Women'Letter s Nr. 53, Oktober 2016
Ditulis oleh Para Perempuan dari Afrika, Asia, Eropa dan Amerika Latin.
Women's Letter adalah alat Untuk saling berbagi dan Menguatkan Mission 21 Women's Network
Advokasi
– Sebuah Angin Perubahan yangKuat
Editor
Mission 21 Mission Basel Protestan Missionsstrasse 21 P.O. Box 270 4009 Basel Telefon: +41 61 260 21 20 Telex: +41 61 260 21 22 Web: www.mission-21.org www.m21-womengender.org Women's Letter adalah alat Untuk saling berbagi dan Menguatkan Jaringan Perempuan Mission 21. Women's Letter diterbitkan sekali setahun. Dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Indonesia, dan Spanyol.
Editor
Josefina Hurtado Neira Biro Perempuan dan Gender Telefon: +41 61 260 22 79
[email protected]
Pembantu Editor
Susan Cabezas Cartes Sibylle Dirren
Penerjemah
Maraike Joanna Belle Bangun
Korektor Naskah
Maraike Joanna Belle Bangun
Tataletak
Samuel Heller, Mission 21
Printer
Thoma AG, Basel
Donasi
IBAN: CH 58 0900 0000 4072 6233 2 Project Nr. 840.1005
Foto
Dalia Leinarte, Ahli Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) berdebat dengan Karmila Yusup dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) di Bandung, Jawa Barat (Foto Sibylle Dirren)
Daftar Isi Editorial
Josefina Hurtado Neira..........................................................3
Perpisahan dengan Ruth Epting
Roswitha Golder.................................................................. 4
Sebuah Perjalanan Singkat dalam Karya Advokasi
Vistamika Wangka................................................................5
Demi Suatu Generasi yang Bebas HIV/Aids
Melania Mrema Kyando........................................................ 7
Advokasi Hak Bagi Mereka yang Berhak Mendapatkannya
Dorothy Tanwani..................................................................8
Hak-hak Perempuan
Silvia Regina de Lima Silva.................................................... 9
Hak-hak Perempuan, Berbasis Agama
Annemarie Sancar............................................................... 11
Program Advokasi bagi Hak-hak Perempuan
Sibylle Dirren......................................................................13
Alat-alat untuk Refleksi dan Transformasi
Theatre of the oppressed......................................................14 Membaca Alkitab dengan Mata Yang Lain..............................15
Ruang Informasi
Workshop Kepemimimpinan Perempuan, Taiwan Pertemuan Perempuan Kontinental, Cili Sidang Benua Afrika, Nigeria............................................... 16
Tim Perempuan dan Gender
2
Editorial Para pembaca yang terkasih, Situasi apakah yang mendorong Anda untuk bertindak? Kapankah pertama kalinya Anda berbicara untuk mempertahankan sesuatu? Dalam konteks seperti apa Anda bungkam karena bersuara adalah beresiko? Ruang aman seperti apa yang membuat Anda bebas untuk mengekspresikan pendapat tanpa adanya rasa takut untuk dihakimi atau dihukum? Kepada siapakah Anda percaya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, kami ingin menekankan pengalaman biografis setiap orang yang menjadi aktivis hak asasi manusia. Dalam hal ini, kami menerima motivasi-motivasi dari mereka yang menjadi mitra kerja kami. Pada saat yang sama, kami ingin memberikan perhatian pada perbedaan-perbedaan setiap konteks di mana kita hidup dan, secara khusus, menunjuk pada pentingnya dukungan dari setiap mitra dan ruang-ruang yang aman. Meskipun advokasi hak asasi perempuan adalah sebuah isu yang telah ada dalam Mission 21 bahkan sejak awal berdirinya, kami mengonfirmasi betapa mendesaknya isu ini dengan mengubahnya menjadi sebuah program. Kami juga ingin mengumumkan dengan sukacita bahwa Sibylle Dirren telah bergabung dengan tim yang ada sebagai seorang ahli advokasi bagi berbagai isu dalam Mission 21. Sejak 29 Juni hingga 10 Juli 2016, para aktivis dari Afrika, Asia, Amerika Latin dan Eropa telah mengambil bagian dalam peluncuran program dan membagikan pencapaian-pencapaian dan tantangan-tantangan yang dihadapi di berbagai wilayah kerja yang berbeda. Dalam Women’s Letter kali ini, kami membagikan teks-teks yang dipresentasikan dalam peluncuran program dan yang dipresentasikan dalam sebuah workshop yang disebut Integral
Leadership for Political Advocacy di Basel dan workshop Women’s Human Rights Advocacy yang diadakan di Jenewa. Workshop
yang pertama, difasilitasi oleh seorang antropolog Susan Cabezas, bertujuan untuk membentuk sebuah kelompok dan situasi yang memungkin para peserta untuk membagikan pengalaman mereka dengan aman dengan menggunakan metodologi Training of Trainers (TOT). Melalui hal ini kami berharap untuk memfasilitasi penceritaan ulang pengalaman-pengalaman ini. Worskhop di Jenewa diselenggarakan oleh Lutheran World Federation (LWF), World Council of Churches (WCC), the World Young Women's Christian Association (YWCA) , the Finn Church Aid dan the Church of Sweden. Pada kesempatan tersebut, kami berurusan dengan bahan-bahan dari Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tentang promosi keadilan gender. Perhatian khusus juga diberikan pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Vistamika Wangka membagikan kepada kita pelajaran-pelajaran yang ia terima ketika memimpin sebuah pusat bagi para migran pekerja rumah tangga melalui Sebuah Perjalanan Singkat
dalam Karya Advokasi—Catatan Singkat dari Pengalaman Pribadi Bersama Pekerja Migran Domestik Indonesia di Hong Kong . Konsep
ruang aman dan arti sisterhood secara khusus dilihat relevan olehnya: «Hal ini merupakan sebuah perasaan yang memampukan kami untuk saling melihat sebagai saudari, dan bertindak dengan jujur dan penuh hormat satu dengan lainnya,» kata Wangka. Melania Mrema Kyando berbicara tentang kemajuan-kemajuan yang dihasilkan lewat program Gereja Moravia di Propinsi Selatan, Tanzania yang dipimpin olehnya yang bertujuan untuk mencapai suatu generasi bebas AIDS. Sementara itu, Dorothy Tanwani membagikan kepeduliannya terhadap posisi sosial berbahaya yang dihadapi oleh para janda yang menjadi bagian dari advokasi yang dilakukannya, yaitu mempertahankan dan melindungi. Silvia Regina de Lima Silva berkolaborasi dengan Cecilia Castillo Nanjarí dan Etel Nina Cáceres dalam menyingkapkan realitas menyakitkan dari pembunuhan yang dilakukan secara khusus terhadap perempuan. Artikel yang berjudul Hak-hak Perempuan membuat kita sadar akan perjalanan panjang yang telah kita lalui untuk menegakkan hak-hak kita dalam suatu konteks di mana fundamentalisme agama menjadi sebuah tren yang terus bertumbuh.
