ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Penerapan otonomi khusus menjadi salah satu alternatif pilihan oleh banyak negara dalam hal mekanisme penyelesaian konflik, terutama konflikkonflik seperti konflik etnis ataupun konflik agama yang beberapa diantaranya memunculkan gerakan separatis. Lapidoth (1997 dalam Daftary 2000) menilai bahwa pemberian otonomi bertujuan untuk menjamin suatu kelompok minoritas, yang berbeda dengan kelompok mayoritas yang ada dalam masyarakat suatu negara, untuk dapat menjalankan kekuasaan secara mayoritas dalam wilayah tertentu, dimana kelompok minoritas ini dapat mengekspresikan identitasnya yang berbeda. Dengan diberikannya kebebasan untuk mengekspresikan identitasnya ini, keinginan kelompok minoritas untuk melepaskan diri (separatis) dapat dihentikan. Negara-negara seperti Papua Nugini, Inggris (Skotlandia) dan Kanada (Quebec) berhasil menghentikan konflik separatis di wilayahnya melalui penerapan otonomi. Di Papua Nugini, muncul gerakan separatis Bougainville yang menginginkan pemisahan diri dikarenakan sengketa wilayah terkait tembaga dan emas. Konflik ini dapat berakhir pada tahun 1997 dengan bantuan negoisasi dengan Selandia Baru. Dan di tahun 2000, terjadi kesepakatan antara kelompok separatis dengan pemerintah Papua Nugini dengan dibuatnya Autonomous Bougainville Government. Sedikit berbeda dengan yang terjadi di Papua Nugini, penyelesaian konflik separatis di Skotlandia dan Quebec harus diakhiri dengan
1 tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2 adanya referendum, dengan pilihan “separate” atau “unite”, memisahkan diri dari negara inti atau bersatu kembali menjadi wilayah otonomi dari negara inti. Di Skotlandia, referendum yang dilakukan pada 18 September 2014 menghasilkan 55% suara menolak merdeka dan 45% suara mendukung kemerdekaan (republikaonline 2014) Sedangkan di Quebec, referendum pertama yang dilakukan pada tahun 1980 mendapatkan hasil 58,2% menolak untuk memisahkan diri dan 41,8% memilih untuk merdeka. Referendum kedua, 12 Juni 1995, 50,6% rakyat memilih untuk pro Kanada sedangkan 49,4% memilih untuk pro kemerdekaan (atjehpost 2014). Kondisi damai yang terjadi di negara-negara tersebut pasca otonomi menjadi impian bagi banyak negara yang sedang mengalami konflik, terutama konflik internal yang mengarah pada gerakan separatis. Wilayah otonomi merupakan bagian dari suatu negara, dimana biasanya bermukim suatu kelompok etnis atau budaya yang berbeda, yang diberi jaminan untuk melakukan urusan administrasi internal, tanpa harus melepaskan diri dari negara dimana wilayah tersebut menjadi bagian (Crawford 1979). Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian suatu wilayah otonomi politik bertujuan untuk mengatur keberadaan suatu kelompok yang berbeda dari mayoritas populasi dalam suatu negara, dimana mereka dapat mengekspresikan perbedaan identitasnya sebagai suatu kelompok mayoritas dalam wilayah tempatnya bermukim tersebut (Lapidoth 1996). Meskipun ada negara yang mampu menghentikan konflik dengan cara penerapan otonomi, namun fakta di lapangan menunjukkan pula bahwa tidak semua penerapan otonomi khusus menunjukkan upaya penyelesaian konflik mengarah pada tren positif. Beberapa negara yang menerapkan upaya ini justru
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3 belum berhasil menyelesaikan konflik bahkan konflik masih terus muncul. Penerapan otonomi justru memunculkan konflik baru di wilayah otonom. Negaranegara di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Filipina merupakan dua negara yang belum mampu menerapkan otonomi khusus dengan baik, sehingga kondisi damai yang diinginkan dari adanya penerapan otonomi khusus tersebut masih belum dapat terealisasi. Kedua negara ini memiliki fokus permasalahan yang hampir sama yakni masalah separatis. Separatis merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain1. Sejumlah gerakan separatis memiliki sejarah panjang rasa benci kepada pemerintah pusat dan kelompok suku atau agama yang dominan (Anwar,dkk 2004). Masalah di kedua negara ini muncul dari adanya kelompok tertentu, yang berdasarkan kesejarahan mendiami wilayah tertentu, memiliki suatu identitas tertentu (dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai Islam), dimana identitas ini sedikit berbeda (atau bahkan sangat berbeda) dengan mayoritas populasi di negara tersebut. Perbedaan itu memicu konflik ketika dalam upaya mengatasi gerakan ini pemerintah menggunakan pendekatan negara dengan militeristik 2 . Namun, 1
Gerakan ini muncul antara lain disebabkan oleh ketidakpuasan akan kinerja pemerintahan yang kemudian memunculkan ide-ide untuk membentuk suatu gerakan yang memiliki visi dan misi yang berbeda dalam menyaingi keadaan yang sudah ada dalam birokrasi dan tatanan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, adanya kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dalam pemikiran kelompok tersebut disebut tidak wajar, maka cenderung mereka ingin bebas dan keluar dari aturan itu dan memilih memberontak dari kebijakan yang ada dan ingin merdeka dengan caranya sendiri. Alasan lain adalah adanya pemahaman terhadap keyakinan yang cenderung mengarah pada paham separatis dan merusak tatanan nilai dan moral yang ada serta dapat menimbulkan perpecahan. 2
Pendekatan militeristik menggunakan aparat negara untuk mematikan gerakan-gerakan separatis. Dilakukan secara represif, cenderung dengan kekerasan, operasi militer, tanpa adanya keinginan untuk membicarakan masalah bersama dengan jalan mediasi. Memandang gerakan separatis adalah musuh negara sehingga keberadaannya harus dihilangkan.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4 pendekatan negara yang dilakukan kedua negara ini tidak kunjung memberikan rasa damai, dan justru memunculkan ketakutan di masyarakat. Hal ini dikarenakan kebijakan yang mereka ambil cenderung memaksakan identitas penguasa yang dominan di masing-masing negara. Proses asimilasi yang dilakukan oleh masingmasing pemerintah pusat justru memupuk semakin luasnya separatisme. Pada akhirnya, pendekatan negara ini menghasilkan kegagalan pemerintah untuk mengakomodasi identitas minoritas dalam sebuah negara bangsa yang bersifat multi-etnik di Asia Tenggara (Sobandi 2011). Karena pendekatan melalui militer mencapai jalan buntu, maka langkah selanjutnya yang ditempuh untuk menciptakan perdamaian adalah dengan jalan mediasi yang salah satunya menghasilkan kesepakatan mengenai penerapan otonomi khusus di wilayah konflik. Di Indonesia, pemberian otonomi khusus diberikan pada rakyat Aceh yang ditandai oleh terwujudnya Perjanjian Helsinki tahun 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meskipun keberhasilan perjanjian ini sering dikaitkan dengan tragedi tsunami Aceh yang kemudian memaksa GAM untuk berunding dengan pemerintah Indonesia, namun ketika menilik beberapa poin yang tertuang dalam perjanjian tersebut, maka akan nampak adanya perubahan sikap yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang ditunjukkan dengan itikad baik untuk menciptakan perdamaian dengan diberikannya hak khusus untuk rakyat Aceh. Hak-hak khusus tersebut diantaranya merupakan keinginan dari rakyat Aceh yang selama ini menuntut merdeka. Beberapa hak tersebut, seperti: pemberian hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne yang tertulis pada poin 1.1.5;
