Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
Kehamilan Abdominal Lanjut
Zaky Faris Maulana Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak Kehamilan abdominal adalah bentuk kehamilan ektopik dimana implantasi hasil konsepsi berada dalam rongga abdomen. Hal ini seringkali diakibatkan oleh hasil reimplantasi dari kehamilan ektopik di tuba fallopii yang tidak terdiagnosa. Kehamilan abdominal adalah kondisi yang jarang dan seringkali terlewatkan saat pemeriksaan prenatal diakibatkan kurangnya pemantauan rutin dengan ultrasonografi. Diagnosis yang sebelumnya dibuat, yaitu G3P2A0 hamil 39 minggu belum inpartu dengan janin tunggal mati presentasi bokong. Setelah gagal dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol dan kateter Foley, maka diputuskan untuk dilakukan laparotomi. Intraoperatif tampak janin diluar uterus dengan implantasi plasenta dan kantong gestasi di posterior cornu uterus sinitra, tidak ada perlengketan pada organ intraabdomen. Uterus tampak intact dengan ukuran sebesar kehamilan 20 minggu. Diputuskan untuk mengeluarkan bayi dan memisahkan plasenta dari uterus. Dilahirkan bayi perempuan dalam kondisi mati, berat badan 3.100 gr, panjang badan 49 cm, dengan maserasi grade II. Plasenta secara lengkap dipisahkan dari uterus. Laporan kasus ini merupakan pesan penting, bahwa kehamilan abdominal dapat terlewatkan pada pemeriksaan antenatal, bahkan dengan ultrasonografi. Perhatian perlu dititik beratkan kepada penilaian klinis dan evaluasi petunjuk-petunjuk kecurigaan kehamilan abdominal pada pasien. Kata kunci: kehamilan abdominal, kehamilan ektopik
Advanced Abdominal Pregnancy
Abstract Abdominal pregnancy is a form of ectopic pregnancy in which implantation of the conception are in the abdominal cavity. This is often caused by reimplantation of an abortion ectopic pregnancy in the fallopian tubes that are undiagnosed. Abdominal pregnancy is a rare condition and is often overlooked during the inspection due to the lack of monitoring of routine prenatal ultrasound. Previous diagnosis was made, G3P2A0 not yet inpartu 39 weeks pregnant with a died single fetus in breech presentation. Failed to do cervical ripening with misoprostol and Foley catheter, the patient decided to undergo a laparotomy. Intraoperative founds fetus is on the outside of the uterus with the implantation of the placenta and gestational sac in the left posterior horn of the uterus, no intra-abdominal adhesions on the organ. Uterine seemed intact with a size of 20 weeks pregnancy. It was decided to remove the baby and the placenta separates from the uterus. Born baby girl in a dead condition, weight 3100 grams, body length 49 cm, with grade II maceration. Placenta completely separated from the uterus. The important message of this case report is that abdominal pregnancy can be missed during antenatal care and by ultrasound. Emphasis should be placed on clinical assessment and thorough evaluation of patients. Keywords: abdominal pregnancy, ectopic pregnancy Korespondensi: Zaky Faris Maulana, alamat Jl. Abdul Muis No. 9A Bandar Lampung, HP 087899651481, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Kehamilan abdominal adalah bentuk kehamilan ektopik dimana implantasi hasil konsepsi berada dalam rongga abdomen.1 Hal ini seringkali diakibatkan oleh hasil reimplantasi dari kehamilan ektopik di tuba fallopii yang tidak terdiagnosa.2 Kehamilan abdominal adalah kondisi yang jarang dan seringkali terlewatkan saat pemeriksaan prenatal diakibatkan kurangnya pemantauan rutin dengan ultrasonografi.3 Pasien dengan riwayat bercak perdarahan (spotting), perdarahan irregular, atau nyeri selama bulan-bulan pertama kehamilan dapat mengarah pada kehamilan tuba yang telah ruptur ke dalam rongga
