ADMINISTRASI NEGARA KONTEMPORER (Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Ditinjau dari Aspek Pelayanan Umum)
Oleh : H.M. Arry Djauhari Abstrak Peningkatan dan pemerataan pelayanan publik yang menjadi salah satu tujuan kebijakan otonomi daerah dalam UU No. 5 Tahun 1974 dalam implementasinya semakin jauh dari kenyataan, Pemerintah Daerah menjadi semakin tidak berdaya dan berakibat kepada birokrasi yang bertele-tele dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, bahkan cenderung memeras kepada yang dilayani. Gagalnya implementasi kebijakan otonomi daerah dalam meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat di daerah, mendorong lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan satu paket dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerinatah Pusat dan Daerah. Tujuan kebijakan otonomi daerah yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah peningkatan pelayanan, kesejahtearaan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, an pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menjamin keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan dan keleluasaan untuk mengatur clan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Untuk mendayagunakan kewenangan itu, Pemerintah Pusat menyerahkan dan mengalihkan pembiayaan, sarana clan prasarana, serta sumberdaya manusia kepada Pemerintah Daerah. Hal ini akan efektif jika diikuti pula oleh pemenuhan beberapa prinsip administrasi negara kontemporer dalam manajemen pelayanan umum sebagai berikut: 1) Prinsip Pemantapan Standar Pelayanan Publik; 2) Prinsip Penggunaan Ukuran Kinerja, sebagai berikut: (a) Produktivitas, (b) Kualitas layanan., dan (c) Responsivita.
Kata Kunci : Administrasi Negara, kontemporer, Implementasi Kebijakan, Otonomi Daerah, Pelayanan Publik.
A. Latar Belakang Salah satu ciri utama dari negara yang sedang berkembang, terutama negara bekas jajahan, adalah besamya dominasi birokrasi dalam
1
kegiatan pelayanan publik, pemerintahan dan pembangunan. Keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam melaksanakan pembangunan telah mendorong pemerintah di negara-negara berkembang untuk melakukan intervensi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di Indonesia pada saat memperoleh kemerdekaan, birokrasi publik adalah satu-satunya institusi warisan kolonial yang bisa dipergunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik dan membangun birokrasi publik menjadi satu-satunya agen yang dapat digunakan untuk mempercepat proses pelayanan publik dan pembangunan. Lebih dari itu, melalui pengembangan birokrasi yang besar dan mrpcisat, maka Pemerintah akan dapat dengan lebih mudah untuk momobilisasikan risorsis untuk pelayanan publik, pembangunan nasional Ann mencegah timbulnya gerakan separatis. Ketimpangan distribusi mmberdaya alam antar wilayah dan munculnya gerakan separatisme pada awal kemerdekaan meyakinkan pemerintah akan perlunya mrnaembangkan Pemerintah Pusat yang kuat dan didukung oleh birokrasi publik yang besar pula. Peran yang dominan dari pemerintah pusat dan birokrasinya dalam peiayanan publik dan pembangunan di daerah diharapkan dapat awmpercepat terbentuknya nation building dan mencegah munculnya Srakan separatis yang mengancam kelangsungan negara kesatuan. Model imi tidak hanya mampu mempercepat pelaksanaan pelayanan publik dan pembangunan sosial ekonomi, tetapi juga melahirkan berbagai masalah mengganggu kelangsungan pelayanan publik dan pembangunan sosial ekonomi, tetapi juga melahirkan berbagai masalah yang mengganggu kelangsungan pelayanan publik an pembangunan itu wndiri. Keadaan semacam ini sangat kondusif bagi munculnya berbagai patalogi birokrasi, seperti in efisiensi, proseduralisme, dan penyalahgunaan wewenang. Di samping itu pengembangan Pemerintah Pusat yang kuat telah mendorong berkembangnya norma dan nilai-nilai birokrasi seperti arizntasi pada target, sentralisasi kekuasaan dan keseragaman yang