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5 pembentukan partai-partai politik lokal yang tertulis pada poin 1.2. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri, berhak menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Indonesia, berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh, memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh 3 . Dalam peraturan perundangan, semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh, serta banyak pasal lagi yang di dalamnya menunjukkan upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan kemudahan bagi rakyat Aceh untuk memajukan wilayahnya. Proses selanjutnya setelah perjanjian adalah upaya peacebuilding. Peacebuilding dilakukan untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan dengan mencari sumber penyebab konflik dan mendukung upaya manajemen perdamaian dan resolusi konflik sehingga konflik baru dapat dicegah (Galtung tt). Meskipun perdamaian di Aceh mulai menunjukkan titik terang setelah ditandatanganinya MoU Helsinki dengan tidak adanya pemberontakan GAM, namun konflik-konflik baru muncul di masyarakat. Konflik “vertikal” antara GAM-RI telah digantikan oleh konflik “horisontal” di tingkat lokal. Setelah menurunnya konflik antara GAM-RI, konflik di tingkat lokal justru meningkat. Konflik-konflik ini termasuk perdebatan tentang tanah dan sumber daya alam, kekerasan yang dilakukan oleh para milisi, isu-isu administratif, dan meningkatnya perdebatan menyangkut target, distribusi dan persyaratan dana bantuan tsunami (The World Bank Indonesia
3
tesis
Lihat MoU Helsinki 2005 Indonesia dan GAM (Lampiran 2)
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6 2006). Diantara beberapa sumber konflik tersebut, penulis menggunakan masalah konflik tentang tanah dan sumber daya alam sebagai fokus penelitian. Lebih khusus, penulis meneliti konflik antara rakyat Aceh dan perusahaan asing yang ada di Aceh. Konflik yang muncul pada tahun 2006 ini merupakan konflik sengketa tanah antara masyarakat kabupaten Aceh Singkil dengan PT. Nafasindo. PT. Nafasindo merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Malaysia. Konflik ini muncul karena adanya tuntutan masyarakat Aceh Singkil terhadap perusahaan tersebut, dimana PT. Nafasindo dinyatakan telah mengambil hak mereka atas tanah yang saat ini ditempati perusahaan tersebut. Masyarakat menuntut adanya pengukuran ulang atas tanah yang ditempati PT. Nafasindo dan apabila terbukti tanah sengketa tersebut adalah milik masyarakat, maka PT. Nafasindo wajib mengembalikannya pada masyarakat Aceh Singkil. Tindak lanjut yang kemudian dilakukan, Badan Pertanahan Propinsi Aceh melakukan survei ke lahan yang disengketakan pada 12 Juni sampai 26 Oktober 2010, dengan hasil survei: 1.997,5 hektar lahan masyarakat telah digarap oleh PT. Nafasindo, dan 1.158,24 hektar lainnya digarap secara ilegal oleh beberapa perusahaan lain (Pedsalabkaew 2013). Konflik ini dipicu adanya penelantaran HGU (Hak Guna Usaha) yang dilakukan oleh PT. Nafasindo selama 20 tahun dan diperburuk dengan tidak adanya patok batas antara lahan perusahaan dan lahan masyarakat. Oleh masyarakat, lahan kosong tersebut kemudian dipergunakan dan dimanfaatkan untuk pertanian (Bupati Aceh Singkil 2007). Konflik berhasil terselesaikan dengan turun tangannya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam konflik yang terus berlangsung bertahun-tahun tersebut. Gubernur kemudian mengeluarkan surat
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7 yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh Singkil tentang penyelesaian sengketa HGU antara PT. Nafasindo dengan masyarakat. Ada tiga hal yang diputuskan, dimana ketiganya dianggap menguntungkan masyarakat dan merugikan perusahaan. Salah satu yang hal yang diputuskan yakni adanya kewajiban pada PT, Nafasindo untuk segera membuat patok permanen atas patok sementara hasil pengembalian batas HGU PT. Nafasindo tahun 2010 (Yusuf, tt). Pemasangan patok akhirnya mulai dilakukan pada tahun 2012. Tetapi terlihat adanya perbedaan luas lahan dalam pemberian tapal batas antara batasan hasil pengukuran 2010 yang dijadikan rujukan dengan pemasangan di tahun 2012 ini. Perselisihan kemudian diperparah dengan pernyataan BPN Pusat yang menyatakan bahwa pengukuran tahun 2010 adalah ilegal. Hal ini menjadikan konflik sengketa lahan antara masyarakat Singkil dengan PT. Nafasindo masih belum menemukan solusi (Arma 2012). Proses pemberian otonomi juga dilakukan di Filipina Selatan (Mindanao) antara pemerintah Filipina dan MILF (Moro Islamic Liberation Front). Setelah sering terjadi hubungan yang fluktuatif 4 antara pemerintah Filipina dan MILF, maka pada akhirnya kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan perundingan guna membahas tentang upaya mengakhiri konflik separatis. Perjanjian tertulis yang berhasil ditandatangani pada 27 Maret 2014 ini mewujudkan keinginan untuk diberikannya otonomi khusus di sejumlah daerah di Mindanao oleh 4
Negosiasi damai antara pemerintah Filipina dan MILF sebenarnya telah dimulai sejak Januari 1997. Namun belum menunjukkan hasil. Hingga kemudian upaya perundingan damai dimulai lagi pada tahun 2001 yang difasilitatori oleh pemerintah Malaysia. Pada 15 Oktober 2012, antara pemerintah Filipina dan MILF berhasil menandatangani Framework Agreement on Bangsamoro. Framework tersebut terus dilengkapi hingga mencapai finalnya pada 24 januari 2014. Dan pada 27 Maret 2014, dokumen perjanjian damai antara pemerintah Filipina dan MILF berhasil ditandatangani oleh presiden Filipina Benigno Aquino III, pemimpin MILF Al Haj Murad Ibrahim serta Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8 pemerintah Filipina (BBC 2014). Perjanjian yang diberi nama Comprehensive Agreement on Bangsamoro (CAB) menghasilkan kesepakatan dimana salah satunya adalah Bangsamoro (sebutan bagi mayoritas warga di Filipina Selatan) akan dipimpin oleh seorang menteri utama dan jajaran kabinetnya, dengan kewenangan otonomi penuh setara status negara bagian seperti dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat (Republika Online 2014). Berdasarkan CAB, Bangsamoro akan memiliki bentuk pemerintahan parlementer dengan kemampuan untuk mendapat penghasilan sendiri dan membentuk sistem penegakan hukum sendiri. Pemberian otonomi politik yang lebih besar di wilayah Filipina Selatan akan diberikan sebagai imbalan atas penyerahan senjata oleh MILF. Sebelumnya, pada 15 Oktober 2012, telah ditandatangani kerangka perjanjian yang memuat nota-nota kesepakatan antara pemerintah Filipina dan MILF (Framework Agreement the Bangsamoro). Dalam kurun waktu satu setengah tahun ini, dengan adanya kesepakatan perdamaian resmi antara pemerintah Filipina dan MILF, penulis menyimpulkan hendaknya terwujud suatu kondisi damai di Mindanao. Dalam gambar 1 disebutkan tentang pembagian wilayah Mindanao paska CAB. Warna merah menunjukkan wilayah-wilayah yang dahulunya masuk dalam ARMM5. Sedangkan warna hijau menunjukkan upaya pengembangan wilayah dari AR MM, yak ni wila yah -wila yah yang masuk dalam CAB.