peritoneum. Nyeri abdomen bagian bawah yang konstan atau intermitten merupakan gejala yang paling sering pada kehamilan abdominal. Nyeri ini diakibatkan oleh rangsangan peritoneum. Jika bayinya hidup, gerakan janin akan dirasakan sangat nyeri. Kehamilan abdominal mudah menjadi simptomatik antara usia kehamilan 12 hingga 40 minggu. Gejala-gejala lainnya yang dapat muncul adalah mual, muntah, konstipasi, diare, dan gejala-gejala yang bervariasi lainnya.4,5
Kasus J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 188
Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
Pasien wanita, 32 tahun, gravid 3 para 2 abortus 0, hamil 39 minggu, datang ke Rumah Sakit (RS) Provinsi dr. H. Abdoel Moeloek dengan keluhan gerakan janin tidak terasa lagi sejak 1 hari sebelum masuk RS. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut menjalar ke punggung sejak 3 hari sebelum masuk RS. Nyeri perut dirasakan sejak awal kehamilan namun diakui pasien tidak mengganggu aktivitas. Riwayat keluar darah lendir, keluar air dari kemaluan, darah tinggi sebelum dan sesudah kehamilan disangkal. Pasien menikah satu kali dan sudah berlangsung selama 14 tahun. Riwayat persalinan sebelumnya pada pasien dilakukan oleh bidan di rumah, pervaginam, 13 tahun dan 7 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain, seperti hipertensi dan diabetes melitus. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit endometriosis, kista, keputihan, atau operasi yang berhubungan dengan kandungan. Pasien sejak awal menikah tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Riwayat pemeriksaan antenatal rutin dilakukan di bidan. Pasien pernah mengeluh nyeri pada perut bagian bawah pada bulan-bulan pertama kehamilan, yaitu pada bulan pertama dan ke-4. Pada bulan pertama pasien tidak menghiraukan nyeri yang dirasakannya. Pada bulan ke-4 kehamilan, pasien memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan kebidanan dan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) dengan hasil yang diinterpretasikan normal serta tidak ditemukan kelainan dengan perkiraan usia janin 18 minggu diukur dari panjang femur. Setelah itu, pasien tidak pernah memeriksakan kehamilannya lagi. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 96x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu tubuh 36,4˚C. Tinggi badan 158 cm, dan berat badan 57 kg. Pemeriksaan obstetri luar dilakukan dan ditemukan perut tampak membesar, tinggi fundus uteri 28cm dari simfisis pubis, dan tidak ditemukan his. Pada pemeriksaan perasat Leopold ditemukan janin dengan presentasi bokong, letak memanjang, punggung kiri, dan penurunan bokong 5/5. Auskultasi dilakukan menggunakan doppler dan hasilnya tidak ditemukan denyut jantung janin. Pada pemeriksaan dalam, teraba postio lunak, pendataran 0%, belum ada pembukaan serviks.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan urinalisa dilakukan dengan hasil Hb 11,6 gr/dl, leukosit 8.200/ul, SGOT 10 u/l, SGPT 21 u/l, trombosit 314.000/mm3, ureum 13 mg/dl, kreatinin 0,6 mg/dl, dan LDH 404 u/l. Urinalisa tidak menunjukkan adanya proteinuria dan kelainan lain. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosa pasien ditentukan sebagai G3P2A0 hamil 39 minggu belum inpartu dengan janin tunggal mati presentasi bokong. Setelah ditentukan diagnosis pada pasien, dilakukan informed consent dan penjelasan kondisi pasien kepada keluarga dan rencana tatalaksana selanjutnya. Penatalaksanaan yang diberikan pasien berupa pemasangan IV line dengan ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi IV ceftriaxone 1 gram setiap 12 jam, dan persiapan pematangan serviks dengan misoprostol 25 μg setiap 6 jam melaui vagina. Setelah vagina dinilai matang, diharapkan dapat dilakukan induksi