IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH BIDANG PENDIDIKAN
MAKALAH Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan
Disusun Oleh : Nama NIM Prodi
: : :
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Implementasi Kebijakan Otonomi Derah Bidang Pendidikan” ini dengan baik tanpa menemukan hambatan yang berarti. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan. Atas terselesaikannya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/ Ibu ... selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Pendidikan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkenan membaca dan mempelajarinya.
Yogyakarta, 28 Oktober 2015
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era otonomi daerah peningkatan mutu pendidikan adalah tantangan penting. Pemeringkatan internasional menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia berdaya saing rendah secara global, sehingga perlu memperoleh perhatian secara seksama. Situasi yang berkembang hingga saat ini menunjukkan adanya keraguan akan kesiapan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Ini berarti ada keraguan akan masa depan sektor pendidikan karena sektor pendidikan merupakan salah satu kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Sangatlah ironis, kalau otonomi daerah pada akhirnya justru menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pendidikan, dan pada gilirannya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dari sini dapat dilihat bahwa otonomi di sektor pendidikan diharapkan akan memperbaiki kualitas pendidikan, bukan sebaliknya. Hal itulah yang melatarbelakangi penulis menyusun makalah yang berjudul “ Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan” ini.
B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini, penulis menyusun rumusan-rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa pengertian otonomi daerah bidang pendidikan? 2. Bagaimana kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masa depan sektor pendidikan di era otonomi daerah? 4. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan? 5. Bagaimana implikasi otonomi daerah bidang pendidikan terhadap sumber daya manusia?
6. Bagaimana implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan saat ini?
C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Dapat mengetahui pengertian otonomi daerah bidang pendidikan. 2. Dapat mengetahui kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. 3. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masa depan sektor pendidikan di era otonomi daerah. 4. Dapat mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan. 5. Dapat mengetahui implikasi otonomi daerah bidang pendidikan terhadap sumber daya manusia. 6. Dapat mengetahui implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan saat ini.
D. Ruang Lingkup Masalah Agar tidak memberikan cakupan yang terlalu luas, penulis memberikan ruang lingkup masalah berupa otonomi daerah bidang pendidikan yang menyangkut pengertian, kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi, kendala yang dihadapi, implikasinya terhadap SDM, dan implementasinya saat ini.
E. Manfaat Penulisan Penulisan makalah ini selain memberikan manfaat tersendiri bagi penulis, bermanfaat pula bagi para pembaca. Dengan membaca makalah ini, pembaca mampu memahami hal-hal yang telah disebutkan dalam rumusan dan tujuan di atas, yakni hal-hal yang terkait dengan otonomi daerah bidang pendidikan. Dengan demikian, melalui pemahaman ini diharapkan otonomi daerah bidang pendidikan dapat berjalan secara optimal menuju sumber daya manusia yang lebih baik.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Otonomi Daerah Bidang Pendidikan Istilah otonomi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik sebuah definisi dari otonomi daerah bidang pendidikan adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pendidikannya dalam rangka mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
B. Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan Tujuan pendidikan secara umum adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sebagaimana yang tercantum dalam GBHN yang berbunyi ”Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mandiri, maju, tangguh, cerdas kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif, serta sehat jasmani dan rokhani.” Untuk mendukung tujuan pendidikan nasional itulah, dibentuk suatu kebijakan otonomi daerah
di bidang pendidikan yang merupakan suatu
kewenangan yang diberikan pusat kepada daerah untuk mengurus sendiri urusan pendidikannya. Otonomi daerah bidang pendidikan ini merupakan
usaha untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Kebijakan yang diambil diantaranya adalah sebagai berikut: Memberikan hak kepada daerah untuk mengurus urusan pendidikannya sendiri. Memberikan fasilitas kepada pemda untuk menunjang pendidikan. Merekrut dan mengembangkan kualitas guru sebagai pendidik.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masa Depan Sektor Pendidikan di Era Otonomi Daerah Ada beberapa faktor/aspek yang menjadi titik krusial yang mempengaruhi masa depan sektor pendidikan di era otonomi daerah. Beberapa hal yang dimaksud adalah penyelenggaraan pendidikan, organisasi dan personel, pembiayaan pendidikan, manajemen sekolah, serta standar pelayanan minimum (SPM). Berikut adalah penjelasannya: 1. Penyelenggaraan Pendidikan Setelah keluar PP 25/2000, menjadi jelas bahwa hampir seluruh kewenangan berkaitan dengan pendidikan SD, SLTP dan SLTA akan berada di tangan pemda. Hanya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ini merupakan perubahan yang radikal, karena sebelumnya hanya penyelenggaraan pendidikan SD yang dikelola oleh pemda. Dari sini mulai muncul bayangan persoalan mengenai kesanggupan dan kemampuan pemda untuk mengelola seluruh jenjang pendidikan di luar pendidikan tinggi. Menyimak dari apa yang bisa diamati, terlihat bahwa pendidikan SD relatif mengandung lebih banyak masalah dibandingkan dengan SLTP dan SLTA. Ilustrasi yang paling sederhana, persoalan potongan terhadap gaji guru sangat dirasakan oleh para guru SD yang nota bene berada di bawah kendali pemda. Sementara itu, persoalan kualitas pendidikan tak memperlihatkan perbedaan yang signifikan (dalam arti lebih baik) dibandingkan dengan jenjang pendidikan di atasnya. Nilai lebihnya
barangkali terletak pada sifat pendidikan SD yang lebih mudah dikontrol, karena span of control nya yang lebih sempit. Akan sangat baik, kalau pemda bersikap realistis dalam menilai kesanggupan dan kemampuannya mengelola pendidikan di era otonomi. Sebagai contoh, ada baiknya semua pihak membuka kemungkinan untuk menyerahkan pengelolaan pendidikan SLTA kepada provinsi sebagai transisi
sebelum
semuanya
ditangani
daerah.
