Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
AGAMA, MEDIA, DAN KEKUASAAN: ANALISIS ISU AGAMA DALAM PILPRES RI 2014 Amirul Hasan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Kertamukti No. 5 Ciputat Email:
[email protected]
Abstrak: Pada tahun 2014, untuk keempat kalinya Indonesia kembali menggelar pemilihan presiden. Kontestasi ini tidak hanya melibatkan isu kekuasaan sebagai tujuan, media sebagai instrument, juga menguatnya isu-isu teologis agama. Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kepustakaan (library research), diperoleh simpulan bahwa, media memiliki peranan yang sangat signifikan, tidak hanya dalam menyampaikan berbagai informasi proses pelaksanaan Pilpres, juga berbagai isu yang dimainkan oleh pihak yang berkepentingan. Keberadaan media, dalam banyak hal menggeser peranan partai politik dalam memengaruhi dan memersuasi pemilih. Terwadahi oleh media, agama dan simbol-simbol yang dilahirkannya sering dijadikan legitimasi oleh elit politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Agama bisa menjadi sumber daya politik yang efektif bagi elit dan aktor politik untuk meraih dukungan elektoral atau mendulang suara dalam kontestasi dan suksesi. Sebaliknya, agama juga bisa menjadi alat untuk mendelegitimasi kekuasaan sebuah rezim.
Abstract: In 2014, Indonesia conducted the fourth Indonesian president election. This contestation not only engaging power issue as the goal, media as the instrument, but also the strengthening of theology of religion issue. After carrying out a research with qualitative approach and library research method, the researcher concluded that media had significant role either to deliver the information about Indonesian president election process or to deliver some issues which had deliberately generated on behalf of certain parties. The existence of media has replaced the function of political party in persuading and influencing the voters. Embodied in media, religion and its generated symbols became sources of legitimation to retake or to defend the status quo by most of political elites. Thus religion had become effective political resources to the elites or political actors to gain electoral support or obtaining votes in such contestation and succession. Religion otherwise has been able to be a decisive tools to delegitimize power of an ongoing regime.
Kata kunci: media, demokrasi, agama, pemilu
93
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
PENDAHULUAN Amerika Serikat, negara yang mengklaim sebagai negara paling pluralis sekali pun, liputan media tentang agama masih mendapat peran dalam wacana politik, khususnya pemilihan umum. Dalam pemilu, media sering kali meliput afiliasi agama, hubungan dengan para tokoh agama terkemuka dan pandangan umum mengenai isu-isu penting bagi kelompok agama tertentu dari para kandidat. Media turut dan memiliki andil dalam memengaruhi cara pandang masyarakat Amerika terhadap agama.1 Liputan pemilu di Amerika, agama, terutama Islam dan Mormonisme kerap diperlakukan sebagai pengganjal seorang kandidat yang akan maju dalam pemilihan, baik itu presiden maupun pemilihan senator. Dalam rilis yang dikeluarkan Pew Forum
on Religion and Public Live, cerita bahwa Senator Barack Obama adalah Muslim mengisi sepertiga dari berita kampanye yang fokus pada agama pada 2008. Dampaknya, dalam survei yang dilakukan pada tahun 20008, ada 12 persen yang mempercayai Obama sebagai penganut agama Islam. Persepsi itu bahkan meningkat menjadi 18 persen pada Agustu 2010.2 Setali tiga uang, isu agama juga laku dalam pemilihan umum di Indonesia, baik pemilu legislatif, maupun pemilu presiden. Di media sosial maupun media mainstream, isu agama sangat merebak guna memengaruhi preferensi dan pilihan politik masyarakat. Kampanye negatif (negative campaign) melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter yang bernada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) juga sangat mengemuka. Strategi ini dilakukan kelompok Islam tertentu untuk menghadang calon legislatif Islam yang tidak beraliran mainstream. Beberapa yang menjadi “korban” kampanye negatif ini adalah Jalaluddin Rakhmat (Caleg DPR RI PDI-P, Dapil Jabar II) dan Asri Rasjid (Caleg DPRD Sulut dari PKS, Dapil II) sebagai orang Syiah. Selain itu ada Zuhairi Misrawi B. Misrawi (Caleg DPR RI PDI-P, Dapil Jatim XI) dan Ulil Abshar Abdalla (Caleg DPR RI Partai Demokrat, Dapil Jateng III) yang dicap sebagai representasi Islam liberal. Isu agama dalam Pilpres juga sangat mencuat. Selain kampanye hitam yang mendeskreditkan personal calon presiden, agama juga menjadi strategi untuk menggaet
1
Nadia S. Mohammad, “Bisakah Media AS Temukan Titik Kesamaan dalam Agama dan Politik”, http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31900&lan=ba& sp=1 artikel elektronik, diakses 19 Juni 2014. 2 http://www.pewforum.org/2010/08/18/growing-number-of-americans-say-obama-is-a-muslim/ diakses pada 19 Juni 2014.