persalinan. Selama dirawat, dilakukan pemantauan pendataran dan pembukaan serviks, his, dan tanda persalinan lain. Pemberian misoprostol dilanjutkan hingga 48 jam setelah pemberian pertama kali namun tidak ada tanda-tanda pematangan serviks. Karena pematangan serviks dengan misoprostol dinilai gagal, maka dilakukan pematangan serviks secara mekanik menggunakan insersi keteter Foley no.18. Balon kateter yang dimasukkan ke dalam serviks dikembangkan dengan 30ml NaCL 0,9%. Ujung bagian luar ditegangkan dengan cara memberikan cairan intravena 1 liter yang kemudian di gantungkan di tempat tidur pasien. Proses pematangan serviks mekanik ini dilakukan selama 8-12 jam, dan dilakukan evaluasi setelahnya. Evaluasi menunjukkan belum ada tanda pematangan serviks, serviks masih tebal dan belum ada pembukaan. Setelah itu, diputuskanlah untuk melakukan laparotomi atas indikasi gagal pematangan serviks. Dilakukan operasi laparotomi dengan general anestesia. Dilakukan insisi Pfanenstiel 1 jari diatas simfisis pubis ±10cm, insisi diperdalam hingga menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka, tampak janin diluar uterus dengan implantasi plasenta dan kantong gestasi di posterior cornu uterus sinitra, tidak ada perlengketan pada organ intraabdomen. Uterus tampak intact dengan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 189
Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
ukuran sebesar kehamilan 20 minggu. Diputuskan untuk mengeluarkan bayi dan memisahkan plasenta dari uterus. Dilahirkan bayi perempuan dalam kondisi mati, berat badan 3.100 gr, panjang badan 49 cm, dengan maserasi grade II. Plasenta secara lengkap dipisahkan dari uterus. Kedalam cairan infus dimasukkan oxytocin 20 IU. Dilakukan pencucian rongga abdomen dengan larutan saline 0,9% lalu dilanjutkan dengan penutupan dinding abdomen. Setelah operasi selesai, pasien di rawat di unit perawatan intensif. Dilakukan pemantauan dan evaluasi kondisi pasien pasca operasi. Dilakukan transfusi packed red cell sebanyak 500cc untuk mengatasi anemia pasca operasi (Hb: 7,6gr/dl), terapi cairan dan nutrisi parenteral, injeksi IV ceftriaxone 1 gram setiap 12 jam, serta injeksi IV asam tranexamat 3 x 1.000 mg per hari. Setelah 5 hari dirawat di unit perawatan intensif, pasien pulang dengan kondisi baik. Pembahasan Kehamilan abdominal adalah bentuk kehamilan ektopik dimana implantasi hasil konsepsi berada dalam rongga abdomen.1 Meskipun digolongkan kedalam kehamilan ektopik, kehamilan abdominal dibedakan dengan kehamilan tuba, kehamilan ovarium, atau kehamilan intraligamentosa. Angka kejadian kehamilan abdominal cukup langka, dengan insidensi 1 : 10.000 kelahiran dan 1 : 100 dari kehamilan ektopik.6,7 Kehamilan abdominal seringkali diakibatkan oleh hasil reimplantasi dari abortus kehamilan ektopik di tuba fallopii yang tidak terdiagnosa.2,5 Biasanya, plasenta tumbuh dan mempertahankan penempelannya pada tuba tetapi secara bertahap merambah dan implantasi kedalam serosa sekitar. Sementara itu, janin terus tumbuh dalam rongga peritoneal. Kadangkadang, plasenta ditemukan di dekat tuba fallopii dan dibagian supero-posterior ligamentum latum dan uterus.5 Plasenta juga seringkali ditemukan berimplantasi pada culde-sac uterus (kavum Douglas), ligamentum, usus dan dinding pelvis.6,8 Ada beberapa faktor resiko kehamilan abdominal, yaitu riwayat kehamilan tuba sebelumnya, pelvic inflammatory disease (PID), sterilisasi pada tuba, operasi pada tuba, endometriosis, atau
penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).9,10 Pasien dengan riwayat bercak perdarahan (spotting), perdarahan irregular, atau nyeri selama bulan-bulan pertama kehamilan yang disertai anemia dapat mengarah pada kehamilan tuba yang telah ruptur ke dalam rongga peritoneum. Nyeri abdomen bagian bawah yang konstan atau intermitten merupakan gejala yang paling sering pada kehamilan abdominal. Nyeri ini diakibatkan oleh rangsangan peritoneum. Jika bayinya hidup, gerakan janin akan dirasakan sangat nyeri. Kehamilan abdominal mudah menjadi simptomatik antara usia kehamilan 12 hingga 40 minggu. Gejala-gejala lainnya yang dapat muncul adalah mual, muntah, konstipasi, diare, dan gejala-gejala yang bervariasi lainnya.4,5 Pada perjalanannya, kehamilan abdominal yang menuju usia aterm akan menunjukkan tanda dan gejala tidak langsung yang patut dicurigai sebagai kehamilan abdominal, yaitu mudahnya meraba bagian janin, nyeri perut yang berulang, ketidakmampuan merangsang kontraksi uterus dengan pemberian oksitosin atau uterotonika lain, letak janin yang abnormal, oligohydramnion, dan ketidakmampuan menentukan letak uterus.8,10,11,13,14 Pasien dalam laporan kasus ini mengaku pernah merasa nyeri pada perut bagian bawah pada awal masa kehamilan. Nyeri pada perut dirasakan saat usia kehamilan 1 bulan dan 4 bulan. Hal ini dapat di jadikan pertimbangan bahwa adanya kemungkinan ruptur atau abortus tuba yang berlanjut menjadi kehamilan abdominal. Pemeriksaan USG yang dilakukan saat usia kehamilan 4 bulan juga tidak menunjukkan adanya kelainan letak intraabdomen. Hal lain yang dapat menjadi petunjuk adalah riwayat nyeri dari perut yang menjalar ke punggung yang dapat dikorelasikan dengan rangsangan peritoneal. Faktor resiko kehamilan abdominal, yaitu riwayat kehamilan tuba sebelumnya, PID, sterilisasi pada tuba, operasi pada tuba, endometriosis, atau penggunaan AKDR tidak ditemukan pada pasien ini. Diagnosis yang sebelumnya dibuat, yaitu G3P2A0 hamil 39 minggu belum inpartu dengan janin tunggal mati presentasi bokong. Pada pasien dilakukan pematangan serviks dengan harapan bayi dapat dilahirkan secara J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 190
Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
pervaginam. Pematangan serviks dilakukan dengan misoprostol 25 μg setiap 6 jam melaui vagina. Pemberian misoprostol ini mengacu kepada petunjuk pemberian misoprostol oleh WHO. Dimana disebutkan, bahwa dosis pematangan serviks dan induksi persalinan pada kasus kematian janin di trimester ketiga sama dengan kasus bayi aterm. Pilihan yang diberikan adalah misoprostol 25 μg setiap 6 jam melaui vagina, atau misoprostol 25 μg setiap 2 jam melaui oral.25 Ternyata setelah pemberian misoprostol selama 48 jam, tidak ada kemajuan pematangan serviks. Hal ini kembali menjadi petunjuk, bahwa uterus pada kehamilan abdominal tidak respon terhadap uterotonika, dalam hal ini misoprostol. Setelah itu, diputuskanlah pemasangan insersi balon kateter Foley kedalam serviks. Kateter yang digunakan adalah kateter no.18. Balon kateter yang dimasukkan ke dalam serviks dikembangkan dengan 30 ml NaCL 0,9%. Ujung bagian luar ditegangkan dengan cara memberikan cairan intravena 1 liter yang kemudian di gantungkan di tempat tidur pasien. Proses pematangan serviks mekanik ini dilakukan selama 8-12 jam, dan dilakukan evaluasi setelahnya.26 Evaluasi menunjukkan belum ada tanda pematangan serviks, serviks masih tebal dan belum ada pembukaan. Diputuskan untuk melakukan laparotomi atas indikasi gagal pematangan serviks. Setelah dilakukan laparotomi, barulah diketahui bahwa diagnosis yang selama ini ditegakkan salah, dan diagnosis kehamilan abdominal terlewatkan. Bayi dan plasenta berhasil dikeluarkan secara lengkap. Tidak ada plasenta yang ditinggalkan dalam rongga perut. Setelah lapangan operasi ditutup, pasien dibawa ke unit perawatan intensif.
Gambar 1. Temuan intraoperatif. Dapat dilihat uterus sebesar usia kehamilan 20 minggu dan implantasi placenta pada cornu uterii sinistra.
