KEKUASAAN DAN AGAMA DALAM PANDANGAN AL-‘AMIRI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : M. Abu Bulaini NIM : 104033201131
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
Bismillaahirrahmaanirrahiim “Persembahan Untuk Ayah dan Ibu” Bersama do’a mu ayah dan ibu aku menuju ilmu Bersama tangismu ayah dan ibu aku berlalu Bersama harapmu ayah dan ibu aku tertuju Bersama kasihsayangmu ayah dan ibu aku rindu Lima tahun tak jadi berlalu Waktu memisah dan menyatu Bersama 23 orang penuntut ilmu Aku berjibaku Jatuh bangun melawan waktu Menapaki hiruk pikuk dan lika-liku ilmu Di kota central tempat para penjuru negeri mengadu Kini dapatku persembahkan untuk mu ayah dan ibu Jeripayah dan tanggungjawabku Sebuah karya yang ku tulis dengan tinta cintamu Anugrah Allah yang Maha Tahu Inilah keringat dan jeripayahmu ayah dan ibu Inilah doa dan linangan air mata malammu ibu Inilah harapanmu ayah dan ibu Inilah baktiku pada mu ayah dan ibu Jangan pernah berhenti keningmu tuk selalu menunduk dalam malammu ibu Jangan pernah surut sungai di kelopak matamu mengalirkan do’a ibu Jangan pernah berhenti bibir mu berharap oh ayah dan ibu Sampai dunia kurengkuh untuk mu Sampai Surga ku bawakan untuk mu Oh ayah dan Ibuku.
Skripsi ini ku persembahkan untuk Ayah dan Ibundaku Tercinta
KEKUASAAN DAN AGAMA DALAM PANDANGAN AL-‘AMIRI
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh M. Abu Bulaini NIM : 104033201131
Di bawah Bimbingan
Dr. H. Sirojuddin Aly, MA NIP: 19540605 200112 1 001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “KEKUASAAN DAN AGAMA DALAM PANDANGAN AL„AMIRI” telah diujikan dalam siding munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 06 Desember 2011.Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Jakarta, 06Desember 2011 SidangMunaqasyah KetuaMerangkapAnggota
SekretarisMerangkapAnggota
Dr. Ali Munhanif, MA. NIP: 19651212 199203 1 004
M. Zaki Mubarak, M.Si. NIP: 19730927 200501 1 008
Anggota Penguji I
Penguji II
Dr. H.Sya’ban Muhammad, MA. NIP: 19620819 200012 1 001
Dr. Nawiruddin, MA. NIP: 19720105 200112 1 003
Pembimbing
Dr. H.SirojuddinAly, MA. NIP: 19540605 200112 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 September 2011
M. Abu Bulaini
ABSTRAK
M. Abu Bulaini Kekuasaan dan Agama Dalam Pandangan Al-‘Amiri Agama sebagai institusi keyakinan memiliki perangkat-perangkat yang memberikan penjelasan dan konsepsi pada Tuhan, manusia dan alam semesta. Dari-Nya memberikan arah orientasi yang akan di capai oleh penganutnya untuk mewujudkan konsepsi ideal itu. Dalam pencapaian tujuan itu, kadang menumbuhkan sikap fundamentalisme dan radikalisme, sebagai konsekwensi menghadapi tantangan dan hambatan. Sementara kekuasaan sebagai salah satu perangkat agama, sangat di tentukan oleh “siapa” yang menjalankan kekuasaan itu. Artinya untuk tegaknya hukum-hukum agama perlu di topang oleh kekuasaan yang pro-hukum agama. Walhasil pelaksanaan kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai kultural keagamaan. Sisi ini merupakan penyatuan agama dengan negara dalam pelaksanaan kekuasaan, di samping sisi lain yakni pemisahan agama dan negara serta pengakuan negara terhadap nilai-nilai keberagamaan atau pluralisme dalam arti luas. Agama membutuhkan kekuasaan. Demikian pula sebaliknya, kekuasaan membutuhkan agama. Agama butuh kekuasaan. Tanpa kekuasaan, baik dalam diri pribadi maupun dalam masyarakat secara luas, nilai dan ajaran agama tidak akan terlaksana dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Al-„Amiri dilahirkan di Nisabur pada permulaan abad ke-4 H/ke-10 M dan meninggal di tempat kelahirannya pada tanggal 27 Syawwal 381 H/6 Januari 992 M. Ia adalah seorang filosof yang mempunyai kecenderungan sufisme dan pada sisi yang lain al-„Amiri mengkaji politik karena rasa hormat dan cintanya kepada raja. Dalam bidang politik Al-„Amiri mencoba menggabungkan antara agama dan kekuasaan. Hal ini dibuktikan ketika membahas masalah rakyat, raja, dan lainnya yang selalu dikaitkan dengan al-Qur‟an dan Hadits. Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian, penegakkan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar instrumen untuk merealisasikan ajaranajaran Islam. Lebih lanjut, al-„Amiri menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan kekayaan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sudah barang tentu antara kehidupan agama dan kehidupan duniawi akan tercipta keserasian. Sebaliknya, jika kekuasaan memisahkan diri dari agama, atau agama mengabaikan kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka bagi umat manusia. Karena itulah, sangat wajar jika kita berkesimpulan bahwa hubungan agama dan kekuasaan (negara) dalam pandangan al-„Amiri, sesungguhnya lebih bersifat fungsional dan bukan organik.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, yang telah memberikan ni’mat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya. Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana strata satu (S.1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis membuat skripsi dengan judul: “KEKUASAAN DAN AGAMA DALAM PANDANGAN AL-‘AMIRI. Sebagai skripsi yang menggunakan metode pustaka (library), tentunya tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, baik yang menyangkut pengumpulan data-data serta pengolahannya, pemilihan bahan bacaan serta pengumpulan bahan-bahan dan lain sebagainya. Namun berkat keteguhan hati, konsentrasi serta kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan tersebut dapat diatasi dengan baik, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karenanya, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Bachtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Ali Munhanif, Ph.D., selaku Ketua Program Studi Ilmu Poltik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ii
4. Bapak M. Zaki Mubarok, M.Si., selaku sekretaris Program Studi Ilmu Poltik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Dr. H. Sirojuddin Aly, MA., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta memberikan saran dan dukungan kepada penulis. 6. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Ilmu Politik, penulis sampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya. 7. Teruntuk Ayahanda H. Murnin H.M.S. dan Ibuku tersayang Hj. Siti Subkiyah, yang tidak pernah berhenti berdoa dan telah memberikan dukungan moril dan materil selama ini. 8. Saudara-saudara kandungku, untuk kakakku H. M. Miftahul’ulum sekeluarga, kak H. Moch. Fathurrahman sekeluarga, dan Hj. Siti Mushofah, serta untuk adik-adikku M. Syafiqullah, Siti Zahroh, M. Zanjuri, dan Siti Makhuroh. Dukungan moril dan materil yang kalian berikan membuat penulis bersemangat untuk menatap masa depan yang lebih baik. 9. Rekan-rekan Santri Ma’had Daar El-Hikam Pondok Ranji: Andi, Sofyan, Iwan, Harid, Malik Tpa-Tpi, Rahmat Aja, dan Rahmat Kabir,serta temanteman DaarHik yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan morilnya kepada penulis sehingga lebih bersemangat menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman seperjuanganku, kawan-kawan Fraksi Pojok: Andi Rohman, Dede Sunandar, Ikbal, Basyit, Irwansyah, Jabar, Rifki, Yudhi, Praga, Zuber, Tamam, Ramli, Uci, Yunus, sahabat-sahabat kosan ( Dholy & Belo ) yang telah memberikan support dan materi serta teman-teman PPI yang tidak bisa
iii
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas masukan dan dukungannya kepada penulis dalam penyusunan karya ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Demikian semoga Allah menerima usaha ini sebagai amal jariyah dan mengampuni kesalahan dalam karya ini. Amin.
Jakarta, 22 September 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………….. i KATA PENGANTAR........................................................................................... ii DAFTAR ISI.......................................................................................................... v BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………….……… 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah………………………………………... 3 C. Alasan Memilih Judul…………………………………………………. 4 D. Tujuan Penelitian………………...…………………………………….. 5 E. Metode Penelitian…………………………………………………….... 5 F. Sistematika Penulisan………………………………………………….. 6 BAB II. BIOGRAFI AL-‘AMIRI ………………………………………………. 8 A. Kondisi Objektif Sosial Politik Pada Masa Al-‘Amiri………………… 8 B. Riwayat Hidup dan Pendidikan……………………………………….. 13 C. Karier dan Aktifitas…………………………………………………… 15 D. Karya-Karya Al-‘Amiri……………………………………………….. 17 BAB III. KEKUASAAN DAN AGAMA……………………………………….
21
A. Pengertian Agama dan Kekuasaan……………………………………. 21 1. Agama……………………………………………………………. 21 2. Kekuasaan………………………………………………………... 23 B. Konsep kekuasaan Politik Menurut Al-‘Amiri………………………... 25 1. Kekuasaan Tuhan…………………………………………………. 25 2. Kekuasaan Kepala Negara………………………………………... 30 3. Kekuasaan Ulama dan Umara……………………………………. 39 BAB IV. PEMIKIRAN AL-‘AMIRI TENTANG KEKUASAAN DAN PERANG……………………………………………………………… 44 A. Pandangan Al-‘Amiri Tentang Kekuasaan…………………………… 45 1. Kedudukan Pemimpin…………………………………………….. 46 2. Kedudukan Rakyat………………………………………………..
52
3. Posisi Solidaritas Sosial………………………………………........ 55 v
4. Hubungan Kekuasaan dan Dunia Intelektual……………………... 56 B. Pandangan Al-‘Amiri Tentang Perang………………………………... 58 1. Perang Sebagai Alternatif Untuk Mempertahankan Umat Islam…. 60 2. Perpecahan dan Perbedaan Dalam Islam………………………….. 61 3. Status Agama Selain Agama Islam……………………………….. 62 BAB V. PENUTUP………………………………………………………………. 64 A. Kesimpulan……………………………………………………………. 64 B. Saran-Saran……………………………………………………………. 66 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 67
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan terselenggaranya
dan
pemerintahan
dibutuhkan
untuk
kewajiban-kewajiban
keagamaan.
Dengan
mewujudkan demikian,
penegakkan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Islam adalah suatu agama yang mencakup semua dimensi dan ajarannya bersifat universal. Pada masa awalnya Islam sangatlah sederhana pemahamannya. Komunitas awal masyarakat Islam berada langsung dalam bimbingan Nabi Muhammad dan para Khalifah. Hampir tidak pernah terjadi keributan dan perbedaan pendapat antara mereka, kemudian setelah terjadi penyebaran (futuhât) pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak untuk melakukannya. Perkembangan pemikiran pertama dan paling dominan dalam sejarah Islam adalah pemikiran dalam masalah teologi, namun pemikiran teologi ini bukan murni karena masalah teologi semata tapi karena dipengaruhi oleh masalah politik.1 Sementara itu istilah politik sendiri, walaupun bukan berasal dari bahasa Arab2 dan belum dikenal, namun tujuannya sudah digunakan pada masa awal Islam, tepatnya ketika Umar ibn Khattab memecat Amr ibn Yassar karena dipandang lemah dan tidak mempunyai pengetahuan tentang Siyasah. Juga pada
1
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Endinburg: Endinburg University Press, 1985), h. 1-2. 2 Dalam bahasa Arab istilah politik biasa dipadankan dengan kata al-siyasah, lihat pada Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 290.
1
2
tahun 120/741, Nasr ibn Sayyar diangkat sebagai gubernur Khurasan dengan pertimbangan bahwa ia adalah orang yang paling ahli dalam bidang pemerintahan (a’lamuhum al-siyasah).3 Siyasah merupakan suatu kebijakan atau organisasi yang dengannya rakyat diorganisasi atau diarahkan dengan cara tertentu untuk kehidupan yang lebih baik. Jika dikaitkan dengan orang atau kota, siyasah menjadi sesuatu yang terkait dengan seni memerintah yang digunakan untuk kepentingan orang banyak baik menyangkut fisik, spiritual, maupun intelekual. Juga bisa dikatakan seni mengurus sebuah kota berdasarkan prinsip-prinsip atau tujuan tertentu.4 Pemikiran politik yang berkaitan atau mempunyai hubungan erat dengan teologi kemudian berkembang bersamaan dengan perkembangan Islam dan akulturasi kebudayaan dengan Helenisme.5 Perkembangan politik ini seiring dengan perkembangan disiplin ilmu yang lain seperti logika, dan Filsafat. Banyak para ahli filsafat yang menulis juga mengenai masalah politik, misalnya Al-Farabi dengan karyanya al-Madinah al-Fadhilah-nya,6 al-Mawardi dengan karyanya berupa kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya,7 Ibn Khaldun dengan Muqaddimah-nya.8 Masih ada pula pemikir yang dalam pemikirannya juga
3
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara (Magelang: Indonesia Tera, 2001), h. xxxvi Ibid., h. xxxxvi 5 Helenisme ialah kebudayaan Yunani dulu yang mempengaruhi perkembangan pikir, untuk lebih jelasnya lihat pada Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 219-222. 6 Ia mengaitkan teori politik dengan teori emanasi, keterangan lebih lanjut lihat pada Abu Nashr al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2002), h. 22. 7 Lihat pada M.M. Syarif (ed), History of Muslim Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1995) jilid I., h. 719-722. 8 Ia dalam menganalisa masalah politik melalui pendekatan sejarah dan sosial, sehingga pemikirannya sangat ensiklopedis dan kritis, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Fikr Ibn Khaldun al‘Ashabiyah wa al-Dawlah (Beirut: Markaz al-Dirasah al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1994), h. 65. 4
3
membahas masalah politik namun kurang dikenal yaitu al-‘Amiri.9 Ia adalah salah satu tokoh yang beraliran Helenisme. Di antara karyanya yang terkenal adalah alI’lâm bi Manâqib al-Islam. Kitab tersebut disusun untuk memenuhi permintaan seorang wazir (menteri) dinasti Samaniyah, karena rasa hormat dan cintanya kepada raja.10 Dalam kitab tersebut membahas masalah agama dan politik. Kitab ini menjadi menarik untuk dikaji, karena adanya pemasukan aspek keungulan agama yang berkaitan dengan teologi, filsafat dan syariat Islam. Selain itu, juga mengaitkan antara pemikiran agama Islam dengan politik, di mana ia berusaha membangun suatu paradigma tentang cara seorang pemimpin harus mengatur rakyatnya dan kedudukan rakyat itu sendiri. Tidak lupa pula yang menjadi bahasan mengenai status orang yang berada di luar agama Islam. Dari deskripsi dan latar belakang tersebut maka di sini akan dicoba untuk mengkaji pemikiran al-‘Amiri dalam bidang politiknya yang selalu ia kaitkan dengan syariat Islam dengan judul “Kekuasaan dan Agama Dalam Pandangan Al-‘Amiri”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk memudahkan penelitian dan menghindari terlalu melebarnya jangkauan penelitian, maka dari latar belakang di atas penulis mencoba membatasi penelitian pada pandangan Al-‘Amiri tentang kekuasaan dan agama. Dalam tradisi
9
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul Internasioal, 1993), h.
