ABSTRAK
Prof. Dr. Suwarto SH, M.H* Dr. Marlina SH, M.Hum** Erico Syanli Putra*** Pengedar narkotika tidak terlepas dari sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sistem hukum positif yang berlaku di negara Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini terlihat dalam efektifnya pelaksanaan sanksi pidana. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa sanksi, seperti sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, maupun sanksi pidana denda yang penerapannya dilakukan secara kumulatif. Adapun permasalahan yaitu ketentuan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, bagaimana analisis hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam putusan nomor 15/PID/2012/PT. MDN dan Dasar pertimbangan hakim dalam menentukan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana Narkotika dalam putusan nomor 15/PID/2012/PT. MDN. Adapun metode penelitian dilakukan dengan jenis penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif, yaitu mengambil data dari data sekunder. Sifat penelitian menggunakan data deskriptif analistik. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan teknik deskripsi. Berdasarkan hasil penelitian ketentuan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam undang-undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatan terhadap orang lain dan untuk diri sendiri. Tindak pidana pengedar narkotika terhadap orang lain diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan UndangUndang yang baru diatur dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kemudian di dalam Undang-Undang yang baru Pasal 112 ayat (2) jo pasal 132 yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai ketentuan pidana yakni Pasal 116, 121, dan 127. Analisis penerapan pelaku tindak pidana narkotika dalam putusan nomor 15/PID/2012/PT.MDN yakni barang bukti yang diperiksa Jumari Als Jum, Hairul Als Uli dan Taufiq adalah benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I (satu) No. 61 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 112 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ternyata terdakwa Jumari als Jum terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Permufakatan jahat dalam menyerahkan narkotika golongan I (satu) dalam bentuk shabu-shabu. Pertimbangan hakim dalam menentukan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam putusan 15/PID/2012/PT.MDN yakni dalam Pasal 129 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengguna yang mendapatkan narkotika secara melawan hukum akan memenuhi unsur menguasai, memiliki, menyimpan, atau membeli narkotika diatur sebagai suatu tindak pidana tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kata Kunci : pelaku, tindak pidana narkotika *Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Prof. Dr. Suwarto SH, M.H* Dr. Marlina SH, M.Hum** Erico Syanli Putra*** Drug traffickers can not be separated from the system of positive law in force in Indonesia. System of positive law in force in the country of Indonesia has developed very rapidly, it is seen in the effective implementation of criminal sanctions. Law. 35 Year 2009 on Narcotics there are some sanctions, such as criminal sanctions death, imprisonment, criminal confinement, criminal penalties or sanctions implementation is done cumulatively. As for the problems of the legal provisions against narcotics criminals in Law No. 35 of 2009 on narcotics, how the legal analysis of the doers according to Law No. 35 of 2009 on narcotics in decision 15/PID/2012/PT numbers. MDN and consideration for the judge in determining the application of the criminal law in a decision Narcotics 15/PID/2012/PT numbers. MDN. The method of research conducted with descriptive research that is normative, ie to retrieve data from secondary data. Descriptive nature of the research using data analytics. Source of data used are primary data and secondary data. Data collection technique used is the study documents. Data analysis was done by using the description. Based on the results of the study of law provisions against narcotics criminals in law 35 of 2009 on narcotics. Drug abuse offenses are divided into two kinds of deeds for others and for yourself. Criminal act against another person narcotics dealers regulated in Article 84 of Law No. 22 of 1997 and the new Constitution provided for in Article 116 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics. Then in the new Act Article 112 paragraph (2) in conjunction with Article 132 namely Law No. 35 Year 2009 on Narcotics also arranged on the criminal provisions of Article 116, 121, and 127. Analysis of the application of the doers in ruling that the evidence 15/PID/2012/PT.MDN numbers are checked Jumari Fri Als, Als Hairul Uli and Taufiq is properly contained methamphetamine and listed in Category I (one) No.. Law No. 61. 35 of 2009 on Narcotics. Defendant arranged and punishable Article 112 paragraph (2) in conjunction with Article 132 paragraph (1) of Act 35 of 2009 on Narcotics. Turns Jumari als Fri defendant legally and convincingly proven guilty of committing a crime in handing the evil Covenant narcotics Category I (one) in the form of shabu-shabu. Consideration of the judge in determining the application of criminal law against narcotics in the 15/PID/2012/PT.MDN decision under Article 129 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics. Users who obtain narcotics illegally will meet the master element, possess, store, or buy narcotics regulated as a separate offense under the Act No. 35 Year 2009 on Narcotics.
