ADOPSI INOVASI DALAM PEMBERDAYAAN BISNIS MIKRO
ADOPSI INOVASI DALAM PEMBERDAYAAN BISNIS MIKRO Oleh: Dra. Eny Kustiyah, MM (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Batik Surakarta) Abstrak Sebagai upaya pemberdayaan bisnis mikro komunikasi pembangunan sangat berperanan. Peranan inovasi dalam komunikasi pembangunan di antaranya adalah adopsi inovasi. Inovasi sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan, diterapkan/dilaksanakan oleh sebagaian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan untuk mendorong terjadinya perubahanperubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikanperbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masayarakat yang bersangkutan menjadi tidak berarti bila tidak diadopsi oleh masyarakat. Dalam pemberdayaan bisnis mikro suatu inovasi dapat diadopsi kecepatannya dipengaruhi oleh banyak factor. Faktor-faktor tersebut meliputi: Pertama, Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik yang melekat pada inovasinya sendiri maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi keadaan lingkungannya. Kedua, Sifat sasarannya, Ketiga, Cara pengambilan keputusan terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakatnya, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi suatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Keempat, Saluran komunikasi yang digunakan. Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat dismpaikan lewat media massa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melelui media massa, maka proses adopsi adopsi akan berlangsung relative lebih cepat dibanding dengan inovasi yang harus disampaikna lewat media antar pribadi, di samping itu juga faktor keadaan penyuluh. Kata Kunci: Adopsi, Inovasi, Pemberdayaan, Bisnis Mikro I. PENDAHULUAN a. Latar belakang Potensi usaha kecil untuk tumbuh ditentukan terutama oleh aspek permintaan dari pasar terhadap produk tersebut. Banyak Usaha kecil sulit berkembang dan tidak dapat bertahan hidup semata-mata karena tidak ada pasar untuk produknya. Untuk dapat masuk ke pasar dan mempertahankan posisi pasarnya, aspek persaingan menjadi sangat krusial untuk ditelaah. Mempelajari potensi pasar dan daya saing usaha
kecil akan menggambarkan situasi nyata yang dihadapi oleh usaha kecil sebagai bagian dari aktivitas ekonomi yang ada. Potensi pasar dari produk atau jasa yang dihasilkan usaha kecil dipengaruhi terutama oleh karakteristik demand dan supply dari produk atau jasa tersebut. Demand yang besar terhadap suatu produk atau jasa belum tentu secara otomatis menjadi peluang pasar bagi usaha kecil, karena hal ini biasanya akan menarik unit usaha yang lebih besar untuk melakukan penetrasi pasar. Sebaliknya, ada kasus
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
848
dimana pertumbuhan produk tertetu yang negatif misalnya karena tingkat konsumsi yang berkurang, membuat produk tersebut menjadi lebih effektif diproduksi oleh usaha skala kecil. Ini berarti terbukanya peluang pasar bagi usaha kecil. Bahkan ada kecenderungan terjadinya gejala Small Sizing, bahwa hanya perusahaan berukuran kecil dan sedang atau perusahaan besar yang sudah merestruktur dirinya menjadi kecil yang bertahan hidup. Gejala pengecilan skala usaha ini banyak dilakukan dengan cara restrukturisasi, mencari ukuran kecil yang optimal agar keluwesan dan kecepatan bertindak dalam era persaingan yang cepat ini dapat diperoleh. Berbagai laporan juga mendukung adanya kecenderungan ini; Mc Kinsey misalnya, dalam laporannya berjudul “Emerging Exporters” menyebutkan bahwa memang di dunia ini terjadi pergeseran ke arah flexible manufacturing dan penerapan pola outsourcing sehingga perusahaan kecil merupakan bagian yang makin memainkan peran penting dalam peta bisnis dunia. Hal ini dilakukan untuk membuatnya lebih innovatif dan fleksibel dalam melakukan penetrasi pasar. Gejala lain dalam upaya menjaga keunggulan karena skala kecil ini adalah makin berkurangnya upaya menggabung / merger dan pengambilalihan perusahaan antar negara yang membuat perusahaan makin besar, dan menggantikannya dengan kerjasama strategis (strategic alliances), suatu kerjasama internasional antar perusahaan kecil. Melalui cara ini, mereka tetap meraih keuntungan perusahaan berskala kecil: yaitu luwes, cepat beradaptasi dan inno-
