ABSTRAK JUDUL
NAMA NIM
: PENGELOLAAN KONFLIK YANG BERSUMBER PADA PRASANGKA SOSIAL (KASUS SUAMI LEBIH MUDA-ISTERI LEBIH TUA) : ROBBIANTO : D2C007076
Fenomena perkawinan suami lebih muda-isteri lebih tua kini tidak hanya populer di kalangan para pesohor saja, melainkan juga terjadi di kalangan masyarakat umum. Perbedaan usia kedua pasangan itu pun bervariasi antara satu sampai lima tahun atau lebih dari lima tahun. Konsep nilai tradisional memercayai bahwa usia suami yang lebih tua dipercaya akan membawa pernikahan ke arah yang lebih baik, mengingat suami sudah sepantasnya menjadi sosok pemimpin dan pengayom dalam rumah tangga. Dengan demikian, perkawinan suami lebih muda-isteri lebih tua dianggap telah bertentangan nilai tersebut, sehingga pasangan yang menjalani perkawinan tersebut seringkali dihadapkan pada prasangka sosial yang dapat muncul dari lingkungan di sekitar mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk prasangka sosial yang muncul dalam kehidupan pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua, bagaimana situasi tersebut dapat memengaruhi keharmonisan perkawinan mereka, dan bagaimana pengalaman komunikasi pasangan tersebut dalam hal mengelola konflik yang sumbernya dari prasangka sosial itu. Teori yang digunakan adalah Relational Dialectics Theory yang dikemukakan oleh Baxter dan Montgomery dan didukung konsep pengelolaan konflik K.W Thomas dan R.H Kilmann (1974) yang dikenal dengan metode “The Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI)”. Pengalaman individu ini diungkapkan dengan metode fenomenologi yang mengutamakan pada pengalaman individu secara sadar dalam memaknai suatu hal. Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap tiga pasang informan yang memiliki isterinya lebih tua lebih dari leima tahun daripada suami ,serta telah menikah selama lebih dari sepuluh tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan untuk menghadapi situasi konflik yang penuh prasangka sosial, pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua secara umum menggunakan seringkali menggunakan metode kompetisi dimana mereka tidak terlalu memperdulikan apa kata orang, menghiraukannya, dan tetap fokus pada pendiriannya untuk memelihara rumah tangga yang harmonis. Selain itu, tidak jarang mereka juga melakukan metode kompromi dimana mereka berusaha untuk memberikan penjelasan dan pengertian kepada orang-orang yang berprasangka. Faktor internal dari pasangan suami-isteri seperti, komitmen, kebutuhan yang saling melengkapi, dan penerimaan diri yang positif juga membantu mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang diliputi prasangka sosial. Prasangka sosial setidaknya juga telah membawa dampak bagi pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua. Dampak negatif akibat prasangka sosial antara lain munculnya tekanan di dalam pikiran maupun batin bagi masing-masing pasangan, perubahan emosi yang terkadang dapat memicu pertengkaran di dalam rumah tangga, dan merenggangnya hubungan mereka dengan orang tua, saudara, atau teman. Sedangkan dampak positifnya, yakni dirasakan adanya penguatan hubungan di antara pasangan suami-isteri tersebut dan meningkatnya sikap supportif satu sama lain. Key words : suami lebih muda-isteri lebih tua, pengelolaan konflik, prasangka sosial
ABSTRACT TITLE
NAME NIM
: CONFLICT MANAGEMENT WHICH IS BASED ON SOCIAL PREJUDICE (THE CASE OF YOUNGER HUSBAND-OLDER WIFE) : ROBBIANTO : D2C007076
Nowadays, the phenomenon of younger husband-older wife marriage is not only popular among celebrities, but also occurs in the general societies. The couple‟s age is varied between one to five years or more than five years. The concept of traditional values believe that the age of older man was believed to bring the marriage into a better direction, it is considered that men should become a leader and protector in the family. Thus, the younger husband-older wife marriage is considered to have conflicting values, so the couples whom undergoing that marriage are faced with the social prejudice oftenly which can arise from the people around them. This study aims to look at forms of social prejudice that arise in the life of younger husband-older wife, how that situation may affect the harmony of their marriage, and how the couple‟s experience in managing the conflict that comes from social perjudice. The theory used is Relational Dialectics by Baxter and Montgomery and supported by the concept of K.W Thomas and R.H Kilmann (1974) conflict management which is known as “The Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI)”. This individual experience is expressed by the phenomenological method which priotitizes individual experience concious of understanding a thing. The researcher used in-depth interviewing technique to three pairs of informants who have an age gap of more than five years older at the wife than her husband, and has been married for more than ten years. The results of this study indicate that to deal with situations of social conflict prejudiced, The younger husband-older wife couples in general often use competition method in which they are not too concerned with what people say, ignore it, and remain focused on the establishment to maintain harmonious family. In addition, not infrequently they also do the compromising method in which they strive to provide an explanation and understanding to the prejudiced people. Internal factors of the husband and wife, like the commitment, complementary needs, and positive self acceptance also help them to live a life filled with domestic social prejudice. The social prejudice also has impact on at least younger husband-older wife couple. The negative impact of the emergence of social prejudices among others in mind as well as the pressure in the inner for each partner, emotional changes that can sometimes lead to quarrels in the household, and their relationship with parents, siblings, or friends become distant. While the positive impact are strengthening the relationship between husband and wife, and the increasing supportive attitude to each other. Key words : younger husband-older wife, conflict management, social prejudice
