ADVANCED MATHEMATICAL THINKING DAN HABIT OF MIND MAHASISWA Utari Sumarmo Bahan Ajar Matakuliah Kajian dan Isu Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI dan STKIP Siliwangi Bandung
A. Pendahuluan Pada dasarnya, kemampuan berpikir matematik lanjut (advanced mathematical thinking) disingkat AMT dan kebiasaan berpikir (habits of mind) disingkat HOM adalah kemampuan dan disposisi esensial yang perlu dimiliki oleh dan dikembangkan pada mahasiswa yang belajar matematika. Rasional yang mendukung pernyataan di atas di antaranya adalah kemampuan matematik dan kebiasaan berpikir di atas sangat diperlukan mahasiswa dalam menyelesaikan tugastugas perkuliahan matematika tingkat perguruan tinggi khususnya mata kuliah matematika lanjut. Pemilikan kemampuan AMT dan HOM yang memadai akan mendukung pembentukan pribadi yang cerdas, kritis, kreatif, berempati kepada orang lain, mampu bekerja sama, percaya diri, tangguh dan tanggap akan perubahan, serta bertanggung jawab. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa individu dengan penguasaan matematika yang baik berkontribusi bagi keberhasilan belajar individu di tempat pendidikannya dan dalam kehidupannya. Selain itu, pemilikan kemampuan dan disposisi tersebut juga sesuai dengan visi program studi matematika dalam upaya mewujudkan program studi yang unggul dan terkemuka sehingga lulusannya mampu bersaing dan secara bersamaan mampu bekerja sama menghadapi tantangan global yang semakin ketat. Pengertian istilah advanced mathematical thinking (AMT) dapat tertukar dengan istilah berpikir matematik tingkat tinggi (higher order mathematical thinking yang disingkat HOMT). Ditinjau dari segi proses yang berlangsung, dalam beberapa kondisi proses HOMT juga dijumpai pada proses AMT misalnya keduanya memuat proses kognitif yang tidak sederhana, namun sebaliknya terdapat proses AMT yang tidak berlangsung dalam proses HOMT. Sebagai ilutrasi, AMT dilawankan dengan berpikir matematik elementer (elementary mathematical thinking) sedangkan HOMT dilawankan dengan berpikir matematik tingkat rendah (low order mathematical thinking) atau LOMT. Proses perpindahan dari elementer ke AMT memuat transisi dari melukiskan ke mendefinisikan, dari meyakinkan ke membuktikan secara logik. Proses transisi tersebut tidak terjadi pada transisi dari LOMT ke HOMT, karena yang berlangsung dalam transisi kedua adalah proses sederhana yang algoritmik atau prosedural ke proses menyadari tindakan yang dilaksanakan atau dari pencapaian pengetahuan hafalan ke pengetahuan yang bermakna. Beberapa proses yang tergolong dalam AMT di antaranya adalah: proses representasi, proses abstraksi, hubungan representasi dan abstraksi, kreativitas matematis (mathematical creativity), dan bukti matematis (mathematical proof). Dreyfus (Tall, Ed. 1991) membahas AMT sebagai: a) proses representasi, pengalihan dari representasi ke translasi; b) proses generalisasi, sintesis, dan abstraksi; dan c) hubungan antara representasi dan abstraksi. Kemudian Ervynck (Tall, Ed. 1991) menguraikan secara mendalam mengenai kreativitas matematik yang meliputi: a) tahap-tahap perkembangan kreativitas matematik, dan b) definisi tentatif, unsur-unsur, karakteristik, motif, hasil, dan kekeliruan dalam kreativitas matematik. Hanna (Tall, Ed. 1991) menjelaskan tentang bukti matematik yang
1
meliputi: a) penekanan bukti formal, b) pandangan terhadap matematika, c) faktorfaktor dalam bukti yang diterima, dan penalaran yang hati-hati. Memperhatikan tuntutan kognitif yang termuat dalam AMT maka perancangan pembelajaran untuk AMT adalah merupakan suatu keniscayaan dilaksanakan oleh dosen. Agar individu berkeinginan melaksanakan AMT dan mencapai kemampuan AMT yang memadai, maka pendekatan pembelajaran hendaknya memungkinkan mahasiswa dapat mengembangkan disposisi yang kuat dan perilaku cerdas dalam belajar matematika. Costa (Costa, Ed., 2001) menamakan disposisi yang kuat dan perilaku cerdas dengan istilah kebiasaan berfikir (habits of mind). Ia mengidentifikasi enambelas kebiasaan berfikir, ketika individu merespons masalah secara cerdas yaitu: 1) bertahan atau pantang menyerah, 2) mengatur kata hati, 3) mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati, 4) berfikir luwes, 5) berfikir metakognitif, 6) berusaha bekerja teliti dan tepat, 7) bertanya dan mengajukan masalah secara efektif, 8) Memanfaatkan pengalaman lama untuk membentuk pengetahuan baru, 9) berfikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat, 10) memanfaatkan indera, 11) mencipta, berkayal, dan berinovasi, 12) bersemangat dalam merespons, 13) berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko, 14) humoris, 15) berfikir saling bergantungan, dan 16) belajar berkelanjutan. Selain ke16 kebiasaan berpikir di atas, atribut HOM dapat pula disesuaikan dengan karakteristik tugas AMT antara lain tekun, bertanya dan mengajukan masalah secara efektif, menerapkan pengetahuan yang telah dimiliki ke dalam situasi baru, mengumpulkan data melalui semua indera, berpikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat. Pada hakekatnya, dalam pendekatan pembelajaran apapun, NCTM (Webb dan Coxford, Eds, 1993) menyatakan bahwa dosen perlu mempertimbangkan beberapa hal penting antara lain: memilih tugas matematik yang tepat, mendorong berlangsungnya belajar bermakna (meaningful learning), mengatur diskursus (discourse), dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Berkaitan dengan pembelajaran, sudah sejak lama, Polya (1973) mengemukakan pentingnya peran dosen dalam mengembangkan kemampuan berfikir mahasiswa yang dilukiskannya dalam pernyataan: “peran dosen tidak hanya memberikan informasi saja tetapi juga menempatkan diri sesuai kondisi mahasiswa, dan memahami apa yang terjadi dalam benak mahasiswa yang kemudian memfasilitasi mahasiswa belajar menemukan pengetahuannya dan mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa”. Pendapat Polya, pada dasarnya melukiskan pembelajaran yang berpandangan konstrukvisme yang mempunyai ciriciri antara lain: (1) mahasiswa terlibat aktif dalam belajar, (2) informasi dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sehingga membentuk skemata baru, dan pemahaman terhadap informasi baru menjadi bermakna dan lebih kompleks; (3) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan. B. Telaah pustaka 1. Berpikir Matematik Lanjut (Advanced Mathematical Thinking) Beberapa proses yang tergolong dalam Advanced Mathematical Thinking disingkat AMT di antaranya adalah: proses representasi, proses abstraksi, hubungan representasi dan abstraksi; kreativitas matematis (mathematical creativity); dan bukti matematis (mathematical proof).
