AGROFORESTRI PEKARANGAN DAN POTENSINYA DALAM MENDUKUNG PEREKONOMIAN RUMAH TANGGA PETANI DI DESA TEGALRETNO, KECAMATAN PETANAHAN, KABUPATEN KEBUMEN Devy Priambodo Kuswantoro Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Pamalayan, Po. BOX 5 Ciamis 46201 Email:
[email protected]
ABSTRACT The practice of cultivating plants in the homegarden is one of agroforestry patterns, because it combines elements of agricultural crops, horticulture, estate crop, timber, and even ornamental plants. This study aimed to determine patterns of utilization of the farmer‘s homegarden, to identify the type of plants in the homegarden, and to identify the potency of plants in the homegarden to support the economy of households. Thus, the strategy can be obtained by optimizing the use of their homegarden to provide economic benefits and improve the welfare of farmers. The respondent in the Tegalretno village, Petanahan sub-district, Kebumen regency planted timbers, estate crops and horticultural crops that can be a source of family income. Optimization of the homegarden with local commodities in accordance with the land characteristic and agroclimate that is by melinjo and coconut and timbers such as sengon and nyamplung expected to contribute to the economy of farmers. Implementation of forest tending and the support of marketing management will help to increase productivity and profits continuously. Key words: homegarden, agroforestry, household, farmer
1. Pendahuluan Pekarangan merupakan sebidang lahan yang berada disekitar rumah tinggal dengan status pemilikan pribadi dan memiliki batas-batas yang jelas (Arifin, 2010). Sebagai lahan yang berada di dekat rumah tinggal, pemanfaatannya oleh pemilik dapat menjadi lebih optimal dan berkelanjutan. Pekarangan dapat berfungsi sebagai tempat produksi bahan pangan keluarga karena selain sebagai lahan penanaman tanaman pangan, juga berfungsi sebagai lahan untuk kandang ternak dan kolam ikan. Pekarangan juga dapat ditanami tanaman tahunan dan kayu-kayuan yang berfungsi sebagai tabungan. Arifin (2010) bahkan mencatat bahwa pekarangan terutama yang berada di perdesaan juga mempunyai fungsi lain sebagai tempat terselenggaranya aktivitas sosial budaya. Praktik budidaya tanaman di pekarangan merupakan salah satu bentuk agroforestri karena memadukan unsur tanaman pertanian, hortikultura, perkebunan, kayu-kayuan, bahkan tanaman hias. Pada umumnya, budidaya di pekarangan menggunakan input yang relatif rendah namun dapat memberikan produktivitas lahan yang relatif tinggi. Hasil dari pekarangan
seperti buah-buahan, sayuran, bumbu, obatobatan, produksi ternak dan ikan, serta hasil kayu dapat mendukung perekonomian keluarga skala subsisten yaitu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Padahal, pola agroforestri di pekarangan apabila dikelola secara optimal dan komersial, dapat menjadi bisnis keluarga yang mampu mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemanfaatan pekarangan responden petani serta mengidentifikasi jenis-jenis tanaman penyusun pekarangan dan potensinya untuk mendukung perekonomian rumah tangga petani. Dengan demikian, dapat diperoleh strategi optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan untuk memberikan keuntungan secara ekonomis dan meningkatkan kesejahteraan petani. 2. Bahan dan metode Penelitian merupakan studi kasus di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen yang dilakukan pada Bulan Agustus s.d Oktober 2011. Data dikumpulkan dengan cara survai menggunakan teknik wawancara dan diskusi kelompok kepada responden petani yang dipilih secara terarah. Jumlah responden
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
327
