata air oleh pemerintah kota. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Banjarmasin tanggal 26 September 2000 telah menerbitkan usulan pembenahan permukiman terapung. Badan ini telah melakukan pendataan rumah lanting dari berbagai aspek sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan kota. Mereka mungkin sadar rumah lanting tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan kota seribu sungai ini sejak hampir 500 tahun lalu. Pemerintah kota berencana mempertahankan rumah lanting agar tidak punah. Aspek-aspek yang menjadi perhatian adalah keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. Kota seribu sungai ini selayaknya harus dikembangkan dengan meniru pengembangan permukiman air Negara Brunei Darussalam. Negara ini berhasil menjadikan lingkungan air sebagai obyek wisata, tetapi tetap menjaga kualitas air dan hutan yang masih perawan sebagai ekowisata unggulan. Pemerintah negara ini beranggapan melalui sektor wisata dapat menjadi perekat sosial, meningkatkan perekonomian, dan mewujudkan perdamaian dunia (Cameron, 2000). Sarana dan prasarana transportasi darat yang makin baik berakibat rumah lanting kurang diminati oleh penghuninya. Namun demikian, saat ini masih tersisa sebanyak 132 buah rumah lanting di sepanjang Sungai Martapura dan sebanyak 11 buah di Sungai Barito dekat muara Sungai Kuin. Kehadiran rumah lanting masih dilematis bagi pengambil kebijakan di kota seribu sungai ini. Pada satu sisi ada pengakuan oleh pemerintah kota, sehingga kelak sepanjang Sungai Martapura akan dijadikan permukiman di atas air seperti Kota Banjarmasin pada tahun 50-an. Akan tetapi pada sisi lain penggusuran rumah lanting terus berlangsung.
56
Gagasan-gagasan ideal yang telah dilontarkan pemerintah kota, ternyata di dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan mulus, bahkan cenderung bertentangan dengan keinginan semula. Rumah lanting yang seyogyanya harus dipertahankan, ternyata menjadi sasaran penggusuran seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Foto Rumah Lanting Dekat Pusat Kota Sedang Digusur Sumber: Harian Banjarmasin Post edisi 30 Nopember 2004
Sungai Martapura memiliki ruang yang cukup luas untuk mengantisipasi kebutuhan lahan permukiman yang terbatas. Jika ruang terbuka ini dimanfaatkan untuk permukiman, maka kota air ini akan bernuansa seperti tahun 50-an. Ketika itu menurut H. M. Gazali Usman, purnakarya dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin, lebar Sungai Martapura yang dapat dilalui kendaraan air hanya beberapa meter saja, sebagian besar merupakan deretan rumah lanting. Thomas Karsten seorang ahli tata kota Belanda sebelum Perang Dunia II juga menyarankan agar rumah lanting tetap diizinkan bertambat di tepi sungai, karena mampu meredam gelombang yang ditimbulkan oleh hiruk-pikuk lalu lintas air (Banjarmasin Kota Air, 1988). Sifat mampu meredam gelombang air diduga belum dipahami betul oleh pemerintah setempat. Pembuatan siring (beram, tanggul) yang berfungsi menyelamatkan tepi sungai dengan biaya besar sangat digalakkan, sedangkan rumah lanting dengan peran yang sama justru digusur. Permukiman
57
penduduk di rumah lanting terkesan kumuh, tetapi bila ditata rapi dan dengan sentuhan estetika justru menjadi daya tarik wisatawan. Jumlah penduduk makin meningkat, berarti bertambah pula kebutuhan lahan untuk mendukung kegiatan perumahan, pendidikan, perdagangan, industri, taman kota dan sebagainya. Kota Banjarmasin sangat terbatas luasnya, maka salah satu alternatif adalah mengembangkan secara horisontal bangunan di lingkungan perairan yakni beberapa sungai dijadikan sebagai tempat permukiman, akan tetapi tetap mempertahankan lebar sungai agar fungsinya sebagai alur transportasi air tidak terganggu (Pemko Dati II Banjarmasin, 1999). Pemerintah kota telah memanfaatkan sebagian badan sungai untuk dijadikan taman kota, seharusnya pemerintah juga mempersilakan kepada masyarakat di lingkungan perairan untuk memanfaatkan badan sungai sebagai lahan permukiman, khususnya rumah lanting. seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Foto Rumah Lanting Dilihat dari Depan (Sumber: Survai lapangan)
Rumah lanting senantiasa terapung di atas air, karena ditopang oleh ikatan bambu atau kayu gelondongan sebagai penyangga. Rumah lanting diikat pada sebatang pohon atau tonggak, menggunakan tali terbuat dari baja berpilin. Beranda depan menghadap sungai dan bagian belakang menghadap daratan yang berjarak sekitar 5 meter, maksudnya agar tetap mengapung ketika air surut. Ruang dapur dan
58
tempat MCK berada di samping kiri atau samping kanan rumah lanting dan bahkan ada yang dibangun di beranda depan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Foto yang Memperlihatkan Beranda Depan Rumah Lanting dan Fasilitas MCK (Sumber: Survai lapangan)
Rumah lanting hanya memiliki WC cemplung, tidak ada ruang terbuka di kolong rumah, jadi sampah dibuang ke sungai melalui beranda depan atau samping. Jadi pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara rumah panggung dan rumah lanting ditinjau dari peluang masyarakat ketika membuang sampah dan limbah rumah tangga. Penghuni rumah lanting telah mengikuti perkembangan peradaban, mereka sebagian bukan hanya memanfaatkannya untuk tempat tinggal, tetapi juga untuk usaha, seperti menjual kebutuhan hidup sehari-hari, beberapa keperluan usaha, di antaranya roda kapal, minyak solar, sampai usaha kecil produksi kecambah (http://www.indomedia.com/bpost/9702/21/kota/kota4.htm.). Masyarakat yang tinggal di rumah lanting banyak memperoleh kemudahan seperti membeli air untuk keperluan minum, suplai air untuk MCK, dan membeli bahan makanan. Para pedagang sayur, ikan dan kebutuhan rumah tangga, pada umumnya menggunakan jukung dan perahu tambangan setiap hari lewat di depan rumah. (http://www.indomedia.com/bpost/9702/21/kota/kota4.) Karena rumah lanting selamanya tergenang air, sampah yang dibuang selalu akan hanyut terbawa arus air.
59
Masalah dalam kegiatan ini adalah bagaimana menciptakan rumah lanting yang berwawasan lingkungan, artinya pemukiman di air yang mengutamakan aspekaspek keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. Berdasarkan analisis situasi yang telah diuraikan terdahulu, dirumuskan masalah penerapan teknologi sebagai berikut: bagaimana mengenalkan model rumah lanting yang mengutamakan aspek-aspek keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan, secara umum penerapan teknologi ini bertujuan untuk mengenalkan model rumah lanting yang mengutamakan aspek-aspek keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. Hasil pengabdian ini diharapkan dapat memberi manfaat khususnya bagi masyarakat lingkungan perairan di Sungai Martapura dalam wilayah Kota Banjarmasin sebagai berikut: 1. Masyarakat di lingkungan perairan, kegiatan ini merupakan tawaran model rumah lanting agar dapat diikuti, karena mengutamakan prinsip-prinsip keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. 2. Pemerintah Kota Banjarmasin dapat memanfaatkan inovasi ini sebagai bahan rekomendasi permukiman di lingkungan perairan, dan dapat dijadikan sebagai obyek wisata.
METODE Kegiatan penerapan teknologi dilaksanakan melalui bimbingan dan tindakan terprogram sesuai dengan rancangan tindakan yang dibuat yaitu membuat model rumah lanting yang ramah lingkungan dengan sasaran 2 buah rumah lanting di Kelurahan Seberang Mesjid RT. 04 Banjarmasin Tengah. Metode kegiatan yang akan dilaksanakan melalui 2 tahapan yakni tahap observasi dan tahap kolaborasi. Pada tahap observasi, tim mengadakan survei untuk mengamati langsung keadaan rumah lanting di sungai Martapura dalam wilayah kota Banjarmasin dan mengadakan wawancara pada beberapa orang masyarakat yang bertempat tinggal di rumah lanting pada daerah tersebut. Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui keinginan mereka dan hal-hal yang telah dilaksanakan terutama dalam hubungannya
60
dengan usaha menciptakan rumah lanting yang ramah lingkungan. Rumah lanting hanya menggunakan WC cemplung, tidak ada ruang terbuka di kolong rumah. Pada tahap kolaborasi, tim pengabdi dengan penghuni rumah lanting dalam menciptakan model rumah lanting yang ramah lingkungan dengan sentuhan estetika. Oleh karena itu menciptakan rumah lanting yang ramah lingkungan difokuskan pada pembenahan WC, dan renovasi rumah. Secara keseluruhan kegiatan dilaksanakan di lingkungan RT. 04 Kelurahan Seberang Mesjid Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota Banjarmasin. Jenis kegiatan dan waktu pelaksanaan kegiatan seperti pada Tabel 1. Kegiatan dilaksanakan oleh tim Tabel 1. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Renovasi Rumah Lanting
Tanggal
Kegiatan
12 Maret 2006
Survei kawasan pemukiman perairan
17 Maret 2006
Survei kawasan pemukiman perairan (lanjutan)
29 Maret 2006
Survei kawasan pemukiman perairan (lanjutan)
8 Mei 2006
Renovasi rumah lanting
9 Mei 2006
Renovasi rumah lanting (lanjutan)
10 Mei 2006
Renovasi rumah lanting (lanjutan)
PKMT 2006 FKIP Unlam Banjarmasin yang diketuai oleh Akhmad Riandie dan dibantu 3 orang anggota yakni 1) Herry Helman, 2) Hulwatul Munajah, dan 3) Srikun B. Widiastuti. Pelaksanaan kegiatan pekerjaan dibagi atas 2 tahap yakni tahap survei dan tahap renovasi. Pada tahap survei, tim menetapkan rumah lanting yang akan direnovasi. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan, terlebih dahulu mengurus perijinan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin. Tim menawarkan gagasan kepada penghuni rumah lanting dan menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan. Kesepakatan diperoleh sesuai dengan lokasi yang telah dijelaskan di atas. Meskipun rumah lanting yang akan direnovasi hanya 2 unit, akan tetapi permintaan renovasi melebihi kemampuan tim, terutama bila dikaitkan dengan sumber dana yang tersedia. Langkah selanjutnya adalah menetapkan kebutuhan riil yang akan dijadikan dasar dalam kegiatan renovasi.
61
Pada tahap renovasi, kegiatan dilaksanakan selama 3 hari atau setara dengan 24 jam kerja dengan melibatkan tenaga kerja yang berasal dari para mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin angkatan 2000 dan 2002, sedangkan rincian kegiatan seperti pada Tabel 2. Kolaborasi tim dengan penghuni rumah lanting
Tabel 2. Jenis Kegiatan Pelaksanaan Renovasi Rumah Lanting
Tanggal
Jumlah tenaga kerja yang terserap (orang)
8 Mei 2006
15
Tenaga ahli (orang) 1
9 Mei 2006
12
1
10 Mei 2006
10
1
Rincian kegiatan
Membuat teras/beranda depan Membersihkan sisi luar Melaksanakan pengecatan Membuat sekat/membuat kamar Membuat jendela Melaksanakan pengecatan (lanjutan) Membuat WC Pembuatan benteng penghalang sampah Melaksanakan Pengecatan (Lanjutan)
dalam menciptakan rumah lanting dengan sentuhan estetika, ini dicapai pada hari ke3, meskipun diakui secara keseluruhan belum membuahkan hasil yang maksimal. Dengan tidak mengurangi makna pengabdian para mahasiswa yang tergabung dalam PKM pengabdian, maka untuk menciptakan rumah lanting yang ramah lingkungan difokuskan pada pengecatan sisi luar, pembuatan sekat kamar, pembuatan jendela, pembuatan teras depan dan pembuatan WC termasuk di dalamnya membuat septik tank apung. HASIL DAN PEMBAHASAN Kolaborasi yang dilakukan antara mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Unlam dengan pihak penghuni rumah lanting telah membuahkan hasil yang saling menguntungkan. Para mahasiswa sebagai penyampai ide, menyediakan dana perangsang, pengajuan modal rumah lanting yang ramah lingkungan telah mengalami proses pembelajaran yang berharga, sedangkan penghuni rumah lanting telah mendapat “rumah baru” memiliki nilai estetika dan ramah lingkungan sebagai buah karya mahasiswa. Rangkaian proses kegiatan kolaborasi antara mahasiswa dengan penghuni rumah lanting telah menghasilkan produk akhir hasil renovasi rumah lanting seperti pada Gambar 4.