94
Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
dukungan. Hampir semua calon presiden melakukan kunjungan kepada tokoh-tokoh agama seperti mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Maarif, tokoh NU K.H Mustofa Bisri, dan K.H Maimun Zubair. Secara implisit, kunjungan tersebut memang kunjungan silaturrahmi biasa, tapi secara eksplisit kunjungan itu tentu saja sarat akan muatan politik. Bahkan, beberapa di antara petinggi kelompok agama itu, secara terang-terangan menjadi pendukung, atau bahkan tim sukses dari pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tidak hanya itu, pasangan calon presiden dan wakil presiden pun kerap menampakkan diri melalui media, bagaimana mereka beribadah, menjadi imam shalat, atau mengucapkan salam pembuka khas agama tertentu, baik Islam ataupun agama yang lain. Konteks ini menunjukkan betapa media, agama dan politik memiliki relasi yang kuat dalam kontestasi pemilihan presiden tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini, dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang hubungan antara agama, media dan kekuasaan dengan mencoba melihat kasus pada Pilpres RI 2004. Guna mengetahui hubungan dari komponen yang ada dalam penelitian ini digunakannlah penelitian kualitatif. Dimana penelitain kualitatif adalah penelitian dengan menggunakan data yang sudah ada pada dokumen-dokumen, seperti peraturan perundag-undangan, peraturan-peraturan yang berlaku dan yang sejenisnya seperti buku-buku, majalah, koran, artikel, makalah, dan internet. Menurut Bogdan dan Tailor dalam bukunya Meleong, metode kualitatif didefinisakan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut 3
secara holostik (utuh).
Selain itu untuk mempermudah dan memperkaya informasi dalam menunjang data-data yang sudah ada penelitian ini juga menggunakan kajian kepustakaan (library
research). Dengan demikian, data-data dikumpulkan melalui studi pustaka4. Setelah data-data yang diperlukan tersebut dikumpulkan, ditelaah dan dianalisa dengan studi kepustakaan yang meliputi penelusuran sejumlah sumber data 3
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,1991),cet
ke-III, 3. 4
Studi pustaka maksudnya, data dan bahan kajian yang dipergunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa buku cetak, ensiklopedi, jurnal, majalah, surat kabar, electronic books maupun yang lainnya.
95
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
(literatur), selanjutnya data yang sudah dianalisis itu akan ditafsirkan untuk menemukan hubungan dan keterkaitan antar komponen. Sehingga metode penarikan kesimpulan dalam penelitian ini bersifat deduktif yaitu dari umum ke khusus. Walaupun proses deduktif ini barangkali tidak akan mengandung sesuatu yang baru akan tetapi dapat membantu pemahaman tentang fakta-fakta strategi kampanye dalam memenangkan pemilu sehingga dapat mengungkap realitas-realitas yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Kuat Media Media massa kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate).5 Sebutan ini berlandaskan pada peranannya sebagai saluran komunikasi politik, yang memungkinkan setiap warga negara mengetahui berbagai isu penting soal politik dan kenegaraan, sekaligus sebagai alat untuk menyuarakan kepentingan warga negara kepada pemerintah. Bahkan, media - khususnya majalah dan surat kabar yang secara kolektif disebut sebagai ‘pers’6 - memungkinkan untuk “mengatur agenda politik” suatu negara.7 Media dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya selalu berjalan beriringan melewati sejarah yang panjang. Media tanpa demokrasi akan mengalami kejumudan, sebaliknya, demokrasi tanpa kebebasan pers adalah omong kosong. Keberadaan media massa juga menjadi indikator demokratis atau tidaknya sebuah negara. Jika media di sebuah negara mendapat ruang yang bebas untuk “bersuara” maka negara tersebut bisa dikatakan demokratis. Sebaliknya, jika
5
Istilah ini dipopulerkan oleh Thomas Carlyle, seorang sejarawan sekaligus penulis asal Skotlandia (4 Desember 1795 – 5 February 1881). Istilah ini ia rujuk dari Edmund Burke, seorang pemikir politik, pengarang, sekaligus orator ulung asal Irlandia, yang pertama kali mengeluarkan istilah ini dalam debat parlemen ketika menyampaikan laporan pers di Parlemen Inggris Raya tahun 1787. Lihat Julianne Schultz, Reviving the Fourth Estate (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), h. 49. 6 Istilah media massa lazim digunakan untuk mengganti istilah pers, yang sesuai maknanya, lebih menekankan pada media cetak saja. Namun, dalam perkembangannya, istilah pers juga merujuk kepada media cetak dan media elektronik. Lihat I Gusti Ngurah Putra, “Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia,” Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 3, Nomor 2 (Juni 2004), h.131. Artikel elektronik, diakses dari http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/ article/ view/ 235/324 pada 14 April 2014. 7 Krishna Sen and David T.Hill, Media, Culture, and Politic in Indonesia (Jakarta & Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2007), 51.