2
1.a. Representasi dan Abstraksi Matematik Pengertian istilah advanced mathematical thinking (AMT) kadang-kadang tertukar dengan istilah berpikir matematik tingkat tinggi (higher order mathematical thinking yang disingkat HOMT). Ditinjau dari segi proses yang berlangsung, dalam beberapa kondisi proses HOMT juga dijumpai pada proses AMT misalnya keduanya memuat proses kognitif yang tidak sederhana. Namun sebaliknya terdapat proses AMT yang tidak berlangsung dalam proses HOMT, misalnya . Sebagai ilutrasi, AMT dilawankan dengan berpikir matematik elementer (elementary mathematical thinking) sedangkan HOMT dilawankan dengan berpikir matematik tingkat rendah (low order mathematical thinking). Pengembangan kemampuan AMT lebih ditekankan untuk mahasiswa, namun dalam beberapa kasus proses AMT telah diperkenalkan pada siswa sekolah menengah. Sebagai contoh pada penyelesaian masalah open-ended, dan prosedur entry-attack-and review dalam investigasi matematik telah dilakukan siswa pada sekolah menengah. Mason (1982 dalam Tall (Ed.) 1991) mengemukakan bahwa terdapat tiga level verivikasi dalam berpikir matematik lanjut yaitu: meyakinkan diri sendiri (convice yourself), meyakinkan teman (convice a friend), dan meyakinkan lawan (convice an enemy). Meyakinkan diri sendiri memuat idea mengapa suatu pernyataan bernilai benar. Dalam proses meyakinkan teman memerlukan suatu argumen yang terorganisasi secara koheren. Kemudian pada proses menyakinkan lawan, suatu argumen harus dianalisis dan diperhalus sehingga siap untuk dikritisi. Mungkin dapat dihipotesiskan bahwa berpikir matematik pada tiap level memuat tahap-tahap entry-attack-and review termasuk jastifikasi matematik. Pada berpikir matematik elementer (EMT) tidak memuat proses abstraksi formal dan tidak memuat precising phase. Tall (Tall, Ed. 1991) membedakan antara EMT dan AMT terletak pada proses matematik yang berlangsung. Perpindahan dari EMT ke AMT memuat transisi dari “melukiskan” ke “mendefinisikan”, dan dari “meyakinkan” ke “membuktikan secara logik”. Proses transisi tersebut tidak terjadi pada transisi dari LOMT ke HOMT, karena yang berlangsung dalam transisi kedua adalah proses sederhana yang algoritmik atau prosedural ke proses menyadari tindakan yang dilaksanakan atau dari pencapaian pengetahuan hapalan ke pengetahuan yang bermakna. Beberapa proses yang tergolong dalam AMT di antaranya adalah: proses representasi, proses abstraksi, hubungan representasi dan abstraksi, kreativitas matematis (mathematical creativity), dan bukti matematis (mathematical proof). Bahasan yang mendalam mengenai AMT dikemukakan oleh Dreyfus (Tall, Ed. 1991). Uraian berikut, merupakan kajian terhadap penjelasannya. Ia menguraikan AMT secara luas sebagai proses yang meliputi: a) proses yang termuat dalam proses representasi yaitu: proses representasi dan proses pengalihan dari representasi ke translasi; b) proses yang termuat dalam abstraksi yaitu: menggeneralisasi, mensintesa, dan mengabstraksi; dan c) hubungan antara representasi dan abstraksi. Representasi mempunyai fungsi yang amat penting bahkan merupakan sentral dalam belajar dan berpikir matematik. Merepresentasikan suatu konsep matematika diartikan sebagai menghasilkan suatu contoh (instance), contoh khusus (specimen), gambaran (image) dari konsep matematika tadi. Namun definisi tersebut belum mencukupi karena belum menjelaskan apakah contoh yang dihasilkan bersifat simbolik atau mental. Suatu representasi simbolik (symbolic representation) baik secara lisan maupun tertulis bertujuan memudahkan membuat komunikasi tentang konsep tersebut. Sebaliknya, suatu representasi mental menunjukkan skemata internal yang digunakan seorang individu untuk berinteraksi dengan dunis luar. Representasi mental dilaksanakan di
3
dalam otak manusia dan tidak tampak oleh mata, namun dapat diidentifikasi melalui penjelasan individu dalam bentuk lisan atau tulisan terhadap objek matematika tertentu. Ketika kita memberikan suatu simbol untuk suatu idea matematik tertentu, maka simbol tersebut memiliki makna khusus mewakili idea yang bersangkutan. Misalnya simbol Sn menunjukkan suatu grup simetrik berderajat n, dapat juga menunjukkan rumus jumlah n suku pertama suatu deret. Representasi dapat dalam bentuk representasi simbol (symbolic representation) atau representasi mental (mental representation). Representasi simbol misalnya, dalam proses pembuktian limit suatu fungsi ditulis l i m f(x) = L dikenalkan bilangan kecil positif disimbolkan dengan ε dan δ. x c Contoh lainnya misalnya dalam merepresentasikan konsep luas daerah yang dibatasi b oleh kurva f, sumbu X, garis x = a dan x = b disimbolkan dengan .f ( x).dx
a
Setiap mahasiswa yang belajar kalkulus akan paham makna dari simbol tersebut. Contoh proses representasi mental, terlukis ketika individu merumuskan, mendefinisikan, mengilustrasikan atau memberi contoh atau non-contoh suatu konsep matematika. Representasi mental seorang mahasiswa sangat mungkin berbeda dengan representasi mental mahasiswa lainnya, bahkan seorang mahasiswa dapat menyusun representasi mental suatu konsep dalam bentuk yang beragam. Sebagai contoh, representasi mental dari konsep fungsi, dapat berbentuk grafik, formula aljabar, diagram panah, himpunan pasangan berurutan, dan tabel nilai. Agar individu berhasil dalam belajar matematika dengan lebih baik maka diharapkan ia memiliki representasi mental yang baik (kaya), yaitu yang dapat membuat beragam bentuk representasi yang memuat banyak kaitan aspek tentang konsep tadi. Misalnya, dari masing-masing bentuk representasi mental konsep fungsi di atas, ia dapat memberikan definisi, ilustrasi atau contoh atau non-contoh konsep fungsi tadi. Sebaliknya, bila ia hanya memberikan bentuk-bentuk rerpesentasi suatu konsep yang terbatas dan hanya memuat sedikit kaitan tentang konsep itu maka dikatakan ia memiliki representasi mental yang buruk. Komponen lain dari representasi adalah memodelkan yang diartikan sebagai menemukan representasi matematik dari suatu situasi matematik, objek atau proses. Dalam kasus tertentu, proses merepresentasi beranalogi dengan proses memodelkan, namun keduanya tidak sama. Dalam memodelkan situasi yang disajikan dapat bersifat phisik dan modelnya bersifat matematik; sedangkan pada proses merepresentasi, objeknya adalah struktur matematik dan modelnya adalah struktur mental. Dengan demikian representasi mental berelasi dengan model matematik; dan model matematik berelasi dengan sistem phisik. Berkenaan dengan abstraksi, tiga proses yang termuat dalam abstraksi adalah: menggeneralisasi, mensintesa, dan mengabstrasi. Proses menggeneralisasi merupakan proses menarik kesimpulan umum berdasarkan data atau proses yang teramati. Sebagai ilustrasi, mencari turunan pertama dari f(x) = x, dengan menggunakan definisi turunan fungsi diperoleh f’(x) = l i m f ( xh) f ( x) = l i m ( x h ) x= 1. Dengan cara yang h
0
h
h
0
h
Dengan cara yang sama atau analogi turunan pertama di atas akan diperoleh turunan pertama f(x)= x2 yaitu f’(x2) = 2x, f’(x3) = 3 x2 dan seterusnya. Dengan mengamati sifat-sifat pada proses menurunkan di atas, maka secara induktif akan diperoleh generalisasi atau konjektur f’(xn)= n xn – 1. Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran
4
dari generalisasi atau konjektur tadi maka harus dilakukan dengan pembuktian yang deduktif. Proses mensintesa adalah proses mengkombinasikan atau menyususn bagianbagian sedemikian sehingga membentuk sesuatu keseluruhan, kesatuan atau entitas. Keseluruhan tersebut bukan sekadar jumlah bagian-bagiannya, namun lebih dari itu karena dalam proses tersebut berlangsung juga proses mengkaitkan bagian-bagian yang saling lepas menjadi suatu entitas yang saling berelasi. Sebagai contoh, dalam aljabar, siswa belajar beberapa konsep yang saling terpisah misalnya fungsi polinom, titik potong grafik dengan sumbu-sumbu koordinat, turunan fungsi, ekstrim fungsi, fungsi turun dan naik, dan sebagainya. Kemudian pengetahuan yang saling lepas tersebut digabungkan untuk memperoleh grafik fungsi yang cermat. Proses menggabungkan bagian-bagian yang saling lepas tadi menjadi satu kesatuan yaitu grafik fungsi f dinamakan sintesa. Proses mengabstraksi memuat proses generalisasi dan sintesa yang mendalam dan lebih kompleks, karena proses mengabstrasi lebih bersifat konstruktif, membangun struktur mental dari struktur matematik, misalnya sifat-sifat dan relasi antar objek matematik. Merepresentasi dan mengabstraksi adalah proses yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Pada satu kasus, suatu konsep sering diabstraksi dari beberapa representasi, di lain kasus suatu representasi merupakan representasi dari beberapa konsep yang abstrak. Memperhatikan