3
Annemarie Sancar mendorong kita untuk mempertanyakan diri kita sendiri secara kritis ketika kita, sebagai anggota sebuah jaringan internasional dari organisasi-organisasi keagamaan, berusaha untuk menemukan sebuah peran kunci dalam pengambilan keputusan—dan juga terkait kebijakan publik. Artikel berjudul Hak-hak Perempuan, Berbasis Agama menekankan peran yang telah dimainkan oleh organisasi-organisasi dan jaringan-jaringan perempuan dalam perjuangan untuk menegakkan hak-hak mereka dan juga menghadapi kompleksitas peran ini. Akibat dari komitmen yang mereka miliki terhadap keadilan gender, organisasiorganisasi berbasis keagamaan kini bertanggungjawab untuk bertindak. Sebagai alat untuk refleksi dan perubahan, kami membagikan teknik-teknik Theatre ofthe Oppressed dalam menggunakan
Perempuan dan Gender
Dalam seluruh aktivitasnya, Mission 21 melakukan advokasi agar keadilan kesetaraan gender diwujudkan. Bersama para jaringan perempuan, gereja dan mitra-mitra organisasi, Mission 21 mengusahakan jalan-jalan yang cocok dengan setiap situasi lokal, bertujuan untuk menghapuskan hirarki dan diskriminasi gender. Biro Khusus Pengembangan Perempuan menawarkan dukungan keuangan untuk memperkuat dan memajukan perempuan serta jaringan-jaringan perempuan milik gereja dan mitra-mitra organisasi di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Biro ini juga mendukung dan mengawasi
artikel-artikel CEDAW secara pedagogis dan menggunakan metode membaca Alkitab dengan mata yang lain, yang dipromosikan oleh Evangelical Mission in Solidarity (EMS). Sebagai sebuah institusi berbasis agama, Mission 21 juga merupakan bagian dari sebuah jaringan internasional manusia dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen terhadap keadilan, kini berada dalam posisi yang istimewa dalam mengadvokasi hak perempuan dan kelompok-kelompok lain yang paling mengalami diskriminasi. Kami mendedikasikan edisi ini untuk Ruth Epting sebagai ungkapan syukur atas sukacitan dan kebijaksanaannya. Josefina Hurtado Neira Kepala Biro Perempuan dan Gender, Mission 21 Basel, Oktober 2016 Teks asli ditulis dalam bahasa Spanyol.
proses-proses Pengarusutamaan Gender dalam program-program yang berkembang dan memfasilitas ruang-ruang bagi pertukaran pengalaman dan membangun pengetahuan. Komisi Khusus Perempuan dan Gender mendampingi pekerjaan Biro Khusus di seluruh Swiss dan Jerman, yang berperan sebagai sekelompok ahli. Anggota: Esther Janine Zehntner (presiden ad.i.), Irmgard Frank, Rev. Esther Gisler Fischer, Rev. Claudia Hoffmann, Rev. Christine Höötmann, Rev. Kirsten Jäger, Rev. Maria-Ines Salazar, Evelyne Zinsstag.
PerpisahandenganRuth Epting, Pendeta Emeritus, Dr. Teologi. H.C. 9 Juni 1919–15 Juni 2016 Ruth Epting dilahirkan dan dibesarkan dalam gedung-gedung Misi Basel, di mana orang tuanya bekerja pada saat itu. Sejak 1961 hingga 1981, ia melayani sebagai Anggota Komite dan Anggota Dewan Biro Kerja Perempuan. Pada 1971-1972, ia mengajar Ilmu Perjanjian Baru di Nyasoso di Theological College milik Gereja Presbiterian di Kamerun. Kehadirannya mewakili apa yang sekarang dikenal sebagai Mission 21. Sebagai salah satu perempuan pendeta di Swiss, ia telah mendorong perempuan-perempuan dari seluruh dunia untuk terlibat secara aktif di gereja mereka masing-masing. Pada 1982, ia memulai Forum Ekumenis Perempuan Kristen Eropa (Ecumenical Forum of European Christian Women) dan menjadi presiden yang pertama, dan tetap aktif sebagai Presiden Kehormatan sejak 1986. Pada 1987, ia dianugerahi sebuah gelar dalam bidang teologi atas komitmen sepanjang hidupnya bagi karya perempuan di dalam gereja dan masyarakat, dan juga bagi misi dan ekumenisme. Yayasan Ruth Epting, yang didirikan untuk mengenangnya pada 2003, akan terus mendanai partisipasi para perempuan dalam pertemuan-pertemuan internasional, yang akan memberikan mereka kesempatan untuk memperluas wawasan melalui pendidikan yang berkelanjutan dan perjumpaan-perjumpaan dengan pa4
Ruth Epting (Foto Josefina Hurtado)
ra perempuan yang memiliki komitmen dari berbagai latar belakang. Ruth Epting adalah sahabat lama dan rekan seperjalan dalam perjuangan untuk menegakkan hak-hak perempuan—dan secara khusus—bagi penahbisan perempuan. Dukungan dan semangatnya telah menginspirasi saya selama menjalani proses studi teologi dan pelayanan pastoral, memotivasi dan membimbing komitmen pribadi saya pada organisasi-organisasi yang ia dirikan seperti Forum Ekumenis Perempuan Kristen Eropa dan Yayasan Ruth Epting. Melalui caranya yang tenang dan sederhana, ia telah memberikan pandangan-pandangan yang berharga, menolong saya untuk mengatasi rintangan-rintangan dan memberikan panduan untuk meneruskan apa yang telah ia lakukan. Kini ia bersama Tuhan Juruselamat kita, yang kepadaNya segala syukur kita naikkan atas hidup Ruth Epting yang panjang dan berbuah. Roswitha Golder, Rev. Dr. (D.Min.)
Sebuah Perjalanan Singkat dalam Karya Advokasi Catatan Singkat dari Pengalaman Pribadi Bersama Pekerja Migran Domestik Indonesia di Hong Kong
Vistamika Wangka
kesan secara dalam bagi saya: perjumpaan itu merupakan sebuah momen signifikan yang memengaruhi komitmen dan kepedulian personal saya, dan telah mendorong saya untuk memberikan yang terbaik yang bisa saya berikan bagi para perempuan yang memerlukannya.
Advokasi bagi para pekerja domestik perempuan di Hong Kong
Vistamika Wangka (Foto Miriam Glass)
Saya ingin memulai refleksi saya dengan mengingat pengalaman pribadi saya tiga tahun yang lalu, ketika saya menjadi seorang pengawas di Pusat Pekerja Migran Domestik (Centre for Domestic Migrant Workers) di Hong Kong, yang dijalankan oleh sebuah organisasi sosial bernama Christian Action. Pada hari pertama, saya mengundang seluruh penghuni rumah aman untuk saling berkenalan. Saya memperkenalkan diri secara singkat dan mengundang setiap orang untuk memperkenalkan diri mereka juga. Sebelum pertemuan berakhir, seorang perempuan menatap saya dan bertanya: «Mengapa kamu datang ke sini? Mengapa kamu peduli pada kami?» Tidaklah mudah bagi saya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam hitungan detik, saya pun bertanya hal yang sama pada diri saya sendiri. Mengapa saya meninggalkan negara saya sendiri dan pindah ke sebuah tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya? Mengapa saya harus bekerja dengan isu-isu baru yang sebelumnya tidak pernah saya hadapi? Lalu saya menjawabnya dengan jelas: «Saya di sini karena saya percaya dengan sisterhood1. Saya hanya ingin ada bersamamu agar kita dapat belajar bersama, menghadapi seluruh kesulitan bersama, berjuang untuk hak-hak perempuan bersama-sama – dan di atas semua itu, membangun harapan yang baru bersama-sama.» Perjumpaan pertama tersebut sangat ber-
Pusat ini terlibat langsung dan bertindak dalam banyak cara untuk menolong para pekerja domestik perempuan yang hakhaknya dilanggar: hal ini termasuk menawarkan layanan hukum, rumah aman dan pendidikan. Layanan hukum membantu para pekerja migran domestik perempuan yang terlibat dalam permasalahan hukum. Layanan ini memberikan nasihat hukum, menolong untuk mengajukan tuntutan pada Departemen Tenaga Kerja dan/atau Pengadilan Tenaga Kerja, mendampingi para pekerja yang terlibat dalam kasus-kasus kriminal ketika mereka harus menghadiri pengadilan, dan berurusan dengan pihak-pihak otoritas imigrasi, rumah sakit, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan otoritas lokal untuk memastikan para pekerja tersebut diperlakukan secara adil dan hak-hak mereka dihormati. Layanan kedua (yang di dalamnya saya bertanggungjawab) adalah rumah aman bagi para pekerja domestik perempuan yang menjadi tunawisma ketika kontrak kerja mereka dihentikan karena masalah-masalah hukum, kasus-kasus kriminal atau kondisi-kondisi kesehatan, dll. Dan juga menawarkan tempat tinggal. Rumah aman ini memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan dukungan psikologis dan moral. Ketika menunggu di rumah aman hingga kasus mereka selesai, para perempuan ditawarkan banyak kegiatan: yang termasuk di dalamnya aktivitas-aktivitas psikososial, keahlian dan rekreasi dan juga yang berhubungan dengan kesehatan dan keamanan. Layanan ketiga adalah pendidikan. Pusat ini menawarkan program pendidikan pada akhir minggu bagi para pekerja migran domestik yang masih bekerja yang memiliki hari libur pada hari Minggu. Program ini termasuk kelas bahasa, keahlian komputer dan seminar pengembangan diri. Sebagai tambahan atas pendidikan di Pusat ini, kami juga mengadakan pendidikan publik untuk meningkatkan kesadaran komunitas tentang hak-hak pekerja migran domestik.
