BAB II LANDASAN TEORI
a. Tinjauan Pustaka 1. Tepung Terigu Tepung terigu merupakan tepung yang dihasilkan dari hasil penggilingan biji gandum. Keistimewaan tepung terigu jika dibanding dengan serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada adonan sehingga tidak mudah hancur pada proses pemasakan. Gluten merupakan protein tidak larut air yang hanya terdapat pada tepung terigu. Gluten mempunyai peranan penting sehubungan dengan fungsi terigu sebagai dasar pembuatan roti. Gluten memberikan sifat liat/elastis dan licin pada adonan roti (Muchtadi et al., 2013). Tabel 2.1 Kandungan Gizi Tepung Terigu per 100 gram No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kandungan Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Serat kasar (gram) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air Bagian yang dapat dikonsumsi (%)
Jumlah 365 8,9 1,3 77,3 1,92 16 106 1,2 0 0,12 0 12 100
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI (1996) dalam Nofalina (2013)
Tabel 2.2 Standar Tepung Terigu menurut SNI 01-3751-2006
No 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 15.1 15.2 15.3 16. 17. 17.1 17.2 17.3
Jenis Uji Satuan Keadaan Bentuk Bau Warna Benda asing Serangga dalam bentuk semua stadia dan potongan-potongannya yang tampak Kehalusan, lolosa ayakan % 212 µm No. 70 (b/b) Kadar air (b/b) % Kadar abu (b/b) % Kadar protein (b/b) % Keasaman mg KOH/100 g Falling number (atas dasar detik kadar air 14%) Besi (Fe) Kapang mg/kg Seng (Zn) mg/kg Vitamin B1 (Thiamin) mg/kg Vitamin B2 (Riboflavin) mg/kg Asam Folat mg/kg Cemaran logam Timbal (Pb) mg/kg Raksa (Hg) mg/kg Tembaga (Cu) mg/kg Cemaran Arsen mg/kg Cemaran mikroba Angka lempeng total Koloni.g E. coli APM/g Kapang Koloni/g
Persyaratam Serbuk Normal (bebas dari bau asing) terigu Putih, khas Tidak ada Tidak ada
Min 95 Maks 14,5 Maks 0,6 Min 7,0 Maks 50 Min 300 Min 50 Min 30 Min 2,5 Min 4 Min 2 Maks 1,00 Maks 0,05 Maks 10 Maks 0,5 Maks 106 Maks 10 Maks 104
Sumber: Ayuningrum (2015)
Selain memiliki kelebihan, tepung terigu juga memiliki kekurangan. Kandungan gluten yang terdapat dalam tepung terigu dapat menyebabkan alergi dan intoleransi. Gluten menyebabkan gangguan fungsi otak pada penderita autis. Hal ini dikarenakan penderita autis memiliki ganguan pencernaan yang menyebabkan penyerapan protein gluten tidak normal sehingga berubah menjadi peptida yang masuk ke dalam darah dan meracuni otak. Gangguan fungsi otak oleh peptida ini mirip dengan efek morfin sehingga dapat menyebabkan ketergantungan (Handojo, 2008, dalam Dewanti dan Machfud, 2014).
Beberapa permasalahan makan pada anak autis diantaranya picky eaters (memilihmilih makanan), kesulitan menerima makanan baru, dan tantrum (mengamuk). Makanan berbahan dasar terigu dan susu adalah makanan yang sulit dihindari. Aneka gorengan merupakan salah satu jenis makanan yang sulit dihindari oleh penderita autis. Para ahli menyarankan penderita autis untuk menjalani diet GFCF atau Gluten Free Casein Free). Apabila diet GFCF dilaksanakan maka terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi-terapi yang bersifat fisik akan lebih baik. Hal ini dikarenakan terdapat pengaruh yang signifikan diet GFCF terhadap perkembangan anak autis. Anak autis dengan diet GFCF memiliki perkembangan yang lebih baik daripada anak autis tanpa diet GFCF. Banyak anak autis yang mengalami perkembangan pesat dalam berkomunikasi dan bersosialisasi setelah menjalani diet ini (Dewanti dan Machfud, 2014). 2. Uwi atau Ubi Kelapa (Dioscorea alata) Uwi (Dioscorea alata L.) merupakan tanaman umbi yang berasal dari daerah tropis. Nama lain uwi di beberapa daerah yaitu uwi legi (Jawa), Huwi (Sunda), Obi (Madura), Ubi, Huwi tiang atau atau uwi manis (Sumatera / Melayu), Same (Sulawesi Selatan), Lutu (Kepulauan Maluku) (Lingga, 1992 dalam Afidin et al., 2014). Tumbuhan uwi (D. Alata) dalam bahasa Inggris disebut Greater Yam, Water Yam dan Ten-Months-Yam. Di Indonesia dikenal dengan nama Ubi Kelapa. Sementara itu, masyarakat Kalimantan menyebutnya Ubi Alabio (Balitbang Deptan, 2005). Uwi berasal dari Asia kemudian menyebar ke Asia Tenggara, India, Semenanjung Malaya dan Kepulauan Pasifik. Tanaman ini tumbuh baik mulai dari dataran rendah hingga ke ketinggian 800 m dpl, tetapi juga dapat tumbuh pada ketinggian 2700 m dpl (Balitbang Deptan, 2005). Produksi uwi secara global dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Produksi Uwi Secara Global Lokasi World Afrika Afrika Barat Nigeria Cote Hvoire
Area tanam ('000 ha) 4,928 4,718 4,443 3,045 820
Hasil produksi Produksi (t/ha) ('000t) 10,5 51,778 10,6 49,833 10,8 48,101 11,5 35,017 8,5 6,933
% Total World 100 96,3 93 67,7 13,4
Ghana Benin Togo
299 205 63
11,9 8,8 0,2
3,55 1,803 638
6,9 3,5 1,2
Sumber: FAO (2010) dalam Fu et al. (2011)
Di
Asia
Tenggara,
D.
alata
ditanam
sebagai
tanaman
pekarangan.
Tanaman ini penting di Papua Nugini, di mana lebih dari 30.000 orang tergantung pada uwi untuk mata pencaharian mereka. Di selatan India, umbi D. Alata yang tumbuh, dihargai sebagai makanan sekunder. Spesies tanaman uwi penting di beberapa wilayah tetapi tidak semua wilayah Indonesia. Di Malaysia uwi tidak umum. Di Filipina beberapa varietas D. alata ditemukan, tetapi beberapa dari tanaman tersebut unik dan sangat berharga. Banyak varietas D, alata ditemukan di seluruh pulau-pulau Pasifik Selatan (Branch dan Martin, 1976) Uwi termasuk ke dalam famili Dioscoreaceae genus Dioscorea yang memiliki lebih dari 600 spesies yang 10 spesies diantarana dibudidayakan sebagai bahan pangan dan untuk obat-obatan. Enam spesies yang penting sebagai bahan pangan adalah D. rotundata, D. alata, D. cayenensis, D. dumetorum, D. bulbifera dan D. Esculenta yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Uwi tersebut dipercaya berasal dari tiga wilayah penyebaran yang berbeda, yaitu Afrika Barat (D. rotundata, D. cayenensis dan D. dumetorum), Asia Tenggara (D. alata dan D. esculenta), daerah tropis Amerika (D. trifida). Tanaman uwi ditanam sebagai tanaman pangan semusim dengan umur panen antara 180 – 270 hari setelah tanam
(French, 2006).
