BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tomat 2.1.1 Deskripsi dan Taksonomi Tanaman Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin yang dibawa oleh orang Spanyol dan Portugis pada abah ke-16. Saat ini, budidaya tomat modern dan tomat hibrida dapat tumbuh dengan baik pada iklim yang berbeda dari daerah asalnya (Villareal & Moomaw, 1979). Klasifikasi botani tomat memiliki sejarah yang menarik, pertama kali tomat ditempatkan pada genus Solanum dan diidentifikasikan sebagai Solanum lycopersicon. Walaupun telah diubah menjadi Lycopersicum esculentum, hal ini memiliki arti sederhana “dapat dimakan”. Secara lengkap para ilmuwan mengklasifikasikan tanaman tomat dengan sistematik sebagai berikut : a.
Kingdom
: Plantae
b.
Subkingdom
: Tracheobionia
c.
Divisi
: Magnoliophyta
d.
Kelas
: Magnoliopsida
e.
Subkelas
: Asteridae
f.
Ordo
: Solanales
g.
Famili
: Solaneceae
h.
Genus
: Solanum
9
10
i.
Spesies
: Lycopersicum esculentum (Jones, 2008).
Kuntum bunganya terdiri dari lima helai daun kelopak dan lima mahkota. Daun tomat berwarna hijau dan berbulu. Bunga tanaman tomat berwarna kuning. Buahnya berbentuk bulat, bulat lonjong, bulat pipih, atau oval. Buah yang masih muda berwarna hijau muda sampai hijau tua. Sementara itu, buah yang sudah tua berwarna merah cerah atau gelap, merah kekuning-kuningan, atau merah kehitaman. Buahnya memiliki daging buah yang lembut, lunak, dan kadangkadang banyak mengandung biji. Buah tomat memiliki rasa manis, asam, dan sedikit dingin (Pratiwi, 2009). Buah tomat memiliki beberapa varietas. Buah tomat menurut bentuknya, dapat digolongkan menjadi: (1) Tomat Cherry (Lycopersicon esculentum Mill, var. Cerasiforme (Dun) Alef), bentuknya seperti kelengkeng; (2) Tomat Tegak (Lycopersicon esculentum Mill, var.validim Bailey); (3) Tomat Kentang atau Tomat Daun Lebar (Lycopersicon esculentum Mill, var.grandifolium Bailey); (4) Tomat Apel atau Pir (Lycopersicon esculentum Mill, var.pyriforme Alef); (5) Tomat Biasa (Lycopersicon esculentum Mill, var.commune). Jenis tomat yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah tomat biasa (Pratiwi, 2009). Buah tomat merupakan produk hortikultura yang mudah diperoleh di Indonesia. Rasa buahnya yang manis–asam digemari oleh sebagian besar masyarakat. Buah tomat merupakan sumber vitamin C dan A, juga kaya antioksidan. Pada umumnya tomat dikonsumsi dalam bentuk segar (Tugiyono, 2007). Tanaman tomat termasuk tanaman semusim (berumur pendek). Artinya tanaman hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Tanaman tomat berbentuk perdu yang tingginya dapat mencapai ± 2 meter. Ukuran buah tomat
11
sangat bervariasi, yang berukuran paling kecil memiliki bobot 8 gram dan yang berukuran besar memiliki bobot 180 gram. Buah tomat yang masih muda berwarna hijau-muda, bila sudah matang berubah menjadi merah. Buah tomat muda memiliki rasa getir dan beraroma tidak sedap, sebab masih mengandung zat lycopersicin yang berbentuk lendir. Aroma yang tidak sedap itu akan hilang dengan sendirinya pada saat buah memasuki fase pematangan hingga matang. Rasanya juga akan berubah menjadi manis agak masam yang mencirikan rasa buah tomat. Buah tomat terdiri dari 2-12 lokul yang mengandung banyak biji (Jones, 2008). Dalam masyarakat umum, buah tomat hanya dibuat sebagai sayur saja tanpa adanya pemanfaatan yang lebih, sebagai tepung tomat misalnya yang dapat dibuat sumber makanan alternatif mengingat gizi yang dikandungnya cukup kompleks, padahal buah tomat setelah panen akan rusak antara 20% sampai 50% setelah panen (Winarno & Aman, 1986).
2.1.2 Kandungan Kimia dan Khasiat Buah Tomat Buah tomat mengandung gizi yang lengkap dan penting bagi manusia. Buah tomat kaya akan vitamin C dan beberapa antioksidan, di antaranya vitamin E dan likopen. Selain itu, buah tomat juga mengandung serat makanan alami yang sangat baik bagi pencernaan manusia dan juga adanya protein dalam buah tomat menjadikannya buah yang sangat sarat gizi. Dalam 180 gram buah tomat matang, vitamin C yang terkandung sekitar 34,38 mg yang memenuhi 57,3% vitamin C dalam sehari. Kandungan seratnya mencapai 1,98 gram dan protein sebesar 1,53 gram (Whfoods.org, 2007). Kadar likopen yang terkandung dalam tomat segar berkisar antara 3,1 – 7,7 mg/100 gram (Tonucci et. al., 1995). Kandungan likopen dalam tomat yang cukup tinggi dapat diekstrak untuk produk – produk kesehatan
12
atau kosmetik mengingat kekuatan likopen setara dengan 100 kali kekuatan vitamin E dalam menanggulangi radikal bebas (Di Mascio, et al., 1989 dalam Fitrotin, Purnomo, Susanto). Selain itu, dalam buah tomat juga terkandung solanin (0,007 %), saponin, asam folat, asam malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ßkaroten), protein, lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam et al., 2005). Likopen merupakan salah satu kandungan kimia paling banyak dalam tomat, dalam 100 gram tomat rata-rata mengandung likopen sebanyak 3-5 mg (Giovannucci, 1999). Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa tomat dapat bermanfaat sebagai obat diare, serangan empedu, gangguan pencernaan serta memulihkan fungsi liver (Fuhramn et al, 1997). Beberapa studi in vitro menemukan bahwa likopen memiliki aktivitas antioksidan yang poten. Levy et al. (1995) menyebutkan bahwa likopen mampu menghambat pertumbuhan kanker endometrial, kanker payudara, dan kanker paru-paru pada kultur sel dengan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan α dan β-karoten. Likopen ditemukan mampu menginaktifkan hidrogen peroksida dan nitrogen peroksida (Bohm, dkk., 1995). Dengan penghambatan senyawa radikal bebas tersebut maka kemungkinan terjadinya kanker dapat diturunkan.