Pelajaran pribadi yang dipelajari: sisterhood, ruang aman, dan pemberdayaan perempuan
Perjumpaan saya dengan para pekerja migran domestik perempuan di Hong Kong – terutama mereka yang tinggal di rumah aman – telah menjadi sebuah tahapan yang signifikan dalam hidup saya. Saya telah belajar banyak hal, dan saya ingin berbagi setidaknya tiga pelajaran penting yang telah saya dapatkan dari perjumpaan pribadi saya dengan para perempuan dan melalui karya advokasi yang telah kami 5
lakukan. Saya telah belajar arti sisterhood, ruang aman, dan pemberdayaan perempuan.
Sisterhood
«Kita dihubungkan sebagai perempuan. Hal ini seperti jaring labalaba. Jika salah satu bagian jaring bergetar, jika ada masalah, kita semua mengetahuinya, tetapi seringkali kita terlalu takut, atau mementingkan diri sendiri, atau takut untuk menolong. Akan tetapi, jika kita tidak menolong, siapa yang akan melakukannya?» – Sarah Addison Allen. Secara pribadi, perjumpaan saya dengan para perempuan di rumah aman membuat saya memahami lebih dalam arti dari sisterhood, dan saya sungguh berharap agar para perempuan lainnya juga mengalami yang sama. Sisterhood membuat kami sangat terhubung – meskipun tidak ada hubungan biologis antara kami dan sebelumnya kami tidak pernah bertemu. Hal ini merupakan sebuah perasaan yang memampukan kami untuk saling melihat sebagai saudari, dan bertindak dengan jujur dan penuh hormat satu dengan lainnya. Di rumah aman, para perempuan menyambut para perempuan baru ketika mereka tiba; para perempuan ini memeluk mereka yang tidak berhasil dalam kasus hukum yang diperjuangkan dan menghapus air mata mereka; para perempuan ini sangat mendukung, dan menjaga yang sakit, tetapi juga saling mempertahankan dalam situasi-situasi tertentu. Sisterhood di antara kami memperkecil konflik dan mengajar kami bahwa mementingkan diri sendiri adalah sesuatu yang sia-sia.
Ruang aman
Rumah aman adalah sebuah ruang aman yang dirindukan oleh para pekerja domestik perempuan yang sedang berada dalam masalah. Jauh dari rumah dan hidup dengan keluarga yang tidak dikenal di sebuah negara asing memperdalam
perasaan rindu mereka; perasaan ini kemudian menjadi sangat menyakitkan ketika mereka menjadi tunawisma karena perlakuan tidak adil yang mereka terima ketika bekerja. Rumah aman kemudian menjadi sebuah ruang aman ketika mereka merasa seperti di rumah, di mana mereka bebas untuk mengekspresikan pandangan-pandangan dan keprihatinan-keprihatinan pribadi mereka. Ruang aman sangat dekat dengan sisterhood. Sisterhood membuat para perempuan menjadi terikat satu dengan lainnya, dan ini menciptakan sebuah ruan aman bersama.
Pemberdayaan perempuan
Secara singkat, UN Women telah memperkenalkan tujuh Prinsip-prinsip Pemberdayaan Perempuan berikut ini2: (1) Mendirikan kepemimpinan bersama tingkat tinggi bagi kesetaraan gender (2) Memperlakukan seluruh perempuan dan laki-laki dengan adil di tempat kerja—menghormati dan mendukung hak-hak asasi manusia dan nondiskriminasi (3) Memastikan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan semua pekerja perempuan dan laki-laki (4) Mempromosikan pendidikan, pelatihan dan pengembangan profesional bagi para perempuan (5) Mengimplementasikan pengembangan usaha, rantai suplai dan latihan-latihan marketing yang akan memberdayakan para perempuan (6) Mempromosikan kesetaraan melalui inisiatif komunitas dan advokasi (7) Mengawasi dan secara terbuka melaporkan perkembangan usaha mencapai kesetaran gender Apa yang telah kami lakukan bagi para pekerja migran domestik perempuan di rumah aman merefleksikan kunci penting dalam prinsip-prinsip pemberdayaan perempuan ini. Melalui berbagai aktivitas (terutama pendidikan mengenai masalah-masalah perempuan), kami berusaha untuk mempromosikan kepemimpinan perempuan: yang dikarakteristikkan oleh kuasa kolektif dan menghormati perbedaan. Kami juga memfasilitasi aktivitas-aktivitas yang memastikan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan se-
Di tengah: Hendri Wijayatsih sedang mempresentasikan Program “Keadilan Gender” mewakili mitra Mission 21 di Indonesia dan Malaysia (Foto Sibylle Dirren)
6
mua perempuan. Sebagai tambahan, kami mempromosikan pendidikan dan pelatihan yang tidak hanya memampukan mereka untuk menyesuaikan diri dengan negara-negara asing, tetapi juga sebagai sebuah komponen penting untuk memajukan prospek masa depan mereka.
Penutup
Tiga tahun adalah suatu waktu yang singkat, jika kita memusatkan diri pada angka ‹tiga›. Akan tetapi, dalam waktu tiga tahun ada lebih dari seribu hari. Setiap hari, saya belajar hal-hal baru dari para perempuan di rumah aman: hal-hal yang benar-benar memperkaya pengalaman saya dan membentuk kepedulian dan komitmen saya. Saya telah bertemu dengan banyak perempuan dan anak-anak perempuan yang berani yang mengajari saya banyak hal: mereka mengajar saya tentang makna keadilan dan kejujuran melalui mata mereka; tentang kebahagiaan dan kesedihan melalui air mata mereka; tentang kekuatan melalui ekspresi senyum di wajah mereka; dan tentang kasih, kehangatan, perhatian, gairah dan persahabatan melalui setiap pelukan yang kami berikan satu dengan lainnya.
Sebagai seorang Kristen, saya percaya bahwa segala sesuatu yang telah kami lakukan di rumah aman didasarkan pada bagaimana Yesus mengajar kita untuk menjangkau mereka yang kekurangan dan terpinggirkan. «Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku» (Matius 25:35-36). Kami melakukan semua ini di rumah aman, dan pesan ini memberikan dasar yang kokoh bagi karya advokasi yang kami lakukan. Teks asli dalam bahasa Inggris. 1
Penerjemah: Sisterhood secara hurufiah berarti persaudaraan di antara para perempuan. Lawan kata ini adalah brotherhood yang berarti persaudaraan di antara para laki-laki. Terjemahan ini tetap menggunakan istilah sisterhood karena istilah ini dapat kehilangan konsep terdalamnya jika diterjemahkan secara hurufiah.
2 Lihat lebih lanjut di: www.unwomen.org/en/partnerships/businesses-and-
foundations/womens-empowerment-principles
Demi Suatu Generasi yang Bebas dari HIV/Aids Rev. Melania Mrema Kyando, Direktur Departemen HIV Gereja Moravia di Propinsi Selatan, Tanzania Virus yang menyebabkan Aids telah menjadi sebuah masalah global yang besar, dan sampai saat ini masih merenggut banyak nyawa. Bahkan pada masa kini, banyak orang muda yang seharusnya menjadi sumber kekuatan bagi negara-negara di wilayah Sub-Sahara harus meninggal karena HIV dan Aids. Kebanyakan dari mereka berusia 15 hingga 49 tahun, dan perempuan secara khusus menjadi korban terbesar.