bahkan wringkali berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Fenomena ini mengentak dan berkembang secara signifikan terutama pada masa 32 (tiga puluh dua) tahun terakhir. Pada masa itu, pemerataan pelayanan publik dan pembangunan Jdak termanifestasikan sesuai dengan maksud sebenarnya. Pelayanan publik dan hasil-hasil pembangunan hanya dapat dinikmati sebagian kecil masyarakat Indonesia, dilain pihak secara relatif dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat. Indonesia belum tersentuh dari aspek xmerataan tersebut. Kemampuan ekonomi dan potensi yang dimiliki
2
daerah yang seharusnya mampu mengangkat derajat kehidupan masyarakat setempat, dalam kenyataannya tidak banyak memberikan arti. Malahan kondisi masyarakat masih saja memprihatinkan, padahal sumber daya alam terkuras secara terus menerus. Pandangan umum mengakui bahwa pemerintah yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya. warga masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan pemerintah daerah yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis. Pada masa Orde Baru, Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang secara Yuridis formal memberi landasan bagi upaya desentralisasi atau lebih dikenal dengan otonomi daerah. Hasil penelitian dan penggajian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut lebih mendorong timbulnya sentralisasi. Kenyataan menunjukkan, bahwa berbagai kepentingan pemerintahan atasan yakni Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I tertentu banyak berpengaruh dan mencampuri penyelenggaraan urusan-urusan di Daerah Tingkat II (Warsito Utomo. 1997). . Karena itu otonomi daerah selalu diidentikkan dengan penyerahan urusan. Otonomi dalam konteks ini tidak lebih dari soal penyerahan urusan dari Pemerintah Pusat (power full) kepada Pemerintah Daerah (powerless). Pemerintah Pusat menjadi - pihak yang mendominasi penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat hanya menyerahkan urusan, tetapi tidak mendelegasikan dana, personil dan organisasi (kelembagaan) yang memadai untuk menjalankan urusanurusan yang dilimpahkan. Bidang kelembagaan di daerah diintervensi oleh Pemerintah Pusat. Ini berakibat kelembagaan di daerah bentuknya menjadi seragam kehadirannya tidak begitu diperlukan, ukurannya yang besaran, dan jalur kerjanya yang berkepanjangan. Akibatnya, lembaga seperti ini tidak pernah mampu mendorong keberhasilan implementasi kebijakan otonomi. Dalam bidang personel, daerah tidak memiliki kewenangan yang bulat dalam pengangkatan, penempatan, promosi, pendidikan dan pelatihan hingga pemberhentian. Ruang kewenangan itu amat kecil dimiliki daerah. Daerah tidak berhak mengangkat pegawai, dan tinggal menerima saja jatah pegawai yang diberikan pusat, sekalipun kualifikasinya tidak cocok dengan kebutuhan daerah. Hasilnya sudah bisa
3
dibayangkan, personel-personel yang menggerakan roda otonomi daerah uiak superrior dan kurang profesional. Begitu pula dalam bidang keuangan. Guna membiayai keperluan aperasional lembaga clan personel dibutuhkan dana yang memadai. 4palagi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Banyak daerah eaDnomi sangat tergantung pembiayaan APBD-nya kepada Pemerintah Plusat. Penyebabnya tidak bisa ditumpahkan pada daerah saja, seperti mreka disalahkan tidak mampu menggali pendapatan asli daerahnya. Kunci permasalahannya j ustru terletak pada Pemerintah Pusat yang selama imi tidak pernah mau menyerahkan sumber-sumber keuangan yang Potensial kepada daerah. Ini berarti daerah tidak memiliki kepastian clan janinan soal pembiayaan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Kondisi ini menyebabkan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak i+erdaya dalam memberikan pelayanan publik yang memadai dalam arti untuk memenuhi tuntutan, kebutuhan, permintaan masyarakat di daerahnya. Sebaliknya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan yang -%esar justru tidak mampu mengenali clan memenuhi tuntutan, kebutuhan, pvrmintaan masyarakat lokal yang heterogen clan dinamis. Dari pelbagai penelitian yang dilakukan (Tjokrowinoto. 