Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos)
Jurnal KBP Volume 1 - No. 3, Desember 2013
ANALISIS TINGKAT KEMANDIRIAN KABUPATEN DHARMASRAYA DITINJAU DARI ASPEK KEUANGAN DALAM MELAKSANAKAN OTONOMI DAERAH 2007-2011 Jhon Fernos STIE”KBP” Padang (
[email protected]) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat kemandirian Kabupaten Dharmasraya ditinjau dari aspek keuangan dalam melaksanakan otonomi daerah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, yang mendeskripsikan bagaimana tingkat kemandirian Pemerintah Kab. Dharmasraya dalam melaksanakan otonomi daerah. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalahdengan melakukan studi lapangan yaitu observasi langsung ke objek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kab. Dharmasraya termasuk dalam kategori daerah dengan kemampuan fiskal sedang dan tingkat ketergantungannya kepada Pemerintah Pusat masih sangat tinggi. Pendapatan Asli Daerah Kab. Dharmasraya juga belum dapat mencukupi kebutuhan belanja rutinnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan PAD dengan cara mengidentifikasi dan menghitung berbagai potensi yang berada dalam wilayah Kab. Dharmasray secara tepat dan benar berdasarkan potensi riil yang dimiliki, serta melakukan pengendalian dalam pengelolaan PAD tersebut. Kata kunci: otonomi, desentralisasi fiskal, indeks kemampuan rutin, efektivitas, efisiensi, kapasitas fiskal. PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah pada hake-katnya adalah upaya untuk mening-katkan kesejahteraan masyarakat deng-an melaksanakan kegiatankegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah tersebut maka sangat penting untuk mengiden-tifikasi sumbersumber pembiayaan da-erah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran
statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemampuan/ kemandirian daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam dalam Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa tujuan otonomi daerah adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, meningkatkan kesejahteraan
392
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertang-gungjawab. Hal ini menyebabkan se-mua bidang pemerintahan yang dise-rahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi pada da-sarnya menjadi wewenang dan tang-gung ja-wab Pemerintah Daerah Kabu-paten dan Kota sepenuhnya, baik yang menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Pemberian wewenang dan tanggung jawab tersebut harus diimbangi dengan pembagian sumber-sumber pendapatan yang memadai yang mampu mendukung pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan. Demikian pula halnya dengan implementasi UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya yang menyangkut dana perimbangan diharapkan mampu mendukung pelaksanaan UU Nomor 32 tahun 2004 tersebut. Di era otonomi saat ini, upaya untuk tetap mengandalkan sumbangan dan bantuan dari Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di berbagai bidang, termasuk kemandirian dalam mendanai pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu daerah dituntut agar berupaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Sendiri, guna
393
mengu-rangi ketergantungan terhadap Peme-rintah Pusat. Pemberlakuan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 tersebut menambah kewenangan yang dimiliki oleh daerah maka tanggung jawab yang diemban oleh Pemerintah Daerah juga akan bertambah banyak. Darumurti (2000 : 49) mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah namun pada sisi lain bertambahnya kewe-nangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesia-pan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan yaitu, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana. Misi utama dari UU Nomor 32 dan 33 tahun 2004 bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat k-epada Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kese-jahteraan dan pelayanan kepada masya-rakat. Untuk itu semangat desen-tralisasi, demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyeleng-garaan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan da-erah khususnya. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos)
keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah melaksanakan otonominya. Kemam-puan daerah dimaksud dalam arti sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi Pemerintah Pusat. Pendapatan Asli Daerah dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada Pemerintah Pusat yang pada prinsipnya adalah semakin besar sumbangan Pendapatan
Asli Daerah kepada APBD akan menunjukkan semakin kecilnya ketergantungan daerah kepada Pemerintah Pusat. Dalam rangka implementasi UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, salah satu faktor yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah adalah kemampuan keuangan daerah, sedangkan indikator yang digunakan untuk mengukur ke-mampuan keuangan daerah tersebut adalah rasio PAD dibandingkan dengan total penerimaan APBD (Kuncoro, 1995: 8). Rasio perbandingan antara PAD dengan APBD Pemerintah Kabupaten Dhamas-raya pada tahun 2007 s/d 2011 dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Rasio Perbandingan PAD terhadap APBD Dharmasraya Tahun 2007 s/d 2011 Tahun Realisasi PAD Realisasi APBD % Anggaran 2007
17.404.345.346
389.543.080.084
4%
2008
21.722.363.712
462.631.015.995
5%
2009
25.120.058.434
483.663.196.147
5%
2010
25.541.706.458
475.098.696.247
5%
2011
34.423.462.234
549.642.915.797
6%
Rata-rata
24.842.387.237
472.115.780.854
5%
Sumber: DPPKD Kab. Dharmasraya, Laporan keuangan (data diolah) Dari data tersebut di atas dapat dilihat bahwa kontribusi PAD Pemerintah masih sangat rendah. Rasio rata-rata PAD dalam 5 tahun terakhir yaitu tahun 2007 s/d 2011 hanya sebesar 5%. Artinya Pemerintah Kabupaten Dhamasraya masih sangat tergantung pada dana bantuan dari Pemerintah Pusat.
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS Pengertian Otonomi Daerah Istilah otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri) dan ( nomos = undang-undang ) yang berarti perundangan sendiri ( zelf wetgeving ). Jadi ada 2 ( dua ) ciri hakekat dari otonomi, yakni self sufficiency dan actual idependence (Syaukani, 2000 : 147).