96
Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
pemerintah terlalu jauh campur tangan terhadap media, bahkan mengekang dan membatasi, maka sematan otoritarian akan melekat pada negara tersebut.8 Demokrasi baru dapat dikatakan berhasil ketika masyarakat well informed dalam memberikan aspirasi politiknya. Dalam kehidupan demokrasi, media massa atau pers dituntut untuk menjadi lembaga yang ikut memperkuat demokrasi melalui peliputan kehidupan politik yang mencerahkan dan mendidik bagi publik sehingga mereka dapat memberikan dukungan politis yang berkualitas.9 Media dan Kekuasaan Media memiliki peranan yang sangat strategis dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Sukarno bahkan menyebutnya sebagai ‘alat revolusi’ yang bertanggungjawab menyemangati dan memobilisasi publik di awal-awal kemerdekaan. Sebelumnya, pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, koran-koran yang kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda menjadi pers perjuangan, mereka berkomitmen untuk terus menyuarakan kemerdekaan sehingga akhirnya gaung kemerdekaan membahana di pelosok negeri.10 Ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, pers menjadi bagian penting untuk melanggengkan rezim. Pemerintah menuntut pers turut serta memelihara keamanan nasional serta menjadi penjaga Pancasila. Pemerintah juga menghendaki pers Indonesia ‘bebas dan bertanggungjawab’, berbeda dengan Barat yang ‘liberal’ dan tidak memiliki rasa hormat dan tanggungjawab. Pers tidak boleh lagi berwarna dan mengartikulasikan kepentingan partai politik tertentu.11 Pers harus menjadi ‘mitra’ dalam percepatan pembangunan, dalam artian, harus mendukung pemerintah dan menghindari perdebatan politik. Siapa pun yang membangkang, maka pembredelan adalah konsekuensinya. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP) menjadi senjata ampuh pemerintah untuk mengekang pers.12
8
Premis ini lazim ditemui dalam buku-buku studi media dan komunikasi, lihat misalnya dalam Denis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction, first edition (London: Sage, 1983), 2021. 9 I Gusti Ngurah Putra, “Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia,” 132. 10 Krishna Sen and David T. Hill, Media, Culture and Politic in Indonesia, 52. 11 Kondisi ini berbeda dengan kebijakan Sukarno di penghujung kekuasaanya yang menghendaki pers berafiliasi resmi dengan partai politik, golongan atau kelompok masyarakat. Pada masa itu banyak partai politik yang menjadi sponsor sebuah surat kabar. Namun demikian, ketika kebijakan ini dicabut, pemerintahan Orde Baru sepertinya tidak konsisten, Golongan Karya (Golkar) yang notabene ‘partai’-nya pemerintah justru mendirikan Harian Suara Karya. 12 Krishna Sen and David T. Hill, Media, Culture and Politic in Indonesia, 53.
97
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
Media menemukan momentum kebebasannya setelah kekuasaan Suharto tumbang medio 1998. Pada masa kepemimpinan B.J. Habibie, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers lahir dan menggantikan UU Pokok Pers yang lama. Pada masa itu, tidak dibutuhkan lagi Surat Izin Penerbitan (SIUP), tidak ada lagi penyensoran, tak ada lagi pembredelan dan pelarangan penyiaran. Sejak saat itu, pers Indonesia memiliki kebebasan
untuk
mengungkapkan
pikiran
dan
pendapatnya.
Mereka
dapat
mengartikulasikan apa saja dan kepentingan siapa saja. Imbas lain dari proses reformasi adalah semakin menjamurnya jumah media massa. Data yang dilansir Dewan Pers Republik Indonesia, pada tahun 2010, ada 1448 media massa yang terdiri dari 378 radio, 118 televisi, 306 media cetak harian, 389 media cetak mingguan, dan 257 media cetak bulanan. 13 Sayangnya, keran kebebasan pers yang terbuka sedemikian lebar dan diiringi pertumbuhan jumlah media massa ini tak lantas membuat media massa benar-benar terbebas dari belenggu ‘kekuasaan’. Baik itu kekuasaan politik maupun kekuasaan pemilik modal. Akibatnya, kerap kali terjadi politisasi informasi di kalangan media. Media massa memang memiliki dua wajah yang berimplikasi pada orientasi keberadaanya, yaitu sebagai intitusi bisnis dan institusi sosial. Di satu sisi ia menjadi korporasi yang berorietasi ke dalam (inward looking), untuk profit-komersial dan kepentingannya sendiri, dan di sisi yang lain memiliki orientasi ke luar (outward
looking)
untuk
kepentingan
masyarakat.14
Dengan
demikian,
media
mengontsruksi sebuah realitas dan fakta sesuai kepentingan pemilik modal.
dapat
15
Fenomena ini disebut oleh Siregar (2003, xx) sebagai anomali media. Media telah menyalahi “khittah”-nya sebagai pendidik bagi khalayak dan kontrol sosial bagi penguasa. Kini media telah menjadi alat sekelompok elit politik atau pemilik modal untuk
mengartikulasikan 13
kepentingan-kepentingannya.