Kehamilan abdominal adalah kondisi yang jarang dan seringkali terlewatkan saat pemeriksaan prenatal diakibatkan kurangnya pemantauan rutin dengan USG.3 Dalam beberapa kasus yang dicurigai kehamilan abdominal, temuan USG mungkin bisa menjadi dasar diagnostik; misalnya, jika kepala janin terlihat berbatasan langsung ke kandung kemih ibu tanpa jaringan rahim diantaranya.5 Akan lebih mudah apabila menemukan tandatanda kehamilan abdominal pada akhir trimester pertama atau awal trimester kedua dimana organ pelvis masih tervisualisasi dengan baik. Pada kehamilan abdominal lanjut gambaran organ pelvis menjadi terbatas.11,12 Akan tetapi dalam kondisi ideal sekalipun, 50% dari kasus kehamilan abdominal tidak terdiagnosa pada pemeriksaan USG.5 Pemeriksaan anjuran lain yang dapat digunakan adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi apabila terdapat kecurigaan kehamilan abdominal dari pemeriksaan USG dan menentukan lokasi serta hubungan plasenta dengan organ dan jaringan disekitarnya. Hal ini akan membantu dalam penentuan penatalaksanaan baik secara konservatif maupun operatif.5,15 Computerized Axial Tomografi (CT) scan tidak dianjurkan untuk dilakukan karena memiliki efek radiasi terhadap janin.5 Mortalitas ibu meningkat sebesar 7,7 kali lipat pada kehamilan abdominal jika dibandingkan dengan kehamilan ektopik, dan 90 kali lipat jika dibandingkan dengan kehamilan intrauterin.7 Resiko ini berhubungan dengan diagnosis yang terlambat dan penatalaksanaan plasenta yang salah. Untuk meminimalisir terjadinya perdarahan intraabdominal yang mendadak dan mengancam jiwa, intervensi harus segera dilakukan setelah diagnosa berhasil ditegakkan. Intervensi bedah harus segera dilakukan apabila didapati gangguan hemodinamik pada ibu, janin yang mati atau tidak viable (usia kehamilan dibawah 24 minggu), dan apabila dari pemeriksaan USG didapatkan gambaran oligohydramnion. Beberapa ahli berpendapat bahwa pada J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 191
Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
kehamilan abdominal yang sudah berlangsung lebih dari 24 minggu, dilakukan pendekatan konservatif memungkinkan kematangan janin dan meningkatkan kemungkinan hidup.16 Namun, setelah 30 minggu, kemungkinan janin hidup hanya 63%, dan 20% dari janin memiliki deformasi (kelainan sendi dan kraniofasial) dan malformasi (sistem saraf pusat dan kekurangan anggota tubuh).17 Dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadi pula perkembangan plasenta dan memberikan risiko yang lebih besar untuk terjadi perdarahan. Hal ini alasan jarangnya dibenarkan untuk mengelola kehamilan abdominal secara konservatif.18 Pembedahan untuk kehamilan abdominal dapat memicu perdarahan deras karena kurangnya penyempitan pembuluh darah setelah pemisahan plasenta. Dalam kondisi memungkinkan, penatalaksanaan kehamilan abdominal paling baik dilakukan di RS dengan fasilitas yang memadai (ICU/trauma center). Sangat penting pula untuk memiliki persediaan darah yang cukup dan segera tersedia. Sebelum operasi, harus disiapkan dua jalur infus intravena yang masing-masing mampu memberikan volume cairan besar dengan kecepatan tinggi. Jika waktu memungkinkan, persiapan mekanik usus (klysma) harus dilakukan. Untuk mengoptimalkan lapangan operasi, laparotomi umumnya dilakukan melalui sayatan garis vertikal (vertical midline incision).5 Penatalaksanaan bedah pada pasien sudah benar sesuai dengan tinjauan kepustakaan. Tersedianya unit perawatan intensif merupakan salah satu kunci utama pemulihan pasien pasca operasi. Manajemen plasenta saat dilakukan laparotomi sangatlah