62
Gambar 4. Rumah Lanting yang Ramah Lingkungan
Tahap awal yang dilakukan TIM adalah melakukan observasi rumah lanting di Sungai Martapura serta menetapkan 2 buah rumah lanting yang akan di renovasi. Selain itu, tim juga melakukan wawancara dengan pemilik rumah lanting guna mengetahui keinginan-keinginan mereka sehubungan dengan rumah lanting mereka. Dari observasi yang telah dilakukan tim nampak bahwa rumah lanting sangat jauh sebagai rumah sehat. Rumah lanting pada umumnya berukuran 6 x 4 m2 tanpa ada jendela, sekat pemisah antara kamar dengan ruang tamu serta dapur. Rumah lanting ini juga tidak memiliki kamar WC terlebih kamar mandi. Mereka terbiasa dengan hidup serba praktis, mandi cuci kakus dilakukan di sungai. Kegiatan renovasi mulai dari pengecatan rumah, pembuatan jendela, pembuatan sekat kamar, pembuatan teras depan dan pembuatan WC, pembuatan benteng sampah. Kegiatan ini dilakukan oleh tim dibantu oleh pemilik rumah lanting dan seorang tenaga ahli bangunan yang secara khusus diminta untuk membantu pelaksanaan kegiatan renovasi rumah lanting. Di dalam pelaksanaan kegiatan ini, dijumpai beberapa kendala di lapangan. Tim kesulitan dalam menentukan rumah
63
lanting yang akan direnovasi, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan sosial di antara pemilik rumah lanting yang notabene memiliki latar pendidikan yang rendah serta keadaan ekonomi yang lemah. Diharapkan rumah lanting yang telah direnovasi dengan sentuhan estetika dan sentuhan teknologi dapat menjadikan rumah jenis ini sebagai salah satu pemukiman yang bersih, sehat dan indah serta menjadikan daya tarik tersendiri. Hal ini tentu tergantung dari penghuni rumah lanting sebagai pihak yang menempatinya.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan disimpulkan 1) Rumah lanting yang ramah lingkungan merupakan rumah lanting yang mengutamakan aspek-aspek keindahan, keserasian, kebersihan lingkungan, dan kelancaran transportasi. 2) Rumah lanting perlu dipertahankan guna mengurangi laju abrasi sungai. 3) Rumah lanting sebagai bagian dari lingkungan pemukiman di perkotaan dapat diciptakan sesuai dengan kaidah-kaidah rumah sehat, sehat dan indah. Berdasarkan simpulan di atas disarankan perbaikan pemukiman di lingkungan hendaknya dapat dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah Kota untuk mengurangi keterbatasan lahan di Kota Banjarmasin DAFTAR RUJUKAN BPS-BAPPEKO Banjarmasin, 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Banjarmasin 2000. Cameron, Graham. 2000. Duduk di Atas Lumbung Emas. Muhibah, Nopember/ Desember 2000. http://www.indomedia.com/bpost/9702/21/kota/kota4.htm. diakses 13 Juni 2004, Rumah Lanting antara Tradisi dan Kelayakan (Online). Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banjarmasin. 1999. Laporan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Banjarmasin dalam Rangka Uji Petik Pemeriksaaan Akhir Masa Jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan di Banjarmasin Tanggal 30 Agustus 1999. Saleh, M. Idwar. 1986. Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya sampai dengan Akhir Abad 19. Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Selatan.
PENGGUNAAN MEDICINE WHEEL MELALUI PENDEKATAN LINGKUNGAN DENGAN SETTING KOOPERATIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR (Suatu Penelitian Tindakan Kelas dengan Menggunakan Pendekatan Kooperatif Tipe Belajar Bersama di SDN LUB 1 Kota Banjarbaru) H. Mukhyar Amani Eka Suwarsih Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang penggunaan Medicine Wheel melalui pendekatan lingkungan dan Kooperatif Tipe Belajar Bersama (learning together) untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas IV Sekolah Dasar tentang konsep Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui peningkatan pemahaman siswa SD kelas IV SDN Landasan Ulin Barat 1 tentang konsep sumber daya alam dan lingkungan melalui penggunaan model medicine wheel dalam pembelajaran. Penelitian ini menggunakan model medicine wheel melalui pendekatan lingkungan dan pembelajaran kooperatif tipe belajar bersama pada konsep Sumber Daya Alam dan Lingkungan dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar pada siswa. Hal ini dapat dibuktikan dengan Tabel 8 ketuntasan klasikal siklus 2 pada tes awal sebesar 52 %, dan pada hasil tes akhir diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 88 % yang telah memenuhi salah satu persyaratan keberhasilan pembelajaran. Adanya peningkatan ketuntasan klasikal menjadi 88 % yang diperoleh dari hasil tes akhir menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus 2 telah tuntas dan menunjukkan keberhasilan dari adanya peningkatan proses belajar siswa. Kata Kunci: Medicine wheel, pendekatan kooperatif tipe belajar bersama, sumber daya alam Berdasarkan pengalaman mengajar seorang guru kelas IV sekaligus sebagai kepala sekolah, pembelajaran IPA bila tidak didukung dengan kegiatan yang melibatkan keaktifan siswa dapat menyebabkan pembelajaran itu kurang bermakna dan kurang dipahami oleh siswa. Ketidakoptimalan dalam pembelajaran cenderung hanya menanamkan konsep belaka dan mengakibatkan proses dalam pembelajaran
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi UPBJJ UT Banjarmasin. Kepala SD Negeri Landasan Ulin Barat 1 Kota Banjarbaru sekarang bertugas sebagai Kepala SD Negeri Guntung Payung 5 Kota Banjarbaru.
65
IPA terabaikan. Hasil belajar siswa tidak memuaskan, berdasarkan cacatan tahun yang lalu, sekalipun rata-rata hasil belajar konsep sumber daya alam di atas 6,0, namun aktivitas siswa dalam pembelajaran cenderung pasif. Keadaan semacam ini bila dibiarkan, maka akan mengakibatkan hasil belajar siswa tidak dapat ditingkatkan dan akan berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran IPA. Upaya-upaya untuk memperbaiki hasil belajar para siswa sudah sering dilakukan, khususnya berkaitan dengan pemotivasian siswa dalam mengikuti pembelajaran. Kegiatan-kegiatan pembelajaran yang bertujuan dalam penanaman konsep seperti penggunaan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan juga telah sering dilakukan, akan tetapi belum mampu memperbaiki hasil belajar siswa. Materi tentang sumber daya alam dan lingkungan bukan tergolong materi yang sulit, akan tetapi menjadi tidak mudah apabila siswa tidak mampu menghimpun informasi yang diberikan guru. Jika daur pengelolaan sumber daya alam dianalogikan dengan model tablet obat (medicine wheel) maka diharapkan siswa dapat mengembangkan pemahaman tentang sumber daya alam dan lingkungan dengan baik. Model-model siklus alami (natural cycle) yang dianalogikan dengan tablet obat, adalah berupa lingkaran untuk menggambarkan putaran yang tidak habishabisnya, seperti pengulangan putaran pada malam dan siang hari, dan kehidupan dan kematian. Siswa SD dapat menggunakan bentuk lingkaran ini melalui pemotongan dan penyusunan 4 bagian tujuannya adalah agar siswa memahami dan mengerti ideide konsep yang nyata dan menampilkannya dalam bentuk semi konkrit. Melalui cara seperti ini daur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dapat dipelajari, sedangkan bagi guru juga dapat mengintegrasikan gambaran dari daur pengelolaan sumber daya alam ini, dan pada akhirnya dapat menghubungkan siswa secara langsung dengan lingkungan yang nyata dan kompleks. Penggunaan medicine wheel yang dianalogikan dengan siklus-siklus alami belum pernah dilaksanakan di SDN Landasan Ulin Barat 1. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan medicine wheel melalui pendekatan lingkungan dengan setting kooperatif untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar. Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: apakah penggunaan medicine wheel melalui pendekatan lingkungan dengan setting kooperatif dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam pembelajaran IPA di
66
sekolah dasar? Pembelajaran IPA di sini berkaitan dengan sumber daya alam di kelas IV SD. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui meningkatkan pemahaman siswa dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan medicine wheel melalui pendekatan lingkungan dengan setting kooperatif tipe belajar bersama. Siklus-siklus peredaran alam (Natural Cycles) diartikan sebagai putaran penuh manfaat untuk mempelajari objek ilmu pengetahuan. Pada umumnya Orang Amerika menggunakan putaran (lingkaran) dalam bidang kesenian dan sejarah untuk menggambarkan kenyataan tentang peristiwa yang selalu berulang dari generasi ke generasi seperti pengulangan perputaran malam dan siang hari, kehidupan dan kematian (Pliske). Siswa SD dapat menggunakan cara mereka tentang ilmu di atas untuk menyelidiki peredaran alami, seperti putaran malam dan siang, putaran kelahiran dan kematian, metamorfosis amphibi, metamorfosis kupu-kupu, peredaran air, peredaran musim, peredaran batu-batuan, gambaran reproduksi burung, metamorfosis kecoa, metamorfosis lebah dan sebagainya. Model-model siklus alami yang akan dianalogikan dengan tablet obat (Medicine Whell) merupakan bentuk lingkaran untuk menggambarkan putaran yang tidak habis-habisnya. Model ini memberi keuntungan pada para guru-guru SD untuk mengintergrasikan ilmu pendidikan dengan bahasa, seni, sejarah dan kreativitas seni. Cara-cara diatas dapat menyatukan siswa ke dalam kekayaan lingkungan yang menggambarkan kehidupan kompleks. (Walker, 1996). Medicine wheel sebagai media bertujuan untuk menyalurkan pesan atau informasi dari guru ke siswa atau sebaliknya. Penggunaan media pembelajaran akan memungkinkan terjadinya proses belajar pada diri siswa atau dapat digunakan untuk meningkatkan aktifitas kegiatan pembelajaran. Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran perasaan, perhatian dan kemauan anak didik, sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa (Miarse, 1990). METODE Penelitian tentang penggunaan medicine wheel untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas IV SD berupa tindakan kelas (PTK). Penelitian didahului tahap persiapan meliputi 1) Mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan kooperatif dengan metode tipe belajar bersama. 2) Merancang
67
pembelajaran menggunakan pendekatan kooperatif tipe belajar bersama termasuk didalamnya menyusun tes hasil belajar yang menjadi satu-kesatuan dengan rencana pembelajaran dan tes selama proses pembelajaran. 3) Menyusun instrumen kinerja siswa selama proses pembelajaran dan cara pemberian skornya dengsn menggunakan lembar observasi terbuka, observasi terfokus, observasi terstruktur, observasi sistematik, dan respon siswa terhadap proses pembelajaran (Hopkins, 1993). Tahap pelaksanaan penelitian meliputi 1) Para siswa diajak melaksanakan pembelajaran yang telah di tetapkan, menetapkan anggota kelompok kooperatif, mempelajari LKS, dan memahami suruhan-suruhan LKS tadi. 2) Kegiatan pembelajaran, dalam kegiatan ini para siswa dengan kelompoknya melaksanakan tugas-tugas yang dipandu dalam LKS. Penelitian dilaksanakan 2 siklus, Siklus 1 mengkaji tentang macam SDA yang ada di lingkungan sekitar sekolah, dan mengetahui pola sarana yang dibangun untuk memanfaatkan SDA yang dilaksanakan di lokasi lahan gambut yang telah mengalami pengurukan tanah merah. Siklus 2 mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap lahan gambut yang telah dijadikan lahan pemukiman penduduk dan mengetahui dampak negatif dari pemgolahan SDA yang tidak bijaksana dan dampaknya pada siklus air dilaksanakan di lokasi Perumahan Citra Graha. Dalam pelaksanaan penelitian, melibatkan 1 orang guru SD, dan 2 orang mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam sebagai observer. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV Semester 2 SDN Landasan Ulin Barat 1 tahun pelajaran 2007/2008 yang berjumlah 25 siswa, terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan yang diambil secara acak dari kelas IV A dan kelas IV B. Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Mei 2008 yang berlokasi di SDN Landasan Ulin Barat 1. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan siklus 1 pada tanggal 17 Mei 2008 dan siklus 2 pada tanggal 28 Mei 2008. Data dikumpulkan berupa data kuantitatif yakni hasil belajar diperoleh dari tes hasil belajar dan LKS, sedangkan data kualitatif berupa hasil obervasi terhadap pelaksanaan pembelajaran diambil dengan menggunakan lembar observasi yang mengacu pada lembar observasi Borich (Borich 1994, dalam Supramono 2005) yang terdiri dari lembar observasi pengelolaan proses pembelajaran oleh guru, observasi
68
aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar, respon guru dan siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Indikator keberhasilan penelitian ini adalah apabila memenuhi semua komponen indikator kuantitatif dan indikator kualitatif (Arikunto, dkk, 2006). Kedua indikator di atas dilihat dari pergeseran hasil siklus 1 ke siklus 2. Indikator kuantitatif terdiri atas a) Siswa mencapai ketuntasan klasikal (jika > 85 % dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual yaitu skor > 65). b)
Hasil selama proses
pembelajaran tergolong baik, berdasarkan kategori Arikunto (1998). Indikator kualitatif adalah bilamana siswa menjadi lebih aktif ( > 50% dari parameter pengukuran kepada siswa atau guru dapat mengurangi dominasi aktivitasnya ( > 50% dari parameter pengamatan guru). Analisis data dibedakan sebagai berikut: 1. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kuantitatif dilakukan secara deskriptif (Arikunto, dkk, 2006). Data kuantitatif meliputi LKS (Lembar Kerja Siswa)dan soal tes. Analisis tersebut dilakukan dengan menghitung ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal dengan rumus sebagai berikut: Ketuntasan individual =
Ketuntasan klasikal
Jumlah skor x 100 Jumlah skor maksimal
= Jumlah siswa yang tuntas belajar x 100% Jumlah seluruh siswa
Keterangan: Ketuntasan individual : Jika siswa mencapai ketuntasan > 65 Ketuntasan klasikal : Jika > 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan > 65%.