165. 10
Abu Hasan al-‘Amiri, Kitab al-I‘lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1967), h. 11.
4
keilmuan setiap sesuatu yang termasuk dalam kategori keilmuan selalu ada batasan dan manifestasinya. Oleh karena itu, dalam mengkaji pemikiran al-Amiri ini akan dibatasi pada masalah-masalah kekuasaan dalam kitab al-I‘lam bi Manaqib al-Islam. Dalam Islam, pemikiran ilmiah ataupun hasil peradaban selalu dikaitkan dengan politik. Pengkaitan ini dikarenakan kebanyakan para pemikir Islam hidup dan berada di bawah kekuasaan suatu rezim tertentu, namun walaupun begitu ideologi Islam mereka tetap dibawa ketika mereka menulis karya mereka, baik karya itu berupa fiqh, kalam, bahkan sampai politik. Misalnya, al-Mawardi yang selalu menganalisa masalah politik dari segi hukum fiqh. Begitu pula dalam masalah Al-‘Amiri ini, ia walaupun menulis karyanya sebagian besar dipersembahkan kepada wazir (menteri), namun tetap nilai keunggulan agamanya dibawa, oleh karena itu dalam tulisan ini akan dicoba untuk mengangkat mengenai pemikiran politik al-‘Amiri dengan rumusan sebagai berikut: bagaimana pandangan Al-‘Amiri mengenai kekuasaan dan perang?
C. Alasan Memilih Judul Karena penulis tertarik dengan pemikiran politik al-‘Amiri yang mana al‘Amiri adalah seorang filosof yang mempunyai kecenderungan kepada sufisme dan pada dasarnya al-‘Amiri mengkaji politik karena rasa hormat dan cintanya kepada Raja. Disamping itu, dalam bidang politik Amiri mencoba menggabungkan antara agama dan kekuasaan. Hal ini dibuktikkan ketika al-‘Amiri membahas
5
masalah rakyat, raja, dan lainnya yang selalu dikaitkan dengan al-Qur’an dan Hadist.
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui hubungan Agama dengan kekuasaan dalam perspektif Amiri. Kedua, untuk mengetahui pemikiran Amiri tentang perang dalam agama Islam dan sikap politiknya. Selain itu, secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama dalam masalah pemikiran politik Islam klasik dan dapat dijadikan sebagai salah satu dasar berfikir saat ini.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan
metode
yang
digunakan
adalah
deskripsi
analisis,
yaitu
mendeskripsikan masalah sehingga dapat memberikan kejelasan. Analisis yaitu dengan mengadakan perincian terhadap masalah yang diteliti dengan jalan memilah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan masalah yang diteliti. 2. Sumber Data Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan penulis menelaah buku yang relevan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Data-data
6
kepustakaan ini pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. a. Sumber data primer Sumber data ini adalah sumber pokok yang diperoleh melalui buku-buku asing maupun hasil terjemahan yang di dalamnya membahas kekuasaan dan agama. 1. Kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam 2. Humanism in The Renaissance of Islam b. Sumber data sekunder Data ini merupakan data penunjang yang membantu dalam penelitian ini, yang berbicara sesuai tema skripsi ini. 1. Ensiklopedi Islam 2. The History of Islamic Philosophy 3. The History of Muslim Philosophy 4. Kitab Ara al-Madinah al-Fadhilah 5. Renaisans Islam Sedangkan secara teknis penulisannya didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam penulisan maka disini akan diuraikan sistematika penulisannya. Tulisan diawali dengan bab pertama yang menguraikan tentang pendahuluan yang berisikan, latar belakang masalah, rumusan masalah,
7
tujuan dan signifikansi penelitian, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai al-‘Amiri dan berguna untuk mengetahui karakter pemikirannya maka dalam bab dua perlu dibahas masalah biografinya. Sedangkan yang menjadi bahasannya adalah kondisi objektif sosial politik pada masa Al-‘Amiri, riwayat hidup dan pendidikan Amiri, serta karyakarya al-‘Amiri. Sebelum membahas lebih dalam mengenai kekuasaan pada pandangan Al‘Amiri, perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian kekuasaan dan agama. Pembahasan ini ada pada bab tiga. Isi pembahasannya adalah konsep kekuasaan menurut Al-‘Amiri, yang terdiri dari kekuasaan Tuhan, kekuasaan kepala negara, dan kekuasaan ulama dan umara. Adalah bab empat yang membahas mengenai inti dari skripsi ini. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pemikiran al-‘Amiri tentang kekuasaan. Isi bahasannya adalah pandangan al-‘Amiri tentang kekuasaan, dan pandangan al‘Amiri tentang perang. Dua pokok tersebut akan menjadi kajian, dan semuanya masih terbagi dalam berbagai subjudul. Untuk mengakhiri penulisan skripsi maka dibahas pula mengenai kesimpulan dan saran. Kedua pembahasan ini akan ditulis pada bab lima yaitu bab penutup. Kesimpulan dan saran penting diberikan untuk menyimpulkan hasil dari penelitian ini.
BAB II BIOGRAFI AL-’AMIRI A. Kondisi Objektif Sosial Politik Pada Masa Al-‘Amiri Dalam tradisi untuk memahami sebuah teks atau pemikiran seseorang maka orang yang akan mengkaji harus mengerti dan memahami terlebih dahulu mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tokoh atau teks yang dikaji. Hal ini tidak terjadi hanya pada masa kini saja.1 Sebab dalam tradisi Hadits Nabi juga dikenal istilah hadits shahih, Hasan dan dhaif dimana penentuannya berdasarkan dua hal utama yaitu dari segi yang meriwayatkan (rawi) dan isi riwayat (matan), dan untuk memahami isi hadits juga dikenal istilah asbab al-wurud.2 Dalam menafsirkan al-Qur‟an, para ahli di bidang tafsir juga sudah mengenal mengenai asbab al-nuzul yang akhirnya memunculkan suatu ungkapan yang sangat terkenal dan selalu menjadi perdebatan, yaitu bahwa yang menjadi pegangan adalah kalimat yang umum bukan sebab yang khusus atau sebaliknya. 3
1
Pada saat ini, ada trend pembacaan terhadap teks atau pemikiran seseorang melalui hermeneutik. Dalam hermeneutik ada unsur-unsur penggunaan model penelitian yang dilakukan oleh kelompok strukturalis. Dengan strukturalis seseorang ketika memahami suatu pemikiran harus memahami semua struktur yang ada dalam teks atau pemikiran orang tersebut. Struktur yang dimaksud tidak hanya dari segi struktur bahasa, tapi juga struktur kebudayaan, politik, masyarakat bahkan ekonomi orang waktu menulis karya tersebut. Hal ini penting untuk mengetahui objektif mungkin hasil yang ditulis oleh mereka dan pembaca tidak terjebak pada alirannya dan menjadi subjektif. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai proses kerja strukturalis dan juga hermeneutik lihat pada, W. Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya (Bandung: Remadja Karya, 1987), h. 160-168. Jean Peaget, Strukturalisme (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), h. 102-116. 2 Khusus mengenai ilmu Hadits ini penentuan kesahihan dan ketidaksahihan sangat ketat sekali, dan bahkan paling teliti dibanding teori ilmiah atau penelitian ilmiah yang lain. Untuk mengetahui criteria kesahihan dan ketidaksahihannya lihat pada Muhammad „Ajaj, Ushul alHadit: Ulum wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 204-253. 3 Untuk perdebatan dan pembahasan lebih lanjut mengenai kasus asbab al-nuzul ini lihat pada, Manna‟ al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Kairo: Mansyurat al-„Ashr al-Hadits, tt), h. 75-96.
8
9
Tradisi seperti ini harus dipertahankan untuk menentukan suatu peta pemikiran seseorang atau suatu teks yang ditulis oleh pengarang. Apalagi sekarang ini, dimana penggunaan analisa linguistik sangat kuat dan kental. Padahal analisa linguistik merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan sejarah untuk melihat mengenai sistem penggunaan bahasa yang terjadi pada masa lalu dan bagaimana menyesuaikannya dengan masa sekarang. Selanjutnya, Islam sudah berkembang secara luas, di mana perkembangan tersebut tidak hanya dalam hal beribadah tetapi sampai pada masalah bahasa Arab, sistem politik, sistem perdagangan dan lain sebagainya. Tercatat dalam sejarah bahwa pusat kekuasaan Islam berada di dua daerah; daerah Barat dan daerah Timur. Daerah Barat biasa disebut dengan istilah Maghribi yang menjadi pusatnya adalah Andalusia dengan pernik pemikiran yang sangat kental dengan Aristotelian. Daerah Timur dengan Persia dimana pengaruh Neo-Platonisme begitu kuat, ditambah dengan sistem kebudayaan Persia yang sangat ‘Sufistik’. Dunia Timur mulai menjadi bagian dari Islam pada masa kepemimpinan/khalifah Umar dengan adanya penyerbuan ke daerah Khurasan. Pada daerah ini banyak sekali tokoh yang muncul dan bahkan pernah menjadi pusat ibukota dan pusat kebudayaan dunia, terutama pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dengan pusat kekuasaannya yang ada di Baghdad. Dari perkembangan pemikiran Islam muncul pula tokoh yang dibahas saat ini, yaitu al-„Amiri. Al-„Amiri hidup pada masa Bani
10
Buwaihi.4 Secara garis besar lingkungan masyarakat yang ada pada masa Bani Buwaihi itu bersifat individualisme, kosmopolitanisme dan sekularisme.5 Individualisme yaitu suatu kesadaran tentang manusia sebagai individu. Dengan kesadaran ini menjadikan adanya suasana kompetitif yang intensif dalam istana Buwaihi yang dapat mempercepat perkembangan personalitas individu dan membantu peningkatan kesadaran yang kuat terhadap diri sendiri. Baik pihak patron (raja) maupun klien (hamba) sama-sama termotivasi oleh iming-iming popularitas. Masa ini ditandai oleh pencapaian kesadaran masyarakat dengan mobilitas yang tinggi.6 Pilar utama yang membangun dan menyangga Buwaihi adalah perwiraperwira yang berwatak keras; mereka individu yang tegas yang selalu berusaha memperluas kekuasaan, mendirikan sebuah kerajaan dengan berbagai manuver.7 Ada sebuah anggapan yang terjadi pada saat itu, bahwa kehormatan dan popularitas hanyalah merupakan komunitas yang terbatas, yang tidak cukup untuk dibagi-bagi kepada mereka. Oleh karena itu, para negarawan bersaing dalam mengumpulkan pendukungnya; para ahli waris kerajaan berlomba-lomba untuk mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari para pembesar kerajaan. 4
Pendiri dinasti Buwaihi ini adalah tiga bersaudara yang berasal dari pegunungan Dailam, tiga bersaudara yang meletakkan dasar bagi dinasti Buwaihi tersebut adalah „Ali, Hasan dan Ahmad, putra-putra Buwaih atau Bûya. Mereka kemudian mendapat gelar dari khalifah AlMustakfi: „Ali sebagai „Imad Al-Daulah (pondasi negara), Hasan sebagai Rukn Al-Daulah (penyangga negara) dan Ahmad sebagai Mu‟izz Al-Daulah (penegak negara). Mereka berasal dari suku Dailami, yaitu suku bangsa pegunungan yang garang dari daerah sebelah barat daya Laut Kaspia yang pada awal abad ke-10 menyaingi bangsa Turki sebagai pemasok tentara bayaran bagi dunia Islam. Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Azhar Saleh, Islam Pada Masa Abbasiyah Telaah Historis Kehidupan Kultural dan Politik Pada Masa Buwaihiyah 945-1055, (Tesis: UIN Jakarta, 2004), h. 25. 5 Joel L. Kramer, Humanism in The Renaissance of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1986), h. 11. 6 Ibid., h. 11. 7 Lihat pada „Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, 1993), h. 138.
11
Persaingan penuh semangat yang tidak dapat terelakkan menumbuh suburkan kecemburuan, fitnah, dan perselisihan. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan kehormatan telah merangsang kesadaran diri dan kreasi pribadi, suatu pembedaan yang tegas antara pribadi dan orang lain, dan sebuah pengenalan yang mendalam tentang individualitas seseorang. Untuk mempopulerkan diri mereka saling menfitnah, menjatuhkan orang lain, mendekatkan diri kepada penguasa dengan cara memujinya, menuliskan prosa dan puisi serta menulis karya tulis yang membuat mereka agar mendapatkan penghargaan dari pihak yang berkuasa.8 Kosmopolitanisme9 terjadi karena pada waktu itu Baghdad adalah bagian dari Buwaihi yang menjadi pusat peradaban dan berkumpulannya semua orang yang ingin maju dan terkenal. Ada banyak suku dan etnis yang mendatangi Baghdad, ada berbagai seni dan budaya yang dibawa ke Baghdad untuk dipertontonkan sehingga memunculkan berbagai asimilasi kebudayaan. Para penyair, sarjana dan sekretaris mengembara dari satu istana ke istana lain untuk menyampaikan kesetiaan dengan menyajikan hiburan yang mengesankan, siap menghadapi pemandangan dan horizon yang berubah-ubah, mengembara, dan tidak pernah menetap dalam satu tempat.10
8
Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi (Jakarta: Paramadina, 2003), h. xxviii. 9 Kosmopolitanisme merupakan teori yang menolak hal-hal yang bersifat nasional. Sentimen patriotik dan kebudayaan lokal dijauhkan demi mempertahankan dan mengajukan kesatuan umat Islam. Lihat pada Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2000), h. 501. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, kosmopolitanisme merupakan suatu kemestian dan ia mendapatkan legalisasi langsung dari al-Qur‟an. Untuk keterangan lebih lanjut lihat pada Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 442443. 10 Joel L. Kramer, Humanism in The Renaissance of Islam, h. 12.