394
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan warga Kesatuan Republik Indonesia (Koesoemahatmaja, 1971 : 9). Didalam konsep otonomi daerah tersebut terkandung azas-azas dan prinsip-prinsip kemandirian daerah dalam pelaksanaannya. Tetapi tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, walaupun otonomi itu sebagai bentuk pelimpahan yang luas atas kewenangan daerah, keotonomian tersebut tetap berada pada batas yang tidak melampaui wewenang pemerintah pusat. Artinya, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan untuk menjaga kestabilan roda pemerintahan negara. Diberikannya hak dan kekuasaan perun-dangan dan pemerintahan kepada ba-dan-badan otonomi, seperti propinsi, Kabupaten/Kota, maka badanbadan ter-ebut dengan kekuasaannya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan me-gadakan peraturan-peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan undangundang dasar atau perundangan yang lebih tinggi dan mampu menyelenggarakan kepentingan-kepentingan umum. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah butir 5 disebutkan, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepen-tingan masyarakat setempat sesuai de-ngan peraturan perundangundangan. Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam UU Nomor 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demo-
395
kratisasi dan dengan memperhatikan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasar-kan pada otonomi luas dalam arti penyaluran kewenangan pemerintah yang secara nyata dilaksanakan didaerah. 3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan di kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah propinsi adalah otonomi terbatas. 4. Pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan konstitusi Negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengutamakan kemandirian wilayah administrasi atau kawasan khusus, yang dibuat oleh Pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pelabuhan udara, kawasan perkotaan baru, kawasan pertambangan dan sema-camnya. 6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai lembaga pengawas atas pe-nyelenggaraan pemerintahan daerah yang dijalankan oleh lembaga ekse-kutif daerah. 7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan yang tidak diserahkan kepada daerah. Menurut Wayong (1975 : 5), Otonomi Daerah adalah kebebasan untuk meelihara dan menunjukkan kepen-ingan khusus suatu daerah dengan keuangan, hukum dan pemerintahan sendiri. Pem-bagian kekuasaan yang adil antara pe-merintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pilihan yang tepat. Se-dangkan Sanit (dalam
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) Siddiq, 2000 : 25) berpendapat bahwa ada 3 (tiga) fokus otonomi daerah, pertama : oto-nomi yang berfokus pada kewenangan administrasi pemerintah daerah, seperti pengurusan pegawai, pengeluaran dan pendapatan daerah; kedua: otonomi yang difokuskan kepada alokasi kekua-saan daerah yang disertai oleh kontrol pemerintah pusat dan partisipasi rakyat daerah; ketiga : penekanan pada pelak-sanaan fungsifungsi pemerintah daerah yang dioperasikan lewat kewenangan daerah dalam mengelola urusan yang diberikan kepadanya. Lebih lanjut Mubyarto (2000 : 60) mengatakan hakekat Otonomi Daerah adalah penyerahan wewenang segala urusan pemerintah ke Kabupaten/Kota, sehingga diharapkan pemerintah Kabupaten/Kota dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (lebih lancar, lebih mudah, dan lebih cepat). Maka hanya masyarakat sendiri yang dapat menilai berhasil tidaknya otonomi daerah suatu daerah. Tuntutan otonomi daerah tampak menonjol diberbagai belahan dunia terasuk di Indonesia. Bahkan dikatakan bahwa konsep ini di masa mendatang akan menjadi kecenderungan yang dominan bagi negara-negara Asia. Hal itu disebabkan oleh tak terhindarkannya revolusi komunikasi yang telah memu-ngkinkan menyatunya masyarakat Asia dengan masyarakat dari belahan dunia lain. Scalapino (1990 : 45 – 46) menyatakan bahwa di masa depan negara-negara Asia akan menghadapi beberapa masalah politik yang kritis yang diakibatkan oleh : pertama, bagaimana kekuasaan itu dibagi diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengingat tugas-tugas pemerintah pusat sekarang ini semakin berat. Oleh karena itu, upaya untuk memberdayakan peme-rintah daerah
tidak hanya perlu dila-kukan tapi juga menjadi kecenderungan yang tak terelakkan. Kedua, negara de-wasa ini akan menghadapi saingan dari dalam yaitu melalui kekuatan masya-rakat madani (civil society) dan ke-kuatan non-birokrasi atau ekstra-birokrasi. Arti pentingnya otonomi juga dikemukakan oleh Kenichi (dalam Zuhro, 1999 : 18), yang menurutnya ada 4 (empat) faktor yang dapat menembus batas-batas negara bangsa tanpa rintangan, yaitu investment, individual consumers, industry and information. Untuk ke depan, batasbatas negara makin kabur (boderless nation). Lebih lanjut menurutnya, dalam memajukan perekonomian negara, otonomi menjadi kunci utama karena sentralisasi tidak mungkin lagi dipertahankan, mengingat tidak dimungkinkannya seluruh kegiatan terkonsentrasi di pusat. Warsito (2000 : 6) menyatakan bahwa otonomi pada hakekatnya adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah menuju kemandirian dalam kerangka negara kesatuan. Otoritas di pusat maupun di propinsi menjadi terbatas dan berkurang (inipun harus disadari oleh pusat dan propinsi) sedangkan kewenangan yang luas, utuh dan nyata lebih diberikan kepada kabu-paten dan kota. Jadi, titik tekannya pa-da kewenangan untuk merencanakan dan melaksanakan serta mengendalikan daerah mencapai kemandirian. Kemampuan untuk Melaksanakan Otonomi Daerah Otonomi atau desentralisasi perlu dilakukan karena tidak ada suatu pemerintahan dari suatu negara yang luas mampu secara efektif membuat kebijakan publik di segala bidang ataupun mampu melaksanakan kebijakan tersebut secara efisien di seluruh wila-
396
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
yah tersebut. Dengan adanya desentralisasi diharapkan beban pemerintah pusat dapat berkurang. Desentralisasi juga diharapkan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Smith (1985 : 211) menjelaskan bahwa desentralisasi dapat juga dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk memobilisasi dukungan terhadap pembangunan nasional dengan membuatnya lebih populer di tingkat daerah serta untuk memperoleh partisipasi yang lebih besar dari golongan-golongan masyarakat yang berbeda. Kaho (2001 : 61) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik. Istilah keuangan disini me-ngandung arti bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan penge-lolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Faktor keuangan penting dalam setiap kegiatan pemerintahan, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat dilaksanakan. Demikian juga semakin baik penge-lolaannya semakin berdaya guna pema-kaian uang tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Manullang (1973 : 67): “ Bagi kehidupan suatu Negara, masalah keuangan Negara sangat penting. Makin baik keuangan suatu Negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara itu. Sebaliknya, kalau keuangan negara itu kacau maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala kewajiban ya-ng diberikan kepadanya. Demikian juga bagi suatu
397
pemerintah daerah, keuangan merupakan masalah penting baginya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah ”. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan sangat penting sekali. Pamudji (dalam Kaho, 2001: 125) menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan. Dan keuangan inilah yang merupakan salah-satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal yang senada diungkapkan oleh Syamsi (1994) yang menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selanjutnya mengenai pentingnya pengelolaan keuangan daerah, D‟Audiffret (dalam Wajong ,1975 : 97) menyatakan bahwa : 1. Pengendalian keuangan mempunyai pengaruh yang begitu besar pada hari kemudian bagi penduduk sedaerah, sehingga kebijaksanaan yang ditem-puh pada melakukan kegiatan itu dapat menyebabkan kemakmuran atau kelemahan, kejayaan atau kejatuhan penduduk daerah itu; 2. Kepandaian mengendalikan daerah tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan abadi, tanpa cara pengendalian keuangan yang baik, terlebih lagi tanpa kemampuan melihat ke muka dengan penuh kebijaksanaan, yang harus diarahkan pada melindungi dan memperbesar harta daerah, dengan mana semua kepentingan masyarakat se-daerah sangat erat berhubungan;