5
ARMM (Autonomous Region in Muslim Mindanao) adalah salah satu isi hasil dari perundingan antara, pemerintah Filipina dan MNLF yang memberikan pemberian wilayah otonomi kepada MNLF atas provinsi Maguindanao, Sulu, Lanao del Sur, Tawi-Tawi, dan Basilan (kecuali Isabela City) pada tahun 1989
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9 Gambar 1. Peta Pembagian Wilayah Otonomi Mindanao Berdasarkan Comprehensive Agreement on Bangsamoro (CAB)
Sumber: Annex A dan B dalam MOA Wilayah ini meliputi 12 kotamadya di Propinsi Lanao del Norte dan Cotabato Utara dan kota Isabela di Basilan dan Cotabato (Acosta 2012). Sedangkan warna kuning adalah “area intervensi khusus”, dimana di wilayah-wilayah ini konfik bersenjata sering muncul. Sehingga pemerintah pusat masih bertanggung jawab atas keamanan di wilayah-wilayah ini. Meskipun Bangsamoro telah memperoleh otonomi khusus untuk mengatur pemerintahan daerahnya sendiri, namun untuk urusan sumber daya alam, hasilnya masih harus dibagi dengan pemerintah Filipina. Untuk sumber daya alam non logam seperti tanah, galian pasir, batu yang berada di wilayah Bangsamoro, hasil pendapatannya sepenuhnya milik Bangsamoro dan pemerintah lokal. Sedangkan untuk sumber daya alam mineral logam, Bangsamoro memperoleh pendapatan sebesar 75%. Bagi sumber daya alam untuk keperluan bahan bakar seperti minyak, gas bumi, dan batubara, maka hasil pendapatannya dibagi rata dengan pemerintah pusat. Untuk itu perlu dibuat hukum yang mengatur pembagian pendapatan ini.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10 Ternyata kondisi damai yang dimaksud penulis tidaklah terwujud. Konflik muncul selama kurun waktu penandatanganan Framework Agreement the Bangsamoro hingga penandatanganan CAB antara pemerintah Filipina dan MILF. Bahkan, beberapa bulan setelah penandatanganan CAB, konflik masih muncul. Pada 9 September 2013, terjadi pemberontakan di Zamboanga yang dilakukan oleh kelompok MNLF. Mereka menculik warga dan melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan pemerintah pusat. Juru bicara militer Filipina Letkol Ramon Zagala menyatakan bahwa 189 korban tewas dari pihak gerilyawan MNLF, sedangkan 292 orang gerilyawan berhasil ditangkap dan menyerahkan diri. Sementara korban tewas lainnya terdiri dari 23 orang dari pihak tentara dan polisi serta 12 warga sipil. Sedangkan keseluruhan dari 195 tawanan berhasil dibebaskan (Zuraya 2013). Penyerangan itu terjadi menjelang penandatanganan perjanjian damai antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), pecahan dari MNLF. Selain mengakhiri konflik, poin perjanjian damai mencakup pembagian kekayaan sumber daya alam dan mineral serta pemerintahan otonom di Pulau Mindanao (Mukhti 2013). MNLF yang berseberangan paham dengan MILF merasa bahwa Mindanao tak hanya butuh otonomi seperti yang dimaksudkan MILF, tapi lebih dari itu yakni berdirinya negara sendiri (Head 2013). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyerangan yang terjadi di Zamboanga merupakan respon MNLF yang menolak adanya perjanjian damai antara pemerintah Filipina dengan MILF. Tanggal 10 April 2014, sekitar seratus anggota NPA menyerang perusahaan pertambangan Apex Mining Company di Maco, Compostela Valley, Davao. Mereka membakar 20 kendaraan dan alat berat. Sebelumnya NPA telah
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11 memperingatkan perusahaan pertambangan untuk menghentikan operasionalnya di Mindanao atau akan terjadi penyerbuan (Agerhus 2014). Mereka juga menyerang Philippine Alstron Mining Company, suatu perusahaan pertambangan dari Malaysia, di desa Tamamarkay, Agustan del Norte serta membakar beberapa truk dan alat berat. NPA dan pemberontak Moro juga menyerang TVI Resources Development Philippines di propinsi Zamboanga. TVI Resources Development Philippines adalah afiliasi pemerintah Filipina dengan perusahaan pertambangan asal Kanada, TVI (Manilatimes 2014). Ketiga penyerangan ini memiliki tujuan yang sama, yakni penghentian upaya penambangan di wilayah-wilayah tersebut. Penyerangan ini merupakan hasil dari tidak diperhatikannya keinginan penduduk asli wilayah tersebut yang menginginkan agar perusahaan pertambangan tersebut menghentikan kegiatan penambangan yang semakin luas. Maka, dibantu oleh kelompok pemberontak seperti NPA, protes penduduk tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk penyerangan (Agerhus 2013). Dari penyerangan tersebut, kelompok pemberontak biasanya akan mendapat kompensasi uang sebagai upaya untuk mengakhiri penyerangan lanjutan (Caber 6 2014 dalam Manilatimes 2014). Terkait dengan CAB, konflik yang dimunculkan NPA ini merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan pada publik atas penolakan NPA terhadap CAB oleh pemerintah Filipina dan MILF. Dengan ditandatanganinya CAB beserta pembagian wilayah otonominya, maka keberadaan dan penguasaan sah MILF atas wilayah tersebut menjadi ancaman bagi kepemilikan NPA atas wilayah yang sama. NPA adalah salah satu kelompok pemberontak yang ada di Filipina yang
6
tesis
Army Capt. Alberto Caber adalah juru bicara untuk the Eastern Mindanao Command
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12 merupakan sayap bersenjata dari kelompok komunis (Comunist Party of the Philippines) yang melancarkan pemberontakan Maoist. Masalah-masalah yang terjadi di Aceh dan Mindanao menjadi contoh bahwa otonomi belum memberi jaminan perdamaian di suatu wilayah. Meskipun otonomi, yang memberikan jaminan kebebasan pada suatu wilayah untuk mandiri, mengelola pemerintahan, ekonomi, serta sumberdayanya sendiri sehingga tidak bergantung pada pemerintah pusat, dianggap sebagai salah satu cara terbaik dalam menyelesaikan konflik etnis atau agama, namun ternyata di negara multietnis seperti Indonesia dan Filipina penerapan otonomi justru berpeluang memunculkan masalah lain, terlebih di sektor politik, sosial, dan ekonomi.