2.1.3 Ekstraksi Buah Tomat Buah tomat terdiri dari 5-10% berat kering tanpa air dan 1 persen kulit dan biji. Jika buah tomat dikeringkan, sekitar 50% dari berat keringnya terdiri dari gula-gula pereduksi (terutama glukosa dan fruktosa), sisanya asam-asam organik, mineral, pigmen, vitamin dan lipid. Pada penelitian ekstraksi likopen pada buah tomat digunakan bahan utama yaitu buah tomat (dalam bentuk jus), selain itu di
13
gunakan pelarut etanol 96 %. Sedangkan alat yang di pergunakan antara lain beaker
glass,
labu takar,
erlenmeyer,
gelas
ukur, timbangan,
stirerr,
spektrofotometer, piknometer, corong pemisah, kertas saring, pipet tetes, corong gelas. Proses pertama dilakukan dengan penanganan awal pada buah tomat yaitu membersihkan buah tomat dari kotorannya dan menghaluskan buah tomat dengan blender (jus). Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 70º C yang menghasilkan sediaan semisolid atau kental. Ekstrak ini di partisisi dengan n hexane dan diberikan fraksi n hexane. Lapisan air kemudian dipartisi dengan etil asetat, lapisan etil asetat dipekatkan sehingga diperoleh fraksi etila asetat buah tomat. Solven terhadap feed pada perbandingan (Fraksi/Solven) F/S 1:4 menunjukkan kondisi perbandingan F/S yang optimal, likopen yang terekstrak semakin banyak. Demikian juga dengan semakin tinggi suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi, dan semakin besar perbandingannya dengan solven maka likopen yang terekstrak juga akan semakin banyak. Dari hasil penelitian di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa kondisi optimum operasi ekstraksi likopen dengan menggunakan solven campuran n-heksana, etanol, dan aseton adalah pada perbandingan pelarut dan bahan 4 : 1 pada suhu operasi 70˚C dan 90 menit untuk variable waktu ekstraksi. Pada kondisi ini likopen yang terekstrak sebesar 5,14 mg/100gram atau sebesar 40,15% (Maulida & Zulkarnaen, 2010).
14
2.2 Luka diabetik
2.2. 1 Definisi Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Suryadi, 2004). Luka diabetik terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi ulkus bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).
2.2.2 Patofisiologi dan Manisfestasi Klinis. Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetes terkait dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neuropati perifer. Efek sirkulasi yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot- otot halus, kelenjar dan organ visceral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis; yang memudahkan kulit menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi kepada saraf sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan dan perubahan
15
temparatur (Suriadi, 2004). Luka diabetik mengalami risiko tinggi mengalami infeksi akibat pemajangan proses inflamasi. Tanda dan gejala dari luka yang mengalami infeksi adalah dijelaskan sebagai berikut : Tabel 1. Tanda dan Gejala Infeksi pada Luka (Sibbald et al, 2001)
Infeksi Superfisial (Kolonisasi Bakteri) Tidak sembuh Jaringan granulasi berwarna merah cerah Jaringan granulasi tampak luas Terlihat jaringan nekrosis pada permukaan luka Meningkatnya jumlah eksudat dari bening menjadi purulen Malodor (berbau tidak sedap)
Infeksi Dalam
Infeksi Sistemik
Nyeri Pembengkakan, Indurasi
Demam Menggigil
Eritema Peningkatan suhu lokal pada kulit sekitar luka Adanya jaringan nekrotik
Hipotensi Multiple organ failure (MOF)
Meningkatnya luas luka dan kedalaman luka Undermining
2.2.3 Fase penyembuhan luka Fase penyembuhan luka pada umumnya terdiri dari : a.
Vascular response : Beberapa detik setelah terjadinya luka pada tipe apa pun, respon tubuh dengan penyempitan pembuluh darah (konstriksi) untuk menghambat perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama, protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika trombosit bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lemb membentuk fibrin. Setelah 10-30 menit setelah terjadinya luka, pembuluh darah melebar karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah mengaliri luka dan melawan toxin yang dihasilkan microorganisme, membawa oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan membawa agen fagosit untuk melawan bakteri maupun jaringan yang rusak.
16
b.
Inflamasi : Bagian luka akan menjadi hangat dan merah karen aprose fagositosis. Fase inflamasi terjadi 0-6 hari setelah injury. Tujuan inflamasi untuk membatasi efek bakteri dengan menetralkan toksin dan penyebaran bakteri.
c.
Proliferasi/resolusi : penumpukan deposit kolagen pada luka, angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi dan pengecilan lebar luka. Fase ini berhenti dua minggu setelah terjadinya luka, tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1- 2 tahun. Fibroblast mensintesis kolagen dan menumbuhkan sel baru. Miofibroblas menyebabkan luka menyempit, bila tidak terjadi penyempitan akan terjadi kematian sel. Contohnya jika terjadi scar atau kontraktur. Epitelisasi adalah perpindahan sel epitel dari area sekitar folikel rambut ke area luka. Perpindahan tersebut terbatas 3 cm. Epitelisasi akan lebih cepat jika luka dalam keadaan lembab.
d.