PENGELOLAAN KONFLIK YANG BERSUMBER PADA PRASANGKA SOSIAL (Kasus Suami Lebih Muda-Isteri Lebih Tua)
Penyusun
Nama : Robbianto NIM : D2C 007 076
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkawinan suami lebih muda dan isteri lebih tua semakin banyak dijumpai di masyarakat. Perbedaan usia diantara mereka pun semakin bervariasi, mulai 1-2 tahun, sampai lebih dari 5-10 tahun. Ungkapan “Cinta memang buta, tak lagi memandang status, strata, apalagi usia.” layaknya tepat untuk menggambarkan tipe perkawinan semacam ini. Hubungan percintaan semacam ini lebih dulu populer di kalangan selebritas yang kemudian seringkali menjadi bahan perbincangan umum. Namun perkawinan antara pria lebih muda dengan wanita lebih tua ini bukannya tanpa masalah, mereka seringkali dihadapkan pada prasangka sosial, yang wujudnya dapat berupa stigma negatif, gunjingan, cibiran, hingga penolakan, terlebih lagi jika usia wanita tersebut terlampau lebih tua dari sang pria. Beberapa juga menganggap hal ini sebagai ketidaklaziman atau tabu. Berbagai stereotip secara konsisten juga diasosiasikan pada pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua. Terkait perbandingan usia antara pria dan wanita dalam sebuah perkawinan, sesuai dengan konsep pemikiran tradisional atau nilai yang dipegang dalam masyarakat idealnya adalah seorang pria menikah dengan wanita yang lebih muda. Usia suami yang lebih tua dipercaya akan membawa pernikahan ke arah yang lebih baik, mengingat suami sudah sepantasnya menjadi sosok pemimpin, pengayom, dan pembimbing dalam rumah tangga dan keluarga. Hal ini juga sebenarnya tersirat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dimana perbandingan usia dalam suatu perkawinan memperlihatkan bahwa usia pria lebih tua daripada wanitanya. Dalam Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dalam Teori Relational Dialektika, Baxter dan Montgomery menyatakan bahwa hubungan tidak terdiri atas bagian-bagian yang bersifat linear, melainkan terdiri atas fluktuasi yang terjadi antara keinginan-keinginan yang kontradiktif (West dan Turner, 2008: 236). Dialektis mengacu pada sebuah tekanan antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan dalam sebuah sistem (Littlejohn, 2009: 302). Hubungan perkawinan dalam konteks suami lebih muda-istri lebih tua berasumsi adanya dialektika yang bersifat kontekstual, yakni antara keputusan mereka untuk menikah berseberangan nilai yang dianut masyarakat yang meyakini bahwa pernikahan biasanya terjalin antara pria yang lebih tua dengan wanita yang lebih muda. Dialektika konstektual yang seperti ini, dinamakan oleh Rawlins (1992) sebagai dialektik antara yang nyata dan yang ideal. Ketegangan antara dialektika yang nyata dan yang ideal (real and ideal dialectic) muncul ketika orang menerima pesan ideal mengenai seperti suatu hubungan itu, dan ketika melihat hubungan mereka mendiri, mereka harus menghadapi kenyataan yang berlawanan dengan yang ideal tadi. Perkawinan suami lebih muda-isteri lebih tua juga merupakan sebuah relasi yang memuat unsur konflik di dalamnya. R.D Nye (1973) menilai perbedaan nilai sebagai salah satu penyebab atau sumber konflik (dalam Rakhmat, 2005: 129). Konflik terjadi karena adanya kontroversi. Sikap kontroversi muncul
karena masing-masing pihak mempunyai sudut pandang analisis, argumen yang berbeda (Suranto, 2010: 111). Pertentangan nilai yang dianut pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua dengan yang dianut masyarakat mengenai perbandingan usia antara suami-istri yang ideal dalam perkawinan inilah yang menjadi situasi konflik dalam relasi perkawinan tersebut. Konflik tidak berasal dari internal kedua belah pihak pasangan melainkan antara masing-masing pasangan dengan pihak di luar pasangan tersebut, yakni masyarakat sekitar mereka. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengelolaan konflik dalam penelitian ini adalah Teori Analisis Transaksional dari Eric Berne (1964) yang ditulis dalam bukunya Games People Play. Analisis transaksional sebagai pendekatan komunikasi interpersonal, bertujuan mengkaji secara mendalam proses transaksi yang berlangsung dalam proses komunikasi, yakni mengenai siapa saja yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang diperlukan. (Andayani, 2009: 70). Selain itu penelitian ini juga berbasis pada metode pengelolaan konflik dari K.W Thomas dan R.H Kilmann (1974) yang dikenal dengan metode “The Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI)” tentang pengelolaan konflik yang terdiri atas lima gaya atau cara (five conflict-handling modes yang dapat dijabarkan ke dalam dua dimensi yaitu kepedulian terhadap diri sendiri (assertiveness) dan kepedulian terhadap orang lain (cooperativeness).