Taksonomi Uwi: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Class : Monocotyledoneae Ordo : Liliales Famili : Dioscoreaceae Genus : Dioscorea Spesies : Dioscorea alata L (Tjitrosoepomo,2013) Tanaman uwi merupakan tumbuhan semusim, membelit ke kanan, panjang batang mencapai 10 meter, tidak berduri tetapi ada yang berbintik di bagian dasar, batang
bersudut empat bersayap nyata, warna hijau atau keunguan, sering kali ada umbi di ketiak daun. Daun tunggal, bertulang daun melengkung, 7 – 9 tulang daun, warna daun hijau atau keunguan, helaian daun bulat telur dengan pangkal berbentuk jantung dan ujung meruncing panjang, bertulang daun melengkung, sistem perakaran serabut. Bunga berbentuk bulir, bunga jantan bulir rapat, bunga betina bulir tidak rapat, perbungaan bulan Mei – Juni, biji pipih membulat sekelilingnya bersayap. Umbi di bawah tanah memiliki bentuk dan ukuran bervariasi, kulit umbi coklat sampai hitam, daging putih, krem atau keunguan (Budoyo, 2010). Enam spesies tanaman Dioscorea yang sering dijumpai dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 D. rotundata, D. alata, D. cayenensis, D. dumetorum, D. bulbifera dan D. Esculenta (urut dari kiri ke kanan) (French, 2006) Dalam hal budidayanya, tanaman uwi diperbanyak dengan potongan umbi yang bermata tunas. Tanah digemburkan sebaik mungkin, cabang– cabang batang yang tumbuh disisi batang induk dikurangi karena dapat mengkuruskan umbi. Panen dapat dilakukan setelah 7-9 bulan setelah tanam, ditandai dengan menguningnya daun yang berarti umbi telah masak. Masyarakat pada umumnya menanam pada awal musim hujan (Heyne, 1987). Uwi dapat tumbuh baik dengan hasil umbi yang maksimal jika ditanam pada tanah yang gembur dan tidak terendam air. Tanah yang padat menghalangi proses perkembangan umbinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Sri Widodo et al. (1996) dalam Budoyo (2010) bahwa cara tanam dengan membuat lubang tanam atau digemburkan memberi hasil yang lebih tinggi dari pada cara tanam cangkul setempat yaitu sebesar 24,4 % - 35,6 %. Dapat ditanam secara monokultur atau tumpang sari. Pada daerah yang kurang baik untuk tanaman padi, penanaman D. alata dilakukan secara monokultur, seperti yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa di
Kalimantan Selatan. Sedangkan di daerah yang cocok untuk tanaman padi seperti di Jawa umumnya secara tumpang sari (Balitbang Deptan, 2005). Penampilan fisik umbi uwi sangat bervariasi, baik ukuran, bentuk, dan warna daging umbi sesuai dengan jenisnya. Ukuran umbi ada yang sangat besar, hingga mencapai lebih dari 3 kg/umbi, tetapi ada juga yang kecil hanya sekitar 100 g/umbi. Bentuk umbi ada yang tidak beraturan, lonjong, hingga bulat. Daging umbi ada yang berwarna putih, kuning kecokelatan, hingga unggu. Uwi yang biasa disebut uwi kelapa, sego, atau uwi putih memiliki umbi tunggal, berbentuk tidak beraturan dengan ukuran yang cenderung besar, daging umbi warna putih kecoklatan dengan warna kulit kuning kecokelatan hingga ungu kehitaman. Sedangkan jenis uwi yang serupa uwi kelapa tetapi dengan kulit dan daging umbi warna ungu dikenal dengan dengan nama daerah uwi senggani. Uwi jenis ini termasuk dalam spesies Dioscorea alata (Herison, 2010). Penampilan fisik uwi dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Umbi Uwi (Branch dan Martin, 1976) Ubi kelapa dikenal sebagai tanaman yang memiliki getah dan lendir. Sebagian besar senyawa getah yang keluar dari permukaan potongan ubi kelapa adalah senyawa alkaloid (Branch dan Martin, 1976). Getah yang menetes ketika permukaan ubi kelapa dipotong merupakan senyawa glikoprotein (Mar’atirrosyidah dan Estiasih, 2015). Kandungan gizi uwi (Dioscorea alata) lebih unggul dibandingkan dengan kandungan gizi beberapa jenis spesies dalam genus Dioscorea, salah satu keunggulan kandungan gizi di dalam uwi yaitu kandungan betakaroten yang tidak dimiliki oleh beberapa jenis spesies dalam genus Dioscorea. Perbandingan kandungan gizi uwi dengan beberapa jenis spesies lainnya dalam genus Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Kandungan gizi Dioscorea
Nutrisi (g/100g)
D. alata
% Kelembaban 65-78,6 % Karbohidrat 22-31 % Pati 16,7-28 % Gula bebas 0,5-1,4 % Protein 1,1-3,1 % Lemak <0,16-0,6 % Serat 1,4-3,8 % Abu 0,7-2,1 Fosfor (mg) 28-52 Kalsium 28-38 Vitamin C 2,0-8,2 (mg/100g) Besi (mg) 5,5-11,6 Energi (kkal) 140 Betakaroten (µg) 5-10 Thiamin (mg) 0,05-10 Riboflavin (mg) 0,03-0,04 Sumber: Evans C. et al. (2013)
D. D. D. rotund cayene esculen ata nsis ta 50-80 60-80 67-81 15-23 16 17-25 16,7-28 16 25 0,3-1 0,4 0,6 1,1-2,3 1,1-1,5 1,3-1,9 0,05-0,1 0,06-0,2 0,04-0,3 1,0-1,7 0,4 0,2-1,5 0,7-2,6 0,5 0,5-1,5 17 17 35-53 36 36 12-62 6,0-12 5,2 142 -
5,2 71 -
0,8 12 0,1 0,01
D. dumetor tums 67-79 17,5 18,25 0,2 2,8 0,3 0,3 0,7 45 52 122 -
Jika dibandingkan dengan ubi jalar dan singkong, kandungan gizi uwi lebih unggul pada kandungan vitamin C dan vitamin B1. Kandungan gizi uwi dibanding dengan ubi jalar dan singkong dalam 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2.5 Tabel 2.5 Kandungan gizi uwi dibanding dengan ubi jalar dan singkong dalam 100 gram Zat Gizi Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium Fosfor Besi Vitamin B1 Vitamin C Air Energi
Satuan
Uwi*
Ubi Jalar**
Singkong**
g g g g g mg mg mg mg mg g Kkal
1,1 0,2 31,3 1 14 56 0,6 4 66,4 85 131
1,1 0,4 31,8 0,7 1,2 55 51 0,7 0,1 35 65,6 135
0,6 0,2 35,5 1,6 0,9 30 49 1,1 0,12 31 63 75
Sumber: Prabowo, et al. (2014)* dan Kurniawati (2013)**
Uwi yang termasuk dalam genus Dioscorea memiliki kandungan beberapa jenis vitamin. Kandungan beberapa jenis vitamin dalam genus Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Kandungan Vitamin Dioscorea Kandungan Vitamin A (mg retinol) Thiamine (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg)
Jumlah 0,1 0,11 0,03 0,6
Asam askorbat (mg) Vitamin E (mg)
17 0,16
Sumber: Juliano (1999) dalam Epriliati (2000)
Selain kandungan gizi dan vitamin, uwi yang termasuk dalam genus Dioscorea memiliki keunggulan dalam sifat fungsional. Sifat fungsional dalam genus Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Sifat Fungsional Dioscorea Kandungan Indeks glikemik (% glukosa) Indeks glikemik (% roti) Pati Resisten In-vitro (% pati) Amilosa (%)
Jumlah 51 62 1,4 14-27
Sumber: Juliano (1999) dalam Epriliati (2000)
Komposisi asam lemak uwi dibandingkan dengan spesies lain dalam keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.8. Asam linoleat dan linolenat adalah asam lemak esensial yang paling penting diperlukan untuk pertumbuhan, fungsi fisiologis dan pemeliharaan (Pugalenthi et al., 2004 dalam Shajeela et al., 2013). Pada metabolisme tingkat jaringan, asam linoleat menghasilkan hormon seperti prostaglandin. Aktivitas prostaglandin ini menurunkan tekanan darah dan pembangunan otot polos (Aurand et al., 1987 dalam Shajeela et al., 2013). Komposisi asam lemak dan asam lemak tak jenuh dalam jumlah tinggi membuat umbi Dioscorea cocok untuk aplikasi gizi. Rasio O/L (Oleat/Linoleat) lipid dari Dioscorea spp. lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata yang disarankan yaitu 0,75-1,09 (Attia et al., 1996 dalam Shajeela et al., 2013). Tabel 2.8 Komposisi Asam Lemak Dioscorea spp D. alata
D. bulbifera var vera
D. esculenta
D. oppositifolia var dukhumensis
D. oppositifolia var oppositifolia
D. pentaphylla var pentaphylla
D. spicala
D. tomentosa
D. wallichi
29,3
31,33
34,3
34,3
30,13
32,48
38,3
34,14
29,46
2,41
-
2,01
4,31
3,28
3,1
-
2,16
4,32
9,2
11,48
8,21
9,4
8,24
9,78
9,46
8,36
10,21
11,36
9,36
15,78
11,26
10,06
12,31
11,3
10,48
11,52
30,66
29,34
26,54
30,34
29,48
29,76
26,3
29,48
33,21
14,11
14,91
15,04
9,02
15,21
9,26
11,23
14,12
10,03
Others Unsaturation ratio
2,96
3,58
4,12
1,37
3,6
3,31
3,41
1,26
1,25
1,04
0,95
0,82
0,91
1,04
0,94
0,75
0,89
1,09
O/L ratio
0,37
0,32
0,59
0,37
0,34
0,41
0,43
0,36
0,35
Asam Lemak Palmitat (C16:0) Palmitoleat (C16:1) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3)
Sumber: Shajeela et al. (2013)