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) 3. Anggaran adalah alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang diperhadapkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah haruslah tepat dalam bentuk dan susunannya dengan memuat rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang bijaksana. Thoha (dalam Prisma, 1985) berpendapat bahwa ada 4 (empat) hal yang penting untuk menilai suatu daerah dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Pertama; adanya urusan-urusan yang diserahkan oleh pemerintah atasannya. Kedua; pengurusan dan pengaturan urusan tersebut dilakukan atas inisiatif dan kebijakannya sendiri. Ketiga; untuk mengatur urusan tersebut diperlukan perlengkapan atau aparatur sendiri. Dan Keempat; untuk membiayai urusan yang diserahkan itu diperlukan sumber keuangan sendiri. Sumodiningrat (1996) berpendapat bahwa otonomi kepada Kabupaten/Kota perlu memperhatikan beberapa unsur penting. Unsur tersebut, yaitu : per-tama; kemantapan kelembagaan, kedua; ketersediaan sumber daya manu-sia yang memadai khususnya aparatur pemerintah daerah dan masyarakat, ketiga ; potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sen-diri, dan keempat ; kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Sanit (1999) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) fokus otonomi daerah, yaitu : pertama; otonomi yang berfokus kepada kewenangan administrasi pemerintah daerah, seperti pengurusan pegawai, pengeluaran dan pendapatan daeah. Kedua ; otonomi yang difokuskan kepada alokasi kekuasaan kepada daerah yang disertai oleh kontrol pemerintah pusat dan partisipasi rakyat daerah. Dan ketiga ; penekanan kepada
pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah daerah yang dioperasikan lewat kewenangan daerah dalam mengelola urusan yang diberikan kepadanya. Lebih lanjut Supriatna (1999) menyatakan bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan desentralisasi adalah adanya penyerahan sumber dana, sumber daya manusia dan perangkat fisiknya yang memadai untuk mendukung urusan yang diserahkan ke daerah. FISIPOL UGM dalam studinya untuk mengetahui tingkat otonomi dan kecenderungan perkembangan kemampuan daerah yang diharapkan dapat mendukung pengembangan otonomi daerah menggunakan 4 (empat) kategori model (Dwiyanto, 1993). Keempat kategori model tersebut adalah ke-mampuan keuangan daerah, kemam-puan ekonomi (PDRB), kemampuan aparat, dan banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah (Asrori, 2000 : 43). Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa essensi otonomi daerah adalah adanya kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan yang lebih besar ini ditunjukkan oleh banyaknya urusan yang diseleng-garakan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk me-laksanakan otonomi dapat disimpulkan bahwa faktor kemampuan keuangan merupakan salah satu faktor yang sangat penting guna penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Otonomi daerah bisa diwujudkan apabila disertai dengan otonomi keuangan dengan baik. Hal ini berarti secara finansial tidak tergantung pada Pemerintah Pusat. Sumodiningrat (1996 : 95) berpendapat bahwa tantangan dan per-masalahan yang muncul seiring
398
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
dengan pemberian otonomi daerah adalah per-imbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menjalankan tugas pokok pemerintahan. Perim-bangan peran ini menyangkut perim-bangan wewenang untuk menye-lenggarakan urusanurusan peme-rintahan dan perimbangan pengelolaan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kemampuan Pe-merintah Daerah untuk menjalankan fungsinya tergantung kepada mereka (Pemerintah Pusat) untuk menggali sumber-sumber penerimaan independen seperti pajak daerah dan retribusi daerah. Daerah yang mempunyai pen-dapatan yang besar akan mempunyai posisi yang lebih baik daripada daerah yang tergantung dari dana pemerintah pusat. Sedangkan Radianto (1997 : 47) menyatakan bahwa pengukuran derajat otonomi keuangan daerah menjelaskan mengenai kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumah tangga dengan menghitung rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) tanpa transfer. Melalui struktur pengeluaran daerah, derajat otonomi keuangan tercermin dalam angka indeks kemampuan rutin yaitu proporsi antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat. Pada saat ini, Pemerintah Daerah diharapkan dapat meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna (efisien), berhasil guna (efektif), bersih dan bertanggung jawab. Dengan demi-kian, maka pemerintah daerah diha-rapkan segera dapat mewujudkan Good Governance yang ternyata merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan da-lam mencapai misi dan tujuan peme-rintah daerah. Semuanya itu bagi peme-rintah daerah merupakan tambahan be-ban
399
tanggung jawab yang sekaligus juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, agar pemerintah daerah dapat melaksanakan otonomi dengan baik, dituntut untuk selalu dapat meningkatkan penerimaannya. Keuangan Daerah Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi Pendapatan dan Belanja Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan serta penerimaan pembangunan. Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata. Pesatnya pembangunan daerah menuntut tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi sum-ber-sumber pembiayaan yang semakin besar (Musgrave, 1993 : 6). Ciri utama yang menunjukkan daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya, (Koswara, 2000 : 50). Dalam bidang keuangan daerah, fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indo-
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) nesia adalah relatif kecilnya peranan (kontribusi) Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam struktur Anggaran Pen-dapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari peme-rintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak, mendominasi susunan APBD, (Tambunan, 2000 : 2). Menurut Binder (dalam Mardiasmo, 2000: 3-4), tujuan utama pengelolaan keuangan daerah dapat diringkas sebagai berikut: (1) tanggung jawab; (2) memenuhi kewajiban keuangan; (3) kejujuran; (4) hasil guna dan daya guna; dan (5) pengendalian. Dalam upaya pemberdayaan Pemerintah Daerah saat ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut 1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi peng-alokasian anggaran untuk kepen-tingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masya-rakat (DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keua-ngan daerah; 2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya; 3. Desentralisasi pengelolaan keuang-an dan kejelasan peran para par-tisipan yang terkait dalam penge-lolaan anggaran seperti DPRD, Ke-pala Daerah, Sekda dan perangkat daerah lainnya; 4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar,
value for money , transparansi dan akuntabilitas; 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya; 6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi tahunan; 7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional; 8. Prinsip akuntansi Pemerintah Daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan trans-paransi informasi anggaran kepada publik; 9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat Pemerintah Daerah; 10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen Pemerintah Daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah mendapatkan informasi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Halim (2004), mendefinisikan bahwa APBD adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, di mana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek dalam satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah gu-
400
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
na menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud. Pemahaman sistem dan mekanisme yang dianut oleh APBN adalah sama bagi APBD, dalam konteks perencanaan pembangunan dipahami hakekatnya merupakan bentuk operasional rencana kegiatan tahunan. APBN sebagai penja-baran Repelita di tingkat nasional dan APBD sebagai penjabaran Repelitada di tingkat daerah, yang menggambarkan secara terperinci dengan jumlah biaya kebutuhan yang seimbang antara penerimaan dan pengeluaran yang disebut sistem anggaran berimbang (balance budget) yang dinamis. Pengertian anggaran berimbang yang dinamis memberi makna bahwa jumlah biaya yang dianggarkan pada sisi penerimaan diupayakan harus seimbang dengan jumlah pada sisi pengeluaran, yang dalam pelaksanaannya dimung-kinkan adanya perubahan anggaran apa-bila terjadi ketidaksesuaian dengan anggaran yang telah ditetapkan. Dalam struktur APBD komponen penerimaan daerah terdiri dari: 1. bagian sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu; 2. bagian Pendapatan Asli Daerah; 3. bagian pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan atau instansi yang lebih tinggi; 4. bagian pinjaman Pemerintah Daerah.