Media
terjebak
untuk
Lihat Dewan Pers, Data Pers Nasional 2010, (Jakarta: Dewan Pers, 2010). Alfarabi, “Kajian Komunikasi Kritis terhadap Ekonomi Politik Media”, Jurnal Idea FISIPOL UMB Vol. 4, No. 17 (Juni 2010), h.1. Artikel elektronik, diakses dari http://repository.unib.ac.id/571/ pada 5 Mei 2014. 15 Orientasi komersil media massa di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak awal-awal Orde Baru berkuasa, terutama ketika pemerintah melaukan kontrol yang sangat ketat terhadap pers, ketika terjadi perubahan politik yang sedemikian besar, dan krisis ekonomi yang mengancam dan memangkas oplah. Koran-koran yang mendukung rezim Orde Baru berusaha melobi pemerintah untuk memasukkan pers ke dalam UU Penanaman Modal Dalam Negeri 1968 yang memberi konsesi atas pajak dan kewajiban impor, serta pinjaman pemerintah. Pers tidak lagi menjadi alat ideologi suatu kelompok politik melainkan menjadi industri yang memproduksi kebutuhan pasar. Para manajer profesional dan ahli strategi bisnis memiliki posisi yang sama pentingnya dengan para redaktur. Lihat Krishna Sen and David T. Hill, Media, Culture and Politic in Indonesia, h.56. dan Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (Singapore: Equinox Publishing, 2009), 138-139. 14
98
Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
membangun opini demi mendukung ide-ide dan kepentingan pemiliknya dibanding membangun ruang publik yang sehat untuk mencerdaskan masyarakat. Terbatasnya institusi sosial yang memiliki otonomi dan independensi, serta tiadanya shared values atas dasar nilai kultural bagi warga secara personal maupun institusional menjadikan ruang publik sebagai anomali. Kondisi anomali ini masalah yang harus dihadapi secara kritis oleh media pers. Media pers berada di tengah-tengah anomali, dan harus mengangkat fakta-fakta publik sebagai informasi jurnalisme. Dalam situasi ini, apakah media pers cukup menjadi cermin yang menyajikan fakta-fakta, atau bahkan partisan bersama pelaku yang melakukan dominasi di ruang public.16 Pendapat Siregar di atas menguatkan pendekatan yang digunakan Jurgen Habermas, “Inasmuch as the mass media today strip away the literary husk from the
kind of bourgeois self-interpretation and utilize them as marketable forms for the public services provided in a culture of consumers, the original meaning is reserved”.17 Oleh karena itu kebebasan pers tidak boleh dimaknai sekedar kebebasan menerbitkan media massa. Kebebasan pers hendaknya dimaknai sebagai kebebasan yang eksistensial, yaitu kemampuan media untuk menentukan sikapnya sendiri,18 mengungkap realitas apa adanya tanpa tendensi dan keberpihakan pada kelompok politik tertentu, termasuk pada pemilik modalnya sendiri. Di tengah hegemoni politik dan modal atas pers, kita menaruh harapan yang besar kepada jurnalis atau wartawan19 yang merupakan ujung tombak sebuah intitusi pers. Mereka memiliki kemampuan untuk menggarisbawahi, menonjolkan, dan kemudian mengonstruksi suatu fakta atau realitas di lapangan. Mereka menjadi penyalur informasi pertama dari sebuah realita. Posisi jurnalis memang akan selamanya menyatu dengan fungsi utama media massa, yakni sebagai penyampai informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Oleh karenanya, ketika media—dalam hal ini institusi pers—telah menjelma menjadi
16
Ashadi Siregar (pengantar), Politik Editorial Media Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2003), xx. Habermas, Jurgen, “Lifeworld and System: a Critique of Functionalist Reason”, Theory of Communicative Action, Volume 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 171. 18 Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika; Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial (Jakarta: Kompas, 2009), 7. 19 Menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, istilah wartawan dimaknai sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Sementara itu, Assegaf mengartikan wartawan sebagai orang yang bekerja dan mendapat nafkah sepenuhnya dari media massa. Dengan demikian dapat dikatakan, semua awak redaksi, mulai dari orang yang melakukan peliputan di lapangan, hingga pengelohan dan penyuntingan di meja redaksi dapat disebut sebagai wartawan atau jurnalis. Lihat Bab I, Pasal 1, poin nomor 4 UU Nomor 40 Tahun 1999. Lihat pula Dja’far Assegaf, Jurnalistik Masa Kini (Jakarta: Ghalia, 1991), dan Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, 56. 17
99
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
institusi bisnis20 yang bekerja untuk kepentingan pemilik modal, maka mau tidak mau ia akan ikut terseret. Dengan demikian, posisi jurnalis akan selalu terjebak dalam tegangan dialektis yang dikotomis antara idealisme dan industri pemilik modalnya. Selaras dengan itu, Eriyanto berpendapat, posisi wartawan tidak dapat otonom. Ia akan selalu terjebak pada subjektivitasnya.21