Maturasi/rekontruksi : fase terakhir penyembuhan dengan remodelling scar yang terjadi. Biasanya terjadi selam asetahun atau lebih seteleh luka tertutup. Selama fase ini fibrin di bentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memerkuat susunananya. Remodeling ini mencakup sintesis dan pemecahan kolagen. Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena proses
penyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-kimia yang terjadi berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Peran fibroblast sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
17
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses konstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukaan, pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyalurounic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut berfungsi sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktivitas sintetiknya disebut fibroblasia, migrasi, deposit jaringan matriks, kontraksi luka. Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka, mempunyai peran penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka. Vaskularisasi yang tidak lancar, penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi dan akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Untuk
18
mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh apabila telah terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi, luasnya luka, dan manajemen luka itu sendiri. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan yang kurang gizi, dan yang disertai oleh penyakit sistemik (diabetes melitus) (Tawi, 2004). Pada penderita diabetes melitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi kemotaksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phlagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus diabetika, 50 % akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi, yang merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika yaitu kuman aerobik Staphylokokus atau Streptokokus serta kuman anaerob yaitu Clostridium perfringens, Clostridium novy, dan Clostridium septikum (Riyanto, 2007). Pada luka kronik khususnya pasien diabetes, jangka waktu proses proliferasi tidak dapat diprediksi. Berdasarkan penelitian Usui tahun 2008 hal ini
19
terjadi karena sel basal keratinosit pada luka kronik sulit di aktivasi oleh tubuh (Usui, 2008). Selama proses proliferasi berlangsung, sel-sel akan bermigrasi ke dalam matriks sementara dan fibroblast luka memperoleh fenotipe kontraktil yang akan merubah menjadi miofibroblas. Tipe sel ini memainkan peran utama dalam kontraksi luka (Werner, 2003). Selain adanya mekanisme sel yang bekerja dalam tubuh, jangka waktu pemulihan luka juga akan dipengaruhi oleh faktor yang dapat mengurangi efisiensi penyembuhan, seperti : area sekitar luka yang kurang hygiene, efek samping dari medikasi, gangguan vaskularisasi pada luka berupa kondisi yang hypoxia, kebiasaan pasien mengkonsumsi alcohol atau merokok, dan kurangnya suplai nutrisi (Gui & DiPietro, 2010). Pemulihan luka juga dipengaruhi oleh faktor, seperti : infeksi bakteri yang menghasilkan biofilm, kadar kalium, dan cairan luka. Adanya biofilm pada dasar luka dapat menghambat aktivitas fagositosis neutrofil polimorfonuklear. Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas Aeuroginosa. Manifestasi klinis akibat adanya hambatan tersebut yaitu proses inflamasi akan berlangsung lama dan kerusakan jaringan baru saat memasuki fase proliferasi (Guo & DiPietro, 2010). Penelitian lain menyebutkan penurunan ion Kalium (K+) dalam sel dapat menghambat proliferasi yang berkaitan erat dengan respon fisiologis dari sel limfosit. Hambatan kalium juga akan menyebabkan aktivasi sel terganggu dan akan menimbulkan efek imunosupresif (Pardo, 2004). Sementara, pada cairan yang dihasilkan dari luka kronik sangat berisiko menghambat proses proliferasi sel fibroblast baru karena cairan tersebut bersifat apoptosis atau mengandung jaringan mati. Cairan yang mengandung jaringan mati ini akan menghambat konsistensi migrasi dari hormon growth factors dan sitokinin (Seah, 2005).
20
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka secara umum adalah faktor intrinsik yaitu; a.
Usia. Semakin tua akan semakin lama proses penyembuhan luka berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastisitas dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen yang mempengaruhi penyembuhan luka.
b. Status penyakit dan pengobatan. Penderita yang mengalami penyakit seperti diabetes melitus, yang dapat menyebabkan terjadinya mikroangiopati, neuropati dan masalah khusus yang terjadi pada penderita akan mempersulit penyembuhan. c. Status nutrisi. Zat makanan yang masuk kedalam tubuh seperti protein sangat dibutuhkan dalam proses neo-vaskularisasi, proliferasi fibroblast, sintesa kolagen dan remodelling luka. Asam amino adalah komponen struktural protein dan merupakan bagian penting dari DeoxyriboNucleic Acid (DNA) dan RiboNucleic Acid (RNA). Ini memberikan pola untuk mitosis sel dan enzim yuang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan. d. Vaskularisasi
dan
perfusi
jaringan.
Oksigen
berpengaruh
dalam
angiogenesis, fungsi fibroblast, epitelisasi dan resistensi terhadap infeksi. Perfusi jaringan saling terkait dengan oksigenasi jaringan. Perfusi jaringan yang baik merupakan hal yang esensial untuk oksigenasi. Volume darah beredar yang adekuat membawa hemoglobin yang kaya O2 ke jaringan. Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi dapat diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan hipovolemia.
21
Selain itu terdapat pula faktor ekstrinsik yaitu : a. Teknik pembedahan yang buruk. Jika jaringan ditangani secara kasar selama pembedahan, maka jaringan mengalami kerusakan yang luas, mengakibatkan hematom. Hal ini dapat meningkatkan resiko infeksi akibat hematom yang pecah. Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika jaringan tidak diperbaiki secara tepat selama pembedahan dan memberi peluang untuk berkembangnya infeksi luka. b. Drug treatment. Obat juga mempengaruhi penyembuhan luka seperti steroid, obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapi radiasi. Steroid menghambat seluruh fase penyembuhan luka, menghambat fagositosis, sintesa kolagen dan angiogenesis. c. Manajemen luka yang tidak tepat. Penggunaan teknik pembalutan yang tidak tepat, pemilihan dan penggunaan bahan balutan yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik solution yang semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses penyembuhan luka. d.
Psikososial. Berbagai jenis faktor psikososial dapat memberikan efek merugikan pada penyembuhan luka seperti: buruknya pemahaman dan penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body image.
e. Infeksi, dari semua faktor yang memperlambat penyembuhan luka, infeksi adalah yang paling penting. Infeksi dapat terjadi jika selama perawatan luka dan setelah perawatan luka tidak dilakukan dengan prinsip aseptik dan antiseptik yang baik (Suriadi, 2004).