vatif; tetapi juga mempunyai jaringan dan daya saing besar yang dimasa lalu hanya dimiliki oleh perusahaanperusahaan besar. Gejala kerjasama strategis ini juga merupakan refleksi ketakutan perusahaan-perusahaan tersebut untuk menjadi besar lagi yang bertentangan dengan kecenderungan yang sedang berlangsung. Dengan demikian ke depan bisnis mikro akan lebih berkembag apabila diberdayakan sebagaimana mestinya. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana peran inovasi dalam penyampaian pesan pembangunan ? 2. Bagaimana adopsi inovasi dalam komunikasi pembangunan ? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kecepatan inovasi adopsi ? 4. Bagaimana proses difusi inovasi dalam proses pembangunan ? C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dengan pemberdayaan masyarakat ini adalah: 1. Untuk mengetahui peran inovasi dalam penyampaian pesan pembangunan dalam rangka pemberdayaan bisnis mikro ? 2. Untuk mengetahui adopsi inovasi dalam komunikasi pembangunan dalam pemberdayaan bisnis mikro? 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi kecepatan inovasi adopsi ? 4. Untuk mengetahui bagaimana proses difusi inovasi dalam proses pembangunan dalam pemberdayaan bisnis mikro ? II. Tinjauan Teori a. Inovasi Sebagai Pesan Pembangunan
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
849
Inti dari setiap upaya pembangunan yang disampaikan melalui komunikasi pembangunan, pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahan-perubahan perilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup yang mencakup banyak aspek baik ekonomi, sosial, budaya, iedeologi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Karena itu pesanpesan pembangunan yang dikomunikasikan harus mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat “pembaharuan” yang biasa disebut dengan istilah keinovatifan atau “innovativeness”. Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai : ide-ide baru, praktek-praktek baru atau obyek-obyek yang dirasakan sesuai sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat sasaran. Sedangkan Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Pengertian “baru” di sini mengandung makna bukan sekedar: ”baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum diterima secera luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam penegrtian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Pengertian yang merangkum dari berbagai definisi inovasi adalah: “Sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui,
diterima, dan digunakan diterapkan/ dilaksanakan oleh sebagaian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan untuk mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masayarakt yang bersangkutan (Totok Mardikanto, 1988)”. 2. Adopsi Inovasi dalam Komunikasi Pembangunan Istilah adopsi, dalam proses komunikasi pembangunan, pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan yang berupa “inovasi” melalui komunikasi pembangunan maka proses adopsi itu dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi pembangunan yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan perilaku. Pengertian adopai sering rancu dengan “adaptasi” yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar meruapkan proses penerimaan sesuatu yang “baru” (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang “baru” yang
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
850
ditawarkan dan diupayakn oleh pihak lain (penyuluh). 3. Tahapan adopsi Pada dasarnya proses adopsi inovasi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/ menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial) dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh). Tahapan-tahapan adopsi itu adalah: 1) Awaraness, atau keasadaran, yaitu sasaran mulai sadar setelah mengetahui tentang adanya inovasi yang disampaikan atau ditawarkan oleh penyuluh melalui komunikasi pembangunan. 2) Interest, atau tumbuhnya minat. Tahapan ini seringkali ditandai oleh keinginannya untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih jauh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. 3) Evaluation, atau penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi, setelah memeproleh informasi yang lebih lengkap atau penjelasan lebih mendalam tentang inovasi tersebut dari penyuluh atau pihak-pihak yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan (a.l produsen, pedagang, lembaga, dinas/ instansi). Pada tahap penilaian ini masyarakat sasaran tidak hanya melakukan penilaian terhadap aspek teknisnya saja, tetapi juga aspek ekonomi maupun aspekaspek sosial budaya, bahkan