yang dipilih adalah 16 orang petani yang terdiri dari 13 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mewakili populasinya, tetapi lebih cenderung mewakili informasinya seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Cahyono et al. (2011). Data yang diperoleh dilakukan analisis secara deskriptif. 3. Hasil dan pembahasan 3.1. Keadaan umum lokasi penelitian Desa Tegalretno mempunyai lahan yang relatif datar dengan ketinggian rata-rata 6,3 m dpl dan merupakan desa pesisir. Desa Tegalretno tidak mempunyai tanah sawah akan tetapi menggunakan lahan kering untuk penanaman padi gogo dengan produktivitas gabah kering giling mencapai 3,61 ton/ha di tahun 2009. Adapun luas lahan kering di Desa Tegalretno adalah 348,20 ha dengan pembagian 100 ha untuk tegalan, 124,10 ha untuk bangunan dan halaman, serta peruntukan lain-lain seluas 124,10 ha. Jumlah penduduk di Desa Tegalretno sampai dengan tahun 2009 (BPS Kabupaten Kebumen, 2010) sebanyak 1.886 jiwa dengan pembagian jumlah penduduk laki-laki sebanyak 958 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 928 jiwa. Penduduk di Desa Tegalretno didominasi oleh penduduk usia produktif. Jumlah rumah tangga sebanyak 468 KK dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sebanyak 4 orang. Desa Tegalretno terbagi dalam 10 RT, 4 RW, dan 3 Kedukuhan. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. 3.2.Jati diri dan penguasaan lahan responden Responden petani yang dipilih adalah anggota Kelompok Tani Karya Sejati yang bergerak dalam bidang pertanian dan kehutanan. Responden petani didominasi usia produktif yaitu antara 15 tahun sampai dengan 54 tahun. Hal ini sesuai dengan data kependudukan di Desa Tegalretno, bahwa jumlah penduduk usia produktif pada tahun 2009 tercatat sebanyak 1.081 jiwa atau sekitar 57,32%. Responden petani juga mempunyai jumlah anggota keluarga yang sesuai dengan saran pemerintah yaitu sampai dengan 4 orang dalam satu keluarga. Jumlah anggota keluarga yang kecil ini berimplikasi pada semakin besarnya pembagian kesejahteraan dari hasil usaha petani. Meskipun responden banyak yang berusia produktif, akan tetapi ditilik dari tingkat 328
pendidikannya, mayoritas hanya berpendidikan dasar sampai dengan Sekolah Dasar saja. Implikasi dari rendahnya pendidikan terhadap usaha/kegiatan pertanian adalah pengelolaan lahan yang tradisional dan belum mengedepankan prinsip-prinsip bisnis (komersial) dan budidaya. Contohnya adalah pengelolaan hutan rakyat, dimana tanaman kayu-kayuan sangat jarang mendapatkan pemeliharaan yang cukup. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan tanaman mampu meningkatkan produktivitas dari tanaman tersebut (Kuswantoro dan Suhaendah, 2005). Sebagian besar responden bekerja sebagai petani maupun buruh tani. Pertanian lahan kering menjadi tumpuan hidup responden. Disamping itu, petani juga memelihara ternak berupa sapi, kambing, maupun ayam. Penguasaan lahan responden terbagi menjadi lahan kering/ladang/kebun yang rata-rata seluas 0,36 ha (0,07 ha – 0,7 ha), pekarangan dengan luas rata-rata 0,13 ha (0,028 ha – 0,28 ha), dan lahan garapan di pantai dengan luas rata-rata 0,525 ha (0,07 ha – 1,12 ha). Penguasaan lahan oleh responden termasuk dalam kategori lahan sempit. Perolehan lahan untuk ladang/kebun dan pekarangan didapatkan dari warisan orang tua dan pembelian pribadi. Sedangkan lahan garapan di pantai merupakan lahan sewa ke desa. Penggarapan lahan dilakukan dengan cara sendiri yaitu hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga saja maupun dapat diburuhkan. Penggarapan lahan dengan cara diburuhkan dapat menggunakan dua cara yaitu menggunakan buruh tani sebagai tenaga kerja dengan upah Rp. 20.000,- s.d. Rp. 25.000,sehari dengan memberikan tambahan makan dan minum maupun dengan cara bagi hasil produksi yang biasanya dilakukan untuk budidaya padi. Dengan berbagai cara pengggarapan lahan, petani berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan dengan adanya kearifan untuk berbagi, mereka saling memberikan penghidupan bagi sesamanya. 3.3. Pola pemanfaatan pekarangan Pemanfaatan lahan pekarangan, seperti halnya ladang/kebun petani, masih bersifat tradisional. Tipe pemanfaatan lahan seperti ini termasuk dalam bentuk kebun campuran. Bentuk kebun campuran merupakan bentuk pemanfaatan lahan yang secara tradisional sangat mudah dijumpai di seluruh Indonesia. Martini et al.