22
2.2.5
Manajemen Luka Diabetik Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan perawatan luka
diabetik adalah mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat proses pemulihan luka. Ulkus yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya luka gangren. Gangren adalah luka yang sudah membusuk dan sudah melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau disertai pembusukan oleh bakteri. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi. Pilihan antibiotik berupa golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/diklosasilin dan golongan aktif seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob. Prinsip terapi bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik dan mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan operatif pada luka diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil seperti insisi dan pengaliran abses, debridement dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi yang tepat. Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah tejadinya luka baru, jangan membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut dapat menjadi besar dan akhirnya
mengarah
pada
luka
gangren
yang
proses
penyembuhannya
membutuhkan waktu yang lama (Yumizone, 2008). Pada gangren, tindakan debridement yang baik sangat penting untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang perawatan luka diabetik yang memuaskan dengan melihat kondisi luka terlebih dahulu, apakah luka yang dialami pasien dalam keadaan kotor atau tidak, ada pus atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak. Setelah dikaji , barulah dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya menggunakan antiseptik dan kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik
23
sebaiknya dibuang daengan cara digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi luka mengalami granulasi (jaringan baru yang mulai tumbuh). Lihat ke dalam luka, pada pasien diabetes dilihat apakah terdapat sinus (luka dalam yang sampai berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus, sebaiknya disemprot (irigasi) dengan NaCl 0,9 % sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak kuman. Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali (pagi dan sore), setelah dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi, (pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl). Setelah luka dibersihkan lalu tutup dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu dibalut disekitar luka, dalam penutupan dengan kassa agar jaringan luar luka tertutup. Sebab jika jaringan luar ikut tertutup akan menimbulkan maserasi (pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur NaCl, lalu tutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya dibalut (Ismayati, 2007). Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan ada penutupan luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif sebab pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan memperparah kondisi luka (Hermawati, 2007). Manifestasi komplikasi luka diabetes dapat dijumpai dalam berbagai stadium yang masing-masing membutuhkan perawatan tersendiri, mulai dari stadium ringan yang cukup menggunakan alat-alat sederhana sampai stadium lebih berat yang harus mengunakan sarana prasarana dan seorang perawat khusus diabetes. Rumah Sakit di Indonesia masih menggunakan balutan konvensional, yaitu menggunakan kasa steril sebagai bahan utama balutan. Hasil riset mengatakan tingkat kejadian infeksi pada perawatan luka dengan cara
24
konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan mengguanakn balutan modern Hutchinso dan McGukin (Lee, 2001). Penanganan luka diabetik secara efektif dapat mencegah terjadinya amputasi pada kaki itu sendiri, sehingga beban fisik dan psikologis pada pasien kaki diabetik dapat dikurangi. Menurut penelitian Witanto, dkk. dengan sampel pasien rawat inap di Rumah Sakit Immanuel Bandung bahwa lama perawatan pasien yang dirawat dengan advanced wound dressing berkisar antara 3-7 hari (80%), sedangkan conventional dressing > 7 hari (50%). Terdapat studi lain yang membandingkan efektivitas conventional wound dressing (gauze) dibandingkan dengan beberapa jenis advanced wound dressing, ternyata diperlihatkan bahwa pemakaian advanced wound dressings memberikan hasil yang lebih memuaskan, penyembuhan luka lebih cepat, lebih nyaman, tingkat infeksi lebih rendah, interval penggantian dressing lebih lama, dan perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat. Sehingga disimpulkan advanced wound dressings lebih efektif baik secara klinis maupun biaya (Jones, 2006). Dimana perawatan luka konvensional berupa kasa yang dilembabkan dengan NaCl 0,09 %; kasa yang dilembabkan dengan povidone iodine 3 %;larutan hemolok (feracylum);kasa yang dibasahi dengan NaCl 0,09 % dan larutan antibiotik (neomisin/gentamisin sulfat 60 mg, 80 mg;kombinasi gentamisin sulfat dan metronidazol infus sebanyak 5 tetes). Sedangkan advanced wound dressing menggunakan Intra Site Gel, Cerplast cavity (bioceramic), Mebo (Radix Scutellariae 0,87g; Phellodendri cortex 0,87g; Rhizoma coptidis 0,87g yang dimana menerapkan konsep modern dressing (Witanto dkk., 2008). Perawatan yang diberikan bersifat memberikan kehangatan dan lingkungan yang lembab pada luka (Muha, 1999). Balutan yang bersifat lembab dapat memberikan
25
lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan proses penyembuhan luka dan mencegah kerusakan atau trauma lebih lanjut. Balutan modern lebih dapat memberikan lingkungan lembab dibanding balutan kasa yang cenderung cepat kering (Torre, 2006).
Kondisi yang lembab pada permukaan luka dapat
meningkatkan proses perkembangan perbaikan luka, mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel. Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan faktor pertumbuhan. Gel yang terbentuk pada luka mudah dibersihkan dan dapat memberikan lingkungan yang lembab pada luka. Kondisi ini dapat meningkatkan proses angiogenesis, proliferasi sel, granulasi dan epitelisasi. Prinsip balutan modern dan konvensional sama yaitu menjaga kelembaban, kehangatan dan mencegah dari trauma. Namun balutan tradisional kurang dapat menjaga kelembaban karena NaCl akan menguap sehingga kasa menjadi kering. Kondisi kering menyebabkan kasa lengket pada luka sehingga mudah terjadi trauma ulang. Kekurangan kasa dalam menjaga kelembaban lingkungan luka menyebabkan masa perawatan luka yang memanjang. Balutan modern adalah pilihan yang baik untuk meningkatkan proses perkembangan luka. Biaya perawatan luka menggunakan balutan modern lebih mahal dibandingkan balutan konvensional. Namun ini tidak berati balutan modern tidak efektif dalam pembiayaan, karena efektifitas pembiayaan sendiri adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi hasil dan biaya yang dikeluarkan pada suatu intervensi yang didesain untuk meningkatkan status kesehatan. Biaya perawatan yang mahal bukan berarti tidak efektif, kondisi ini bisa dianalogikan dengan suatu luka yang dirawat dengan metode konvensional akan memerlukan waktu yang lebih lama dalam perawatan, keadaan seperti
26
adanya perdarahan atau trauma ulang dapat memperlama masa Perawatan. Sehingga efektifitas pembiayaan sangat dipengaruhi oleh status kesehatan sebagai tujuan utama perawatan (Ismail, Irawaty, Haryati., 2009). 2.2.6
Kriteria Luka sembuh Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan
lunak. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi sesuai waktu penyembuhan yang normal (Morison, 2004). Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah exudate berkurang, jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 1997).