2. Data kuantitatif yang diperoleh dari LKS menggunakan kategori yakni baik (76100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%), dan buruk (<40%) (Arikunto, 1998). 3. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kualitatif dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data, dan penyimpulan hasil analisis (Suyanto, dkk. 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian tentang upaya mengefektifkan pembelajaran sub konsep “Sumber Daya Alam dan Lingkungan” siswa kelas IV SDN Landasan Ulin Barat 1 dengan pembelajaran penggunaan medicine wheel melalui interaksi pendekatan lingkungan
69
dan pendekatan kooperatif belajar bersama telah diperoleh data kuantitatif dan data kualitatif. Ketuntasan belajar yang diperoleh dari tes awal dan tes akhir dapat dilihat dari Tabel 1. ketuntasan klasikal pada tes awal terdapat 0 %, temuan ini dijadikan pertimbangan untuk melaksanakan sub konsep pembelajaran berikutnya. Tabel 1. Data Ketuntasan Individual dan Ketuntasan Klasikal yang Diperolah dari Hasil Tes Awal dan Tes Akhir pada siklus 1 Tes
Skor
Hasil Belajar
Jumlah
% Tuntas
Maksimum
Tuntas(org)
Tidak Tuntas (org)
(Klasikal)
Awal
100
0
25
25
0
Akhir
100
3
22
25
12
Hasil tes akhir pada siklus 1 diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 12 %. Persentasi yang dicapai pada siklus 1 belum memenuhi persyaratan keberhasilan pembelajaran. Hasil yang dicapai dijadikan pertimbangan untuk melaksanakan pembelajaran pada siklus 2, akan tetapi sebelum dilanjutkan pada siklus 2 perlu dilihat hasil selama proses pembelajaran. Hasil selama proses pembelajaran diperoleh dari kemampuan siswa mengerjakan LKS. Keterampilan merumuskan informasi dan memperbaiki hipotesis terdapat di dalam LKS dalam bentuk pertanyaan seperti Tabel 2. Pada Tabel 2 untuk Tabel 2. Data Proses Pembelajaran pada Siklus 1 Tes
LKS
Variabel
Jumlah
Skor
Skor
%
Kategori
Responden
rata-rata
maksimum
Pengetahuan
25
30,12
40
75,3
Sedang
Proses
25
52,00
60
86,67
Baik
LKS persentase skor rata-rata tes pengetahuan adalah 75,3 dan skor rata-rata untuk tes proses adalah 86,67. Berdasarkan hasil belajar maupun proses pembelajaran belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu perlu dilihat data kualitatif selama proses pembelajaran siklus 1. Data kualitatif dalam pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan kooperatif belajar bersama, meliputi observasi terhadap aktivitas yang dilakukan siswa, keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran,
70
observasi terhadap aktivitas yang dilakukan guru, dan observasi pengelolaan kegiatan pembelajaran seperti Tabel 3. Pada Tabel 3 aktivitas siswa tampak terdistribusi Tabel 3. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran pada siklus 1 Res. 1 A B C D E
F 5 9 4 4 4
% 14,28 25,71 11,43 11,43 11,43
2 F 2 4 2 4 5
% 5,71 11,43 5,71 11,43 14,28
3 F 5 8 2 2 2
% 14,28 22,86 5,71 5,71 5,71
Parameter yang teramati 4 5 6 F % F % F % 10 28,57 4 11,43 0 0 11 31,43 4 11,43 0 0 2 5,71 3 8,57 0 0 6 17,14 2 5,71 0 0 9 25,71 2 5,71 0 0
7 F 6 5 7 3 7
8
% 17,14 14,28 20 8,57 20
F 3 2 2 2 2
% 8,57 5,71 5,71 5,71 5,71
9 F 1 1 2 1 2
Keterangan: 1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. 2. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. 3. Melakukan pengamatan/percobaan. 4. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 5. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. 6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi, proses penyelidikan. 7. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. 8. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. 9. Membuat/menulis rangkuman pelajaran
merata pada parameter 1, 2, 4, 5, dan 9 sedangkan pada parameter 6 tidak ada aktivitas siswa sama sekali. Parameter 3, 7 dan 8 hanya terdapat sebagian siswa yang melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas Guru dalam Pembelajaran Siklus 1 seperti Tabel 4. Pada Tabel 4 Tabel 4. Aktivitas Guru dalam Pembelajaran pada Pertemuan 1
Parameter 1
2
3
4
5
6
7
8
Frekuensi
9
4
3
5
3
3
3
5
%
25,71
11,43
8,57
14,28
8,57
8,57
8,57
14,28
Keterangan parameter: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. membimbing siswa melakukan pengamatan/percobaan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 4. membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau atau kepada guru 7. membimbing siswa menyusun atau melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pembelajaran
% 2,86 2,86 5,71 2,86 5,71
71
terdapat satu parameter yang menunjukkan bahwa aktivitas guru yang tergolong tinggi adalah parameter (1) membimbing siswa memahami LKS. Dari data Tabel 4 diperoleh bahwa aktivitas guru masih mendominasi. Ringkasan pengelolaan pembelajaran pada siklus 1 seperti Tabel 5. Pada Tabel 5 dapat dilihat skor rata-rata
Tabel 5. Data Pengelolaan Pembelajaran pada siklus 1
Parameter yang teramati Tahap 1 : Kegiatan Awal Tahap 2 : Kegiatan Inti Tahap 3 : Kegiatan Akhir Rata-rata
Rata-Rata
Rata-Rata
3,3 2,5 3 2,93
Baik Cukup baik Baik Cukup baik
Keterangan: 1 = Kurang baik 2 = Cukup Baik 3 = Baik 4 = Sangat baik
untuk pengelolaan pembelajaran 2,83 dengan kategori cukup baik. Kategori yang di capai ini merupakan pertimbangan untuk pengelolaan pembelajaran pada siklus 2. Data kualitatif dapat juga dilihat dari keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran (penyelidikan melalui pengamatan). Keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran seperti Tabel 6. Tabel 6. Ringkasan Data Keterampilan Siswa Melaksanakan Kegiatan Pembelajaran (Penyelidikan Melalui Pengamatan) pada siklus 1 Parameter yang teramati
Skor Pengamat
1. Pengamatan kualitatif sesuai dengan indera
3
2. Pengamatan kuantitatif dengan menggunakan satuan yang sesuai
-
3. Menggunakan alat ukur
-
4. Merekam dan mengorganisasikan data
3
5. Merumuskan inferensi
2
Jumlah
8
Rata-rata
2,66
Kategori
Cukup Baik
Keterangan: 1 = Kurang baik 2 = Kegiatan inti 3 = Baik
4 = Sangat baik
72
Pada Tabel 6 skor rata-rata untuk penyelidikan melalui pengamatan adalah 2,66 dengan kategori cukup baik. Berdasarkan hasil ketuntasan belajar yang pada siklus 1 yang diperoleh dari tes akhir sebesar 12 % belum mencapai ketuntasan klasikal (85%), meskipun LKS sudah tergolong kategori sedang dan baik. Selain itu ada beberapa parameter pada aktivitas siswa yang belum terdistribusi secara merata, sehingga pembelajaran dilanjutkan ke siklus 2. Data kuantitatif meliputi hasil tes awal, tes akhir, dan hasil selama proses pembelajaran siklus 2. Hasil tes awal dan tes akhir pada siklus 2 seperti Tabel 7.
Tabel 7. Ketuntasan Individual dan Klasikal yang diperoleh dari Hasil Tes Awal dan Tes Akhir Siklus 2 Tes
Skor Maksimum
Hasil Belajar
Jumlah
Tuntas
Tidak Tuntas
(org)
(org)
% Tuntas (Klasikal)
Awal
100
13
12
25
52
Akhir
100
22
3
25
88
Pada Tabel 7 ketuntasan klasikal pada tes awal sebesar 52 %, temuan ini dijadikan pertimbangan untuk melaksanakan pembelajaran siklus 2. Pada hasil tes akhir siklus 2 diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 88 % yang telah memenuhi salah satu persyaratan keberhasilan pembelajaran. Adanya peningkatan ketuntasan klasikal menjadi 88 % yang diperoleh dari hasil tes akhir menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus 2 telah tuntas. Hasil selama proses pembelajaran pada siklus 2 diperoleh dari kemampuan siswa mengerjakan LKS. Keterampilan merumuskan informasi dan memperbaiki hipotesis terdapat di dalam LKS dalam bentuk pertanyaan seperti Tabel 8. Tabel 8. Data Proses Pembelajaran pada Siklus 2
Tes
LKS
Variabel
Jumlah
Skor
Skor
%
Kategori
Responden
rata-rata
maksimum
Pengetahuan
25
31
40
77,5
Baik
Proses
25
48,13
60
80,20
Baik
73
Pada Tabel 8 untuk LKS persentase skor rata-rata tes pengetahuan adalah 77,5 dengan kategori baik dan tes proses adalah 80,20 dengan kategori baik, hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari persentase yang diperoleh pada siklus 1. Hasil belajar ini sudah mencapai ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan yaitu hasil selama proses pembelajaran tergolong kategori baik. Selanjutnya dilihat kinerja siswa dan guru selama pembelajaran melalui data kualitatif selama pembelajaran siklus 2. Data kualitatif dalam pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan koopertif belajar bersama meliputi observasi aktivitas yang dilakukan siswa, dan observasi aktivitas yang dilakukan guru seperti Tabel 9. .
Tabel 9. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Pada Siklus 2
Parameter yang teramati Res
1
2
3
4
5
6
7
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
F
% F
A
8
23,53
2
5,88
6
17,65
4
11,76
5
14,71
0
0
B
7
20,59
2
5,88
5
14,71
3
8,82
7
20,59
0
C
6
17,65
1
2,94
6
17,65
7
20,59
5
14,71
D
7
20,59
3
8,82
5
14,71
5
14,71
4
E
6
17,65
3
8,82
5
14,71
6
17,65
4
8
9
%
F
%
F
%
3
8,82
3
8,82
1
2,94
0
4
11,76
3
8,82
1
2,94
0
0
6
17,65
2
5,88
1
2,94
11,76
0
0
2
5,88
3
8,82
2
5,88
11,76
0
0
4
11,76
2
5,88
2
5,88
Keterangan: 1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. 2. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. 3. Melakukan pengamatan/percobaan. 4. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 5. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. 6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi, proses penyelidikan. 7. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. 8. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. 9. Membuat/menulis rangkuman pelajaran
Pada Tabel 9 untuk parameter 1, 2, 3, 4, 5, 7 , 8, dan 9 sudah dilakukan oleh siswa sedangkan untuk parameter 6 aktivitas siswa belum dilakukan. Persentase aktivitas siswa mengalami peningkatan dibanding siklus 1. Aktivitas Guru dalam Pembelajaran Siklus 2 seperti Tabel 10. Pada Tabel 10 aktivitas guru yang cenderung dominan adalah parameter 1,3 dan 6. Meskipun demikian frekuensi parameter aktivitas guru ini telah mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan siklus 1 dan telah terdistribusi dengan baik.
74
Tabel 10. Aktivitas guru dalam pembelajaran siklus 2
Parameter 1
2
3
4
5
6
7
8
Frekuensi
6
4
6
3
3
5
3
4
%
17,65
11,76
17,65
8,82
8,82
14,71
8,82
11,76
Keterangan parameter: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. membimbing siswa melakukan pengamatan/percobaan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 4. membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau atau kepada guru 7. membimbing siswa menyusun atau melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pembelajaran
Selain melihat aktivitas guru dan siswa, perlu dilihat data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi pengelolaan pembelajaran pada siklus 2 seperti pada Tabel 11. Pada Tabel 11, pengelolaan pembelajaran pada tahap kegiatan
Tabel 11. Data Pengelolaan Pembelajaran Pada Siklus 2
Parameter yang teramati
Rata-Rata
Tahap 1 : Kegiatan Awal 3,25 Tahap 2 : Kegiatan Inti 3,20 Tahap 3 : Kegiatan Akhir 3,33 Rata-rata 3,25 Keterangan : 1 = Kurang baik 2 = Cukup Baik 3 = Baik 4 = Sangat baik
Kategori Baik Baik Baik Baik
awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir tergolong pada kategori baik sehingga pengelolaan pembelajaran pada siklus 2 termasuk kategori baik. Keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran siklus 2 seperti Tabel 12. Pada Tabel 12 untuk keterampilan siswa melaksanakan penyelidikan melalui pengamatan mencapai skor rata-rata 3,00 dengan kategori baik. Skor ratarata ini mengalami peningkatan dari yang diperoleh pada siklus 1. Parameter merekam dan mengorganisasikan data mencapai nilai 3,00 hal ini menunjukkan bahwa keterampilan siswa dalam pembelajaran sudah baik.