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
(2010) mencatat bahwa meskipun hasil dari kebun campuran biasanya rendah, namun tidak mengurangi minat masyarakat untuk mengusahakannya. Beberapa jenis tumbuhan bahkan ada yang tumbuh sendiri dan dibiarkan hidup oleh petani. Salah satu jenisnya adalah Nyamplung yang berpotensi sebagai sumber bahan bakar nabati dan tanaman obat. Nyamplung dibiarkan tumbuh oleh petani tanpa mereka perlu mengetahui manfaat dari tumbuhan tersebut selama tidak menggangu. Hal ini sesuai dengan kajian Martini et al. (2010) yang menyatakan bahwa banyak hasil produk dari kebun campuran yang belum diketahui benar potensi kegunaan dan pasarnya oleh petani. Pemanfaatan lahan pekarangan oleh petani menjadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Selain tanaman, terdapat pula kandang ternak sapi, kambing, dan ayam. Bauran berbagai macam tanaman dan hewan dalam satu lokasi pekarangan telah membentuk satu interaksi dalam sistem agroforestri atau minimal pola tanam agroforestri. Dengan demikian, disadari ataupun tidak, agroforestri menjadi salah satu solusi pemanfaatan lahan untuk kesinambungan pendapatan petani. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden tidak secara spesifik menentukan jenis tanaman yang ditanam di pekarangan
mereka. Mereka lebih melihat kepada pemanfaatan lahan kosong di sekitar rumah. Terlebih ada jenis-jenis tumbuhan yang dibiarkan hidup. Pola tanam yang digunakan bersifat tidak beraturan, dalam arti tidak ada pengukuran jarak tanam dan pengusahaan intensif. Tabel 1 memperlihatkan berbagai jenis tanaman yang terdapat di pekarangan responden petani. Hasil identifikasi jenis tanaman di lahan pekarangan responden memberikan gambaran bahwa pekarangan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian responden. Terbukti bahwa responden menanami lahan pekarangannya dengan berbagai jenis tanaman yang laku dijual. Wulandari (2001) dalam Arifin et al. (2004) yang mengkaji desa-desa dekat kawasan konservasi di Lampung, juga menemukan kenyataan yang serupa. Keberadaan pekarangan mampu menopang penghidupan sehari-hari bagi penduduk berpenghasilan rendah dengan memanfaatkan tenaga kerja sendiri. Keberadaan ternak memberikan kontribusi dalam memberikan pupuk untuk pemeliharaan tanaman sehingga biaya pemeliharaan dapat ditekan. Dekatnya jarak antara tanaman dengan rumah tinggal juga memberikan keleluasaan waktu bagi petani untuk mengurus tanaman tersebut.