2.3
Sediaan Obat Topikal Kata topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan
dengan daerah permukaan tertentu. Dalam literatur lain disebutkan kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Secara luas obat topikal didefinisikan sebagai obat yang dipakai di tempat lesi (Sharma, 2008). Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu, bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan (Yenny & Yanhendri, 2012).
27
Untuk
mendapatkan
sifat
zat
pembawa
yang
demikian,
maka
ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam memaksimalkan fungsi dari zat pembawa (Strober et al, 2008). Secara umum perjalanan sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yaitu: permukaan kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian. Unsur vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi, selanjutnya zat aktif berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis, dermis. Pada kondisi tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis. Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada dermis dan hipodermis (Yenny & Yanhendri, 2012). Penetrasi transepidermal dapat secara interseluler dan intraseluler. Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh kapiler. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi ke
28
kapiler. Saat suatu sediaan dioleskan ke kulit, absorpsinya akan melalui beberapa fase : a. Lag phase Periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah. b. Rising phase Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluh darah. c. Falling phase Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis. Penyerapan sediaan topikal secara umum dipengaruhi oleh berbagai faktor (Ansle, 1995): a. Bahan aktif yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus menyatu pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup. b. Konsentrasi bahan aktif merupakan faktor penting, jumlah obat yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa.
29
c. Penggunaan bahan obat pada permukaan yang lebih luas akan menambah jumlah obat yang diabsorpsi. d. Absorpsi bahan aktif akan meningkat jika pembawa mudah menyebar ke permukaan kulit. e. Ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya saat sediaan diaplikasikan. f. Pada umumnya, menggosokkan sediaan akan meningkatkan jumlah bahan aktif yang diabsorpsi. g. Absorpsi perkutan akan lebih besar bila sediaan topikal dipakai pada kulit yang lapisan tanduknya tipis. h. Pada umumnya, makin lama sediaan menempel pada kulit, makin banyak kemungkinan diabsorpsi. Salah satu bentuk sediaan topikal adalah gel. Gel merupakan sistem semipadat yang terdiri dari suspensi partikel anorganik kecil atau molekul organik besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah mengering membentuk lapisan film sehingga mudah dicuci (Suardi, dkk., 2008). Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan pada kondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Cara aplikasi sediaan obat topikal pada umumnya disesuaikan dengan lesi pada permukaan kulit. Beberapa cara aplikasi sediaan topikal yaitu oles. Pengolesan pada lokasi lesi merupakan cara pakai sediaan topikal yang umum dilakukan. Cara ini dilakukan untuk hampir semua bentuk sediaan. Banyaknya sediaan yang dioleskan disesuaikan dengan luas kelainan kulit. Penambahan cara oles sediaan dengan menggosok dan menekan juga dilakukan pada obat topikal dengan tujuan memperluas daerah aplikasi
30
namun juga meningkatkan suplai darah pada area lokal, memperbesar absorpsi sistemik.
Penggosokan
ini
mengakibatkan
efek
eksfoliatif
lokal
yang
meningkatkan penetrasi obat (Schaefer et al, 2008). Tahap penentuan kecepatan absorpsi perkutan melalui kulit yang utuh adalah difusi/penetrasi melintasi stratum corneum. Kecepatan absorpsi akan meningkat bila kulit luka. Adapun langkah-langkah absorpsi obat melalui kulit: a. Difusi bahan aktif pada lapisan batas antara pembawa dengan kulit (pelepasan) b. Penetrasi melalui stratum corneum c. Permeasi bahan obat ke dalam korium d. Resorpsi ke dalam peredaran darah e. Pengangkutan dan distribusi oleh darah Absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit tercakup masuk ke dalam aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan. Kulit merupakan perintang Suatu sediaan akan dapat memberikan efek sistemik, apabila obat yang diberikan tersebut dapat menembus lapisan kulit dan masuk kedalam sirkulasi sistemik. (Ansel, 1989).