penting. Direkomendasikan untuk melepas plasenta bila suplai darah yang menuju plasenta diyakini dapat di ligasi.19 Beberapa penelitan terbaru menunjukkan bahwa meninggalkan plasenta didalam rongga abdomen dapat menurunkan morbiditas ibu, memperpendek masa rawat, dan mengurangi resiko transfusi darah, bila dibandingkan dengan mengangkat plasenta secara keseluruhan.20 Sangat mungkin apabila terjadi penyebaran dan invasi plasenta pada struktur peritoneal lain, maka dari itu bagian plasenta yang menempel pada usus atau organ harus dieksisi terlebih dahulu.21
Ketika dibiarkan dalam rongga perut, plasenta umumnya menyebabkan infeksi, abses, perlengketan, dan obstruksi usus.22,23 Obstruksi uretra parsial dengan hidronefrosis reversibel juga mungkin terjadi. Dalam laporan lain, menemukan preeklamsia menetap hingga 99 hari sampai plasenta akhirnya diangkat.5,24 Dalam kasus ini, operasi pengangkatan plasenta harus dilakukan. Jika plasenta ditinggalkan, involusi plasenta dapat dimonitor menggunakan ultrasound dan kadar serum hCG.5 Dapat juga digunakan color Doppler ultrasound untuk mengikuti perubahan dalam aliran darah ke plasenta. Dalam beberapa kasus, dan biasanya tergantung pada ukuran, fungsi plasenta menurun dengan cepat, dan plasenta akan diserap. Dalam satu kasus yang dijelaskan oleh Belfar et al., resorpsi plasenta dapat mencapai waktu 5 tahun.5 Penggunaan methotrexate (MTX) masih kontroversial. Penggunaan MTX direkomendasikan untuk mempercepat involusi tetapi dapat menyebabkan percepatan kerusakan plasenta dengan akumulasi jaringan nekrotik dan infeksi dengan pembentukan abses.27 Pada pasien, plasenta dapat sepenuhnya dikeluarkan dari rongga abdomen. Plasenta hanya mengimplantasi pada uterus, dan tidak mengimplantasi pada organ maupun dinding intraabdomen. Hal ini memudahkan pemisahan plasenta. Setelah plasenta dikeluarkan, diberikan oksitosin 20 IU secara intravena untuk mengkontraksikan rahim dengan harapan tidak terjadi perdarahan dari sisa implantasi pada uterus pasien. Simpulan Laporan kasus ini merupakan pesan penting, bahwa kehamilan abdominal dapat terlewatkan pada pemeriksaan antenatal, bahkan dengan USG. Perhatian perlu dititik beratkan kepada penilaian klinis dan evaluasi petunjuk-petunjuk kecurigaan kehamilan abdominal pada pasien. Kewaspadaan pada penatalaksanaan pasien dengan kehamilan abdominal sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang baik bagi ibu dan bayi. Daftar Pustaka 1. Mutazedin SH. Term asymptomatic abdominal pregnancy with good maternal and perinatal outcome: a J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 192
Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
2.
3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
case report. Ir J Med Sci. 2000; 25:7680. Edmonds DK, editor. Dewhurst's textbook of obstetrics and gynaecology. New York: John Wiley & Sons; 2011. Matovelo D, Ng N. Hemoperitoneum in advanced abdominal pregnancy with a live baby: a case report. BMC Res Notes. 2014; 7(1): 106. Taber BMD. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC; 1994. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS. Williams Obstetrics 24/E. New York: McGraw Hill Professional; 2014. Varma R, Mascarenhas L, James D. Successful outcome of advanced abdominal pregnancy with exclusive omental insertion. Ultrasound Obstet Gynecol. 2003; 21(2): 192–4. Atrash HK, FriedeR, Hogue CJ. Abdominal pregnancy in the United States: frequency and maternal mortality. Obstet Gynecol. 