Senyawa bioaktif merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan melalui serangkaian reaksi metabolisme sekunder. Umbi Dioscorea alata memiliki senyawa bioaktif yang bermanfaat terhadap kesehatan seperti dioscorin, diosgenin, dan polisakarida larut air (PLA). Dioscorin merupakan protein simpanan utama dalam ubi kelapa, berfungsi sebagai tripsin inhibitor, enzim penyebab peningkatan tekanan darah. Diosgenin merupakan senyawa fitokimia yang berperan dalam produksi hormon steroid, mampu mencegah kanker usus, dan menurunkan penyerapan kolesterol. Beberapa studi menunjukkan polisakarida larut air (PLA) mampu menurunkan kadar glukosa darah pada hewan coba dalam keadaan hiperglikemia. Kandungan senyawa bioaktif pada ubi kelapa menyebabkan ubi kelapa berpotensi sebagai bahan pangan fungsional (Prasetya et al., 2016). Senyawa bioaktif lain yang ada pada ubi kelapa adalah fenol. Kadar fenol pada ubi kelapa adalah sebesar 0.68 ± 0.04 g/100g (Mar’atirrosyidah dan Teti, 2015). Disamping zat gizi, Dioscorea mempunyai senyawa anti gizi. Senyawa anti gizi adalah suatu senyawa yang terdapat dalam beberapa bahan pangan yang dapat mengganggu penyerapan zat gizi di dalam tubuh pada saat pangan tersebut dikonsumsi. Senyawa anti gizi yang terdapat pada Dioscorea antara lain tannin, HCN, oksalat, amilase inhibitor dan tripsin inhibitor yang dapat mempengaruhi nilai fungsional bagi kesehatan. Seluruh senyawa tersebut merupakan senyawa yang dapat didekomposisi oleh panas dan air. Kandungan senyawa anti gizi berbagai spesies keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.9 Tabel 2.9 Faktor Anti Gizi pada Dioscorea spp
0,58±0,03
Inhibitor Amilase (AIU/ mg Pati larut) 6,21
3,65±0,04
0,19±0,01
0,78±0,01
1,36
1,21±0,01
0,20±0,01
0,21±0,03
0,33±0,02
7,8
1,92±0,07
0,36±0,01
0,24±0,07
0,24±0,02
0,36±0,01
2,46
13,30±0,09
0,56±0,01
0,36±0,11
0,33±0,04
0,46±0,07
2,1
11,26±0,12
0,48±0,05
0,09±0,06
0,18±0,01
0,58±0,05
2,46
3,66±0,09
Total Fenol Free (g/100 g)
Tanin (g/100 g)
Hidrogen Sianida (mg/100 g)
Total Oksalat (g/100 g)
D. alata D. bulbifera var vera
0,68±0,04
0,41±0,01
0,17±0,01
2,20±0,01
1,48±0,10
D. esculenta D. oppositifolia var dukhumensis D. oppositifolia var oppositifolia D. pentaphylla var
0,79±0,07
Nama Botani
Inhibitor Tripsin (TIU/ mg protein)
pentaphylla D. spicata D. tomentosa
0,26±0,01
0,10±0,05
0,18±0,01
0,44±0,07
3,31
1,26±0,12
0,41±0,01
0,06±0,01
0,34±0,03
0,31±0,11
4,64
1,41±0,11
D. wallichi
0,33±0,02
0,04± 0,02
0,16±0,05
0,26±0,01
5,27
2,48±0,07
Sumber: Shajeela et al. (2011)
Konsumsi produk umbi yang masih mengandung residu HCN akan mengganggu kesehatan tubuh karena dua hal, menyebabkan KI (Kurang Iodium) dan KKP (Kurang Kalori Protein). Senyawa HCN dalam tubuh yang masuk melalui makanan akan bereaksi dengan sulfur membentuk senyawa tiosianat (SCN-). Sulfur yang digunakan berasal dari asam amino esensial yang mengandung S yaitu metionin dan sistin. Akibatnya, dalam tubuh akan kekurangan protein atau asam amino tersebut, yang dapat menyebabkan KKP (Kurang Kalori Protein). Masalah lain, Iodium yang semestinya diserap oleh kelenjar tiroid akan diikat oleh senyawa ionik, termasuk SCN-. Kebanyakan SCN dalam tubuh akan menyebabkan deplesi senyawa iodin, sehingga dapat berakibat endemic goitre (gondok) dan endemic cretinism (pertumbuhan lambat dengan defisiensi mental, kurang pendengaran, dan gagu) (Pambayun, 2007). Jika seseorang mengkonsumsi Dioscorea sebanyak porsi makan yang umum, akan menerima oksalat terlarut sebesar 7,26 mg. Sementara dosis lethal konsumsi oksalat untuk manusia 2-5 g; sedang untuk HCN (asam sianida) sebesar 1,08-1,09 mg/100 g. Peneliti menyimpulkan kandungan zat antigizi pada Dioscorea belum berada pada batas yang membahayakan. Tetapi perlu ditekankan pada konsumen untuk selalu mengatur jumlah konsumsi setiap hari agar jumlah tersebut tidak terlampaui. Meskipun demikian dalam proses pengolahan penurunan kadar senyawa tersebut harus tetap dilakukan karena adanya Ca dan protein bersama adanya oksalat dan tanin dapat membentuk endapan yang dapat merupakan beban pembersihan dan perawatan peralatan (Udoessien dan Ifon, 1992 dalam Epriliati, 2000). Menurut BPOM (2012), rata-rata dosis lethal asam oksalat pada manusia dewasa adalah 15-30 gram. Dosis lethal terendah yang pernah dilaporkan adalah 6-8 gram (setelah seseorang mengkonsumsi sup sorrel). Sementara itu, FSANZ (2005) menyatakan dosis lethal asam sianida pada manusia sebesar 0,5 -3,5 mg/kg berat badan. Salah satu pengembangan uwi yaitu mengolahnya menjadi produk tepung uwi. Dalam pengolahan tepung uwi, perlu suatu metode untuk dapat mencegah browning dan
mempertahankan nilai gizi uwi terhadap pengaruh kandungan lendir dalam uwi. Salah satu metode untuk mempertahankan kualitas tepung adalah penggunaan bahan perendam umbi seperti sulfit yang digunakan dalam bentuk bisulfit dan metabisulfit. Bahan tersebut dapat bereaksi mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga berfungsi sebagai antioksidan (Winarno, 1992). Kemampuan metabisulfit dalam memunculkan pigmen melanoidin yang terbentuk dalam reaksi Millard ini yang efektif mencegah pencoklatan tersebut (Siagian, 2002 dalam Hildayati, 2005). Penggunaan SO2 pada proses pengeringan juga bertujuan untuk mempertahankan warna, cita rasa, asam askorbat, karoten, dan stabilitas bahan selama penyimpanan. Metabisulfit juga termasuk sebagai bahan pengawet kimia yang menghindarkan kerusakan mikroba (Susanto dan Saneto, 1994). Rendemen merupakan perbandingan massa bahan sebelum diolah dengan massa bahan setelah diolah. Persentase rendemen tepung uwi dibandingkan dengan rendemen berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.10 Tabel 2.10 Persentase Rendemen Berbagai Jenis Tepung Dioscorea Jenis Tepung Uwi (Dioscorea alata) Uwi ungu (Dioscorea alata) Uwi kulit ungu (Dioscorea alata) Gembili (Dioscorea esculenta) Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) Gembolo (Dioscorea bulbifera)
Rendemen (%) 25,632 27,48 19,639 25,312 19,751 24,335
Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Pada pembuatan tepung, perlu diperhatikan kandungan kadar air yang terdapat dalam tepung. Kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan tepung bersifat higroskopis sehingga tepung mudah menggumpal, sedangkan kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan mikroba mudah tumbuh sehingga daya simpan tepung lebih pendek. Persentase kadar air tepung uwi dibandingkan dengan kadar air berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.11 Tabel 2.11 Persentase Kadar Air Berbagai Jenis Tepung Dioscorea Jenis Tepung Uwi (Dioscorea alata) Uwi ungu (Dioscorea alata) Uwi kulit ungu (Dioscorea alata)
Kadar Air (%) 7,52 5,79 9,77
Gembili (Dioscorea esculenta) Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) Gembolo (Dioscorea bulbifera)
9,52 6,33 6,87
Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Komponen utama pati Dioscorea adalah amilosa yang rata-rata besarnya lebih dari 25% berat kering. Sifat lain dari pati Dioscorea, banyak terkait dengan sifat fungsional dan efek hipoglisemik pada penderita diabetes (Epriliati, 2000). Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Kandungan pati di dalam tepung akan mempengaruhi daya serap air tepung. Semakin tinggi kadar pati, maka kadar amilosa pati juga semakin tinggi sehingga indeks penyerapan air semakin besar. Sementara itu, kandungan amilosa dan amilopektin juga berpengaruh terhadap tekstur produk setelah tepung diolah menjadi produk. Semakin tinggi amilopektin maka tekstur produk akan semakin lengket, sedangkan sifat amilosa berlawanan dengan sifat amilopektin (Winarno, 2008). Persentase kadar pati, amilosa dan amilopektin tepung uwi dibandingkan dengan kadar pati, amilosa dan amilopektin berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.12
Tabel 2.12 Persentase Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Berbagai Jenis Tepung Dioscorea Jenis Tepung Uwi (Dioscorea alata) Uwi ungu (Dioscorea alata) Uwi kulit ungu (Dioscorea alata) Gembili (Dioscorea esculenta) Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) Gembolo (Dioscorea bulbifera)
Kadar Pati (%) 83,38
Kadar Amilosa (%) 14,81
Kadar Amilopektin (%) 68,57
86,12
17,59
68,6
86,68
17,32
69,36
82,82
13,26
69,56
79,27
7,48
71,79
84,8
18,98
65,82
Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Inulin adalah polimer dari unit-unit fruktosa dengan gugus terminal glukosa. Unitunit fruktosa dalam inulin dihubungkan oleh ikatan β(2-1) glikosidik, sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim dalam sistem pencernaan mamalia dan mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan struktur, oleh karena itu inulin dapat berfungsi sebagai prebiotik (Robertfroid, 2005). Persentase kadar inulin tepung uwi dibandingkan dengan kadar inulin berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.13 Tabel 2.13 Persentase Kadar Inulin Berbagai Jenis Tepung Dioscorea Jenis Tepung Uwi (Dioscorea alata) Uwi ungu (Dioscorea alata) Uwi kulit ungu (Dioscorea alata) Gembili (Dioscorea esculenta) Uwi katak (Dioscorea pinthaphylla) Gembolo (Dioscorea bulbifera)
Kadar Inulin (mg/g) 1,52 1,42 1,59 1,53 1,46 1,61
Sumber: Winarti dan Erwan (2013)
Indeks glikemik (IG) merupakan ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah. Semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya terhadap kenaikan gula darah. IG rendah memiliki nilai di bawah 50. Beras ketika diolah menjadi nasi putih memiliki kandungan IG sebesar 73-83 sehingga tergolong tinggi IG sehingga berpotensi menimbulkan penyakit diabetes melitus (Kurniadi dan Ulfa, 2014). Indeks glikemik tepung uwi dibandingkan dengan indeks glikemik berbagai jenis tepung keluarga Dioscorea dapat dilihat pada Tabel 2.14 Tabel 2.14 Indeks Glikemik setelah pemberian serbuk umbi dan glukosa Bahan Glukosa Uwi Gadung Talas
IG 100 22,4 20,6 14,6
Sumber: Sari et al. (2013)
Dalam perkembangannya, pemanfaatan umbi Dioscorea tidak hanya berkaitan dengan produk olahan menjadi berbagai bahan makanan. Salah satu jenis lokal yaitu varietas ungu dengan umbi berwarna ungu dimanfaatkan masyarakat untuk obat penyakit typhus. Umbinya dapat diekstrak untuk mendapatkan senyawa diosgenin yaitu sejenis senyawa saponin yang merupakan prekursor dalam sintesis hormon steroid sebagai bahan baku kontrasepsi. Senyawa yang dihasilkan juga dapat memicu tersedianya DHEA dalam
tubuh. DHEA (Dehydroepiandrosterone) yaitu bahan baku hormon seperti androgen, testoteron, progesteron dan estrogen dan jenis hormon yang lain (Suismono, 2008 dalam Budoyo, 2010). Aplikasi uwi menjadi produk olahan kini sudah mulai berkembang. Salah satu pengembangan produk uwi setelah diproses menjadi tepung yaitu diolah menjadi cookies, di Indonesia. Uwi diproses menjadi tepung yang digunakan sebagai bahan pembuatan produk pangan seperti ice cream, selai uwi dan sebagainya, di Filipina (Noche et al, 2011). 3. Koro Glinding (Phaseolus lunatus) Legum atau kacang-kacangan merupakan sumber protein yang murah, juga mengandung karbohidrat, menurunkan kolesterol, berkadar serat tinggi, rendah lemak, dan tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh
(Rockland dan Nishi, 1979
dalam Gilang et al., 2013). Koro – koroan merupakan salah satu jenis kacang – kacangan lokal yang memiliki varietas beragam. Kandungan gizi koro tidak kalah dengan kedelai terutama karbohidrat dan protein yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro juga mengandung beberapa senyawa merugikan yaitu HCN yang beracun dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi. Selain sebagai senyawa antinutrisi, fitat memiliki peranan positif yaitu sebagai antioksidan sekunder. Selain asam fitat, kacang-kacangan juga mengandung senyawa fenol dan Vitamin E yang memiliki aktivitas antioksidan (Pramita, 2008). Tanaman koro-koroan mudah dibudidayakan dan produktivitas biji keringnya cukup tinggi sekitar 800-900 kg/ha pada lahan kering dan kurang lebih 1.700 kg/ha apabila lahan diberi pengairan (Robert, 1985 dalam Nafi’ et al., 2014). Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman spermatophyta yang disebut tanaman dikotil, karena dapat menghasilkan biji dari hasil perkawinan antara benang sari dan sel telur. Nama lain dari koro glinding diantaranya yaitu koro kratok, lima bean, butter bean, koro sayur, kacang mas, kacang jawa, dan kekara. Klasifikasi selengkapnya adalah: Kingdom Subkingdom Superdivision Division
: Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta
Class Subclass Order Family Genus Species (Rini, 2008)
: Magnoliopsida : Rosidae : Fabales : Fabaceae : Phaseolus L. : Phaseolus lunatus L.
Gambar 2.3 Tanaman Koro Glinding (Anonim, 2015) Distribusi koro glinding (Phaseolus lunatus L) secara geografis pertama kali ditemukan di Amerika tengah (Mexico,Guatemala) dengan morfologi biji kecil sedangkan Phaseolus yang terdapat di Amerika selatan (terutama di Peru) morfologi bijinya lebih besar. Berawal dari daerah ditemukannya, maka kemudian para taksonomis mengklasifikasikan tanaman ini dari segi morfologi, ekologi, tipe kandungan protein, karakter molekuler mengacu berdasar cirri-ciri dari daerah asal, yang kemudian muncul dua tipe yaitu phaseolus tipe Mesoamerican(Mexico, Guatelama) dan phaseolus tipe Andean (Amerika selatan). Tipe Andean penyebaran geografisnya terbatas hanya pada daerah Equador, Peru, sedangkan tipe Mesoamerican distribusi geografis menyebar hampir ke seluruh benua Amerika. Penyebaran ke benua Eropa ke Spanyol kemudian ke
Asia pertama ditemukan di Philiphina dari Philipina ke Myanmar kemudian ke Jawa (PROSEA, 1989 dalam Purwanti, 2014). Berdasarkan data Baudoin et al. (2004) makin nyata resiko hilangnya keanekaragaman genetik Phaseolus di daerah leluhurnya (Amerika Latin) serta di pusatpusat daerah distribusinya dibudidayakan (Afrika dan bagian dari Asia). Indonesia mempunyai jenis- jenis kacang polong tersebut, permasalahannya adalah biji-bijian polong tersebut belum dikembangkan secara baik, bahkan cenderung hampir dilupakan sehingga perkembanganya sulit didapatkan pada saat ini (Balitkabi, 2012). Koro glinding merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat tumbuh di tanah yang kurang subur dan kering. Selain untuk dimanfaatkan bijinya, tujuan penanaman koro adalah sebagai tanaman pelindung dan pupuk hijau. Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman yang memiliki peran penting dalam mengatasi lahan kritis, karena dapat tumbuh secara produktif di daerah yang memiliki tanah kurang subur. Pemanfaatan tanaman ini sebagian besar untuk makanan ternak, namun sebagian masyarakat telah memanfaatkannya untuk tempe seperti koro benguk (Kanetro dan Hastuti, 2006).
Gambar 2.4 Koro Glinding (Phaseolus lunatus) (Anonim, 2015) Koro glinding merupakan salah satu jenis leguminosa yang kaya akan protein dan karbohidrat. Menurut Guerrero et al (2012) legum mengandung protein hingga 200 – 400 g/kg, nilai ini lebih tinggi dari jenis serealia yang hanya mengandung protein sebesar 70 – 140 g/kg. Komposisi kimia kandungan gizi koro glinding dibandingkan dengan berbagai jenis leguminosa lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Komposisi Kimia Berbagai Jenis Legum Komponen Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Karbohidrat (%) HCN (mg/100g) Fitat (mg/g) Tripsin inhibitor (TIU/mg)
Koro Pedang 8,4 ± 0,1 21,7 ± 2,1 4,0 ± 0,3 2,9 ± 0,1 64,0 ± 5,2 0,5 ± 0,1 13,2 ± 1,2
Koro Komak 9,3 ± 0,5 17,1 ± 1,5 1,1 ± 0,4 3,6 ± 0,1 67,9 ± 4,2 1,1 ± 0,1 18,9 ± 0,2
0,15 ± 0,02
0,15 ± 0,02
Koro Glinding 1 9,0 ± 1,0 14,8 ± 1,4 2,2 ± 0,6 2,9 ± 0,1 70,2 ± 4,2 111,8 ± 5,3 13,0 ± 1,3
Koro Glinding 2 14,3 ± 0,2 17,1 ± 0,1 0,5 ± 0,1 3,0 ± 0,1 65,1 ± 0,2 1,2 ± 0,2 15,0 ± 1,5
35,9 ± 2,5
1,25 ± 0,22
Keterangan: Koro glinding 1: koro glinding dengan biji warna-warni Koro glinding 2: koro glinding dengan 1 warna biji Sumber: Subagio et al. (2009)
Salah satu pengembangan koro glinding yaitu mengolah koro glinding menjadi tepung koro glinding dengan kandungan kaya protein karena leguminosa pada umumnya tinggi protein. Dalam pengolahan tepung koro glinding perlu diperhatikan besar rendemen supaya dapat diketahui seberapa besar kebutuhan bahan baku dalam pembuatan tepung. Rendemen tepung koro glinding dapat dilihat pada Tabel 2.16. Tabel 2.16 Rendemen Tepung Kaya Protein (TKP) Koro Komak dan Koro Glinding Jenis TKP Komak 1 Komak 2 Glinding 1 Glinding 2
Rendemen (%) 31,7 ± 0,9 10,6 ± 0,8 22,1 ± 0,4 10,0 ± 0,5
Keterangan: angka 1 = ekstraksi pertama menggunakan air angka 2 = ekstraksi ulang menggunakan NaOH 0,01N Sumber: Nafi et al. (2006)
Pati merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam koro-koroan. Kadar pati beberapa jenis koro berbanding terbalik dengan kadar proteinnya, artinya semakin tinggi kadar pati maka proteinnya semakin rendah. Komposisi kimia tepung koro glinding dapat dilihat pada
Tabel 2.17.