Keywords: actor, narcotics offenses
*Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
1. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Masalah pengedaran narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini semakin di pertajam akibat maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang. 1 Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional.2 Masyarakat awam banyak yang mengira bahwa hukuman yang dijatuhkan pada pelaku perbuatan pidana narkotika itu sama. Padahal dalam undang-undang narkotika sendiri tidak membedakan pelaku perbuatan pidana narkotika beserta sanksi yang berbeda pula.Penyalahgunaan narkotika, tidak hanya pemakai saja yang 1
Alifia, U, Apa Itu Narkotika dan Napza. PT Bengawan Ilmu, Semarang, 2008, hal 16 Hawari, D, Penyalahgunaan dan Ketergantungan Napza. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, 2009, hal 48 2
dapat dikenakan pidana, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, baik pelaku yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan dan penganjur maupun pembantu dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana. pengaturan hukum terhadap pelaku perbuatan pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti dilihat dalam Putusan No.15/PID/2012/PT.MDN bahwa terdakwa Jumari Alias Jum sama dengan Hairul Nasli als Uli dan Taufiq Khairullah als Taufiq (masing-masing dilakukan penuntutan terpisah) pada tanggal 13 April 2011, sekira Pukul 16.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan April tahun 2011 bertempat di jln H.M. Joni Kec. Medan Kota Medan tepatnya di dalam sebuah warung bubur ayam. Telah melakukan
perbuatan atau pemufakatan jahat atau
melakukan tindak pidana secara tanpa hak atau menawarkan untuk jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I (satu) bukan tanaman jenis shabu-shabu dengan berat bruto 10,6 gram, perbuatan mana dilakukan dengan tepatnya permainan bilyard dihubungi oleh Hairul Nasli alias Uli (dilakukan penuntutan secara terpisah) mau pesan shabushabu sebanyak 10 gram. Kemudian mulainya transaksi di jln H.M.Joni Medan, tepatnya di dalam warung bubur ayam, selanjutnya terdakwa mengajak taufik khairullah alias taufiq untuk berangkat ke medan dengan menggunakan 1 unit mobil Daihatsu Xenia, sesampainya tempat dimaksud terdakwa turun lalu masuk ke dalam warung bubur ayam dan duduk disebelah Hairul nasli als Uli. Selanjutnya beberapa lama kemudian terdakwa diperintahkan untuk mengambil bungkusan yang berisi shabu-shabu. Perbuatan terdakwa tersebut telah dikenakan ancaman pidana pasal 112 ayat (2) jo Pasal 132 (1) UU No.35 tahun 2009 tentang narkotika.3 B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan hukum terhadap tindak pidana narkotika menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?