75
Tabel 12. Data Keterampilan Siswa Melaksanakan Kegiatan Pembelajaran (Penyelidikan Melalui Pengamatan) Siklus 2 Parameter yang teramati
Skor Pengamat
1. Pengamatan kualitatif sesuai dengan indera 2. Pengamatan kuantitatif dengan menggunakan satuan yang sesuai 3. Menggunakan alat ukur 4. Merekam dan mengorganisasikan data 5. Merumuskan inferensi Jumlah Rata-rata Kategori Keterangan : 1 = Kurang baik 2 = Cukup baik 3 = Baik 4 = Sangat baik
4 3 2 9 3 Baik
Respon siswa selama proses pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan koopertif tipe belajar bersama pada sub konsep “Sumber Daya Alam dan Lingkungan” dapat diketahui bahwa : 1. Sebanyak 25 orang siswa (100%) menyatakan pembelajaran menyenangkan. Hal ini disebabkan pembelajaran di lingkungan jarang dilaksanakan, 23 orang menyatakan hal ini merupakan hal baru dan sangat membantu dalam belajar. Sedangkan 2 orang siswa menyatakan bahwa pembelajaran ini merupakan hal yang tidak baru dan tetapi membantu dalam belajar. 2. Selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, 23 siswa (95%) dapat menyatakan pendapat untuk menjawab pertanyaan, dapat melakukan pengamatan untuk menjawab pertanyaan bagi 24 siswa (90%), dan berminat untuk mengikuti kegiatan belajar sebanyak 25 siswa (100%). Hal ini diduga karena sebagian besar siswa, yaitu 25 siswa (100%) dapat memahami LKS dan sumber belajar yang digunakan. Berdasarkan pertimbangan data kuantitatif dan kualitatif siklus 1 dan 2 dapat dikatakan proses pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan koopertif tipe belajar bersama pada sub konsep “Sumber Daya Alam dan Lingkungan” menunjukkan keberhasilan dari adanya peningkatan proses belajar siswa. Pembahasan Dari hasil penelitian tentang upaya mengefektifkan pembelajaran sub konsep “Sumber Dya Alam dan Lingkungan” siswa kelas IV SDN Landasan Ulin Barat 1 dengan pembelajaran penggunaan medicine wheel melalui interaksi pendekatan
76
lingkungan dan pendekatan kooperatif belajar bersama telah diperoleh data kuantitatif dan data kualitatif. Pada pembelajaran Siklus 1 mengkaji tentang macam SDA yang ada di lingkungan sekitar sekolah, dan mengetahui pola sarana yang dibangun untuk memanfaatkan SDA yang dilaksanakan di lokasi lahan gambut yang telah mengalami pengurukan tanah merah. Diperoleh data kuantitatif yang meliputi hasil tes awal, tes akhir dan hasil-hasil selama proses pembelajaran. Ketuntasan belajar yang diperoleh dari pembelajaran siklus 1 berupa tes awal dan tes akhir dapat dilihat pada tabel 1. ketuntasan klasikal pada tes awal terdapat 0 %, sedangkan ketuntasan klasikal sebesar 12 %. Persentasi yang dicapai pada siklus 1 belum memenuhi persyaratan keberhasilan pembelajaran. Hasil yang dicapai dijadikan pertimbangan untuk melaksanakan pembelajaran pada siklus 2, akan tetapi sebelum dilanjutkan pada siklus 2 perlu dilihat hasil selama proses pembelajaran. Hasil selama proses pembelajaran diperoleh dari kemampuan siswa mengerjakan LKS. Keterampilan merumuskan informasi dan memperbaiki hipotesis terdapat di dalam LKS dalam bentuk pertanyaan. Pada Tabel 2. skor rata-rata tes pengetahuan adalah 75,3 dan skor rata-rata untuk tes proses adalah 86,67. Berdasarkan hasil belajar maupun proses pembelajaran belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data kualitatif dalam pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan kooperatif belajar bersama, meliputi observasi terhadap aktivitas yang dilakukan siswa, keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran, observasi terhadap aktivitas yang dilakukan guru, dan observasi pengelolaan kegiatan pembelajaran. Mengenai aktivitas siswa pada siklus 1 tampak terdistribusi merata pada parameter 1, 2, 4, 5, dan 9 sedangkan pada parameter 6 tidak ada aktivitas siswa sama sekali. Parameter 3, 7 dan 8 hanya terdapat sebagian siswa yang melakukan aktivitas tersebut. Pada aktivitas guru yang tergolong tinggi adalah parameter (1) membimbing siswa memahami LKS. Dari data tabel diperoleh bahwa aktivitas guru masih mendominasi. Sedangkan skor rata-rata untuk pengelolaan pembelajaran 2,83 dengan kategori cukup baik. Data kualitatif dapat juga dilihat dari keterampilan siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran (penyelidikan melalui pengamatan). Skor ratarata untuk penyelidikan melalui pengamatan adalah 2,66 dengan kategori cukup baik.
77
Pada pembelajaran Siklus 2 yang mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap lahan gambut yang telah dijadikan lahan pemukiman penduduk dan mengetahui dampak negatif dari pemgolahan SDA yang tidak bijaksana dan dampaknya pada siklus air dilaksanakan di lokasi Perumahan Citra Graha. Diperoleh ketuntasan klasikal pada tes awal sebesar 52 %, sedangkan hasil tes akhir siklus 2 diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 88 % yang telah memenuhi salah satu persyaratan keberhasilan pembelajaran. Adanya peningkatan ketuntasan klasikal menjadi 88 % yang diperoleh dari hasil tes akhir menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus 2 telah tuntas. Sedangkan untuk LKS persentase skor rata-rata tes pengetahuan adalah 77,5 dengan kategori baik dan tes proses adalah 80,20 dengan kategori baik, hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari persentase yang diperoleh pada siklus 1. Data kualitatif dalam pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan koopertif belajar bersama meliputi observasi aktivitas yang dilakukan siswa, dan observasi aktivitas yang dilakukan guru. Pada observasi aktivitas siswa diperoleh untuk parameter 1, 2, 3, 4, 5, 7 , 8, dan 9 sudah dilakukan oleh siswa sedangkan untuk parameter 6 aktivitas siswa belum dilakukan. Persentase aktivitas siswa mengalami peningkatan dibanding siklus 1. Sedangkan aktivitas guru yang cenderung dominan adalah parameter 1,3 dan 6. Meskipun demikian frekuensi parameter aktivitas guru ini telah mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan siklus 1 dan telah terdistribusi dengan baik. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi pengelolaan pembelajaran pada siklus 2 terlihat pada Tabel 11. Pada tahap kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir tergolong pada kategori baik sehingga pengelolaan pembelajaran pada siklus 2 termasuk kategori baik. Pada keterampilan siswa melaksanakan penyelidikan melalui pengamatan mencapai skor rata-rata 3,00 dengan kategori baik. Skor rata-rata ini mengalami peningkatan dari yang diperoleh pada siklus 1. Parameter merekam dan mengorganisasikan data mencapai nilai 3,00 hal ini menunjukkan bahwa keterampilan siswa dalam pembelajaran sudah baik. Respon siswa selama proses pembelajaran sebanyak 25 orang siswa (100%) menyatakan pembelajaran menyenangkan. Hal ini disebabkan pembelajaran di lingkungan jarang dilaksanakan, 23 orang menyatakan hal ini merupakan hal baru
78
dan sangat membantu dalam belajar. Sedangkan 2 orang siswa menyatakan bahwa pembelajaran ini merupakan hal yang tidak baru dan tetapi membantu dalam belajar. Selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, 23 siswa (95%) dapat menyatakan pendapat untuk menjawab pertanyaan, dapat melakukan pengamatan untuk menjawab pertanyaan bagi 24 siswa (90%), dan berminat untuk mengikuti kegiatan belajar sebanyak 25 siswa (100%). Hal ini diduga karena sebagian besar siswa, yaitu 25 siswa (100%) dapat memahami LKS dan sumber belajar yang digunakan. Berdasarkan pertimbangan data kuantitatif dan kualitatif siklus 1 dan 2 dapat dikatakan proses pembelajaran melalui interaksi pendekatan lingkungan dan pendekatan koopertif tipe belajar bersama pada sub konsep “Sumber Daya Alam dan Lingkungan” menunjukkan keberhasilan dari adanya peningkatan proses belajar siswa. SIMPULAN DAN SARAN Pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman siswa SD kelas IV SDN Landasan Ulin Barat 1 dengan menggunakan model medicine wheel melalui pendekatan lingkungan dan pendekatan kooperatif tipe belajar bersama pada konsep Sumber Daya Alam dan Lingkungan dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar pada siswa. Hal ini dapat dibuktikan dengan Tabel 8 ketuntasan klasikal siklus 2 pada tes awal sebesar 52 %, dan pada hasil tes akhir diperoleh ketuntasan klasikal sebesar 88 % yang telah memenuhi salah satu persyaratan keberhasilan pembelajaran. Adanya peningkatan ketuntasan klasikal menjadi 88 % yang diperoleh dari hasil tes akhir menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus 2 telah tuntas dan menunjukkan keberhasilan dari adanya peningkatan proses belajar siswa. Sebaiknya pembelajaran dengan menggunakan model medicine wheel melalui pendekatan lingkungan dan belajar bersama ini dapat diterapkan terus dalam pembelajaran IPA. Selain lebih bermakna juga meningkatkan pemahaman siswa. DAFTAR RUJUKAN Karuru, Perdy. 2004. Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses dalam Seting Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kualitas Belajar IPA Siswa SLTP. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/45/ perdy_karuru.htm
79
Pliske, Charlotte.2000. Natural Cycles: Coming Full Circle. Science and Children Volume 37. No. 6 March 2000. NSTA Sunaryanto. 2001. Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa dengan Pembelajaran Kooperatif. Abstrak Tahun 3, Nomor 1, November 1997 http://www.malang.ac.id/jurnal/lain/nilai.htm Syam, Joni. 2001. Meningkatkan Hasil Belajar Pengetahuan Dasar Teknologi melalui Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan STAD di SMK http://www.bpgupg.go.id/kmp/inovasi/jurnaldetail.php?edisi=Volume+1+No mor+1 Syafari. 2001 Pendekatan Kooperatf Learning Dalam Pembelajaran Geometri Transformasi dengan Menggunakan Peta Konsep. http://www.balitbangsumut.go.id/penelitian_1/UNIMED.FIK.2001.htm Setyosari, Punaji. 1997. Model Belajar Kontruktivistik. Sumber Belajar: Berkala Kajian Teori dan Aplikasinya Tahun 4, Nomor 1, November 1997. Malang: Universitas Negeri Malang) Wijaya, Cece & Rusyan, A. Tabrani. 1994. Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
INTERAKSI PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH DAN PENDEKATAN PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR (Penelitian tindakan kelas di SD Negeri Sungai Tabuk Keramat II Kecamatan Sungai Tabuk Pada Sub Konsep “Cara Penghematan Air”) Akhmad Naparin Ratna Yulinda Abstrak Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran sub konsep “cara penghematan air” pada siswa kelas V SDN Sungai Tabuk Keramat 2 Kecamatan Sungai Tabuk melalui interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing. Penelitian yang dilakukan sejak Februari–Juli 2007 dirancang 2 siklus. Subyek penelitian adalah siswa kelas V semester 2 SDN Sungai Tabuk Keramat 2 yang berjumlah 29 orang. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran sub konsep “Cara Penghematan Air” dapat diefektifkan. Ada peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran yakni 1) memperhatikan penjelasan guru/siswa lain, 2) melakukan pengamatan/percobaan, 3) melakukan refleksi, 4) mengevaluasi proses penyelidikan, 5) bertanya kepada siswa lain/kepada guru, 6) menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penelitian. Guru telah mengurangi dominasinya dalam pembelajaran meliputi 1) membimbing siswa melakukan pengamatan, 2) membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM, 3) membimbing siswa berdiskusi antar siswa/kelompok/guru, 4) mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru, 5) membimbing siswa menyusun atau melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Hasil belajar siswa telah mencapai ketuntasan klasikal pada siklus 2. Hasil selama proses pembelajaran yang diperoleh melalui LKS dan kemampuan siswa membuat futures wheel mengalami perubahan dari kategori sedang menjadi kategori baik. Respon siswa terhadap LKS, cara guru mengajar, cara siswa belajar dan proses pembelajaran seluruhnya menyatakan menyenangkan. Kata kunci: Interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing, cara penghematan air
Dosen Prodi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin.
Alumni S1 Pend. Biologi FKIP Unlam 2008
81
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru IPA di SDN Sungai Tabuk Keramat II Kecamatan Sungai Tabuk, terungkap bahwa secara umum pembelajaran IPA di sekolah ini hanya menerapkan pembelajaran di dalam kelas. Kegiatan pembelajaran yang seharusnya mendekatkan siswa dengan sumber belajar sering mendapat hambatan, terutama pada aplikasi
konsep-konsep IPA. Kendala yang
dihadapi guru adalah keterbatasan waktu untuk menyampaikan semua materi pelajaran, media pembelajaran yang sudah tersedia cukup lengkap belum digunakan sebaik-baiknya dan kemampuan guru untuk menerima inovasi pembelajaran IPA masih terbatas khususnya dalam membelajarkan aplikasi konsep dan prinsip IPA. Jadi diikatakan
guru
masih
mengalami
kesulitan
dalam
melaksanakan
proses
pembelajaran. Hasil-hasil penelitian menggunakan pendekatan konstruktivis sudah banyak dilaporkan. Sutini (2000) melaporkan tentang penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah di SD. Berdasarkan hasil penelitian ini keefektifan siswa meningkat, siswa antusias khususnya pada pelajaran yang menggunakan kegiatan eksperimen yang memerlukan pemecahan masalah. Aslamna (2006) melaporkan penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah yang berorientasi pada lingkungan dapat meningkatkan proses dan hasil belajar “konsep perubahan lingkungan” pada siswa kelas Xd SMA Negeri 1 Gambut tahun pelajaran 2005/2006. Saudah (2007) melaporkan hasil penelitian penggunaan pendekatan problem posing dalam materi IPA di SD, ternyata dapat meningkatkan hasil belajar dan respon siswa tentang sub konsep “faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem”. Hasil penelitian juga menunjukkan pembelajaran telah berpusat kepada siswa. Salah satu sub konsep yang diajarkan di kelas V SD adalah cara penghematan air. Berdasarkan penuturan guru IPA di sekolah tersebut, sub konsep ini pada tahuntahun sebelumnya hanya diajarkan melalui penjelasan guru tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menghemat penggunaan air. Padahal ada cara lain untuk melakukan pembelajaran yang lebih bermakna, misalnya melakukan pembelajaran di instalasi pengolahan air bersih. Pembelajaran di lokasi ini bagi siswa-siswa SD tersebut sangat memungkinkan karena jaraknya berdekatan dengan sekolah, sehingga pembelajaran berbasis kontekstual dapat terlaksana.