Ia akan selalu berada pada
ketidakseimbangan dan dominasi. Dominasi itu bisa datang dari luar atau justru dari dalam dirinya sendiri. Dominasi luar bisa berupa kekangan penguasa atau kuasa pemilik modal, sementara dominasi dalam bisa berupa identitas, persepsi, perasaan, kecenderungan, dan keberpihakan. Dengan demikian, fakta, persitiwa atau realitas yang diliput seorang jurnalis bukanlah fakta yang alamiah, melainkan fakta yang telah terdistorsi atau yang telah dikonstruksi. Makna yang disampaikan pun akhirnya tidak bergantung pada struktur makna itu sendiri, melainkan pada strategi pemaknaan. Perbedaan pemaknaan jurnalis terhadap suatu fakta dan realitas ini dapat tercermin mealui lokusi yang terwujud melalui diksi dan konteks sosial-historisnya.22 Dalam pandangan kaum konstruksionis, realitas bersifat subjektif, ia ada karena diciptakan oleh subjektivitas pembawa pesan, dalam hal ini jurnalis. Realitas tercipta karena dikonstruksi oleh jurnalis sesuai dengan pandangan dan persepsi yang dimilikinya. Realitas itu berbeda-beda tergantung pada konsepsi yang dipahami oleh jurnalis ketika realitas itu terjadi.23 Persepsi yang dimiliki oleh jurnalis terbentuk oleh identitas yang dipengaruhi oleh sosial, politik, budaya, agama, dan cara pandangnya (world view). Identitas dan persepsi ini tidak bisa dilepaskan dari perilaku komunikasi setiap individu. Dalam pandangan Warren dan Fassett (1974), hubungan antara identitas/persepsi dengan komunikasi
disebut
dengan
co-constitutive
relationship,
yaitu
keduanya
memungkinkan untuk menghasilkan satu sama lain. Identitas dan persepsi akan mencerminkan komunikasi seorang komunikator, demikian pula sebaliknya. 24
20
Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 199 tentang Pers memberikan “legitimasi” kepada institusi pers menjadi lembaga ekonomi. 21 Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Poilitik Media (Yogyakarta: LKiS, 2002), 19. 22 Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, 42. 23 Eriyanto, Analisis Framing, 19. 24 John T. Warren and Deanna L. Fassett, Communication; A Critical/Cultural Introduction (California: Sage, 2011), 61-63.
100
Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
Isu Agama dalam Pemilu di Media Pada tahun 2014, untuk keempat kalinya Indonesia kembali menggelar pemilihan umum (Pemilu) baik legislatif maupun presiden. Dalam Pemilu kali ini, peran media juga memiliki peranan yang sangat signifikan. Keberadaan media bahkan menggeser peranan partai politik dalam memengaruhi dan memersuasi pemilih. Ia mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan “menjalin hubungan” yang bersifat impersonal. Media juga telah mengubah pola hubungan politik konvensional yang biasanya dilakukan dengan pertemuan-pertemuan tatap muka yang mensyaratkan kehadiran komunikator dan komunikan. Kini, partai politik cukup tampil di layar kaca, nampang di Koran dan majalah, atau bahkan cukup aktif di media sosial. Komunikasi melalui media yang bersifat one-way traffic communication ini dianggap lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih.25 Masyarakat cukup menyaksikan televisi di dalam rumah, atau hanya sekedar menempelkan jari di atas layar gadget yang tergenggam. Fenomena ini disebut oleh Michael Bauman, sebagaimana juga dikutip Burhanuddin Muhtadi, sebagai telepolitics, yaitu sebuah fenomena bergesernya peran partai politik dan munculnya media massa, terutama televisi, dalam menjangkau pemilih. Menurut Bauman, adegium lama yang sudah mengakar di Amerika Serikat “The camera never lies” tidak relevan. Media, secara khusus televise, justru selalu berbohong melalui apa yang oleh kalangan televisi disebut the Illusions of Presence, kamera dapat mengubah wajah asli partai dan politisi yang buruk menjadi baik. Isu-isu tentang agama yang menyangkut kandidat calon presiden dan calon wakil presiden sangat menyeruak menjelang hari pemilihan. Isu itu masuk ke khalayak melalui saluran media yang ada, terutama media sosial. Beberapa isu utama yang digencarkan adalah religiusitas kedua pasangan calon, yaitu Prabowo SubiantoHattarajasa dan Joko Widodo- M. Jusuf Kalla. Religiusitas yang dimaksud adalah kemampuan capres membaca Al Qura’an, memimpin shalat, hingga latar belakang agama keluarga. Dalam situs berita Republika.co.id edisi 3 Juni 2014 misalnya, Joko Widodo diberitakan sebagai gubernur yang rajin melaksanakan shalat Jumat.26 Sementara di laman merdeka.com edisi Senin 2 Juni 2014 menampilkan foto-foto Joko Widodo 25
Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres (Jakarta: Noura Books, 2013), 15. 26 Tautan berita dapat dilihat di http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri1/14/06/03/n6l5p6-jokowi-gubernur-jakarta-paling-rajin-shalat-jumat diakses pada 19 Juni 2014.