Dalam
pengelolaan
pendidikan, semua pihak sebaiknya mengedepankan kalkulasi risiko terhadap kualitas SDM dan membuang jauh orientasi uang dan kekuasaan.
2. Organisasi dan Personel Penyelenggaraan
pendidikan
sangat
terkait
dengan
penataan
organisasi dan personel yang menanganinya. Di era otonomi daerah, praktis hanya ada satu instansi yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan (umum), yakni Dinas Pendidikan (atau apa pun namanya) di bawah pemda. Dinas pendidikan akan menjadi sebuah instansi dengan kewenangan dan tanggung jawab yang sangat besar. Tanpa adanya upaya up-grading, sulit membayangkan Dinas Pendidikan akan mampu menangani semua urusan pendidikan dari jenjang TK/SD hingga SLTA. Urusan personel tak berhenti pada pegawai di lingkungan diknas. Yang sangat krusial justru masalah guru. Di era otonomi, rekrutmen dan pengembangan kualitas guru akan menjadi wewenang pemda. Akan tetapi, ada keraguan bahwa pemda akan mampu menangani masalah rekrutmen guru ini dengan baik. "Benang ruwet" seputar perpindahan guru antardaerah menunjukkan, bahwa keraguan tersebut bukannya tak beralasan. Pada prinsipnya, penanganan masalah guru ini terkait erat dengan kewenangan penyelenggaraan pendidikan. Kalau memang seluruh jenjang pendidikan diserahkan kepada daerah, tak ada alasan untuk tidak juga
menyerahkan kewenangan itu kepada daerah. Sebaliknya, jika ide penyerahan kewenangan penyelenggaraan dilakukan secara berjenjang, di mana diusulkan SLTA ditangani oleh provinsi, hanya masalah guru SD dan SLTP yang akan menjadi tanggung jawab daerah, sementara masalah guru SLTA ditangani oleh provinsi.
3. Pembiayaan Pendidikan Para penentu kebijakan otonomi daerah selalu menyatakan, uang mengikuti kewenangan. Artinya, setiap transfer kewenangan dari pusat ke daerah akan diikuti dengan transfer dana. Dalam konteks demikian, perdebatan mengenai kecilnya anggaran sektor pendidikan dalam RAPBN sangatlah mengherankan. Dengan begitu banyaknya kewenangan pusat yang diserahkan kepada daerah, mestinya anggaran pendidikan dalam APBN (yang mencerminkan kebutuhan dana Depdiknas) akan jauh berkurang, bukan tetap atau justru meningkat. Secara teknis, sebagian besar anggaran untuk Depdiknas mestinya sudah harus dimasukkan ke dalam DAU yang akan dibagikan kepada setiap kabupaten/kota. Perdebatan seputar bujet pendidikan dalam APBN, di mana anggaran pendidikan (Depdiknas) dianggap terlalu rendah. Di era otonomi daerah, komponen terbesar pembiayaan pendidikan akan berasal dari APBD. Bahwa dana dalam APBD itu bisa juga berasal dari pusat, misalnya DAU, itu persoalan lain. Pendek kata, APBD akan menjadi amplop besar yang di dalamnya juga berisi anggaran untuk pendidikan di daerah tertentu. Yang menjadi persoalan berikutnya adalah komitmen pemda terhadap sektor pendidikan. Jika suatu daerah memiliki pemda yang memberi perhatian besar pada masalah pendidikan, sektor pendidikan di daerah tersebut pasti tak akan kekurangan dana. Sebaliknya, jika pemda tak menganggap sektor pendidikan sebagai prioritas bisa dipastikan sektor pendidikan akan telantar. Padahal, dana itu
sebenarnya masih jauh dari kebutuhan. Oleh karena itu, setiap pemda juga dituntut kemampuannya untuk melibatkan sektor swasta (private sector) dalam membiayai pendidikan di daerahnya. Kuncinya terletak pada akuntabilitas, yakni kemampuan pemda untuk mempertanggungjawabkan penggunaan uang yang diperolehnya dari masyarakat.