Dalam menganalisis kemampuan keuangan daerah, perlu diperhatikan ketentuan dasar mengenai sumber penghasilan dan pembiayaan daerah berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemeintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 157 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah terdiri atas ; 1. Pendapatan Asli Daerah, yaitu: a. hasil pajak daerah; b. hasil retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. 2. Dana perimbangan; 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menyebutkan sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah: 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana perimbangan; 3. Lain-lain penerimaan yang sah. 4. Penerimaan Pembiayaan, yaitu: a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. Penerimaan pinjaman daerah; c. Dana cadangan daerah; d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam wilayah daerah yang bersangkutan terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, serta lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah (Pasal 6 UU Nomor 33 Tahun 2004).
Derajat Desentralisasi Fiskal dan Derajat Otonomi Fiskal Daerah Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi antar berbagai tingkat pemerintahan, serta bagaimana cara mencari sumbersumber pembiayaan daerah untuk
401
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) menunjang kegiatan-kegiatan sektor publiknya (Devas, 1989 : 179). Menurut Davey ada 4 (empat) kriteria yang perlu diperhatikan untuk menjamin adanya sistem hubungan pusat dan daerah, yaitu : a. Sistem tersebut seharusnya memberikan distribusi kekuasaan yang rasional diantara berbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber-sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya, yaitu suatu pembagian yang sesuai dengan pola umum desentralisasi. b. Sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. c. Sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara adil diantara daerah-daerah atau sekurang-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu. d. Pajak atau retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat. Realitas hubungan fiskal antara pusat dan daerah ditandai oleh dominannya peranan bantuan dan sumbangan. Kondisi ini muncul karena terbatasnya kemampuan daerah dalam menggali sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rendahnya kemampuan daerah dalam menggali sumber PAD yang sah selama ini disebabkan oleh batasan hukum (Mardiasmo 2000 : 1).
Menurut Mahi (2000, 58) diera otonomi mendatang, upaya untuk kemandirian daerah tampaknya PAD masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena beberapa alasan, yaitu : a. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah b. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah c. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah d. Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah akan mengatur secara pasti pengalokasian “dana perimbangan”, yaitu bagian dari penerimaan negara yang dihitung menurut kriteria/formula berdasarkan obyektivitas, pemerataan dan keadilan. Di Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan, kemandirian keuangan daerah seyogyanya tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonom harus dapat membiayai seluruh keperluannya dari penerimaan PAD. Meskipun demikian ratio antara
402
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
PAD dengan Total Penerimaan Daerah tetap merupakan salah satu indikator derajat desentralisasi fiskal suatu daerah (Kuncoro, 1995 : 8). Tingkat kemandirian fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dapat dipelajari dengan melihat pada besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Pengukuran derajat desentralisasi fiskal dapat dilakukan melalui analisis rasio. Menurut Smith (dalam Ahmad, 1990: 35), derajat desentralisasi fiskal dapat diukur dengan menghitung : (a) rasio PAD terhadap TPD; (b) rasio sumbangan dan
bantuan terhadap TPD; (c) rasio TPD terhadap total penerimaan negara. Sedangkan Reksohadiprojo (2000 : 201), menjelaskan bahwa untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah digunakan ukuran : (a) rasio PAD terhadap TPD; (b) rasio BHPBP terhadap TPD; dan (c) rasio Sumbangan dan Bantuan (SB) terhadap TPD. Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 2 berikut :
Tabel 2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0.00 - 10.00 Sangat Kurang 10.01 - 20.00 Kurang 20.01 - 30.00 Cukup 30.01 - 40.00 Sedang 40.01 - 50.00 Baik > 50.00 Sangat Baik Derajat Otonomi Fiskal Daerah Tantangan dan permasalahan yang muncul seiring dengan pemberian otonomi daerah adalah perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pe-merintah Daerah dalam menja-lankan tugas pokok pemerintahan. Perimbangan peran ini menyangkut perimbangan wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan dan perimbangan penge-lolaan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (Sumodiningrat, 1996: 95). Hal ini disebabkan an-tara lain : (1) Struktur keuangan yang berjalan dewasa ini masih mendudukkan daerah dalam ke-tergantungan kepada Pemerintah Pusat karena keterbatasan kewe-nangan dan
403
keterbatasan kemam-puan daerah untuk menggunakan dana bantuan yang berasal dari Pemerintah Pusat, (2) Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah berdampak meningkatnya kebutuhan anggaran untuk pembiayaan rutin dan pembangunan, karena penyerahan urusan pemerintahan tersebut tidak seiring dengan penye-rahan sumber pendanaannya, se-mentara pada saat yang sama kemampuan daerah untuk menyediakan anggaran tambahan masih sangat terbatas. Ukuran yang digunakan untuk mengukur derajat otonomi keuangan (fiskal) daerah dapat dilihat dari struktur penerimaan daerah, dengan menggunakan administrative inde-pendency ratio,
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) yaitu rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total APBD suatu daerah dalam kurun waktu tertentu minus transfer dari Pemerintah Pusat (Dhiratayakinnat, 1984: 524). Me-lalui struktur pengeluaran daerah, derajat otonomi fiskal tercermin melalui angka Indeks Kemampuan Rutin (IKR), yaitu proporsi antara PAD
dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat (Kuncoro, 1995: 9; dan Radianto, 1997: 42). Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin Daerah (IKR) menggunakan skala menurut Tumilar (199 : 15) sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 3. berikut ini :
Tabel 3. Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin Daerah PAD/Pengeluaran Rutin Kemampuan Keuangan Daerah (%) 0.00 - 20.00 Sangat Kurang 20.10 - 40.00 Kurang 40.10 - 60.00 Cukup 60.10 - 80.00 Baik 80.10 - 100 Sangat Baik Selanjutnya Kuncoro (1995: 17) menyatakan indikator otonomi fiskal daerah adalah rasio antara PAD dengan Total Pendapatan Daerah (TPD). Proporsi PAD terhadap TPD sebagian besar propinsi di Indonesia hanya 15,4%, artinya lebih banyak subsidi dari pemerintah pusat dibandingkan PAD dalam pembiayaan pembangunan daerah. Hanya DKI Jakarta saja yang mencatat proporsi PAD terhadap TPDnya lebih dari 60%. PAD Propinsi hanya mampu membiayai kurang dari 30% pengeluaran rutinnya dan untuk Kabupaten/Kota kurang dari 22% pengeluaran rutinnya dibiayai PAD. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud derajat otonomi fiskal menunjuk kepada kemampuan daerah dalam mening-katkan Pendapatan Asli Daerah. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat otonomi fiskal da-erah adalah administrative indepen-dency ratio yaitu rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD tanpa sumbangan
dan bantuan pemerintah pusat serta tercermin melalui angka Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat. Efisiensi dan efektivitas Devas (1989: 146) mengemukakan bah-wa efisiensi adalah hasil terbaik dari perbandingan antara usaha yang dike-luarkan dengan hasil yang dicapai oleh suatu kerja untuk mencapai hasil tersebut. Pendapat ini menyatakan bahwa semakin rendah hasil perbandingan antara input dan output-nya berarti tingkat efisiensi semakin tinggi. Efisiensi adalah mengukur bagian dari hasil pajak yang digunakan untuk menutup biaya memungut pajak bersangkutan, selain mencakup biaya langsung, daya guna juga memperhitungkan biaya tidak langsung bagi kantor/instansi lain untuk memungut pajak. Dengan demikian efisiensi dalam penelitian ini diartikan sebagai perbandingan antara masukan (input) dengan
404
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
keluaran (output) atau nisbah antara total belanja Dinas Pendapatan Daerah dan realisasi PAD. Tingkat efisiensi akan lebih besar bila biaya untuk memperoleh pendapatan tersebut ditekan serendah mungkin. Kriteria yang digunakan untuk mengukur efisiensi pengelolaan PAD ada-
lah sesuai dengan Kepmendagri Nomor 690.900.327 tahun 1994, yaitu : Lebih dari 100% tidak efisien; antara 90% kurang 100% kurang efisien; antara 80%- kurang 90% cukup efisien; antara 60%- kurang 80% efisien; di bawah 60% sangat efisien.