82
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan ada peningkatan hasil dan proses belajar, akan tetapi mungkin akan memperoleh hasil yang lebih baik jika dilakukan interaksi berbagai pendekatan. Salah satu yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini adalah melalui interaksi 2 pendekatan, yaitu pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran pada sub konsep “cara penghematan air”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran sub konsep “cara penghematan air” pada siswa kelas V SDN Sungai Tabuk Keramat II Kecamatan Sungai Tabuk melalui interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing. Pemecahan masalah ilmiah kompleks, rumit, dan ide-ide yang dapat diaplikasikan berbeda-beda untuk setiap permasalahan (McIntosh, 1995). Karena fenomenanya seperti ini maka bragam percobaan dilakukan untuk mengatasinya. Disadari bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang akan membuat sukses bagi setiap pebelajar. Usaha-usaha terus diupayakan untuk menyelesaikan proses menjadi bagian-bagian kecil, agar dapat menolong guru menciptakan pembelajaran dapat berpusat pada siswa. Menurut McIntosh (1995) ada alternatif pemecahan masalah yang merupakan kesatuan tahapan dari proses yang berkaitan, berinteraksi, dan serentak. Empat proses yang berkaitan dan berinteraksi adalah problem posing, pendekatan berdasarkan masalah, problem solution dan komunikasi seperti Gambar 1. Problem Posing
Pendekatan Berdasarkan Masalah
Komunikasi
Problem Solution Gambar 1. Proses-proses Problem Solving Sumber: McIntosh (1995)
83
Pendekatan problem posing meliputi keterampilan siswa yang diperlukan dalam menerapkan proses pemecahan masalah. Para siswa memerlukan pengalaman yang nyata dari suatu masalah pengetahuan dalam suatu situasi realistis pendekatan problem posing dan kedudukan di antara pendekatan lainnya. Pendekatan berdasarkan masalah meliputi mengevaluasi informasi dan menentukan informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Keterampilan lainnya adalah menggunakan contoh dalam eksperimen, mengumpulkan informasi, merekam dan mengorganisir pengamatan, menggunakan berbagai masalah, strategi pemecahan masalah dan meninjau kembali ketika ditemukan bukti baru. Para siswa memerlukan pengalaman yang nyata dari suatu masalah pengetahuan dalam situasi realistis pendekatan berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing dan kedudukan di antara pendekatan lainnya. Pendekatan problem solution meliputi pengusulan solusi terhadap masalah yang akan diajukan yang konsisten dengan prosedur yang diikuti. Membandingkan dengan pendekatan berbeda tapi dengan masalah yang sama dan membandingkan hasilnya, menggunakan prosedur serupa untuk memecahkan masalah rumit juga merupakan bagian dari model ini. Mengevaluasi solusi berdasarkan informasi yang digunakan untuk mendatangkan solusi adalah keterampilan yang jarang dipraktikkan. Pendekatan komunikasi konsep adalah keterampilan pengetahuan yang dibatasi untuk mengisi sebuah laporan laboratorium kosong atau menjawab beberapa pertanyaan tentang apa yang terjadi selama di laboratorium. Salah satu ajaran dasar ilmu pengetahuan adalah memeriksa diri sendiri. Hal ini terpenuhi dengan jelas bahwa mengkomunikasikan dengan masalah yang lain, prosedur, penafsiran, dan jalan pemikiran kecil yang diikuti, dan dengan menunjukkan bahwa kesimpulan yang benar menggunakan suatu penyelidikan ilmiah yang harus berisi semua informasi yang diperlukan agar mengizinkan pengulangan penyelidikan yang lain. Keterampilan-keterampilan dari pendekatan problem solving yang sering memperlihatkan kesulitan untuk dipahami dan dinamis seperti Gambar 2. Alessio (2004), mengemukakan pembelajaran berdasarkan masalah berkembang dari bukti tentang tipe pertanyaan dunia nyata dan aktivitas pembelajaran yang berpusat pada
84
siswa mungkin dapat lebih berharga daripada pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru, tepatnya informasi diberikan oleh guru. Keberhasilan pembelajaran Problem Posing
Komunikasi
Mengunci dan
menguraiakan Menulis menurut contoh secara terbuka Mengkomonikasikan pemikiran jumlah Menggunakan kecil contoh Menggunakan simbol-simbol dan formula Mengeluarkan dan Menggunakan ukuran melengkapi informasi (format) Informasi grafik yang tersedia Mengadakan Membuat petanya investigasi ulang
yang diperlukan Memperbaiki hipotesis
Pengetahuan yang terdahulu
Memeriksa bergantian Mengerjakan eksprimen Mengetahui data baru apa yang diperlukan Memilih peralatan yang benar
Mengumpulkan data Merumuskan bagaimana mencatat informasi Mengubah teknikmengumpulkan peralatan Mengumpulkan informasi
Pendekatan Berdasarkan Masalah
Merumuskan masalah jika masalahnya ilmiah Menulis hipotesis Menulis prosedur Menggunakan Menguraikan masalah yang samaprediksi Membuat data untuk dianalisis Merencanakan percobaan Merumuskan informasi
Mengusulkan solusi yang Pantas. Meanalisis data Menggunakan pendekatan yang berbeda Membuat kesimpulan berdasarkan data Menggunakan informasi yang benar
Problem Solution
Gambar 2. Proses-proses Problem Solving dan Berbagai Keterampilan Proses Sumber: McIntosh (1995)
berdasarkan masalah adalah menyiapkan siswa untuk pembelajaran seumur hidup dengan mengikat mereka dalam pembelajaran aktif dimana respon siswa untuk penemuan fakta dan mengungkapkan kunci konsep. Tahapan pembelajaran berdasarkan masalah menurut Biley (1999) dalam Alessio (2004) adalah 1) menafsirkan skenario, konsep, dan penjelasan istilah. 2) curah pendapat. 3) mengorganisasikan hasil curah pendapat. 4) menetapkan batas permasalahan dan isu. 5) menetapkan kebutuhan pembelajaran. 6) mengumpulkan pengetahuan. 7) menggali pengetahuan baru yang berkaitan dengan permasalahan dan isu. dan 8) melaksanakan skenario. Menurut Dongsheng dan Lee Peng Yee (1997) Problem-Posing memiliki kriteria 1) menanyakan pertanyaan yang membangun keingintahuan dan minat. 2) menanyakan pertanyaan yang berbeda peranannya untuk perbuatan yang berbeda. 3) sering berperan dalam bertanya untuk mengetahui hal baru. 4) menemukan
85
pertanyaan yang baik adalah kunci untuk penelitian dalam matematika. 5) belajar tanpa pertanyaan adalah belajar pasif. Dongsheng (1997) menyimpulkan pendekatan problem-posing dalam pembelajaran adalah sikap siswa pada saat pembelajaran yaitu pertanyaan-pertanyaan dari permasalahan dalam materi pelajaran. Meskipun objek utama dalam problem-posing adalah mengaktifkan dan mendalami pembelajaran, sebenarnya dapat dimaknai sebagai penguatan pembelajaran berupa 1) memberikan cara baru untuk menetapkan ukuran dalam mengajar dan belajar. 2) memberikan cara yang efektif untuk motivasi belajar. 3) kita akan memperoleh timbal balik dari para siswa melalui pertanyaan-pertanyaan mereka dan partisipasi dalam kelompok diskusi. Ada
beberapa
hasil
penelitian
menggunakan
pendekatan-pendekatan
konstruktivis. Alessio (2004) menemukan 1)) nilai bawah kelulusan siswa dalam kelas dengan pembelajaran berdasarkan masalah adalah 82,3 + 1,3 %. rata-rata nilai kelulusan untuk dua kelas dengan pembelajaran tradisional adalah 82, 6 + 1,3 dan 80,7 + 1,7%. persebaran nilai ujian sama. 2) kelulusan siswa dalam pembelajaran berdasarkan masalah dan tradisional dinyatakan dengan persen masing-masing 82,0 + 1,4 dan 82,5 + 2,2. penyebaran nilai ujian antara dua kelas adalah sama, dengan 26:25 skor untuk nilai 70, 60:75 skor untuk nilai 80, dan 13:0 skor untuk nilai 90. Hidayah (2006) melaporkan penggunaan pendekatan lingkungan dapat mengoptimalkan proses dan hasil belajar sub konsep pencemaran air. Fitria (2006) melaporkan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dapat mengoptimalkan pemahaman dan respon siswa tentang sub konsep kegiatan manusia yang mempengaruhi keanekaragaman hayati. Optimalisasi pemahaman siswa dan meningkatkan respon siswa dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah (Rahmi, 2006). Implementasi pendekatan problem posing dapat meningkatkan prestasi belajar siswa (Hildayati, 2003). Menurut Norliawati (2006) penggunaan pendekatan problem posing dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada konsep ikatan kimia. METODE Penelitian tindakan kelas ini dirancang 2 siklus, siklus 1 terdiri dari 2x pertemuan mengkaji tentang pentingnya air, daur air, cara pengolahan air bersih, dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi daur air. Siklus 2 hanya 1x pertemuan
86
yang mempelajari cara penghematan air. Secara ringkas kegiatan masing-masing siklus seperti Tabel 1. Dalam pelaksanaan pembelajaran, peneliti berkolaborasi seperti Tabel 2. Tabel 1. Skema Rencana Kegiatan Penelitian Tindakan Siklus 1
Pertemuan 1
2
2
1
Materi pokok - Pentingnya air
jam pelajaran 2
- Cara pengolahan air bersih - Daur air - Kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi daur air Cara penghematan air
Pendekatan Pembelajaran berdasarkan masalah dan problem posing Pembelajaran berdasarkan masalah dan problem posing
2
2
Pembelajaran berdasarkan masalah dan problem posing
Lokasi Pembelajaran Ruang kelas
Instalasi Pengolahan Air Bersih
Konsumen PDAM di Kec. Sungai Tabuk
Tabel 2. Distribusi Tugas dalam Pelaksanaan Pembelajaran Siklus 1
2
Materi pokok - Pentingnya air - Cara pengolahan air bersih - Daur air - Kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi daur air Cara penghematan air
Guru Misran, guru SD kelas V Ratna Yulinda
Mitra Ratna Yulinda Misran, guru SD kelas V
Supervisor Pembimbing 1 dan 2 Pembimbing 1 dan 2
Pengamat Mahasiswa
Ratna Yulinda
Misran, guru SD kelas V
Pembimbing 1 dan 2
Mahasiswa
Mahasiswa
Di dalam kegiatan pembelajaran, tugas-tugas tiap individu yang terlibat dalam penelitian ini telah disusun seperti pada Tabel 3. Model PTK yang digunakan diadaptasi dari Kemmis & Taggart (1998). Setiap pembelajaran ada 4 tahap, yakni Tabel 3. Distribusi Tugas dalam Kegiatan Perencanaan Pembelajaran Kegiatan Menyiapkan bahan ajar Menyiapkan materi Menyusun instrumen/soal dan melakukan validasi soal Menyusun kelompok kooperatif Menetapkan indikator dan membuat rencana
Peneliti X X X
Mitra X X -
Supervisor X X
Pengamat -
X X
X X
X
-
87
pembelajaran Melakukan refleksi
X
X
-
X
perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi, dan refleksi. Di bawah dijelaskan kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Refleksi awal dapat dijelaskan 1) Para siswa telah memiliki pengetahuan awal IPA yang telah dikaji di kelas V atau hasil belajar di kelas sebelumnya. 2) mereka memperoleh pembelajaran IPA hanya di dalam kelas, 3) mereka diajak ke lingkungan, akan tetapi tidak dalam konteks pembelajaran. 4) pembelajaran sub konsep cara penghematan air hanya diajarkan melalui penjelasan guru tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menghemat penggunaan air. 5) LKS belum memberikan tugas yang berhubungan dengan pembelajaran tentang isu-isu lingkungan. Pelaksanaan
penelitian
tindakan
meliputi
tahap
perencanaan,
tahap
pelaksanaan, observasi dan evaluasi dan refleksi. Kegiatan tahap perencanaan berupa a) Menyiapkan artikel sebagai bahan diskusi siswa. b) Menyusun LKS berbasis pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing. c) Menyusun instrumen penelitian d) Peneliti menjelajahi lokasi pembelajaran sebelum menyusun rencana pembelajaran. Observasi dan evaluasi tindakan meliputi a) Observasi terhadap pelaksanaan PTK dengan menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dan guru Borich dan b) Penguasaan materi pelajaran diperoleh dari tes hasil belajar. Data hasil penelitian dicatat atau direkam untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan refleksi tahap kedua. Tahap refleksi ini dilakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran pada siklus 1 dan menjadi pertimbangan untuk memasuki siklus 2. Pertimbangan yang dilakukan bilamana ada salah satu komponen di bawah ini belum terpenuhi, yakni 1) ketuntasan klasikal ( > 85% ) dari seluruh siswa yang telah mencapai ketuntasan individual ( skor > 65 ). 2) hasil belajar selama proses pembelajaran tergolong baik. 3) siswa menjadi lebih aktif atau guru telah mengurangi dominansinya di dalam pembelajaran. Pada siklus 2 disiapkan pembelajaran seperti pada siklus 1, hanya lokasi pembelajaran berbeda.
88
Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V Semester 2 SDN Sungai Tabuk Keramat II Kecamatan Sungai Tabuk tahun pelajaran 2006/2007 yang berjumlah
29 siswa, terdiri dari 13
siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan.