Apa Yang Dilakukan Gereja
Untuk menghadapi krisis ini, Gereja Moravia di Propinsi Selatan Tanzania telah terlibat dalam usaha mengedukasi dan aktivitas sosial dengan melakukan kampanye tentang HIV/Aids. Selama lebih dari enam tahun, kampanye-kampanye yang dilakukan diadakan di pasar-pasar di seluruh wilayah, pusat-pusat pelatihan gereja dan sekolah-sekolah menengah; tahun ini, kami juga mengadakan sebuah kampanye di sebuah perguruan tinggi teologi. Departemen ini membentuk kelompok-kelompok untuk meningkatkan kesadaran (seperti kelompok paduan suara pemuda gereja dan kelompok-kelompok teater) dan menggunakan nyanyian-nyanyian dan drama untuk menyampaikan pesan pada masyarakat. Ketika mereka mendengar nyanyian-nyanyian dan melihat presentasi teater, mereka terdorong untuk me-
Julia Henke dan Melania Mrema Kyando (Foto Miriam Glass)
7
Advokasi Bagi Mereka yang Berhak Mendapatkannya Dorothy Tanwani, pendiri LSM Aid Interna-
tional Christian Women of Vision, Kamerun LSM ini mendukung para janda dan anak-anak yatim dengan melakukan advokasi atas hak-hak mereka, mengadakan pelatihan-pelatihan dan workshopworkshop serta menyediakan dukungan sosial dan ekonomi. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah banyaknya jumlah janda yang menghadapi berbagai masalah oleh karena praktik-praktik tradisional, dan oleh karena mereka tidak menyadari hak-hak mereka. Properti yang dimiliki oleh seorang janda seringkali direbut darinya, dan ia dipaksa untuk menikah
lakukan tes HIV—dan di tempat presentasi itu sudah tersedia klinik bergerak. Aktivitas lainnya adalah memberikan panduan dan menolong anak-anak positif HIV yang hidup bersama kerabat atau penjaga lainnya. Dukungan dilakukan dalam bentuk bahan-bahan pendidikan, makanan bergizi atau sejumlah uang agar mereka bisa datang ke klinik untuk mendapatkan ARV. Ketika kami memulai kampanye HIV, hanya ada satu kelompok mandiri (kelompok Lusubilo); empat tahun kemudian, ada empat kelompok di wilayah-wilayah yang berbeda yang mendapatkan dukungan dari departemen ini. Departemen ini menolong mereka untuk melakukan proyek-proyek kecil—seperti berternak babi, ayam, lebah, menyediakan tepung bergizi dan menolong mendirikan Bank Komunitas Desa (Village Community Bank/VICOBA). Keanggotan kelompokkelompok mandiri ini tidak dibatasi pada anggota Gereja Moravia; anggotanya datang dari berbagai level masyarakat. Untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran, departemen ini mengadakan sebuah pertemuan bagi para pemimpin kelompok yang positif HIV. Tujuannya adalah memperkuat dan mendorong mereka untuk berbicara secara terbuka dan menolong mereka untuk melakukan kampanye di pasar-pasar. Pengalaman memperlihatkan, ketika mendengar secara langsung dari seseorang yang positif HIV akan membuat mereka tertarik untuk melakukan tes HIV; setelah mendapatkan hasil, jika mereka positif HIV, maka mereka akan lebih terbuka tentang status mereka di dalam masyarakat.
Rencana ke Depan
Dorothy Tanwani (Foto Sibylle Dirren)
dengan salah satu saudara laki-laki suaminya. Seringkali perempuan lainnya (janda-janda lainnya) yang bertindak jahat atau memaksa agar ini terjadi. HIV/Aids adalah masalah yang juga terkait. Mereka tidak memilki hak untuk hidup dan kemiskinan turut memperparah keadaan yang ada. Anak-anak juga harus menderita ketika ibu mereka tidak dirawat; banyak di antara mereka harus keluar dari sekolah dan dipaksa untuk bekerja dan menghasilkan uang. Banyak janda kabur ke kota-kota karena mereka diusir keluar dari rumah-rumah mereka. Teks asli dalam bahasa Inggris.
Departemen ini berencana untuk mengadakan sebuah pertemuan bagi para pendamping yang hidup dengan anak-anak yang positif HIV. Tujuannya untuk mengidentifikasi tantangantantangan yang mereka hadapi ketika merawat anak-anak tersebut. Terdapat juga kebutuhan bagi anak-anak untuk bertemu dan bermain bersama, dan mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan status mereka dengan anak-anak lain yang mengalami hal yang sama. Kami percaya bahwa diskusi dan konseling ini akan membantu anak-anak untuk memahami situasi mereka dan menghindarkan penyebaran HIV pada orang lain. Sejak bulan Oktober dan seterusnya, departemen ini meluncurkan sebuah program pelatihan remaja yang khusus. Program ini akan melatih teman-teman sebaya sebagai pendidik yang dapat menolong dengan menjadi konselor di sekolah-sekolah, pusat-pusat pelatihan dan kelompok-kelompok remaja lainnya. Dengan menolong orang-orang muda ini, kami percaya akan mencapai tujuan kami, yaitu sebuah generasi bebas AIDS di masa yang akan datang. Kami berterimakasih kepada Mission 21 dan mitra-mitra lainnya untuk kasih dan dukungannya. Tanzania tanpa AIDS—bersama kita dapat mewujudkannya Teks asli dalam bahasa Inggris.
8
Hak-Hak Perempuan Silvia Regina de Lima Silva1, Direktur Departemen Institut Riset Ekumenisme di Kosta Rika
Seorang gadis berusia 16 tahun diperkosa dua bulan yang lalu di Brazil. Meskipun kesaksiannya dipermasalahkan, ia menyatakan «pelakunya adalah sekelompok laki-laki berjumlah 30 orang.» Beberapa tahun yang lalu, saya mendengar kisah María Dolores, seorang perempuan Salvador yang menjadi korban pemerkosaan. Ia sedang berjalan di jalan raya di kotanya bersama anak perempuannya ketika sekelompok laki-laki mendekati mereka. Ia melawan para pemerkosa tersebut sehingga menolong anak perempuannya untuk menyelamatkan diri. Salah satu akibat dari pemerkosaan tersebut adalah kehamilan yang tidak diinginkan, tidak direncanakan; akibat yang ia tanggung karena iman Kristianinya dan rasa takut akan Allah. Inilah strategi yang ia bagikan agar ia dapat meneruskan hidupnya: «Saya membayangkan bahwa saya tidak ada di tempat tersebut pada saat itu, bahwa itu bukanlah saya, saya merasa bahwa saya telah mati . . . Bahkan hari ini, saya tidak dapat mengingat dengan rinci bagaimana semua itu telah terjadi.» Kedua perempuan di atas menyatakan: «Semua ini merusak jiwa saya.» «Bagaimanakah perasaanmu?» tanya seorang wartawan yang tidak bijaksana pada anak berusia 16 tahun tersebut. «Saya merasa seperti sampah . . . saya adalah sampah, semua yang keluar dari saya adalah sampah.» Marilah sekarang pindah ke Kota Juárez di Meksiko, sebuah tempat yang terkenal oleh karena tingkat kejahatan yang tinggi pada perempuan. Amerika Latin adalah benua dengan tingkat pembunuhan pada perempuan yang tertinggi. Beberapa orang melihat masalah ini sebagai sesuatu yang lazim terjadi. Lebih lanjut lagi, salah satu akibat dari kejahatan seksual, terutama di Amerika Selatan, adalah tingkat kehamilan remaja yang tinggi. Kita juga menyadari bahaya yang mungkin mengintai di rumah. Kebanyakan dari para pemerkosa adalah kenalan atau keluarga dari korban sendiri. Dan selalu ada rasa malu: bahkan ketika kita sendiri yang menjadi korban tindak kejahatan, kita merasa bersalah atau harus bertanggungjawab. Meskipun demikian, kita telah melalui perjalanan yang panjang karena sekarang kita memiliki undang-undang yang melindungi kita -- meskipun undang-undang tersebut tidak diterapkan secara luas dan seringkali tidak memadai.