Tanpa
akuntabilitas
masyarakat
tidak
akan
mau
menyumbangkan dana dengan jumlah yang signifikan untuk pendidikan.
4. Manajemen Sekolah Sebelum lahir kebijakan otonomi daerah, pemerintah (Depdiknas) sebenarnya
sedang
bersiap
untuk
mengimplementasikan
kebijakan
manajemen berbasis sekolah (MBS) atau School Based Management. Kebijakan ini pada intinya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Dalam konsep MBS, sekolah memiliki kewenangan untuk melibatkan masyarakat (bukan hanya orang tua) dalam berbagai aspek penyelenggaraan kegiatan
sekolah.
Meskipun
diakui
banyak
kendala
untuk
mengimplementasikannya, MBS dianggap sebagai salah satu kunci kemajuan pendidikan di masa yang akan datang. Sekarang, setelah memasuki era otonomi daerah, keterbatasan kewenangan pusat juga terwujud pada ketiadaan kewenangan bagi Depdiknas untuk "memaksa" pemda menerapkan konsep tersebut. Dengan demikian, tidak ada kepastian bahwa semua daerah akan menerapkan konsep MBS dalam pengelolaan pendidikan. Kalau pun daerah ingin menerapkan konsep ini, belum tentu aparat yang berwenang memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup untuk melakukannya. Apa pun sistem manajemen sekolah yang nantinya dipakai oleh pemda, dan juga variasinya, yang terpenting adalah membangun sistem manajemen di sekolah yang lebih accountable. Dengan manajemen yang
lebih
bisa
dipertanggungjawabkan,
sekolah
diyakini
akan
mampu
melibatkan masyarakat secara intens dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
5. Standar Pelayanan Minimum (SPM) Pada intinya, SPM merupakan standar yang harus dicapai oleh setiap daerah untuk dianggap mampu menyelenggarakan (dalam hal ini) pendidikan. SPM ini tidak boleh terlalu rendah, tetapi juga tidak boleh terlalu tinggi. Jika terlalu rendah, semua akan bisa mencapainya, tetapi tidak memberi jaminan bagi kualitas SDM. Kalau terlalu tinggi, semua daerah tak akan sanggup memenuhinya. Melihat perkembangan hingga saat ini, SPM cenderung terlalu tinggi, hingga lebih layak disebut sebagai standar ideal ketimbang standar minimal. Untuk keperluan pengujian, diperlukan sebuah evaluasi yang sifatnya nasional. Evaluasi tersebut mirip dengan Ebtanas, tetapi tidak digunakan untuk menentukan kelulusan siswa, serta dilaksanakan untuk semua kelas di semua jenjang pendidikan. Evaluasi yang dimaksud hanya merupakan alat monitoring. Tanpa itu, pemerintah tak akan punya alat untuk menilai kemampuan daerah dalam memenuhi SPM, dan tak akan mampu memonitor kualitas pendidikan di era otonomi daerah. Oleh karenanya, mestinya Ebtanas tidak perlu dihapus, tetapi cukup diubah format dan orientasinya.
D. Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik yang bersifat konseptual maupun masalah yang bersifat faktual.
a) Masalah konseptual berkaitan dengan berbagai masalah inheren yang terdapat dalam otonomi konsep otonomi daerah, seperti: - Kebijakan otonomi daerah dapat diintepretasi sebagai otonomi yang seluas-luasnya yang memisahkan kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara rigid. - Tidak ada hubungan hierarkhis pemerintah antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. - Tidak ada hubungan yang jelas antarpemerintah di satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. b) Masalah faktual yang muncul dalam implementasi kebijakan otonomi daerah, antara lain daerah tidak merasa siap menerima satuan kerja pusat yang telah diserahkan ke daerah dan secara sepihak mengembalikannya ke pusat.