Penelitian ini mulai dilakukan sejak bulan Februari sampai dengan Juli 2007 yang berlokasi di SDN Sungai Tabuk Keramat II Jalan Grilya Kecamatan Sungai Tabuk. Teknik Pengumpulan Data Data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar, LKS, dan hasil membuat futures wheel sedangkan data kualitatif berupa hasil obervasi terhadap pelaksanaan pembelajaran yang mengacu pada lembar observasi Borich (Borich 1994, dalam Supramono 2005). Perangkat ini terdiri dari lembar observasi pengelolaan proses pembelajaran oleh guru, observasi aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar, observasi keterampilan siswa dalam membuat futures wheel, respon guru dan siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Teknik Analisis Data Analisis data dibedakan sebagai berikut: 1. Analisis data hasil penelitian yang tergolong data kuantitatif dilakukan secara deskriptif (Arikunto, dkk, 2006). Data kuantitatif meliputi LKS, soal tes dan hasil futures wheel siswa. Analisis hasil tes dilakukan dengan menghitung ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal sebagai berikut: Ketuntasan individual =
Ketuntasan klasikal
Jumlah skor x 100 Jumlah skor maksimal
= Jumlah siswa yang tuntas belajar x 100% Jumlah seluruh siswa
Keterangan: Ketuntasan individual : Jika siswa mencapai ketuntasan > 65 Ketuntasan klasikal : Jika > 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan > 65%
2. Data kuantitatif yang diperoleh dari LKS menggunakan kategori yakni baik (76100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%), dan buruk (<40%) (Arikunto, 1998). 3. Analisis data kualitatif dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data, dan penyimpulan hasil analisis (Suyanto, dkk. 2006).
89
Indikator Keberhasilan Penelitian Penelitian ini dikatakan berhasil apabila memenuhi semua komponen indikator kuantitatif dan indikator kualitatif (Arikunto, dkk, 2006). Kedua indikator di atas dilihat dari pergeseran hasil siklus 1 ke siklus 2. Kedua indikator ini adalah 1) indikator kuantitatif terdiri atas a) siswa mencapai ketuntasan klasikal (jika > 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual yaitu skor > 65). b) hasil selama proses pembelajaran tergolong baik berdasarkan kategori arikunto (1998). 2) 2. indikator kualitatif adalah bilamana siswa menjadi lebih aktif ( > 50% dari parameter pengukuran kepada siswa atau guru dapat mengurangi dominasi aktivitasnya ( > 50% dari parameter pengamatan guru).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil-hasil penelitian di atas dapat di maknai lebih lanjut dengan membandingkan hasil yang diperoleh pada penelitian siklus 1 dan siklus 2. Hasil tes awal dan tes akhir pada siklus 1 dan siklus 2 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 Tabel 4. Ringkasan Hasil Perhitungan Tes Awal dan Tes Akhir Siklus 1 2
Hasil Perhitungan Tes Awal (%) Tes Akhir (%) 42,85 64,28 56 88
Keterangan : Ketuntasan individual : jika siswa mencapai nilai > 65 Ketuntasan klasikal : Jika > 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual > 65
memperlihatkan adanya peningkatan persentase hasil belajar, baik untuk nilai tes awal maupun nilai tes akhir pada siklus 1 dan siklus 2 dan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 3. Peningkatan hasil belajar pada tes akhir lebih besar dari pada tes
90
90 80 70 60 50 Persentase Nilai 40 30 20 10 0
Siklus 1 Siklus 2
Tes Awal Tes Akhir
Jenis Tes
Gambar 3. Hasil Tes awal dan Tes Akhir
awal. Peningkatan ini telah mencapai ketuntasan klasikal yaitu 85% untuk siswa yang memperoleh nilai > 65. Ringkasan hasil selama proses pembelajaran berupa tes keterampilan proses, yaitu penilaian terhadap LKS pada siklus 1 dan 2 seperti pada Tabel 5. Pada Tabel 5 Tabel 5. Ringkasan Hasil Selama Proses Pembelajaran dengan LKS Siklus 1 2
Variabel Pengetahuan Proses Pengetahuan Proses
Jumlah Responden 28
Skor rata-rata 22,14 45,27 18,4 77
25
Skor Maksimum 30 70 20 80
%
Kategori
73,80 64,67 92,00 96,25
Sedang Sedang Baik Baik
memperlihatkan ada peningkatan hasil selama proses pembelajaran, ringkasan hasil selama proses pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 seperti Gambar 4. Pada Gambar 4 100 80 60 Persentase nilai 40
Siklus 1
20
Siklus 2
0 A
B Jenis Tes
Keterangan: A Pengetahuan, B Proses Gambar 4. Ringkasan Hasil Selama Proses Pembelajaran
91
terjadi peningkatan persentase perolehan hasil selama proses pembelajaran dari 64,67 menjadi 96,25, sedangkan untuk kategori pengetahuan 73,80 pada siklus 1 menjadi 92,00 pada siklus 2 dari kategori sedang menjadi baik. Ringkasan hasil belajar melalui futures wheel seperti Tabel 6. Pada Tabel 6 memperlihatkan ada peningkatan hasil selama proses pembelajaran, dalam bentuk grafik seperti Gambar 5. Pada Gambar 5 terlihat bahwa terjadi peningkatan persentase perolehan hasil selama proses pembelajaran baik tes pengetahuan maupun tes proses dengan menggunakan futures wheel. Tes berupa pengetahuan pada siklus 1 73,28 menjadi 80,25 pada siklus 2, dari kategori sedang menjadi baik. Sedangkan untuk tes proses dari 77,06 menjadi 80,11 pada siklus 2 yang keduanya tergolong kategori baik. Tabel 6. Ringkasan Hasil Selama Proses Pembelajaran dengan futures wheel Siklus 1 2
Variabel Pengetahuan Proses Pengetahuan Proses
Jumlah subyek 28 25
Skor rata-rata 13,28 33,14 12,84 28,84
Skor Maksimum 18 43 16 36
%
Kategori
73,28 77,06 80,25 80,11
Sedang Baik Baik Baik
82 80 78 Persentase nilai 76
Siklus 1
74
Siklus 2
72 70 A
B Jenis tes
Keterangan : A
: Pengetahuan B : Proses
Gambar 5. Ringkasan Hasil Selama Proses Pembelajaran dengan futures wheel
Ringkasan aktivitas guru dalam pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 seperti pada Tabel 7. Pada Tabel 7 memperlihatkan sebagian besar aktivitas guru sudah Tabel 7. Ringkasan Aktivitas Guru dalam Pembelajaran Siklus 1
1 11,87
2 18,00
Parameter yang diamati (%) 3 4 5 6 11,48 16,84 3,57 12,26
7 11,87
8 14,05
92
2
21,05
10,52
10,52
10,52
15,78
10,52
5,26
15,78
Keterangan parameter: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. membimbing siswa melakukan pengamatan/percobaan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 4. membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau atau kepada guru 7. membimbing siswa menyusun atau melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pembelajaran.
mengalami penurunan, meskipun ada 3 parameter yang meningkat, yakni parameter (1) Membimbing siswa memahami LKS, (5) Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan dan (8) Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pembelajaran. Lima parameter lain menunjukkan aktivitas guru dalam telah menurun, dalam bentuk grafik seperti Gambar 6. Pada Gambar 6 disimpulkan guru sudah mengurangi aktivitas dalam proses pembelajaran, meskipun tidak penuh. 25 20 15 Persentase 10
Siklus 1
5
Siklus 2
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Parameter
Keterangan parameter: 1. Membimbing siswa memahami LKS 2. membimbing siswa melakukan pengamatan/percobaan 3. Membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 4. membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru 5. Membimbing siswa melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan 6. mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau atau kepada guru 7. membimbing siswa menyusun atau melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan 8. Membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pembelajaran Gambar 6. Aktivitas Guru pada Siklus 1 dan Siklus 2
Ringkasan aktivitas siswa dalam pembelajaran sikkus 1 dan siklus 2 seperti Tabel 8. Tabel 8. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Res
Siklus
1
2
3
Parameter yang diamati (%) 4 5 6 7
8
9
93
A B C D
1 2 1 2 1 2 1 2
17,58 19,04 10,26 10,52 23,01 27,27 27,04 30,00
11,06 9,52 12,89 10,52 15,78 13,63 18,71 15,00
11,06 14,28 7,5 21,05 7,14 4,54 8,33 10,00
17,88 4,76 12,89 10,52 15,07 9,09 8,03 10,00
6,81 4,76 18,02 10,52 8,33 9,09 10,81 5,00
0 4,76 5 0 2,38 9,09 0 5,00
4,34 14,28 5 10,52 2,38 4,54 10,81 15,00
8,98 14,28 12,89 15,78 12,96 4,54 5,55 15,00
11,16 9,52 15,52 10,52 12,69 13,63 10,66 5,00
Keterangan: 1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain. 2. Membaca LKS atau buku-buku yang relevan. 3. Melakukan pengamatan/percobaan. 4. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM 5. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru. 6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi, proses penyelidikan. 7. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru. 8. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. 9. Membuat/menulis rangkuman pelajaran
Pada Tabel 8 beberapa parameter aktivitas siswa meningkat dan menurun. Ringkasan aktivitas siswa yang menurun dari siklus 1 ke siklus 2 seperti Gambar 7. Pada Gambar 7, parameter membaca LKS atau buku-buku yang relevan 20 15 Persentase 10
Siklus 1
5
Siklus 2
0 A2
B2
C2
D2
Siswa
Keterangan : A, B, C, D : Siswa Gambar 7. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran yang Mengalami Penurunan
mengalami sedikit penurunan. Aktivitas siswa yang cenderung menurun dari siklus 1 ke siklus 2 seperti Gambar 8, yaitu parameter menulis hal-hal yang relevan dengan KBM (4), berdiskusi antar siswa/kelompok/guru (5), dan membuat/menulis rangkuman pelajaran (9).
94
20 15 Persentase 10 5 0 A4
C4
B5
D5
A9
Siswa
C9
Siklus 1 Siklus 2
Keterangan : A, B, C, D: Siswa Gambar 8. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran yang cenderung Mengalami Penurunan
Aktivitas siswa selama pembelajaran yang cenderung naik seperti Gambar 9. Pada Gambar 9, aktivitas siswa dalam pembelajaran dari siklus 1 ke siklus 2 yang cenderung naik adalah parameter melakukan pengamatan (3), melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan (6), dan menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan (8). Aktivitas siswa selama pembelajaran dari siklus 1 ke siklus 2 yang mengalami kenaikan adalah parameter memperhatikan penjelasan guru/siswa lain (1) dan bertanya kepada siswa lain atau kepada guru (7) seperti pada Gambar 10. 30 25 20 Persentase 15
Siklus 1
10
Siklus 2
5 0 A1
B1
C1
D1
A7
B7
C7
Siswa
Keterangan : A, B, C, D: Siswa Gambar 9. Aktivitas Siswa yang Cenderung Naik
D7
95
30 25 20 Persentase 15
Siklus 1
10
Siklus 2
5 0 A1
B1
C1
D1
A7
B7
C7
D7
Siswa
Keterangan A, B, C, D : Siswa Gambar 10. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran yang Mengalami Kenaikan
Berdasarkan analisis kualitatif melalui tahapan reduksi data, pemaparan data, dan penyimpulan data, diketahui terdapat 5 parameter yang mengalami kenaikan dan cenderung naik serta 4 parameter aktivitas siswa yang mengalami penurunan. Jadi disimpulkan bahwa aktivitas siswa telah mengalami peningkatan > 50% parameter pengamatan terhadap siswa, jadi indikator keberhasilan kualitatif telah terpenuhi. Selain dari aktivitas guru dan siswa dalam KBM, kegiatan pengelolaan pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 juga harus diperhatikan, ringkasan data observasi pengelolaan pembelajaran pada siklus 1dan siklus 2 seperti pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa pengelolaan pembelajaran mengalami peningkatan, yaitu skor rata-rata pada siklus 1 sebesar 2,70 yang tergolong kategori cukup baik meningkat pada siklus 2 menjadi 3,09. Dengan demikian kemampuan guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran sudah mengalami peningkatan. Tabel 9. Ringkasan Pengelolaan Pembelajaran pada Siklus 1 dan Siklus 2 Parameter A. Tahap 1. Kegiatan Awal B. Tahap 2. Kegiatan Inti C. Tahap 3. Kegiatan Akhir Rata-rata Kategori
Rata-Rata Siklus 1 2,69 2,69 2,74 2,70 Cukup baik
Keterangan : 1 = Kurang baik 2 = Cukup Baik 3 = Baik 4 = Sangat Baik
Siklus 2 3,16 3,13 3,00 3,09 Baik
96
Keterampilan siswa dalam kegiatan belajar mengajar juga perlu diperhatikan, yaitu melalui observasi keterampilan siswa menyelesaikan kegiatan pembelajaran (menyelidiki
melalui
pengamatan).