hubungan yang saling melengkapi antara mengabstraksi dan merepresentasi, dan antara representasi matematik dan representasi mental, hendaknya proses belajar dilaksanakan melalui empat tahap berturut-turut menggunakan: representasi tunggal, representasi paralel, menyusun kaitan antar representasi paralel, dan mengintegrasikan representasi dan mengalihkan mereka secara fleksibel. Penggunaan beberapa representasi membantu mahasiswa membuat transisi dari pemahaman konkrit yang terbatas menjadi pemahaman yang lebih abstrak dan fleksibel. Proses merepresentasi dan mengabstraksi yang telah diuraikan di atas, merupakan proses penting dalam AMT. Beberapa proses penting lain yang mendahului berlangsungnya proses merepresentasi dan mengabstraksi adalah: menemukan (discovering), berintuisi (intuiting), memeriksa (checking), membuktikan (proving), mendefinisikan (defining) dan lainnya. Berikut ini disajikan beberapa contoh merepresentasi dan mengabsraksi matematik. a) Kemampuan representasi matematik meliputi: kemampuan memberikan contoh (specimen, example) dan non-contoh, gambaran atau ilustrasi (image); menerjemahkan pernyataan atau masalah matematik ke dalam bentuk lainnya (switching representation atau translating); kemampuan membuat model matematik dari objek atau proses matematik. a.1) Kemampuan memberikan contoh dan non-contoh Konsep fungsi Definisi fungsi: Fungsi f dari hinpunan A ke himpunan B adalah relasi yang memasangkan tiap satu anggota A dengan satu dan hanya satu anggota di B Contoh:
1) {(1,3), (2,3), (3,5), (4,1)} 2) f(x) = x2 + 1 3) x2 + y2 = 4
Df = (- ∞, +∞) Df = (- 2, +2) Rf = (0, +2)
5
4)
Y
O 1
2 3
4
X
Contoh bukan fungsi 5) {(1,3), (3,3), (1,5), (4,1)} 6) x2 + y2 = 4 7)
Df = (0, +2) Rf = (-2, +2)
Y
X O
a
b
c
a.2) Contoh representasi: kemampuan memberikan gambaran atau ilustrasi (image); 1) Dalam Kalkulus I a) Pengertian limit kiri dan limit kanan suatu fungsi, serta limit fungsi di satu titik b) Pengertian fungsi kontinu, fungsi diskontinu, fungsi diskontinu yang dapat dihapuskan dan fungsi diskontinu yang dapat dihapuskan x 2 3x 4 a) Andaikan diketahui suatu fungsi f = . Tentukan nilai-nilai f jika x 1 nilai x makin dekat ke -1 dari arah bilangan yang lebih kecil dari -1; Tentukan nilai-nilai f jika nilai x makin dekat ke -1 dari arah bilangan yang lebih besar dari -1; 2 f(x) = x 3 x 4 ( x 1)( x 4) x 1 x 1
x y
-2
-1,5
-1,1
-1,01
-1
-0,99
- 0,9
-0,5
0
Tdk terdef
Bila dihitung untuk x makin dekat ke -1 (dari bilangan yang kecil dari -1 ditulis x -1- ) maka nilai f makin dekat ke -5 dari bilangan yang kecil dari -5. Dikatakan limit f kiri untuk x -1- adalah -5 dan ditulis l i m f = -5 x -1-
6
Kalau x makin dekat ke -1 (dari bilangan yang besar dari -1 ditulis x -1+ ) maka nilai f makin dekat ke -5 dari bilangan yang besar dari -5. Dikatakan limit f kanan untuk x -1+ adalah -5 dan ditulis l i m f = -5 x -1+ Kondisi seperti di atas, di mana limit kiri f sama dengan limit kanan f dikatakan f mempunyai limit sama dengan 5 untuk x dekat ke -1. Keadaan ini ditulis atau dipresentasikan dengan l i m f = -5 x -1
Kalau didefinisikan f(-1) = -5, dari kondisi di atas disimpulkan l i m f = l i m f = l i m f = l i m f = f (-1) = -5. x -1x -1+ x -1 Keadaan tersebut dikatakan f kontinu di x = -1 Dengan cara serupa dapat dilustrasikan konsep-konsep lain misalnya fungsi diskontinu, fungsi diskontinu yang dapat dihapuskan dan fungsi yang diskontinu yang tidak dapat dihapuskan. Berdasarkan ilustrasi yang bersangkutan maka dapat diturunkan definisi fungsi diskontinu, fungsi diskontinu yang dapat dihapuskan dan fungsi yang diskontinu yang tidak dapat dihapuskan di satu titik. a.3) Menerjemahkan pernyataan atau masalah matematik ke dalam bentuk lainnya (switching representation atau translating) Tentukan model matematika persamaan garis singgung di titik x = c pada fungsi f dengan rumus f(x) Penyelesaian: Gradien garis singgung di x = c terhadap fungsi f sama dengan f’(c), Persamaan garis singgung di x = c terhadap f adalah garis melalui x = c pada f dan dengan gradien f’(c). Jadi model matematika garis singgung melalui x = c terhadap f adalah y – f(c) = f’(c) (x – c) b) Kemampuan abstraksi matematik (mathematical abstraction) menggeneralisasi, mensintesa, dan membuat ringkasan
meliputi:
b.1.) Menggeneralisasi Contoh mengeneralisasi dalam proses menurunkan fungsi Misal diberikan f(x) = x, Tentukan f’(x). Dengan menggunakan definisi turunan fungsi f’(x)= f ( xh ) f ( x ) h
diperoleh f’(x) = l i m h
0
( x h) x h
=lim h
0
h h
= 1.
Misal diberikan f(x) = x2. Tentukan f’(x). Dengan menggunakan definisi turunan fungsi f’(x)= l i m diperoleh f’(x) = l i m h
0
( x h)2 x 2 h
h
=lim h
0
2 xh h 2 h
0
f ( x h) f ( x) h
= l i m 2x = 2x. h
0
Dengan cara serupa (analogi) akan diperoleh f’(x2) = 2x, f’(x3) = 3 x2 dan seterusnya. Dengan mengamati sifat-sifat pada proses menurunkan di atas, maka secara induktif 7
akan diperoleh generalisasi atau konjektur f’(xn)= n xn–1. Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran dari generalisasi atau konjektur tadi maka harus dilakukan dengan pembuktian yang deduktif. Bukti: Misal diketahui fungsi f dengan f(x) = xn. Dengan menggunakan definisi turunan fungsi f’(x)= l i m ( x h ) n x n , diperoleh h
0
f’(x) = l i m h
0
=lim
h f ( x h) f ( x) =l h
( x n nx n 1 h n ( n 1) x n 2 h 2 ..........h n ) x n h h 0 ( nx n 1 h n ( n 1) x n 2 h 2 ..........h n= ) l im (nxn-1+ n (n-1) xn-2h+ h
im
...+h n-1) = nxn-1
h 0 h 0 = l im (nxn-1+ n (n-1) xn-2h+ ...+hn-1) = nxn-1 (keterangan: mulai suku kedua dan h 0 suku-suku berikutnya memuat faktor h dan untuk h 0 maka suku-suku tersebut
menuju 0) Jadi f’(x) = nxn-1
(terbukti)
b.3 Contoh mensintesa Proses mensintesa adalah proses mengkombinasikan atau menyusun bagianbagian sedemikian sehingga membentuk sesuatu keseluruhan, kesatuan atau entitas. Keseluruhan tersebut bukan sekadar jumlah bagian-bagiannya, namun lebih dari itu karena dalam proses tersebut berlangsung juga proses mengkaitkan bagian-bagian yang saling lepas menjadi suatu entitas yang saling berelasi. Sebagai contoh, dalam menggambar grafik suatu fungsi perlu dicari dulu titik esensial pada grafik antara lain, titik potong grafik dengan sumbu-sumbu koordinat, turunan fungsi: ekstrim fungsi, fungsi turun dan naik, kurva cekung ke atas, cekung ke bawah dan titik yang dapat saling lepas satu dengan yang lainnya. Kemudian pengetahuan yang saling lepas tersebut digabungkan untuk memperoleh grafik fungsi yang cermat. Proses menggabungkan bagian-bagian yang saling lepas tadi menjadi satu kesatuan yaitu grafik fungsi f merupakan contoh sintesa dalam menggambar grafik suatu fungsi. Contoh lain proses mensintesa adalah memeriksa sifat kekontinuan fungsi di satu titik. Misal diketahui fungsi f dengan aturan sebagai berikut.
f(x)
x2 1 0 -x7 2
jika - 2 x 2 jika x 2 jika 2 x 4 jika x 4
Periksalah kekontinuan f pada titik-titik perubahan selang dan tuliskan jenis kekontinuan fungsi pada titik yang bersangkutan. Penyelesaian: Untuk memeriksa kekontinuan suatu fungsi pada suatu titik, akan diperiksa persyaratan atau sifat kontinu suatu fungsi di satu titik dengan menggunakn definisi fungsi kontinu di satu titik. Definisi: f kontinu di x = c jika dan hanya jika 1) f terdefinisi di x = c artinya f(c) ada dan terhingga 2) l i m f(x) = l i m f(x) = f(c) x cx c+ 8
Titik-titik perubahan selang adalah titik x = 2, dan x = 4 Akan diperiksa kekontinuan f di x = 2 1) f(2) = 0 2) l i m f(x) = l i m (x2 + 1) = 5 x 2x 23) l i m f(x) = l i m (-x+ 7) = 5 x 2+ x 2+ Dari 1), 2), dan 3) diperoleh l i m f(x) = l i m f(x) = f(c) f(2) = 0 x cx c+ Jadi f diskontinu di x = 2 dan menjadi kontinu jika didefinisikan f(2) = 5. Kondisi tersebut dikatakan f diskontinu yang dapat dihapuskan di x = 2 Akan diperiksa kekontinuan f di x = 4 4) f(4) = 2 5) l i m f(x) = l i m ((-x+ 7) = 3 x 4x 46) l i m f(x) = l i m 2 = 2 x 4+ x 4+ Dari 1), 2), dan 3) diperoleh l i m f(x) l i m f(x) f(4) = 2 x 4x 4+ Jadi f diskontinu di x = 2 dan tidak dapat menjadi kontinu karena l i m f(x) l i m f(x) . Kondisi seperti ini dinamakan f diskontinu di x =4 yang tidak x 4x 4+ dapat dihapuskan. Andaikan diminta menggambar grafik f, maka tugas tersebut adalah merupakan contoh proses mensintesa lainnya. Dalam proses sintesa ini, hasil pemeriksaan sintesa sebelumnya menjadi informasi penting dalam proses menggambar grafik f. Titik-titik esensial lainnya adalah titik potong f dengan sumbu X yaitu (2,0); titik potong f dengan sumbu Y, yaitu (0,1).
Proses mengabstraksi memuat proses generalisasi dan sintesa yang mendalam dan lebih kompleks, karena proses mengabstrasi lebih bersifat konstruktif, membangun struktur mental dari struktur matematik, misalnya sifat-sifat dan relasi antar objek matematik.