101
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
sedang memimpin shalat zuhur di Keraton Yogyakarta.27 Lain lagi dengan berita yang dimuat Kompas.com pada 30 Mei 2014, yang mengabarkan upaya Rektor Universitas Paramadina yang juga juru bicara pasangan Jokowi-JK, dalam membela dan mengcounter isu-isu miring soal keberagamaan Jokowi.28 Calon presiden Joko Widodo yang diusung oleh PDI Perjuangan memang yang paling sering mendapat serangan kampanye negatif yang terkait dengan isu SARA, khususnya agama. Ia sempat diisukan sebagai keturunan Tionghoa, diragukan keislamannya, tidak bisa mengaji, belum naik haji, dan seterusnya. Calon presiden nomor urut 1 juga bukan tidak mendapat kampanye negatif terkait dengan isu agama. Dukungan partai-partai Islam, sejumlah ulama, dan organisasi masyarakat berlatar belakang Islam garis keas, menjadi celah serangan kubu lawan. Dukungan itu dianggap sebagai ancaman keberaman Indonesia jika Prabowo terpilih menjadi presiden kelak. Dalam berita yang dirilis antara menyebutkan, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menyangsikan dukungan partai Islam dan organisasi masyarakat Islam garis keras terhadap Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Menurutnya, dukungan itu menjadi tantangan keduanya dalam mewujudkakan
visi kebebasan
beragama di Indonesia. Prabowo-Hatta akan tersandera oleh partai Islam dan ormas Islam garis keras yang mendukung pasangan itu. Isu Perda Syariah akan menjadi alat politisasi mereka," kata Ismail Hasani. Ismail mengatakan Prabowo-Hatta yang diusung Partai Gerindra dan empat partai Islam yaitu PAN, PPP, PKS dan PBB memiliki kesan simbolisme Islam yang menonjol. 29 Isu agama lainnya yang menjadi kontroversi di media massa selama Pilpres adalah manivesto Gerindra soal agama. Partai Gerindra dinilai terlalu jauh masuk dalam ranah agama terkait pandangan partai itu agar negara menjamin kemurnian ajaran agama. Kontroversi ini bermula dari percakapan di media sosial twitter antara akun @DYDIMUS_IFFAT dengan akun resmi Partai Gerindra tentang sikap partai terhadap Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok agama lainnya yang dianggap menyimpang.
27
http://www.merdeka.com/foto/politik/jokowi-jadi-imam-salat-zuhur-di-keraton-yogya.html diakses pada 19 Juni 2014. 28 Sabrina Asril, “Anies: Lawan Kampanye Hitam, Dengar Saja Jokowi Baca Doa”, Kompas.com Edisi 30 Mei 2014. Artikel internet diakses pada 19 Juni 2014 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/05/30/0649077/Anies.Lawan.Kampanye.Hitam.Dengar.Saja.Joko wi.Baca.Doa . 29 Lihat tautan http://www.antaranews.com/pemilu/berita/438154/partai-islam-organisasiislam-garis-keras-tantangan-kebebasan-beragama-prabowo .