3
Putusan Nomor : 15/PID/2012/PT.Mdn
2. Bagaimana analisis hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotikadalam putusan nomor 15/PID/2012/PT.MDN ? 3. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menentukan penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana Narkotika dalam putusan nomor 15/PID/2012/PT.MDN? C. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian merupakan penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif, yaitu mengambil data dari data sekunder saja. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian bersifat hukum normatif (yuridis normatif) adalah peneltian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan putaka ataudata sekunder belaka. 4 2. Sifat Penelitian Pernyataan Soerjono Soekanto bahwa pada sifat penelitian menggunakan data deskriptif analistik yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagau sesuatu yang utuh.5 Maka metode analisi data pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yaitu analitis yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat. Kemudian dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. 3. Sumber Data Penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dan responden maupun informan.Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh lansgung dari sumber pertamanya melainkan bersumber dari data – data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan – bahan hukum.6 Bahan hukum terdiri dari Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder yaitu : a. Bahan Hukum Primer : adalah hukum Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas hukum dan kaidah hukum ini dapat berupa : Perturan Dasar atau Konstitusi, Konvensi Ketatanegaraan; Peraturan perundang–undangan khusunya yang menyangkut masalah narkotika dan psikotropika serta zat adiktif lainnya, Hukum Tidak Tertulis, Putusan Pengadilan. 4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2005, hal 13 5 Ibid, hal 15 6 Ibid, hal 33
b. Bahan Hukum Sekunder adalah: Publikasi Hukum, Internet dengan menyebut nama situsnya, Rancangan Undang – undang.7 c. Bahan hukum tersier yaitu ; bahan – bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, meliputi : Bibliografi, indek komulatif. Di samping itu, termasuk pula kamus hukum dan ensiklopedia. Adanya data primer dan data sekunder tersebut maka dapat menggambarkan apa adanya tentang proses tindak lanjut penanggulangan tindak pidana narkotika yang terjadi di wilayah hukum Polresta Medan. 4. Teknik Pengumpulan Data Sebagai penelitian Ilmu Hukum dengan Aspek Empiris, maka dalam teknik pengumpulan data ada beberapa teknik yaitu studi dokumen. a. Teknik studi dokumen Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian, baik penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris maupun penelitian ilmu hukum dengan aspek normative, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normative. 8Studi dokumen dilakukan atas bahan – bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. 5. Analisis Data Penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris kualitatif, akan dipergunakan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deksriptif kualitatif. 9 Dalam model analisis data tersebut, maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data skunder akan diolah dan di analisis dengan cara menyusun data secara sistematis, di golongkan dalam pola dan thema, di katagorisasikan dan di klasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lain di lakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan kemudian dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah di lakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan di sajikan secara dekstriptif kualitatif dan sistematis.10 Analisis data dilakukan dengan teknik deskripsi yaitu penggunaan uraian apa adanya terhadap suatu situasi dan kondisi tertentu, teknik interprestasi yaitu penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum dalam hal ini penafsiran berdasarkan peraturan, teknik evaluasi yaitu 7
Ibid, hal 34 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 58 9 Soerjono Soekanto, Op.Cit, 39 10 Bambang Sunggono, Op.Cit, hal 63 8
penilaian secara konprehensif terhadap rumusan norma yang diteliti, dan teknik argumentasi yaitu terkait dengan teknik evaluasi merupakan penilaian yang harus didasarkan pada opini hukum. 2. Pembahasan A. Ketentuan Pidana terhadap Pengedar Narkotika Pada UU Narkotika dan UU Psikotropika (UU 35/2009 dan UU 5/1997) untuk “pengedar”dikenal adanya dua jenis sistem perumusan jenis sanksi pidana (strafsoort) yaitu sistem perumusan kumulatif antara pidana penjara dan pidana denda dansistem perumusan kumulatif-alternatif (campuran/gabungan) antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dan pidana denda. Kemudian untuk sistem perumusan lamanya saksi pidana (strafmaat) dalam UU Narkotika/Psikotropika juga terdapat dua perumusan yaitu fixed/indefinite sentence system atau sistem maksimum dan determinate sentence system. Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandua dalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Pasal 1angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransidan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sebagaimanayang diamanatkan dalam konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain mengingat dampak yangdapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. 11 Pengertian penyalahguna yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian penyalahgunaan Narkotika, yaitu pengunaan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. 12 Ancaman dan bahaya pemakaian Narkotika secara terus-menerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun psikis yang sangat kuat terhadap pemakaianya, atas dasar 11