I.2 RUMUSAN MASALAH Mengapa otonomi yang seharusnya berhasil memberikan kebebasan pada kelompok minoritas
untuk
menjalankan pemerintahannya
sendiri
justru
memunculkan konflik seperti yang terjadi di Aceh dan Mindanao? Hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi munculnya konflik tersebut?
I.3 TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui alasan munculnya konflik horisontal pasca otonomi di Aceh dan Mindanao serta hal-hal yang melatarbelakangi munculnya konflik tersebut. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi konflik sama yang terjadi di negara lain.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
I.4 TINJAUAN PUSTAKA Penulis berusaha mengambil suatu kesimpulan dari perdebatan tentang munculnya konflik pasca otonomi. Otonomi oleh sebagian pihak dianggap sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan konflik, khususnya konflik separatis. Namun, bagi sebagian pihak lain, otonomi justru menjadi pemicu munculnya konflik kembali. Melalui tesis ini, penulis berpendapat bahwa pemberian otonomi justru memunculkan konflik di masyarakat. Hal ini coba penulis buktikan dengan menganalisa otonomi di dua negara, yakni Indonesia dan Filipina, dimana di kedua negara tersebut, setelah pemberian otonomi yang diinginkan kelompok separatis di kedua negara tersebut diwujudkan, justru masih memunculkan konflik lagi di wilayah otonom tersebut. Otonomi merupakan bagian dari teritori suatu negara yang diberi mandat untuk mengatur wilayahnya sendiri dalam hal-hal tertentu sesuai dengan hukum dan statuta, dengan tidak membentuk negara sendiri di wilayah tersebut, dimana otonomi merupakan suatu distribusi kekuatan dari pemerintah pusat ke wilayah otonomi. Otonomi sebagai suatu upaya resolusi konflik diharapkan dapat mengurangi ketegangan dari konflik itu sendiri atau bahkan menghentikan konflik. Namun, dalam realitanya, penerapan konflik justru dapat menyebabkan munculnya konflik baru yang bersifat horisontal. Perdebatan yang terjadi mengenai otonomi adalah perwujudan otonomi sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik separatis atau justru menjadi penyebab konflik. Mereka yang berpendapat otonomi sebagai solusi konflik menganggap bahwa otonomi adalah formula yang mampu mengakomodasikan perbedaan, dimana terdapat perlindungan dan pengakuan terhadap keberagaman.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14 Selain itu, pembagian kedaulatan merupakan salah satu kondisi bagi terpenuhinya atribut demokrasi bagi sebuah pemerintahan. Otonomi dapat terwujud dalam negara yang demokratis. Alasan lain, otonomi dianggap sebagai salah satu mekanisme yang menjamin dilindunginya hak-hak dasar dalam sebuah wilayah otonomi tersebut. Otonomi secara efektif juga mampu diterima sebagai bentuk kompromi win to win solution oleh pihak-pihak yang bertikai, selain juga menjadi pilihan rasional untuk menghindari proliferasi kelahiran ratusan negara baru (Wardhani 2012). Sedangkan bagi mereka yang menganggap otonomi justru menjadi sumber konflik baru mendasarkan pemikiran mereka pada pesimistis terhadap otonomi itu sendiri. Sulitnya mencapai hubungan yang damai antara pemerintah dan kelompok separatis menjadi salah satu alasannya. Pemerintah dirasa enggan untuk memberikan status otonomi kepada wilayah konflik. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardhani dan Dugis (2012) yang mempertanyakan tentang keberadaan otonomi sebagai resolusi konflik, apakah sebagai solusi atau justru sebagai sumber konflik. Menurut keduanya, status otonomi yang pada awalnya dimaksudkan menjadi solusi bagi konflik-konflik etnis yang berkepanjangan (protracted) ternyata melahirkan sejumlah permasalahan rumit yang berpangkal pada tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah. Pemimpin dari kelompok mayoritas takut kehilangan dukungan elektoralnya. Mereka juga merasa tidak percaya diri bahwa mereka dapat mengimplementasikan perjanjian otonomi, terutama dalam pembuatan amandemen konstitusi, referendum, dan juga posisinya dalam upaya pembuatan Undang-Undang (IDEA 1998). Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa peran
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15 negara atas suatu wilayah otonomi masih terlalu kuat. Sehingga wilayah otonomi tersebut seolah masih belum bisa dikatakan mandiri dalam menjalankan otonominya. Di sisi yang lain, otonomi justru menguatkan upaya pemisahan diri masyarakat di wilayah yang berkonflik. Sejalan dengan yang dikatakan Cornell (tt) dalam penelitiannya yang berjudul Autonomy and Conflict Ethnoterritoriality and Separatism in the South Caucasus– Cases in Georgia, beliau mendasarkan penelitiannya dengan memberikan pendapat berbeda tentang otonomi sebagai resolusi konflik. Menurut Cornell, dalam kondisi politik tertentu, otonomi menguatkan pemisahan
identitas
dari golongan minoritas,
yang justru