9
c) Menghubungkan representasi dan abstraksi Merepresentasi dan mengabstraksi adalah proses yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Pada satu kasus, suatu konsep sering diabstraksi dari beberapa representasi, di lain kasus suatu representasi merupakan representasi dari beberapa konsep yang abstrak. Memperhatikan hubungan yang saling melengkapi antara mengabstraksi dan merepresentasi, dan antara representasi matematik dan representasi mental, hendaknya proses belajar dilaksanakan melalui empat tahap berturut-turut menggunakan: representasi tunggal, representasi paralel, menyusun kaitan antar representasi paralel, dan mengintegrasikan representasi dan mengalihkan mereka secara fleksibel. Penggunaan beberapa representasi membantu mahasiswa membuat transisi dari pemahaman konkrit yang terbatas menjadi pemahaman yang lebih abstrak dan fleksibel. Proses merepresentasi dan mengabstraksi yang telah diuraikan di atas, merupakan proses penting dalam AMT. Beberapa proses penting lain yang mendahului berlangsungnya proses merepresentasi dan mengabstraksi adalah: menemukan (discovering), berintuisi (intuiting), memeriksa (checking), membuktikan (proving), mendefinisikan (defining) dan lainnya. 2. Kemampuan kreativitas matematik (mathematical creativity) Istilah kreativitas merupakan suatu phenomena yang kompleks dan sukar didefinisikan secara ketat dan direpresentasikan melalui pendekatan yang berbeda oleh para pakar (Alvino dalam Cotton, 1991, Coleman dan Hammen dalamYudha, 2004, Ervynck dalam Tall, Ed. 1991, Meissner, 2000 dalam Yushau, 2009, Munandar, 1987, 1992, Musbikin, 2006, Semiawan, 1984, Standler, 1998). Rhodes (Munandar,1987), Munandar (1992), dan Supriadi (1994) mendefinisikan kreativitas dengan menganalisis empat dimensinya yang dikenal dengan istilah “the Four P's of Creativity, atau “empat P dari kreativitas” yaitu Person, Product, Process, dan Press Pertama, kreativitas sebagai person mengilustrasikan individu dengan fikiran atau ekspresinya yang unik. Kedua kreativitas sebagai produk merupakan kreasi yang asli, baru, dan bermakna. Ketiga, kreativitas sebagai proses merefleksikan kemahiran dalam berfikir yang meliputi: kemahiran (fluency), fleksibilitas (flexibility), originalitas (originality), dan elaborasi ( ellaboration). Yang terakhir, kreativitas sebagai press adalah kondisi internal atau eksternal yang mendorong munculnya berfikir kreatif. Serupa dengan definisi kreativitas sebagai proses di atas, Fisher (1990) dan Alvino (Cotton, 1991) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah berbagai cara melihat atau melakukan sesuatu diklasifikasikan dalam empat komponen yaitu (1) kelancaran (fluency) membuat berbagai ide; (2) kelenturan (flexibility) kelihaian memandang ke depan dengan mudah); (3) keaslian (originality) menyusun sesuatu yang baru; dan (4) elaborasi (elaboration) membangun sesuatu dari ide-ide lainnya. Selanjutnya, Munandar (1999, 2004), merinci ciri-ciri keempat komponen berpikir kreatif sebagai berikut. Ciri-ciri fluency meliputi: a) Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar; b) Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal; c) Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri flexibility adalah: a) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; b) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; c) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Ciri-ciri originality meliputi: a) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; b) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; c) Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Ciri-
10
ciri elaboration meliputi: a) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; b) Menambah atau merinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Yudha (2004) mengemukakan lima tahap berpikir kreatif yang meliputi: a) Orientasi masalah: merumuskan masalah dan mengidentifikasi aspek-aspek masalah tersebut; b) preparasi: mengumpulkan informasi yang relevan dengan masalah, c) inkubasi: ketika proses pemecahan masalah menemui jalan buntu, biarkan pikiran beristirahat sebentar; d) iluminasi: mencari ilham dan insight untuk memecahkan masalah; e) verifikasi: menguji dan menilai secara kritis solusi yang diajukan. Dalam hal cara yang diajukan tidak dapat memecahkan masalah, pemikir sebaiknya kembali menjalani kelima tahap itu, untuk mencari ilham baru yang lebih tepat. Berkenaan dengan kreativitas matematik, Ervynck (Tall, Ed. 1991) mengemukakan bahwa proses kreatif matematik berlangsung tidak dalam kondisi yang kosong, namun berlangsung dalam suatu konteks dan berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya. Kemudian ia menguraikan secara mendalam mengenai kreativitas matematik yang meliputi: tahap-tahap perkembangan kreativitas matematik, dan definisi tentatif, unsur-unsur, karakteristik, motif, hasil, dan kekeliruan dalam kreativitas matematik. Perkembangan kreativitas matematik melalui tiga tahap sebagai berikut. a) Tahap 0: tahap teknis awal. Tahap ini belum merupakan kegiatan kreatif, dan hanya menerapan rumus atau prosedur matematik secara teknis atau prosedural tanpa menyadari teori yang mendasarinya; b) Tahap 1: Kegiatan algoritmik. Tahap ini lebih tinggi dari tahap tenis, namun belum bersifat kreatif. Kegiatan pada tahap ini hanya mengikuti prosedur melaksanakan operasi matematik: menghitung, memanipulasi, dan menyelesaikan. Misalnya, kegiatan komputasi matematik menggunakan program komputer dalam menyelesaikan persamaan diferensial adalah tergolong kegiatan algoritmik. c) Tahap 2: Kreatif, konseptual, konstruktif kegiatan. Tahap inilah yang sesungguhnya bersifat kreatif, non-algoritimik, dan kompleks. Kegiatan pada tahap ini bersifat divergen, memuat pilihan misalnya memilih konsep tertentu yang akan didefinisikan, dijelaskan atau dibuktikan. Selanjutnya Ervynck (Tall, Ed. 1991) mengemukakan kreativitas dalam AMT memuat kemampuan memformulasi suatu definisi yang bermutu (fluency), memformulasi idea dasar suatu konteks ke dalam konteks matematik (flexibility), mengkreasi objek-objek matematik yang baru dan menemukan hubungan timbal-balik antar objek-objek itu (originality), menyelesaikan masalah atau mengembangkan struktur berpikir, menjabarkan logico-deductive yang asing, dan menyesuaikan konsep yang digenerasi dan diintegrasikan menjadi konsep matematik inti yang penting (elaboration). Beberapa langkah dalam kegiatan kreativitas matematik adalah: a) memahami matematika secara mendalam, b) melakukan intuisi terhadap struktur matematika, c) berimajinasi dan berinspirasi, d) mengubah hasil yang diperoleh ke dalam bentuk struktur deduktif formal. Daya yang dihasilkan dari kegiatan kreativitas matematik di antaranya adalah: pemahaman yang mendalam, intuisi untuk menyusun konjektur, pengertian yang dalam, dan generalisasi dari proses dan data yang diperoleh sebelumnya. Berkenaan dengan matematika, Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) mengemukakan berpikir kreatif memuat aspek keterampilan kognitif, afektif, dan
11
metakognitif. Keterampilan kognitif tersebut antara lain kemampuan: mengidentifikasi masalah dan peluang (elaboration), menyusun pertanyaan yang baik dan berbeda (flexibility), mengidentifikasi data yang relevan dan yang tidak relevan, masalah dan peluang yang produktif (elaboration); menghasilkan banyak idea (fluency), idea yang berbeda (flexibility), dan produk atau idea yang baru (originality), memeriksa dan menilai hubungan antara pilihan dan alternatif (elaboration), mengubah pola pikir dan kebiasaan lama dan menyusun hubungan baru (originality), memperluas, dan memperbaharui rencana atau idea (elaboration). Sedang dalam aspek kemampuan metakognitif, kegiatan yang termuat dalam berfikir kreatif antara lain: merancang strategi, menetapkan tujuan dan keputusan, mempredikasi berdasarkan data yang tidak lengkap, memahami kekreatifan dan sesuatu yang tidak dipahami orang lain, mendiagnosa informasi yang tidak lengkap, membuat pertimbangan multipel, mengatur emosi, dan memajukan elaborasi solusi masalah dan rencana. Silver (1997) dan Sriraman (2004) mendefinisikan kreativitas matematik sebagai kemampuan pemecahan masalah dan berfikir matematik secara deduktif dan logik. Krutetskii (Sriraman, 2004) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan mengabstraksi suatu generalisasi konten matematika. Kemudian, Briggs dan Davis (2008) menyarankan paradigma baru tentang kreativitas matematik sebagai berikut: matematika tidak selalu menyajikan produk baru, karena menghasilkan solusi dari suatu masalah baru juga merupakan produk kreatif bagi seseorang. Pengembangan kreativitas mendukung siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik, dan mengurangi rasa kecemasan siswa terhadap matematika. Untuk memfasilitasi tumbuhnya kreativitas matematik, disarankan agar menciptakan suasana lingkungan yang aktif, mendorong mahasiswa mengobservasi secara aktif, memiliki pengalaman kreatif matematik, mendorong mahasiswa menyusun koneksi matematik, mengajukan pertanyaan, dan merefleksi proses matematik secara lisan dan tulisan. Serupa dengan pendapat pakar lainnya, Balka (Mann, 2005) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan berpikir konvergen dan berpikir divergen, yang meliputi: a) kemampuan memformulasi hipotesis matematika yang difokuskan pada sebab dan akibat dari suatu situasi masalah matematis (fluency), b) kemampuan menentukan pola-pola yang ada dalam situasi-situasi masalah matematis (elaboration); c) kemampuan memecahkan kebuntuan pikiran dengan mengajukan solusi-solusi baru dari masalah-masalah matematis (originality); d) kemampuan mengemukakan ide-ide matematika yang tidak biasa dan dapat mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya (originality); e) kemampuan mengidentifikasi informasi yang hilang dari masalah yang diberikan, dan f) kemampuan merinci masalah umum ke dalam sub-sub masalah yang lebih spesifik (elaboration). Contoh Butir tes berfikir kreatif matematik untuk mahasiswa (Nurlaelah, 2009) Berikan sebuah contoh grup G dan sub-grup asli H sehingga G isomorphik dengan H. Kemudian tunjukkan bahwa jawabanmu memenuhi persyaratan yang diperlukan. 3. Kemampuan melaksanakan membuktikan Kemampuan melaksanakan pembuktian matematik meliputi membaca bukti dan kemampuan mengkonstruksi bukti.