Tabel 2.17 Komposisi Kimia Tepung Kaya Protein (TKP) Koro Komak dan Glinding Komak 1 6,4 ± 0,2 58,4 ± 4,5 0,3 ± 0,1
Komak 2 7,3 ± 0,1 41,8 ± 1,1 0,3 ± 0,1
TKP Glinding 1 4,1 ± 0,1 30,9 ± 3,6 1,6 ± 0,2
Glinding 2 2,0 ± 0,1 10,6 ± 0,6 9,5 ± 0,4
26,9 ± 0,6 0,2 ± 0,1 0,8 ± 0,1 3,5 ± 0,2 96,5
47,7 ± 0,3 0,4 ± 0,0 0,9 ± 0,1 1,4 ± 0,1 99,8
49,6 ± 4,9 1,0 0, ± 0 0,4 ± 0,0 2,7 ± 0,0 90,3
67,4 ± 0,7 0,4 ± 0,0 2,4 ± 0,2 0,9 ± 0,3 84,2
Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat: -pati -total gula -serat Abu TOTAL
Keterangan: angka 1 = ekstraksi pertama menggunakan air angka 2 = ekstraksi ulang menggunakan NaOH 0,01N Sumber: Nafi et al. (2006)
4. Tepung Komposit Tepung komposit adalah tepung yang berasal dari beberapa jenis bahan baku yaitu umbi-umbian, kacang-kacangan, atau sereal dengan atau tanpa tepung terigu atau gandum dan digunakan sebagai bahan baku olahan pangan seperti produk bakery dan ekstrusi (Widowati, 2009 dalam Astuti et al., 2014). Letak geografis dan iklim yang tidak sesuai untuk pertumbuhan gandum, mengakibatkan beberapa wilayah negara yang tidak dapat menghasilkan dan mencukupi kebutuhan gandumnya sendiri seperti, negara-negara di Asia dan Afrika. Perkembangan tepung komposit yang cukup pesat di Afrika, membuat The African Organisationfor Standardisation (2012), mengeluarkan keputusan mengenai standar tepung komposit dengan tujuan menjamin kualitas bahan pangan tersebut untuk konsumen yang mengacu pada International Organization for Standardization. Tepung komposit harus memenuhi beberapa hal, yakni syarat umum, syarat ukuran partikel, syarat kandungan nutrisi, dan syarat kandungan asam sianida. Secara umum, tepung komposit harus homogen, bebas dari material asing, dan dapat diterima profil sensorisnya. Berdasarkan ISO 3588, tepung komposit berukuran sebesar 0,25 mm dengan kandungan asam sianida maksimal 10 ppm. Sedangkan, syarat kandungan nutrisi tepung komposit dapat dilihat pada Tabel 2.18. Tabel 2.18 Syarat Kandungan Nutrisi Tepung Komposit
Karakteristik Kadar protein minimal (%) Kadar lemak kasar minimal (% db) Kandungan serat kasar maksimal (% db) Nilai asam Kadar air maksimal (%)
Syarat 8,0 2,0 1,25 50 13,5
ISO 1871 ISO 5986 ISO 5498 ISO 7305 ISO 712
Sumber : The African Organisation for Standardisation (2012)
Perkembangan tepung komposit saat ini diantaranya yaitu snack kaya akan protein dari tepung komposit pati tapioka, tepung sorghum dan kasein (Patel et al., 2016); roti dari tepung millet dan gandum (Maktouf et al., 2016); produk ekstrusi dari tepung komposit (padi dan jagung), tepung barley, tepung kacang hijau dan tepung biji fenugreek dan bubuk daun fenugreek (Wani dan Pradyuman, 2015); tepung komposit dengan bahan baku Dioscorea alata dan Telifairia occidentalis (Ugwu) yang diolah menjadi ruckbuns, biskuit dan cake kemudian masing-masing dikaji secara kimia (proksimat dan serat kasar) serta organoleptik dan dibandingkan dengan 100% tepung terigu, sehingga nilai yang dapat dikaji yaitu penambahan proporsi tepung Dioscorea alata lebih tinggi didapatkan serat kasar lebih tinggi dibandingkan 100% tepung terigu (China et al., 2016); beberapa produk bakery (cookies, bread, biscuit, muffin) dibuat dari tepung komposit seperti tepung singkong, tepung kedelai, tepung kacang hijau (Jisha dan Padmaja, 2011; Pasha et al., 2011 dalam Astuti et al., 2014). Perkembangan produk tepung komposit non bakery salah satunya dijadikan produk mi tepung komposit berbahan dasar jagung, ubi kayu, ubi jalar dan terigu (lokal dan impor), yang mana produk tersebut dibuat perlakuan sebanyak 7 formula. Mi dari ketujuh perlakuan mengandung daya cerna pati sebesar 64,05 – 81,43% untuk yang berbasis terigu lokal dan 64,7 – 79,91% untuk yang berbasis terigu impor. Sedangkan kadar serat pangan berkisar antara 4,20 – 7,21% dan 3,95-6,46% berturut-turut untuk mi berbasis terigu lokal dan impor. Asam amino yang dominan adalah asam glutamat, asam aspartat, arginin, leusin dan lisin sehingga nilai gizinya sangat baik (Ratnaningsih et al., 2010). Aplikasi tepung komposit juga diterapkan dalam pembuatan beras analog. Salah satunya yaitu beras analog dari tepung komposit berbahan dasar tepung ubi kelapa dan tepung beras. Penambahan tepung beras yang cukup tinggi cenderung berpengaruh nyata terhadap karakteristik fisik dan organoleptik beras analog mentah, nasi analog matang hangat, dan nasi analog matang dingin yang dihasilkan. Penggunaan proporsi tepung ubi
kelapa putih yang cukup tinggi mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bau nasi analog hangat dan nasi analog dingin
(Adicandra dan Teti, 2016).
5. Pangan Fungsional Istilah “pangan fungsional” untuk pertama kalinya diperkenalkan di Jepang pada sekitar tahun 1980-an, mengacu pada pangan olahan mengandung ingredientt yang selain nilai gizi juga dapat membantu fungsi-fungsi dalam tubuh. Sampai sekarang, Jepang merupakan satu-satunya negara yang telah menyusun peraturan secara rinci mengenai pangan fungsional (Hasler, 1998). Dikenal sebagai “Food for Specified Health Use” (FOSHU), pangan tersebut diberi tanda persetujuan (approval) dari Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, dan diberi label FOSHU (Arai, 1996). Menurut Perka BPOM RI No HK.03.1.23.11.11.09909 (2011), pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu di luar fungsi dasarnya, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Global Industry Analysis memprediksi pertumbuhan produk pangan fungsional mencapai USD 130 milyar pada tahun 2015, sementara terdapat 42% produk yang diluncurkan secara global dengan memberikan klaim kesehatan (Innova Market Insights, 2013). Pangan fungsional harus mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu: (1) sensory (warna dan penampilannya menarik, citarasanya enak); (2) nutritional (bernilai gizi tinggi); dan (3) physiological (memberikan pengaruh fisiologis menguntungkan bagi tubuh). Fungsi fisiologis dari suatu pangan fungsional antara laim: (a) pencegahan timbulnya suatu penyakit yang berhubungan dengan konsumsi pangan; (b) meningkatkan daya tahan tubuh (regulating bio-defensiveness); (c) regulasi ritme kondisi fisik tubuh; (d) memperlambat proses penuaan (aging); (e) penyehatan kembali (recovery) tubuh setelah menderita suatu penyakit tertentu; (f) dan lain-lain (Muchtadi, 2012). Sifat fungsional dalam makanan fungsional disebabkan oleh adanya komponen bioaktif yang terdapat dalam bahan nabati (misalnya serat pangan, inulin, FOS dan antioksidan) ataupun bahan hewani (EPA, DHA dan CLA). Sifat fungsional juga bisa disebabkan oleh adanya mikroorganime yang memiliki sifat menguntungkan di dalam sistem pencernakan, misalnya probiotik (Marsono, 2008).