102
Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
Isu ini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan kemudian merebak di media massa nasional.30 Serangan terhadap Prabowo juga menyasar keyakinan ibunda Prabowo yang bernama Dora Marie Sigar dan beragama Kristen Protestan, dan saudara kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo yang beragama Kristen dan dibaptis di GKJW Surabaya.31 Selain digunakan sebagai kampanye hitam maupun kampanye negatif, agama juga menjadi alat yang jitu untuk menggaet simpati dan dukungan elektoral. PPP misalnya, pengurusnya menggelar doa bersama “Istigotsah Kubro untuk Indonesia Damai” di Istora Senayan pada 4 April 2014 sebagai penutup rangkaian kampanye.32 Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dalam iklannya menampilkan tokoh agama, Ketua PBNU KH. Said Agil Siradj, juga dilatarsuarai dengan lantunan s{a
badr.33 Jokowi maupun Prabowo juga kerap mengunjungi pesantren dan tokoh agama yang memiliki basis masa yang tinggi sebagai upaya penggalangan dukungan. Jika kita menggunakan ilmu komunikasi, khususnya teori identitas. Apa yang dilakukan oleh politisi atau calon presiden dan wakil presiden adalah upaya untuk membangun kesamaan identitas. Identitas adalah “kode”—yang terdiri dari simbol, seperti
bentuk pakaian, kepemilikan;
dan kata-kata yang diucapkan—yang
mendefenisikan keanggotaan kita dalam sebuah komunitas tertentu. Identitas kita, baik dalam pandangan diri kita sendiri maupun orang lain, dibentuk ketika kita secara sosial berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan kita.34 Menurut Michael Hecht, pengetahuan orang lain tentang diri kita berdasarkan apa pada apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, apa yang kita miliki, dan bagaimana kita bertindak. Penampilan kita adalah simbol-simbol aspek yang lebih mendalam tentang identitas kita, serta orang lain akan mendefenisikan dan memahami kita melalui penampilan tersebut. 35 30
Contoh pemberitaan terkait dengan isu ini ada pada tautan http://nasional.kompas.com/read/2014/04/22/1618184/Manifesto.Gerindra.soal.Agama.Dinilai.Offside. 31 Pengungkapan identitas ini di antaranya disebutkan dalam buku kecil “9 Alasan Warga NU Memilih Jokowi” yang diterbitkan oleh pihak tidak dikenal. 32 “Ribuan Kader PPP Hadiri Istighosah Kubro” http://foto.news.viva.co.id/ read/11838-ribuankader-ppp-hadiri-istighosah-kubro (artikel diakses pada 13 Mei 2014). 33 “Muncul di Iklan PKB, Ketua PBNU Bilang Masa Protes Teman Sendiri“ http://www.merdeka.com/politik/muncul-di-iklan-pkb-ketua-pbnu-bilang-masa-protes-temansendiri.html (diakses pada 13 Mei 2014). 34 Stephen W Littlejohn and Karen A Foss, Theories of Human Communication, (Belmont, USA: Thomson Wadsworth, 2008), 894. 35 Michael Hecht, et al., “The Communication Theory of Identity: Development, Theritical Perspective, and Future Direction”, dalam Theorizing Interpersonal Communication, ed., William B. Gudykunts (Thousand Oaks, CA: Sage, 2005), 257-258.
103
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
Identifikasi kelompok keagamaan ini diakui secara politis memiliki dampak yang signifikan. Sebagaimana dikatakan Clyde Wilcox dan kawan-kawan, identifikasi kelompok merupakan komponen kognitif dari kesadaran kelompok.36 Dalam kaitan ini, politisi ataupun calon presiden mengidentifikasikan diri dengan sebuah kelompok keagamaan dan merasakan persamaan sebagai anggota kelompok. Mereka yang merasa “senasib” selanjutnya akan melihat kepentingan politik yang sama dan mendukung, atau setidaknya mengikuti kebijakan yang didukung pemimpin kelompoknya. Semua citra itu dibangun dengan menggunakan sebuah perantara yang disebut media. SIMPULAN Dalam hal kekuasaan, agama dan simbol-simbol yang dilahirkannya sering dijadikan legitimasi oleh elit politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Agama bisa menjadi sumber daya politik yang efektif bagi elit dan aktor politik untuk meraih dukungan elektoral atau mendulang suara dalam kontestasi dan suksesi. Sebaliknya, agama juga bisa menjadi alat untuk mendelegitimasi kekuasaan sebuah rezim. Pengaruh agama atas budaya tergantung bagaimana masyarakat memandang peran penting suatu agama dalam kehidupan mereka. Jika dianggap penting, agama dapat memengaruhi cara pandang dan penilaiannya atas aspek-aspek kehidupan, termasuk politik. Semakin tinggi ia memandang sebuah agama dalam kehidupan, maka semakin tinggi pula ia memandang aspek-aspek kehidupan dalam prespektif agama yang diyakininya. Agama berinteraksi dengan politik karena ia berkaitan dengan kegairahan, motivasi, dan kepentingan manusia.37 Media massa memainkan peran sangat penting. Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuatnya dalam menyampaikan pesan lebih cepat dan luas. Semakin maju dunia, peran ini semakin meluas. Kekuatan media semakin membesar, termasuk dalam hal menyebarkan pengaruh ideologi, agama, termasuk pelanggengan dan perebutan kekuasaan.