kemampuan
3.1 Kemampuan Membaca Bukti Berkaitan dengan kemampuan membaca bukti, Sumarmo (2004) menyatakan bahwa seorang pembaca dikatakan memahami teks matematika misalnya sajian bukti
12
matematika, apabila ia dapat mengemukakan gagasan matematika yang termuat dalam teks tersebut secara lisan atau tulisan dengan bahasanya sendiri. Dengan demikian, ia tidak hanya sekedar melafalkan uraian suatu bukti, melainkan mengemukakan makna yang terkandung di dalam bukti matematik yang bersangkutan. Ditinjau dari segi tujuan, keterampilan membaca bukti matematika merupakan satu bentuk kemampuan komunikasi matematik dan mempunyai peran sentral dalam belajar matematika. Secara umum, melalui membaca mahasiswa mengkonstruksi makna matematik (Siegel, Borasi, Ponzi, Sanrige, dan Smith dalam Sumarmo, 2004) sehingga mahasiswa belajar matematika bermakna secara aktif. Istilah membaca diartikan sebagai serangkaian keterampilan untuk menyusun intisari informasi dari suatu teks. Mengacu pada “transactional theory of reading”, Rosenblatt (Sumarmo, 2004) mengemukakan bahwa selama kegiatan membaca, pembaca membentuk dan dibentuk secara aktif oleh teks. Ini berarti bahwa pembaca tidak hanya sekadar melafalkan sajian tertulis saja, tetapi dengan menggunakan pengetahuannya, minatnya, nilainya, dan perasaannya pembaca mengembangkan makna yang termuat dalam teks yang bersangkutan. Seorang pembaca dikatakan memahami teks yang dibacanya secara bermakna apabila ia dapat mengemukakan idea dalam teks matematika tersebut secara benar dalam bahasanya sendiri. Kemampuan mengemukakan idea matematik dari suatu teks matematika dalam bentuk lisan atau tulisan merupakan bagian penting dari standar komunikasi matematik. Keterampilan membaca teks matematik siswa dapat diestimasi melalui kemampuan mereka menyampaikan secara lisan, menuliskan kembali, dan atau menilai kebenaran idea matematik yang termuat dalam teks atau sajian dengan bahasanya sendiri. Ditinjau dari tujuannya, terdapat empat jenis membaca (Moesono, 2002, dalam Sumarmo, 2004) sebagai berikut. 1) Literal reading, yaitu membaca dengan tujuan untuk memperoleh informasi untuk pemahaman lebih lanjut. 2) Interpretatif reading yaitu membaca dengan tujuan untuk menarik kesimpulan dari isi teks baik yang tersurat maupun yang tersirat. 3) Critical reading yaitu membaca dengan tujuan untuk mengevaluasi isi teks, membandingkan gagasan yang terdapat dalam teks, dan membuat kesimpulan hasil bandingannya. Kemampuan membaca jenis ini memerlukan kemampuan literal reading dan interpretative reading. 4) Creative reading yaitu membaca dengan tujuan untuk mampu menyusun gagasan baru, pandangan baru, pendekatan baru berdasarkan imajinasi terhadap isi teks yang dibaca. Kemampuan membaca jenis ini memerlukan kemampuan literal reading, interpretative reading. dan critical reading. Ditinjau caranya, membaca dapat diklasifikasikan dalam membaca cepat (efisien), membaca pemahaman (memindai), dan membaca ekstensif. Ada dua jenis membaca cepat yaitu membaca skimming, dan membaca scanning (Moesono, 2002, dalam Sumarmo, 2004). Membaca skimming dilakukan bila pembaca ingin memperoleh informasi yang lebih banyak dalam waktu yang singkat. Pembaca tidak perlu membaca keseluruhan teks, namun hanya memilih gagasan penting saja, sedang fakta dan detail lainnya dibaikan. Membaca scanning dilakukan bila pembaca ingin memperoleh informasi atau data tertentu, pembaca langsung menuju sasaran dan bagian lain dilompati. Dihubungkan dengan tjuannya, kedua jenis membaca ini, tergolong pada lateral reading. Dalam membaca memindai, pembaca mencermati teks lebih seksama untuk memperoleh pemahaman yang mendalam. Sedang dalam membaca ekstensif, selain mencermati teks secara lebih seksama, pembaca
13
mengkaitkan pula dengan gagasan lain di luar teks. Ditinjau dari tujuannya, membaca memindai tergolong pada interpretative dan creative reading, sedang membaca ekstensif tergolong pada creative reading. Contoh Butir Tes Membaca Bukti (Kusnandi, 2009) Bacalah argumen berikut dengan teliti. Misalkan a dan b adalah bilangan bulat sehingga ppb (a, b) = 1, maka ppb (2a + b, a + 2b) = 1 or 3” (catatan: ppb adalah pembagi persekutuan terbesar) Bukti pernyataan di atas adalah sebagai berikut: Misalkan ppb (2a + b, a + 2b) = d, jadi berdasarkan definisi ppb maka d | (2a + b) dan d |(a +2b). Ekspresi ini menghasilkan d | 3a dan d | 3b. Kemudian berdasarkan definisi alternatif ditemukan bahwa d | ppb (3a, 3b) atau d | 3 ppb (a, b). Tetapi ppb (a, b) = 1, jadi d | 3. Karena d > 0 maka nilai d adalah 1 atau 3. Jadi, ppb (2a + b, a + 2b) = 1 atau 3. Dengan menggunakan argumen yang serupa, selesaikanlah soal ini. Jika a dan b adalah bilangan asli sehingga ppb (a, b) = 1, tentukan nilai ppb (2a + 3b, 3a + 2b)
3.2.
Kemampuan mengkonstruksi bukti Kemampuan mengkonstruksi bukti adalah kemampuan menyusun suatu bukti pernyataan matematik berdasarkan definisi, prinsip, dan teorema, serta menuliskannya dalam bentuk pembuktian lengkap (pembuktian langsung atau tak langsung). Kemampuan ini meliputi: kemampuan mengidentifikasi premis beserta implikasinya dan kondisi yang mendukung; kemampuan mengorganisasikan dan memanipulasi fakta untuk menunjukkan kebenaran suatu pernyataan; kemampuan membuat koneksi antara fakta dengan unsur dari konklusi yang hendak dibuktikan. Hanna (Tall, Ed. 1991) menjelaskan tentang bukti matematis yang meliputi: a) penekanan bukti formal, b) pandangan terhadap matematika, c) faktor-faktor dalam bukti yang diterima, dan penalaran yang hati-hati. Beberapa pakar menawarkan metode pembuktian untuk meningkatkan kemampuan membaca dan mengkonstruksi bukti suatu pernyataan matematik. Tall (1991) mengajukan konsep bukti generik sebagai cara untuk meningkatkan pemahaman membaca bukti suatu pernyataan. Kemudian, Leron (Tall, 1991) menawarkan bukti terstruktur dengan menggabungkan metode penyajian formal dan informal ke dalam suatu pembuktian, yang bukan bertujuan untuk meyakinkan, tetapi untuk membantu pembaca dalam meningkatkan pemahamannya terhadap gagasan di belakang bukti itu. Reiss dan Renkl (2002) mengajukan konsep contoh-jawab huristik dengan langkah-langkah huristik: 1) mengeksplorasi situasi masalah, 2) membuat konjektur, 3) mengumpulkan informasi untuk memeriksa konjektur, (4) membuktikan konjektur, (5) memeriksa kembali. Pakar lainnya, Uhlig (2003) mengemukakan pendekatan pembuktian dengan serangkaian deduksi Definition-Lemma-Proof-Theorema-Proof-Corollary, melalui serangkaian pertanyaan eksploratif: What happens if ? Why does it happen ? How do different cases occur ? What is true here ? yang disingkat dengan nama WWHW. Metode pembuktian lain dikemukakan oleh Krummheuer (dalam Hoyles & Kuhemann, 2003) untuk menganalisis argumentasi, seperti pada Gambar 1 di bawah ini. Dalam pembuktian matematika, pernyataan-pernyataan matematika membentuk argumentasi, yang data sebagai premis-premis dan warrant yang terdiri dari definisi atau teorema. Diagram skematik di atas merupakan model untuk membantu membaca bukti suatu pernyataan matematika, kemudian dengan modifikasi digunakan untuk mengkonstruksi bukti matematika.