Efek kesehatan dari makanan fungsional sumber serat dan pati resisten sangat berhubungan erat dengan efek fisiologis serat pangan. Serat pangan memberikan viskositas yang tinggi pada digesta. Sifat ini dapat mengurangi absorpsi glukosa dan kolesterol, sehingga konsumssi serat pangan yang tinggi dapat mencegah diabetes maupun hiperkolesterol. Serat pangan di dalam kolon akan terfernemtasi menghasilkan SCFA (Short Chain Fatty Acids), diantaranya asetat, propionat dan butirat yang dilaporkan dapat mencegah kenaikan kolesterol (propionat) atau mencegah kanker kolon (butirat). Kapasitas pengikatan air yang besar dari serat pangan dapat mengakibatkan digesta (isi usus) ruah dan berkadar air tinggi sehingga mencegah kontipasi maupun divertikulosis. Kemampuan mengikat molekul organik dapat mengakibatkan terikatnya empedu dan akhirnya dapat menurunkan kolesterol. Dengan demikian jelas bahwa serat pangan dapat mencegah diabetes type II, mencegah hyperkolesterolemia serta menyehatkan kolon (mencegah kontipasi, divertikulosis dan kanker kolon). Pangan sumber serat pangan antara lain bekatul, sayur, buah, serealia, dan rumput laut (Marsono, 2008). Efek kesehatan inulin dan FOS (Frukto Oligo Sakarida) antara lain mengurangi konstipasi, menambah frekuensi ke belakang, melunakkan feses, menaikkan kadar air feses, meningkatkan bifidobakteri, laktobasili serta menurunkan Enterobakteri & Clostridium perfringen. Inulin dan FOS banyak terdapat dalam : bawang merah, bawang putih, pisang dan asparagus (Marsono, 2008). Antioksidan alami terdapat di berbagai bahan pangan antara lain yaitu karotenoid, flavonoid dan phenolic. Antioksidan kelompok karotenoid telah diklaim memiliki efek menyehatkan antara lain (i) dapat menetralkan radikal bebas yaitu suatu senyawa yang dapat merusak sel dan mengakibatkan timbulnya penyakit kanker, (ii) meningkatkan pertahanan oksidasi, (iii) membantu menyehatkan mata, (iv)membantu meningkatkan kesehatan prostat, serta membantu mencegah timbulnya penyakit jantung (Boileau et al.,1998 dalam Marsono, 2008). Efek kesehatan yang bisa ditimbulkan antara lain (i) meningkatkan pertahanan antioksidan tubuh, (ii) memperbaiki fungsi otak, (iii) menjaga kesehatan jantung, (iv) menetralkan radikal bebas. Isoflavon (daidzein, genistein) banyak terdapat di dalam kedelai dapat membantu mempertahankan kesehatan tulang dan otak serta meningkatkan kekebalan (Marsono, 2008). Vitamin E juga termasuk ke dalam
golongan antioksidan. Vitamin E memeiliki fungsi antioksidan yang signifikan pada membrane sel dan lipoprotein. Banyak peenlitian membuktikan bahwa vitamin E membantu menurunkan resiko penyakit jantung koroner, kanker dan penyakit kronik lainnya (Papas, 1999). PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) dan CLA (Conjugated Linoleic Acids) merupakan komponen bioaktif yang banyak terdapat pada bahan pangan hewani. PUFA khususnya asam lemak Omega 3, banyak terdapat dalam salmon, tuna dan beberapa hewan laut lainya, berpotensi untuk merungurangi resiko penyakit jantung koroner, dan memabantu memperbaiki kesehatan mental dan fungsi pengelihatan. Sedangkan CLA banyak terdapat dalam daging domba dan sapi serta keju, dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, menekan pertumbuhan tumor lambung (Hasler, 2004). Prebiotik didefinisikan sebagai ingridien pangan tak tercerna yang mempunyai efek menguntungkan bagi inang yang mengkonsumsinya dengan perangsangan selektip pada pertumbuhan dan atau aktivitas salah satu atau beberapa bakteri di dalam kolon, sehingga dapat mencegah kanker kolon dan meningkatkan kesehatan (Gibson and Roberfroid, 1995). Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu indeks glikemik dari makanan. Indeks glikemik (IG) merupakan ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah. Semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya terhadap kenaikan gula darah (Marsono, 2002).
Skala indeks glikemik yaitu 0-100. Indeks
glikemik disebut rendah jika berada pada skala <50, indeks glikemik sedang jika nilainya 50-70 dan indeks glikemik tinggi jika pada skala >70 (Kurniadi dan Ulfa, 2014). 6. Karakteristik Fisik a. Daya Serap Air Daya serap air (rehydration weight) merupakan kemampuan suatu bahan untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan (Astawan, 2006 dalam Yunita et al., 2013). Daya serap air tepung perlu diketahui dalam penyusunan formula adonan. Penambahan air pada pembuatan adonan roti disesuaikan dengan daya serap air tepung. Penetapan daya serap air tepung juga dapat digunakan untuk menilai mutu terigu. Daya serap air tepung terigu sekitar 60% dianggap baik, Semakin rendah daya serap air tepung, semakin rendah mutu tepung tersebut (Muchtadi at al., 2013).
Komponen amilosa berkaitan dengan daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk. Molekul amilosa akan memiliki karakteritik jika diestruksi akan membentuk ekstrudat yang rapat, keras, dan kurang mengembang secara radial. Kandungan amilosa yang tinggi juga berpotensi digunakan sebagai bahan baku produk instan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin tinggi daya rehidrasi produk. Peningkatan daya rehidrasi produk berkaitan dengan peningkatan gugus hidrofilik yang memiliki kemampuan menyerap air lebih besar (Hidayat et al., 2007). Daya serap air sangat penting peranannya dalam makanan panggang karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Di samping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti. Daya serap air dan lemak penting dalam pembuatan produk daging tiruan karena dapat menyebabkan perubahan tekstur tepung kering (bahan dasar untuk membuat daging tiruan) menjadi kental berserat menyerupai tekstur daging dan berperan dalam penyerapan cita rasa atau flavor daging yang ditambahkan (Koswara, 1992 dalam Putri, 2010). b. Swelling Power Swelling power merupakan suatu sifat yang mencirikan daya kembang suatu bahan, dalam hal ini yaitu kekuatan tepung untuk mengembang. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai, dan distribusi berat molekul. Apabila kadar amilosa lebih tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap banyak air (higroskopis). Besarnya swelling power untuk setiap tepung berbeda karena swelling power sangat menentukan sifat dan kegunaan dari tepung (BeMiller et al., 1997). Swelling power terjadi jika pati pada keadaan berlebihan air dan suhu suspensi pati meningkat di atas rentang tertentu, ikatan hidrogen molekul terganggu, molekul air akan terikat dengan gugus hidroksil pada amilosa dan amilopektin sehingga granula pati akan semakin membesar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan ikatan-ikatan hidrogen
yang menghubungkan moleku-molekul amilosa dan
amilopektin semakin melemah dengan peningkatan suhu pemanasan sehingga menganggu kekompakan granula pati. Peningkatan suhu menyebabkan molekul-
molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula pati (Indrastuti et al., 2012). c. Oil Holding Capacity (OHC) Oil Holding Capacity (OHC) merupakan jumlah minyak yang ditahan serat setelah pencampuran, inkubasi dengan minyak dan sentrifugasi (Elleuch, 2011). Kapasitas penyerapan minyak menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat minyak. Kapasitas penyerapan minyak pada tepung berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein, akan semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Campuran minyak dan pati akan mempengaruhi sifat fisik pati karena minyak dan lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa yang menghambat pembengkakan granula sehingga pati sulit tergelatinisasi (Fennema, 1985 dalam Rohmah, 2012). Penyerapan minyak goreng pada bahan pada proses penggorengan dipengaruhi oleh kehalusan partikel tepung. Semakin kasar partikel tepung, maka akan semakin rendah tingkat penyerapan minyak goreng oleh bahan pada proses penggorengan. Hal ini dapat disebabkan semakin kasarnya partikel tepung atau semakin luas permukaan partikel, maka semakin sedikit kemungkinan air yang dapat terserap oleh bahan selama pembuatan adonan, sehingga produk hasil penggorengan memiliki struktur lebih mekar dan porus, lebih sedikit pula minyak goreng yang dapat terserap dan terperangkap dalam produk (Nurani et al., 2013). d. Water Holding Capacity (WHC) Water Holding Capacity (WHC) merupakan jumlah air yang dapat dipertahankan oleh 1 gram serat pada kondisi suhu, lama sentrifugasi yang telah ditetapkan (Fleury dan Lahaye, 1991). Water Holding Capacity merupakan indikator untuk mengetahui kemampuan suatu bahan dapat dimasukkan ke dalam formula makanan yang mengandung air. Serat pangan dengan WHC yang tinggi dapat ditambahkan pada makanan untuk menghindari sineresis yaitu suatu fenomena dimana keluarnya cairan dari gel (Grigelmo-Miguel et al., 1999). Serat pangan terutama serat tidak larut memiliki sifat mampu menahan air (water holding capacity). Polisakarida mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air karena adanya residu gula yang mempunyai gugus polar. Pektin, gum,