2.4 Khasiat Buah Tomat (Lycopersicum esculuentum Mill.) dalam Proses Penyembuhan Luka Luka merupakan cedera fisik akibat disintegritas kulit. Penyembuhan luka adalah proses yang terdiri dari tiga fase yaitu inflamasi, proliferasi, dan maturasi/remodeling. Ketiga fase ini memiliki interaksi di antara berbagai
31
jaringan dan sel yang dimana terjadi pemanjangan fase apabila terdapat komplikasi vaskuler salah satunya luka diabetik. Manifestasi patologis dari luka adalah adanya fibrosis, formasi skar, dan ulkus. Fibrosis menghambat deposisi matriks dan dapat menjadi hipertrofi dimana luka megalami fase inflamasi kronis dimana normalnya terjadi dalam waktu 0-3 hari. Saat terjadinya luka, secara umum diikuti oleh gejala klasik dari inflamasi seperti nyeri, kemerahan, dan bengkak. Fase inflamasi terjadi segera setelah luka, diawali dengan vasokontriksi, agregasi platelet, dan infiltrasi dari leukosit limfosit-T ke area luka. Manajemen dari fase inflamasi adalah membuang debris, jaringan yang rusak, dan mencegah invasi bakteri oleh neutrofil dan makrofag yang memiliki peran pertahanan antimikrobial dan debridemen dapat merevitalisasi jaringan melalui produksi enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Species (ROS) atau senyawa oksigen reaktif (Ekpo, Mbagwu, Jackson, Eno dalam Jha et al, 2012). ROS diproduksi dalam jumlah banyak pada lokal luka sebagai mekanisme pertahanan melawan bakteri. Namun, peningkatan neutrofil dan ROS secara terus menerus dapat merusak substasi antiprotease yang secara normal menjaga sintesis sel matriks ekstraseluler. Konsentrasi ROS yang tinggi dapat merangsang kerusakan jaringan membran sel, DNA, protein, dan lemak. ROS berperan penting pada metabolisme kolagen. Senyawa oksigen reaktif tidak saja langsung menghancurkan kolagen interstisial tetapi juga menginduksi sekelompok enzim yang bertanggung jawab dalam degradasi kolagen yaitu matriks metaloproteinase (MMPs), sehingga mengakibatkan kulit kehilangan kolagen. Meningkatnya ROS inilah yang kemudian melalui jalur MAPK (The mitogen-activated protein kinase) akan menurunkan Extracelluler signal-regulated kinase (ERK) dan meningkatkan c-
32
Jun Kinase (JNK/p38), yang selanjutnya akan mengaktivasi peningkatan AP-1 (Aktivator-Protein 1). Meningkatnya AP-1 akan menyebabkan terjadinya peningkatan
MMP-1
(MatrixMetalloProteinase-1)
dan
MMP-3
(MatrixMetalloProteinase-3). Selanjutnya peningkatan MMP-1 dan MMP-3 ini akan mengaktivasi penurunan pro-kolagen-1. Karena kolagen tipe-1 yang dihasilkan menurun, maka kolagen yang diproduksi oleh sel kulit itu juga akan mengalami penurunan. Salah satu penyebab peningkatan ROS adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas yang dihasilkan dengan antioksidan yang ada. Di dalam sel yang hidup, radikal bebas terbentuk pada membran plasma, juga ada di dalam organelorganel sel seperti peroksisom, retikulum endoplasma, mitokondria dan sitosol melalui reaksi enzimatis berantai yang berlangsung melalui proses metabolisme. Radikal bebas bersifat sangat reaktif, dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak berbagai komponen seperti karbohidrat, nukleotida, lipid, dan protein. Dalam keadan normal radikal bebas ini bisa diredam oleh tubuh, karena secara alami tubuh menghasilkan antioksidan, seperti katalase dan peroksidase dismutase. Adanya
penyakit
metabolik salah satunya
diabetes melitus
menyebabkan radikal terus meningkat sementara antioksidan alami nya tidak mencukupi. Berdasarkan hal tersebut, peran antioksidan menjadi sangat signifikan dalam penanganan dan manajemen luka yang terbaik. Antioksidan dapat membuang produk dari inflamasi dengan menekan protease dan ROS dibuktikan dengan beberapa penelitian antara kimiawi radikal bebas produksi ROS dan antioksidan (Jha et al., 2012).
33
Fase proliferasi identik dengan pertumbuhan dari jaringan granulasi untuk menutup area luka secara komplit dan adanya proses angiogenesis. Fase ini diakhiri dengan kontraksi antar tepi luka. Proses angiogenesis dapat terhambat apabila terjadi perlambatan dari fase inflamasi. Pada angiogenesis, sel endotelial migrasi menuju area luka dan membentuk pembuluh darah dan kapiler baru untuk membawa oksigen dan nutrisi. Proses fibroplasia ini juga dipengaruhi oleh angiogenesis dan aksi dari sitokin (Agyare et al., 2009). Fase remodeling merupakan perbaikan luka melalui sistensis kolagen yaitu terjadi peningkatan kekuatan tensil. Kolagen tipe III diganti oleh kolagen tipe I, dimana terjadi interaksi yang dipengaruhi oleh suplai oksigen, vitamin C, dan alfa-ketoglutarat (Jorge et al., 2008). Peran antioksidan tersebut dapat ditemukan pada beberapa ekstrak tanaman yang telah terbukti berperan pada aktivitas penyembuhan luka. Alam merupakan sumber dari pengobatan medis. Ayurweda merupakan pedoman kuno penatalaksanaan kesehatan yang dipraktikan secara luas di India, Srilanka, dan negara lainnya (Chopra & Doiphode, 2002). Antioksidan disebutkan dalam ayurweda yang disebutkan berperan dalam menekan efek ROS. ROS terdiri dari hydroxyl radicals (OH-), superoxide anions (O2-), hydrogen peroxide (H2O2) dan singlet oxygen (O2), termasuk juga peroksidasi lemak dan oksidasi enzim serta degradasi dari protein. Antioksidan menterminasi reaksi rantai ROS dengan menghambat reaksi oksidasi oleh radikal bebas. Dalam pengobatan herbal, tanaman yang mengandung antioksidan banyak dimanfaatkan dan dikatakan tidak bersifat toksik, efek samping minimal. Tanaman di alam umumnya memiliki kandungan molekul scavenging radikal bebas seperti asam fenolik, flavonoid, kuinon, coumarin, lignan, stilbenes, tannin; kandungan nitrogen seperti alkaloid,
34
amin, betalain; vitamin; terpenoid (termasuk karotenoid); dan beberapa metabolit endogen (Cai, Sun, Corke, 2003). Sedangkan enzim dan non enzim yang menjadi pertahanan dari antioksidan adalah
superoxide dismutase (SOD), glutathione
reductase (GR), catalase (CAT), ascorbate peroxidase (APX), asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E), reduced glutathione (GSH), β- carotene, vitamin A, dan likopen (Kumar et al., 2012). Likopen atau α-carotene adalah suatu karotenoid pigmen merah terang yang banyak ditemukan dalam buah tomat dan buah-buahan lain yang berwarna merah. Buah tomat juga mengandung antioksidan lainnya seperti flavonoid, vitamin C, dan asam fenolik. Dari studi yang dilakukan diketahui bahwa likopen bisa berfungsi sebagai antioksidan yang kuat. Likopen bisa bereaksi dengan radikal