14
Because
So Conclusion
Data
Since Warrant
On account of Backing Gambar1
Skematik untuk Menganalisis Argumentasi
(Sumber: Krummheuer , dalam Hoyles & Kuhemann, 2003, dalam Kusnandi, 2010)
Sebagai contoh, dalam pernyataan “jika p maka q” atau “p q” , p adalah premis dan q adalah konklusi. Berdasarkan diagram skematik dari Krummheuer, p adalah data dan q adalah conclusion. Seorang mahasiswa dikatakan dapat membaca bukti pernyataan matematika berbentuk p q apabila ia: dapat mengidentifikasi apa yang menjadi data apa yang menjadi conclusion dari pernyataan itu; dapat menyatakan keterkaitan di antara data, dan antara data dengan konklusi dengan menunjukkan suatu warrant; dapat membuat dugaan mengenai konsep kunci yang menjembatani antara data dan konklusi; dapat mengevaluasi aturan-aturan penarikan kesimpulan dari fakta-fakta yang diberikan atau yang diperoleh secara kritis; dan dapat mengekspresikan ide serta proses matematika baik secara lisan maupun tulisan. Diagram skematik Krummheuer dapat juga digunakan untuk mengembangkan suatu model strategi pembuktian matematika secara informal. Konklusi di dalam skematik itu, baik sebagai target-conclussion maupun claim perantara yang dilakukan di atas menggunakan penarikan kesimpulan secara deduktif. Argumentasi dengan cara seperti ini dinamakan argumentasi deduktif. Namun dalam kasus tertentu, warrant yang menjamin untuk menghasilkan suatu konklusi dari data yang ada belum terpikirkan Salah satu cara untuk memunculkan gagasan ke arah claim perantara adalah dengan cara abduktif. Abduksi adalah suatu penarikan kesimpulan yang dimulai dari fakta yang diamati berupa claim, dan suatu aturan yang diberikan, membawa pada suatu kondisi yang harus dimiliki. Langkah abduktif dapat disajikan dengan cara sebagai berikut: B A B Premis yang lebih memungkinkan adalah A di mana B adalah fakta yang diamati (sebagai claim), dan A B adalah suatu aturan (sebagai warrant). Argumentasi dengan cara seperti ini dinamakan argumentasi abduktif. Argumentasi pembuktian yang dilakukan dengan mengkombina-sikan kedua argumentasi seperti pada pembuktian teorema 1 di atas dinamakan argumentasi abduktif-deduktif. Dengan demikian, langkah-langkah membuktikan pernyataan A B dengan abduktif-deduktif dapat disajikan sebagai berikut B A C B A C Premis yang lebih memungkinkan adalah C C
15
di mana C adalah konsep kunci yang menjembatani antara fakta A dan kesimpulan B Model-model argumentasi dalam pembuktian matematika di atas, bukan model penulisan bukti matematika, tetapi hanya merupakan suatu model untuk menjembatani pemahaman terhadap suatu pernyataan matematika, dan langkahlangkah pembuktian pernyataan tersebut. Pedemonte (2003) berhasil mengidentifikasi dua jenis struktur argumentasi yaitu struktur argumentasi abduktif dan struktur argumentasi deduktif. Kedua argumentasi di atas dijadikan alat untuk memunculkan gagasan utama dari pembuktian suatu pernyataan. Dalam pembuktian matematika, ungkapan dosen dan mahasiswa mendorong terjadinya interaksi di antara mahasiswa dan dosen dalam suatu diskusi transaktif dan fasilitatif. Dalam diskusi transaktif peserta diskusi melaksanakan penalaran transaktif (transactive reasoning), yaitu mengkritik, menjelaskan, mengklarifikasi dan mengelaborasi suatu gagasan (Berkowitz dalam Blanton dkk, 2003). Ungkapan yang bersifat fasilitatif merupakan ungkapan dosen dalam bentuk menyatakan kembali atau menegaskan pernyataan yang diajukan mahasiswa (Blanton dkk, 2003). Beberapa kemampuan dalam melakukan diskusi transaktif meliputi: menyampaikan suatu pernyataan yang bersifat transaktif (transactive statements), mengajukan pertanyaan yang bersifat transaktif (transactive questions), dan merespon secara transaktif dari pertanyaan yang bersifat transaktif (transactive responds) (Kruger dan Tomessello, dalam Russell, 2005). Contoh Butir tes menyusun bukti matematik (Maya, 2011) Misalkan R adalah Ring komutatif dengan elemen satuan, dan misalkan I adalah Ideal dari R. Buktikan R/I adalah Integral Domain jika dan hanya jika I adalah Ideal Prima Contoh Butir tes menyusun bukti matematik (Kusnandi, 2010) Observe this statement carefully. Suppose a, b, c, d, n1 and n2 are whole numbers If ab cd (mod n1) and b d (mod n2) then a c (mod n) in which n = gcd (n1, n2) with n and b are relatively prime”. (note: gcd is the greatest common divisor) i) Write all premises of the statement above and its implication. ii) Write the conclusion of the statement and then by using definition and or theorem that you know for determining a condition in oder to find the conclusion.
2. Kebiasaan Berfikir (Habits of Mind) Mencermati maksud yang terkandung dalam Tujuan Pendidikan Nasional, visi matematika dan tujuan pembelajaran matematika, selain aspek kognitif maka dalam individu yang belajar matematika harus memiliki kebiasaan berpikir dan sikap positif seperti: menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri Apabila kebiasaan berpikir dan sikap positif seperti di atas berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi (disposition)
16
terhadap bidang studinya yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri mahasiswa untuk berpikir dan berbuat .dengan cara yang positif Merujuk pendapat Polking (1998), disposisi terhadap suatu bidang studi menunjukikan (1) rasa percaya diri dalam menggunakan bidang studi yang bersangkutan memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan, (2) fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah; (3) tekun mengerjakan tugas; (4) minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan dayatemu dalam melakukan tugas mereka sendiri; (6) menilai aplikasi bidang studi yang bersangkutan ke situasi lain dan pengalaman sehari-hari; (7) apresiasi (appreciation) peran bidang studi yang bersangkutan dalam kultur dan nilai. Hampir serupa dengan pendapat Polking (1998), dalam bidang matematika Standard 10 (NCTM, 2000) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Berkenaan dengan aspek afektif, Munandar (1987) and Supriadi (1994) mengidentifikasi orang yang kreatif adalah mereka yang memiliki rasa keingintahunan yang tinggi, kaya akan idea, imajinatif, percaya diri, non-konformis, bertahan mencapai keinginannya, bekerja keras, optimistik, sensitif terhadap masalah, berfikir positif, memiliki rasa kemampuan diri, berorientasi pada masa datang, menyukai masalah yang kompleks dan menantang. Pakar lainnya, Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) mengemukakan keterampilan afektif yang termuat dalam berpikir kreatif antara lain: merasakan adanya masalah dan peluang, toleran terhadap ketidakpastian, memahami lingkungan dan kekreatifan orang lain, bersifat terbuka, berani mengambil resiko,membangun rasa percaya diri, mengontrol diri, rasa ingin tahu, menyatakan dan merespons perasaan dan emosi, dan mengantisipasi sesuatu yang tidak diketahui. Selain disposisi seperti yang telah diuraikan di atas, dalam upaya merespons dan mencari solusi masalah yang kompleks diperlukan disposisi yang kuat dan perilaku cerdas. Costa (Costa, Ed., 2001) menamakan disposisi yang kuat dan perilaku cerdas dengan istilah kebiasaan berfikir (habits of mind). Ia mengidentifikasi enambelas kebiasaan berfikir, ketika individu merespons masalah secara cerdas. Keenam belas kebiasaan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Bertahan atau pantang menyerah, Ketika menghadapi masalah yang kompleks, berusaha menganalisa masalah, kemudian mengembangkan sistem, struktur, atau strategi untuk memecahkan masalah tersebut. Ketika gagal menerapkan suatu strategi, segera dapat mencari alternatif solusi lainnya. Individu yang tidak memiliki sifat bertahan, ketika menghadapi masalah, mudah frustrasi, merasa tidak berdaya, dan tidak mampu menyelesaikan masalah tadi. 2) Mengatur kata hati. Individu yang dapat mengatur kata hatinya akan berpikir reflektif dan dapat menyelesaikan masalah secara berhati-hati. Ia akan berpikir sebelum bertindak, menyusun rencana kegiatan, berusaha memahami petunjuk, dan merancang strategi untuk mencapai tujuan, mempertimbangkan beragam alternatif dan konsekuensinya sebelum ia bertindak, mengumpulkan informasi yang relevan, dan mendengarkan pandangan alternatif lainnya. 3) Mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati. Kebiasaan memahami orang lain dan berempati merupakan satu bentuk perilaku yang cerdas. Pendengar yang baik bukan berarti bahwa ia selalu harus setuju dengan pendapat orang lain tetapi ia mencoba memahami pendapat orang lain.