mucilages dan sebagian hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air yang tinggi. Kemampuan hidrasi serat dapat menyebabkan terbentuknya matriks gel. Hal ini dalam usus halus dapat meningkatkan viskositas isi usus halus dan dapat memberikan efek memperlambat pengosongan usus, difusi dan absorpsi zat gizi. Hal ini disebabkan karena nutrien yang larut air akan terperangkap di dalam matriks gel sehingga difusi nutrien dalam usus halus berjalan lambat atau hanya sebagian nutrien yang dapat terabsorbsi (Schneeman, 1986 dalam Pangestika, 2016). 7. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas dapat terhambat. Antioksidan juga dapat diartikan sebagai bahan atau senyawa yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi pada substrat atau bahan yang dapat teroksidasi, walaupun memiliki jumlah yang sedikit dalam makanan atau tubuh jika dibandingkan dengan substrat yang akan teroksidasi. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa oksigen reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut dengan stres oksidatif (Mar’atirrosyidah dan Estiasih, 2015). Antioksidan dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan kelarutan, yaitu antioksidan larut dalam air dan yang larut dalam lemak. Antioksidan yang larut dalam air meliputi vitamin C dan asam urat, sedangkan antioksidan yang larut dalam lemak meliputi ubiquinon, tokoferol dan karpotenoid, glutation, sulfhidiril (GSH), karotenoid, retinoid, tokoferol dan flavonoid. Antioksidan dapat berbentuk senyawa gizi, seperti vitamin E dan vitamin C, serta dapat berupa zat non gizi seperti enzim (glutation peroksida, koenzim Q10) dan pigmen (karotenoid, likopen, flavonoid, klorofil dan polifenol) (Prakash, 2001). Penentuan kandungan antioksidan dapat dilakukan dengan metode DPPH. DPPH adalah radikal bebas stabil berwarna ungu yang digunakan secara luas untuk pengujian kemampuan penangkapan radikal bebas dari beberapa komponen alam seperti komponen
fenolik, antosianin atau ekstrak kasar. Metode DPPH berfungsi untuk mengukur elektron tunggal seperti transfer hidrogen sekaligus juga untuk mengukur aktivitas penghambatan radikal bebas (Miryanti et al., 2011). Prinsip dari uji DPPH yaitu DPPH akan menerima elektron atau radikal hidrogen dan akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH, baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Terdapat tiga langkah mekanisme reaksi senyawa antioksidan dengan DPPH. Langkah pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang tersubstitusi dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen untuk mereduksi DPPH. Langkah berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen yang akan bereaksi kembali dengan radikal DPPH. Langkah terakhir adalah pembentukan kompleks antara radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensi reaksi dari struktur molekulnya (Bintang, 2010). Mekanisme reaksi senyawa antioksidan dengan DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Mekanisme reaksi senyawa antioksidan dengan DPPH (Brand-Williams, 1995 dalam Sanger, 2014) 8. Fenol Senyawa fenol merupakan kelas utama antioksidan yang berada dalam tumbuhtumbuhan. Kandungan senyawa fenolik banyak diketahui sebagai terminator radikal bebas. Pada umumnya kandungan senyawa fenolik berkorelasi positif terhadap aktivitas antiradikal (Marinova dan Batcharov, 2011). Salah satu jenis golongan senyawa fenol yaitu polifenol. Polifenol adalah salah satu kategori terbesar dari fitokimia dan paling banyak penyebarannya di antara kingdom tanaman. Beberapa polifenol berperan sebagai antioksidan dengan mengkelat ion logam sehingga dapat mengurangi kapasitas logam untuk menghasilkan radikal bebas. Polifenol dapat dikatakan sebagai antioksidan jika memenuhi dua kondisi, antara lain (1) ketika ada dalam konsentrasi rendah yang relatif terhadap substrat yang akan dioksidasi, polifenol dapat menghambat, mencegah, mengurangi auto-okisidasi atau oksidasi yang dimediasi radikal bebas, dan (2) bentuk hasil radikal setelah scavenging harus stabil untuk mengganggu reaksi rantai okisidasi (Furham dan Aviram, 2002). Polifenol pada tanaman lima beans atau koro glinding memiliki kandungan total fenol tinggi yang selaras dengan aktivitas antioksidan pada koro-koroan tersebut. Hal ini memungkinkan memberikan manfaat bagi manusia. Jenis koro glinding putih memiliki kandungan polifenol terendah, sedangkan golongan kedua adalah jenis koro linding yang memiliki kandungan fenol tidak terlalu banyak atau tidak sedikit (medium level), koro glinding yang memiliki fenol yang tinggi adalah koro glinding coklat, merah muda, dan koro glinding hitam (Costa et al, 2015). Selain polifenol, asam galat (asam 3,4,5 – tri hidroksil benzena) termasuk dalam senyawa fenolik dan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Penentuan kandungan fenolik total dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu (Lee et al. 2003). Metode ini berdasarkan kekuatan mereduksi dari gugus hidroksi fenolik. Semua senyawa fenolik termasuk fenol sederhana dapat bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteu, walaupun bukan penangkap radikal (antiradikal) efektif. Adanya inti aromatis pada senyawa fenol dapat mereduksi fosfomolibdat fosfotungtat menjadi molibdenum yang berwarna biru
(Huang et al., 2005).
Gambar 2.6 Mekanisme Folin-Ciocalteu dengan Fenol (Hardiana et al., 2012) Antioksidan fenolik (PPH) menghambat peroksidasi lemak dengan mendonasi cepat atom hidrogen ke radikal peroksi (ROO.) sehingga menghasilkan formasi alkil hidroperoksida (ROOH). Berikut adalah reaksinya: ROO’ + PPH → ROOH + PP’ Radikal fenoksil polifenol (PP’) yang dihasilkan dapat distabilkan lebih lanjut dengan mendonasikan atom hidrogen dan pembentukan kuinon, atau dengan bereaksi dengan radikal lain, termasuk radikal fenoksil lain, sehingga mengganggu proses reaksi inisiasi rantai baru (Furham dan Aviram, 2002). 9. Serat Pangan The American Association of Cereal Chemist (AACC) pada tahun 2000 mendefinisikan serat pangan sebagai “bagian tanaman dapat dimakan atau analog karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh usus halus manusia, tetapi dapat dicerna (difermentasi) sebagian atau seluruhnya dalam usus besar”. Golongan serat pangan diantaranya polisakarida, oligosakarida, lignin dan komponen tanaman lain. Serat pangan memberikan efek fisiologis menguntungkan, termasuk laktasif, menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan menurunkan kadar gula darah (Tungland dan Meyer, 2002). Secara umum, serat pangan digolongkan berdasarkan sifat kelarutan serat pangan dalam air, yaitu serat pangan larut air dan serat pangan tidak larut air. Sifat yang berhubungan dengan kelarutan serat pangan dalam air adalah kemampuan dapat atau tidaknya serat pangan untuk difermentasi oleh mikroflora usus (Muchtadi, 2012). Serat pangan larut air adalah serat pangan yang dapat difermentasi oleh miklofora usus (Muchtadi, 2012). Golongan serat pangan larut air diantaranya yaitu polisakarida non pati, SCFA, psyllium, propionat, dan sebagainya. Golongan polisakarida yang tidak
dapat dicerna terdiri dari semua Polisakarida Non Pati (PNP) yang tahan terhadap pencernaan dalam usus halus, tetapi dapat difermentasi dalam usus besar. Polisakarida yang tergolong sebagai PNP antara lain selulosa yang mempunyai ikatan β-glikosida, gula-gula non-glukosa (hemiselulosa; misalnya arabinoksilan dan arabinogalaktan); gula asam (pektin); gum dan mucilage. Contoh oligosakarida resisten, misalnya fruktan (inulin dan oligofruktosa atau frukto-oligosakarida, FOS), dikarakterisasi sebagai karbohidrat dengan derajat polimerisasi (DP) yang rendah dibandingkan PNP. FOS berbeda dengan fruktopolisakarida (inulin) hanya dalam panjang rantainya. Dalam ilmu kimia, oligosakarida didefinisikan sebagai karbohidrat yang mempunyai DP antara 3 sampai 10 (Englyst at al., 1995 dalam Muchtadi, 2012). Serat pangan larut air pada umumnya akan membentuk larutan kental dalam usus (misalnya gum guar, kecuali gum arab dan inulin) namun beberapa jenis lainnya akan membentuk gel (misalnya pektin) (Tungland dan Meyer, 2002). Oleh karena itu, serat pangan larut air memberikan viskositas tinggi dalam usus besar, sehingga mempunyai potensi untuk mengurangi respons glisemik (Jenkins et al., 1977) serta meningkatkan sensitivitas insulin (Fukagawa et al., 1990). Serat pangan larut air dapat memberikan pengaruh kesehatan terhadap penyakit kardiovaskuler. Mekanisme penurunan kadar kolesterol oleh serat pangan larut air, misalnya psyllium, oat dan pektin yaitu serat pangan tersebut dapat mengikat asam empedu sehingga akan meningkatkan ekskresinya (melalui feses) serta menurunkan sintesis kolesterol dalam hati (Forman et al., 1968). Efek hipokolesterolemik serat pangan juga disebabkan adanya SCFA yang dihasilkan dari fermentasi serat. SCFA dapat diserap oleh usus besar; butirat dapat digunakan oleh sel-sel mukosa usus dan propionat digunakan oleh sel-sel hati, sedangkan asetat akan diangkut oleh darah ke seluruh tubuh (peripheral circulation). Propionat dapat menghambat metabolisme asam lemak, yang mempunyai peranan penting dalam sintesis kolesterol
(Nishina dan Freeland, 1990 dalam Muchtadi, 2012).