12
Dalam hal ini, penghargaan yang tinggi terhadap individualitas, ikatan terhadap kelompok kecil yang terbatas menjadi semakin meningkat. Karena dorongan individualisme dan adanya kosmopolitanisme memunculkan tabrakan berbagai budaya, norma dan adat istiadat sosial dan agama. Untuk menjaga agar tidak terjadi kericuhan sosial dan keamanan antar individu memunculkan berbagai kepura-puraan (taqiyah) sebagaimana dikenal dalam tradisi Syi‟i yang hidup dalam tradisi Sunni, kaum yang beraliran Syafi‟i menyembunyikan alirannya demi keselamatan diri dan pribadi. Sekularisme11
berjalan
seiring
dengan
individualisme
dan
kosmopolitanisme, ciri lain karakter periode ini adalah sekularisme. Kelompok minoritas yang kreatif, khususnya para filosof dan ilmuan, memandang agama sebagai suatu matriks norma-norma sosial dan perilaku komunal yang bersifat konvensional. Tanpa mengurangi atau menghilangkan kekuatannya secara keseluruhan, agama kekurangan sesuatu yang benar-benar valid dan bersifat memaksa. Agama tidak dapat diremehkan, ia merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Ketika berurusan dengan sesuatu, Islam telah menetapkan suatu penilaian sebelum hasil yang dicapai melalui penelitian ilmiah memberikan pembuktian. Bentuk-bentuk penghormatan, pemberkatan, dan harapan-harapan diekspresikan dalam formula-formula keagamaan. Para filosof menghargai simbol-simbol keagamaan untuk menghormati tanggung jawab politik dan sosial mereka. Para ahli filsafat juga telah menganggap agama sebagai kebenaran yang
11
Secara bahasa sekularisme berasal dari bahasa latin saeculum (dunia, abad). Secara filosofi mempunyai arti temporal, duniawi; berkaitan dengan benda-benda yang tidak dianggap sakral, jauh dari muatan keagamaan, tidak rohani lihat pada Loren Bagus, Kamus Filsafat, h. 980.
13
bersifat simbolis yang dapat dicari jalan pemecahannya.12 Orang dapat melihat bagaimana al-Farabi dalam tulisannya tentang politik menganggap bahwa agama sebagai simbolis representasi kebenaran.13 Para ahli menganggap perbedaan dan perdebatan dalam beragama merupakan suatu latihan intelektual belaka yang tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka.14 Mereka memperdebatkan masalah zuhud tetapi mereka tetap melakukan pesta pora. Mereka dalam menulis suatu tulisan terutama masalah teologi setelah mengungkapkan pujian kepada Tuhan tidak pernah untuk mengucapkan pujian kepada penguasa mereka. Ini artinya sentimen keagamaan yang mereka kuasai dan miliki hanyalah sentimen biasa yang hanya untuk mencapai kekuasaan dan penghargaan belaka. Dari dasar kebudayaan dan sosial yang seperti itu memunculkan banyak tokoh yang terkenal dan ahli seprti Ibn „Imad gurunya al-„Amiri, Ibn Miskawayh, Al-Amiri sendiri dan banyak tokoh lain.
B. Riwayat Hidup dan Pendidikan al-Amiri Abu Hasan Muhammad ibn Yusuf al-„Amiri, atau biasa juga disebut sebagai Abu al-Hasan ibn Abu Dzarr keberadaannya sedikit sekali dikenal sampai saat ini terutama di dunia pemikiran Barat.15 Namun di belahan Islam klasik sangat dikenal. Misalnya, secara langsung al-Syahristani memasukkan dalam
12 13
Joel L. Kramer, Renaisans Islam, terj. Asep Saefullah, (Bandung: Mizan, 2003), h. 39. Abu Nashr al-Farabi, al-Madinah al-Fadhilah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002), h. 114-
116. 14 15
h. 165.
Lihat pada Osman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 208. Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993),
14
kelompok filosof Islam.16 Pada hakekatnya al-„Amiri adalah salah satu tokoh penting dalam filsafat di daerah Khurasan yang hidup antara al-Farabi dan Ibn Sina. Kedudukannya oleh Syahristani disepadankan dengan al-Kindi, Ibn Miskawayh, Hunain Ibn Ishaq, Abu Sulaiman al-Sijzi, al-Farabi dan lain sebagainya. Al-„Amiri dilahirkan di Nisabur pada permulaan abad ke-4 H/ ke-10 M dan meninggal di tempat kelahirannya pada tanggal 27 Syawal 381 H/ 6 Januari 992 M.17 Ia adalah seorang filosof yang mempunyai kecenderungan pada sufisme, bersahabat dengan para sufi dan bahkan menulis beberapa persoalan yang menjadi subjek kalangan sufi. Ia mendapat pendidikan dari tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Abu Zayd Ahmad ibn Sahal ibn Balkhi. Ia darinya mendapat pendidikan dalam bidang filsafat, metafisika, dan beberapa pemikiran Aristoteles dan keseluruhan pemikiran yang kemudian dijadikan pegangan Ibn Sina. Sebagaimana kebanyakan orang yang sezamannya, al-Amiri juga melakukan pengembaraan ke wilayah-wilayah yang jauh, yang biasanya dilakukan untuk mencari ilmu, pencerahan, dan juga mencari perlindungan bahkan untuk mendekati penguasa.18 Dalam pengembaraannya itu, salah satu yang dikunjungi adalah Baghdad bahkan sampai dua kali. Pertama, sebelum 360 H/970 M, di mana dalam kunjungannya tersebut ia menghadiri perkumpulan (majlis) Abu Hamid al-Marwarrudzi dan mendiskusikan persoalan hukum, yang memperbincangkan anggur/khamr secara analitikel (tahlil 16
Abu al-Fatah Muhammad ibn „Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilamiyah, tt), h. 522. 17 Joel L. Kramer, Renaisans Islam, terj., h. 317-318. 18 Hal ini merupakan fenomena yang umum dalam dunia Islam lihat Abu „Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats, h. 129.
15
al-khamr). Kedua, pada tahun 364 H/974 M, di mana perjalanan yang dilakukan untuk menyertai Abu Al-Fath Dzu al-Kifayatain ke kota damai (Madinah AlSalam). Dalam kesempatan ini, ia mengikuti kegiatan dan perdebatan yang dilakukan oleh para filosof. Kemudian ia kembali ke Iran, tepatnya di Rayy dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar ilmu kepada Abu Al-Fadhl ibn Al-„Amid. Namun pada tahun 375 H/982 M, ia kembali ke tempat kelahirannya Khurasan sampai meninggal dunia pada tahun 381 H/991 M.19 Dalam masa hidupnya ia mempunyai banyak teman dan pengikut, misalnya Abu Qasim al-Khatib, Ibn Hindun, Ibn Masykukah. Ia juga menjadi rujukan Ibn Sina secara langsung sebagaimana disebutkan oleh Ibn Sina dalam kitab al-Najah dengan reservasi tentang kemampuan filsafatnya.
C. Karir dan Aktifitas al-Amiri Seperti kebanyakan orang yang sezaman dengannya, Al-„Amiri melakukan pengembaraan ke wilayah-wilayah yang jauh—sebagiannya adalah untuk mencari pengetahuan dan pencerahan, dan sebagiannya lagi untuk mendapatkan perlindungan dari beberapa penguasa dan wazir (perdana menteri). Kepada mereka, Al-„Amiri mendedikasikan sebagian besar karya-karyanya, dan sebagian lagi karena ketidakstabilan dan kekacauan dinasti-dinasti kecil tempat ia mencari perlindungan. Di tengah-tengah pengembaraannya, Al-„Amiri mengunjungi Baghdad setidaknya dalam dua kesempatan. Dalam kesempatan itu, Al-„Amiri
19
Joel L. Kramer, Renaisans Islam, terj., h. 233.
16
mengikuti pertemuan yang tidak disengaja dengan para filosof Baghdad dan perdebatan yang mengesankan dengan Abu Sa‟id Al-Sirafi. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa Al-„Amiri mengunjungi Abu Al-Fadhl ibn Al-„Amid di Rayy adalah setelah kunjungannya yang pertama ke Baghdad pada tahun 360 H/970 M, karena Ibn Miskawaih menempatkan kunjungan ini setelah ia kembali dari ibu kota tersebut, dan Ibn Al-„Amid meninggal pada tahun itu. Kemudian Ibn Miskawaih menyebutkan dalam karyanya, Tajarib Al-Umam, bahwa ia melihat Abu Al-Hasan Al-„Amiri di istana Ibn Al-„Amid. Ini terjadi, kata Miskawaih, ketika Al-„Amiri sedang dalam perjalanan pulang dari Baghdad ke Khurasan: “[Al-„Amiri] menganggap dirinya sebagai filosof yang sempurna, setelah memberikan komentar terhadap buku-buku Aristoteles, yang dengannya ia tumbuh dewasa. Ketika Al-„Amiri kemudian menyadari pengetahuan yang luas yang dimiliki Pemimpin para Guru (Ibn Al-„Amid) mengenai beberapa ilmu pengetahuan (sains), pemikirannya yang cemerlang, daya ingatnya yang kuat untuk sesuatu yang telah ditulis, ia menundukkan kepala dihadapannya dan memperbarui studi-studinya di bawah bimibingannya, dengan kesadaran bahwa dirinya adalah salah seorang yang pantas untuk menjadi muridnya. Ia membaca banyak buku yang sulit dipahami bersama Ibn Al-„Amid, yang memperkenalkan dan mengajarkan buku itu kepadanya.20 Pada tahun 370 H/980 M, Miskawaih mendapatkan informasi bahwa Al„Amiri telah kembali lagi ke rumahnya di Nisabur, tempat ia berjumpa dengan
20
Miskawaih, Tajarib Al-Umam, II, tahun 359 H/969 M., h. 277.
17
sekelompok sufi pengembara, sebuah peristiwa yang dikenang oleh Tauhidi (Imta, III, h. 94). Ia menggambarkan Al-„Amiri sebagai seorang dari “para penjelajah dunia”, yang mengembara ke kota-kota dan berjuang untuk mengetahui “rahasia Tuhan di antara manusia”. Menjelang akhir masa hidupnya, Al-„Amiri tinggal di Bukhara. Pada tahun 375 H/985 M, ia menyelesaikan karyanya, Al-Taqrir li-Aujuh Al-Taqdir, untuk Abu Al-Husain Al-„Utbi, wazir Nuh ibn Manshur, dan ia juga menyelesaikan AlAmad ‘ala Al-Abad di Bukhara pada tahun yang sama. Produksi kesusastraannya menjelang akhir kariernya dihasilkan di bawah perlindungan Amir Dinasti Samaniyyah,
yang ingin mengangkat Al-„Amiri menjadi wazir.21 Dan
kemungkinan besar ia telah memanfaatkan perpustakaan yang ada di Bukhara sebagaimana yang dilakukan Ibn Sina sesudahnya.
D. Karya-karya al-Amiri Banyak dari karya al-„Amiri yang tidak ada dan telah hilang dari peredaran. Namun untuk menelusuri berapa jumlah karya yang ia tulis al-Amiri sendiri telah menjelaskan karya-karya yang ia tulis. Kitab-kitab yang ia tulis adalah : a. Al-Ibanah „an ilal al-Diyanah; b. Al-I‟lam bi Manaqib Al-Islam; c. Al-Irsyad li Tahshih Al-I‟tiqad; d. Al-Nusuk al-„Aqli wa Al-Tashawuf Al-Maliy; 21
Lihat daftar karya Al-„Amiri pada Pengantar Minovi, h. vi; Ghorab, Pengantar untuk I’lam Al-„Amiri, h. 12.
18
e. Al-Itmam li Fadhail Al-Anam; f. Al-Taqrir li Aujuh Al-Taqdir; g. Inqadz Al-Basyar min Al-Jabar wa Al-Qadar; h. Al-Fushul al-rabaniyah li al-mabahis al-rabbaniyah; i. Fushul al-ta‟adub wa fudhul al-tahabub; j. Al-Absyar wa al-asyjar; k. Al-Isfshah wa al-idhah; l. Al-Inayah wa al-dirayah; m. Abhats „an ajdats; n. Istiftah al-nadhar; o. Al-Ibshar wa al-mubashar; p. Tahshil al-salamah „an al-hushr wa usr; q. Al-Tabshir li aujuh Al-Ta‟bir; r. Minhaj al-din; s. Syarah kitab al-burhan li aristho; t. Syarah kitab al-Nafs li aristho; u. Al-Fushul fi ma‟alim al-ilahiyah; v. Al-Sa‟adah wa al-is‟ad dan lain sebagainya. Dari karya-karya itu baik yang disebutkan secara langsung oleh al-Amiri atau tidak kebanyakan sudah tidak ada. Sedangkan yang berkaitan dengan pembahasan dalam tulisan ini adalah al-I’lam bi Manaqib al-Islam. Oleh karena itu akan diberikan sedikit tentang gambaran kitab tersebut.
19
Dalam kitab al-I‟lam terdiri atas pembukaan pendek, muqaddimah, sepuluh pasal dan terakhir penutup (al-khatimah). Dalam pembukaan al-Amiri menjelaskan mengenai tujuan dari penulisan, dan ia menjelaskan bahwa karya tersebut memuat beberapa keunggulan agama Islam dibanding dengan agama lain selain Islam. Ia mencoba membandingkan secara metodologis, yang mempunyai dasar dan objek yang jelas. Untuk membandingkan masalah agama, ia mencoba menggunakan dasar nalar sebagai bahan silogisme. Berdasarkan penggunaan pada nalar maka Amiri melarang orang umum untuk mencoba memahami dan membaca karya ini sebab orang yang membaca akan menjadi lebih bingung. Sebab biasanya mereka tidak akan dapat menyimpulkan hasilnya karena nalar mereka belum sampai. Oleh karenanya buku ini hendaknya dibaca oleh orang-orang tertentu yang menguasai dengan baik dimensi keilmuan, terutama yang berkaitan dengan nalar („aql). Adapun isi dari buku yang ditulis itu secara bab perbab dapat dijelaskan sebagai berikut;22 Sebagaimana biasa suatu tulisan jika ada pembukaan pasti ada penutup. Dalam penutup Amiri membahas mengenai masalah keberadaan orang-orang yang menjadi musuh Islam dan juga membahas cara penyebaran Islam dengan 22
1. Pasal mengenai esensi ilmu dan klasifikasinya halaman 83 sampai 97; 2. Pasal membahas mengenai keutamaan ilmu agama secara umum halaman 99 sampai 107; 3. Pasal tentang keutamaan ilmu hadits, ilmu kalam halaman 109 sampai 122; 4. Pasal tentang mengetahui rukun-rukun Agama (al-Din) halaman 123 sampai 127; 5. Pasal tentang keutamaan Islam dari segi akidah dan ibadah halaman 129 sampai 137; 6. Pasal mengenai keutamaan Islam dikaitkan dengan rukun-rukun ibadah dari halaman 138 sampai 149; 7. Pasal tentang keutamaan Islam dikaitkan dengan kerajaan (politik) halaman 151 sampai 161; 8. Pasal tentang keutamaan Islam dikaitkan dengan keadaan rakyat dari halaman 163 sampai 164; 9. Pasal tentang keutamaan Islam dikaitkan dengan kenegaraan dan kesukuan dari halaman 171 sampai 177; 10. Pasal tentang keutamaan Islam dilihat dari segi pengetahuan (ma‟arif) 179 sampai 183.