meningkatkan tindakan kolektif menentang pemerintah (negara). Untuk lebih fokusnya, penelitian ini berusaha untuk mencari tahu bahwa otonomi teritorial menjadi faktor yang berkontribusi pada kekerasan konflik etnis (dimana Cornell melihatnya dari studi kasus South Caucasus sejak akhir tahun 1980an). Penulis juga mendasarkan penelitian dari penelitian terdahulu tentang peacebuilding di Mindanao yang dilakukan oleh dua peneliti CDA (Cooperative Development Authority) Jon Rudy and Myla Leguro di tahun 2010 yang menyatakan tentang keuntungan dan tantangan dari proses perdamaian di Mindanao antara pemerintah Filipina dan MILF. Dalam melihat munculnya konflik di Filipina, mereka melihat proses peacebuilding dari sudut pandang NGO. Dari penelitian yang mereka lakukan, muncul kesimpulan bahwa konflik di Mindanao bersifat dinamis, sehingga analisis-analisis yang diberikan pada suatu konflik perlu sering diupdate. NGO yang memiliki keterikatan besar dengan birokrasi akan mendapat tantangan yang lebih besar untuk direspon oleh masyarakat. Untuk itu, pendekatan yang intens pada masyarakat sangat perlu
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16 dilakukan. Dan dari hasil wawancara langsung dengan masyarakat, mereka mendapat jawaban bahwa ketidakadilan (injustice) menjadi sumber konflik utama. Ketidakadilan tersebut seperti kurangnya rasa hormat, sengketa tanah, dan favoritisme politik. Sebelumnya, penelitian lain tentang konflik di Mindanao lebih melihat sumber konflik didasarkan faktor teritori dan agama yang merupakan permasalahan yang telah mengakar sejak lama. Seperti penelitian yang dilakukan Jamail A. Kamlian yang berjudul “Ethnic and Religious Conflict in Southern Philippines: A Discourse on Self-Determination, Political Autonomy and Conflict Resolution”. Dalam penelitiannya, Kamlian (2003) menyatakan bahwa konflik yang mengakar di Mindanao disebabkan karena sengketa wilayah antara masyarakat asli Mindanao dengan penduduk Filipina yang bermigrasi dari Luzon dan Visayas. Penduduk migrasi ini kemudian mendominasi wilayah Mindanao serta menguasai perekonomian disana beserta perusahaan-perusahaan MNC. Konflik yang terjadi juga kemudian mengaitkan Muslim dan Kristen. Keberadaan Muslim yang terancam memaksa mereka untuk melakukan tindakan kekerasan, sehingga kepada Muslim diberikan predikat sebagai penculik, teroris pembuat masalah dan konflik, serta perebut tanah. Khusus meneliti tentang sengketa tanah, peneliti Yuri Oki memberikan pendapat berkaitan dengan persaingan kelompok. Dalam buku berjudul Land tenure and peace negotiations in Mindanao, Philippines, Oki (2013) menyatakan bahwa konflik yang terjadi di Mindanao Selatan bukan hanya sebatas upaya untuk memerdekakan diri, namun lebih daripada itu, ada permasalahan tentang sengketa kepemilikan wilayah di Mindanao Selatan. Sengketa ini terkait dengan
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17 keberadaan sumber daya alam yang melimpah di wilayah Mindanao, seperti tembaga, nikel, emas, karet, kayu, gas alam, batu bara, dan minyak mentah. Mereka yang bersengketa adalah kelompok-kelompok bersenjata yang ada di Mindanao, baik yang berbasis Islam, nasionalis, ataupun kelompok sipil bersenjata lainnya. Sebuah penelitian yang memiliki pandangan sama dengan penulis terkait sumber konflik di Mindanao Selatan adalah penelitian dari Rizal G. Buendia dengan judul “The Mindanao Conflict in the Philippines: Ethno-Religious War or Economic Conflict?”. Buendia (2006) menyebutkan tiga hal dasar yang menyebabkan konflik di Mindanao. Pertama, rendahnya otonomi politik yang dapat melindungi dan menjaga budaya, identitas, bahasa, kelangsungan hidup dan agama kaum muslim. Hal ini berarti otonomi politik tidak mampu meningkatkan kualitas dan kesempatan minoritas muslim untuk menjalankan otonomi individunya. Alasan berikutnya adalah ketidakmampuan negara, meskipun memiliki kekuatan dan sumber daya, untuk mencukupi kebutuhan sosial ekonomi komunitas muslim. Terakhir, adanya kepercayaan dan anggapan diantara sesama muslim bahwa mereka adalah korban dari diskriminasi sistematik sosial-budaya yang dilakukan oleh negara dan eksploitasi politik-ekonomi. Sedangkan untuk upaya peacebuilding di Aceh, penulis mencoba mencari referensi dari tulisan-tulisan yang menceritakan perkembangan Aceh pasca otonomi. Seperti dalam buku yang berjudul “Jejak Konflik Baru di Aceh, Chairul Fahmi menjelaskan tentang konflik-konflik baru yang muncul pasca perjanjian Helsinki 2005 antara pemerintah Indonesia dan GAM. Beliau pun mencantumkan PT. Nafasindo sebagai salah satu contohnya. Menurut beliau,
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18 permasalahan dalam kasus ini terkait dengan banyaknya izin penguasaan lahan yang diterbitkan oleh pemerintahan baik pusat maupun daerah. HGU (Hak Guna Usaha) banyak diindikasikan telah mengambil perkebunan masyarakat dan tanahtanah ulayat yang selama ini diyakini dimiliki oleh masyarakat adat. Salah satu faktor sengketa tanah ini disebabkan tapal batas pemberian izin tidak jelas, dan sering lokasi tanah warga juga menjadi zona pemberian HGU. Konflik lahan di Aceh juga menjadi konflik yang punya intensitas cukup tinggi karena melibatkan semua pihak, dari penguasa, pengusaha dan rakyat. Permasalahan ini, menurut penulis, terkait pula dengan aturan-aturan dari pemerintah pusat yang hasilnya justru merugikan rakyat Aceh itu sendiri. Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam tulisan “ACEH PASCAMemorandum of Understanding (MoU) Helsinki (Meninjau Kembali Qanun Aceh Dalam Perspektif Kebijakan Publik)” bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjadi sumber konflik baru bagi rakyat Aceh, karena isinya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam MoU Helsinki. Terdapat kesenjangan interpretasi antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Kesenjangan tersebut terjadi setidaknya disebabkan oleh dua hal, pertama adanya sikap inkonsistensi yang ditunjukkan oleh Indonesia, baik oleh delegasi RI pada perundingan Helsinki maupun oleh DPR-RI. Kedua, kesenjangan interpretasi juga disebabkan oleh taktik yang dijalankan oleh juru runding Indonesia pada perundingan di Helsinki. Pemerintah SBY-JK memang memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan jalan damai dan perundingan. Dalam konteks inilah justru juru runding Indonesia memainkan taktik: “sepakat dulu, substansi kemudian”. Artinya, perundingan di Helsinki diupayakan sedapat mungkin agar dapat