17
4) Berfikir luwes. Individu yang berfikir luwes dan reflektif tetap menunjukkan rasa percaya diri, namun ia bersifat terbuka dan mampu mengubah pandangannya ketika memperoleh informasi tambahan. 5) Berfikir metakognitif yang berarti berfikir apa yang sedang difikirkan. Individu yang berfikir metakognitif memahami apa yang diterahui dan yang tidak diketahuinya, memperkirakan secara komparatif, menilai kesiapan kegiatan yang beragam, dan memonitor fikirannya, persepsinya, keputusannya dan perilakunya. 6) Berusaha bekerja teliti dan tepat. Individu dengan karakteristik ini akan menghargai pekerjaan orang lain, bekerja teliti, berusaha mencapai standar yang tinggi, dan belajar berkelanjutan. Ia mereviu dan berusaha memperbaiki semua yang dikerjakannya untuk memperoleh hasil yang tepat. 7) Bertanya dan mengajukan masalah secara efektif. Misalnya, meminta data pendukung, penjelasan, dan atau informasi terhadap kesimpulan yang dibuat. 8) Memanfaatkan pengalaman lama untuk membentuk pengetahuan baru, Misalnya melakukan analogi dan berusaha mengaitkan pengalaman lama terhadap kasus serupa yang dihadapi 9) Berfikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat. Misalnya, berkomunikasi dan mendefinisikan istilah dengan hati-hati, menggunakan bahasa yang tepat, nama yang benar, menghindar generalisasi yang berlebihan, dan distorsi. 10) Memanfaatkan indera dalam mengumpulkan dan mengolah data. Misalnya, dengan memanfaatkan indera yang tajam seseorang dapar berfikir intuitif dan memperkirakan solusi sebelum tugas diselesaikan secara analitik. 11) Mencipta, berkayal, dan berinovasi. Misalnya, memandang solusi masalah dari sudut pandang yang berbeda, termotivasi dari dalam dan bekerja karena merasa ada tantangan yang menarik dan bukan karena ada hadiah 12) Bersemangat dalam merespons. Misalnya, bekerja dengan penuh semangat, tidak hanya mengungkapkan rasa saya mampu tetapi juga saya senang melakukannya. 13) Berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko. Individu yang memiliki karakteristik tersebut, tidak takut gagal, dan dapat menerima ketidakpastian karena berdasarkan pengalaman sebelumnya resiko sudah diperkirakan. 14) Humoris. Individu yang humoris memandang situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang penting, dan memberikan apresiasi ke pada orang lain. 15).Berfikir saling bergantungan. Manusia sebagai mahluk sosial selalu berberhubungan dengan manusia lainnya,. saling membutuhan satu dengan yang lainnya, saling memberi dan menerima, dan lebih berpandangan kekitaan dari pada keakuan. 16)Belajar berkelanjutan. Sejalan dengan pandangan belajar sepanjang hayat, manusia akan belajar berkelanjutan, mencari sesuatu yang baru dan lebih baik, berusaha meningkatkan diri, dan memandang masalah, situasi, tekanan, konflik, dan lingkungan sebagai peluang yang baik dalam belajar. Berikut ini disajikan dua contoh butir skala habits of mind (HOM), yaitu skala dengan respons dalam derajat kesetujuan dan respons dalam derajat frekuensi. Butir skala dengan respons derajat kesetujuan disusun dalam bentuk pernyataan; sedangkan butir skala dengan renpons derajat frekuensi disusun dalam bentuk kegiatan, perasaan, atau pendapat.
18
Contoh butir skala HOM dalam respons derajat kesetujuan. Petunjuk: Tulislah respons anda terhadap pernyataan berikut dengan membubuhkan tanda cek (V) pada kolom yang sesuai dengan pendapat anda. SS: sangat setuju N: netral TS: tidak setuju S: setuju STS: sangat tidak setuju Tabel 1 Contoh Butir Skala Habits of Mind No. 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Pernyataan Saya mencari alternatif lain ketika gagal menyelesaikan soal matematik (+) Ketika menghadapi masalah matematika saya bertanya: Cocokkah strategi ini untuk masalah matematik yang dihadapi? (+) Memandang berkhayal dalam matematika memboroskan waktu (-) Saya bosan mendengarkan penjelasan matematika yang sulit (+) Saya merasa nyaman berdiskusi matematika di lingkungan teman baru (+) Belajar berfikir matematik adalah tugas yang menyulitkan siswa (-) Kritikan menghambat saya untuk maju (-)
SS
S
N
TS
STS
Tabel 2 Contoh Butir Skala Habits of Mind Keterangan Ss Sering sekali Kd : Kadang-kadang Sr Sering Jr : Jarang Js : Jarang sekali No. 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
Kegiatan, perasaan, atau pendapat Mudah frustasi ketika menghadapi kegagalan menyelesai-kan masalah matematik (-) Bertanya pada diri sendiri: Cocokkah strategi ini untuk masalah matematik yang dihadapi? (+) Memandang berkhayal dalam matematika memboroskan waktu (-) Sabar mendengarkan uraian matematika yang sulit (+) Merasa nyaman berdiskusi di lingkungan teman yang pandai matematika (+) Memandang belajar berfikir matematik adalah tugas anak usia sekolah (-) Memandang kritikan sebagai hambatan untuk maju (-)
Ss
Sr
Kd
Jr
Js
4. Beberapa Studi tentang AMT Beberapa studi (Arnawa, 2006, Fahinu, 2008, Kusnandi, 2009, Maya, 2010, Raman, 2003, Tucker, 1999, Weber, 2002, Yerizon, 2011) menerapkan beragam pendekatan pembelajaran dan melaporkan pencapaian kemampuan Advanced Mathematical Thinking (AMT) dan kesulitan mahasiswa dalam melaksanakan AMT.
19
Beberapa kesulitan mahasiswa dalam mengkonstruksi bukti di antaranya: a) kurang memahami definisi atau menyatakan definisi; b) keterbatasan pemahaman intuitif terhadap konsep; c) pemahaman konsep mahasiswa tidak cukup untuk melakukan bukti; d) sulit menggeneralisasi dan menggunakan contoh sendiri; e) tidak menguasai definisi untuk memperoleh struktur bukti bukti secara keseluruhan; f) tidak memahami penggunaan bahasa matematik dan notasinya; g) sulit memulai membuktikan (Moore 1994, dalam Arnawa 2006, dan Maya, 2010); h) pada tingkat perguruan tinggi, sebagian mahasiswa dapat memahami bukti yang diberikan dosennya di kelas, tetapi mereka tidak dapat menyusun bukti sendiri (Barnard, 2000 dalam Kusnandi 2009). Kesulitan ini disebabkan oleh ketidakmampuan mahasiswa dalam menelusuri suatu pernyataan matematika secara lebih jauh; i) kadang-kadang mahasiswa memahami dan dapat menerapkan fakta, namun mereka tidak dapat mengkonstruksi bukti yang valid karena kurang menguasai pengetahuan strategik untuk memilih inferensi yang diturunkan data yang tersedia (Weber, 2002, dalam Kusnandi, 2010). Pada studi lain, untuk mengkonstruksi bukti, Tucker (1999, dalam Kusnandi, 2010) menyarankan hendaknya dosen memilih topik yang memberi peluang mahasiswa melakukan pembuktian. Dalam studinya Raman (2003) mengidentifikasi tiga idea penting dalam pembuktian yaitu: a) idea heuristik, seperti data empiris, visuliasasi suatu gambar hanya untuk memahami hasil suatu bukti; b) idea prosedural yang digunakan dalam membuktikan berdasarkan manipulasi logik dan formal untuk sampai pada bukti formal; c) idea kunci, yang muncul dalam bukti formal berderdasarkan rumus yang relevan; idea ini tidak hanya untuk meyakinkan kebernaran pernyataan tetapi juga untuk menunjukkan pemahaman pada tiap langkah pembuktian. Selain laporan tentang kesulitan yang dialami mahasiswa dalam mengkonstruksi bukti, beberapa studi (Arnawa, 2006, Kusnandi, 2009, Maya, 2010, Yerizon, 2011) melaporkan bahwa dalam mencapai kemampuan membaca bukti dan menyusun bukti mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan modifikasi teori APOS, modifikasi metode Moore mencapai nilai yang lebih baik dari kemampuan mahasiswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Selain dipengaruhi oleh pembelajaran, kemampuan membaca dan mengkontruksi bukti mahasiswa juga dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan awal matematika mereka. Makin tinggi pengetahuan awal matematika mahasiswa makin tinggi juga kemampuan mahasiswa dalam membaca dan mengkonstruksi bukti. Berkenaan dengan kreativitas matematik, Dwiyanto (2009) dan Nurlaelah (2010) melaporkan bahwa mahasiswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dan berbasis teori APOS mencapai kreativitas matematik yang lebih baik dari mahasiswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Temuan lainnya, di antara tugas-tugas kreativitas matematik, tugas flesibilitas merupakan tugas yang lebih sukar dibandingkan dengan tugas komponen lainnya. Dalam hal aspek non-kognitif, mahasiswa dalam kelas pembelajaran modifikasi APOS (Nurlaelah, 2010), modifikasi metode Moore (Maya, 2011), pembelajaran berbasis masalah (Dwiyanto, 2009) dan pembelajaran generatif (Fahinu, 2009) menunjukkan disposisi matematik mahasiswa yang lebih baik dibandingkan diposisi mahasiswa pada kelas konvensional. Mahasiswa pada kelas eksperimen menunjukkan lebih siap dan aktif belajar dan lebih mampu bekerja mandiri dalam menyelesaikan tugas matematiknya.