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,1990,
12
Penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
hal. 3
hal tersebut, secara sederhana dapat disebutkan bahwa penyalahgunaan Narkotika adalah pola penggunaan Narkotika yang patologik sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial.13 Dalam praktek peradilan, konsekuensi logis dari perumusan normatif UU Narkotika/Psikotropika maka baik terhadap “pengedar” dan “pengguna” dijatuhkan pidana. Adalah wajar, apabila “pengedar” dijatuhkan pidana relatif setimpal dengan kadar perbuatannya. Dalam UU Narkotika “pengedar” diancam dari hukuman mati sampai pidana penjara dan pidana denda.Pada hakikatnya, penerapan sanksi pidana untuk “pengedar” Narkotika/Psikotropika relatif diperlukan. 14 Pengedar Narkotika dalam perspektif hukum merupakan seorangpelaku pidana. Namun bila dicermati dengan lebih seksama, banyak kalanganberpendapat bahwa sebenarnya mereka merupakan korban dari sindikat atau matarantai peredaran dan perdagangan narkoba. Pecandu merupakan pangsa pasar utama sebagai ’pelanggan tetap’. Secara psikologis, mereka sulit melepaskan diri dari ketergantungan, walaupun mungkin, sebenarnya mereka ingin lepas dari jeratan narkoba yang membelitnya. Pecandu memerlukan penanganan yang berbeda dalam proses pemidanannya. 15 Berdasarkan pandangan tersebut, maka penghukumannya pun perlu dilakukan pemisahan, dengan pola penanganan, pembinaan, dan perlakuan yang berbeda pula. Di sinilah peran Lapas menjadi vital dalam upaya membantu pecandu keluar dari jerat ketergantungan. Dengan demikian, Lapas selain berfungsi sebagai ’penjaga ketertiban umum’, juga menjalankan fungsi rehabilitasi. 16 Tampak atau efek samping narkotika yang timbul dapat meresahkan masyarakat. Kekhawatiran yang membawa keprihatinan ini akan makinbertambah jika secara langsung mencermati proses dan penanggulangan peredaran gelap obat-obatan narkotika selama ini. Di televisi hampir setiap hari ditayangkan pengedar gelap narkoba. Ironisnya, meski sering dilakukan operasi terhadap pengedar, ternyata hal itu tidak pernah menyusutkan para bandar atau pengedar narkotika dan penggunanya untuk terus bertransaksi barang haram tersebut,bahkan ada kecenderungan semakin meningkat. Mencermati
perkembangan
peredaran
narkotika,
telahmenimbulkan
rasa
kekhawatiran yang mendalam, bahwa narkotika telahmengancam langsung masa depan penerus bangsa. Tanpa pencegahan yang serius,ancaman itu bisa berlanjut pada penerus bangsa. Walaupun demikian, mungkinpada umumnya masyarakat belum menyadari dan 13
Kusno Adi, Kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Umm Press, Malang, 2009, hal. 19 14 Martono, dkk, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Berbasis Sekolah. Balai Pustaka, Jakarta, 2006, hal 13 15 Partodiharjo, S, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya. Erlangga, Bandung, 2008, hal 16 16 Kusno Adi, Op.Cit, hal 24
merasa bahaya narkotikabukanurusannya selama anak atau keluarganya belum menjadi korban.Yang menjadisasaran bukan hanya tempat-tempat hiburan malam, tetapi sudah merabah kedaerah pemukiman, kampus bahkan sekolah- sekolah. Menjalarnya pemakaian narkotika memang sangat merisaukan. Cara menjerat mangsa sudah semakin intensif dan canggih, mulai cara- cara klasik denagan membujuk korban untukmencoba secara gratis, menawarkan sebagai gaya hidup modern kepada pararemaja, mempromosikan sebagai terapi, melangsingkan tubuh hingga sebagai obat mengatasi rasa capek. Hukuman penjara tidak membuat jera pengedar narkotika. Bahkan penjara dinilai turut menyumbang kerugian negara.Agar lebih efektif, hukuman denda sebagai ganti hukuman penjara bagi pengguna dan pengedar narkotika. Hukuman berat penjara yang diberikan kepada pegedar dan pemproduksi sudah banyak, tapi tidak memberikan efek jera.Lebih baik tidak usah dimasukkan ke penjara tapi dikenakan denda yang membuat miskin para pengguna dan pengedar. Hukuman denda dinilai pantas dan efektif untuk menjerat para pelaku ketimbang penjara. Undang Undang Narkotika Nomer 35 Tahun 2009 menetapkan hukuman berat bagi pengedar narkotika sampai dengan acaman hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 114 ayat 2 yakni: “Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”. UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur jenis sanksi pidana yang sangat berat tehadap pelaku tindak pidana narkotika. Hal itu terlihat dariadanya jenis pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara maksimum 20 tahun, pidana kurungan dan pidana denda yang jumlahnya ratusan juta hingga miliaran rupiah. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