E. Implikasi Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) Upaya untuk meningkatkan mutu Pendidikan di
Indonesia
sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1969 dalam Pelita I (Suderajat, 2000). Dalam GBHN dan REPELITA selanjutnya selalu tercantum bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Berbagai inovasi dan program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru melalui berbagai pelatihan, peningkatan manajemen pendidikan, serta pengadaan alat peraga dan fasilitas lainnya. Namun berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan belum meningkat secara nyata. Dari dalam negeri diketahui bahwa Nilai Ebtanas Murni (NEM) SD sampai SLTA masih relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Menurut Blazely dkk (1997, dalam Depdiknas, 2001) pembelajaran di sekolah cenderung teoritik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan obyek yang
dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan keseharian.
Pendidikan seakan mencabut anak didik dari
lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri. Dari dunia usaha muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Ketidakpuasan berjenjang juga terjadi. Kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa bekal lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran SLTA, dan kalangan Perguruan Tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan ( Depdiknas, 2001). Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia juga turut memperparah
kondisi
pendidikan.
Hal
ini
ditunjukkan
dengan
ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya sehingga diperkirakan 6 juta siswa di Jawa Tengah tidak dapat melanjutkan sekolah (Suryanto, 2003). Sedangkan Edi (2003) mengungkapkan di Indonesia 6 juta anak tidak mengenyam pendidikan dan 18,5 juta penduduk dalam kategori buta huruf. Kenyataan lain yang memprihatinkan adalah hanya 12 % dari lulusan SMU yang mampu melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi (Depdiknas, 2001). Ada suatu gejala di pedesaan yaitu lulusan SLTP dan SLTA memiliki keengganan untuk membantu orang tua yang bekerja sebagai petani dan pedagang di pasar yang disebabkan perasaan malu. Fenomena ini dapat menimbulkan masalah pengangguran dan dampak-dampak sosial lainnya. Menurut Biro Pusat Statistik (1997, dalam Suryadi, 2001) jumlah pengangguran lulusan setiap jenjang pendidikan meningkat 4 juta orang pada tahun 1997 dan menjadi 6 juta orang pada tahun 2001. Jumlah pengangguran lulusan sekolah menengah terus meningkat dari 2.1 juta pada tahun 1997 menjadi 2.5 juta orang pada tahun 2000. Peningkatan jumlah pengangguran juga terjadi pada jenjang perguruan tinggi. Sekitar 250 ribu pengangguran lulusan sarjana, 120 ribu lulusan Diploma III, dan 60 ribu lulusan Diploma I dan II. Pada tahun 2002 angka pengangguran di Indonesia mencapai 40 juta
orang. Dari komparasi Internasional, menunjukkan bahwa mutu pendidikan Indonesia kurang menggembirakan. Human Development Index (HDI) menyatakan Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvey dan satu peringkat di bawah Vietnam. Survey the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan Indonesia berada di peringkat 12 dari 12 negara yang disurvey, juga satu peringkat di bawah Vietnam. Hasil studi the Third International Mathematics and Science Study Repeat (TIMSS-R, 1999) melaporkan siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika, dari 38 negara yang distudi di Asia, Australia, dan Afrika (Depdiknas, 2001). Hasil penilaian HDI, TIMSSR, PERC, serta fenomena yang ditemukan di tanah air menunjukkan upaya peningkatan mutu pendidikan yang selama ini dilakukan belum mampu memecahkan masalah mendasar pendidikan di Indonesia. Menghadapi fenomena ini sudah selayaknya Pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit yang mudah dilaksanakan dengan dana yang efisien dan berhasil guna, terutama dalam menghadapi siswa yang putus sekolah baik dari lulusan SD, SMP, SMU. Persoalan lain adalah pada tahun 2003 dimulainya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) yang menyebabkan persaingan tenaga kerja semakin terbuka. Sumberdaya manusia harus mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia. Kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam UU No.22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000 menyebutkan bahwa sebaiknya kabupaten/kota yang secara operasional menangani pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena
itu
program-program
tersebut
seyogyanya
ditangani
oleh
kabupaten/kota, sementara peran Pemerintah Pusat lebih banyak sebagai inisiator dan pendamping. Terbitnya Undang-undang Otonomi Daerah merupakan momen yang tepat untuk membenahi kurikulum pendidikan di Indonesia.