Tubuh, tempat, waktu
Masa kini dan masa lalu ada di dalam tubuh saya – tubuh kita. Kita adalah bagian dari sebuah kisah pelecehan dan kejahatan. Di dalam wilayah-wilayah yang telah diserbu dan dikuasai, di mana peran perempuan didefinisikan dari sudut pandang «yang lain», yaitu para «penjajah», «para pe-
nyerang», kita – para perempuan penduduk asli dan keturunan Afrika – adalah mereka yang paling banyak disingkirkan. Kita adalah perempuan tanpa hak-hak, tetapi sekarang, kita sedang meruntuhkan prasangkaprasangka dan kebiasaan-kebiasan, kita sedang menuntut agar hak kita menjadi nyata. Kejahatan yang Silvia Regina de Lima Silva (Foto Miriam Glass) menyakiti dan merusak tubuh dapat merusak jiwa, menghilangkan ingatan-ingatan, membuat pikiran kita kosong dan mengubah harapan-harapan kita menjadi mimpi buruk. Kejahatan hadir dalam berbagai bentuk: salah satunya adalah kekerasan simbolis yang didukung oleh fundamentalisme agama. Allah yang diproklamasikan dari mimbar-mimbar, dipuji di lapangan-lapangan kota kita atau dipanggil di persidangan senat, parlemen dan undang-undang adalah allah yang jahat yang memiliki kekuatan seorang laki-laki – suatu allah yang telah diciptakan dalam gambar dan rupa sistem patriarkhal. Allah yang seperti itu membenarkan terjadinya kejahatan terhadap perempuan, mengancam hak-hak kita dan disenangkan oleh korban-korban pribadi kita setiap hari; untuk alasan inilah kita diciptakan. Allah yang patriarkhal ini makan setiap hari dari darah yang dicurahkan oleh tubuh-tubuh kita. Fundamentalisme agama sedang berkembang di negara-negara Amerika Latin. Hal ini merupakan sebuah fundamentalisme agama dan politik yang menyertakan hak-hak perempuan sebagai alat tawar menawar: hak untuk memutuskan, hak untuk mendapatkan hak, hak untuk mengejar kebahagiaan, sukacita dan kesenangan, dan hak untuk hidup secara bermartabat. «Jika kamu memilih saya, saya berjanji kamu akan mendapatkan kursi pemimpin dalam komisi hak-hak asasi manusia.» Hal ini sebenarnya telah terjadi di Brazil dan Kosta Rika. Dan kemudian, pada akhirnya, datanglah kata-kata: «Allah memberikan ini pada saya.» Allah seperti apa yang sebenarnya mereka perbincangkan? Akan tetapi allah itu bukanlah satu-satunya allah. Di Amerika Latin dan juga di Afrika, Asia dan dalam kelompokkelompok profetis di belahan utara, suatu allah yang berbe9
Cecilia Castillo Nanjarí, Etel Nina Cáceres, Silvia Regina de Lima Silva (Foto Mission 21)
da telah diproklamasikan, suatu allah bagi mereka yang miskin dan tersingkirkan . . . kita menyebut allah itu sebagai Allah Yesus. Akan tetapi, di manakah mereka yang memproklamasikannya? Saya tidak dapat mendengar mereka, karena ketika kita mulai berbicara tentang hak-hak perempuan, suara mereka menjadi samar dan tidak terdengar. Diperhadapkan dengan pertanyaan tentang hak-hak perempuan, mereka langsung bungkam sepenuhnya . . . dan kita berbalik pada rasa takut yang semula, takut untuk mendefinisikan diri kita sendiri sebagai perempuan-perempuan dan laki-laki yang bebas. Meskipun di tengah nubuatan-nubuatan yang ditekan dan teriakan-teriakan yang dibungkam, beberapa dari kita mampu untuk membuat suara kita terdengar. Kita menyimak satu dengan lainnya – dan mungkin kita hanya berjumlah sedikit saja karena ada juga para perempuan yang tetap bungkam agar tidak kehilangan keistimewaan-keistimewaan yang selama ini telah diterima dari sistem yang patriarkhal. Bagaimanapun juga, berbagai sinergi mulai muncul dari berbagai negara, seperti gelora api yang dihidupkan kembali dari bara api yang kita pikir telah padam. Mereka dibawa oleh para perempuan yang telah melalui penderitaan yang besar – beberapa berpakaian putih, tetapi yang lainnya memakai aneka warna: kekuatan mereka terletak pada keberagaman jubah yang mereka pakai, warna rambut dan kulit yang beragam, dan keberagaman budaya dan memori. Mereka telah mentransformasikan iman mereka menjadi batu penjuru penolakan, yang menciptakan sebuah ruang di mana mereka dapat menuntut hak-hak mereka dan memu-
10
lihkan martabat mereka sebagai anak-anak perempuan Allah. Mereka sedang datang. Mereka telah mengambil kendali sepenuhnya atas tubuh-tubuh mereka dan ingatan-ingatan mereka; mereka telah memerdekakan pikiran-pikiran mereka. Mereka mampu untuk berpikir tentang kontekskonteks dan paradigma-paradigma yang berbeda. Mereka membangkitkan perasaan mereka dengan menyembuhkan luka dan memar satu dengan lainnya. Mereka membawa angin segar dan juga angin perubahan yang kuat; mereka adalah putri-putri dari bumi, dari air-air sungai yang segar, dari laut dan dan petir. Mereka adalah anak-anak perempuan, saudari-saudari dan warga negara. Mereka sedang membangun aliansi dan membentuk sebuah jaringan sosial yang baru. Mereka mempertahankan ruang personal dan tubuh mereka bagaikan sebuah wilayah-wilayah nasional. Mereka adalah para perempuan yang telah diberdayakan, yang telah menemukan kemampuan mereka untuk terlibat dalam advokasi politik dan sosial melalui aksi bersama, diperkuat oleh sebuah iman yang membebaskan. Ya, mereka sedang datang: mereka sedang mengumpulkan pengalaman-pengalaman dari masa lalu dan menghadapi tantangan-tantangan hari ini tanpa rasa takut; dengan tangan mereka sendiri membuka jalan-jalan baru menuju sebuah masa kini dan masa depan yang berbeda. Mereka sedang datang, berpakain aneka warna . . . Ya! Kita adalah perempuan-perempuan yang terpilih. Teks asli dalam bahasa Spanyol. 1
Dalam kolaborasi dengan Cecilia Castillo Nanjari dan Etel Nina Caceres
Hak-hak Perempuan, Berbasis Agama Dr. Annemarie Sancar, seorang antropolog sosial yang ahli di bidang kesetaraan gender dalam kebij akan pembangunan dan migrasi.