seringkali juga ditinjau dari aspek politis atau kesesuaiannya dengan kebijakan pembangunan nasional dan regional. 4) Trial atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan penilaiannya sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi. Kegiatan “mencoba” ini seringkali harus dilakukan berulang-ulang sampai yang bersangkutan benar-benar meyakini tentang manfaat dan keunggulan inovasi yang dita-warkan dibanding dengan kebiasaankebiasaan atau tekno-logi yang telah biasa diterapkan (yang akan digantikan). 5) Adopsi atau menerima menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan/diamatinya sendiri. Pada tahapan ini, masyarakat dengan kemauan dan upayanya sendiri berusaha memenuhi segala persyarakat yang diperlukan, serta telah siap menanggung segala resiko yang harus dihadapinya. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi Kecepatan adopsi ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu : 1) Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsic yang melekat pada inovasinya sendiri maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi keadaan lingkungannya (Totok Mardikanto, 1988). 2) Sifat sasarannya Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya mengadopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempenga-
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
851
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
ruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yang meliputi : Luas usaha tani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Tingkat pendapatan, seperti halnya luas usaha tani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi. Keberanian mengambil resiko, sebab, pada tahap awal biasanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan. Karena itu individu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif. Umur, semakin tua (di atas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatankegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri. Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat. Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif, skeptis (tidak percaya) pada sesuatu yang baru. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan yang inovatif biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi seperti :
lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinasdinas yang terkait, media massa, tokoh-tokoh masyarakt (petani) setempat maupun dari luar, maupun lembaga-lembaga komersial (pedagang dll). Berbeda dengan golongan yang inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (petani) setempat, dan relative sedikit memanfaatkan informasi dari media massa. Selain itu, Dixon (1982) mengemukakan beberapa sifat individu yang sangat berperan dalam mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, yang berupa : a) Prasangka inter personal Adanya sifat sekelompok masyarakat (terutama yang masih tertutup) untuk mencurigai setiap tindakan orang-orang yang berasal dari luar system sosialnya, seringkali berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Karena itu, proses adopsi inovasi dapat dipercepat jika penyuluh dapat memanfaatkan tokoh-tokoh atau panutan masyarakat setempat. Sebab, di dalam masyarakat sasaran seperti ini, mereka akan cepat mengadopsi inovasi yang disampaikan oleh orang--orang yang telah mereka kenal dan pihak-pihak yang senasib dan sepenanggungan. b) Pandangan terhadap kondisi lingkungannya yang terbatas. Foster (1965) dan Shanin (1973) dariu hasil pengamatannya menyimpulkan bahwa kecepatn adopsi inovasi sangat tergantung pada persepsi sasaran terhadap keadaan lingkungan sosial di sekitarnya. Jelasnya, jika keadaan masyarakat
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
852
(sosial ekonomi, teknologi yang diterapkan) relative seragam, mereka akan kurang terdorong untuk mengadopsi inovasi yang ditawarkan guna melakukan perubahanperubahan. Sebaliknya, jika ada seseorang atau beberapa anggota masyarakat sasaran yang memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimilikinya, mereka akan cenderung berupaya keras untuk melakukan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan atau perbaikan mutu hidup mereka sendiri dan masyarakatnya. c) Sikap terhadap penguasa Di dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya terdapat dualisme tentang sikap masyarakat terhadap penguasanya. Di satu pihak, elit penguasa dinilai sebagai kelompok yang selalu mendominasi dan mengeksploitasi warga masyarakat pada umumnya, dan di pihak lain dinilai sebagai pelindung dan kelompok yang memegang kekuasaan mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Dualisme terhadap penguasa seperti ini, juga berpengaruh kepada kecepatan adopsi inovasi, terutama jika kgiatan penyuluhannya selalu diikitui/didampingi atau dilaksanakan sendiri oleh aparat pemerintah. Sehingga kehadiran aparat penguasa kadang-kadang sangat diperlukan, tetapi di pihak lain seringkali juga harus dihindarkan. d) Sikap kekeluargaan Sebagaimana juga telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, tidak satupun warga masyarakat sasaran yang mampu mengambil keputusan secara individual, tanpa mengikutsertakan keluarga atau kerabat dekatnya. Oleh sebab itu, di