20
pedang. Dari kesekian pasal yang ditulis oleh Amiri, penulis hanya meneliti masalah politiknya, terutama masalah kerajaan atau kekuasaan, rakyat dan kesukuan, di mana ketiga hal tersebut berhubungan erat sekali dengan masalah politik.
21 BAB III KEKUASAAN DAN AGAMA A. Pengertian Agama dan Kekuasaan 1. Agama Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din. Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.1 Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya. Kata religi secara etimologi menurut Winkler Prins dalam Algemene Encyclopaedie mungkin sekali berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang ber-religi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci. Selanjutnya, kata din secara etimologi berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh dan taat, undang-undang, peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang ber-
1
David Trueblood, Filsafat Agama, terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 8.
21
22 din ialah orang yang patuh dan taat terhadap peraturan dan undang-undang Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.2 Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu: 1. Tata pengakuan terhadap adanya Yang Agung dalam bentuk iman kepada Allah. 2. Tata hubungan terhadap Yang Agung tersebut dalam bentuk ibadah kepada Allah. 3. Tata kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi. 4. Tata sikap terhadap dunia dalam bentuk taqwa, yakni mempergunakan dunia sebagai jenjang untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan yang membimbing manusia yang berakal dengan kehendaknya sendiri untuk kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.3 Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki empat ciri, yaitu: 1. Din adalah peraturan Tuhan. 2. Din hanya diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis Nabi yang berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu, artinya: agama ialah akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. 3. Din harus dipeluk atas dasar kehendak sendiri, firman Allah: la ikraha fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din (agama). 4. Din bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.
2
Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al-„Amiri, Kitab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1967), h. 99. 3 Ibid., h. 101.
23 2. Kekuasaan Istilah “kekuasaan” merupakan bentukan dari “kuasa” yang diberi imbuhan “ke” dan “an”. Jadi, secara fleksikal kuasa mempunyai banyak arti diantaranya adalah “kemampuan” atau “kesanggupan” (untuk membuat sesuatu); kekuatan; kewenangan atas sesuatu atau menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) yang ada pada seseorang karena jabatannya.4 Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama. Manusia mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu manusia sering merasa perlu untuk memaksakkan kemauannya atas orang atau kelompok lain. Hal ini menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatannya sendiri. Maka dari itu bagi orang banyak, kekuasaan itu merupakan suatu nilai yang ingin dimilikinya. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial. Kekuasaan biasanya terbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintahkan (the ruler and the ruled); satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi dari pada yang lain dan selalu ada unsur paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.
4
467.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.
24 Setiap manusia sekaligus merupakan subyek dari kekuasaan dan obyek dari kekuasaan. Misalnya, seorang presiden membuat undang-undang (subyek dari kekuasaan), tetapi di samping itu dia juga harus tunduk kepada undang-undang (obyek dari kekuasaan). Pokoknya jarang sekali ada orang yang tidak pernah memberi perintah dan tidak pernah menerima perintah. Hal ini kelihatan jelas dalam organisasi militer yang bersifat hierarchis di mana seorang prajurit diperintah oleh komandannya, sedangkan komandan ini diperintah pula oleh atasannya.5 Di antara banyak bentuk kekuasaan ini ada suatu bentuk yang penting yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (perintah) baik terbentuknya maupun akibatakibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan sebagian saja dari kekuasaan sosial, yakni kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah-laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratif, legislatif, dan yudikatif. Namun demikian suatu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaan (machtsuitoefening). Kekuasaan itu harus digunakan dan harus dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan dengan efektif, hal ini dapat disebut sebagai “kontrol” (penguasa/pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang memegang
5
h. 35-36.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997),
25 kekuasaan, dan harus ada alat/sarana kekuasaan (machtsmiddelen) agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik.6
B. Konsep Kekuasaan Politik Menurut Al-‘Amiri 1. Kekuasaan Tuhan Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini, tetap belum terpecahkan secara tuntas. Pengalaman masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia, khususnya sejak usai Perang Dunia II mengesankan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam (din) dan negara (dawlah), atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai “eksperimen” dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultural politik masyarakat Muslim; dan eksperimen-eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi “Islam” ke dalam negara politik juga berbeda-beda.7 Al-„Amiri mengatakan bahwa kekuasaan dan agama “sungguh saling berkelindan; tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara sudah pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik,” dalam I‟lam bi Manaqib Al-Islam, ia menganggap penegakkan negara sebagai tugas mulia untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakkan ungkapan berikut: “Melihat tegaknya sebuah keadilan berarti melaksanakan perintah dan menghindar
6
Ibid., h. 37. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1. 7
26 dari kejahatan dan memasyarakatkan tauhid serta mempersiapkan bagi kedatangan sebuah masyarakat yang dipersembahkan demi mengabdi Allah.8 Keluasan hukum Islam terlihat pada nama yang dipilih dan diberikan para pemeluknya, syariah. Kata itu berarti sebagai rujukan akhir hukum Islam tidak saja berperan sebagai undang-undang perilaku keagamaan, tetapi yang lebih lagi, kitab suci itu merupakan hukum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi negara Islam. Sumber hukum konstitusi Islam ke dua yang tidak kalah penting adalah Sunnah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada semua umat manusia. Segenap praktek kehidupan KhulafaurRasyidin juga termasuk Sunnah. Pada saat-saat tertentu terdapat kesepakatan umum yang berkembang dikalangan unsur-unsur politik Islam atau Ummah, berkaitan dengan permasalahan yang timbul dan secara kolektif kemudian mencapai kesepakatan bulat. Inilah Ijma‟ atau konsesus yang merupakan sumber hukum otoritatif peringkat ke tiga. Sedang sumber hukum yang ke empat adalah Qiyas atau analogis. Bentuk-bentuk pertimbangan rasional yang lain dapat diklasifikasikan di bawah kategori tersebut.9
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah
8
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 57. 9 Jindan, Teori Politik Islam, h. 60.
27 kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."(Q,S. 12:40)10 Klausa in al-hukm illa lillah yang terdapat dalam ayat di atas terdapat pula dalam Q.S. Yusuf (12:67) dan Q.S. al-An‟am (6:57). Hanya saja dalam kedua ayat ini, konteks pembicaraan berbeda dengan ayat terdahulu. Tapi dalam ayat-ayat tersebut kata al-hukm dipergunakan dalam tiga masalah, yaitu urusan ibadah, urusan akidah, dan urusan perselisihan pendapat. Dalam hal pertama, konsep hukum mengatur kehidupan manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa segala keputusan yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia sebagai khalifah Allah berada dalam kekuasaan Allah SWT. Bagaimana manusia mengatur kehidupannya, baik kehidupan pribadinya ataupun kehidupan sosialnya dalam lingkungan yang seluas-luasnya, termasuk pula hubungannya dengan lingkungan alamnya, semuanya berada dalam kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kata al-hukm dalam ayat ini berkaitan dengan aturan-aturan kehidupan manusia yang dikenal dengan syariat.11 Argumen al-„Amiri tentang sumber-sumber hukum dan legislasi Islam dimaksudkan untuk menitikberatkan pada suatu masalah pokok: setelah melalui proses analisa final dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap dalam kitab suci al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad yang secara kolektif disebut syariah. Tidak ada yang sanggup mengikis esensi agama Islam bila orang berpegang teguh pada prinsip itu. Seluruh bangunan Islam didirikan pada dua prinsip dasar: ke-Esaan Allah secara mutlak dan penegasan sikap bahwa Muhammad adalah utusan Allah (La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah). Karena Muhammad diyakini sebagai rasul yang membawa misi untuk menegaskan ke-Esaan Allah sebagaimana terungkap dalam al-Quran, maka manusia dituntun 10
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 354. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 180-181. 11
28 kepada keyakinan bahwa Dzat yang Maha Kuasa hanyalah Allah semata. Syariah memang dapat dirinci menjadi empat bagian (sumber), namun sumber-sumber itu dipandang sebagai ungkapan kehendak Allah, Dzat Yang Maha Esa dan Kuasa.12 Pandangan para pemikir Sunni mengenai perlunya pemerintahan untuk melaksanakan syariah mendorong terbentuknya konsep yang didasarkan atas hukum Tuhan (siyasah syar‟iyyah). Konsep ini muncul sebagian karena penyimpangan dan kekacauan politik pada waktu itu, yang sebagian besar di luar masalah syariah, namun tetap dijustifikasikan oleh para fuqaha sebagai bagian dari masalah syariah.13 Ada sejumlah rujukan dalam al-Quran yang secara tegas menerangkan sumber dan sikap kekuasaan dalam Islam. Misalnya dua ayat berikut:
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 3:26)14 Dan
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 3:189)15 Ayat-ayat al-Quran tersebut di samping ayat-ayat yang lain menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu juga menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan mutlak seperti yang terdapat pada monarchi Hobbes atau reka-reka hukum dalam bentuk negara yang
12
Jindan, Teori Politik Islam, h. 71. M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 100. 14 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 79. 15 Ibid., h. 109. 13
29 diajukan oleh John Austin. Tegasnya adalah bahwa Tuhan sendiri yang mempunyai kekuasaan itu. Hanya saja, al-Quran juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah) Nya di bumi. Oleh sebab itu manusia dapat mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak terbatas selama digunakan hanya demi memenuhi kehendak-Nya. Dengan konsep kekuasaan itu tidak ada lagi pertentangan antara kekuasaan Allah dan kebutuhan manusia akan adanya pemerintah. Allah tetap berkedudukan sebagai satu-satunya pemilik segala kekuatan dan kekuasaan. Tetapi, uji coba kekuatan dan kekuasaan itu “didelegasikan kepada Nabi Muhammad atau khalifah Allah di Bumi yang mendapat instruksi untuk menegakkan pemerintahan yang adil. Setelah wafat Nabi “secara diam-diam umat Islam memahami bahwa Allah telah mendelegasikan kekuasaan-Nya kepada masyarakat Islam yang segera memilih pengganti kedudukan Muhammad sebagai khalifah (wakil) Allah. Hanya saja, kekhalifahan itu hanya berlaku sah bila penanggungjawabnya melaksanakan kehendak Allah atau syariah. Apabila Allah adalah penguasa yang sebenarnya, maka syariah merupakan ungkapan kekuasaan itu, sedang tugas para khalifah-Nya adalah menerapkan hukum-hukum syariah.16 Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian, penegakkan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Lebih lanjut, al-„Amiri menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan pemerintahan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sudah barang tentu antara kehidupan agama dan kehidupan duniawi akan tercipta keserasian.
16
Jindan, Teori Politik Islam, h. 73-74.
30 Sebaliknya, jika kekuasaan memisahkan diri dari agama, atau agama mengabaikan kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka bagi umat manusia. Karena itulah, sangat wajar jika kita berkesimpulan bahwa hubungan agama dan kekuasaan (negara) dalam pandangan al-„Amiri, sesungguhnya lebih bersifat fungsional dan bukan organik. Implikasinya, negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama (syariah), tetapi negara berikut penyelenggaranya juga bukanlah institusi yang sakral; sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan religius apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan al-„Amiri, ketaatan kepada pemerintah penyelenggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah mereka tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Kendati begitu, harus segera dicatat bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang remeh, karena, tanpa kehadirannya suatu tata tertib sosial yang berlandaskan al-Quran dan Sunnah kiranya akan sulit diwujudkan.17 2. Kekuasaan Kepala Negara Kewajiban-kewajiban
dan tugas-tugas penting kepala negara adalah
mewujudkan tujuan-tujuan dan maksud-maksud negara Islam. Sebagaimana yang dijelaskan sejumlah besar ulama dan para pemikir dari kalangan pemuka salaf, berkisar pada dua pusat (inti), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mawardi: “Melindungi agama dan mengatur dunia”. Sesungguhnya khalifah atau imam atau kepala negara menjalankan administrasi (negara) yang mengarah pada pelaksanaan dua tujuan tersebut. Jadi, ia menunaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan pengertian Islam, dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah ditunjuk sebagai pembantu kepala negara. Seperti para menteri, gubernur, pekerja (pegawai dan pemerintah) daerah, 17
M. Arskal Salim G.P., Etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 52.
31 hakim dan lainnya kita mungkin dapat meringkas tugas-tugas dan kewajibankewajiban ini: menjaga keamanan dalam negeri membela negara, baik tanah air maupun rakyat; melindungi agama dan dakwahnya, baik di dalam maupun di luar (negeri); dan mencegah setiap penyelewengan dan penyimpangan atau pelecehan (tasywih). Begitu juga menunaikan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya: dengan menegakkan keadilan dan mencegah kezhaliman, menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan serta melanggar hak-hak Allah dan manusia, menjamin orang-orang miskin, menarik pajak yang diwajibkan negara atau (mengumpulkan) harta yang diizinkan syara‟; menjaga dan membelanjakannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, mengangkat orang-orang yang akan melaksanakan seluruh aktifitas pembelanjaan (negara), keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi.18 Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya. Karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling membutuhkan.19 Bagi al-„Amiri sangat penting kalau pemerintahan digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan mendekatkan diri pada Tuhan. Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan mengubah keadaan orang.20 Al-„Amiri tidak berpandangan bahwa negara sebagai kesatuan yang mistis dan bersifat supranatural. Teori ketuhanan dan teori idealistis sesungguhnya lebih cocok dengan teori Imamah Syi‟ah yang sangat ditentang keras oleh al-„Amiri.
18
Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995), h. 70. 19 Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 158. 20 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2000, h. 235.
32 Pernyataan al-„Amiri seperti “Inna al-Sulthan Zhill Allah fi al-Ard” (Sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan di bumi) seharusnya tidak dapat ditafsirkan bahwa al-„Amiri berpandangan bahwa seorang pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Sebab, di bagian lain, al„Amiri menyebutkan bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas hambahamba-Nya, tetapi di saat yang sama seorang pemimpin juga adalah wakil para hamba. Dengan kata lain seorang pemimpin mempunyai status ganda, sebagai duta Tuhan yang bertanggungjawab kepada Yang Mengutusnya dan sebagai wakil para hamba yang bertanggungjawab pula dalam mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjuknya sebagai wakil. Dalam kedudukannya sebagai duta, ia tidak diperkenankan menyimpang dari ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh Yang Mengangkatnya. Begitu pula, dalam kedudukannya sebagai wakil, ia pun tidak boleh mengkhianati amanat dari orang-orang yang diwakilinya.21 Al-„Amiri merumuskan teori kebersamaan, berkisar sekitar konsep umat secara keseluruhan, di mana pemerintah dan yang diperintah memiliki bentuknya masing-masing. Pertama, al-„Amiri menyatakan bahwa “kekuasaan itu adalah amanah” dan ia mengutip dari ayat Al-Quran:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (Q.S. 4:58).22
21 22
Salim G.P., Etika Intervensi Negara, h. 50. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 128.