Kebijakan pemerintah membuka peluang untuk mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang ada. Dalam rangka membangun daerah telah dibuat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Kurikulum ini
menitikberatkan pada kecakapan hidup (life skill) yang bertujuan untuk: 1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi. 2. Memberikan
kesempatan
kepada
sekolah
untuk
mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad base education). 3. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (School Based Management) Bertolak dari perubahan paradigma pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup diharapkan lulusan suatu jenjang pendidikan memiliki kompetensi dasar yaitu kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global (Gafur, 2002). Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 5 (lima), yaitu: 1. Kecakapan mengenal diri (Self Awardness) yang juga sering disebut kemampuan personal (Personal Skill).. 2. Kecakapan berpikir rasional (Thinking Skill) 3. Kecakapan sosial (Social Skill) 4. Kecakapan akademik (Academic Skill) 5. Kecakapan vokasional (Vocational Skill) Kelima kecakapan tersebut tidak berfungsi secara terpisah, tetapi setiap sumber daya manusia memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual Bertolak dari perubahan paradigma pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup, maka masalah putus sekolah pada murid SD, SLTP,
dan SMU dapat diantisipasi dengan memberikan pembekalan untuk kehidupannya.
F. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan Implementasi otonomi daerah bidang pendidikan yang terjadi saat ini adalah sebagai berikut: 1. Dilihat dari perspektif policy initiation, proses pengambilan keputusan tidak ditentukan secara objektif oleh analisis kebutuhan dalam pemecahan masalah publik, tetapi lebih ditentukan oleh interest aktor penentu kebijakan daerah yang jangkauannya lebih berjangka pendek. Pendekatan dalam pengambilan kebijakan seperti ini akan memberikan pengaruh kurang sehat terhadap implementasi kebijakan. 2. Latar belakang pendidikan dan latar belakang pekerjaan yang tidak seimbang mengakibatkan adanya imbalance structure dalam proses interaksi antaraktor. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam penentuan maupun dalam implementasi kebijakan cenderung kurang berkualitas. Dalam posisi seperti ini, pihak yang dirugikan adalah masyarakat. 3. Organisasi dan manajemen sebagai sistem penunjang bagi implementasi kebijakan cenderung kurang efektif dalam mewadahi fungsi implementasi kebijakan publik dan belum dapat memfasilitasi implementasi kebijakan pendidikan bagi masyarakat. 4. Pembiayaan atau penyediaan anggaran untuk mendukung implementasi kebijakan dan program pendidikan di dua daerah otonom bisa bervariasi. Kecendurangan para politisi lokal menggunakan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan fisik dan program yang cepat dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah bidang pendidikan merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pendidikannya dalam rangka mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masa depan sektor pendidikan di era otonomi daerah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu penyelenggaraan pendidikan, organisasi dan personel, pembiayaan pendidikan, manajemen sekolah, serta standar pelayanan minimum (SPM). Adapun beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik yang sifatnya konseptual maupun faktual. Kendala-kendala tersebut merupakan bentuk implementasi dari kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. Demikianlah yang dapat penulis simpulkan kaitannya dengan otonomi daerah bidang pendidikan yang merupakan wewenang/otonomi suatu daerah untuk mengatur pendidikannya sendiri.
B. Saran Di sini penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya proses pengambilan keputusan/kebijakan ditentukan secara objektif oleh analisis kebutuhan dalam pemecahan masalah publik sehingga dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. 2. Hendaknya organisasi dan manajemen sebagai sistem penunjang/aspek bagi implementasi kebijakan mampu mewadahi dan memfasilitasi implementasi kebijakan pendidikan bagi masyarakat.
3. Hendaknya terdapat keseimbangan antara latar belakang pendidikan dengan latar belakang pekerjaan agar terjadi proses interaksi antaraktor yang balance dan tidak merugikan pendidikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Haris, Syamsuddin. Dkk. 2003. Desentralisasi dan Otonomi. Jakarta: Pusat Penelitian Politik.
Hartoyo. 2006. Supervisi Pendidikan. Semarang: Pelita Insani.
Nurhidayat, Drs. 2005. Otonomi Daerah Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Derah. Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Surya, Winarna. 1999. Otonomi Daerah. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan.
http://www.freelists.org/archieves/ppi/01-2004/msg00344.html
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0312/06/nas08/html
TUGAS KELOMPOK
Buatlah kelompok yang terdiri dari 2 orang kemudian buatlah makalah seperti contoh di atas mengenai “Permasalahan Pendidikan” yang terjadi di Indonesia saat ini. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut pada rumusan masalah. 1.
Apa saja tantangan kecenderungan global dan nasional yang ada di Indonesia?
2.
Apa sajakah yang menjadi permasalahan pokok pendidikan di Indondesia?
3.
Bagaimana keterkaitan antara permasalahan pendidikan dengan kebijakan pendidikan?
4.
Bagaimana kebijakan
pendidikan dalam kaitannya dengan
ketenagakerjaan? Kumpulkan makalah Anda minggu depan, 4 Oktober 2015. Terima kasih
masalah