PEMBAHASAN
Usia merupakan salah satu pertimbangan seorang pria atau wanita dewasa dalam memilih pendamping hidup. Di dalam masyarakat pada umumnya terjadi adalah seorang pria yang lebih tua menikah dengan seorang wanita yang lebih muda darinya. Namun kini fenomena perkawinan antara pria yang lebih muda dengan wanita yang lebih tua juga semakin banyak dijumpai di masyarakat umum, tidak hanya terbatas pada kalangan para pesohor yang lebih dahulu populer. Perbedaan usia kedua pasangan itu pun bervariasi antara satu sampai lima tahun atau lebih dari lima tahun. Konsep nilai tradisional mempercayai bahwa usia suami yang lebih tua dipercaya akan membawa pernikahan ke arah yang lebih baik, mengingat suami sudah sepantasnya menjadi sosok pemimpin dan pengayom dalam rumah tangga. Dengan demikian, perkawinan suami lebih muda-isteri lebih tua dianggap telah bertentangan atau “melanggar” nilai tersebut, sehingga pasangan yang menjalani perkawinan tersebut seringkali dihadapkan pada prasangka sosial yang dapat muncul dari lingkungan di sekitar mereka. Penelitian ini menguraikan tentang pengalaman pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua dan prasangka sosial yang mereka hadapi serta bagaimana mereka mengelola situasi tersebut. Penelitian ini melibatkan tiga pasang responden yang memiliki perbedaan usia di atas lima tahun lebih tua isteri dibandingkan suami serta telah menikah selama lebih dari sepuluh tahun. Lewat penelitian ini peneliti berupaya menggambarkan bagaimana pasangan dengan
kondisi demikian mengelola konflik eksternal atau dalam hal ini prasangka sosial yang mereka hadapi karena kondisi perkawinan mereka dianggap tidak ideal oleh masyarakat di sekitar mereka. Dengan wawancara mendalam, peneliti mengumpulkan informasi tentang kondisi rumah tangga mereka dan metode pengelolaan konflik yang mereka lakukan. Pembahasan tentang penemuan-penemuan penelitian ini menghasilkan beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian yang telah dilaksanakan, yakni: 1)
Perbedaan usia antara suami dan isteri dalam pasangan suami lebih muda-
isteri lebih tua tidak menjadi suatu halangan bagi mereka untuk membina hubungan rumah tangga layaknya pasangan–pasangan lain. Walaupun secara biologis isteri memiliki usia yang jauh lebih tua dibandingkan dengan suami. Namun ketika isteri mampu untuk membuat penampilan mereka lebih muda dan segar maka pasangan pun ini secara kasat mata terlihat layaknya pasanganpasangan pada umumnya. Sifat saling melengkapi yang dimiliki pasangan ini juga menjadi hal yang mendukung terciptanya suasana rumah tangga yang selaras dan bahagia. 2)
Prasangka sosial yang dialami oleh pasangan suami lebih muda-isteri lebih
tua dapat dibedakan menjadi beberapa kategori. Pertama, prasangka sosial ini muncul ke dalam suatu bentuk pembiacaraan negatif (anti-lokusi) mengenai pasangan tersebut. Materi pembicaraan itu pun berkisar pada perbedaan usia di antara pasangan yang terlampau jauh sehingga dianggap tidak ladzim, perbedaan
finansial yang dimiliki pasangan dimana isteri diketahui ternyata lebih mapan dibandingkan suami, dan latar belakang isteri yang sebelumnya pernah gagal menjalin hubungan rumah tangga. Pembicaraan negatif ini juga termasuk di dalamnya adalah gurauan yang tidak pada konteksnya dan sifatnya merendahkan atau menyinggung perasaan. Kedua, stereotip secara konsisten diasosiasikan kepada masing-masing pasangan, baik suami maupun isteri yang menjalani perkawinan semacam ini. Salah satunya adalah suami yang lebih muda seringkali masih dianggap gemar mencari kesenangan pribadi dan kurang dapat diandalkan. Sedangkan isteri yang lebih tua juga masih dipandang akan lebih mendominasi di dalam pola komunikasi keluarga tersebut, terlebih lagi jika isteri tersebut juga lebih mapan secara finansial dibandingkan sang suami. Ketiga, prasangka sosial juga diwujudkan dalam bentuk penolakan dan penghindaran baik secara komunikasi atau pun tindakan terhadap pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua ini.