Propionat dibentuk sebagai hasil fermentasi inulin, menurunkan kapasitas hati untuk sintesis asam lemak dan trigliserida, melalui penghambatan aktivitas enzim, terutama gliserol-3-fosfat-asetil-transferase dan enzim sintase asam lemak. Rendahnya kadar glukosa dan insulin dalam darah tikus yang diberi pakan inulin mempunyai
kontribusi pada menurunnya sisntesis asam lemak dan trigliserida dalam hati (Kok et al., 1996). Menurut Ascherio et al. (1992), berpendapat bahwa sebagai tambahan pada kandungan lipid dalam darah, terbukti adanya hubungan terbalik antara konsumsi serat pangan dengan hipertensi, sedangkan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit jantung koroner. Serat pangan larut air juga memberikan pengaruh terhadap penyskit yang bersifat toksin. Penggunaan serat pangan larut air menyebabkan terjadinya perubahan jumlah dan jenis bakteri, sehingga terjadi perubahan aktivitas metabolisme dalam menurunnya pembentukan genotoksin, karsinogen dan promotor tumor (Tungland dan Meyer, 2002). Serat pangan tidak larut air adalah serat pangan yang kurang atau tidak dapat difermentasi oleh miklofora usus. Senyawa yang digolongkan sebagai serat pangan tidak larut adalah lilin (waxes) dan kutin (cutin) tanaman. Komponen tersebut dapat ditemukan sebagai lapisan lilin pada permukaan dinding sel tanaman, tersusun dari asam lemak hidroksi rantai panjang dan lurus yang bersifat sangat hidrofobik. Senyawa lainnya yang juga tergolong sebagai serat pangan adalah suberin. Meskipun belum dikarakterisasi secara lengkap, dipercaya bahwa senyawa ini merupakan molekul sangat bercabang dengan ikatan menyilang yang mengandung fenolik polifungsional asam hodroksi polifungsional dan asam dikarboksilat serta mempunyai ikatan ester dengan dinding sel tanaman (Kolattukudy,1981 dalam Muchtadi, 2012). Serat pangan tidak larut air mempunyai kapasitas menahahan air (WHC) yang tinggi (misalnya selulosa). Viskositas yang tinggi umumnya berhubungan dengan perlambatan laju pengosongan perut (lambung) dan peningkatan waktu retensi dalam usus halus. Serat pangan tidak larut air, juga memberikan pengaruh langsung dalam usus besar dengan cara memperbaiki laksasi, mengurangi waktu transit feses, meningkatkan massa feses dan mengikat senyawa seperti asam empedu dan karsinogen (Tungland dan Meyer, 2002). Butrum et al. (1988) menyatakan bahwa rekomendasi The National Cancer Institute didasarkan atas data hasil penelitian yang menyebutkan bahwa makanan yang mengandung serat memberikan perlindungan terhadap timbulnya penyakit kanker usus besar dan rektum. Untuk itu, direkomendasikan bahwa orang dewasa harus meningkatkan konsumsi serat pangan dari 20 gr menjadi 30 gr per hari, tetapi jangan melebihi 35 gr per
hari. Masyarakat Amerika Serikat pada waktu tersebut mengonsumsi sekitar 10 sampai 15 gr serat pangan per hari (Marlett dan Slavin, 1997). Rekomendasi konsumsi serat pangan dari lembaga-lembaga lain dapat dilihat pada Tabel 2.16.
Tabel 2.19 Rekomendasi Konsumsi Serat Pangan Sumber USDA & USFDA
Tahun Rekomendasi 1993 TDF 25 gr/ hari
Rekomendasi NLEA 1988 untuk kesehatan kardiovaskuler, National Cancer Institute Federation of 1987 American Society of Experimental Biology
American Dietetic 1988 Association Nordisk Ministerrad 1989
Komentar SDF 0,6 gr/ sajian 2000 Kkal makanan TDF 20-30 Dari biji-bijian utuh, gr/hari buah-buahan, sayuran
TDF 25-35 gr/ 10-13 gr/ 1000 Kkal. hari Konsumsi bermacamIDF 70-35% macam produk SDF 25-30% biji-bijian utuh, buah-buahan dan sayuran TDF 20-35 gr/ hari 12,5 gr/ 1000 Sekitar 30 gr/ hari
Standing Nordic Committee on Food, Dutch RDA (Voedingsraad) British National Advisory United Kingdom Departement of Health Expert Advisory Committee on DF Health & Welfare Canada German RDA
Kkal/ hari
untuk dewasa
1986
TDF 30 gr/ hari
1991
18 gr NSP/ hari Tidak termasuk inulin (kisaran 12dan pati resisten 24 gr/ hari) TDF-curreny Level pada tahun 1985 intake sekitar 5,8-8 gr/ 1000 Kkal
1991
1985
12,5 gr/ 1000 Sekitar 30 gr/ hari Kkal/ hari untuk dewasa
Sumber: Tungland dan Meyer (2002) dalam Muchtadi (2012)
10. Pati Resisten Pati resisten (Resistant Starch) sering diidentifikasi sebagai fraksi pati makanan yang sulit dicerna di dalam usus halus sehingga memiliki fungsi untuk kesehatan. RS memiliki sifat seperti halnya serat makanan, sebagian serat bersifat tidak larut dan sebagian lagi merupakan serat yang larut (Asp, 1992 dalam Herawati, 2011). Pati resisten (RS) dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe, yaitu RS1, RS2, RS3, RS4 dan RS5. RS1 secara fisik dapat diperoleh secara langsung,seperti pada biji-bijian atau leguminosa dan biji yang tidak diproses. RS2 secara alami terdapat didalam struktur granula, seperti kentang yang belum dimasak, juga pada tepung pisang dan tepung jagung yang mengandung banyak amilosa. RS3 terbentuk karena proses pengolahan dan pendinginan, seperti pada roti, emping jagung dan kentang yang dimasak atau didinginkan, atau retrogradasi amilosa jagung. RS4 merupakan pati hasil modifikasi secara kimia melalui asetilasi dan hidroksipropilasi maupun pati ikatan silang sehingga tahan dicerna.RS1 secara fisik merupakan pati yang terperangkap di antara matriks, protein atau dinding sel tanaman.RS2 granula pati tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase yang terdapat dalam pankreas.RS3 merupakan pati retrogradasi, nonanguler atau pati untuk makanan. RS4 yaitu RS yang memiliki ikatan selain α-1,4- dan α-1,6-Dglukosidik (Shi et al., 2006 dalam Herawati, 2010). RS5 merupakan pati yang terbentuk antara ikatan lemak dengan amilosa (Kusnandar, 2011). Menurut Baghurst et al. (1996) dalam Muchtadi (2012), kemungkinan manfaat pati resisten untuk kesehatan, misalnya mengontrol kadar gula darah dan kolesterol,
mengontrol berat badan dan manajemen konsumsi energi, mencegah terjadinya kelainan pada usus serta mencegah timbulnya kanker kolon. Fermentasi pati resisten dalam usus besar menghasilkan asam butirat dalam jumlah relatif tinggi. Asam butirat dapat menghambat tumorigenesis dan dapat menyehatkan permukaan usus besar. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa pati resisten dapat menghambat karsinogen pada usus besar tikus yang diinduksi secara kimia (Caderni et al., 1994). Pati resisten dapat difermentasi oleh mikrobiota usus besar pada percobaan in vitro menggunakan slurry feses manusia. Pati resisten juga dapat meningkatkan kekambaan feses, yang mungkin akibat meningkatnya massa bakteri dalam feses (Botham et al., 1998 dalam Muchtadi, 2012). Konsumsi pati resisten atau maltodekstrin resisten, dapat menstimulir pertumbuhan bakteri spesifik yang menguntungkan bagi kesehatan yaitu bakteri Bifidus dan Lactobacillus (Tungland dan Meyer, 2002).
b. Kerangka Berpikir Koro Glinding
Uwi
· · · · · ·
· ·
Potensi produksinya dapat mencapai 40 ton/ha Syarat tumbuh sangat luas Tinggi karbohidrat namun rendah protein Kaya serat, vit C dan fosfor Mengandung antioksidan dan IG rendah Mengandung senyawa bioaktif dioscorin, diosgenin, dan polisakarida larut air
· · · · ·
Mudah dibudidayakan Produktivitas biji keringnya cukup tinggi Tinggi protein dan karbohidrat Terbukti dapat menurunkan gula darah pada tikus Kaya asam amino dan mineral
Tepung Terigu
· · ·
·
· Pengolahan di Indonesia belum optimal Ketersediannya di Indonesia semakin berkurang dan diabaikan
Indonesia, negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir. Konsumsi terigu semakin meningkat. Nilai impor gandum mencapai lebih dari Rp 30 trilyun, sehingga devisa negara banyak terkuras karena impor gandum Terigu mengandung gluten yang dapat menyebabkan alergi gluten dan tidak dapat dikonsumsi penderita autis Tidak mengandung senyawa fungsional
Daya simpan rendah
Tepung
Perlu inovasi tepung baru
Tepung Komposit Uwi dan Koro glinding
Gambar 2.7 Kerangka Berpikir c. Hipotesis Variasi tepung komposit dari uwi dan koro glinding berpengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia dan senyawa fungsional.