Annemarie Sancar (Foto Miriam Glass)
Arsitektur Hak-hak Perempuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah tempat di mana hakhak asasi manusia diabadikan, dan di sinilah debat mengenai hakhak perempuan diadakan. Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) diadopsi pada 1979. Sejak saat itu, konvensi ini telah ditandatangi oleh hampir seluruh negara anggota PBB (tetapi tidak oleh Amerika Serikat). The Beijing Declaration and Platform for Action diadopsi pada 1995 pada Koferensi Perempuan Dunia Keempat di Beijing yang bertujuan untuk memajukan implementasi kesetaraan gender. Resolusi S/RES/1325 Dewan Keamaan mengenai Perempuan dan Perdamaian dan Keamanan (Women and Peace and Security) diadopsi pada 2000. Semua ini tercapai oleh karena komitmen jangka panjang dan luas dari organisasi-organisasi perempuan dan jaringannya, para tokoh politik perempuan dan pengajar, organisasi-organisasi bantuan dan lembaga-lembaga berbasis agama. Telah bangkit sebuah kesadaran bahwa hak-hak perempuan dibutuhkan karena hak-hak asasi manusia telah berkembang dalam sebuah masyarakat yang patriarkhal sehingga mereka tidak dapat dengan cukup menyertakan atau dengan tepat mengangkat
ketidaksetaraan-ketidaksetaraan struktural. Sebaliknya, sering kali, mereka cenderung mengabaikan aspek-aspek hak-hak dasar yang berhubungan secara khusus dengan perempuan. Konvensi-konvensi PBB dapat diterapkan pada negara-negara anggota. Komunitas-komunitas religius hanya memiliki kewajiban tidak langsung untuk menerapkannya. Negara harus mengintervensi jika sebuah pelanggaran atas konvensi ini terjadi pada wilayahnya karena bertanggungjawab kepada PBB dan secara rutin harus melaporkan perkembangannya. Sebuah poin penting bagi para aktivis adalah adanya “laporan alternatif,” yang muncul ketika masyarakat sipil menaikkan isu-isu kritis dan memberikan tuntutan-tuntutannya. Laporan ini juga memberikan Komisi PBB – yaitu mobilisasi, jaringan-jaringan, debat dan rekaman-rekaman tulisan – sebuah kesempatan yang luar biasa untuk menguatkan organisasi-organisasi perempuan dan masyarakat sipil untuk mengangkat isu hak-hak perempuan di antara para perempuan sendiri. Negara-negara melakukan asesmen pencapaian dari setiap tujuan yang ada beberapa tahun sekali. Pekerjaan ini dapat bersifat sangat kreatif dan efektif tetapi juga memperlihatkan kompleksitas isu-isu yang ada. Perpecahan yang dalam seringkali muncul ketika negara-negara berusaha keras untuk mencapai kesepakatan bersama di PBB tentang bagaimana meningkatkan keadaan perempuan-perempuan secara umum. Beberapa hal telah menjadi jelas: ada beberapa isu yang sangat sulit, komunitas-komunitas negara bisa sangat berbeda pendapat, dan bagaimana lebarnya peluang interpretasi terkait hak-hak perempuan.
Peran genting masyarakat sipil
Tanpa adanya kehadiran organisasi-organisasi perempuan, dan dari politik, penasihat dan jaringan peneliti yang memperjuangkan isu-isu khusus atau berbagai isu, perdebatan seperti ini tidak dilihat penting dan kesimpulan yang dihasilkan (yang mengikat seluruh negara anggota) hanya dilaksanakan oleh sebagian pihak saja. Hal yang sama juga terjadi pada laporan-laporan alternatif, yang merupakan hasil dari sikap-sikap yang berbeda, debat-debat yang kontroversial, dan hasil dari proses kerjasama dan penyatuan. Sebagai contoh adalah bidang kesehatan perempuan: isu yang meledak ini memperlihatkan bagaimana kesehatan reproduksi—dan oleh karenanya tubuh perempuan—diubah menjadi sebuah isu politis. Hal ini memperlihatkan bagaimana perbedaan kepentingan menjadi sebuah konflik “atas nama hak-hak perempuan.” Dan juga di ranah lainnya, jelas bahwa politik gender merupakan identitas politik, yang membuat diskriminasi ditegakkan di tengah berbagai kepentingan yang saling berkonflik antara struktur-struktur kekuasaan modern dan patriarkhal. Aspek lainnya yang muncul adalah hubungan yang ambivalen antara PBB – sebagai komunitas negara-negara – dengan berbagai pihak berbasis agama dan komunitas-komunitas agama. Debat-debat mengenai hak-hak perempuan yang terjadi di 11
PBB memperlihatkan pemahaman posmodern tentang kebebasan individu yang tidak sepenuhnya adalah benar. Penjelasan diperlukan ketika kebebasan pada beberapa perempuan dibatasi secara spesifik di bidang kesehatan reproduksi, baik melalui larangan oleh undang-undang atau otoritas moral. Dalam keadaan-keadaan seperti ini, stereotipe memainkan peran – dan hal ini menuntut sebuah perhatian besar dari organisasi-organisasi perempuan agar mereka dapat menyuarakan pendapat-pendapat penting mereka. Organisasi-organisasi gereja memainkan peran penting karena mereka memiliki akses yang baik kepada institusi-institusi ko-
Workshop Advokasi Jenewa (Foto LWB)
munal. Mereka berakar pada kehidupan sehari-hari umat, mereka mendukung proses pemaknaan dan menawarkan sesuatu bagi praktik-praktik sosial: bagi penggunaan kolektif dan pemanfaatan aset bersama, baik di wilayah kota, daerah perdesaan atau komunitas-komunitas desa terpencil. Mereka memainkan peran yang penting. Mereka menolong untuk membentuk proses sosialisasi, jadi mereka menanggung tanggung jawab yang berat – tetapi mereka juga rapuh. Berapa besarnya peluang yang diberikan oleh komunitas terhadap mereka? Apakah pekerjaan mereka pada dasarnya bersifat terlalu memprovokasi, terlalu mengancam bagi sistem intrakomunitas? Apakah mereka semata-mata perpanjangan tangan dari gereja-gereja yang berkuasa di negara mereka? Tidak dapat dipungkiri jika pertanyaan tentang kuasa harus muncul. Melawan kemiskinan dan mempromosikan perdamaian berhubungan dengan pembagian sumber-sumber daya dan akses terhadapnya, dan dengan diskriminasi – selalu dengan tujuan untuk menciptakan kohesi dan memampukan integrasi sosial. Kesetaraan hak-hak adalah tujuannya, dan hak-hak asasi manusia menyediakan kerangkanya. Cakupan aksi pembangunan adalah luas tetapi terbatas. Oleh karena alasan inilah, adalah mendesak untuk mengawasi keberadaan hak-hak asasi manusia dan khususnya hak-hak perempuan, terutama ketika kelompok target yang ada memiliki kuasa yang kecil untuk bernegosiasi atau membuat keputusan-keputasan. Apakah artinya secara praktis, dan peran apa yang dapat dimainkan oleh berbagai jaringan yang ada? Para aktivis adalah 12
“pengendali” yang terbaik; observasi mereka, suara mereka dan keterlibatan yang beragam dapat memberikan pengaruh dan memperlihatkan transformasi. Para aktvis bertindak lebih efektif jika mereka mengatur diri mereka di dalam jaringan-jaringan. Bagaimanapun juga, jaringan-jaringan memerlukan ruang dan sebuah struktur, energi dan ide-ide, agar mereka dapat memainkan peran kritis mereka secara terus-menerus. Jika mengembangkan kerjasama bertujuan untuk menyesuaikan gender – jika hal ini bertujuan untuk menjadi sesuai dengan hak-hak perempuan – hal ini tentu saja dapat dilakukan dalam kerjasama dengan komunitas-komunitas keagamaan pada segala waktu, dan dapat juga bekerjasama dengan sekor-sektor swasta. Penting sekali untuk mengetahui dengan tepat arti hakhak perempuan dalam setiap konteks yang ada: apa yang menempatkan perempuan dalam resiko, proses-proses dan kebijakan-kebijakan apa yang menekan relevansi keberadaan mereka. Kita juga harus terbuka terhadap keberagaman ini agar terhindar dari penggunaan stereotipe. Di mana pun kita mengadvokasi hakhak perempuan, satu isu tampaknya selalu muncul kembali, yaitu pekerjaan. Kondisi di mana para perempuan bekerja setiap hari untuk mempertahankan dasardasar kehidupan memberikan petunjukpetunjuk pada situasi para perempuan. Apa yang terjadi ketika dana umum dipotong? Apa dampak yang dihadirkan atas pembagian peran, tuntutan atas waktu dan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pekerjaan? Kita masih perlu banyak belajar, dan kita perlu untuk menajamkan fokus kita. Dilihat dari lensa ekonomi, peralatan di pusatpusat kesehatan, dana untuk penelitian atau sistem keamanan sosial memperlihatkan mekanisme-mekanisme yang berbeda dari diskriminasi gender yang spesifik yang tidak dapat diabaikan oleh model-model peran tradisionalis. Organisasi-organisasi gereja harus menerima tanggung jawab dalam hal ini. Ya: apakah arti itu bagi kita semua? Kesiapan seperti apa yang diperlukan? Bagaimanakah kita menjalaninya? Saya selalu merespons dengan berkata: terlibatlah dalam jaringan-jaringan yang ada dan saling bertukar, saling memberikan dukungan; gerakkan dan gunakan pengetahuan baru, dan ciptakan kesadaran publik! Dan selalu miliki sebuah pandangan yang kritis terhadap pandangan-pandangan kita sendiri mengenai gender—pandangan-pandangan yang telah membentuk atau menggambarkan diri kita. Marilah menjadi berani, dan jangan pernah lupa untuk mengevaluasi diri kita secara kritis – terutama terkait ketidaksetaraan antara perempuan, dan perbedaan kepentingan dan kesempatankesempatan – terlepas apakah mereka terlibat dalam organisasiorganisasi berbasis agama atau jaringan-jaringan sekular. Laporan «Women Peace Security-Reloade» dapat ditemukan di sini: www.bit.ly/2dYUoEL Teks asli dalam bahasa Jerman.