memberikan
sanksi
pidana
cukup
berat,
di
samping
dapat
dikenakanhukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak pidanaNarkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkatbaik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama dikalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Pada
umumnya
secara
keseluruhan
faktor-faktor
yang
menyebabkan
seseorangmelakukan tindak pidana narkotika dapat dibedakan atas faktor internal dan faktoreksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang bersal dari dalam
diri
sendiri,sedangkan faktor eksternal merupakan merupakan faktor yang berasal dari luar diripelaku.17 Faktor- faktor yangmenyebabkan seseorang terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis,yaitu antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan latar belakangsi pelaku. Namun dari kebanyakan kasus yang pernah ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku tindak pidana narkotika adalah karena ingin coba-coba. Terjadinya tindak pidana narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek individu, sosial bidaya, maupun ekonomi.18 1. Faktor Internal Faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri si pelaku berupa faktor individu yang terdiri dari aspek kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalamkecemasan /depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidupsehingga melarikan diri ke dalam penggunaan narkotika. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri respondenyang dalam penelitian ini dibagi atas faktor social bidaya dan faktor ekonomi.Bahwa sebab musabab terjadinyakejahatan yang paling utama ialah lingkungan sosial. Lingkungan soaial yang burukmerupakan persemaian yang subur timbulnya suatu kejahatan. Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da pengaruh teman.Kondisi keluarga dalam hal ini merupakan kondisi yang harmonis, seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman, misalnya karena berteman dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin diterima dalam suatu kelompok.Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak 17
Sofyan, Ahmadi, Narkoba Mengincar Anak Anda Panduan bagi Orang tua, Guru, dan Badan Narkotika dalam Penanggulangan Bahaya Narkoba di Kalangan Remaja. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2007, hal 10 18 Hendarman, 2009. Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia. http://www. rumahweb.com/idev/idevaffiliate.php?id=2821. Diakses tanggal 10Desember 2012.
pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan yang tidak jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain serta lingkungan tempat tinggalanak yang tidak memberikan perilaku yang baik. 19 C. Penerapan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Pengadilan Tinggi Nomor 15/PID/2012/PT.MDN Salah
satu
perkara
tindak
pidana
narkotika
yang
menurut
penulis
penerapanhukumnya agak melenceng dari fakta hukum mengenai peran pelaku sebagaimanaterungkap di persidangan, adalah perkara Nomor:15/PID/2012/PT.MDN, dimanaperan pelaku adalah membawa atau menguasai narkotika golongan I jenis shabushabu,dimana terdakwa pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 sekitar pukul 15.00Wib bertempat di Jalan H.M. Joni Kec. Medan Kota ditangkap oleh saksi Briptu Laba Manurung dansaksi Briptu Sopar Sirait karena membawa narkotika jenis shabu-shabu, namunMajelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalahmelakukan tindak pidana “Menggunakan Narkotika”sebagaimana diatur dandiancam pidana dalam Pasal 112 jo Pasal 132 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009tentang Narkotika dan menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selama6 (enam)tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliyar rupiah ). Ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud sebgai penyalahguna adalahorang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Oleh karena ituseseorang yang dapat dikategorikan sebagai penyalahguna narkotika adalah orangyang menggunakan secara tanpa hak atau melawan hukum, dalam arti bahwanarkotika tersebut berada dalam kekuasaannya adalah sah tetapi kemudianmenggunakannya untuk diri sendiri secara melawan hukum. Misalnya seorang Jaksayang menyimpan barang bukti narkotika kemudian menggunakan barang buktinarkotika tersebut atau seorang dokter yang seharusnya menggunakan narkotikatersebut untuk pasien, tapi ternyata disalahgunakan untuk diri sendiri. Penerapan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam perkara pidana penyalahgunaan narkotika pada sistem hukum di Indonesia adalah merupakan kewenangan dari pengadilan, jadi apabila menginginkan antara sanksi yang diberikan dengan sanksi yang ada dalam undang-undang narkotika adalah sama, akan sangat bergantung pada majelis hakim yang menyidang perkara tersebut.