bebas
agar
berhenti
merusak
sel-sel
dimana
kemampuannya
mengendalikan radikal bebas 100 kali lebih efisien daripada vitamin E atau 12500 kali dari pada gluthation (Maulida & Zulkarnaen, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian juice buah tomat dengan dosis 7-15 g/kg BB ternyata mampu menurunkan kadar SGOT, SGPT dan MDA hepar tikus coba yang diinduksi dengan CCl4 (Wahyono, 2006). Dimana SGOT, SGPT dan MDA adalah merupakan produk yang dihasilkan oleh adanya radikal bebas. Penelitian Wahyono tahun 2008 mengemukakan bahwa
pemberian ekstrak buah tomat
dengan komponen likopen, ß-karoten dan vitamin C, dapat menaikkan jumlah kolagen tipe-1. Penelitian ini menunjukkan jumlah kolagen tipe-1 yang semakin meningkat dengan semakin tinggi dosis ekstrak buah tomat, dimana dosis 15 mg/kg BB terlihat jumlah kolagen tipe-1 nya semakin meningkat. Kandungan antioksidan dapat meredam radikal bebas sehingga ROS tidak terbentuk,
35
akibatnya ERK naik dan c-Jun Kinase turun, dan menyebabkan AP-1 turun, dan MMP-1 juga menurun. Dengan demikian maka (kolagen tipe-1) tidak mengalami kerusakan, sehingga kolagen yang diproduksi tidak mengalami penurunan (Wahyono, 2008). Buah tomat merupakan salah satu buah yang diujicobakan pada empat isolasi
bakteri
yaitu
Pseudomonas
aeruginosa,
Klebsiella
pneumoniae,
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dari pasien yang mengalami infeksi pada luka. Ekstraksi menggunakan etanol dapat menghambat bakteri lebih baik dibandingkan ekstra aqueous. Ekstrak tomat memiliki aktivitas antibakteri dimana Diameter Inhibition Zone
(DIZ) 5-10 mm dalam media agar.
Dimana
Staphylococcus aureus menunjukkan DIZ paling panjang 10 mm dan E. Coli sebesar 8 mm (Unnisa et al, 2012). Studi oleh Vorob’ev A.A dkk juga membuktikkan bahwa buah tomat juga dapat memotong strain Candida albicans, Enterobacter, Streptococcus, dan Klebsiella. Sehingga buah tomat dapat disimpulkan menghasilkan efek antibakteri pada mikroorganisme gram positif maupun gram negatif bahkan fungi pada genus Candida. Sifat buah tomat ini dapat diaplikasikan dalam perawatan luka diabetik yang rentan akan infeksi bakteri. Selain itu buah tomat juga mengandung kandungan lainnya seperti polisakarida, flavonoid, vitamin C, vitamin A, dan asam fenolic. Pada proses penyembuhan luka, vitamin A berperan meningkatkan pembentukan kolagen, diferensiasi sel epitel, dan meningkatkan imunitas. Selain itu, vitamin A berperan mempercepat fase inflamasi ke fase proliferasi dengan meningkatkan monosit dan makrofag ke daerah luka (Jeffcoate et al, 2004). Makrofag berasal dari monosit
36
yang berfungsi untuk membersihkan bakteria dan debris dari daerah luka. Makrofag menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk fibroplasia dan angiogenesis. Vitamin C merupakan komponen penting yang diperlukan untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin menjadi prokolagen, dimana bahan ini penting untuk sintesis kolagen. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis (Jeffcoate et al, 2004).
Flavonoid juga memiliki kemampuan imunomodulator yang dapat
mengaktivasi makrofag (Titisanti, 2005). Makrofag yang aktif berfungsi untuk melakukan fagositosis, memproduksi TNF, perbaikan jaringan (fibroblast stimulating factor, fibronectin, kolagenase), sitokin, dan memproduksi hormon pertumbuhan (growth factor). Growth factor bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan proses mitogen fibroblas yang penting dalam proses penyembuhan luka serta berperan pada reepitelisasi dan membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis (Simatupang, 2003).
2.4 Pengaruh Pemberian Aloksan Terhadap Tikus Galur Wistar sebagai Hewan Model Diabetes melitus Percobaan penelitian mengenai diabetes melitus dengan menggunakan hewan model didasarkan pada patogenesis penyakit tersebut pada manusia yang bersifat kronis. Kondisi patologis pada hewan model bertujuan untuk melakukan pencegahan, menetapkan diagnosa, mengetahui pathogenesis, dan terapi yang digunakan dalam penanganan penyakit diabetes melitus. Meskipun demikian, kondisi patologis hewan model tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi patologis secara nyata pada manusia.
37
Aloksan merupakan zat kimia yang sering digunakan dalam induksi hewan model diabetes melitus dimana zat ini secara selektif merusak sel β pankreas. Kerusakan sel β pankreas akibat induksi aloksan diduga karena reduksi aloksan menghasilkan radikal hidroksil yang dapat menyebabkan kematian sel β pankreas. Hal tersebut dapat menyebabkan kondisi 'alloxan diabetes' (Lenzen, 2008). Dosis yang digunakan melalui intravena adalah 65 mg/kgBB, sedangkan per subkutan dan intraperitonial adalah 2-3 kalinya. Pemeriksaan gula darah dilakukan 3 hari setelah induksi dan merupakan waktu tercepat untuk mengukur kondisi hiperglikemi hewan coba. Hewan coba yang belum diberi makanan diambil dari kandang, kemudian diambil sample darahnya dari bagian ekor dengan cara ditusuk mengunakan jarum steril, darah dikeluarkan dari ekor tikus, diaplikasikan pada glucose strip dan dilihat hasilnya pada monitor, setiap tikus dievaluasi dan dilihat tingkat keberhasilan peningkatan gula darahnya, untuk hewan coba yang tidak berhasil mengalami peningkatan gula darah yang diinginkan, hewan coba diinduksi ulang (Mohapatra, 2008). Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya daya tahan individu tikus yang berbeda terhadap aloksan sehingga menyebabkan kondisi awal keadaan diabetes tidak seragam (Kim et al., 2006), dengan kadar glukosa darah 100-200 mg/dl. Menurut Szkuldelski (2001) terdapat variasi perubahan histopatologi pulau Langerhans akibat induksi aloksan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh cara pemberian (intravena, sub-kutan, intraperitoneal) dan ketahanan dari masing-masing individu hewan. Menurut penelitian Chah et al (2006), luka dibiopsi sirkuler dengan diameter 2 cm pada hari ke-7 setelah induksi aloksan. Bahkan aloksan dikatakan
38
telah dapat menginduksi diabetes melitus hingga 24 jam setelah administrasi dan kondisi komplikasi kronis pada tes laboratorium telah ada setelah 7 hari.