36
Clyde Wilcox, Ted G. Jelen, dan David C. Leege, “Identifikasi Kelompok Keagamaan: Menuju Teori Kognitif Mobilisasi Keagamaan”, dalam Agama dalam Politik Amerika, ed. David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), 118. 37 Saiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 6.
104
Agama, Media, dan Kekuasaan (Amirul Hasan)
Daftar Pustaka Alfarabi, “Kajian Komunikasi Kritis terhadap Ekonomi Politik Media”, Jurnal Idea
FISIPOL UMB Vol. 4, No. 17 (Juni 2010). Berger, Peter. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES, 1991. Dewan Pers. Data Pers Nasional 2010. Jakarta: Dewan Pers, 2010. Eriyanto. Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Poilitik Media. Yogyakarta: LKiS, 2002. Habermas, Jurgen, “Lifeworld and System: a Critique of Functionalist Reason”,
Theory of Communicative Action, Volume 2. Boston: Beacon Press, 1987. Hecht, Michael et al. “The Communication Theory of Identity: Development, Theritical Perspective, and Future Direction”, dalam Theorizing Interpersonal
Communication, ed., William B. Gudykunts. Thousand Oaks, CA: Sage, 2005. Littlejohn, Stephen W and Karen A Foss, Theories of Human Communication. Belmont, USA: Thomson Wadsworth, 2008. Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,1991. cet ke-III. McQuail, Denis. Mass Communication Theory: An Introduction. London: Sage, 1983. Muhtadi, Burhanuddin. Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan
Pilpres. Jakarta: Noura Books, 2013. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Putra, I Gusti Ngurah. “Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia,” Jurnal Ilmu
Komunikasi Volume 3, Nomor 2 (Juni 2004). Robison, Richard. Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Publishing, 2009. Schultz, Julianne. Reviving the Fourth Estate. Cambridge: Cambridge University Press, 1998. Sen, Krishna and David T. Hill. Media, Culture, and Politic in Indonesia. Jakarta & Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2007. Siregar, Ashadi (pengantar). Politik Editorial Media Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2003. Warren, John T and Deanna L. Fassett. Communication; A Critical/Cultural
Introduction. California: Sage, 2011. Wibowo, Wahyu. Menuju Jurnalisme Beretika; Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era
Mondial. Jakarta: Kompas, 2009. 105
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
Wilcox, Clyde, Ted G. Jelen, dan David C. Leege. “Identifikasi Kelompok Keagamaan: Menuju Teori Kognitif Mobilisasi Keagamaan”, dalam Agama dalam Politik
Amerika, ed. David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt. Jakarta: Yayasan Obor, 2006. Artikel Internet Asril, Sabrina. “Anies: Lawan Kampanye Hitam, Dengar Saja Jokowi Baca Doa”. Kompas.com Edisi 30 Mei 2014. Artikel internet diakses pada 19 Juni 2014 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/05/30/0649077/Anies. Faqih, Fikri, “Jokowi Jadi Imam Shalat Zuhur di Keraton Yogya”, Merdeka.Com Edisi 2 Juni 2014. Artikel internet diakses pada 19 Juni dari http://www.merdeka.com/ foto/politik/jokowi-jadi-imam-salat-zuhur-di-keraton-yogya.html. Fiansyah, Rahmat. “Manifesto Gerindra soal Agama Dinilai Offside”. Kompas.com Edisi 22 April 2014. Artikel diakses pada 19 Juni 2014. Lugo, Luis, Alan Coperman, et all. “Growing Number of Americans Say Obama is a Muslim”. Pew Research Religion & Public Live Project. Artikel internet diakses pada 19 Juni dari http://www. pewforum.org/2010/08/18/growing-number-ofamericans-say-obama-is-a-muslim/. Mohammad, Nadia S. “Bisakah Media AS Temukan Titik Kesamaan dalam Agama dan Politik”. Kantor Berita Common Ground Edisi 17 Agustus 2012. Diakses pada 19 Juni 2014 dari http://www.commonground news.org/article.php?id= 31900&lan=ba&sp=1. Rini, Citra Listya (ed). “Jokowi Gubernur Paling Rajin Shalat Jumat”. Republika Online Edisi 3 Juni 2014. Artikel internet, diakses pada pada 19 Juni 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/pemilu/
menuju-ri-1/14/06/03/n6l5p6-jokowi-
gubernur-jakarta-paling-rajin-shalat-jumat. Samodro, Dewanto. “ Partai Islam, Organisasi Islam Garis Keras Tantangan Kebebasan Beragama Prabowo”. Antaranews.com Edisi 9 Juni 2014. Artikel internet diakses pada 19 Juni 2014 dari http://www.antara news.com/pemilu/berita/438154/partaiislam-organisasi-islam-garis-keras-tantangan-kebebasan-beragama-prabowo.
106