1987; 69(3): 333-7. Costa SD, Presley J, Bastert G. Advanced abdominal pregnancy. Obstet Gynecol Surv. 1991; 46(8): 515-25. Tutuncu L, Mungen E, Muhcu M, Sancaktar M, Yergok YZ. Does previous cesarean delivery increase the risk of ectopic pregnancy. Perinatal Journal. 2005; 13(2): 105-9. Cotter A, Izquierdo MD, Heredia F. Abdominal pregnancy [internet]. USA: The Fetus.net; 2009 [diakses pada tanggal 10 Juli 2015]. Tersedia dari http://www.sonoworld.com/fetus/pa ge.aspx?id=1032. Bertrand G. Imaging in the management of abdominal pregnancy: a case report and review of the literature. J Obstet Gynaecol Can. 2009; 31(1): 57–62. Krishna D, Damyanti S. Advanced abdominal pregnancy: a diagnostic and management dilemma. J Gynecol Surg. 2007; 23: 69–72. Dahab AA, Aburass R, Shawkat W, Babgi R, Essa O, Mujallid RH. Full-term extrauterine abdominal pregnancy: a
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
case report. J Med Case Rep. 2011; 5: 531. Ara S, Awais N. Abdominal pregnancy: a diagnostic dilema. Professional Med J. 2011; 18(3): 479-84. Huang K, Song L, Wang L, Gao Z, Meng Y, Lu Y. Advanced abdominal pregnancy: an increasingly challenging clinical concern for obstetricians. Int J Clin Exp Patho. 2014; 7(9): 5461-72. Hage M, Wall L, Killam A. Expectant management of abdominal pregnancy: a report of two cases. J Reprod Med. 1988; 33(4): 407-10. Stevens CA. Malformations and deformations in abdominal pregnancy. Am J Med Genet. 1993; 47(8): 1189-95. Dastur NA, Dastur AE, Tank PD. Treating Hemorrhage from Secondary Abdominal Pregnancy: Then and Now. Dalam: B-Lynch C, Keith LG, Lalonde AB, Karoshi M, editors. A Textbook of Postpartum Hemorrhage: A Comprehensive Guide to Evaluation, Management and Surgical Intervention. UK: Sapiens Publishing; 2006. hlm. 427. Mekki Y, Gilles JM, Mendez L, O’Sullivan MJ. Abdominal pregnancy: to remove or not to remove the placenta. Prim Care Update Ob Gyns. 1998; 5(4): 192. Valenzano M, Nicoletti L, Odicino F, Cocuccio S, Lorenzi P, Ragni N. Five-year follow-up of placental involution after abdominal pregnancy. J Clin Ultrasound. 2003; 31(1): 39-43. Braithwaite EA, Brewster EM. Advanced abdominal pregnancy: a case report of good maternal and perinatal outcome. West Indian Med J. 2011; 60(5): 587-9. Bergstrom R, Mueller G, Yankowitz J. A case illustrating the continued dilemmas in treating abdominal pregnancy and a potential explanation for the high rate of postsurgical febrile morbidity. Gynecol Obstet Invest. 1998; 46(4): 268-70. Martin JN, Sessums JK, Martin RW, Pryor JA, Morrison JC. Abdominal pregnancy: current concepts of
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 193
Maulana ׀Kehamilan Abdominal Lanjut
24.
25.
26.
27.
management. Obstet Gynecol. 1988; 71(4): 549-57. Piering WF, Garancis JG, Becker CG, Beres JA, Lemann J. Preeclampsia related to a functioning extrauterine placenta: report of a case and 25-year follow-up. Am J Kidney Dis. 1993; 21(3): 310-3. Tang J, Kapp N, Dragoman M, de Souza JP. WHO recommendations for misoprostol use for obstetric and gynecologic indications. Int J Gynecol Obstet. 2013; 121(2): 186-9. Roeshadi RH, Tobing CL. Perbandingan efektifitas antara misoprostol dengan kateter foley untuk pematangan serviks dalam rangka induksi persalinan [internet]. USA: Research Gate; 2008 [diakses pada tanggal 10 Juli 2015]. Tersedia dari http://www.researchgate.net/publicat ion/42324368_Perbandingan_Efektifit as_Antara_Misoprostol_Dengan_Kate ter_Foley_Untuk_Pematangan_Servik s_Dalam_Rangka_Induksi_Persalinan. Rahman MS, Al-Suleiman SA, Rahman J, Al-Sibai MH. Advanced abdominal pregnancy-observations in 10 cases. Obstet Gynecol. 1982; 59(3): 366-72.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 194