1990; Mustopadidjaja, 1995) ditemukan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dengan berbagai peraturan pelaksanaannya secara faktual belum mendorong daerah otonom untuk mandiri, terutama 3alam menggunakan kewenangan yang telah diberikan. Asas desentralisasi yang menekankan kerangka ideal `berotonomi harus ber-automoney', sebagaimana dimaksud UU Nomor 5 Tahun 1974 telah bergeser jauh dari konsep semula, clan bahkan otonomi yang diidam-:,damkan telah berubah menjadi sentralisasi dengan nuansa represif yang sangat kental. Peningkatan clan pemerataan pelayanan publik yang menjadi salah satu tujuan determinasi dari kebijakan otonomi daerah yang dituangkan rnelalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 itu dalam implementasinya makin menjauh dari kenyataan. Bahkan yang muncul adalah model Pemerintah Pusat yang kuat didukung oleh birokrasi publik yang besar Jan makin melembaga. menyebabkan Pemerintah Daerah menjadi tidak berdaya, dan berakibat birokrasi menjadi bertele-tele dalam memberikan pelayanan, bahkan cenderung, memeras masyarakat yang dilayani dengan segala kebijakan yang dibuat, kurang aksesibel, in efisiensi, serta kurang mampu menghasilkan clan mengimplementasikan kebijakan publik yang dapat memberikan pelayanan yang baik, bermutu dan adil kepada segenap lapisan masyarakat.
4
Hasil penelitian menggambarkan bahwa dengan model birokrasi yang tersentralisasi dan pemerintah daerah yang tidak berdaya. mengakibatkan pelayanan publik telah menjadi terlalu mahal bagi golongan miskin. Akibatnya akses pelayanan publik itu lebih bias kepada golongan menengah ke atas yang bermukim di kota, clan subsidi pemerintah untuk pelayanan publik pun lebih menguntungkan golongan mareka, padahal golongan miskinlah yang sepantasnya mendapat pertolongan. Kondisi ini dialami oleh hampir setiap lapisan masyarakat pengguna barang clan jasa pelayanan di setiap daerah (Sofian Effendi, 1986). Bila kinerja birokrasi pelayanan publik diukur dari indikatorindikator pemerataan clan kualitas pelayanan seperti yang dilakukan oleh Hassan dan Effendi (1994), clan Dwiyanto dkk. (1994), nampak bahwa prestasi birokrasi publik dalam pelayanan publik belumlah seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Pelayanan publik pada umumnya cenderung terlalu bias kepada kelompok masyarakat kota dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, kualitasnya masih rendah, serta amat lamban. Fakta pada banyak Pemerintah Kabupaten/Kota menggambarkan beberapa masalah pelayanan publik, sebagai berikut : 1. Jasa pelayanan perizinan yang diberikan di daerah Kabupaten dan Kota Bandung, seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Penerbitan Sertifikat Tanah, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, KIR Kendaraan Bermotor, Izin Investasi. Penerbitan Kartu Tanda Penduduk, dan lain-lain mengandung permasalahan berupa ketidakpastian persyaratan, biaya dan waktu penyelesaian pelayanan, serta tersumbatnya saluran informasi masyarakat untuk menyampaikan ketidakpuasan. 2. Jasa pelayanan pendidikan tingkat dasar pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa barat ternyata yang dapat menikmati pendidikan tersebut belum mencapai 100%, hanya dapat mencapai 85% dari anakanak usia sekolah dasar (7 - 12 tahun). Di samping itu ratio SD terhadap anak usia sekolah dasar hanya mencapai 0,00408 atau I SD berbanding 245 penduduk usia SD. 3. Jas Pelayanan Kesehatan di Kabupaten di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat dilihat dari fasilitas kesehatan pemerintah (rumah sakit, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu) hanya tersedia dengan ratio I per 10.000 penduduk. Sedangkan tenaga medis tersedia dengan ratio 5 per 10.000 penduduk atau I tenaga medis untuk 2.000 penduduk.