33 Ayat ini diturunkan saat jatuhnya kota Mekkah ke tangan Muslim. Nabi menerima kunci Ka‟bah dari Banu Syaiba. Paman Nabi, Abbas, minta bahwa ia (Nabi) diberikan kunci tersebut supaya ia dapat menghubungkan kantor penjaga Ka‟bah dan penyediaan air bagi para jemaah haji. Saat ayat ini diturunkan, Nabi memberikan kembali kunci tersebut ke Banu Syaiba. Ayat ini menggarisbawahi kepentingan akan keadilan dan kehendak baik terhadap masyarakat oleh penguasa. Ayat al-Quran kedua, yang al-„Amiri pandang sebagai dasar pokok kedua dari doktrin politiknya adalah ayat yang diturunkan berurutan dengan ayat tersebut diatas, yang berbunyi:
. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. 4:59). Ayat ini meminta Muslim untuk patuh terhadap pemerintah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak boleh memberontak melawan mereka. Al-„Amiri menyimpulkan bahwa dua ayat ini menunjukkan hubungan timbal balik antara masyarakat dengan pemerintah yang telah dibahas di atas. Akan tetapi sejak al-„Amiri menerima dengan sangat baik seluruh hadist politik determinasi Sunni, ia menuntut bahwa Muslim harus tetap patuh pada pemerintah, sekalipun mereka kejam (Dzalim). Kemudian, al-„Amiri menyatakan standar pandangan politik Sunni bahwa Muslim harus tunduk pada kezaliman, dari pada memberontak melawan mereka, kecuali kalau pemerintah itu memerintah untuk sesuatu yang bertentangan dengan syari‟ah.
34 Meskipun demikian, pada tataran ini, konsep hubungan timbal balik al-„Amiri, muncul lagi. Walaupun ia tidak membolehkan pemberontakan, ia mengatakan bahwa seandainya masyarakat memberontak, seperti yang sering terjadi, pemerintah mesti toleran terhadap pemberontakan dan tidak membunuh atau menghukum berat mereka. Kebersamaan ini tentunya merupakan penerapan dari doktrin dasar al-„Amiri yang telah dinyatakan lebih dahulu dalam wacana politik: Dalam keadaan bagaimanapun, Muslim tidak boleh membunuh Muslim lain atau menuduh Muslim lainnya kafir mutlak (kufr „ala „il-itlaq). Oleh karena itu, Muslim tidak boleh memberontak melawan pemerintah Muslim, begitu pula pemerintah tidak boleh menghukum secara kejam masyarakat Muslim. Bagi orang yang memberontak, ia bukan melawan pemerintah, tetapi melawan negara atau masyarakat dan melanggar hukum dan pemerintah, juga berusaha menggulingkan atau membunuh, maka hukuman yang berat mesti digunakan, seperti yang telah disebutkan dalam al-Quran.
. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. 23 (Q.S. 5:33)24 Menurut al-„Amiri ayat yang pertama, yakni 58 surat al-Nisaa, dimaksudkan bagi para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antara sesama anggota 23 24
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 164. Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, h. 227-228.
35 masyarakat. Sedangkan ayat yang kedua, atau ayat 59 surat al-Nisaa, ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga kepada pemimpin mereka, dan melakukan segala perintah selama tidak diperintahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Kemudian kalau terjadi perbedaan pendapat antara mereka, maka dalam mencari penyelesaian hendaknya kembali kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Al-„Amiri mengakhiri pendahuluan dari bukunya dengan mengatakan bahwa dengan diwajibkannya para pemimpin negara untuk menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak, dan untuk berlaku adil dalam memutuskan sengketa seperti tersebut dalam ayat 58, maka akan terjadi perpaduan antara kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan yang baik.25 Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil”. Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proporsional. Prinsip-prinsip keadilan ekonomi syariat dalam barter, retribusi, dan distribusi kepada kaum miskin harus dijalankan oleh pejabat publik maupun setiap individu. Tujuan semua tugas publik (wilayah) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia. Karena itu, “memerintahkan kepada kebaikan merupakan tujuan tertinggi dari setiap tugas publik. Tidak ada pemerintah yang dapat mencapainya tanpa mematuhi norma-norma Islam. Sebaliknya, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran tidak efektif tanpa dukungan kekuatan politik. Konsep ini memberikan al-„Amiri landasan untuk menyatakan hubungan yang tak tergoyahkan antara agama dan kekuasaan. Ia berujar, “karena itu, sudah saatnya 25
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit UI Press 1990), h. 83.
36 mempertimbangkan Keamiran sebagai salah satu bentuk beragama, yakni satu posisi yang dengannya seseorang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan”, sebaliknya, penggunaan kekuasaan pemimpin juga merupakan “salah satu kewajiban agama yang paling penting”. “karena tujuan yang ditetapkan utuk dawlah (negara) dan syaukah (otoritas) adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, dan menegakkan agama; jadi, ketika negara dan agama telah benar-benar dijalankan untuk tujuan ini, maka kesejahteraan spiritual dan materi pasti tercapai.26 Dalam hal pemerintahan bagi al-„Amiri, perkataan amanat dalam ayat 58 surat al-Nisaa itu mempunyai dua arti: Pertama, yang diartikan amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya akan baik dan sempurna kalau dalam pengangkatan para pembantunya kepala negara memilih orang-orang yang betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan, meskipun pengertian amanat al-„Amiri itu tidak harus berarti sama dengan pengertian Mawardi. Menurut pengertian Mawardi, amanat (trust) lahir sebagai produk dari kontrak sosial antara rakyat sebagai trustor dan kepala negara sebagai trustee. Menurut al-„Amiri, sesuai dengan sabda Nabi dan pernyataan Umar bin Khattab, kalau seorang kepala negara menyimpang dan mengangkat seseorang untuk suatu jabatan, sedangkan masih terdapat orang-orang yang lebih cakap dari dia, maka kepala negara tersebut telah berkhianat tidak saja terhadap rakyat, yang dalam konsep Mawardi sebagai trustor, tetapi juga terhadap Allah dan Rasul Allah. Kedua, perkataan amanat pada ayat tersebut berarti pula kewenangan memerintah yang dimilki oleh kepala negara, dan kalau untuk melaksanakannya dia memerlukan wakil-wakil dan pembantu-pembantu yang memiliki percakapan dan 26
Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 291-292.
37 kemampuan. Kalau dia melimpahkan kewenangan memerintah kepada wakil, pembantu dan pejabat yang kurang cakap, sedangkan terdapat orang-orang yang lebih memenuhi syarat, maka merupakan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul Allah dan umat Islam.27 Dengan kata lain, pelimpahan kekuasaan dan kewenangan oleh kepala negara itu harus diberikan kepada orang-orang yang paling memenuhi syarat kecakapan dan kemampuan dari (calon-calon) yang ada, dan jangan sampai terjadi penyimpangan yang disebabkan oleh faktor-faktor subjektif. Tetapi kalau misalnya di antara (caloncalon) yang ada itu tidak dapat yang menonjol, kepala negara dibenarkan mengambil kebijakan mengangkat salah seorang dari mereka, dengan memperhatikan dua faktor: kekuatan dan integritas. Kekuatan harus diartikan tidak selalu sama bagi jabatanjabatan yang berlainan. Untuk panglima angkatan bersenjata misalnya, kekuatan berupa keberanian dan keteguhan pendirian serta kemahiran dalam strategi, siasat dan taktik perang. Sedangkan bagi jabatan hakim kekuatan berupa pengetahuan yang memadai dalam bidang hukum dan kemampuan untuk berlaku adil dalam memutus perkara dan kemudian melaksanakan keputusan yang diambilnya. Sedangkan yang diartikan dengan integritas adalah ketakwaan kepada Allah yang utuh dan kesetiaan kepada ajaran serta hukum Islam. Dalam pada itu al-„Amiri menyadari bahwa tidak banyak orang yang memiliki kedua persyaratan tersebut: kekuatan dan integritas. Dalam situasi terdapat dua calon untuk satu jawaban; yang satu memiliki kekuatan tetapi dengan integritas yang lemah, dan yang kedua memiliki tingkat integritas yang tinggi tetapi tanpa kekuatan yang memadai, menurut al-„Amiri kepala negara dapat memutuskan berdasarkan pertimbangan mana di antara dua kualitas tersebut− kekuatan dan integritas − yang
27
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 86.
38 lebih diperlukan untuk jabatan itu. Kalau kekuatan lebih diperlukan maka yang sebaiknya diangkat calon pertama; sebaliknya kalau integritas lebih diperlukan maka calon kedua yang harus diangkat. Amanat kedua ialah mengenai pengelolaan kekayaan negara dan perlindungan harta benda milik para warga negara. Dalam hal kekayaan negara, rakyat tidak dibenarkan menolak membayar segala kewajiban kepala negara harus membelanjakan dana yang diterima dari rakyat dan dari sumber-sumber lain secara baik, sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah, dan tidak mempergunakannya sekehendak hawa nafsu saja. Ia harus sadar sepenuhnya bahwa dana tersebut bukan miliknya, tetapi merupakan amanat atau titipan. Dalam pada itu kepala negara harus menjamin bahwa segala kewajiban keuangan dari negara untuk rakyat harus selalu dipenuhi, dan juga harus melindungi hak milik, harta benda dan kekayaan warga negara terhadap ancaman atau gangguan, baik dari aparat negara maupun dari sesama rakyat.28 Seorang pemimpin adalah seorang wakil lebih karena memperoleh dukungan (bai‟at) dari rakyatnya yang sekaligus merupakan pernyataan kerelaan untuk diwakili olehnya. Disaat yang sama, pemimpin yang dibai‟at oleh rakyatnya itu mendapat tugas dari Tuhan sebagai duta untuk mewujudkan terciptanya atmosfir yang menunjang pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. Jadi, seorang pemimpin pada dasarnya memperoleh kekuasaan dari dua arah, yaitu karena dukungan rakyat dan karena penugasan Tuhan. Maka dari itu, penafsiran konsep al-„Amiri bahwa kekuasan pemimpin hanya berasal dari Tuhan adalah inkosisten dan sangat bertentangan dengan pendirian mengenai kesesatan teori Imamah Syi‟ah. Dengan demikian, pernyataan tersebut barangkali lebih baik ditafsirkan dalam konteks bahwa seorang sultan atau kepala
28
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 86-87.
39 negara adalah institusi yang paling kompeten, kapabel, berkapasitas, dan efektif untuk melaksanakan syariah dimuka bumi.29 Pendapat-pendapat al-„Amiri itu menunjukkan, bahwa restu masyarakat yang terungkap dalam bai‟at menjadi dasar bagi keabsahan pemerintah Islam. Karena bai‟at mempunyai arti yang amat penting, maka pelaksanaannya harus dilakukan dalam suasana yang menjamin kebebasan berpendapat dan kemungkinan adanya oposisi meskipun harus senantiasa terkait dengan syariat, yang wajib dipatuhi pemerintah maupun masyarakat sebagai suatu komitmen tegas untuk mentaati aturan dalam alQuran dan al-Sunnah. Dalam substansi dan pokoknya, bai‟at merupakan suatu perjanjian diantara dua golongan. Yaitu pemimpin atau imam yang dicalonkan untuk memimpin negara dan rakyat. Adapun ia (sang pemimpin) dibai‟at (bersedia) memerintah atas dasar alQuran, al-Sunnah dan nasihat dari kaum Muslim. Sedangkan rakyat yang membai‟at bersedia taat dalam batas-batas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah apa yang terjadi dengan sebenarnya di masa khulafaur rasyidin dalam hal berbai‟at. Di dalam dua prinsip pemilihan dan bai‟at ini tampak peran rakyat atau ummah dalam membentuk dan membangun negara dan memilih alat (negara) yang mengurus urusannya. Sebagaimana tampak juga peran ini di dalam berbagai tempat lain.30 3. Kekuasaan Ulama dan Umara Konsep kekuasaan Islam, terutama jika dilihat dari sisi metodologi konotik al„Amiri, mereduksi negara sebagai suatu sarana untuk menerapkan hukum Allah atau syari‟ah. Menurut pendapatnya, para pemimpin negara Islam harus memusatkan
29 30
Salim G.P., Etika Intervensi Negara, h. 50. Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam, h. 38.
40 perhatian bukan pada penciptaan hukum, namun implementasi hukum-hukum syari‟ah yang telah dirumuskan oleh Nabi Muhammad. Tugas mengimplementasikan syariah yang al-„Amiri limpahkan kepada ulama serta umara menjadi sebab kenaikan dua kelompok itu pada posisi yang tinggi dalam struktur kekuasaan. Dalam jenjang kekuasaan itu ulama dipercayakan mengemban dwi fungsi, menafsirkan hukum-hukum syariah dan merumuskan administrasi keadilan. Sedang umara mendapat tugas menunjang berlakunya hukum-hukum Allah dan mempertahankan negara Islam.31 “Ulama dan Umara”, kata al-„Amiri, “adalah mereka yang diisyaratkan alQuran sebagai Ulul Amr atau mereka yang memerintah, pihak yang mesti ditaati ummat Islam.”
. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. 4:59)32
Ia juga menambahkan bahwa kelompok itu terdiri dari orang-orang terpilih yang memenuhi syarat-syarat komplementer: keberanian, kekuatan, pengetahuan dan akal. Ia mengharapkan agar mereka sanggup memberikan suriteladan bagi segenap lapisan masyarakat, karena kebanyakan orang cenderung meniru tingkah laku para pemimpin mereka. “Jika para pemimpin itu baik, maka rakyat pun turut baik, tetapi
31 32
Jindan, Teori Politik Islam, h. 76. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahnya, h. 128.