Ringkasan
data
keterampilan
siswa
menyelesaikan kegiatan pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2 seperti Tabel 10. Pada Tabel 10 terlihat adanya peningkatan keterampilan siswa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, yaitu pada siklus 1 mencapai 2,08 tergolong dalam kategori cukup baik dan pada siklus 2 menjadi 3,00 kategori baik. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan keterampilan siswa dalam proses pembelajaran khususnya dalam menyelesaikan kegiatan pembelajaran melalui pengamatan. Tabel 10. Ringkasan Data Keterampilan Siswa Melaksanakan Kegiatan Pembelajaran Melalui Pengamatan Parameter A. Pengamatan Kualitatif sesuai dengan indera B. Pengamatan kuantitatif dengan menggunakan satuan yang sesuai C. Menggunakan alat ukur D. Merekam dan mengorganisasikan data E. Merumuskan inferensi Rata-rata Kategori
Rata-rata Siklus 1 Siklus 2 1,25 3,00 2,50 3,00 2,50 3,00 2,08 3,00 Cukup baik Baik
Keterangan : 1 = Kurang baik, 2 = Cukup Baik, 3 = Baik, 4 = Sangat Baik
Berdasarkan pertimbangan data kualitatif siklus 2 disimpulkan proses pembelajaran melalui interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing pada sub konsep “cara penghematan air” menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Pembahasan Prestasi siswa pada pembelajaran sub konsep “cara penghematan air” melalui interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing dapat dilihat dari hasil kerja siswa berupa tes awal, tes akhir, mengerjakan LKS dan membuat futures wheel. Ketuntasan klasikal dapat dilihat dari hasil tes awal dan tes akhir. Tes akhir mengalami peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2, yaitu dari 64,28% menjadi 88%. Hal ini menunjukkan bahwa indikator ketuntasan klasikal telah
97
terpenuhi (85%), meskipun masih ada siswa yang belum tuntas secara individual. Setiap individu berbeda satu sama lain dalam bidang mentalnya seperti tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan, dan sebagainya (Tabrani, 1994). Peningkatan juga terjadi dalam proses pembelajaran yaitu untuk tes pengetahuan dan tes proses pada LKS. Untuk skor pengetahuan siklus 1 diperoleh 73,80% tergolong dalam kategori sedang menjadi 92% kategori baik. Sedangkan untuk proses dari 64,67% kategori sedang pada siklus 1 menjadi 96,25%
yang
tergolong baik kategori baik. Hasil pembuatan futures wheel juga mengalami peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2, yakni untuk skor pengetahuan73,78 kategori sedang menjadi 80,25 yang tergolong dalam kategori baik. Sedangkan untuk skor proses dari 77,06 menjadi 80,11 kategori baik. Perubahan itu efektif (sebagai ciri perubahan yang merupakan perilaku belajar) dalam arti mempunyai pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar yang bersangkutan, serta fungsional dalam arti perubahan hasil pelajar itu relative tetap dan setiap saat diperlukan dapat direproduksikan seperti dalam pemecahan masalah, baik dalam ujian, maupun ulangan (Tabrani, 1994). Pada siklus ke 2, siswa di ajak ke pemukiman penduduk konsumen PDAM untuk melakukan wawancara dengan konsumen PDAM berkaitan dengan cara penghematan air yang dilakukan oleh konsumen tersebut. Siswa juga mengisi LKS dan membuat Futures wheel tentang pembiasaan menghemat air bersih. Menurut Sardiman (2006) di dalam kegiatan belajar diperlukan keterlibatan unsur fisik maupun mental, sebagai suatu wujud reaksi. Orang yang belajar harus aktif, bertindak dan melakukannya dengan segala panca inderanya secara optimal. Dengan mengajak siswa ke lingkungan dalam pembelajaran akan memberikan siswa pengalaman langsung mengetahui keadaan yang sebenarnya pada lingkungan pembelajaran. Dari hasil belajar dan proses selama pembelajaran pada siklus 1 dan siklus 2, melalui interaksi pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dan pendekatan problem posing dapat mengefektifkan pembelajaran sub konsep “cara penghematan air”. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan hasil tes awal, tes akhir, tes pengetahuan dan proses pada LKS dan futures wheel. Respon siswa selama pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 diperoleh dari angket yang diberikan kepada seluruh siswa. Berdasarkan data yang diperoleh tampak
98
adanya respon yang baik dari siswa dalam pembelajaran. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas siswa dan menurunnya aktivitas guru sehingga guru tidak mendominasi pembelajaran. Persentase aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan. Dari 9 parameter pengamatan terhadap aktivitas siswa 5 parameter mengalami peningkatan, sedangkan 3 parameter lain mengalami penurunan. Perameter yang mengalami peningkatan aktivitas siswa, yakni memperhatikan penjelasan guru/siswa lain (1), melakukan pengamatan atau percobaan (3), melakukan refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan (6), bertanya kepada siswa lain atau guru (7), dan menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan. Tabrani (1994), mengatakan bahwa belajar pada hakikatnya mengalami dan berbuat dalam situasi pengalaman langsung sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku. Berdasarkan hal tersebut, telah terjadi pembelajaran yang berpusat kepada siswa, karena terjadi peningkatan aktivitas siswa > 50% dari parameter pengamatan terhadap siswa. Hasil ini bertolak belakang dengan aktivitas guru yang menurun. Guru tidak berperan sebagai sentral melainkan hanya sebagai penunjang (Hamalik, 2004). Aktivitas guru dari siklus 1 ke siklus 2 mengalami penurunan. Dari 8 parameter pengamatan terhadap aktivitas guru ditemukan 5 paramater yang mengalami penurunan sedangkan 3 parameter lain mengalami peningkatan. Sardiman (2006) menyatakan fungsi pokok dalam mengajar adalah menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif dan banyak melakukan kegiatan adalah siswanya dalam upaya menemukan dan memecahkan masalah. Parameter yang mengalami penurunan antara lain membimbing siswa melakukan pengamatan/ percobaan (2), membimbing siswa menulis hal-hal yang relevan dengan KBM (3), membimbing siswa berdiskusi antarsiswa/kelompok/guru (4), mendorong siswa bertanya kepada siswa lain atau kepada guru (6), dan membimbing siswa menyusun atau mela[porkan dan menyajikan hasil penyelidikan (7). Hal ini menunjukkan bahwa guru telah mengurangi dominasinya dalam proses pembelajaran, sedangkan beberapa parameter aktivitas guru yang mengalami peningkatan tidak mencerminkan bahwa peran guru besar dalam pembelajaran. Parameter aktivitas guru yang mengalami peningkatan, yaitu membimbing siswa memahami LKS (1), membimbing siswa
99
melakukan refleksi dan mengevalusi proses penyelidikan (5), dan membimbing siswa membuat/menulis rangkuman pelajaran (8).
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan 1) dijumpai peningkatan persentase ketuntasan hasil belajar siswa dari siklus 1 ke siklus 2, yaitu dari 64,28 dengan kategori sedang menjadi 88 tergolong kategori baik. Selain itu keadaan tersebut di imbangi dengan meningkatnya persentase hasil selama proses pembelajaran baik LKS maupun futures wheel. 2) Aktivitas guru telah mengalami penurunan dari siklus 1 ke siklus 2, yaitu >50 % dari parameter pengamatan aktivitas guru. 3) Aktivitas siswa mengalami peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2, yaitu > 50% dari parameter pengamatan terhadap siswa. 4) Dua puluh empat siswa (82,75%) menyatakan merupakan hal baru dan sangat membantu saya dalam belajar dan seluruh siswa menyatakan berminat untuk mengikuti kegiatan belajar seperti ini. Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka dikemukakan beberapa saran 1) Pada saat merencanakan pembelajaran sebaiknya guru benar-benar mempersiapkan waktu dan pengelolaan pembelajaran sebaik-baiknya, mengingat pembelajaran ini memerlukan waktu yang relative lama agar disesuaikan dengan kondisi fisik siswa. 2) Sebaiknya guru lebih memperhatikan keselamatan siswa di lapangan. DAFTAR RUJUKAN Allesio, Helaine. 2004. Student Perceptions and Performance in Problem-Based Learning. Journal of Scholarship of Teaching and Learning. Vol. 4. No. 1, May, 2004, pp. 24 – 35. Aslamna. 2006. Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Konsep “ Perubahan Lingkungan” pada siswa kelas X d SMA Negeri I Gambut Tahun Pelajaran 2005/2006 melalui Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan. Arikunto, Suharsimi, Suhardjono, & Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
100
Boujaoude, S. 2000. Solving Everyday Problems. American University of Beirut, 850 Third Avenue, 18Th Floor, New York, NY 10022; email:
[email protected]. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan MI. Jakarta. Dongsheng, Zhao & Lee Peng Yee. 1997. Problem-Posing in Teaching University Algebra. Nanyang Technological University. Singapore. Fitria. 2006. Upaya Mengoptimalkan Pemahaman Siswa Kelas X A SMAN 1 Rantau tentang Sub Konsep Kegiatan Manusia yang Mempengaruhi Keanekaragaman Hayati Melalui Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan. Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. Hidayah, Rahmiatul. 2006. Mengoptimalkan Proses Dan Hasil Belajar Sub Konsep Pencemaran Air Dengan Menggunakan Pendekatan Lingkungan Siswa Kelas XA Negeri 11 Banjarmasin Tahun Ajaran 2005/2006. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan. Hildayati. 2003. Implementasi Pendekatan Problem Posing Pada Pembelajaran Konsep Stoikiometri Siswa Kelas I SMU Negeri I Rantau tahun Pelajaran 2002/2003. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/122006/14/0901.htm Ibrahim, M. & Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya. UNESA-University Press. Kemmis & Taggart. 1998. The Action Research Planner Third Edition. Deakin University. McIntosh, Thomas C. 1995. Problem Solving Processes. The Science Teacher. Norliawati. 2006. Implementasi Pendekatan Problem Posing Pada Pembelajaran Konsep Ikatan Kimia Siswa kelas X MAN 2 Model Banjarmasin Tahun Pelajaran 2005/2006. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan.
101
Purwosutanto & Handayani. 2002. Sains 5 Untuk SD dan MI. Pemerintah Kalsel. Sahabat Sarjan. Rahmi, Saidatu. 2006. Optimalisasi Pemahaman Siswa Kelas VII SMP Negeri 17 Banjarmasin pada Konsep Pencemaran Lingkungan dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan. Sardiman. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Saudah. 2007. Hasil Belajar Siswa Kelas VIA SD Negeri Landasan Ulin Timur 2 Tentang Sub Konsep Faktor-Faktor yang mempengaruhi Keseimbangan Ekosistem dengan Menggunakan Pendekatan Problem Posing. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Tidak di terbitkan. Supramono. 2005. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dan Penerapannya dalam KBM dengan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar & Keterampilan Berpikir siswa SD. Disertasi Umum Negeri. Malang. (tidak publikasikan). Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. Sutini. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Berorientasi Model Pengajaran Berdasarkan Masalah Bahan Kajian Air di Sekolah Dasar. Tesis. Universitas Negeri Surabaya Program Pasca Sarjana. Program Studi Pendidikan Sains. Suyanto, Kasihani K., Suhadi Ibnu, & Herawati Susilo. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Makalah disampaikan dalam: Pelatihan Metodologi Penelitian untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran (PPKP) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bagi Dosen-dosen LPTK se Indonesia. Diselenggarakan oleh Direktorat Ketenagaan, Dirjen Dikti depdiknas. Tanggal 5-9 April 2006 di Mataram dan Padang. Tabrani Rusyan, A, Atang Kusdinar, Zainal Arifin. 1994. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya. Bandung.
PENDEKATAN REALISTIK DALAM SOAL CERITA PADA BUKU MATEMATIKA SEKOLAH DASAR Muhammad Royani Abstrak Buku matematika yang berkualitas tentunya buku yang penyajiannya menyesuaikan dengan taraf berpikir pembacanya dan sesuai dengan realita kehidupannya, agar proses pembelajaran bisa bermakna, sehingga siswa mampu mengembangkan potensi dirinya dan mempunyai kompetensi dalam menjalani kehidupan. Buku sebagai sumber belajar memegang peranan cukup penting dalam proses pembelajaran. Buku matematika yang dijadikan panduan oleh guru maupun siswa menyajikan berbagai bentuk dan jenis soal, baik soal cerita maupun soal non cerita. Soal cerita yang disajikan pada siswa SD sebaiknya terkait dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tahap berpikir konkrit dan lingkungan belajarnya. Oleh kerna itu perlu diketahui seberapa besar penggunaan pendekatan realistik dalam soal cerita matematika SD sebagai salah satu indikator kualitas isi buku matematika SD. Hasil penelitian menunjukkan soal cerita matematika SD kelas I terbitan Depdiknas 57,14% menggunakan pendekatan realistik, sedangkan buku penunjang terbitan Erlangga 67,65% menggunakan pendekatan realistik Kata Kunci: Realistik, soal cerita
Pelajaran matematika di SD menempati posisi yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi siswa, di samping pelajaran lainnya sebagai bekal untuk menjalani kehidupan. Hal ini terbukti dengan pemberian porsi terbesar pada mata pelajaran matematika yaitu 10 jam pelajaran dalam satu minggu yang sejajar dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas I, II, dan III. Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungan-hubungan yang diatur secara logis dengan konsep-konsep abstrak yang bersifat hirarkis, dan menggunakan simbolsimbol (Hudujo, 1988). Matematika sebagai bahasa yang menggunakan simbol dimaksudkan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan analisis sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah
kehidupan
yang
terkait
dengan
Dosen Pendidikan Matematika STKIP-PGRI Banjarmasin
penggunaan
matematika.