5
4. Di desa-desa pada Kabupaten dan Kota, ternyata hanya 32% rumah tangga mendapatkan pelayanan air ledeng dan sumur pompa, dan 47% mendapatkan pelayanan listrik. 5. Permintaan dan kebutuhan masyarakat di Kabupaten dan kota, seringkali tidak dapat dipenuhi oleh program kegiatan Pemerintah Kabupaten/Kota (responden rendah). Jelasnya program, kegiatan, dan proyek Pemerintah Kabupaten/Kota tidak sesuai dengan permintaan dan harapan masyarakat. Misalnya, pedagang tidak dapat menempati kembali pasar, setelah direnovasi. Di samping itu pada satu sisi los/kios dan petak di pasar yang dibangun ternyata tidak seluruhnya ditempati pedagang. Namun pada sisi lain ternyata banyak pedagang kaki lima yang memenuhi jalan jalan. Dalam pembangunan beberapa sarana irigasi, ternyata sawah yang akan dialiri air tidak ada. Sebaliknya terjadi banyak sawah yang perlu pengairan, ternyata tidak pernah dibangun irigasinya. Banyak jalan umum yang perlu direhabilitasi/diperbaiki karena padatnya arus kendaraan, tidak diperbaiki. Namun jalan yang tidak padat arus kendaraan diperbaiki secara berkala. (Hasil Penelitian Kerjasama STPDN dan Pemerintah Propinsi Jawa barat, 2001). Berdasarkan fakta dikemukakan di atas dapat dinyatakan bahwa 7-vningkatan dan pemerataan pelayanan publik yang menjadi salah satu :ujuan determinan dari kebijakan otonomi daerah yang dituangkan melalui L-ndang-undang Nomor 5 Tahun 1974 itu dalam implementasinya selama k-urang lebih 26 tahun pada pemerintah kabupaten/kota makin menjauh d-ari kenyataan. B. Perubahan Pendekatan Sebagaimana telah dijelaskan bahwa fenomena pelayanan publik : ang tidak responsif clan transparan, serta rendahnya kualitas pelayanan : ang diberikan Pemerintah Kabupaten/Kota disebabkan gagalnya :mplementasi kebijakan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh t ndang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang digambarkan antara lain oleh terlalu kuatnya intervensi pemerintah pusat dan ketidak berdayaan pemerintah/kabupaten/kota. Koreksi terhadap gagalnya implementasi kebijakan otonomi daerah dalam meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat di daerah, mendorong lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pada tanggal 7 Mei 1999 yang merupakan satu paket dengan lahirnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada tanggal 19 Mei 1999.
6
Jika dicermati kedua UU dimaksud, dapat dilihat adanya perubahan pendekatan administrasi dari adiministrasi negara konvensional menuju administrasi negara kontemporer yang ditandai halhal sebagai berikut : 1. Apabila UU Nomor 5 Tahun 1974 menggunakan filosofi keseragaman dalam kesatuan, maka UU Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan filosofi keanekaragaman dalam kesatuan; 2. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan filosofi di atas, daerah memiliki kebebasan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah. Pola otonomi yang digunakan juga berubah dari pola simetris menjadi pola asimetris; 3. Bahwa otonomi daerah diselenggarakan dengan pemberian urusan sesuai dengan kepentingan pemerintah pusat bukan kewenangan berubah menjadi pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah menurut asas desentralisasi. Daerah Kabupaten/Kota yang berkedudukan sebagai daerah otonomi mempunyai kewenangan clan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. 4. Semula manajemen pemerintahan daerah dikelola secara sentralistis berubah dengan mendelegasikan manajemen pemerintahan daerah kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, antara lain mendelegasikan bidang-bidang keuangan, kelembagaan clan personel. Dengan demikian Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mempunyai organisasi, mengelola pegawai dan keuangan secara mandiri sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakatnya; 5. UU Nomor 22 Tahun 1999 juga menawarkan perubahan fungsi Pemerintahan Daerah, yang semula sebagai promotor pembangunan menjadi pelayan masyarakat. Perubahan tersebut dengan sendirinya akan mengubah bentuk, susunan, kedudukan, fungsi kelembagaan Pemerintah Daerah. Adanya perubahan pendekatan tersebut tentu menurut penerapan model clan konsep administrasi negara kontemporer di dalam praktek administrasi di Daerah. Dalam konteks ini yang menjadi fokus kajian adalah model dan konsep manajemen pelayanan umum menurut pendekatan administrasi negara kontemporer yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah. C. Manajemen Pelayanan Umum
7