Tabel 1. Jenis tanaman yang terdapat di pekarangan responden Responden Luas (ha) Jenis dan jumlah tanaman 1* 0,210 kelapa (10), nyamplung (10), laban (5), johar (5), ketapang (2),melinjo (10) 2* 0,140 kelapa (3), johar (2), nyamplung (5), melinjo (2), pisang (5) 3* 0,210 kelapa (5), johar (15), melinjo (15), albasia (3), pisang 4 0,063 kelapa (3), melinjo (1), johar (1) 5 0,105 pisang, melinjo (5), kelapa (5) 6* 0,028 tanaman hias, mangga (1), kelapa (3) 7* 0,280 nyamplung (6), salam (7), laban (5), melinjo (10), kelapa (20) 8* 0,154 melinjo (20), mahoni (5), kelapa (15), nyamplung (2), belimbing (1), petai (1), jambu air (1) 9* 0,154 melinjo (20), kelapa (15), 10* 0,070 Kelapa (2), nangka (2), mahoni (1) 11* 0,070 melinjo (10) 12* 0,098 kelapa (5), laban (1), mangga (1), melinjo (3), bambu (2), pisang 13 0,056 melinjo (3), kedondong (1), petai (1), kelapa (3) 14* 0,14 melinjo (4), kelapa 95), sengon (15), nyamplung (2), mahoni (2) 15* 0,098 tanaman hias, pisang, kelapa (1) 16 0,154 kelapa (15), sengon (15), nyamplung (2), pisang Sumber: pengolahan data primer (2011). Nomor responden dengan tanda bintang menunjukkan adanya kandang ternak di pekarangan responden
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
329
Tabel 1 memberikan gambaran bahwa tidak semua responden mengoptimalkan lahan pekarangannya. Fungsi pekarangan yang lain sebagai penghias rumah, halaman tempat aktivitas sosial, dan tempat bermain anak menjadi batasan responden untuk menutupi seluruh pekarangan dengan tanaman. Arifin (1998) dalam Arifin (2010) dalam penelitiannya mengenai struktur vegetasi di pekarangan di Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor menemukan bahwa jumlah vegetasi di tiap pekarangan minimum 2 jenis tanaman sampai dengan 85 jenis tanaman sebagai nilai maksimumnya. Ini menunjukkan bahwa pemilihan jenis, jumlah tanaman, dan peruntukan/manfaat tanaman mempengaruhi keputusan responden untuk menanam atau membiarkannya tumbuh. 3.4. Strategi pemanfaatan pekarangan Optimalisasi penggunaan lahan pekarangan sebagai lahan budidaya diperlukan untuk mendukung perekonomian petani. Kasus di Desa Tegalretno yang tidak mempunyai lahan sawah menyebabkan kebutuhan akan beras dipenuhi dari bercocok tanam di ladang/kebun. Hasil wawancara menyebutkan bahwa selama ini pengelolaan pekarangan yang masih secara tradisional, seperti penanaman tanaman yang tidak memperhitungkan jarak antar tanaman dan pemeliharaan yang tidak intensif sudah mampu memberikan tambahan pendapatan. Akan tetapi produktivitasnya tentu akan berbeda apabila ada perlakuan dalam pengusahaan
pekarangan sebagai lahan budidaya. Karena itu dalam penataan pekarangan, perlu dipikirkan jenis-jenis tanaman yang dapat memberikan hasil harian, mingguan, bulanan, sampai tahunan sebagai tabungan. Tidak semua ragam penghasilan tersebut harus diwujudkan dalam satu pekarangan, akan tetapi paling tidak pekarangan dapat dioptimalkan penggunaannya untuk memberikan sumber pendapatan yang lebih baik bagi petani. Tanaman-tanaman tersebut, baik yang sengaja ditanam maupun dibiarkan tumbuh, dapat dipelihara dan dipilih yang paling memberikan keuntungan sehingga kontrinbusi pekarangan dalam perekonomian petani lebih terasa. Gambaran nilai ekonomi dari beberapa tanaman di pekarangan hasil wawancara dengan responden disajikan pada Tabel 2. Praktik agroforestri di pekarangan dengan menentukan komoditi unggulan yang sesuai dengan lahan dan agroklimatnya akan memiliki potensi skala ekonomis. Arifin (2010) mencontohkan dengan optimalisasi pekarangan di Cirebon dan Indramayu dengan komoditi mangga, di Depok dengan jambu bol dan belimbing, sementara di Lampung dengan pisang. Pekarangan Desa Tegalretno pun dapat dioptimalkan dengan menggunakan komoditi unggulan lokal seperti melinjo dan kelapa, maupun jenis kayu seperti sengon dan nyamplung. Dukungan sistem manajemen pemasaran hasil baik bahan mentah maupun produk olahan, misalnya dalam bentuk koperasi akan mendukung ekonomisasi produk-produk tersebut.