41 bila mereka korup, rakyat pun ikut korup”.33 Ayat diatas terdapat perintah mentaati Allah dan Rasulullah SAW serta auliya al-umur seperti khalifah, para amir, komandan pasukan, gubernur, qadhi, dan menteri serta orang yang mengemban tanggungjawab mengurusi urusan umat Islam. Dalam ayat ini tidak ada konteks (qarinah) yang mengalihkan pengertian perintah menjadi sunnah atau mubah. Bahkan banyak ayat lain yang melarang menentang para amir atau melawan mereka. Jadi ayat ini menegaskan kewajiban taat kepada ulil amri. Sedangkan mentaati Allah adalah melaksanakan
perintah-perintahNya
dan
menjauhi
larangan-laranganNya
sebagaimana tertera dalam al-Quran, sedangkan mentaati Rasul adalah mengamalkan sunnah-sunnahnya serta mengikuti perintah-perintahnya.34 Al-„Amiri begitu hati-hati memposisikan ulama dalam negara, ia tidak mau menjuluki mereka (para ulama) sebagai ahlu al-hall wal „aqd. Dan hadist yang menyatakan bahwa para cerdik, pandai adalah orang-orang yang menerima warisan dari Nabi tidak berarti bahwa mereka ini hanya terbatas kepada orang-orang yang secara professional mempelajari theologi dan hukum. Disini istilah ulama telah dipergunakan dalam pengertian yang paling luas; ke dalam istilah ulama ini termasuk semua orang yang karena pengetahuan dan pendidikan mereka dapat menafsirkan syari‟ah secara tepat dan mengadaptasikan syari‟ah kepada kondisi-kondisi waktu dan tempat yang berbeda. Dengan pengertian yang seperti ini maka para ulama memang menempati kedudukan yang mulia di dalam pandangan al-„Amiri.35 Karena pengetahuan mereka dan karena telah menjaga ajaran-ajaran yang diwariskan Nabi Muhammad, merupakan kelas yang penting dalam memberikan petunjuk-petunjuk
33
Jindan, Teori Politik Islam, h. 76. Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 46. 35 Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al-„Amiri, Kitab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1967), h. 173. 34
42 kepada masyarakat, sedang para penguasa harus memerintah dengan nasehat dan kerja sama mereka. Posisi para ulama yang paling jelas ditegaskan oleh al-„Amiri terdapat di dalam pernyataan lain yang berbunyi: “Dan para imam tersebut telah berkata: Sesungguhnya ada dua macam pemegang otoritas, yaitu para ulama dan para penguasa. Di dalam otoritas ini termasuk pemimpin-pemimpin agama (masya‟ikh aldin) dan raja-raja kaum Muslim. Masing-masing di antara mereka akan dipatuhi menurut bidangnya masing-masing. Yang pertama (masya‟ik) akan dipatuhi apabila mereka memberikan perintah-perintah yang berkenaan dengan ibadah, dan kepada mereka itulah kaum Muslim berpaling sehubungan dengan penafsiran-penafsiran alQuran, hadist, dan wahyu-wahyu Allah; yang kedua (raja-raja) akan dipatuhi di dalam masalah-masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukum yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah (al-hudud), dan tindakan-tindakan serupa yang diperintah Allah. Jadi jelaslah bahwa peranan para ulama sebagai penafsir dan penasehat; dan oleh karena itu janganlah kita memperoleh kesan yang salah apabila mereka disebut sebagai “amir”.36 Mereka diwajibkan mengatasi problematika-problematika baru dengan dalil al-Quran dan Sunnah, jika memang mampu. Dan jika tidak mampu, karena waktu yang sedikit dan lemahnya peminta, atau menurut hematnya sudah ada dalil-dalil dengan persoalan yang telah lewat, maka ia boleh bertaklit pada orang yang lebih berpengetahuan dan agamis, karena orang seperti inilah yang mempunyai pendapat yang kuat.37 Fungsi yang paling penting dalam negara Islam adalah orang yang melaksanakan syari‟ah, baik para pemimpin politik maupun ulama. Dengan kata lain, merumuskan undang-undang bukan pekerjaan atau tugas umara maupun ulama, sebab
36
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), h. 238. 37 Ibnu Taimiyyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 156.
43 al-Quran dan Sunnah dengan tegas telah menjelaskannya. Akan tetapi, umara dan ulama boleh menggunakan qiyas dan ra‟y yang sejalan dengan syari‟ah untuk memecahkan berbagai masalah baru yang timbul. Keputusan hukum biasanya menjadi tugas para hakim yang relatif mempunyai otonomi sendiri. Prinsip paling pokok yang mengatur hubungan antara ulama dan umara dalam bidang garap yang berbeda, namun saling berkaitan, adalah kerjasama (koperasi) dan bukan spesialisasi. Andaipun terjadi berbagai perbedaan penafsiran atau juridiksi, maka rujukan terakhir mereka adalah al-Quran dan Sunnah.38
38
Jindan, Teori Politik Islam, h. 80.
BAB IV PEMIKIRAN AL-‘AMIRI TENTANG KEKUASAAN DAN PERANG Dalam tradisi keilmuan setiap sesuatu yang termasuk dalam kategori keilmuan selalu ada batasan dan manifestasi. Begitu pula dalam masalah politik ada batasan dan manifestasinya.1 Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya yang menjadi konsen adalah tentang kekuasaan dan perang dalam kitab al-I„lam bi Manaqib al-Islam. Sebuah karya yang ia tulis lebih banyak mencakup masalah teologi, karena ia merupakan tokoh filsafat yang hidup antara al-Farabi dan Ibn Sina, namun dalam perkembangan intelektual tidak pernah lepas dari hal-hal yang terkait dengan masalah politik.2 Terjadi perbedaan pendapat di kalangan awal Islam dalam masalah politik sehingga berimbas pada teologi atau sekte sekitar pada empat perkara: Pertama, mengenai jumlah khalifah dalam satu waktu atau kurun waktu yang sama. Kedua, mengenai persyaratan suku Quraisy. Ketiga, mengenai kemestian bersihnya khalifah dari perbuatan dosa. Dan terakhir, yang berhak menjadi khalifah, harus dari suku Quraisy atau tidak.3 Selain itu, politik merupakan tatanan untuk mengatur masyarakat sehingga politik bisa mencakup segala urusan, hanya yang menjadi perhatian bahwa politik bertujuan membangun dan menata sistem
1
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai manifestasi dan batasan politik lihat pada Muhammad Abu „Abid al-Jabiri, al-„Aql al-Siyasi al-„Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah, 1995), h. 7. 2 Dalam Islam, sejarah perkembangan peradaban Islam justru dimulai dari politik. Perpecahan di bidang teologi dimulai dari perpecahan di bidang politik terutama perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Nabi Muhammad dan bahkan ketika Utsman, untuk analisa lebih lanjut lihat pada W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 9 dan seterusnya. 3 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam (Jakarta: Logos, 1996), h. 22.
44
45
kemasyarakatan. Berikut beberapa pandangan Al-Amiri tentang politik yang termuat dalam karyanya al-I‟lam.
A. Pandangan al-‘Amiri Tentang Kekuasaan Pemerintahan pada abad pertengahan, terutama pada masa al-Amiri berdasarkan sistem monarki. Monarki ini muncul sejak pada khilafah Amawiyah, Abbasiyah dan sampai pada saat ini masih ada, antaranya seperti yang ada di Arab Saudi.4 Pola monarki inipun dikenal dari tradisi pemerintahanan Persia. Dengan sistem monarki seperti ini, maka dalam sistem politik ada pembedaan antara raja yang bersifat turun menurun dan rakyat yang tingkatan kedudukannya tidak akan sampai menjadi raja, kecuali dengan pemberontakan. Selain itu dalam sejarah umat tidak mengenal orang yang benar dan salah dalam politik. Artinya jika ada pemberontakan apabila yang memberontak menang maka ia adalah pihak yang benar dan penguasa dianggap pihak yang bersalah. Namun anehnya dalam sejarah umat justru pola berfikir para sarjana muncul dan mencapai peradabannya karena sistem politik yang demikian. Sistem monarki ini bahkan menjadi pilihan yang tepat oleh salah seorang pemikir politik Islam, Ibn Abi Rabi. Bahkan Ibn Rabi menolak sistem lain selain monarki seperti aristokrasi yaitu pemerintahan yang berada di tangan
4
Hal ini dapat dibaca dalam buku-buku sejarah Islam terutama periode setelah masa Muawiyah dan seterusnya. Mereka semuanya menganut aliran bahwa raja merupakan pembawaan dan keturunan dari kerajaan lainnya. Selain itu, untuk menjadi raja baru harus melalui pemberontakan sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Abbasiyah terhadap Amawiyah, Fatimiyah terhadap Abbasiyah dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat pada A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Al-husna Zikra, 1995), Jilid 2 dan 3. Khusus mengenai Arab Monarki sampai pada tahun 1930-an lihat pada David Potter, Democratization (Mylton Keynes, The Open University, 1997), h. 235.
46
sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan, oligarki yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya dan lainnya.5 Berikut pemikiran Amiri berkaitan dengan kekuasaan. 1. Kedudukan Pemimpin Menurut Amiri secara natural bahwa setiap manusia dilahirkan membawa potensi sendiri-sendiri, ada yang menjadi orang merdeka ada pula yang menjadi hamba. Kenyataan ini tidak akan merusak citra manusia itu sendiri. Sebab secara umum mereka mempunyai tugas masing-masing dan tidak akan terjadi tumpang tindih dalam menjalankan kehidupan mereka. Oleh karena itu, setiap orang harus menerima dan menjalankan profesinya masing-masing yang sudah ada sejak dilahirkan. Dalam kehidupan seseorang pertama kali yang harus dilihat adalah diri (instropeksi diri) sebab dengan instropeksi diri sesorang akan mampu untuk menjadi baik. Dalam hal ini, seseorang yang menjadi perhatian adalah perilakunya bukan perkataannya.6 Pemikiran seperti ini jika dilihat dari sudut pandang teologi, jelas ia sangat terpengaruh oleh pemikiran Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia itu tidak mempunyai usaha dan harus menjalani profesinya sendiri sebagaimana adanya. Manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai kesanggupan. Semua yang sudah terjadi dan akan terjadi adalah kehendak Tuhan.7 Namun jika dirujuk ke pemikiran politik pada zaman Yunani, pemikiran Amiri ini nampaknya terinspirasi oleh pemikiran Plato atau
5
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UIP, 1990), h. 46-47. Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al-„Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1967), h. 151. 7 A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), h. 379. 6
47
Aristoteles, di mana menurut keduanya negara yang paling baik adalah monarki, hanya saja Aristoteles masih menganggap oligarki sebagai sistem yang baik.8 Pendapat Amiri yang menyatakan bahwa sifat manusia membawa potensi sendiri-sendiri dalam hidup juga mempunyai kesamaan dengan pemikiran Plato yang menyatakan bahwa setiap negara mempunyai penduduk yang menempati kedudukannya masing-masing. Kedudukan tersebut berfungsi sebagai alat untuk kesejahteraan masyarakat.9 Keberadaan negara tersebut oleh Amiri dibagi menjadi tiga,10 yaitu: Pertama, para penjamin makanan. Golongan ini adalah mereka yang bekerja agar barang kebutuhan manusia dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta atau pelaut. Mereka harus diatur demi kepentingan umum oleh penjaga. Kedua, penjaga. Golongan ini seluruhnya mengabdikan diri pada kepentingan umum. Mereka harus hidup dengan cara mengutamakan kepentingan umum. Ketiga, golongan pemimpin. Golongan ini dapat diperoleh dari golongan penjaga yang sudah dipercaya dan sangat mendalami filsafat.11 Dengan adanya posisi manusia yang membawa tabiatnya masing-masing, maka yang perlu diketahui ialah berkaitan dengan kedudukan pemimpin. Pemimpin yang berhak memimpin, secara umum dibagi menjadi dua; pertama kenabian yang benar, kedua raja (mulk) yang benar. Sebab tidak ada yang mencapai ilmu dan hikmah di atas dari Nabi dan tidak ada yang mempunyai
8
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 44. Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tinta Emas Indonesia, 1986), h. 112. 10 Dalam hal ini Amiri tidak membagi mengenai kedudukan masyarakat baik secara hierarkis atau secara tidak hierarkis. Ia hanya menyatakan membawa tabiat masing-masing. 11 Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2003), h. 187. 9
48
kekuasaan dan keagungan di atas kepemimpinan raja. Kesemua itu adalah berasal dari langit.12 Jika dilihat pada pemikiran al-Farabi, ditemukan bahwa pemimpin itu tidak bisa sembarang orang. Yang dapat menjadi kepala negara adalah masyarakat atau manusia yang paling sempurna, dari kelas yang tertinggi, dibantu oleh orang-orang yang menjadi pilihan yang sederajat. Pemimpin tersebut adalah yang memenuhi salah satu dari dua kriteria, 13 yaitu orang yang secara fitrah dan natural siap untuk memimpin di mana orang ini biasa dikenal dengan para filosof dan kedua dengan hay‟ah, malkah dan kehendak Tuhan, atau biasa disebut dengan Nabi. Dalam pengakuannya, Amiri mendasarkan pemikirannya pada al-Qur‟an surat al-Maidah dan surat al-Nisa.
Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain". (Q.S al-Maidah/5 : 20)
12
Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al-„Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam (Kairo: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1967), h. 151-152. 13 Al-Farabi, Kitab Ara al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Masyriq, 2002), h. 124.