dalam system sosial yang sikap kekeluargaannya masih tebal, adopsi inovasi berlangsung relative lambat, karena setiap pengambilan keputusan untuk mengadopsi selalu harus menunggu kesepakatan seluruh anggota keluarga atau kerabatnya. Dan ini relative berbeda dengan masyarakat komersial yang individualistis, yang pada umunya dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengadops inovasi yang ditawarkan penyuluhnya. e) Fatalisme Fatalisme adalah suatu kondisi yang memunjukkan ketidakmampuan seseorang untuk merencanakan masa depannya sendiri, sebagai akibat dari pengaruh faktor-faktor luar yang tidak mampu dikuasainya. Kondisi seperti ini, umumnya dimiliki oleh masyarakat petani yang kehidupan maupun usaha taninya rmasih sangat tergantung kepada keadaan alam, dan atau diperkuat lagi dengan system pemerintahan otoriter yang kurang memeberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi fatalisme seperti itu, adopsi inovasi akan berlangsung lamban, karena akan menghadapi resiko dan ketidakpastian yang sangat besar. f)
Kelemahan aspirasi Sebagai akibat lanjutan dari kondisi fatalisme adalah lemahnya aspirasi atau cita-cita untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar masyarakat sasaran akan bersifat pasrah, dan cukup puas dengan apa yang dinikmati tanpa adanya cita-cita dan harapan untuk dapat hidup yang lebih baik. Sehingga, setiap inovasi yang
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
853
ditawarkan akan sangat lamban diadopsi. g) Hanya berpikir untuk hari ini Dengan lemahnya aspirasi yang disebabkan oleh fatalisme di atas, warga masyarakat yang bersangkutan tidak pernah berpikir tentang hari esok. Yang menyelimuti hati dan pikiran mereka hanyalah: bagaimana untuk bisa hidup hari ini sepuas-puasnya, sedang hari esok tergantung pada nasib. Masyarakat seperti ini hanya berpandangan “quick yielding” yang cepat dapat dinikmati, dan akan sangat mengadopsi inovasi yang umumnya berupa investasi untuk mencvapai tujuan perbaikan mutu hidup dalam jangka panjang. h) Kosmopolitness, yaitu tingkat hubungannya dengan “dunia luar” di luar system sosialnya sendiri. Kosmopolitnes dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan serta pemanfaatan media massa. Bagi warga masyarakat yang relative lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi, bagi yang lebih “localite” (tertutup, terkungkung dalam system sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar system sosialnya sendiri. i) Kemampuan berpikir kritis, dalam arti kemampuan untuk menilai sesuaatu keadaan (baik/buruk, pantas/tidak pantas, dll). Akibatnya adalah, meskipun inovasi yang ditawarkan itu akan benar-benar dapat memberikan peluang untuk meraih mutu hidup yang lebih
baik, proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi tetap juga berjalan lamban. j) Tingkat kemajuan peradabannya Kemajuan tingkat peradaban, akan sangat menentukan ragam dan mutu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh setiap individu dalam system sosial yang bersangkutan (Lippit, 1958). Karena itu, tingkat adopsi inovasi di dalam masyarakat yang lebih maju akan relative lebih cepat, karena setiap warga masyarakat terdorong untuk selalu ingin memenuhi kebutuhankebutuhan yang terus menerus mengalami perubahan, baik dalam ragam kebutuhannya maupun mutu yang diinginkannya. 3).Cara pengambilan keputusan Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakatnya, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi suatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individual) relative lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kelompok) warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus menunggu peraturan-peraturan tertentu (seperti: rekomendasi pemerintah/penguasa). 4) Saluran komunikasi yang digunakan Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat dismpaikan lewat media massa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melelui media massa, maka proses adopsi adopsi akan berlangsung relative
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
854
lebih cepat dibanding dengan inovasi yang harus disampaikna lewat media antar pribadi. Sebaliknya, jika inovasi tersebut relative sulit disampaikan lewat media massa atau sasarannya belum mampu (dapat) memanfaatkan media massa, inovasi yang disampaikan lewat media antar pribadi akan lebih cepat dapat diadopsi masyarakat sasarannya. 5) Keadaan penyuluh Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, kecepatan adopsi juga sangat ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan penyuluh, khususnya tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk mempromosikan “inovasinya”. Semakin rajin penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan trampil menggunakan saluran komunikasi yang paling efektif, proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat dibanding dengan yang lainnya. 5. Difusi Inovasi Dalam Proses Pembangunan Yang dimaksud dengan proses difusi inovasi adalah:perembesan adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam system sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Seperti di atas sudah dikemukakan, kecepatan adopsi (dan difusi) juga tergantung kepada aktivitas yang dilakukukan oleh penyuluhnya sendiri. Sehubungan dengan itu,