19
Kartono, K, Kenakalan Remaja. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 39
Di sisi lain, hakim juga memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya, sesuai menurut sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana. Sistem pembuktian menurut undang-undang, yaitu hakim tidak boleh menghukum kecuali didukung alat bukti sekurang-kurangnya keyakinan hakim dengan berlandaskan alatalat bukti. Undang-undang narkotika dapat diketahui bahwa untuk bidang kejahatan yang diancamkan dengan pidana mati dapat dikelompokkan dalam dua bentuk : a. Kejahatan terhadap narkotika golongan I b. Kejahatan yang terorganisir. Dengan demikian sudah tidak ada alasan lagi bagi hakim Pengadilan Banding untuk tidak menjatuhkan pidana mati, dan ini tidaklah bertentangan dengan semangat membuat jera dan takut para penyelundup narkotika lainnya.Dikhawatirkan putusan yang tidak didasari atas pertimbangan rasa keadilan masyarakat nantinya akan memunculkan adanya pengadilan jalanan, dimana masyarakat merasa lembaga peradilan sudah mandul dan sudah saatnya rakyat turun untuk menindak pelaku narkotika. Belum hilang dari ingatan kita, bahwa belum lama ini pemerintah bersama seluruh rakyat Indonesia telah menyatakan perang terhadap narkotika.20 Menurut hakim banding, berdasarkan memori banding para terdakwa, terdapathalhal yang meringankan yang layak dipertimbangkan, di antaranya : a. Terdakwa menyesali perbuatannya; Hal ini merupakan logika yang sengaja dipaksakan oleh Majelis Hakim Banding, karena penyesalan terdakwa-terdakwa baru muncul belakangan, setelah tertangkap basah oleh polisi Medan kota. Sudah dapat diduga, jika aksinya tidak terbongkar mustahil menurut logikaterdakwa akan sadar dan menyurutkan niatnya untuk menjual barang haram ini. Apalagi ditambah dengan iming-iming yang akan diperoleh terdakwa-terdakwa apabila berhasil dalam melakukan aksinya. b. Terdakwa mengaku bersalah atas perbuatannya; Alasan yang dikemukakan oleh Majelis Hakim ini, juga seakan dipaksakan.Karena terdakwa-terdakwa terpaksa harus mengakui perbuatannya sebab jelas-jelas terbukti membawa shabu-shabu.Apalagi melihat kepada motif kejahatan yang dilakukan terdakwa, memposisikan
mereka
tidak
dapat
menyangkal
segala
tuduhan
yang
diajukan
kepadanya.Sebagaimana banyak terjadi dalam kasus narkotika, para pelaku selalu berusaha
20
Made Pastika Mangku, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba Sejak Usia Dini. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2007, hal 34
menyangkal kepemilikan atas barang bukti yang jelas-jelas ditemukan pada waktu penangkapan. c. Para terdakwa bersikap sopan dan harus diberi kesempatan untuk memperbaiki diri; Salah satu tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Jika didapati orang yang melanggar hukum, maka ia harus dikenakan sanksi atas apa-apa yang telah diperbuatnya, kecuali di tentukan lain oleh undang-undang. d. Barang tersebut belum sempat diserahkan pada pihak penerima di Medan. Ada beberapa hal yang harus dibedakan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu : a). Pengadilan Negeri dalam memeriksa perkara langsung menghadirkan terdakwa-terdakwa dan melakukan pembuktian atas kejahatan yang telah diperbuat dengan memberikan penilaian sosiologis para terdakwa serta kesesuaian anatara pengakuan dan fakta yang sebenarnya. b) Pengadilan Tinggi hanya melakukan pemeriksaan ulang terhadap berkas perkara tanpa menghadirkan atau melibatkan pihak berperkara sehingga tidak dapat menilai sisi sosiologis terdakwa-terdakwa secara benar. Permasalahan pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidanadan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UUNarkotika Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan denganmengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 04 Tahun 2010 tentang penetapan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial,dimana ditentukan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut : a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan; b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barangbukti pemakaiaan 1 (satu) hari c. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkanpermintaan penyidik d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yangditunjuk oleh hakim e. Tidak dapat terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelapnarkotika. Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara pengguna narkotika harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya, untuk menjatuhkan amar putusannya hakim harus sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi / taraf kecanduaan terdakwa. Sebagai konsekuesi pengguna narkotika adalah pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban maka masa menjalani pengobatan dan / atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana yang diputus oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara, diperhitungkan