49
Artinya: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah Telah berikan kepadanya? Sesungguhnya kami Telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (Q.S al-Nisa/4 : 54) Karena al-Qur‟an merupakan sesuatu yang wajib diimani, maka menjadi suatu kewajiban bagi seseorang muslim untuk mempercayai bahwa raja harus mempunyai akhlak yang mulia. Sebab secara un sich bahwa raja adalah panutan bagi orang lain, sebagaimana kaca bagi orang yang bercermin. Kaca jika tidak bersih maka tidak dapat dijadikan berhias dengan sempurna. Jika seorang raja tidak mempunyai akhlak maka langsung akan menjadi gunjingan para rakyat dan semua kejelekannya akan lansung diketahui oleh rakyat. Ada dua bagian, tujuan, dan kemestian dalam politik, yaitu: Pertama, dari bagian politik adalah kepemimpinan, tujuannya untuk memperoleh keutamaan dan kemestiannya adalah memperoleh kebahagiaan abadi. Kedua adalah untuk memenangkan, tujuannya adalah menyiapkan akhlak dan akhirnya kehancuran dan khidmah. Hal ini dapat dimengerti karena setiap manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Permasalahan utama adalah untuk mencapai negara utama dan kebahagiaan abadi adalah konsep yang sama dengan pemikiran al-Farabi dalam kitab al-Madinah al-Fadhilah,14 dan juga tujuan politik dari Aristoteles.15 Dalam kitabnya, al-Farabi, menyatakan bahwa secara mendasar setiap manusia membutuhkan orang lain untuk berinteraksi. Maka dari itu manusia
14
Dalam hal ini kita membandingkan atau mengutip pemikiran al-Farabi sebab ia adalah ada lebih dahulu dari Amiri. 15 Aristoteles menyatakan bahwa tujuan bernegara adalah sama dengan tujuan hidup manusia yaitu untuk memperoleh kebahagiaan. Franz Magnis Suseno, Etika Politik, h. 188
50
tidak akan sampai pada tingkat yang sempurna kalau ia tidak berinteraksi dengan orang lain. Bila ditilik dari konsep untuk mencapai al-Madinah al-Fadhilah maka seorang pemimpin suatu negara haruslah pemimpin yang amanah, pemimpin yang bisa mengelola bumi dan untuk menjalankan itu harus memenuhi 12 syarat sebagai berikut: a. Anggota tubuhnya harus sempurna, badannya sehat sehingga mampu menjalankan tugas dengan mudah; b. Mudah memahami permasalahan dan mengabstraksikan setiap apa yang dikatakan; c. Baik daya hafalnya, ketika ia memahaminya, melihat, mendengar, menemukan beberapa masalah dan tidak pelupa; d. Cerdas, pandai. Artinya jika ia menemukan masalah dengan sedikit penjelasan ia langsung dapat menangkapnya; e. Baik interpretasinya, dapat mengungkapkan dengan lisannya apa yang ia utarakan dengan ungkapan sempurna; f. Suka dunia pendidikan dan hal-hal yang berguna, mempermudah dunia pendidikan dan tidak menghancurkan institusi pendidikan; g. Kurang menyukai makanan, minuman, kawin, menjauhi dunia pesta, dan membenci hal-hal yang menyebabkan itu; h. Cinta kejujuran dan orang-orang jujur menjauhi kebohongan; i. Berjiwa besar, cinta pada sifat kemuliaan; j. Masalah keuangan dan seluruh tujuan dunia ia remehkan;
51
k. Cinta kepada keadilan dan membenci ketidakadilan, dan aniaya serta orangorangnya; l. Mempunyai tujuan yang kuat untuk sesuatu yang dianggap baik untuk dilakukan, tidak takut bertindak dan kecil nyalinya.16 Untuk memenuhi semua itu, bagi al-Farabi, susah ada dalam satu orang. Oleh karenanya, jika tidak memenuhi keseluruhannya maka hendaknya lima atau enam dari dua belas syarat di atas dapat dipenuhi. Jika tetap tidak ada yang memenuhi syarat maka yang dijadikan dasar adalah syariat dan sunah Rasul. Artinya minimal ia memenuhi dan menjalankan syariat dengan baik. Dan ia berhak menjadi pengganti dari kriteria pemimpin pertama. Dan telah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. Haruslah seorang yang bijak (hakim); b. Pandai dalam menjaga syariat dan sunah dan cara menata kota; c. Gampang dalam menetapkan aturan yang tidak ada pada masa sebelumya, tapi standar aturannya sesuai dengan pendahulunya; d. Mudah mengingat dan mengambil keputusan yang strategis sesuai dengan waktu dan tempat; e. Mudah menjelaskan ucapan para pendahulunya; f. Mampu untuk turun dalam medan perang secara langsung.17 Jika tidak ditemukan syarat-syarat itu dan hanya ditemukan dua syarat maka yang diambil ialah yang bijak dan salah satu dari lima. Jadi, pemikiran mengenai kekuasaan dan syarat menjadi penguasa sangat susah dan tidak semua 16 17
Al-Farabi, al-Madinah al-Fadhilah, h. 127-129. Ibid., h. 129-130.
52
orang dapat menjalankannya. Namun, walaupun demikian, ia tidak kaku dalam menentukan, mereka juga memberi kelonggaran dengan harapan tidak ada kekosongan kepemimpinan. Begitu juga pada pemikiran al-Amiri. Kewajiban-kewajiban dan tugastugas penting seorang pemimpin atau penguasa adalah mewujudkan tujuantujuan dan maksud-maksud negara Islam. Sebagaimana yang dijelaskan sejumlah besar ulama dan para pemikir dari kalangan pemuka salaf, berkisar pada dua pusat (inti), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mawardi: “Melindungi agama dan mengatur dunia”. 2. Kedudukan Rakyat Rakyat adalah masyarakat yang menjadi bagian penting dalam struktur kepemerintahan. Sebab suatu pemerintahan itu akan berdiri dengan tegak ketika rakyatnya mendukung mereka dan rakyatnya merasa tentram dalam lindungan para penguasa yang memerintahnya. Bahkan dalam pandangan Ibn Khaldun, rakyat yang mengkristal menjadi „Ashabiyyah‟ dan merupakan struktur dasar yang sangat penting yang dapat mempengaruhi bergerak tumbuh dan hancurnya suatu kekuasaan.18 Bahkan dalam pemikiran pada masa pemerintahan al-Khulafa‟ alRasyidin dinyatakan bahwa rakyat mempunyai peranan penting dalam mengontrol suatu kekuasaan. Misalnya, Abu Bakar ketika ia dikukuhkan sebagai khalifah, meskipun ia menyatakan mendapat kepercayaan untuk memimpin rakyat tetapi tidak berarti bahwa dia lebih baik dari pada anggota masyarakat itu. 18
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Kutub al„Ilmiyyah, 1993), h. 111.
53
Oleh karenanya, rakyat diminta untuk membantu jika keputusannya itu baik dan mengoreksi jika keputusanya salah. Bahkan ia menyatakan bahwa rakyat yang lemah adalah pihak yang kuat dan berhak mendapat perlindungan dari pada rakyat yang kuat di mana yang ada pada mereka adalah kewajibankewajiban.19 Sedangkan menurut Amiri bahwa pada dasarnya rakyat itu lebih cenderung untuk membesarkan keberadaan raja. Sebab, setiap makhluk adalah instrumen ketika ia dibutuhkan dan setiap individu mempunyai hak. Oleh karenanya, setiap orang berusaha untuk memperbaiki kehendaknya, maka ia akan menjadi raja untuk dirinya.20 Berdasarkan premis yang dibangun di atas maka dapat diketahui bahwa secara umum rakyat itu ada yang lemah dan ada pula yang tinggi, ada yang mulia dan ada pula yang rendah ada yang saling bersitegang ada pula yang damai. Jika keadaan rakyat berbeda-beda seperti itu, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban ini harus didasarkan pada agama. Misalnya, rakyat yang kuat maka ia mempunyai kewajiban untuk bekerja dan memelihara yang lemah. Namun jika rakyat tersebut lemah, maka perlu diperinci kelemahannya itu, jika lemahnya dari segi gender,
wanita, maka ia mempunyai beberapa
dispensasi dalam kehidupan ini, jika lemahnya dari segi umur, yatim, maka adalah menjadi kewajiban raja untuk memeliharanya dan menjaganya. Jika lemahnya dari segi kehidupan maka berhak mendapat sandang dan pangan dari raja. Jika lemahnya karena status sosial seperti sebagai hamba maka hak yang ia 19 20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 28. Al-Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam, h. 163.
54
dapat untuk dimerdekakan. Dalam al-Qur‟an memerdekakan hamba adalah pekerjaan yang sangat mulia. Jika status lemahnya karena sebagai pengembara maka haknya adalah sebagaimana statusnya dalam Ibn Sabil yang ada dalam alQur‟an. Rakyat juga dapat dilihat dari segi sifat mulia dan rendahnya status. Status mulia dan rendah itu ada saling berkaitan satu sama lain. Orang dikatakan mulia jika dikaitkan dengan orang yang statusnya ada dibawahnya dan begitu pula sebaliknya, pemikiran seperti ini didasarkan pada hadist;
فالرجال راع فى,كلكن راع وكلكن هسؤل عن رعيته فاالهام راع وهى هسؤل عن رعيته اهله فهى هسؤل عن رعيته والورأة راعية فى بيت 21
زوجها
Artinya : Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR: Bukhari, Muslim, Abu Daud dari Ibn Umar). Sedangkan contoh dibuat oleh Amiri yaitu seseorang harus menjaga hak dan kewajiban orang tuanya, orang tua harus menjaga hak dan kewajiban kakek dan neneknya. Begitu seterusnya sampai kepada penguasa. 22 Amiri membuat contoh seperti di atas juga didasarkan pada beberapa hadits.23
21
Jalal al-Din al-Suyuthi, Jami al-Shaghir (Surabaya: Al-Hidayah, tt), Jilid 2., h. 95 Al-Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam, h. 165. 23 Untuk kutipan hadits yang dipakai lihat pada ibid, hal. 165 bandingkan dengan Jalal al-Din al-Suyuthi, Jami al-Shaghir, h. 142, 133, dan 180. 22
55
Rakyat jika dilihat dari segi karakter perorangan dalam pandangan Amiri ada dua kelompok; yang saling mengasihi dan bermusuhan. Saling mengasihi dalam pandangan Amiri terbagi tiga; wilayah munasabah, wilayah mu‟aqadah, wilayah diyanah.24 Sedangkan kalau dilihat dari segi yang saling bermusuhan, maka dapat dibagi menjadi; mulhid, musyrik dan kitabi.25 Pandangan Amiri dari kedua kelompok di atas lebih mengutamakan pada sisi keagamaan yang benar dan sesuai dengan ajarannya masing-masing, serta sangat dianjurkan untuk tidak saling bermusuhan dalam agama. Apabila rakyat yang sering memerangi dan bermusuhan sudah jelas termasuk kelompok yang sesat. 3. Posisi Solidaritas Sosial Sebelum Ibn Khaldun membahas mengenai solidaritas sosial, ternyata Amiri sudah membahas. Hanya saja istilah yang ia gunakan adalah al-Ajyal.26 Bagi Amiri, kekuasaan adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada yang dikehendaki dan dianggap mampu oleh-Nya. Oleh karenanya seseorang yang mendapat kekuasaan hendaknya menjaga dan tidak menyiakan-nyiakan. Berkaitan dengan pembagian daerah dan masyarakat yang berdampak pada posisi solidaritas sosial, maka Amiri membagi jenis penduduk dengan sebagai berikut:
24
Dalam hal ini Amiri tidak memberikan definisi dan penjelasan, lihat pada al-Amiri, ibid, h. 166. 25 Ibid., h. 166. 26 Term Ajyal merupakan bentuk plural dan singular jayl atau jil artinya golongan manusia (al-shinf min al-nas) segolongan dalam zaman. Lihat pada Luis Ma‟luf, al-Munjid fi alLughah wa al-A‟lam (Beirut: Dar al-Syuruq, 2000), h. 135.
56
a. Bagian Timur bumi ini di tempati oleh orang Cina dan arah Utaranya adalah Turki; b. Bagian Barat bumi ini penduduknya adalah Habsyi dan arah Selatannya adalah orang Barbar dan Qibthi; c. Bagian Tengah bumi ini adalah orang Hindia, dan arah Baratnya adalah Rum.27 Dari pembagian daerah tersebut kesemuanya merupakan perisai dari Persia dan jazirah Arab. Sedangkan di antara keadaan negara yang sangat beruntung pada posisi iklim dan alamnya adalah negara Arab dan „ajam. Kedua alam negara ini memiliki posisi yang paling sempurna iklimnya. Akan tetapi, secara historis posisi negara Arab sebelum Islam adalah masa kebodohan (Jahiliyah). Dalam gagasan Persia kuno tentang solidaritas sosial, yang diadopsi dari India, menjadi arus pemikiran baru di dunia Islam. Pada masa-masa awal, Islam telah mengembangkan potensi egaliter karena Islam menganggap perbedaan manusia tidak ada hubungannya dengan nilai moral individu dan takdir mereka di akhirat. Meski demikian, Al-Quran mengakui adanya tingkatan manusia; Allah telah “meninggikan sebagian kalian beberapa derajat, sehingga sebagian lainnya dapat meminta bantuan dari sebagian yang lain”. 4. Hubungan Kekuasaan dan Dunia Intelektual Al-Amiri adalah sosok yang sangat kuat dalam berfikir dan bahkan ia adalah salah seorang yang menyatakan bahwa akal adalah segalanya. Baginya
27
Al-Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam, h. 171.
57
akal adalah pada esensinya itu sudah mencukupi, hanya saja dalam memahami sesuatu seseorang mempunyai derajat dan kemampuan masing-masing.28 Konsep hubungan kekuasaan dikutip untuk menegaskan tugas utama para penguasa, yakni menjalankan keadilan. Satu aspek penting dari keadilan ini adalah terpeliharanya perbedaan status antar berbagai kelompok masyarakat. Keadilan diwujudkan dalam usaha untuk menjaga setiap orang yang merupakan bagian dari umat manusia; baik rakyat, pelayan, pejabat, maupun orang yang bertanggungjawab dalam urusan agama dan dunia. Meski banyak yang tak setuju, seorang intelektual tak mesti selalu berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Adakalanya jika sejarah menuntutnya demikian, tak ada salahnya seorang intelektual dekat dengan kekuasaan. Malahan, jika memungkinkan, seorang intelektual boleh saja menjadi pemuncak kekuasaan. Jika ditakdirkan memiliki kekuasaan, seorang intelektual tak menjadikannya hanya sekadar ajang untuk meraih kepuasaan seperti para raja pada abad pertengahan. Jika dekat dengan kekuasaan, seorang intelektual tak berposisi seperti seorang abdi dalem. Jika pemangku kekuasaan terbukti berprestasi, seorang intelektual sudah seharusnya mengapresiasi agar terus bergerak ke arah kemajuan. Namun jika kekuasaan gagap atau gagal dalam menjalankan peran, seorang intelektual harus mengoreksi meski akan terkucilkan secara pribadi. Intelektual bukanlah jabatan, tapi lebih kepada integritas yang melekat pada seseorang yang dianugrahi ilmu yang amat luas dan kemudian ilmunya itu
28
Ibid., h. 179.
58
dia pergunakan untuk memperjuangkan umat manusia. Intelektual bukanlah profesi duniawi untuk meraih capaian pribadi, tak terikat pada formalisme sempit yang mengungkung kemerdekaan. Intelektual adalah panggilan hidup pada seorang manusia yang dilebihkan kemampuan berpikirnya. Intelektual boleh berprofesi apa saja, namun dia senantiasa mengedepankan ideologi dan moral kemanusiaan yang berpijak pada kebenaran.