selaras dengan percakapan tentang kekuatan-kekuatan yang mendorong penyuluhan dan percakapan tentang peran penyuluh, setiap penyuluh diharapkan dapat mempercepat proses difusi/inovasi, melalui: a) Melakukan diagnosa terhadap masalah-masalah masyarakatnya, serta kebutuhan-kebutuhan nyata (real need) yang belum dirasakan masyarakatnya. b) Membuat masyarakat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya, dengan cara menunjukkan: kelemahankelemahan mereka, masalahmasalah mereka, adanya kebutuhan-kebutuhan baru yang mendorong mereka untuk siap melakukan perubahan-perubahan; sedemikian rupa sehingga dengan kesadarannya sendiri mereka termotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan. c) Menjalin hubungan erat dengan masyarakat sasaran, dan bersamaan dengan itu semakin menunjukkan kesiapannya untuk memabntu mereka serta membuat mereka yakin bahwa dia mampu mewujudkan mereka untuk memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan baru tadi. d) Mendukung dan memabntu masyarakat sasaran, agar keinginan-keinginan (untuk melakukan perubahan) tadi dapat benar-benar menjadi tindakan nyata untuk melakukan perubahan. e) Memantabkan hubungan dengan masyarakat, dan pada akhirnya melepaskan mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan-perubahan tan-
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
855
pa harus selalu menggatungkan bantuan guna melaksanakan perubahan-perubahan yang dapat mereka prakarsai dan dilaksanakan sendiri. III. Pembahasan Sebagai upaya pemberdayaan bisnis mikro komunikasi pembangunan sangat berperanan. Peranan inovasi dalam komunikasi pembangunan di antaranya adalah adopsi inovasi. Inovasi sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan, diterapkan/dilaksanakan oleh sebagaian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan untuk mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masayarakat yang bersangkutan menjadi tidak berarti bila tidak diadopsi oleh masyarakat. Dengan demikian inovasi akan berarti dan memberi manfaat bila inovasi diketahui dan dierima oleh masyarakat dan selanjutnya diadopsi. Sudah barang tentu inovasi tidak begitu saja diterima oleh masyarakat bila masyarakat menilai bahwa inovasi ersebut tidak memberikan keuntungan padanya. Poses adopsi memerlukan waktu, tidak begitu saja suatu inovasi lahir langsung disambut dan diadopsi, tetapi melalui suatu tahapan. Adapun tahapan dalam adopsi inovasi meliputi: Pertama, Awaraness, atau keasadaran, yaitu sasaran mulai sadar setelah mengetahui tentang adanya inovasi yang disampaikan atau ditawarkan oleh penyuluh melalui
komunikasi pembangunan. Kedua, Interest, atau tumbuhnya minat. Tahapan ini seringkali ditandai oleh keinginannya untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih jauh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. Ketiga, Evaluation, atau penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi, setelah memeproleh informasi yang lebih lengkap atau penjelasan lebih mendalam tentang inovasi tersebut dari penyuluh atau pihak-pihak yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan (a.l produsen, pedagang, lembaga, dinas/instansi). Artinya butuh waktu cukup lama suatu inovasi diadopsi oleh masyarakat. Dalam pemberdayaan bisnis mikro suatu inovasi dapat diadopsi kecepatannya dipengaruhi oleh banyak factor. Factor-faktor tersebut meliputi: Pertama, Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsic yang melekat pada inovasinya sendiri maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi keadaan lingkungannya. Kedua, Sifat sasarannya, Ketiga, Cara pengambilan keputusan terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakatnya, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi suatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Keempat, Saluran komunikasi yang digunakan. Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat dismpaikan lewat media massa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melelui media massa, maka proses adopsi adopsi akan berlangsung relative lebih cepat dibanding dengan inovasi yang harus disampaikna lewat media antar
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
856