Rumus:
Belanja DPPKD Efisiensi = Realisasi PAD Efektivitas merupakan hubungan antara hasil (realisasi) PAD terhadap potensi PAD. Pada kasus ini potensi PAD diwakili (proxi) dengan data target. Apabila nilai rationya sama dengan atau lebih dari 100 persen, maka dapat
Realisasi PAD Efektivitas = Potensi PAD Kriteria yang digunakan untuk menilai efektivitas pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), didasarkan pada kriteria kinerja keuangan menurut Kepmendagri Nomor 689.900.327 tahun 1994, yaitu : di atas 100% sangat efektif; 90%- kurang 100% efektif; 80%-kurang 90% cukup efektif; 60%kurang 80% kurang efektif; dan kurang dari 60% tidak efektif. METODE PENELITIAN Objek Penelitian Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Dharmasraya selama kurun waktu lima tahun yaitu 2007 s/d 2011.
405
X 100 %
dikatakan bahwa obyek pendapatan yang diteliti telah bekerja secara efektif. Formulasi hasil guna (efektivitas) yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
X 100 %
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder dalam bentuk deret waktu (time series) selama 5 tahun dari tahun anggaran 2007 sampai tahun 2011, terdiri dari realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), belanja rutin, dan Total Penerimaan Daerah (TPD) yang diambil dari APBD dan Perhitungan Anggaran Ka-bupaten Dharmaraya. Sumber data diperoleh dari Bagian Pengelolaan Keuangan Daerah dan Bagian Perpajakan pada Dinas Pendapatan Pe-ngelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Dharmasraya.
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos)
Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk pengum-pulan data adalah Studi Lapangan (field research) dan pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan observasi langsung ke objek penelitian untuk memperoleh data dan bahan yang digunakan dalam pembahasan dan juga dengan melakukan tanya jawab dengan pihakpihak terkait sehubungan dengan pembahasan penelitian ini. Definisi Operasional Variabel Dalam memahami pengertian dan penafsiran konsep yang digunakan dalam analisis dan pembahasan, maka beberapa batasan dan pengertian dasar/konsep operasional dari variabel yang diamati dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan total penerimaan daerah berupa realisasi dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan penerimaan lain-lain yang dinyatakan dalam satuan rupiah. 2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimaksud adalah realisasi Penerimaan Asli Daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah yang dinyatakan dalam satuan rupiah. 3. Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah Kabupaten Dharmasraya dalam periode tahun anggaran. Belanja daerah terdiri dari belanja rutin (belanja barang dan jasa) dan belanja pembangunan (belanja modal). 4. Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah data anggaran dan realisasi APBD, anggaran dan realisasi PAD, dari tahun anggaran 2007 s/d 2011,
yang terdiri dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Yang Lalu, Pendapatan Asli Daerah, Transfer Pemerintah Pusat-Dana Perimbangan,Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya, Transfer Pemerintah Propinsi, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. 5. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), yaitu kemampuan suatu daerah untuk membiayai kegiatan pembangunan dengan Pendapatan Asli Daerah. Diukur dari perbandingan antara Pendapatan Asli Darah pada tahun berjalan dengan Total Pendapatan Daerah yang dinyatakan dalam persentase. 6. Derajat Otonomi Fiskal (DOF) dapat diketahui dengan menghitung Indeks Kemampuan Rutin (IKR), yaitu kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai pengeluaran rutin dan diukur dari rasio PAD terhadap belanja rutin yang dinyatakan dalam persentase. 7. Kapasitas Fiskal merupakan kemam-puan keuangan daerah yang digu-nakan untuk menentukan besarnya bantuan hibah yang akan diberikan de daerah. Dapat dihitung dari per-bandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah ditambah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Aloksi Umum dan Lain-lain Pendapatan yang Sah (kecuali Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, Pinjaman dan Penerimaan lain yang dibatasi) di-kurangi Belanja Pegawai terhadap jumlah penduduk miskin pada tahun terakhir yang dinyatakan dalam persentase. Teknik Analisis Data Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui tahap-tahap sebagai berikut:.
406
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
1. Untuk menghitung derajat desentralisasi fiskal Kabupaten Dharmasraya (Depdagri : 1991:19). Rumus: PADt DDF = .
x 100 % TPDt
Dimana : DDF = derajat desentralisasi fiskal PADt = Total PAD tahun t TPDt = Total Penerimaan Daerah tahun t
Analisis Derajat Otonomi Fiskal (DOF) yang dapat diperoleh dengan menghitung Indeks Kemampuan Rutin (Depdagri :1991:19)
PADt IKR =
x 100 % Belanja Rutint
2. Analisis efisiensi dan efektivitas a. Analisis Efisiensi Pengelolaan PAD (Insukindro, dkk : 1994:7)
Belanja DPPKD Efisiensi =
X 100 % Realisasi PAD
Di mana : Belanja Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah diasumsikan sebesar yang tercantum dalam APBD yang terdiri dari belanja pegawai, belanja rutin dan belanja
Realisasi PAD Efektivitas = Potensi PAD Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini dalam menentukan besarnya potensi digunakan pendekatan angka
407
operasional ,sedangkan realisasi PAD adalah realisasi penerimaan sumber-sumber PAD. b.
Analisis Efektivitas Pengelolaan PAD (Insukindro, dkk : 1994:7)
X 100 %
rencana atau target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah telah melalui
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) perhitungan potensi PAD atau potensi diproxy sebagai target. 3. Perhitungan Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten berdasarkan Permenkeu No: 73/PMK-02/2006.
Perhitungan kapasitas fiskal daerah ini digunakan untuk penetapan besaran pemberian hibah kepada daerah.