sebagai masa menjalani hukuman, dimana penentuan untuk menjalani masa pengobatan dan perawatan ditentukan oleh ahli. Namun surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut akan sulit diimplementasikan bila aparat penegak hukum lainya (penyidik dan penuntut) tidak memiliki pola pandang yang sama terhadap pengguna narkotika (permasalahan ini akan dibahas pada bagian permasalahan implementasi hukum pengguna narkotika). 21 3. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan pada bab-bab sebelumnya dikaitkan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan ini maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Ketentuan Pidana terhadap Pengedar Narkotika diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatan terhadap orang lain dan untuk diri sendiri. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika terhadap orang lain diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang yang baru diatur dalam pasal 116 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Kemudian di dalam Undang-Undang yang baru yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dalam Pasal 116, 121, 127. 2. Analisis atas putusan pengadilan dalam Putusan (No. 15/PID/2012/PT.Mdn), barang bukti yang diperiksa An, Jumari Als Jum, Hairul Als Uli dan Taufiq adalah benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I (satu) No.urut 61 UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 112 ayat (2) jo Pasal 132 (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ternyata terdakwa Jumari als Jum tersebut, terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Permufakatan jahat dalam menyerahkan narkotika golongan I (satu) dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram. 3. Penerapan pidana pada kasus narkotika sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yaitu terhadap pelaku kejahatan dijatuhi pidana. Pengedar Narkotika yang masih mendapatkan narkotika secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang dilakukan pengedar narkotika tersebut yakni membeli, menguasai, menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri. Menurut salah seorang Hakim Pengadilan
21
Partodiharjo, S, Op.Cit, hal 41
Negeri Medan: Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara delik pidana dalam Pasal 129 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkannya secara melawan hukum pasti memenuhi unsur “menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. B. Saran 1. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1997, karena hal tersebut dapat mencegah keraguraguan hakim dalam memutuskan terpidan narkotika untuk rehabilitas. 2. Hakim diharapkan lebih konsisten dalam menerapkan hukum yang berlaku sehingga dapat menghasilkan putusan yang berkualitas serta menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat.
3. Agar masyarakat dapat menyadari bahwa narkotika dan sejenisnya dapat merugikan, karena hal itu dapat merusak kesehatan, akal, dan sebagainya. Dan ada sanksi pidana bagi penyalahguna maupun pengedar.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Alifia, U, Apa Itu Narkotika dan Napza. PT Bengawan Ilmu, Semarang, 2008 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Hawari, D, Penyalahgunaan dan Ketergantungan Napza. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, 2009 Hendarman,
2009.
Jumlah
Pengguna
Narkoba
di
Indonesia.
http://www.
rumahweb.com/idev/idevaffiliate.php?id=2821. Diakses tanggal 10Desember 2012 Kartono, K, Kenakalan Remaja. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Kusno Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Umm Press, Malang, 2009 Made Pastika Mangku, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba Sejak Usia Dini. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2007 Martono, dkk, Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Berbasis Sekolah. Balai Pustaka, Jakarta, 2006 Partodiharjo, S, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya. Erlangga, Bandung, 2008 Sofyan, Ahmadi, Narkoba Mengincar Anak Anda Panduan bagi Orang tua, Guru, dan Badan Narkotika dalam Penanggulangan Bahaya Narkoba di Kalangan Remaja. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2007 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2005 II. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika