Abstrak Tubuh yang disematkan tindik yang paling banyak dikenal oleh kalangan masyarakat adalah di bagian bawah daun telinga, perhiasan yang disematkan di bagian tubuh tersebut biasa dinamakan dengan anting-anting. Praktik ini umumnya diterapkan oleh banyak budaya, dan perempuan yang mengenakannya secara umum. Di masyarakat Tengger anak laki-laki mengenakan tindik berdasarkan hitungan hari-hari tertentu menurut tanggalan Jawa. Adat tindik pada anak laki-laki di masyarakat Tengger di lakukan karena masyarakat Tengger masih kuat memegang teguh kuat tradisi yang diberikan para leluhur. Kemampuan mempertahankan adat istiadat ini memberikan pengaruh bagi kepatuhan mendalam orang Tengger terhadap warisan nilai masa lalu. Studi ini menggunakan penelitian fenomenologi sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Alasan penulis menggunakan tradisi fenomenologi karena penulis berusaha mencari pemahaman tentang makna dari sebuah realitas berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh manusia. Realitas yang dimaksud oleh penulis adalah pemaknaan tradisi tindik yang dilakukan oleh masyarakat Tengger Bromo. Studi ini berusaha mencari pemahaman tentang makna tradisi tindik bagi anggota masyarakat desa Ngadisari, Tengger Bromo, kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, dan bagaimana makna tersebut dihasilkan. Hasil dari penelitian ini bahwa tiap-tiap informan memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai tindik pada anak laki-laki di masyarakat di desa Ngadisari Bromo Tengger Namun dari semua informan dapat ditarik sebuah benang merah bahwa adat/tradisi tindik merupakan tradisi leluhur bromo yang di lakukan pada anak laki-laki yang kelahirannya di hari wage menurut tanggalan jawa yang sebenarnya mempunyai tujuan agar menjauhkan dari malapetaka, berupa watak anak yang keras, kesusahan dalam mencari rezeki,yang pada intinya bertujuan baik untuk masa depan anak.
Kata kunci : Masyarakat Tengger, Fenomenologi, Tindik, Anak laki-laki
Abstract Body piercing pinned most widely known by the public is at the bottom of the earlobe, jewelry embedded in the body usually called with earrings. This practice is common in many cultures, and the women who wear it in public. In Tengger boy wearing pierced by a count certain days according to Javanese calendar. Indigenous piercing the boy in Tengger done because Tengger still strong uphold given the strong tradition of the ancestors. Ability to maintain these customs for compliance profound influence on the heritage value of the Tengger past. This study uses a phenomenological study as a guide in conducting research. The reason the author uses the phenomenological tradition as the author seeks an understanding of the meaning of a reality based experiences through which humans. Reality is meant by the author is the meaning of tradition piercing done by the Bromo Tengger community. This study seeks an understanding of the meaning of piercing tradition for members of rural communities Ngadisari, Bromo Tengger, sub Sukapura, Probolinggo, and how that meaning is produced. The results of this study that each informant has a different opinion about the piercing on the boys in the community in the village Ngadisari Bromo Tengger But of all the informants can be drawn a red line that customs / traditions bromo piercing is an ancestral tradition that in doing in boys whose birth in the wage according to the Javanese calendar which actually has the goal of keeping away from catastrophe, such as a loud child character, trouble in finding sustenance, which basically aims both to the future of the child.
Keywords: tengger community, phenomenology, piercing, boys
Pendahuluan Latar Belakang Masalah
Tradisi tindik di Indonesia sudah ada sejak dulu. Di Indonesia sendiri, tradisi tindik tubuh biasa dilakukan oleh suku Asmat dan suku Dani di Papua.Menurut sumber yang peneliti dapatkan dalam jurnal academia.edu Biasanya para pria Asmat menusuk bagian hidung mereka dengan batang kayu atau tulang belikat babi sebagai tanda bahwa mereka telah memasuki tahap kedewasaan. Masyarakat Tengger merupakan realitas keunikan sebuah komunitas di belahan Nusantara ini. Realitas keunikan tersebut biasanya teridentifikasi ke dalam berbagai identitas kultural yang menjadi karakteristik kebudayaannya. Pigeaud (1967:3) menyatakan dataran tinggi Tengger sebagai pusat pemeliharaan kepercayaan Jawa kuno. Mengenai deskripsi lokasi, Malik (2007:xvii) mengatakan bahwa masyarakat Tengger berdiam di sekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakat, daerah perseberan masyarakat Tengger adalah sekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.
Keunikan magis yang ada di suku Tengger adalah mengharuskan lelaki yang lahir pada hari wage memakai anting di telinga kiri. Fenomena inilah peneliti ingin membahas dalam skripsi ini. Menurut pengalaman peneliti pada saat melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) pada tahun 2013, peneliti melihat banyak anak laki – laki menggunakan anting/tindik di telinga sebelah kiri. Anting sudah sangat wajar bila di kenakan oleh kaum wanita. Peneliti tertarik membahas lebih jauh fenomena tradisi tindik.
Fokus Penelitian
Berdasarkan kajian latar belakang di atas terlihat bahwa tradisi tindik sudah ada dari zaman dahulu. Tindik adalah melubangi pada bagian tubuh yang biasanya di lakukan di telinga, hidung, bibir, lidah, alis, dan lain-lain. Bagian tubuh yang disemat tindik yang paling banyak dikenal orang adalah bagian bawah daun telinga. Tindik ini secara khusus diberi nama anting-anting. Praktik ini diterapkan oleh banyak budaya dan perempuan yang mengenakannya secara umum diterima oleh masyarakat, karena anting-anting sering kali diasosiasikan dengan kewanitaan. maka fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai berikut : 1. Bagaimana asal usul tradisi tindik di masyarakat Bromo Tengger ? 2. Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi keluarga yang menjalankan tradisi tindik ? 3. Bagaimana peran keluarga (orangtua) dan masyarakat meempengaruhi tindakan tradisi tindik ?
4. Faktor-faktor apa saja yang menghambat tradisi tindik ? 5. Pranata-pranata
lokal
apa
saja
yang
mendorong
tradisi
tindik
dipertahankan ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
mengenai
fenomena yang ada di masyarakat Tengger khususnya tentang tradisi tindik pada anak Laki-laki di masyarakat Tengger. 1. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul tradisi tindik di masyarakat Bromo-Tengger. 2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi sosial ekonomi dan keluarga yang menjalankan tradisi tindik. 3. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga (Orang Tua/Saudara) dan masyarakat mempengaruhi tradisi tindakan tindik. 4. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat tradisi tindik. 5. Untuk mengetahui pranata sosial yang mendorong tradisi tindik tersebut
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari segi akademis maupun praktis yaitu : 1. Secara akademis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang fenomena yang ada dengan teori-teori sosiologi, karena nantinya
dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya, serta dapat menjadi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosiologi. 2. Secara praktis: Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan, serta kemampuan dalam berpikir mengenai proses analisis dan identifikasi permasalahan mengenai fenomena tindik pada anak laki-laki di kalangan masyarakat Tengger Bromo, dan memberikan informasi kepada masyarakat.
Kajian teori
1. Peneliti menggunakan penelitian fenomenologi sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Alasan peneliti menggunakan tradisi fenomenologi karena peneliti berusaha mencari pemahaman tentang makna dari sebuah realitas berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh manusia berdasarkan fokus peneltian yang diterapkan.. Realitas yang dimaksud oleh peneliti adalah pemaknaan tradisi tindik yang dilakukan oleh masyarakat Tengger Bromo. Peneliti berusaha mencari pemahaman tentang makna tradisi tindik bagi anggota masyarakat desa Ngadisari Tengger Bromo melalui -
Bagaimana asal usul tradisi tindik di masyarakat Bromo Tengger ?
-
Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi keluarga yang menjalankan tradisi tindik ?
-
Bagaimana peran keluarga (orangtua) dan masyarakat meempengaruhi tindakan tradisi tindik ?
-
Faktor-faktor apa saja yang menghambat tradisi tindik ?
Penelitian ini selanjutnya menggunakan teori Fenomenologi yakni berusaha untuk menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Fenomenologi berupaya mengungkapkan bagaimana anggota masyarakat menggambarkan dunia sehariharinya terutama bagaimana terutama bagaimana individu dengan individu lainnya.Studi ini melihat subyek dan peristiwa dari perspektif orang yang mengalami.
Pembahasan
Pada bab ini menjelaskan mengenai temuan data yang diperoleh yang kemudian di analisis menggunakan teori Fenomenologi Alfred Schutz untuk menjelaskan makna tindik pada anak laki-laki di masyarakat Bromo Tengger. Karena teori fenomenologi ini berusaha mencari pemahaman tentang makna dari sebuah realitas berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh manusia. Realitas yang dimaksud pemaknaan tentang tindik yang dikenakan pada anak laki-laki di wilayah desa Ngadisari Bromo Tengger. Seperti pada bab I yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka yakni menurut Schutz, dalam pandangan Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di dalamnya dunia mimpi dan ketidakwarasan. Tetapi realitas yang tertinggi itu adalah dunia keseharian yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya sebagai the life world. Ada enam
karakteristik yang sangat mendasar dari the life world ini, yaitu pertama, wideawakeness (ada unsur dari kesadaran yang berarti sadar sepenuhnya). Kedua, reality (orang yakin akan eksistensi dunia). Ketiga, dalam dunia keseharian orangorang berinteraksi. Keempat, pengalaman dari seseorang merupakan totalitas dari pengalaman dia sendiri. Kelima, dunia intersubyektif dicirikan terjadinya komunikasi dan tindakan sosial. Keenam, adanya perspektif waktu dalam masyarakat. Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman. Jadi, yang Schutz sebutkan sebagai “hubungan-hubungan makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan makna diorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses tipikasi, ke dalam apa yag Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of knowledge). Dalam setiap konteks ruang, waktu dan historis, individu memiliki dan menerapkan pengetahuan (stock of knowledge) yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, prasangka dan aturan yang dipelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan yang telah tersedia. Stock of knowledge bagi schutz memiliki arti bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia sebenarnya merupakan dampak dari berbagai situasi atau keadaan atau kejadian yang terjadi sebelumnya, dimana situasi yang dihadapi itu merupakan situasi yang benar-benar unik dan merupakan sesuatu yang berbeda dengan situasi yang dihadapi orang lain. Jadi, Stock of knowledge itu sebenarnya merujuk pada hal mendasar, yakni content (isi),
meaning (makna), intensity (intensitas), dan duration (jangka waktu) dari berbagai kejadian dan rentetan pengalaman yang dialami setiap individu. Sehingga dengan pengetahuan itulah seseorang dapat berinterkasi dan beraktivitas dengan orang lain, dimana semua perilaku seseorang sesungguhnya diberi makna dan ditafsirkan maknanya. Menurut pandangan Schutz, manusia adalah makhluk sosial sehingga kesadaran akan kehidupan sehari-hari adalah sebuah kesadaran sosial. Dunia individu merupakan dunia intersubjektif dengan makna beragam dan perasaan sebagai bagian dari kelompok. Manusia dituntut untuk saling memahami satu sama lain dan bertindak dalam kenyataan yang sama. Dengan demikian ada penerimaan timbal balik, pemahaman atas dasar pengalaman bersama menyesuaikan diri ke dalam dunia yang lebih luas dengan melihat diri kita sendiri sebagai orang yang memainkan peran dalam situasi tipikal. Intersubjektif disini merupakan sebuah cara untuk memahami apa yang ada ada pada diri seseorang dengan cara berempati dan mengendalikan diri untuk masuk secara dalam dan mengeluarkan pemahaman dari seseorang tersebut. Inti pemikiran Schutz yakni bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Bagi Schutz, dalam kehidupan keseharian dan dalam menghadapi berbagai realitas sesungguhnya manusia selalu memberi makna atas suatu objek atau tindakan yang dilakukan orang lain dan sekaligus juga melakukan penafsiran atas berbagai makna dari tindakan-tindakan orang lain mulai yang bersifat personal dan subjektif sampai dengan yang bersifat ideal objektif.
Fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran ini selalu mengenai sesuatu. Tidak ada kesadaran yang tidak mengenai sesuatu, dan sesuatu itu bisa juga kesadaran itu sendiri. Buktinya, kita dapat merenungkan, dapat sadar tentang kesadaran kita sendiri, ketika kita melakukan refleksi. Proses refleksi dapat dikatakan sebagai kegiatan dalam pikiran kita ketika pikiran tersebut memikirkan dirinya sendiri, memikirkan, menyadari, tentang pikiran itu sendiri. Kesadaran mengenai sesuatu ini adalah juga pengetahuan, sehingga kesadaran dari sisi tertentu adalah perangkat pengetahuan yang kita miliki. Masyarakat di sekitar Tengger adalah sebuah fenomena. Masyarakat Tengger masih cukup kental dengan adat istiadatnya. Pada hampir masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi suasana kehidupan masyarakatnya memang tidak pernah lepas dari persinggungan dengan adat istiadat. Adat istiadat telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan orang Tengger. Schutz menyebutkan ketika seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami (understand) makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”. Seperti halnya masyarakat suku di tempat lain, masyarakat Tengger telah menjadikan nilai tradisi sebagai pedoman kehidupan. Ritual tradisi sama pentingnya dengan ritual agama. Antara agama dan nilai tradisi telah menjadi satu kesatuan. Terkadang, masyarakat luar tidak bisa membedakan apakah ritual yang diselenggarakan merupakan adat istiadat atau ajaran agama. Persinggungan antara
adat dan agama ini telah menjadikan masyrakat adat Tengger tidak ubahnya. Filsafat hidup, agama dan nilai tradisi diramu menjadi satu dalam ritual kehidupan. Menurut Schutz kemampuan masyarakat Tengger dalam memegang teguh tradisi, Adanya kesadaran atau perangkat pengetahuan yang bersifat sosial (bukan genetis), yang digunakan manusia untuk memandang dunianya ini lah yang membuat manusia juga memiliki tujuan berkenaan dengan apa yang menjeadi objek kesadarannya. Tujuan, kesadaran, objek kesadaran dan kesadaran mengenai tujuan yang ada dalam diri manusia membentuk sebuah perangkat pemaknaan. Dengan ini manusia memberikan makna, arti pada kehidupannya, kehidupan sosialnya. Dengan perangkat pemaknaan dia menetapkan relasi-relasi tertentu antara dirinya dengan dunianya, dengan kehidupannya, dengan individu-individu yang lain. gejala sosial budaya merupakan gejala yang berbeda dengan gejala alam, karena dalam gejala sosial budaya yang terlibat adalah manusia, dan manusia memiliki kesadaran tentang apa yang mereka lakukan, tentang gejala di mana mereka terlibat; mampu memberikan makna terhadap dunia mereka. Kerangka kesadaran ini menjadi dasar atau pembimbing manusia dalam berperilaku dalam dan bertindak terhadap dunianya, sehingga pemahaman mengenai gejala sosial budaya menuntut pula pemahaman kita untuk melestarikan tradisi leluhur. Menurut Schutz, pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma, aturan yang ada dalam suatu masyarakat atau yang dianut oleh individu, dan kemudian dapat menetapkan relasinya dengan perilaku warga masyarakat, perilaku sebuah kolektivitas, atau perilaku individu tertentu. Jadi, memahami
perilaku seorang individu atau suatu kolektivitas adalah mengetahui pandanganpandangan, pengetahuan, nilai-nilai dan sebagainya yang dijadikan pedoman, pembimbing, oleh suatu kolektivitas atau oleh seorang individu untuk mewujudkan perilakunya, tindakannya. Dasar dari asumsi diatas bahwa perilaku manusia atau suatu kolektivitas merupakan perilaku yang berpola, yang berulang kembali. Pola-pola ini menunjukkan adanya “hukum-hukum” tertentu, yang kemudian menghasilkan pola tersebut, sebagaimana halnya yang terjadi pada gejala-gejala alam. Meskipun demikian, dalam gejala sosial budaya hukum-hukum tersebut tidak sama dengan dalam gejala alam. Dalam kehidupan manusia hokum-hukum tersebut terdiri dari berbagai unsur yang semuanya sedikit banyak turut menentukan pewujudan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah pandangan, nilai, norma dan sebagainya.
Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan beberapa kesimpulan, yakni : 1. Asal-usul tradisi tindik di masyarakat Bromo Tengger. Dari semua informan tidak ada satupun yang mengetahui kapan asal usul tradisi tindik ini ada. Mereka hanya mengetahui kenapa tradisi tindik ini dilakukan, dan mengikuti apa yang telah diajarkan oleh leluhurnya pada masa lampau. Bagi warga desa Ngadisari Bromo Tengger anak laki-laki yang lahir di hari wage
cenderung memiliki sifat yang keras, susah diatur, dan hal-hal yang buruk. Itulah sebabnya mengapa mereka melakukan tradisi tindik, dengan harapan setelah melakukan tradisi tersebut anak yang bersangkutan jauh dari hal-hal yang buruk. Tetapi tradisi tindik ini dilakukan bagi mereka yang mempercayai malapetaka tersebut. 2. Kondisi sosial dan ekonomi. Setiap informan memiliki profesi dan penghasilan yang berbeda-beda. Pada intinya tradisi tindik yang ada wilayah Tengger tidak memandang dari segi sosial dan ekonomi. Warga desa Ngadisari Tengger mengganggap bahwa mereka semua sama. Tradisi tindik dilakukan oleh semua warga Tengger bagi mereka yang mempercayai. 3. Peran keluarga dan masyarakat dalam mempengaruhi tradisi tindik. Peran keluarga dan masyarakat di Tengger sangat berpengaruh dalam adat atau tradisi tindik. Mereka saling menjaga dan melestarikan budaya yang sudah ada dari leluhur mereka. Peran orang tua disini sangat besar dalam memberi tahu kepada anaknya tentang tradisi yang ada di Tengger. Peran orang tua disini memahami bahwa merekalah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan putra-putrinya. Masyarakat Tengger sangat memegang teguh tradisi yang di dapat dari leluhurnya. Masyarakat disini melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran tentang arti penting budaya leluhur. Menurut beberapa pendapat informan,
masyarakat Tengger banyak ikut serta dalam melestarikan tradisi tersebut. 4. Faktor-faktor penghambat kelestarian tradisi tindik. Beberapa warga
tidak percaya dengan tradisi tindik di
Tengger, yang menurut para petuah desa Ngadisari Tengger bahwa melakukan tradisi tindik pada anak laki-laki yang lahir di hari wage bertujuan untuk menghilangkan hitam atau kesialan pada anak itu sendiri dan keluarganya. Pemikiran modern yang di terapkan oleh beberapa informan yang menganggap tradisi tindik adalah tradisi kuno/kepercayaan lama. 5. Pranata lokal yang mendorong pelestarian tradisi tindik. Menurut beberapa informan, Pranata lokal yang mendorong agar masyarakat Tengger melakukan tradisi tindik adalah karena masyarakat Tengger masih memegang teguh tradisi leluhur mereka, mereka takut akan mendapat karma apabila tidak melakukan tradisi tersebut.
Daftar Pustaka
Buku : Anwar,
M. Choirul. “Desa Ngadisari: Potret Pemberdayaan Berbasis Masyarakat”. Dalam Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Nurudin (ed). Hlm.179-180. Yogyakarta: LkiS. 2003.
Bourdieu, Pierre. 2012. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul : Kreasi Wacana._______. 2011. Choses Dites Uraian dan Pemikiran. Bantul: Kreasi Wacana.
Engkus, Kuswarno, 2010, Fenomenologi Metodologi penelitian komunikasi. Bandung: Widya Padjajaran. Gahral Adian, Donny, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah pengantar komprehensif) Hamonangan, Adventus Daniel. Jurnal : Fenomena Komunikasi Anak Jalanan di Pasar Kota 45 Manado. J.L Gillin dan J.P Gillin Cultural Sociology Zeitlin, Muhammad. 1998. Memahami kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Skripsi : Anggy Dwi Aprily. 2014 Skripsi : Makna Mengajar (Studi Fenomenologi pada Pengajar dalama Komunitas Save Street Child Surabaya). Universitas Airlangga Surabaya Damarsari, Nimas. 2010. Skripsi : Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) (Studi Fenomenologi Mengenai Pengetahuan Orang Tua Murid Tentang Pendidikan Bertaraf Internasional di SMU 3 Madiun). Universitas Airlangga Surabaya. Esterlita, Krista Marsha. 2013. Skripsi : Dilema Pengungkapan Identitas Wanita Transeksual (Kajian Fenomenologi Wanita Transeksual di Surabaya). Universitas Airlangga Surabaya. Rochma, Aulia. 2010. Skripsi : Pemaknaan Kekerasan pada “BONEK” Sebuah Studi Fenomenologi. Universitas Airlangga Surabaya.
Internet : http://jurnal.uajy.ac.id/jik/files/2012/05/JIK-Vo2-No1-2005_6.pdf http://jurnalkebudayaandantradisi.com http://didanel.wordpress.com/2011/06/22/teori-fenomenologi-danetnometodologi/ diakses pada tanggal 18 Desember 2013 http:/feed.id/article http://ojs.lib.unair.ac.id/index.phd/JIK/article/view/2506/2490 tanggal 19 Desember 2013
diakses
http://Thehistoryandoriginofbodypiercing http://www.academia.edu/9987072/SUKU_ASMAT_DAN_DANI http://philosopherscommunity.blogspot.com/2013/01/teori-fenomenologikonstruksi-sosial_7883.html
pada