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19 menyetujui kesepakatan yang bersifat umum dulu; sedangkan penjabarannya ke dalam substansi yang lebih detail akan diserahkan kepada DPR-RI (Djumala 2013). Tulisan-tulisan tersebut menggambarkan kondisi di Aceh pasca perjanjian Helsinki dan permasalahan-permasalahan yang kemudian muncul pasca otonomi. Selain itu, dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 yang berisi hal-hal teoritis dan teknis yang akan dilakukan pemerintah dalam upaya pembangunan Aceh jangka panjang. Dari RPJP ini nampak upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam membangun Aceh. Dalam penerapannya (lebih kurang sembilan tahun) apakah banyak yang sudah terealisasi atau masih jalan di tempat. Terakhir, uraian Zulfikar Arma “Ketika Masyarakat Adat Memperjuangkan Hak Atas Tanahnya” tentang konflik antara pemerintah pusat (terkait kebijakan yang diberikan), PT. Nafasindo, dan rakyat Aceh Singkil terkait sengketa lahan. Berdasarkan perdebatan di atas, penulis menyimpulkan bahwa konflik yang terjadi pasca otonomi salah satunya disebabkan oleh keengganan negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk „melepas‟ wilayah otonomi tersebut. Tindakan yang dilakukan pemerintah justru menguatkan keinginan pihak separatis untuk melepaskan diri wilayah yang berkonflik. Hal ini dikarenakan adanya ketidakadilan
yang
dialami
masyarakat.
Ketidakadilan
tersebut
berupa
berkurangnya rasa hormat (baik itu dari rakyat ke pemerintah, maupun pemerintah ke
rakyat),
sengketa
tanah,
dan
adanya
favoritisme
politik
(penulis
menjabarkannya sebagai loyalitas pengikut suatu kelompok kepada pemimpinnya). Dan sengketa tanah diperparah dengan adanya kelompok-kelompok bersenjata
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20 yang telah sejak lama bersengketa lahan terkait dengan keberadaan sumber daya alam. Meskipun penelitian-penelitian ini tidak bertujuan langsung meneliti tentang konflik pasca otonomi di Aceh dan Mindanao, namun keberadaan GAM dan MILF sebagai aktor penting dalam konflik di Aceh dan Mindanao dapat penulis jadikan salah satu rujukan penelitian yang dapat menunjang argumentasi dalam menjawab rumusan masalah. Serta, pendapat-pendapat dari peneliti sebelumnya yang juga dapat penulis jadikan referensi untuk menunjang argumentasi penulis. Tesis ini mencoba melihat konflik pasca otonomin dari sudut pandang lain. Penulis mencoba mencari alasan lain yang menyebabkan munculnya konflik pasca otonomi dengan mengambil contoh kasus masalah sengketa tanah dan sumber daya alam. Menurut penulis, kedua masalah yang merupakan permasalahan mengakar ini, menjadi memicu munculnya konflik baru di masyarakat. Konflik baru yang akan penulis analisa ini belum pernah dibahas di penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada penelitian sebelumnya, para peneliti lebih melihat konflik separatis di kedua wilayah ini secara historis dan belum mengkaji di masa pasca otonomi.
I.5 KERANGKA PEMIKIRAN: I.5.1 Level Analisis Michael E. Brown Dalam melihat faktor yang melatarbelakangi munculnya konflik intrastate, Brown (1997) memberikan tiga level analisisnya, yakni level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Berdasarkan level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21 internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. Level domestik menjelaskan bahwa akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. Sedangkan level persepsi menyatakan bahwa adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang berdasarkan metodologi dan bersifat obyektif, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif.
I.5.2 Teori Ted Gurr Tentang Kepentingan Kelompok-kelompok Yang Ingin Memisahkan Diri Kepentingan kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri yang pada dasarnya menyangkut: 1) hak minoritas untuk menggunakan dan mengajarkan
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22 bahasa lokal dan pelaksanaan agama yang dianutnya (perlindungan dari kebijakan asimilasi kebudayaan); 2) jaminan bagi minoritas untuk mengontrol sumber daya alam seperti tanah, air, kayu dan sumber daya mineral; 3) kewenangan untuk mengatur sumber daya dan pembangunan sesuai dengan aspirasi kelompok minoritas; 4) dana yang lebih besar dari pemerintah pusat untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat minoritas; 5) kewenangan untuk menjaga keamanan secara internal, dan 6); hak-hak untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan negara terkait dengan nasib mereka (Gurr dalam Adriana Elisabeth, dkk 2005).
I.5.3 Teori Kebutuhan Massa Fisher, dkk (2004) berasumsi bahwa konflik yang berakar sangat dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental atau sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Issue yang mengemuka adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi.