B. Pandangan Amiri Tentang Perang Perang merupakan hal yang biasa terjadi dalam rangka untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam dunia politik, perubahan dalam suatu bentuk sosial bisa terjadi karena revolusi bisa pula karena evolusi. Diantara revolusi adalah dengan cara perang. Dalam Islam pun istilah perang telah lama dikenal dan diatur pula dalam agama. Bahkan ada yang menyatakan perang adalah merupakan jalan menuju Tuhan (ke surga). Perang dalam al-Qur‟an juga telah diatur, bahkan ada beberapa ayat yang memberikan „respon positif‟ mengenai perang dengan dibuktikkan dengan adanya hukum pembagian harta jarahan. Selain itu, mati dalam perang oleh alQur‟an diberi janji berupa surga. Ayat yang menyatakan hal itu ialah;
59
Artinya: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S al-Anfal: 41)
Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.(Q.S ali ‟Imran/3 : 169) Penyebaran agama atau kekuasaan yang mengatas namakan agama juga biasa dilakukan dengan cara perang setelah tidak berhasil melalui cara-cara diplomasi dan damai. Perang merupakan salah satu hal yang mendapat perhatian yang khusus. Dalam Islam perang telah diatur antara lain, mengenai orang yang boleh diperangi dan yang tidak, kapan seseorang boleh memerangi dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip perang dalam Islam itu sendiri antarannya sebagai berikut; Jangan memerangi siapapun karena kecurigaan, dan jangan berperang sebelum mengajak untuk berdamai. Kemudian jangan pernah memulai perang dalam kondisi sesulit apapun, dan jangan menantang orang lain untuk berperang. Tidak diperkenankan menyerang musuh yang telah lari dari peperangan. Perang yang dilancarkan untuk merebut kembali hak kaum tertindas atau melindungi kehormatan manusia bukanlah sesuatu yang buruk. Karena manusia telah diciptakan dalam keadaan terhormat dan merdeka, maka orang yang menghina kemanusiaan layak diperlakukan sebagi musuh.
60
1. Perang Sebagai Alternatif Untuk Mempertahankan Umat Islam Amiri memandang bahwa perang dengan mengangkat pedang adalah sesuatu yang diperkenankan. Namun perang bisa sendiri ada kalanya dianggap baik dan ada kalanya dianggap buruk. Perang bisa terjadi karena ada tiga hal: Pertama, Jihad, yaitu sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah dalam suatu negara, untuk menjaga agama dan ketertiban umum. Kedua, fitnah, perang yang terjadi antar umat untuk membela negara ataupun keturunan. Ketiga, perampasan (tasha‟luq) yaitu perang yang bertujuan merusak harta dan menghancurkan kekuasaan.29 Dari ketiga macam bentuk perang tersebut yang dianggap baik adalah jihad, sedangkan kedua dan ketiga dianggap sebagai dorongan hawa nafsu belaka. Namun dengan begitu, Amiri dalam memberikan pendapat mengenai perang juga memberi pertimbangan yang kuat sekali. Artinya, apakah pada suatu daerah perlu mengadakan perang dengan daerah lain, apa motivasinya dan lain sebagainya. Kalau perang itu menjaga nama baik agama maka diperkenankan untuk perang, akan tetapi jika secara rasional dianggap kurang baik, maka hendaknya memikirkan ulang untuk berperang. Berabad-abad yang lalu beriringan dengan sejarah kehidupan manusia di bumi, peperangan telah dikenal manusia dari perang antar kabilah, suku, antar etnis, antar bangsa, bahkan sampai perang antar agama. Di dalam memahami persoalan perang ini muhammad Rasyid Ridho berpendapat bahwa, perang menurut Islam itu mempunyai tujuan untuk membela diri dan menegakkan hak
29
Al-„Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam., h. 156.
61
asasi dalam arti kata yang seutuhnya, dan sekaligus menghancurkan kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa. Baik karena alasan agama, ideologi, politik, ekonomi, maupun rasial. Islam melarang perang untuk memperoleh banyak pengikut agama atau lainnya, serta menyebarkan faham atau ideologi dalam beragama. Selain itu sifat peperangan dalam Islam, bersifat defensif artinya, Islam melarang memulai peperangan terhadap suatu umat atau negara. Motivasi perangnya adalah untuk membela Islam atau ummat Islam yang mendapat perlakuan atau kekerasan oleh suatu kaum atau negara yang memerangi umat Islam. Perang ini dapat dinamakan Jihad Fii sabilillah. Serta motivasi Islam dalam perang adalah untuk melawan kezaliman dan kebathilan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. 2. Perpecahan dan Perbedaan Dalam Islam Dalam sebuah hadits yang terkenal dan biasa dikutip oleh setiap sarjana terutama dari kalangan Sunni bahwa Islam terpecah menjadi 73 golongan dan kesemua golongan tersebut masuk neraka, kecuali satu yaitu golongan yang konsisten pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya (Jama‟ah) atau yang kemudian disebut dengan sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Hadits ini menjadi pegangan bahwa aliran yang benar hanya satu yaitu pengikut Nabi Muhammad dan para Sahabat, dan selain itu para tokoh juga berusaha untuk membuat kategorisasi tentang kelompok ini. Ulama komtemporer yang membahas hadits tersebut secara panjang lebar adalah Yusuf Qardhawi dalam bukunya, "Assahwah Islamiyah bainal Juhud
62
Wattatharruf". Ringkasan pembahasan hadits tersebut adalah sebagai berikut: "Bangsa Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nasrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu". Kemudian para sahabat pun bertanya: "Siapa mereka ya Rasulullah?" Rasullah menjawab: "Mereka yang mengikutiku dan sahabat-sahabatku".30 Kemudian dalam hadits lain, Nabi telah menyebutkan secara eksplisit, golongan-golongan yang sesat, seperti kelompok qadariyah yang primitif. Dalam menafsirkan hadis tersebut para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud kelompok sesat bukanlah kelompok-kelompok Islam yang muncul karena perbedaan masalah fiqh. Namun yang dimaksud kelompok sesat, adalah kelompok yang memang telah keluar dari ajaran-ajaran pokok Islam. Seperti kelompok yang mengingkari rukun-rukun Islam dan Iman. Jadi kelompok yang mengamalkan rukun Islam dan mempercayai rukun-rukun iman, mereka ini termasuk kelompok yang selamat. Adapun kelompok-kelompok Islam yang ada sekarang ini, kita juga harus melihatnya melalui kacamata di atas. Sejauh mereka mengamalkan syariat Islam serta berakidah dengan aqidah yang Islami, maka kita tidak boleh memberinya cap sebagai kelompok yang sesat. 3. Status Agama Selain Agama Islam Amiri menyatakan bahwa semua agama mempunyai hak untuk hidup yang berada dalam kawasan Islam. Namun yang menjadi pegangan Amiri adalah bahwa agama Islam paling unggul dibanding dengan agama lain dilihat dari 30
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hakim dalam kitab al-Mustadrak, (1/182). Riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik menyebutkan umat Islam akan terpecah menjadi 72 golongan.
63
berbagai sudut pandang. Baik dari segi sistem kenabian, ibadah, kemasyarakatan, etika dan lain sebagainya.31 Dalam karya Al-Amiri memperlihatkan bahwa tujuan utama penulisan karya tersebut adalah menunjukkan keunggulan Islam dari pada Yahudi, Kristen, Majusi, penyembahan berhala, dan Sabiah, baik dalam aspek akidah, maupun aspek ibadah, aspek muamalah, dan aspek hukuman terhadap perbuatanperbuatan kriminal; serta menunjukkan pantasnya Islam sebagai agama yang kekal sampai akhir zaman dan sekaligus sebagai pengganti agama-agama sebelumnya. Demikianlah sedikit yang bisa diteliti mengenai Al-Amiri dalam segi kekuasaan. Kekuasaan saling berkaitan satu sama lain dalam kehidupan ini. Tidak ada suatu pun yang terlepas dari kekuasaan. Begitu pula Amiri, pemikirannya muncul dikaitkan dengan agama, dan daerah sosial budaya ia berada, sehingga pemikirannya pun tidak jauh dari doktrin agama yang ia pahami dan sistem sosial masyarakat yang ia tempati.
31
Al-„Amiri, KItab al-I‟lam bi Manaqib al-Islam, h. 170.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan antaranya sebagai berikut : 1. Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian, penegakkan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Lebih lanjut, al-‘Amiri menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan kekayaan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sudah barang tentu antara kehidupan agama dan kehidupan duniawi akan tercipta keserasian. Sebaliknya, jika kekuasaan memisahkan diri dari agama, atau agama mengabaikan kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka bagi umat manusia. Karena itulah, sangat wajar jika kita berkesimpulan bahwa hubungan agama dan kekuasaan (negara) dalam pandangan al-‘Amiri, sesungguhnya lebih bersifat fungsional dan bukan organik. Politik Islam merupakan politik yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, kendali, dan bersandar kepadanya, atau disebut juga dengan kata siyasah syari’iyyah. Politik Islam berkembang secara luas, dimana perkembangannya tersebut berpusat pada dua daerah: daerah Barat dan daerah Timur. Daerah Barat biasa disebut Maghrib yang berpusat di Andalusia dengan pemikiran yang sangat kental dengan Al-Farabi dan Ibnu Rusyd. Daerah Timur dengan Persia dimana pengaruh Neo-Platonisme begitu kuat. Pada daerah ini banyak sekali tokoh yang muncul, salah satunya adalah al-
64
65 ‘Amiri. Meskipun demikian kedua aliran pemikiran tersebut tidak serta merta diterima seratus persen. 2. Al-‘Amiri dilahirkan di Nisabur pada permulaan abad ke-4 H/ke-10 M dan meninggal di tempat kelahirannya pada tanggal 27 Syawwal 381 H/6 Januari 992 M. Ia adalah seorang filosof yang mempunyai kecenderungan sufisme dan pada sisi yang lain al-‘Amiri mengkaji politik karena rasa hormat dan cintanya kepada raja. 3. Dalam bidang politik al-‘Amiri mencoba menggabungkan antara agama dan kekuasaan. Hal ini dibuktikan ketika membahas masalah rakyat, raja, dan lainnya yang selalu dikaitkan dengan al-Qur’an dan Hadits. a) Dalam hal kedudukan pemimpin, Amiri mengatakan bahwa pemimpin yang berhak memimpin, secara umum dibagi dua; pertama kenabian yang benar, kedua raja (mulk) yang benar. Sebab tidak ada yang mempunyai kekuasaan dan keagungan diatas kepemimpinan raja. Kesemua itu berasal dari langit. Sehingga menjadi suatu kewajiban bagi seseorang untuk mempercayai bahwa raja harus mempunyai akhlak yang mulia. Sebab secara un sich bahwa raja adalah panutan bagi orang lain, sebagaimana kaca bagi orang yang bercermin. b) Dalam hal kedudukan rakyat, Amiri menjelaskan bahwa pada dasarnya rakyat itu lebih cenderung untuk membesarkan keberadaan rajanya. Secara umum rakyat itu ada yang lemah dan ada pula yang kuat, ada yang mulia dan ada pula yang rendah dan ada yang saling bersitegang dan ada pula yang damai. Jika keadaan rakyat berbeda-beda seperti itu, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.
66 Misalnya, rakyat yang kuat maka ia mempunyai kewajiban untuk bekerja dan memelihara yang lemah. c) Dalam hal perang, Amiri mengungkapkan bahwa perang dengan mengangkat pedang adalah sesuatu yang diperkenankan. Perang bisa terjadi, karena ada tiga hal : Pertama, jihad, yaitu sesuatu yang dilakukan pemerintahan dalam suatu negara, untuk menjaga agama dan ketertiban umum. Kedua, fitnah, perang yang terjadi antar umat untuk membela Negara ataupun keturunan. Ketiga, perampasan (tasha’luq) yaitu perang yang bertujuan merusak harta dan menghancurkan kekuasaan. Dari ketiga macam bentuk perang tersebut yang paling dianggap baik adalah jihad, sedangkan kedua dan ketiga dianggap sebagai dorongan hawa nafsu belaka. B. Saran-saran Berdasarkan pengkajian pemikiran politik al-‘Amiri ini, maka penulis ingin mengemukakan saran-saran sebagai berikut : 1. Menganjurkan kepada para pemikir Islam masa sekarang ini agar tidak mengabaikan apalagi meninggalkan pemikiran para tokoh Islam masa klasik. 2. Perlu adanya kajian yang mendalam kepada tokoh-tokoh pemikir Islam yang kurang dikenal oleh masyarakat. 3. Merekomendasikan kepada perpustakaan-perpustakaan Islam, khususnya perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta agar mencari kembali karya-karya al-‘Amiri yang telah hilang dari peredaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaj, Muhammad, Ushul al-Hadist: Ulum wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1975. Alkalali, Asad M., Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang, 2002. Amiri, Abu Hasan Muhammad Ibn Yusuf al-, Kitab al-I‘lam bi Manaqib al-Islam, Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1967. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000. Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung: Mizan, 1997. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Black, Antony, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006. Corbin, Henry, History of Islamic Philosophy, London: Kegan Paul Internasioal, 1993. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: LPP, 2002. Farabi, Abu Nashr al-, Kitab Ara al-Madinah al-Fadhilah, Beirut: Dar al-Masyriq, 2002. Fariz, Muhammad Abdul Qadir Abu, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah Maufur, Jakarta: Robbani Press, 1999. G.P., M. Arskal Salim, Etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah, Jakarta: Logos, 1999. Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1980. Hanafi, Hasan, Dari Akidah ke Revolusi, Jakarta: Paramadina, 2003. Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Emas Indonesia, 1986. Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Fikr Ibn Khaldun al-‘Ashabiyah wa al-Dawlah, Beirut: Markaz al-Dirasah al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1994.
67
68 Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1995. Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, Magelang: Indonesia Tera, 2001. Khaldun, Abd al-Rahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993. Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995. Kramer, Joel L., Renaisans Islam, terj. Asep Saefullah, Bandung: Mizan, 2003. ------------------, Humanism in The Renaissance of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1986. Ma’luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Syuruq, 2000. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Mubarak, Muhammad al-, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995. Peaget, Jean, Strukturalisme, Jakarta: Yayasan Obor, 1995. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Poespoprodjo, W., Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, Bandung: Remadja Karya, 1987. Potter, David, Democratization, Mylton Keynes, The Open University, 1997. Qaththan, Manna’ al-, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Kairo: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, tt. Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Saleh, Azhar, Islam Pada Masa Abbasiyah Telaah Historis Kehidupan Kultural dan Politik Pada Masa Buwaihiyah 945-1055, Tesis: UIN Jakarta, 2004. Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
69 Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Suyuthi, Jalal al-Din al, Jami al-Shaghir, Jilid 2. Surabaya: Al-Hidayah, tt. Syahrastani, Abu al-Fatah Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt. Syalabi, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: al-Husna Zikra, 1995. Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001. Syarif, M.M (ed), History of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publications, 1995. Taimiyyah, Ibnu, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-Zahidi, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997. Trueblood, David. Filsafat Agama, terj. H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology, Endinburg: Endinburg University Press, 1985. -----------------------, Studi Islam Klasik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996. Maktabah Syamilah (CD, Software, kumpulan kitab-kitab klasik).