Tujuan kebijakan otonomi Daerah sebagaimana dituangkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah tidak lain berupa peningkatan pelayanan, kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, clan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat clan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menjamin keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah. Pemerintah Kabupaten/Kota dilimpahkan atau diberi kewenangan clan keleluasaan untuk mengatur clan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Ini berarti Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki keleluasaan dalam memformulasikan clan menentukan kebijakan sesuai dengan kebutuhan clan aspirasi masyarakat di Daerah. Untuk mendayagunakan kewenangan itu Pemerintah menyerahkan clan mengalihkan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Keleluasaan mengelola sumber-sumber daya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota ini hanya akan efektif untuk mendorong keberhasilan pelayanan publik, jika diikuti pula oleh pemenuhan beberapa prinsip administrasi negara kontemporer dalam manajemen pelayanan umum sebagai berikut : 1. Prinsip Pemantapan Standar Pelayanan Publik Tidak ada satupun dari Peraturan Pemerintah yang menetapkan kebijakan dan mengatur standar ukuran kinerja atau prestasi kerja (tingkat pencapaian tujuan) yang dapat menggambarkan tingkat keberhasilan clan kegagalan organisasi publik di Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Padahal selain demokratisasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maksud dasar penyelenggaraan otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan publik. Tanpa adanya standar ukuran kinerja, maka upaya peningkatan pelayanan publik yang menjadi salah satu tujuan pokok otonomi daerah dipastikan tidak akan pemah tercapai. Pemerintahan pada dasarnya pelayanan Kewenangan untuk memberikan pelayanan harus diletakkan sedekat mungkin kepada masyarakat. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai organisasi terdekat di dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menjadi titik sentral desentralisasi memiliki keleluasaan dan kebebasan (diskresi) dalam pemanfaatan pelbagai sumber daya termasuk sumber dana.
8
Kebutuhan akan ukuran kinerja organisasi pelayanan publik di Daerah terutama bagi Dinas Kabupaten/Kota sebagai perangkat Daerah otonomi dalam penyelenggaraan pelayanan publik menjadi amat mendesak. Sayangnya ukuran kinerja organisasi pelayanan publik yang baku sejauh ini tidak tersedia. Kenyataan mengganibarkan bahwa Dinas Daerah Kabupaten /Kota sebagai organisasi yang di era otonomi Daerah memiliki kewenangan yang luas dan dilengkapi pula oleh keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya, nampaknya belum mempunyai ukuran kinerja yang baku dan cocok untuk 'organisasi pelayanan publik. Ukuran kinerja ini tentunya harus merefleksi visi, misi, dan tujuan dinas sebagai organisasi penyelenggaia pelayanan publik. Melalui standar kinerja akan dapat diukur keberhasilan Dinas Daerah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Salah satu ukuran atau standar kinerja yang. dapat dikembangkan adalah pengkaitan tingkat pencapaian tujuan atau kinerja dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan besarnya dana yang dialokasikan. Adanya indikator kinerja yang demikian, akan memudahkan stakeholders (DPRD, LSM, Pelanggan, Pers, dan Kelompok Masyarakat lainnya) untuk mengukur keberhasilan Dinas di dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Prinsip Penggunaan Ukuran Kinerja Pada dasarnya kehadiran Dinas Daerah Kabupaten/Kota sebagai birokrasi pemerintah daerah diperlukan untuk melindungi kepentingan publik. Termasuk di sini untuk memberikan pelayanan publik, apalagi jika pelayanan itu ternyata tidak dapat diberikan oleh mekanisme pasar dan lembaga swadaya masyarakat. Kalau misi utama dari kehadiran Dinas sebagai organisasi publik untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan masyarakat, maka indikator yang sebaik dipergunakan untuk mengukur kinerja Dinas dimaksud sebagai berikut : a. Produktivitas Produktivitas merupakan salah satu indikator melihat kinerja organisasi publik, Hatri (1990) mengusulkan bahwa konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisien, sebaiknya diperluas sehingga mencakup efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai ratio output dengan input. Produktivitas dapat menggambarkan tingkat perbandingan biaya dan manfaat dari setiap program, proyek dan kegiatan pelayanan.