pribadi, di samping itu juga factor keadaan penyuluh Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, kecepatan adopsi juga sangat ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan penyuluh, khususnya tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk mempromosikan “inovasinya”. Semakin rajin penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan trampil menggunakan saluran komunikasi yang paling efektif, proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat dibanding dengan yang lainnya. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa proses adopsi tidak selalu mengalir secara langsung atau linier, tetapi juga dapat melalui peremesan. Perembesan ini yang dikenal dengan istilah difusi. Proses difusi inovasi adalah: perembesan adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam system sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah, jika dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari luar system sosial masyarakat sasaran, sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari dalam system sosial masyarakat sasaran itu sendiri. Memperhatikan hal tersebut maka dalam pemberdayaa bisnis mikro seorang penyuluh hendaknya: Pertama, melakukan diagnosa terhadap masalah-masalah masyarakatnya, serta kebutuhan-kebutuhan nyata (real need) yang belum
dirasakan masyarakatnya. Kedua, membuat masyarakat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya, dengan cara menunjukkan: kelemahan-kelemahan mereka, masalah-masalah mereka, adanya kebutuhan-kebutuhan baru yang mendorong mereka untuk siap melakukan perubahan-perubahan; sedemikian rupa sehingga dengan kesadarannya sendiri mereka termotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan. Ketiga, menjalin hubungan erat dengan masyarakat sasaran, dan bersamaan dengan itu semakin menunjukkan kesiapannya untuk memabntu mereka serta membuat mereka yakin bahwa dia mampu mewujudkan mereka untuk memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan baru tadi. Keempat, mendukung dan memabantu masyarakat sasaran, agar keinginan-keinginan (untuk melakukan perubahan) tadi dapat nbenarbenar menjadi tindakan nyata untuk melakukan perubahan. Dan kelima, memantabkan hubungan dengan masyarakat, dan pada akhirnya melepaskan mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan-perubahan tanpa harus selalu menggatungkan bantuan guna melaksanakan perubahan-perubahan yang dapat mereka prakarsai dan dilaksanakan sendiri. IV. Kesimpulan Berdasarkan uaraian tersebut maka dapat disimpulkan dalam pemberdayaan bisnis mikro seorang penyuluh hendaknya: 1. Melakukan diagnosa terhadap masalah-masalah masyarakatnya, serta kebutuhan-kebutuhan nyata
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
857
(real need) yang belum dirasakan masyarakatnya. 2. Membuat masyarakat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya, dengan cara menunjukkan: kelemahan-kelemahan mereka, masalah-masalah mereka, adanya kebutuhankebutuhan baru yang mendorong mereka untuk siap melakukan perubahan-perubahan; sedemikian rupa sehingga dengan kesadarannya sendiri mereka termotivasi untuk melakukan perubahanperubahan. 3. Menjalin hubungan erat dengan masyarakat sasaran, dan bersamaan dengan itu semakin menunjukkan kesiapannya untuk memabntu mereka serta membuat
mereka yakin bahwa dia mampu mewujudkan mereka untuk memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhankebutuhan baru tadi. 4. mendukung dan memabantu masyarakat sasaran, agar keinginan-keinginan (untuk melakukan perubahan) tadi dapat benar-benar menjadi tindakan nyata untuk melakukan perubahan. Dan kelima, memantabkan hubungan dengan masyarakat, dan pada akhirnya melepaskan mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan-perubahan tanpa harus selalu menggatungkan bantuan guna melaksanakan perubahanperubahan yang dapat mereka prakarsai dan dilaksanakan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Mardikanto. T 2002. A Selecting Reading in Agricultural Extension: Lesson and Practices., 2002 -----------------. 2002. A Selecting Reading in Agricultural Extension: Change, Challenge, and Solutions -----------------. 2003. Redifinisi dan revitalisasi Penyuluhan Pertanian ------------------, 2007 a. Pengantar Ilmu Pertanian. Surakarta. Pengembangan Agribisnis dan Pengembangan Sosial
Pusat
-----------------, 2007 b. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta. Pusat Pengembangan Agribisnis dan Perhutanan Sosial. Mc. Porter, Competitive Strategy, 1980. Naisbitt, John, Global Paradox: “The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players”, 1993. Swanson (ed) 1997. Improving Agricultural Extension: A Reference ManualFAO United Nations Rome.
GEMA, Th. Th. XXIII/41/Agustus 2010 - Januari 2011
858