Tabel 2. Nilai ekonomi beberapa tanaman di pekarangan responden No. Jenis Hasil Nilai ekonomi 1 kelapa buah, Berbuah sejak umur 5 tahun dengan jumlah panen 5-10 kayu, butir/bulan/pohon dengan harga per buah Rp. 1.000,- s/d Rp. nira 1.200,-. Nira dijadikan gula kelapa dengan harga jual Rp. 6.500,s/d Rp. 6.750,- per kg. 2 melinjo buah, Produktif umur 5-20 tahun. Setiap panen menghasilkan 10-30 kg daun per musim dengan harga jual biji Rp. 4.000,- s/d Rp. 7.000,- per kg dan kulit dihargai Rp. 2.500,-/kg. 3 sengon kayu Mulai panen umur 5 tahun dengan harga Rp. 700.000,- s/d Rp. 1.500.00,- per pohon tergantung kualitas. Banyak petani mulai menebangnya di umur muda dengan pendapatan minimal Rp. 50.000,- s/d Rp. 100.000,- per pohon. 4 nyamplung kayu, Kayu dapat digunakan untuk bangunan. Harga kusen Nyamplung buah Rp. 22.000,- s/d Rp. 30.000,- per meter. Semua bagian nyamplung cocok untuk kayu bakar. Potensial untuk diambil buahnya karena bijinya dapat diolah menjadi biodiesel. Harga jual buah Nyamplung utuh adalah Rp. 600,-/kg. Sumber: pengolahan data primer (2011)
330
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
4. Kesimpulan dan saran 4.1. Kesimpulan Optimalisasi pekarangan penduduk dengan komoditi unggulan lokal yang sesuai dengan lahan dan agroklimatnya, khususnya di Desa Tegalretno dengan melinjo dan kelapa serta tanaman kayu-kayuan seperti sengon dan nyamplung, mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian petani. Penerapan pemeliharaan dan dukungan manajemen perdagangan akan membantu untuk memberikan produktivitas dan keuntungan yang kontinyu.
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Hlm. 171-174. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Yogyakarta. Martini, E., H.L. Tata, E. Mulyoutami, J. Tarigan, dan S. Rahayu. 2010. Membangun Kebun Campuran: Belajar dari Kobun Pocal di Tapanuli dan Lampoeh di Tripa. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office. Bogor.
4.2. Saran Penataan pekarangan dalam pola agroforestri dapat menjadi desa model bagi percontohan di tempat lain yang ingin mengoptimalkan sumber daya lahan yang dipunyai dalam rangka mendukung ekonomi rumah tangga penduduk. Peran multi pihak sangat diharapkan dalam rangka membantu meningkatkan perekonomian masyarakat berbasis agroforestri komoditi unggulan lokal. Kegiatan penyuluhan dan pembinaan pembangunan kehutanan seperti program Kebun Bibit Rakyat dapat menjadi insentif bagi petani untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan miliknya. 5. Daftar pustaka Arifin, H.S. 2010. Kearifan Lokal dalam Sistem Agroforestri Tradisional di Pekarangan Untuk Mendukung Konservasi Agrobiodiversity dan Ketahanan Pangan Keluarga. Prosiding Agroforestri Tradisional di Indonesia. Hlm. 35-49. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Arifin, H.S., M. Sarma, dan N. Wijayanto (eds.). 2004. Kompilasi Abstrak Agroforestri di Indonesia. IPB – INAFE. Bogor. BPS Kabupaten Kebumen. 2010. Kecamatan Petanahan dalam Angka 2009/2010. BPS Kabupaten Kebumen. Kebumen. Cahyono, S.A., N.P. Nugroho, dan Purwanto. 2011. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Plot Pengembangan Agroforestry di Bagian Hulu Waduk Delingan. Tekno Hutan Tanaman 4(1): 717. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Kuswantoro, D.P. dan E. Suhaendah. 2005. Serangan Hama Rayap pada Tanaman Suren. Prosiding Seminar Nasional
Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012
331