9
Penilaian produktivitas di Dinas Daerah Kabupaten/Kota tentun}'a harus dilakukan pad a tingkat organisasi dan menggunakan dokumen-dokumen yang tersedia di organisasi menjadi sumber data yang penting dalam penilaian produktivitas. Jelasnya, penilaian produktivitas dapat dilakukan melalui catatan mengenai risorsis yang dipergunakan dan hasil-hasil yang diperoleh oleh organisasi. Standart produktivitas dapat ditetapkan melalui ukuran kinerja yang menggambarkan tingkat kemanfaatan suatu program pelayanan itu melebihan biaya untuk melaksanakan suatu program. b. Kualitas Layanan Erat kaitannya dengan produktivitas adalah kualitas layanan (quality of service). Issues mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Kualitas layanan seringkali membentuk image masyarakat terhadap organisasi pelayanan publik. Banyak image negatif terbentuk mengenai Dinas daerah Kabupaten/Kota muncul karena ketidak-puasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima. Misalnya, ketidakpastian persyaratan, waktu penyelesaian dan biaya/tarif untuk mendapatkan pelayanan. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja Dinas Daerah Kabupaten/Kota. Sumber data utama dari kualitas layanan adalah penilaian pengguna jasa atau masyarakat. Di samping itu uji silang dapat juga dilakukan dengan mencek laporan dan dokumen Dinas mengenai pelayanan yang diberikan. Untuk penilaian dari pengguna jasa, unit analisis yang dipergunakan adalah individu yang menggunakan jasa pelayanan Dinas. Survai adalah salah satu cara yang digunakan untuk mencari data mengenai kualitas layanan, dengan mengukur tingkat kepuasan mereka terhadap kualitas layanan organisasi. Standar kualitas layanan dapat ditetapkan melalui ukuran kinerja yang menggambarkan tingkat besarnya biaya yang ditetapkan untuk setiap tingkat kepuasan relatif pengguna jasa atas kemanfaatan suatu program pelayanan publik. Pendekatan biaya efektivitas dapat digunakan untuk mengukur satuan biaya untuk setiap tingkat kepuasan pengguna jasa. Melalui pendekatan itu dapat ditetapkan biaya yang paling rendah untuk mencapai tingkat tertentu kepuasan pengguna jasa, dan ditetapkan biaya tertentu untuk mencapai tingkat kepuasan yang paling tinggi. Jelasnya, pendekatan ini menentukan biaya program yang paling efisien untuk mencapai tujuan-tujuan penyelenggaraan pelayanan publik. c. Responsivitas
10
Lenvine dkk. (1990) mengusulkan konsep responsiveness yang bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan-kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas perlu dimasukkan sebagai salah satu ukuran kinerja karena ia secara langsung menggambarkan kemampuan Dinas Daerah Kabupaten/Kota dalam menjalankan misi dan tujuannya terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah, ditunjukkan dengan ketidak selarasan antara pelayanan dengan kebutuhan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, pasar yang tidak terisi oleh pedagang di suatu tempat, ternyata di tempat lain banyak pedagang kaki lima, gedung sekolah yang kurang bahkan tidak ada muridnya, perlu dialiri, dan lain-lain. Kondisi ini jelas menunjukkan kegagalan Dinas dalam mew-ujudkan misi dan tujuannya sebagai organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula. Standar responsivitas dapat ditetapkan melalui ukuran kinerja yang menggambarkan tingkat besarnya biaya yang ditetapkan untuk setiap tingkat pemenuhan kebutuhan relatif pengguna jasa atas penyelenggaraan suatu program pelayanan