103
Simbolisasi akan berarti apabila suatu simbol dilandasi oleh ide yang harus dipahami terlebih dahulu, sehingga mampu memberi keterangan untuk membentuk suatu konsep. Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, garafik, dan diagram dalam menjelaskan gagasan (Depdiknas, 2003) Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahua. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan yang tinggi (Zamroni, 2000). Menurut Soejadi (2000) siswa aktif belajar apabila terjadi (a) optimalisasi interaksi antar unsur-unsur yang terdapat dalam belajar mengajar dan (b) optimalisasi keikutsertaan seluruh sense peserta didik selama proses belajar mengajar. Salah satu unsur yang cukup penting adalah buku sebagai sumber belajar. Buku sebagai sumber belajar diharapkan tentunya memuat segala pengetahuan dan pengalaman sesuai lingkungan kehidupan anak yang belajar, sehingga terjadi optimalisasi interaksi antara siswa dengan buku sebagai sumber belajar yang difasilitasi oleh guru. Pembelajaran matematika selama ini terlalu dipengaruhi pandangan bahwa matematika adalah alat yang siap pakai. Pandangan ini mendorong guru bersikap cenderung hanya memberi tahu konsep, sifat, teorema dan cara menggunakannya. Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa, dan siswa menerima secara pasif dan tidak kritis. Adakalanya siswa menjawab soal dengan benar namun mereka tidak dapat mengungkapkan alasan atas jawabannya.Siswa dapat menggunakan rumus tetapi tidak tahu dari mana rumus itu didapat dan mengapa rumus itu digunakan (Marpaung, 2004). Keadaan ini tidak terlepas dari buku yang dipakai oleh guru sebagai pegangan utama atau suplemen/penunjang. Penyajian yang disampaikan oleh guru dikelas adalah gambaran yang tertulis pada buku sesuai urut-urutannya dan contohnya, terlebih pada SD.
104
Siswa kelas I SD yang berusia sekitar 7 tahun berada pada tahap peralihan perkembangan kognitif dari pra operasi konkrit (seperti mengklasifikasikan, mengurutkan, dan membilang) menuju tahap operasi konkrit, di mana anak mulai memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit dan sudah memiliki sudut pandang yang berbeda secara objektif dalam mengamati suatu objek Bendabenda atau kejadian-kejadian yang bukan disekitar kehidupan anak akan sulit dibayangkan dan dipikirkannya. Oleh karena itu pendekatan realistik bagi siswa sangat penting dalam penyajian permasalahan atau soal-soal matematika, baik yang disampaikan secara lisan oleh guru maupun yang tertulis pada buku bahan ajar untuk membangun pemikiran dan pemahaman, sehingga memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Menurut Hadi (2004) pendekatan realistik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan realistik
memberikan kesempatan kepada siswa menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan masalah realistik atau dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa atau situasi-situasi yang dapat dibayangkannya (masalah yang realistik bagi siswa). Dalam buku matematika SD pada umumnya sistematika penulisannya dalam setiap sub bab atau bab diawali dengan pemaparan materi pelajaran (teori dan aplikasi), beberapa contoh soal dan penyelesaiannya, dan diakhiri dengan soal-soal latihan baik dalam bentuk soal non cerita maupub soal cerita. Soal cerita menurut Tapilouw (1991) adalah bentuk soal matematika yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang perlu diterjemahkan dalam bentuk notasi kalimat matematika. Dalam soal cerita terkadang diperoleh lebih dari satu kalimat matematika. Penyelesaian soal cerita tidak hanya jawaban akhir perhitungan yang diperhatikan, tetapi tahap demi tahap perhitungan harus diperhatikan. Siswa mengerjakan atau menyelesikan soal cerita itu melalui suatu proses tahap demi tahap, sehingga terlihat alur berpikirnya dalam mengerjakan atau menyelesaikan soal cerita. Selain itu juga akan terlihat pemahaman siswa terhadap konsep soal cerita itu. Adapun langkah-langkah dalam menyelesaikan soal cerita matematika meliputi (1) menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, (2) membuat kalimat
105
matematikanya, dan (3) melakukan perhitungan. Dengan demikian seseorang akan mampu menyelesaikan soal cerita matematika apabila didukung oleh pemahaman bahasa dengan situasi yang sudah dikenal dan menggunakan simbol-simbol yang sudah dikenal sebelumnya. Oleh karena itu bahasa yang digunakan dalam bahasa tulisan pada buku harus menggunakan bahasa yang sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa, terlebih pada siswa kelas I SD. Dengan kata lain soal cerita matematika haruslah realistik, baik bahasanya, simbolnya, maupun situasinya. METODE Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kualitas buku berdasarkan pendekatan realistik dalam soal cerita matematika SD yang dilakukan dengan teknik dokumentasi dari sampel buku paket terbitan Depdiknas dan buku penunjang terbitan Erlangga kelas I semester I. Pendekatan realistik memperhatikan 3 indikator, yaitu indikator bahasa, indikator simbol, dan indikator situasi. 1). Bahasanya realistik, jika bahasa yang digunakan mudah dicerna, dimengerti, dan sesuai dengan taraf berpikir siswa. 2). Simbolnya realistik, jika simbol yang digunakan sudah dikenal oleh siswa 3). Situasinya realistik, jika situasi yang tersurat pernah dialami atau ada disekitar kehidupan sehari-hari atau dapat dibayangkan oleh siswa. . Berdasarkan ketiga indikator tersebut, setiap soal cerita matematika diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu: 1) Realistik jika memenuhi ketiga indikator (bahasa, simbol, dan situasi) 2) Kurang realistik jika memenuhi 2 (dua) dari ketiga indikator (bahasa-simbol atau bahasa-situasi atau simbol-situasi) 3) Tidak realistik jika memenuhi hanya 1 (satu) indikator ( bahasa atau simbol atau situasi) atau tidak ada yang memenuhi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kesesuaian pendekatan realistik setiap soal cerita dalam buku paket terbitan Depdiknas dan buku penunjang terbitan Erlangga, diperoleh distribusi indikator realistik dan kualifikasi realistik seperti pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 nampak bahwa kandungan soal cerita pada buku paket terbitan Depdiknas cukup sedikit, sedangkan pada buku terbitan Erlangga jauh lebih banyak memuat soal-soal
106
Tabel 1: Distribusi Indikator Realistik Soal Cerita Matematika Kelas I SD Penerbit
Indikator Bahasa
Indikator Simbol
Indikator Situasi
Soal Cerita (buah)
f
%
f
%
f
%
Depdiknas
18
64,29
28
100
17
60,71
28
Erlangga
48
70,59
68
100
65
95,59
68
cerita matematika, jadi pelu adanya buku penunjang seperti buku terbitan Erlangga sebagai pelengkap maupun variasi permasalahan yang dikemukakan dalam suatu pembelajaran. Soal-soal cerita terbitan Depdiknas berdasarkan indikator bahasa dan indikator siatuasi kurang realistik, akan tetapi indikator simbol sangat realistik. Sedangkan soal-soal cerita terbitan Erlangga berdasarkan indikator simbol dan indikator situasi sangat realistik, serta indikator bahasa cukup realistik. Dilihat dari indikator bahasa, nampak sekali adanya perbedaan kualifikasi indikator bahasa soal-soal cerita pada buku matematika kelas I terbitan Erlangga lebih baik daripada terbitan Depdiknas. Padahal bahasa tulisan yang digunakan oleh buku memegang peranan yang sangat penting agar terjadinya komunikasi dua arah antara penulis dengan sipembaca. Pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami maksud dari masalah yang dikemukakan, jika istilah-istilah yang digunakan kurang dikenal siswa. Di sini peran guru di sekolah dituntut untuk memberikan bantuan pemahaman yang jelas kepada siswa, apa maksud dari permasalahan yang dikemukakan dalam soal cerita. Kalau perlu menggunakan bahasa ibu atau bahasa anak dengan istilah yang mudah dipahami. Buku yang baik adalah buku yang mampu menjembatani maksud sipenulis dengan sipembaca, kalau perlu dengan ilustrasi gambar untuk memudahkan pemahaman siswa.Karena menurut Piaget siswa kelas I SD berada pada tahap berpikir konrit dan menurut Bruner siswa seusia itu perlu bantuan pemahaman secara visual (ekonik). Pada buku terbitan Depdiknas terdapat 14 soal cerita (50%) menggunakan ilustrasi gambar, sedangkan pada buku terbitan Erlangga terdapat 30 soal cerita (44,12%) menggunakan ilustrasi gambar. Menurut Bruner, bahasa adalah kunci perkembangan kognitf, karena bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain. Proses belajar
107
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contohcontoh yang ia jumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Indikator simbol kedua penerbit sama-sama sangat realistik yakni 100%. Hal ini karena simbol-simbol yang digunakan dalam buku sudah dikenal siswa sebelumnya, yakni pada saat mereka mengikuti pendidikan anak usia dini atau taman kanak-kanak, dan bahkan sudah dikenalkan oleh orang tuanya di rumah, misalnya simbol angka-angka, simbol operasi penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan simbol oleh guru TK dan orang tua terhadap anaknya lebih intensif karena secara enaktif, yaitu dengan memegang tangan anak diperagakan membuat simbol-simbol angka. Bahkan pihak orang tua selalu melakukan drill secara berulang-ulang bagi anak, agar anak dapat menulis simbol dengan baik Hal ini tentu tiidak terlepas dari penggunaan simbol-simbol sederhana yang sudah dikenal dalam kehidupan seharihari oleh orang dewasa, seperti simbol angka-angka, lambang bilangan, simbol operasi hitung, bangun datar, dan lain-lain. Di samping itu simbol-simbol persoalan matematika juga bersifat universal. Hal ini tentu sangat mendukung untuk terciptanya pemahaman terhadap permasalahan matematika dan pemecahan masalah matematika oleh siswa SD kelas I. Indikator situasi soal cerita pada buku paket matematika kelas I terbitan Depdiknas kurang realistik, sedangkan terbitan Erlangga sangat realistik. Dengan demikian jelas sekali perbedaan kualifikasi kedua penerbit, yang mana situasi soal cerita pada buku terbitan erlangga lebih mudah dipahami dibandingkan dengan situasi soal cerita pada buku terbitan Depdiknas. Situasi soal cerita yang dikemukakan sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa. Karena situasi yang asing bagi anak akan menyebabkan disorganisasi mental, akibatnya anak akan sulit memahami permasalahan, dan secara otomatis berakibat pada ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah matematika. Situasi soal cerita yang akrab dengan kehidupan siswa akan sangat membantu pemahaman, terlebih kalau dibantu oleh guru atau orang tua. Untuk lebih melihat seberapa besar persentase kerealistikan soal cerita pada buku matematika kelas I SD dari kedua penerbit dapat dilihat pada Tabel 2.
108
Tabel 2: Distribusi Kualifikasi Realistik Soal Cerita Matematika Kelas I SD Penerbit
Realistik
Kurang Realistik
Soal Cerita (buah)
Tidak Relistik
f
%
f
%
f
%
Depdiknas
16
57,14
3
10,71
9
32,14
28
Erlangga
46
67,65
21
30,88
1
1,47
68
Berdasarkan Tabel 2 tersebut nampak sekali adanya perbedaan sebaran persentase kualifikasi soal cerita matematika kelas I SD dari kedua penerbit. Persentase soal cerita yang relaistik pada buku terbitan Erlangga lebih besar dibandingkan terbitan Depdiknas. Hal ini berdampak pada soal cerita yang tidak realitik cukup banyak pada terbitan Depdiknas, sedangkan terbitan Erlangga sangat sedikit, walaupun ada 55,88% soal cerita terbitan Erlangga tidak menggunakan ilustrasi gambar, akan tetapi situasi soal cerita masih bisa dipahami. Seharusnya justru buku paket terbitan Depdiknas memuat soal-soal cerita yang realistik lebih banyak untuk membantu pemahaman siswa, karena buku ini merupakan pegangan utama guru yang didistribusikan ke sekolah. Dengan demikian secara umum bahwa soal-soal cerita pada buku matematika kelas I SD terbitan Depdiknas kurang realistik, sedangkan terbitan Erlangga cukup realistik, baik indikator bahasa maupun indikator situasi. Oleh karena itu sudah sewajarnya guru SD memerlukan buku dari penerbit lain selain dari buku paket terbitan depdiknas, baik sebagai pelengkap maupun sebagai variasi permasalahan dalam pembelajaran matematika SD. Apalagi dalam era otonomi sekolah dalam pengelolaan pendidikan yang berbasis KTSP, peran guru sangat besar untuk bisa menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, termasuk salah satunya untuk mempertimbangkan buku referensi yang akan digunakan. SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan soal cerita matematika SD kelas I terbitan Depdiknas 57,14% menggunakan pendekatan realistik, sedangkan buku penunjang terbiatan Erlangga 67,65% menggunakan pendekatan realistik.Guru hendaknya tidak hanya menggunakan buku paket yang disediakan oleh depdiknas, melainkan harus mempunyai referensi lain yang patut dipertimbangkan sebagai pelengkap maupun tambahan atau variasi untuk memperkaya permasalahan matematika soal cerita dengan pendekatan realistik.
109
DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Depdiknas. Jakarta Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik.Tulip. Jakarta Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. P2LPTK. Jakarta. Seputra & Amin, SM. 2003. Matematika Ia Mari Berhitung untuk Sekolah Dassar Kelas I.Depdiknas. Jakarta. Sobel, A.M. & Maletsky, M.E.1999. Teaching Mathematics: A Sourcebook of Aids, Aktivities, and Strtegies. Prentice-Hall. New Jersey Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education In Primary School. Freudenthal Institute. Netherlans. Sudjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Dirjen Dikti Depdiknas. Jakarta Suyati, M. Khafid. 2004. Pelajaran Matematika Penekanan pada Berhitung untuk Sekolah Dasar Kelas I. Erlangga. Jakarta. Tapilouw, M. 1991. Pengajaran Matematika di Sekolah Dasar dengan Pendekatan CBSA. Sinar Baru. Bandung Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Bigraf Publishing. Yogjakarta