Program Advokasi bagi Hak Asasi Perempuan
Sibylle Dirren, Ahli Program Advokasi Mission 21
Peluncuran program advokasi pada 29 Juni 2016 di Basel berpusat pada Training of Trainers (ToT) yang pertama tentang kepemimpinan dan advokasi. Bagian pertama berfokus untuk membentuk sebuah kelompok dan perangkatperangkat kepemimpinan. Bagian kedua berhubungan dengan materi-materi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Workshop Kepemimpinan Terpadu di Basel
Bagian pertama pelatihan ini dipimpin oleh seorang antropolog sosial Susan Cabezas sejak 29 Juni hingga 2 Juli 2016. Seluruh peserta pelatihan ini berjumlah 12 orang yang datang dari berbagai negara, yaitu Kamerun, Tanzania, Indonesia, Malaysia, Kosta Rika, Perlu dan Cili. Emery Mpwate, Koordinator HIV/AIDS Mission 21 di Afrika, juga terlibat dalam pelatihan ini. Gabriele Mayer dari Evangelical Mission in Solidarity (EMS), Jerman memberikan kontribusi terhadap proses pertukaran pengetahuan dan metodologi. Tujuan utama dari pelatihan ini adalah menciptakan dan mengonsolidasikan sebuah kelompok pemimpin advokasi, yang bekerja berdasarkan pengalaman para peserta untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga diri dan kesejahteraan diri sebagai komponen kunci dalam kepemimpinan.
Workshop Advokasi Basel (Foto Susan Cabezas)
Workshop «Women’s Human Rights Advocacy for Faith-based Organizations» di Jenewa
Bagian kedua dari pelatihan ini, yang diadakan di Jenewa pada 4-9 Juli, disebut «Women’s Human Rights Advocacy for Faithbased Organizations (Advokasi Hak Asasi Perempuan bagi Organisasi-organisasi Berbasis Agama).» Dari sekitar 50 peserta yang berasal dari Asia, Afrika dan Amerika Latin, dua belas orang merupakan anggota gereja-gereja mitra atau organisasi mitra Mission 21. Oleh karena waktu workshop disesuaikan dengan Summer Session PBB tentang Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), para peserta dapat menghadiri secara langsung sesi CEDAW di Palais des Nations PBB. Ketika sedang berlangsung, pemerintah Myanmar harus menjawab beberapa pertanyaan penting dari Komite CEDAW terkait hukum nasional yang bersifat mendiskriminasikan. Workshop ini diadakan oleh Lutheran World Federation (LWF) yang bekerja sama dengan organisasi berbasis agama lainnya termasuk Mission 21. Tujuan utama workshop ini adalah memperkuat karya advokasi organisasi-organisasi lokal berbasis agama dan jaringan mereka pada level regional, nasional dan internasional. Teks asli dalam bahasa Jerman.
Thursdays in Black: para peserta Workshop Advokasi di depan Palais de Nations, Jenewa (Foto LWB) 13
Alat-alat untuk Refleksi dan Transformasi Theatre of the Oppressed: Workshop untuk Menantang Kejahatan Gender Teks ini diberikan oleh Claudia Signoretti, fasilitator Modul «Theatre of the Oppressed» (Teater Mereka yang Tertindas) pada Workshop Advokasi di Jenewa. Theatre of the Oppressed adalah sebuah kelengkapan yang bertujuan untuk memampukan siapa pun untuk berbagi dan memerankan situasi-situasi yang menindas. Ketika sebuah isu dapat diperankan dan diteliti, para peserta berusaha untuk mengatasi masalah yang ada dan melatih solusi-solusi yang ada – semua dilakukan dalam kerangka teater yang aman. Forum Teater adalah sebuah metode terdepan dalam memberikan para penonton kesempatan tidak hanya untuk mengamati tetapi berperan di atas panggung. Hasilnya, mereka jadi terlibat dalam proses pemberdayaan yang terdiri dari berpikir secara kritis dan alat-alat untuk bertindak. Prinsip-prinsip dasar dari metodologi ini adalah: • Analisis kolektif atas masalah-masalah bersama, bertujuan untuk menghancurkan isolasi dan memfasilitas terbentuknya sebuah komunitas. • Memerankan situasi-situasi yang problematis: 1) membagikan kesulitan-kesulitan dan tantangantantangan yang dihadapi oleh para peserta dalam kehidupan mereka sehari-hari; 2) menganalisis akar penyebab situasi-situasi ini; 3) mengekplorasi berbagai kemungkinan solusi atas masalah-masalah ini. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan: adegan itu sendiri tidak menyediakan kebenaran atau jawaban terhadap masalah yang diperankan. Tujuannya adalah mendorong kelompok yang ada untuk melakukan penelitian dan terlibat. Para aktor dan penonton terlibat dalam mengidentifikasi tantangan-tantangan yang ada, menemukan kesalahan yang biasa terjadi, mencoba solusi-solusi dan mencapai keputusan bersama mengenai cara terbaik untuk mengubah situasi yang ada.
Claudia Signoretti (Foto LWB)
Theatre ofthe Oppressed: sebuah alat transformasi Vistamika Wangka, peserta Program Advokasi Mission 21
Ketika saya merima daftar program workshop advokasi bagi hak-hak perempuan, saya penasaran terhadap salah satu aktivitas yang tertera: the Theatre of the Oppressed. Bagaimana mungkin teater dapat digunakan untuk memahami Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW)? Saya membayangkan adanya sekelompok orang (kemungkinan para artis teater) yang memainkan drama dengan latar belakang panggung yang luar biasa dan kami, para peserta, akan datang sebagai penonton. Faktanya, tidak sama sekali! Tidak ada artis. Sebaliknya, hanya ada satu fasilitator yang membimbing kami untuk terlibat dalam pertunjukan teater secara langsung. Kami adalah para artisnya, panggung itu milik kami; pertunjukan yang ada berbicara tentang kehidupan kami. Terlibat dalam Theatre of the Oppressed sebagai cara untuk memahami CEDAW adalah sebuah pengalaman yang baru bagi saya. Saya sangat bersyukur atas kesempatan untuk mengobservasi dan juga terlibat dalam seluruh proses yang membentuk pemikiran kritis atas relasi-relasi gender, kuasa peran dan konstruksi-konstruksi sosial lainnya yang seringkali menindas para perempuan. Teks asli dalam bahasa Inggris.