2.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
2.6.1 Sistematika Hewan Percobaan Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan diklasifikasikan sebagai berikut (Sugianto, 1995): a.
Filum : Chordata
b.
Subfilum : Vertebrata
c.
Classis : Mammalia
d.
Subclassis : Placentalia
e.
Ordo : Rodentia
f.
Familia : Muridae
g.
Genus : Rattus
h.
Species : Rattus norvegicus
2.6.2 Karakteristik Hewan Percobaan Tikus galur wistar sebagai hewan coba relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus tidak seperti mencit yang fotofobik dan cenderung berkumpul dengan sesamanya. Aktivitasnya tidak terganggu oleh kehadiran manusia (Setiawan, 2010). Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus yang biasanya dijadikan hewan percobaan antara lain berumur 2-3 bulan, memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-
39
23 mm. Tikus galur wistar jantan jarang berkelahi dibandingkan dengan mencit jantan yang pada dasarnya sering berkelahi. Tikus galur wistar bisa tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan di laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan dibandingkan mencit (Setiawan, 2010). Wang Jinheng dalam penjelasannya mengatakan, "Sebabnya peneliti memilih tikus galur wistar sebagai hewan percobaan karena tikus putih mempunyai banyak keunggulan. Pertama, banyak gen tikus wistar relatif mirip dengan manusia. Kedua, dalam binatang menyusui (mamalia), kemampuan berkembang biak tikus galur wistar sangat tinggi, sangat cocok digunakan dalam eksperimen massal. Selain hal tersebut, tipe bentuk badan tikus tersebut kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di tubuhnya dapat relatif cepat termanifestasikan, dikarenakan fisiologisnya yang mirip dengan kondisi tubuh manusia. Tikus galur wistar memiliki organ yang lengkap sebagai mamalia (Intanowa, 2012). Oleh karena itu, hewan ini sering dipilih sebagai makhluk percobaan untuk obat-obatan atau makanan yang nantinya akan digunakan atau dikonsumsi oleh manusia. Selain itu juga, penelitian menggunakan galur wistar jantan akan menghasilkan penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus galur wistar betina. Tikus galur wistar jantan juga memiliki kecepatan metabolisme obat lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan tikus galur wistar betina (Setiawan, 2010).
40
2.6.3 Penyiapan Tikus Setiap tikus kemudian akan diberikan penomoran sesuai dengan kelompok sampel dan kemudian akan dimasukkan ke kandang per kelompok. Ukuran kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2 untuk sepasang bibit tikus dan 1.080 cm2 cukup untuk seekor induk dengan 14 anak. Pada waktu disapih, kurang lebih 10 ekor tikus dapat ditempatkan di kandang yang lebih besar. Apabila tikus sudah mencapai dewasa, maka 4-5 ekor tikus merupakan jumlah maksimum untuk kandang dengan ukuran tersebut. Tikus akan dibuat hidup secara alami dalam kandang pada suhu ruangan berkisar antara 20-25oC (John dan Soesanto, 1988). 2.6.4 Persiapan Pakan dan Minum Pakan standar yang diberikan ke tikus, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan makanan mencit. Cara penyajian makanan tikus hampir sama dengan mencit. Komposisi pakan standar pada tikus dapat sedikit bervariasi, misalnya: protein 20-25% (tetapi hanyan 12% kalau protein itu lengkap berisi semua 20 asam amino esensial dengan konsentrasi benar); lemak 5%; pati 45-50%; serat kasar kira-kira 5%; dan abu 4-5%. Makanan tikus harus mengandung vitamin A (4000 IU/Kg); vitamin D (1000 IU/Kg); alfa-tokoferol (30 mg/Kg); asam linole at (3 g/Kg); tiamin (4 mg/Kg); riboflavin (3 mg/Kg); pantotenat (8 mg/Kg); vitamin B 12 (50 ug/Kg); biotin (10 ug/Kg); piridoksin (40-300 ug/Kg); dan kolin (1000 mg/Kg). seekor tikus dewasa makan antara 12 g sampai 20 g makanan/ hari (John dan Soesanto, 1988). Pemberian dilakukan pada pagi atau sore hari. Minum diberikan dengan menggunakan botol ukuran 150 cc dan diletakkan diatas kandang. Minum yang diberikan ialah air mineral.
41
2.6.5
Kandang Hewan Coba Kandang hewan coba terbuat dari boks plastik yang bagian atasnya
ditutup dengan menggunakan kawat besi yang telah dipilin. Dilengkapi juga dengan tempat minum. Sementara untuk makannya, diberikan secara langsung ke tikus dengan menaburkannya ke dalam boks setiap pagi atau sore hari. Kandang dan botol minum dibersihkan dengan menggunakan sabun, kemudian boks kandang dijemur hingga kering dan di dalamnya diberi alas dengan potongan/serbuk kayu. Pembersihan kandang dan penggantian potongan/serbuk kayu dilakukan setiap seminggu sekali. Potongan/serbuk kayu yang telah kotor tercampur kotoran tikus kemudian dibuang, boksnya dicuci dengan disinfektan dan kemudian dikeringkan. Setelah boks kering kemudian potongan/serbuk kayu diganti dengan yang baru.