20
Alternatif Pustaka yang Dapat Dirujuk Alibert, D. & Thomas, M. (1991). Research on Mathematical Proof. Dalam Tall, D (ed.). Advanced Mathematical Thinking. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Arnawa (2006). Meningkatkan Kemampuan Pembuktian Mahasiswa dalam Aljabar Abstrak Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. (Disertasi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Asiala, M. et al. (1990). A Framework for Reseach and Curriculum Development in Undergraduate Mathematics Education. Reseach in Collegiate Mathematics Education II, CBMS Issue in Mathematics Education, 6, 1 – 32. Baker, D. & Campbell, C. (2004). Fostering The Development of Mathematical Thinking: Observations from A Proofs Course. Dalam Primus: Problem, Resources, and Issues in Mathematics Undergraduates Studies. [Online].Tersedia: http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3997/is_200412/ai_n9467980 [13 Februari 2007] Barnard, T. (2000). Why Are Proofs Difficult? Dalam The Mathematical Gazette [Online], Vol. 84, No. 501 (Nov., 2000), pp. 415-422. Tersedia: http://www.jstor.org [13 Februari 2007] Baron, J. B. dan Sternberg, R.J. (Editor), (1987) Teaching Thinking Skill. New York: W.H. Freeman and Company Berman, S. (2001) “Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical Understanding” dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Blanton, M.L., Stylianou, D.A. & David, M.M. (2003). The nature of scaffolding in undergraduate students’ transition to mathematical proof. In the proceedings of the 27th Annual meeting for the International Group for the Psychology of Mathematical Education. (vol. 2, pp. 113-120), Honolulu, Hawaii: University of Hawaii. Briggs, M & Davis, S. (2008). Creative Teaching Mathematics ( In Early Years & Primary Classroom). London: Routledge Taylor & Francis Group Brochlet, N. (2007). Cognitive Computer Tools in the Teaching and Learning of Undergraduate Calculus. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. Tersedia: Online. [Juli 2009]. http://www. Georgiasouthern,edu/ijsotl Costa, A.L. “Habits of Mind” dalam A. L. Costa (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Costa, A.L dan Garmston, R.J. ‘Five Human Passion: The Origin of Effective Thinking” dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Cotton, K. (1991). Teaching Thinking Skills. [Online]. Tersedia: http://www.nwrel. Org/Sc Pd/Sirs/6/Cu11.html. [30 April 2006]. Dubinsky, E & Leron, U. (1994). Learning Abstract Algebra with ISETL. New York: Springer-Verlag. Dwiyanto. (2007). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer terhadap Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berfikir Kreatif.
21
Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasikan. Ervynck, G. (1991).“Mathematical Creativity”. Dalam D.Tall (ed.). Advanced Mathematical Thinking. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Fahinu (2007). Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika pada Mahasiswa melalui pembelajaran Generatif. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasikan. Gie, T.L (2003). Melejit dengan Kreatif. Jakarta: GEMA INSANI Hadas, N., Hershkowitz, R., & Schwarz, B. (2000). The Role of Contradiction and Uncertainty in Promoting the Need to Prove in Dynamic Geometry Environments. Educational Studies in Mathematics 44: 127-150. Hanna, G. (1983). Rigorous Proof in Mathematics Education, OISE Press, Toronto. Hanna, G. & Jahnke, H.N. (1993). Proof and Application. Dalam Educational Studies in Mathematics [Online], Vol. 24, pp. 421-438. Tersedia: http://www.jstor.org [ 6 Maret 2007] __________________________ (1996). Proof and Proving. Dalam A.J. Bishop et.al. (Eds). International Handbook of Mathematics Education. Netherland: Kluwer Academic Publishers. Hanna, G. & Barbeau, E. Proof in Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.math.utoronto.ca/barbeau/hannajoint.pdf [25 April 2007] Hersh, R. (1993). Proving is Convincing and Explaining. Dalam Educational Studies in Mathematics [Online], Vol. 24, No. 4, Aspects of Proof. (1993), pp. 389-399. Tersedia: http://www.jstor.org [20 Februari 2007] Hassoubah, Z.I. (2004). Developing Creative & Critical Thinking Skills. Cara berpikir Kreatif & Kritis. Bandung: Nuansa Leron, U & Dubinsky, E. (1995). “An Abstract Algebra Story”. American Mathematical Monthly. 102(3), 227-242. Holton, D. (2001). The Teaching and Learning of Mathematics at Level University. An ICMI Study. Dordrecth : Kluwer Academic Publisher. Hoyles, C. dan Kuchemann, D. (2002). Students’ understanding of logical implication. Educational Studies in Mathematics 51, 193-223. Kusnandi (2008). Pembelajaran Matematika dengan Strategi Abduktif-Deduktif untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Membuktikan pada Mahasiswa. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI. Dipublikasikan pada International Journal of Education, UPI, 2011.(lengkapi laporannya) Maya, R. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Kombinasi Langsung-Tidak Langsung untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa SMA. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasikan. Maya, R. (2011). Pengaruh Pembelajaran dengan Metode Moore Termodifikasi terhadap pencapaian kemampuan Pemahaman dan Pembuktian Matematik Mahasiswa. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI. Dipublikasikan pada International Journal of Mathematics Education, INDOMS, 2012. Meissner,H. (2006). Creativity and Mathematics Education[Online]. Tersedia: www. math.ecnu.cn/earcome3/sym1/ sym104.pdf . [2 Februari 2007] Moore, R.C. (1994). Making the transition to Formal Proof. Educational Studies in Mathematics, 27: 249-266. Munandar, U. (1977). Creativity and Education. Disertasi Doktor. Fakultas PsikologiUI. Jakarta : Tidak diterbitkan
22
Nurlaelah, E. dan Usdiyana, D. (2003).”Inovasi Pembelajaran Struktur Aljabar I dengan Menggunakan Program ISETL Berdasarkan Teori APOS”. Hibah Pembelajaran DUE-LIKE. UPI: Tidak Diterbitkan. Nurlaelah, E. (2009). Mengembangkan Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru melalui Pembelajaran Berbasis Teori APOS. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, dipublikasi pada International Journal of Education. UPI. 2011 (lengkapi) Pasaribu, I.L, dkk. (1986). Didaktik dan Metodik. Bandung: Tarsito. Papu, J (2001). Menumbuhkan Kreativitas di Tempat Kerja [Online]. Tersedia: http://www.e-psikologi.com/ manajemen/ kreativitas.htm. [27 Mei 2006]. Pedemonte, B. (2003). What kind of proof can be constructed following an abductive argumentation. Proceeding of the third Conference of the European Society for Research in Mathematics Education. Polking J. (1998). Response To NCTM's Round 4 Questions [Online] In http://www.ams.org/government/argrpt4.html. Raman, M. (2003). Key Ideas: What are They and Hao Can They Help us Understand Haow People View Proof : Education Studies in Mathematics 52: 319 – 325. Russell III, H.A. (2005). Transactive Discourse During Assesment Conversation on Science Learning. Disertasi: Georgia State University. Selden, J., Selden, A. & McKee, K. (2009). Improving Advanced Students’ Proving Abilities. [Online]. Tersedia: http://tsg.icme11.org/document/get/729 [21 Mei 2009] Semiawan, C. (1985). Pendekatan Keterampilan Proses (Bagaimana Mengaktifkan Siswa Belajar). Jakarta: PT. Gramedia. Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. [On Line]. In :http://www.fzkarlsruhe.de/fiz/publication/zdm973a3.pdf. [5 November 2005] Solow, D. (1982). How to read and do proof. An introduction to mathematical thought process. John Wiley & Sons, Inc. Sriraman, B (2004). ”The Characteristics of mathematicsal Creativity”. The Mathematics Educator Journal . Vol 14 No. 1. 19 – 34. Starko, A.J. (1995). Creativity in The Classroom. (Schools of Courious Delight). USA: Longman Publisher. Maya, R. (2005) Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung Tesis pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan Sumarni, E. (2006). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMP melalui Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung. Tesis pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan Sumarmo, U. (2003). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA di FPMIPA UPI. Supriadi, D. (2000). Perkembangan Kreativitas dan Peranan Faktor-Faktor Lingkungan. Makalah: Tidak diterbitkan Suryadi, D. (2005). Penggunaan variasi pendekatan pembelajaran langsung dan tak langsung dalam rangka meningkatkan kemampuan berfikir matematik tingkat tinggi Siswa SLTP. Disertasi pda Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.
23
Suryadi, D. (2011). Didactical Design Research (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional di UNS, Surakarta, November 2011. Tall, D. (1991). Advanced Mathematical Thinking. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Tall, D. (1999). The Cognitive Development of Proof: Is Mathematical Proof For All or For Some? [Online]. Tersedia: http://www.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/pdfs/dot1999j-proof-chicago.pdf [20 Juni 2007] Tall, D. (1998). The Cognitive Development of Proof: Is Mathematical Proof For All or Some ? Conference of the University of Chicago School Mathematics Project. Tucker, T.W. (1999). On the Role of Proof in Calculuc Courses Contemporary Issues in Mathematics Education MSRI. Vol. 36. Uhlig, F. (2003). The Role of Proof in Comprehending and teaching Elementary linear Algebra. Educational Studies in Mathematics. Weber, K. (2001). Student Difficulty in Constructing Proofs: The Need for Strategic Knowledge. Dalam Educational Studies in Mathematics [Online], Volume 48: 101-119. Tersedia: http://www.jstor.org [6 Maret 2007] __________ (2003). Students’ Difficulties with Proof. [Online]. Tersedia: http://www.maa.org/t_and_l/rs_8.html [7 Februari 2007] Williams, G. (2002). “Identifying Tasks that Promote Creative Thinking in Mathematics: A Tool” . Mathematical Education Research Group of Australia Conference. Aukland New Zealand, July , 2002 Yerizon, (2011). Peningkatan Kemampuan Pembuktian dan Kemandirian Belajar Matematik Mahasiswa melalui Pendekatan M-APOS. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi Yudha,A.S. (2004). Berpikir Kreatif Pecahkan Masalah. Bandung: Kompas Cyber Media
.
24