I.5.4 Teori dalam Konflik Sumber Daya Alam Michael E. Ross Sedangkan Ross (2003a) menyatakan bahwa sumber daya alam dapat menyebabkan gerakan separatif. Jika kemudian dalam pengelolaannya tidak memberikan keuntungan atau sedikit keuntungan pada penduduk lokal dan pekerja tidak terampil justru banyak kepada negara dan perusahaan.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23
I.5.5 Faktor Analisis Menurut para peneliti yang tergabung dalam Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), setidaknya ada beberapa faktor yang dapat digunakan untuk menganalisis alasan yang menyebabkan munculnya suatu konflik. Faktor- faktor tersebut diantaranya: 1. Aktor. Dalam aktor ini dianalisis mengenai aktor internal (kelompok yang terlibat beserta informasi di dalamnya) dan eksternal (aktor lain di luar kelompok seperti pemerintah, negara, dan entitas politik lainnya). 2. Isu. Tentang apa isu yang menjadi pokok permasalahan. 3. Faktor utama. Tentang apa yang diinginkan pihak yang bermusuhan, apa yang mereka takutkan. 4. Scope. Tentang efek apa yang akan dihasilkan konflik tersebut baik di dalam maupun di luar wilayah konflik. 5. Upaya perundingan yang pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini terkait dengan sejarah perundingan. Pernahkah terjadi perundingan, jika pernah mengapa gagal? 6. Phases dan intensitas. Apakah konflik ini memiliki phases yang berbeda dengan konflik lainnya, seperti berhubungan dengan upaya pemerintah dalam menyusun kebijakan baru atau pengaruh dari luar 7. Balance of Power diantara kedua pihak yang berkonflik 8. Kapasitas dan sumber daya 9. Keterkaitan antar pihak, seperti apakah ada hubungan diantara mereka yang berselisih
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24
I.6 SINTESIS TEORI Berdasarkan uraian pemikiran di atas, penulis mencoba mengemukakan kerangka berpikir dari berbagai pemikiran tersebut untuk mencari jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Bahwa konflik yang muncul didasari oleh faktor-faktor internal seperti kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental atau sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal ini diperburuk dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, seperti ambigunya jaminan bagi minoritas untuk mengontrol sumber daya alam seperti tanah, air, kayu dan sumber daya mineral, kewenangan untuk mengatur sumber daya dan pembangunan sesuai dengan aspirasi kelompok minoritas, kewenangan untuk menjaga keamanan secara internal, dan hak-hak untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan negara terkait dengan nasib mereka. Beberapa alasan diatas menunjukkan adanya kondisi yang masih terpusat pada negara, sehingga menjadikan wilayah otonomi belum dapat bebas mengatur sendiri kondisi wilayahnya. Terkait dengan keberadaan pihak asing, setidaknya kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemerintah (baik pusat ataupun daerah), cenderung menguntungkan pihak asing dibandingkan dengan rakyat di wilayah otonomi. Hal lain yang mendorong munculnya konflik adalah dengan adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok (etnis). Setidaknya ada beberapa kelompok (etnis ataupun kelompok bersenjata seperti pemberontak, geng, bandit) yang bermukim di wilayah tersebut. Kelompok-kelompok ini ada dengan kepentingan yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama yakni penguasaan akan wilayah tertentu terkait dengan sumber
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25 dayanya. Kepemilikan wilayah tertentu oleh suatu kelompok menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Sebagian kelompok juga bekerja kepada perusahaan asing sebagai keamanan. Selain tujuan ekonomi, keberadaan kelompok ini adalah untuk „mengatasi‟ penduduk lokal yang berusaha menghambat kinerja perusahaan. Beberapa alasan tersebut kemudian disinkronkan dengan lima indikator konflik, seperti aktor, isu, faktor utama, scope, sejarah upaya perundingan, phases dan intensitas, balance of power, kapasitas sumber daya, dan hubungan antar pihak yang berkonflik sehingga dapat diketahui apakah alasan-alasan tersebut cukup mampu menjadikan eskalasi konflik.
I.7 HIPOTESIS Berdasarkan landasan teoritik yang telah disusun di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah konflik-konflik horisontal yang terjadi di Aceh dan Mindanao dapat terjadi karena: 1) Adanya hal-hal yang belum terpenuhi dari tuntutan kelompok separatis pada pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemerintah (baik pusat ataupun daerah), cenderung menguntungkan pihak asing/swasta dibandingkan dengan rakyat di wilayah otonomi. Apabila dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di Aceh dan Mindanao berkaitan dengan pembagian sumber daya alam, terutama mineral, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah pusat seperti jaminan bagi minoritas untuk mengontrol sumber daya alam seperti tanah, air, kayu dan sumber daya mineral serta kewenangan untuk mengatur sumber daya dan pembangunan belum sesuai dengan aspirasi kelompok minoritas.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26 2) Adanya persaingan antar kelompok dalam memperebutkan wilayah terkait sumber daya alam yang terkandung. Kejadian-kejadian di lapangan selama proses peacebuilding memunculkan pandangan tentang mana kelompok yang baik dan mana kelompok yang buruk. Kelompok yang baik biasanya menjadi „kawan‟ bagi pemerintah. Koalisi dengan pemerintah inilah yang kemudian menjadikan kelompok yang lain merasa terancam keberadaannya. Dan salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi suatu kelompok adalah dengan melakukan upaya-upaya pemberontakan ataupun penyerangan terhadap aparat negara. 3) Perebutan kekuasaan dalam pemilu. Kondisi wilayah yang memang sudah rawan konflik, banyaknya kelompok masyarakat, terlebih permasalahan yang terkait tanah dan sumber daya alam, menjadi sarana bagi elit-elit politik untuk mencari suara (dukungan) dalam upaya pemilihan daerah. Ketiga hipotesis tersebut menjadi alasan munculnya konflik di Aceh dan Mindanao. Keberadaan ketiganya dalam kedua wilayah ini kemudian dianalisa sehingga memunculkan persamaan kondisi antara Aceh dan Mindanao. Berdasarkan apa yang terjadi kedua wilayah ini, dapat diketahui bahwa wilayahwilayah dengan konflik separatis di dalamnya, terlebih yang dilandasi permasalahan agama, akan sulit untuk mencapai kondisi damai. Tuntutan kelompok
separatis pada pemerintah tidak akan pernah mencapai titik final
sebelum adanya kemerdekaan. Kondisi sama lainnya, bahwa otonomi di wilayah konflik, justru memperbesar pergerakan kelompok-kelompok bersenjata yang kemudian dimanfaatkan oleh elit-elit tertentu sebagai jalan dalam pemilu maupun perusahaan. Sehingga kejahatan bukan akan berhenti, justru masih akan terus terjadi.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27
I.8 METODOLOGI PENELITIAN: I.8.1 OPERASIONALISASI VARIABEL I.8.1.1 Otonomi Pemberian mekanisme pemerintahan sendiri secara internal kepada wilayah atau sekelompok orang, yang dengan hal tersebut mengakui sebagian pemberian kemerdekaan dan kebebasan dari pengaruh pemerintah nasional dan/atau pemerintah pusat (Streiner dalam Cornell 2007). Dalam penelitian ini, otonomi merupakan suatu kebijakan yang diberikan pemerintah Filipina atas beberapa wilayah di Mindanao Selatan dan pemerintah Indonesia kepada Aceh untuk
memberi
kebebasan
di
wilayah
tersebut
untuk
menjalankan
pemerintahannya sendiri.