Rumus:
( PAD + BH + DAU + LP ) - BP KF = Jumlah Penduduk Miskin Dimana: KF PAD Daerah BH
= Kapasitas Fiskal = Pendapatan Asli
= Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) DAU = Dana Alokasi Umum LP = Lain-lain Pendapatan yang Sah kecuali DAK, Dana Darurat, Pinjaman dan Penerimaan lain yang dibatasi BP = Belanja Pegawai Jumlah Penduduk miskin = Jumlah Penduduk miskin berdasarkan data BPS Pusat tahun terakhir
X 100 %
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tingkat Desentralisasi Fiskal Kab. Dharmasraya Tolok ukur dari pelaksanaan otonomi daerah salah satunya adalah kesiapan Pemerintah Daerah dalam menyediakan sumber keuangan yang mencukupi dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan. Hal ini tercermin dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu seberapa besar kontribusi PAD terhadap APBD, sehi-ngga PAD merupakan sumber penda-patan yang penting untuk membiayai kegiatan pemerintahan. Dari data Struktur Penerimaan APBD Kab.Dharmasraya pada tabel 5 diatas dengan menggunakan rumus derajat desentralisasi fiskal dapat diketahui tingkat kemandirian Kab. Dharmasraya sebagai berikut:
Rumus: PADt DDF .
=
x
100%
TPDt
Pada tahun 2007, PAD Kab. Dharmasraya adalah sebesar 17.404 milyar dengan Total Pendapatan Daerah sebesar 389.543 milyar sehingga diperoleh persentase DDF 4%. Tahun 2008 dengan PAD sebesar 21.722 milyar dan
Total Pendapatan 462.631 maka DDF nya adalah 5%. Tahun 2009 dengan PAD sebesar 25.120 milyar dan Total Pendapatan 483.663 milyar diperoleh DDF 5%. Selanjutnya tahun 2010 dengan PAD sebesar 25.541 milyar dan
408
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
Total Pendapatan 475.098 milyar DDF adalah 5%.Dan pada tahun 2011 PAD Kab.Dharmasraya sebesar 34.423 milyar dengan Total Pendapatan 549.616 sehinga diperoleh DDF sebesar 6%.
Tahun
Ringkasan gambaran kondisi keuangan daerah Kab. Dharmasraya dapat dilihat pada tabel 4 (data pada Tabel 5 diolah) berikut:
Perkembangan Proporsi Penerimaan Terhadap APBD Kab. Dharmasraya Tahun 2007 s/d 2011 (dalam %) SIL LainTransfer Transfer PA Transfer lain Total Pemerintah Pemerintah Tah PAD Pemerintah PAD Pinjaman Pendapatan Pusat-Dana Pusatun Propinsi yang Daerah Perimbangan Lainnya Lalu Sah
2007
19%
4%
71%
1%
4%
1%
0%
100%
2008
18%
5%
68%
4%
3%
2%
0%
100%
2009
15%
5%
66%
10%
3%
0%
0%
100%
2010
9%
5%
70%
12%
3%
0%
0%
100%
2011
4%
6%
66%
14%
5%
0%
4%
100%
1%
100%
Rata13% 5% 68% 8% 4% 1% rata Sumber: DPPKD Kab. Dharmasraya, Laporan Keuangan (Data diolah) Dari data pada tabel 6 dapat dilihat bahwa persentase PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) Kab. Dharmasraya dari tahun 2007 s/d 2011 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 sebesar 4%, kemudian tahun 2008 hinggan tahun 2010 adalah 5%. Kemudian tahun 2011 meningkat menjadi 6%.Namun demikian kondisi ini berdasarkan skala interval Derajat Desentralisasi Fiskal Tim Fisipol UGM proporsi PAD terhadap TPD masih termasuk kategori “Sangat Kurang” karena berada dibawah angka 10%.Meskipun ada peningkatan persentase sebesar 1% tiap tahunnya namun angka tersebut tidak cukup memadai. Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Dharmasraya masih harus menggali potensi PAD agar dapat lebih meningkatkan keuangan daerahnya. Sementara
409
persentase Transfer dari Pemerintah Pusat sangat tinggi yaitu mencapai ratarata 68%/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Dharmasraya masih sangat tergantung pada Pemerintah Pusat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Dharmasraya belum mandiri secara keuangan dalam melaksanakan otonomi daerah karena PAD yang diterima belum dapat mencukupi kebutuhan keuangan daerah. Analisis Derajat Otonomi Fiskal Indikator derajat otonomi fiskal daerah dapat dilihat dari sisi pengeluaran artinya seberapa besar kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai pengeluaran rutin daerah tersebut. Kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai pengeluaran rutin dapat dilihat dari Indeks
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) Kemampuan Rutin yang diperoleh dari rasio besarnya Pendapatan Asli Daerah terhadap pengeluaran rutin daerah dalam persentase pada tahun yang sama. Tolok ukur indeks kemampuan rutin daerah digunakan kriteria seperti yang dikemukakan oleh Tumilar (1997:38).
Dengan menggunakan rumus IKR tersebut dapat dihitung Indeks kemampuan rutin Kabupaten Dharmasraya dari tahun anggaran 2007 sampai dengan tahun anggaran 2011 sebagaimana terlihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7 Indeks Kemampuan Rutin Kabupaten Dharmasraya Tahun 2007 s/d 2011 Realisasi Belanja Tahun Realisasi PAD IKR Rutin 1 2 3 4=2/3*100 2007
17.404.345.346
171.784.994.946
10%
2008
21.722.363.712
214.114.833.966
10%
2009
25.120.058.434
248.892.824.521
10%
2010
25.541.706.459
305.538.053.471
8%
2011
34.423.462.235
322.021.063.777
11%
Rata-rata
24.842.387.237
252.470.354.136
10%
Sumber: DPPKD Kab. Dharmasraya, Laporan Keuangan (data diolah) Dari data Indek Kemampuan Rutin Kab. Dharmasraya pada tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa tingkat IKRnya pada tahun 2007 sampai dengan 2009 adalah sebesar 10%, kemudian turun pada tahun 2010 menjadi 8% dan pada tahun 2011 mengingkat kembali menjadi 11%. Secara rata-rata dari tahun 2007 sampai dengan 2011 diperoleh Indeks Kemampuan Rutin sebesar 10%. Berdasarkan interval Indeks Kemampuan Rutin Tumilar, rasio IKR Kabupaten Dharmasraya berada dibawah 20% yang berarti masuk kategori “Sangat Kurang”. Persentase Indeks Kemampuan Rutin ini menunjukkan bahwa PAD Kabupaten Dharmasraya hanya mampu
memenuhi 10% dari kebutuhan belanja rutinnya. Analisis Efisiensi dan Efektivitas a. Efisiensi Efisiensi merupakan rasio antara biaya yang dikeluarkan untuk belanja kegiatan Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Dharmasraya sebagai instansi pengumpul Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Ukuran ini dipakai untuk memperoleh pendapatan tertentu digunakan biaya seminimal mungkin sebagaimana motif ekonomi. Karena itu tingkat efisiensi yang terjadi akan lebih
410
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
besar apabila biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan penerimaan ditekan serendah mungkin, sehingga realisasi penerimaan semakin meningkat.