publik. Pendekatan biaya efektivitas dapat digunakan untuk mengukur satuan biaya untuk setiap tingkat pemenuhan kebutuhan relatif pengguna jasa pelayanan. Melalui pendekatan itu dapat ditetapkan biaya yang paling rendah untuk mencapai tingkat tertentu pemenuhan kebutuhan pengguna jasa, dan ditetapkan biaya tertentu untuk mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan yang paling tinggi. Data untuk menilai responsivitas bersumber pada Dinas dan masyarakat. Data Dinas dipakai untuk mengidentifikasikan jenis jenis kegiatan dan program organisasi, sedangkan data masyarakat pengguna jasa diperlukan untuk mengidentifikasi demand atau kebutuhan masyarakat. Survai dan focus-group discussion dipergunakan untuk menilai responsivitas. Melalui ukuran kinerja yang baku yang menggambarkan tingkat pencapaian kinerja menurut kebesaran biaya yang paling murah, dapat dihasilkan informasi yang lebih akurat dengan memperhatikan ke semua
11
dimensi kinerja yang ada. Ini berarti dalam pencapaian kinerja Dinas sebagai organisasi pelayanan publik dapat diukur dan ditetapkan tingkat keberhasilan/ kegagalannya menurut tinggi rendahnya biaya yang ditentukan dalam memberikan pelayanan publik pada tingkat produktivitas. kualitas dan responsivitas pelayanan yang memadai. Adanya penerapan prinsip dimaksud yang merupakan bagian dari pendekatan administrasi negara kontemporer diharapkan tujuan kebijakan otonomi daerah dapat menjadi kenyataan. Karena itu untuk menjamin keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan otonomi daerah itu. Pemerintah Kabupaten/Kota perlu segera menata ulang manajemen pelayanan umum berdasarkan pendekatan administrasi negara kontemporer
DAFTAR PUSTAKA Anderson. JE., Public Policy Making, Halt Renehart and Winston USA, 1978. Charless h. Lenvile, et al., Public Administration Challenges. Choices, Cosequences, Scott Foreman/Little Bromn Higher Education: Glenview, Illionis, 1990. Charless Wolf, jr., Marker or Government: Choosing Between Imperfect Alternatives. The Mit Press, Cambridge, Massachusetts, 1998. Denhardt, Robert B., Theoris Of Public Organization. Brooks Colle Publishing Company Montery California USA 1979. Dunn, William N., Public Policy Analysis An Introduction, Prentice-Hall Inc. New Jersy, 1994. Dwiyanto, Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Kinerja Organisasi Pelayanan Publik. Fisipol UGM, 1995. Edward III, George, implementing Public Policy, Congressional Quartely Press Washington DC. 1980. Effendi, Sofian, Kebijakan Pembinaan Organisasi Pelayanan Publik (Percikan Pemikiran Awal), Fisipol UGM, 1995. Frederickson. Administrasi Negara Baru. LP3ES, Jakarta, 1984. Grindle MS.. Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton University Press. New Jersey, 1980. Goggin. Malcom I, Implementation Theory and Practice - Toward a Third General, Illinois, London, England, 1990.
12
L. Perry. Ed, 1990. Handbook of Public Administration, Jossey Bass Inc. San Fransisco. California. 1990. Jones.. Charles O. An Introduction to the Study of Public Policy. Brook/Cole Publishing Company Montere California. 1984. Ripley. Randall B Dan Franklin Grace A.. Policy Implementation and Bureaucarcy. The Dorsey Press, Chicago. Illinois. Wasistiono, Sadu, Esensi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai), Alqaprint Jatinangor, 2001. PE RATURAN-PERATURAN Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah. ndang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah.
13