I.8.1.2 Peacebuilding Usaha komprehensif untuk mengindentifikasi dan mendukung struktur yang cenderung mengkonsolidasikan perdamaian dan meningkatkan rasa percaya diri diantara manusia. Melalui perjanjian yang mengakhiri pertikaian masayarakat, kondisi ini termasuk di dalamnya upaya pencegahan kelompok-kelompok pemberontak dan merestorasi aturan, melucutan dan penghancuran senjata, pengembalian pengungsi ke tempat asal, pendampingan untuk pemberian keamanan personal, mengawasi jalannya pemilihan umum, upaya peningkatan perlindungan HAM, mereformasi atau menguatkan institusi pemerintah, serta mengupayakan partisipasi politik secara formal dan informal (Ghali 1992).
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28 Peacebuilding adalah proses pembentukan perdamaian yang tertuju pada implementasi praktis perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan pembangunan politik, sosial, dan ekonomi (Galtung tt). Pada penelitian ini, peacebuilding dilakukan di Aceh dan Mindanao pasca konflik berkepanjangan yang terjadi di kedua wilayah tersebut. Upaya ini dilakukan secara bertahap dan lama untuk mencegah munculnya konflik baru serta bertujuan untuk menciptakan rasa damai di masyarakat.
I.8.1.3 Teritori Teritori merupakan suatu kondisi yang terjadi secara alamiah dan merupakan pemberian Tuhan (given). Secara harfiah, teritori didefinisikan sebagai bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara: perairan -- , lautan dekat pantai suatu negara yg menjadi hak negara tersebut (artikata.com). Filipina dan Indonesia memiliki kondisi teritori yang hampir sama. Kedua negara ini terdiri dari banyak pulau dan diantara pulau satu dan lainnya dipisahkan oleh bnayak perairan. Kondisi teritori yang seperti ini sering menyulitkan upaya pendistribusian terutama barang-barang kebutuhan pokok yang biasanya terpusat di ibukota negara atau kota-kota besar lainnya.
I.8.2 TIPE PENELITIAN Tipe penelitian ini adalah penelitian eksplanatif atau yang bersifat menerangkan, yaitu penelitian yang dapat dilakukan kalau pengetahuan tentang masalahnya sudah cukup, artinya sudah ada beberapa teori tertentu dan sudah ada berbagai penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesa tertentu sehingga
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29 terkumpul berbagai generalisasi empiris. Penelitian yang bisa berbentuk eksperimen selalu bertolak dari suatu hipotesa yang diperoleh dari suatu teori tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesa tertentu dengan maksud membenarkan atau memperkuat hipotesa itu, mencari sebab dari suatu gejala, menentukan sifat dari hubungan antara satu atau lebih gejala atau variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas.
I.8.3 RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini berusaha menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konflik pasca otonomi, baik itu yang dilakukan Filipina-MILF maupun RI-GAM. Penelitian di Mindanao dimulai pada 15 Oktober 2012 saat persetujuan pembentukan Framework Agreement the Bangsamoro hingga beberapa bulan setelah perjanjian damai pemerintah Filipina dengan MILF yang berakhir pada perjanjian CAB/Comprehensive Agreement on Bangsamoro (lebih tepatnya saat penyerangan NPA terhadap beberapa perusahaan tambang di Mindanao, April 2014). Sedangkan untuk Aceh, mengambil waktu penelitian antara tahun 2005 pada saat terjadi kesepakatan damai antara RI-GAM tepatnya pada 15 Agustus 2005 hingga akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 20 Oktober 2014. Apabila ditemukan data-data lain di luar rentang waktu tersebut yang relevan membantu dalam menjelaskan objek kajian penelitian maka data-data tersebut juga akan turut dipertimbangkan oleh penulis.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30
I.8.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti berupa data-data sekunder yang berasal dari bahan pustaka seperti teks-teks tertulis maupun softcopy edition, buku, e-book, artikel-artikel dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah, publikasi pemerintah, dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft-copy edition biasanya diperoleh dari sumbersumber internet yang dapat diakses secara online.
I.8.5 TEKNIK ANALISIS DATA Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Metode kualitatif lebih dipahami sebagai metode yang datanya berupa pernyataanpernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti, yaitu berupa kata-kata baik tertulis maupun lisan (Miles dan Huberman 1992).
I.8.6 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan penelitian ini disusun sebagai berikut : 1. BAB I. Merupakan metodologi penulisan penelitian ini yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka kerangka pemikiran, hipotesis, metodologi penelitian yang terdiri atas operasionalisasi variabel, tipe penelitian, ruang lingkup penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan sistematika penulisan. 2. BAB
II.
Membahas
kekurangannya,
tesis
dimana
mengenai dari
otonomi kekurangan
Konflik pasca otonomi ....
beserta otonomi
kelebihan akan
dan dapat
Yunita Rizki Pujiyanti
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31 memunculkan konflik pasca otonomi. Tentang penjabaran teorisasi yang akan digunakan untuk menganalisa studi kasus. 3. BAB III. Membahas tentang otonomi di Aceh, konflik lahan antara rakyat dan PT. Nafasindo, alur pembuatan kebijakan dan aturan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, pembagian sumberdaya antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, pemilu di Aceh. 4. BAB IV. Membahas tentang keterlibatan MILF dalam perundingan dengan pemerintah Filipina, isi CAB, pembagian kepemilikan sumber daya
alam,
persaingan
antar
pemberontakan-pemberontakan
kelompok yang
bersenjata
dilakukan
di
Filipina,
selama
proses
peacebuilding di Mindanao dan kerjasama kelompok bersenjata dengan pihak lain (perusahaan atau aktor politik). 5. BAB V. Berisi kesimpulan dan saran berdasarkan analisis pada bab sebelumnya. Pada bagian ini penulis akan menyimpulkan apakah hipotesis yang diajukan pada bab pertama terbukti atau tidak terbukti. Yakni tentang konflik
pasca
otonomi
di
kedua
negara.
Menyamakan
atau
membandingkan hasil penelitian di kedua negara untuk mengetahui sumber masalah. Hasil dari kesimpulan akan menghasilkan saran yang menjadi kelebihan dari tesis ini sehingga dapat menjadi rujukan untuk mempelajari kasus yang sama. Serta kekurangan tesis ini untuk menjadi penuntun sehingga dapat diperbaiki oleh peneliti lainnya.
tesis
Konflik pasca otonomi ....
Yunita Rizki Pujiyanti