Dengan menggunakan rumus Efisiensi dapat dihitung tingkat efisiensi pengelolaan pendapatan daerah Kabupaten Dharmasraya dari tahun 2007 sampai dengan 2011 sebagai berikut:
Tingkat Efisiensi Pengelolaan PAD Kabupaten Dharmasraya Tahun 2007 s/ 2011 Tahun
Realisasi PAD
Total Belanja DPPKD
Efisiensi
1
2
3
4=3/2*100
2007
17.404.345.346
6.179.636.884
36%
2008
21.722.363.712
6.944.472.676
32%
2009
25.120.058.434
7.224.655.293
29%
2010
25.541.706.459
7.701.424.700
30%
2011
34.423.462.235
7.288.191.972
21%
Rata-rata 24.842.387.237 7.067.676.305 28% Sumber: DPPKD Kab. Dharmasraya, Perda Pertanggun jawaban APBD (Data diolah) Tingkat efisiensi pemungutan PAD Kabupaten Dharmasraya pada periode 2007 sampai dengan 2011 diatas tampak berfluktuasi. Tingkat efisiensi paling tinggi adalah pada tahun 2007 yaitu sebesar 36%, kemudian tahun 2008 turun menjadi 32%. Selanjutnya pada tahun 2009 turun lagi menjadi 29% kemudian naik pada tahun 2010 menjadi 30%. Dan paling rendah pada tahun 2011 yaitu sebesar 21%. Secara rata-rata tingkat efisiensi keuangan daerahnya adalah sebesar 28%. Berdasarkan kriteria kinerja keuangan menurut Kepmendagri No: 689.900.327 tahun 1994 maka Kabupaten Dharmasraya termasuk dalam kategori “Sangat Efektif” karena persentase tingkat efisiensi Kab. Dharmasraya selama periode analisa berada dibawah 60%.
411
b. Efektivitas Efektivitas merupakan rasio antara realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah dengan potensi/target Pendapatan Asli Daerah. Tingkat efektivitas yang terjadi akan lebih besar apabila realisasi Pendapatan Asli Daerah lebih besar dari potensi Pendapatan Asli Daerah. Mengingat sulit dan kurang tersedianya data potensi Pendapatan Asli Daerah, maka diasumsikan target Pendapatan Asli Daerah adalah merupakan potensi Pendapatan Asli Daerah atau potensi sama dengan target. Dengan menggunakan rumus efektivitas, dapat dihitung tingkat efektivitas pengelolaan pendapatan daerah Kabupaten Dharmasraya seperti pada tabel 9 berikut ini.
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) Tingkat Efektivitas Pengelolaan PAD Kabupaten Dharmasraya Tahun 2007 s/ 2011 Tahun
Target PAD
Realisasi PAD
Efektivitas
1
2
3
4=3/2*100%
2007 2008 2009 2010 2011
16.862.806.500
17.404.345.346
22.466.000.000
21.722.363.712
45.131.200.000
25.120.058.434
40.110.950.000
25.541.706.459
45.198.998.800
34.423.462.235
103% 97% 56% 64% 76%
Rata79% rata 33.953.991.060 24.842.387.237 Sumber: DPPKD Kab. Dharmasraya, Perda Pertanggungjawaban APBD (Data diolah) Dari tabel 9 dapat dilihat tingkat efektivitas pemungutan PAD pada Kabupaten Dharmasraya selama periode 2007 sampai dengan 2011 ratarata adalah sebesar 79%. Tingkat efektivitas paling tinggi adalah pada tahun 2007 hingga melebihi target PAD yaitu mencapai 103% kemudian turun pada tahun 2008 menjadi 97%. Tahun 2009 perolehan PAD sangat jauh dari target hingga tingkat efektivitas kembali turun menjadi 56%. Namun pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 76%. Selanjutnya pada tahun 2011 tingkat efektivitas pengelolaan PAD Kab.Dharmasraya adalah sebesar 76%. Berdasarkan kriteria kinerja keuangan menurut Kepmendagri No: 689.900.327 tahun 1994 maka tingkat efektivitas pemungutan PAD Kabupaten Dharmasraya pada
tahun 2007 adalah “Sangat Efektif”. Kemudian pada tahun 2008 adalah “Efektiv”.Namun pada tahun 2009 adalah “Tidak Efektif” dan pada tahun 2010 hingga 2011 termasuk kategori “Kurang Efektif‟. Dari data di atas juga dapat dilihat selisih yang cukup mencolok antara realisasi dengan target PAD yang ditetapkan. Karen itu-Pemerintah Kabupaten Dharmasraya harus lebih meningkatkan upaya pemungutan PAD. Salah satu kendala dalam pemungutan tersebut adalah Perda Pemungutan PAD yang belum lengkap dan masih kurangnya tenaga pemungut. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Kabupaten Dharmasraya agar pencapaian target PAD dapat dilakukan dengan lebih baik.
412
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
02/2006 tingkat kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dengan menghitung indeks kapasitas daerahnya. Kategori daerah berdasarkan indeks kapasitas daerah adalah sebagai berikut: indeks kurang dari 0.5 adalah kategori rendah, lebih dari 0.5 dan kurang dari 1 adalah sedang, sama dengan atau lebih dari 1 dan kurang dari 2 adalah tinggi, dan sama dengan atau lebih dari 2 adalah sangat tinggi. Indeks kapasitas fiskal daerah Kabupaten/ Kota se-Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini:
Analisis Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal daerah merupakan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah ditambah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Lain-lain Pendapatan yang Sah (kecuali Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, Pinjaman dan Penerimaan lain yang dibatasi) dikurangi Belanja Pegawai terhadap jumlah penduduk miskin pada tahun terakhir yang dinyatakan dalam persentase. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No: 73/PMK-
Tabel 10 Perhitungan Kapasitas Fiskal Daerah Kabupaten/ Kota se-Sumatera Barat Jumlah Total Kapasit Indeks Belanja Pendud No Kabupaten/ Kota Pendapatan as Kapasitas Kategori Pegawai uk Daerah Fiskal Fiskal Miskin 5= (26=5/Rata1 1 2 3 4 3)/4 rata 1 Kab. Lima Puluh Kota 545.593 440.860 36.500 3 0,195622601 Rendah 2 Kab. Agam
589.334
550.253
44.900
1
0,059340018
Rendah
3 Kab. Padang Pariaman
684.209
491.898
46.300
4
0,283172767
Rendah
4 Kab. Pasaman
432.710
319.436
27.800
4
0,277788198
Rendah
5 Kab. Sijunjung
407.456
280.689
21.100
6
0,409592605
Rendah
6 Kab. Tanah Datar
528.466
465.622
23.300
3
0,183880742
Rendah
7 Kota Bukit Tinggi
373.789
276.989
7.600
13
0,868340614
8 Kota Padang Panjang
297.657
183.652
3.600
32
2,158985609
Sedang Sangat Tinggi
1.002.809
806.590
52.700
4
0,25383926
Rendah
10 Kota Payakumbuh
333.752
265.128
12.400
6
0,377296428
Rendah
11 Kota Sawahlunto
313.180
189.818
1.400
88
6,007333124
Sangat Tinggi
9 Kota Padang
413
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos)
No
Kabupaten/ Kota
12 Kota Pariaman
Total Pendapatan Daerah 314.264
Belanja Pegawai 200.321
Jumlah Indeks Kapasitas Penduduk Kapasitas Kategori Fiskal Miskin Fiskal 4.700 24 1,652791769 Tinggi
13 Kab. Pasaman Barat
550.671
319.873
35.100
7
0,448284037
Rendah
14 Kab. Solok Selatan
342.176
188.688
16.100
10
0,649945439
Sedang
399.907
146.317
15.100
17
1,144942103
Tinggi
564.270
398.313
41.000
4
0,275956144
17 Kota Solok
332.259
167.564
3.760
44
2,986213944
18 Kab. Dharmasraya
389.145
221.738
20.300
8
0,562219527
Rendah Sangat Tinggi Sedang
19 Kab. Pesisir Selatan 600.540 468.886 Rata-rata Sumber: Dirjen Perimbangan (Lampiran 2, data diolah)
43.900
3 15
0,204455072
Rendah
Kab. Kepulauan Mentawai 16 Kab. Solok 15
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa tingkat kapasitas fiskal Kabupaten Dharmasraya adalah 0.56. Berdasarkan Permenkeu No.73/PMK02/2006 indeks tersebut dikategorikan daerah berkemampuan sedang. Sedang daerah berkemampuan sangat tinggi adalah Kota Padang Panjang, Sawahlunto, dan Kota Solok. Dan daerah dengan kemampuan fiskal rendah terdapat 10 kabupaten/ kota. Data diatas diperoleh dari perbandingan realisasi APBD tahun 2011 dengan jumlah penduduk miskin tahun 2010, dengan asumsi jumlah penduduk miskin tahun 2010 sama dengan tahun 2011. Hal ini dilakukan karena belum ada kepastian data jumlah penduduk miskin Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat tahun 2011. Data diatas dapat berubah jika terjadi penambahan atau pengurangan jumlah penduduk miskin di tahun 2011.
SIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis pada bab sebelumnya maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan menggunakan analisis derajat desentralisasi fiskal yaitu rasio antara PAD dengan total penerimaan daerah (TPD) selama kurun waktu 2007 s/d 2011, secara rata-rata tingkat desentralisasi Kab. Dharmasraya adalah sebesar 5 % . Ini dapat dikategorikan sangat kurang karena berada di bawah rasio 10% sesuai hasil penelitian FISIPOL UGM dengan Litbang Depdagri. Hal ini berarti kemampuan keuangan Kab. Dharmasraya yang berasal dari pendapatan asli daerah masih sangat rendah dan dapat dinyatakan belum mandiri secara keuangan. 2. Tingkat ketergantungan Kabupaten Dharmasraya kepada pemerintah pusat juga masih sangat tinggi. Hal ini tampak pada persentase Dana Perimbangan rata-rata selama tahun 2007 s/d 2011 adalah sebesar 68%. Angka ini adalah melebihi setengah
414
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 392 - 416
dari struktur APBD Kab. Dharmasraya. 3. Hasil analisis Indeks Kemampuan Rutin atau rasio PAD terhadap belanja rutin selama periode 2007 s/d 2011 adalah 10%. Hal ini berarti bahwa PAD rata-rata hanya mampu membiayai 10% dari pengeluaran rutinnya, dan dikategorikan sangat kurang. 4. Dari analisis efisiensi dan efektivitas diketahui bahwa tingkat efektivitas pemungutan PAD Kab. Dharmasraya selama tahun anggaran 2007 sampai dengan tahun anggaran 2011 rata-rata adalah 79%. Ini termasuk kategori “Cukup Efektif” yang berarti Pemerintah Kabupaten Dharmasraya masih perlu meningkatkan upaya dalam pemungutan PAD. 5. Dari hasil perhitungan kapasitas fiskal daerah diketahui bahwa indeks kapasitas fiskal daerah Kab. Dharmasraya pada tahun 2011 adalah 0.59. Berdasarkan indeks kapasitas fiskal daerah menurut Permenkeu No.73/PMK-02/2006 maka Kabupaten Dharmasraya adalah daerah dengan kemampuan fiskal sedang. Artinya Kab. Dharmasraya masih sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat untuk dapat memenuhi kebutuhan atau belanja daerah. DAFTAR PUSTAKA Binder, Brian,B.J., 1984 , a Possible Concept for an Equalization Grant to Indonesia, Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol.XXXII , No.2.13-25. Bratakusumah, D.S. dan Dadang Solihin, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan
415
Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Darumurti, K.D. dan Umbu Rauta, 2000, “Otonomi Daerah, Kemarin, Hari ini, dan Esok”, Kritis, Vol.XII No. 3. 1–53. Devas,Nick.,Anne Both.,Bryan Binder.,Kenneth Davey.,Roy Kelly, 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-Press, Jakarta. Fisipol UGM, 1991, “PengukuranKemampuan Keuangan Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab”, Laporan Akhir Penelitian, Litbang Depdagri. Jakarta. Insukindro, Mardiasmo, Widayat, W., Jaya, W.K., Purwanto, B.M., Halim, A., Suprihanto,J., Purnomo, A. Budi, 1994, “Peranan dan Pengelolaan Keuangan daerah dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, Laporan Penelitian, KKD, FE-UGM. Yogyakarta. Kaho, Josep Riwu., 1998, “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”, PT. Bina Aksara, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad, 1995, “Desentralisasi Fiskal di Indonesia”, Prisma, Vol. VII No.4, 3 –17. Manullang, M. “Beberapa Aspek Administrasi Pemerintah Daerah” , Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1973. Mardiasmo, 2001, “Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah untuk Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah 2001”, Makalah Seminar, MEPUGM, Yogyakarta. Radianto, Elia, 1997, “Otonomi Keuangan daerah Tingkat II
Analisis Tingkat Kemandirian...(Jhon Fernos) Suatu Studi di Maluku”, Prisma, VOL. IX , No. 3. 24 – 37. Reksohadiprodjo, Sukanto, 2001, Ekonomika Publik, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Republik Indonesia, 2004, “Undangundang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah”. Republik Indonesia, 2004, “Undangundang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”. Republik Indonesia, 2006, “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 tahun 2006 tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam RAngka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Bentuk Hibah ”. Scalapino, Robert. “Regional Dynamics : Security, Political and Economic Issues in Asia – Pacific Region “ , CSIS, Jakarta, 1990. Smith, B. C. “Decentralization : The Territorial Dimension of The State”, George Allen & Unwin, London, 1985. Sumodiningrat, G. “Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat” , PT. Bina Pena Pariwara, Jakarta, 1996. Syamsi, Ibnu., 1986, „Pokok-Pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman, dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional “, CV. Rajawali, Jakarta. Syaukani, HR., Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid, 2002, “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”, Kerjasama PUSKAP dan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Jakarta.
Utomo, Warsito.,2000,”Aspek Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia di dalam Implementasi Otonomi (Tuntutan Kompabilitas dan Akuntabilitas)”, Makalah disampaikan pada Lustrum I MEP, UGM,Yogyakarta. Website Dirjen Perimbangan: www.djpk.depkeu.go.id/dataseries/data-keuangandaerah/setelah-TA-2006
416