14
Membaca Alkitab dengan Mata Yang Lain Evangelische Mission in Solidarität (EMS)
Berbagi Alkitab adalah sebuah pendekatan spesifik untuk membaca Alkitab dalam kelompok-kelompok, yang biasanya digunakan di Afrika Selatan. Berbagi Alkitab memberikan kesempatan kepada setiap anggota kelompok untuk berpartisipasi secara aktif dan mengekspresikan dengan bebas pesan Alkitab yang diterima oleh seseorang. Kami menawarkan tujuh langkah dalam Berbagi Alkitab: Pembukaan, Membaca Alkitab, Memberikan suara pada teks Alkitab, Meditasi dalam keheningan, Berbagi pandangan, Bertindak bersama dan Penutup. Informasi lebih lanjut mengenai Membaca Alkitab dengan Mata Yang Lain – Proyek Membaca Alkitab EMS, dapat ditemukan pada : www.bit.ly/2ex045M
Membaca Alkitab: Basel dan Tamil Nadu
Evelyne Zinsstag, anggota kelompok membaca Alkitab, University ofBasel
Setelah mendengar dari Gabriele Mayer tentang proyek membaca Alkitab bersama, kami—sekelompok mahasiswi/a teologi yang tertarik pada feminisme di University of Basel—memutuskan untuk bergabung dalam proyek ini. Rekan kelompok kami adalah Kelompok Tamilnadu Theological Seminary di India. Pada permulaan April, kami bertemu untuk mendiskusikan kerangka kerja kelompok kami. Setelah setiap peserta membagikan latar belakang mereka, kami menjadi sadar akan keberagaman pengalaman dan perspektif yang mempersatukan kami di dalam kelompok kami: kami telah hidup dalam berbagai konteks dan budaya, kami telah berhubungan dengan denominasidenominasi yang berbeda, tetapi pada saat yang bersamaan, kami adalah anggota Gereja Reformed Protestan. Berdasarkan teks-teks Alkitab yang ditawarkan, kami memutuskan
untuk membaca Filipi 2:1-11 dan 2 Raja-raja 8:3-11 bersama rekan kelompok kami. Kami menulis surat kepada mereka yang menceritakan kekristen di Basel dan Swiss, dan tentang pandangan-pandangan kami mengenai cara kami dapat bekerja sebagai sebuah kelompok. Dalam pertemuan kami yang kedua pada akhir April, kami telah menerima respons dari kelompok di Tamil Nadu. Kelompok tersebut terdiri dari mahasiswi/a dan pendetapendeta, anggota Gereja India Selatan (Church of South India/CSI) dan Gereja Lutheran Evangelis Tamil (Tamil Evangelical Lutheran Church/TELC), dan mereka yang baru saja berpindah dari agama Budha dan Hindu. Mereka menjelaskan, sebagai sebuah agama minoritas, kekristenan tuduk pada pengaruh kultural yang kuat dari Budha dan India. Selama pelatihan mereka di Seminari Teologi, para mahasiswi/a hidup selama satu tahun di daerah kumuh dan selama satu tahun di sebuah komunitas desa sebelum pindah ke kampus untuk melanjutkan tahun ketiga kuliah. Ketika membaca Filipi 2:1-11, topik ketundukan menimbulkan sebuah diskusi. Bagaimanakah ketundukan Kristen dapat dipahami secara positif dari perspektif perempuan yang hidup dalam masyarakat yang telah menuntut ketundukan? Kami mengirim hasil diskusi kami pada kelompok di Tamil Nadu. Pertemuan kami yang berikutnya adalah pada Mei yang mendiskusikan laporan yang kami terima dari India. Rekan kelompok kami melihat «kerendahan hati» sebagai sebuah panggilan bagi masyarakat India. Mereka menulis: teks ini tidak ditujukan pada orang-orang yang ditindas tetapi mereka yang berada pada posisi penting. Keduanya ada di India dan juga di Swiss; akan tetapi, bagi negara-negara maju, menurut mereka, ada tambahan tanggung jawab terkait «kerendahan hati global.» Apakah rekan kelompok kami memandang kami sebagai «para penindas»? Diskusi kami yang berikutnya adalah 2 Raja-Raja 7:3-11 tentang empat orang sakit kusta yang memberitakan kekalahan orang Aram. Siapakah orang sakit kusta dalam masyarakat kita? «Kabar Baik» apa yang mereka bawa kepada kita? Hasil diskusi kami akan dikirim kembali ke Tamil Nadu. Kami telah menerima respons mereka yang akan kami diskusikan dalam pertemuan kami berikutnya. Dan juga, kami telah menerima konfirmasi dari kelompok rekan India kami bahwa kami akan terus membaca teks Alkitab ini bersama-sama. Teks asli dalam bahasa Jerman.
15
Ruang Informasi Sidang Benua Afrika (African Continental Assembly/ACA) di Abuja, Nigeria, 5-11 Maret 2016
Suzan Mark, Koordinator Jaringan Perempuan Sidang Benua Afrika (Women’s Network ofthe African Continental Assembly)
Sidang Benua Afrika (ACA) tahun ini dilaksanakan oleh EYN, Gereja Brethren di Nigeria. Di antara berbagai isu yang ada, Sidang ini membahas Pernyataan Misi Mission 21 yang baru yang akan diadopsi oleh Sinode tersebut pada Juni. Poin agenda lainnya termasuk sebuah presentasi oleh Dr. Emery mengenai rencana strategis untuk melawan penyebaran HIV/AIDS di negara-negara di mana Mission 21 terlibat secara aktif. Dr. Yakubu Joseph, Koordinator Mission 21 di Nigeria, memberikan sebuah presentasi tentang situasi keamanan di bagian timur-utara Nigeria, yang masih berada dalam krisis oleh karena pemberontakan Boko Haram. Para perwakilan juga mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi sebuah sekolah untuk anak-anak yang menjadi pengungsi internal. Teks asli dalam bahasa Inggris.
Workshop Kepemimpinan Perempuan di Kota Hualien, Taiwan, 9–12 April, 2016
Hsiu Chuan Lin, delegasi Gereja Presbiterian di Taiwan (Presbyterian Church in Taiwan) Empowering Women Based on Freeing Theology merupakan tema dari sebuah workshop yang diadakan di Taiwan pada 9 hingga 12 April 2016. Pertemuan ini dihadiri oleh 160 peserta dari Korea, Jepang, Hong Kong, Malaysia, Indonesia dan Swiss.
yang menambah pengetahuan dan forum untuk bertukar pendapat, memperluas visi dan menginspirasi setiap hati yang ada. Saya ingin berterimakasih kepada Rev. Claudia Bandixen atas kehadirannya untuk mengajar. Kuliahnya tentang ‘Kepemimpinan oleh Perempuan’ telah menginspirasi dan mendorong semua peserta dalam workshop ini.» Teks asli dalam bahasa Inggris.
Pertemuan Perempuan Kontinental, Santiago de Chile, Cili 7 April 2016
Etel Nina Cáceres, Koordinator Proyek Weaving Networks 2015–2016
Judul pertemuan ini adalah «Weaving and Strengthening the Latin American and Caribbean Networks» (Menjalin dan Memperkuat Jaringan-jaringan Amerika Latin dan Karibia). Para peserta adalah mitra-mitra Mission 21 dari Bolivia, Cili, Kosta Rika, Peru dan Agentina dan juga Josefina Hurtado, Kepala Biro Perempuan dan Gender Mission 21. Pertemuan ini mencakup sejumlah topik, dan beberapa isu utama yang muncul berkaitan dengan keberlangsungan proyek «Weaving Networks 2016.» Termasuk di dalamnya diagnostik-diagnostik dan validasi alat-alat pengarusutamaan gender; kekerasan terhadap perempuan (pembunuhan secara khusus pada perempuan, perdagangan manusia); pembelaan hukum; refleksi teologis feminis; pemberdayaan perempuan; memelihara diri sendiri; dan struktur komunikasi. Teks asli ditulis dalam bahasa Spanyol.
Formulir Pesanan Saya tertarik menerima Women‘s Letter. Nama Keluarga Nama Pribadi Alamat Kota Yi Hye Jin, Sekertaris Umum Gereja Presbiterian di Republik Korea (PROK), Asosiasi Pendeta-Pendeta Perempuan PROK; Claudia Bandixen, Direktur Mission 21; ChangMei Lien, Sekertaris Program Komite Pendeta-Pendeta Perempuan Gereja Presbiterian di Taiwan dan Park Young Ju, Moderator Presbiteri Seoul Timur PROK. (Foto PCT)
«Ini merupakan pertama kalinya kami menerima para delegasi dari Asian Women’s Fellowship (Persekutuan Perempuan Asia) di Utara dan Selatan yang bertemu untuk membagikan pengalaman-pengalaman, berkomunikasi, mendengarkan, saling bertukar informasi, belajar dan mendorong satu dengan lainnya. Pertemuan ini juga memberikan kuliah-kuliah 16
Negara E-Mail Komentar Kembalikan ke:
E-Mail:
Mission 21, Jolanda Urfer Missionsstrasse 21 Postfach 270 CH-4009 Basel
[email protected]