3)
Prasangka sosial adalah pengalaman yang kurang menyenangkan bagi
pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua. Dampak negatif yang dialami oleh pasangan akibat prasangka sosial tersebut antara lain, munculnya tekanan secara batin atau pikiran yang dapat membuat pasangan terkadang merasa ragu akan hubungan mereka sendiri dan hampir tenggelam oleh suara-suara dari orang yang berprasangka. Pasangan yang menjalani perkawinan semacam ini membutuhkan kesabaran yang lebih untuk membiasakan diri menghadapi prasangka sosial yang muncul dari lingkungan sekitar mereka tersebut. Melalui penerimaan diri yang
positif, pasangan tersebut dapat mengubah prasangka sosial yang semula adalah ancaman bagi keharmonisan rumah tangga mereka menjadi peluang bagi mereka untuk bersikap solid atau saling mendukung (supportif) membina keluarga yang kokoh dan bebas dari pengaruh penilaian orang lain. 4)
Pertentangan nilai yang dianut masyarakat dan pasangan informan
mengenai perbandingan usia yang ideal antara suami dan isteri dalam suatu perkawinan yang kemudian melahirkan suatu prasangka sosial adalah bentuk konflik eksternal yang terjadi pada pasangan suami lebih muda-isteri lebih tua. Sangatlah penting bagi pasangan tersebut untuk mengetahui cara pengelolaan konflik agar keharmonisan rumah tangga dapat terjaga. Secara umum cara pengelolaan konflik yang lebih sering dilakukan pasangan suami-isteri adalah dengan tetap fokus pada komitmen awal menjalin hubungan rumah tangga dan tidak menaruh perhatian yang besar terhadap berbagai prasangka yang hadir dalam kehidupan mereka.
PENUTUP
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi penelitian komunikasi dalam mengkaji teori-teori yang berkaitan dengan Dialektika Relasional yang dikemukaan oleh Baxter dan Montgomery. Dalam teori tersebut hubungan pasangan suami-isteri bukan hanya dilihat dari pendekatan monologis maupun dualistik yang melihat hubungan dimulai dari dekat menjadi sangat intim melainkan bagaimana individu menangani pertentangan dalam hubungannya. Pasangan dalam kondisi demikian tidak perlu menutup diri dari pergaulan sosial dan merasa malu atau rendah diri karena merasa atau dianggap berbeda dibandingkan pasangan-pasangan suami-isteri pada umumnya. Pasangan suamiisteri pun juga tidak perlu merasa terancam kehidupan rumah tangganya dengan adanya prasangka sosial di seputar kehidupan mereka. Komitmen dari awal untuk membina rumah tangga yang harmonis kiranya harus terus dijaga agar pasangan semacam ini tidak tenggelam dalam suara-suara dan pendapat dari luar yang tidak selalu sesuai atau benar. Sebagai syarat menjadi pengayom dan pemimpin keluarga yang baik maka kedewasaan pun diperlukan, salah satunya oleh masyarakat sosial hal ini dicirikan dengan usia yang lebih tua. Nilai itu pun diteruskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat seringkali tidak mau memahami kenapa ada pria yang lebih muda mau menikah dengan wanita yang lebih tua. Memahami keputusan orang lain memang tidak selalu mudah. Lebih mudah mengungkapkan
ketidaksetujuan dengan komentar atau ejekan. Perkawinan semacam ini pun pada akhirnya dijadikan sasaran prasangka sosial oleh masyarakat. Komentar negatif hingga penolakan seringkali ditujukan bagi pasangan tersebut. Seharusnya masyarakat tidak mudah memberikan penilaian atau penghakiman (judgement) kepada seseorang tanpa mengetahui kebenaran atau alasan ketika seseorang menjadi berbeda dengan apa yang biasanya terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat agaknya dapat lebih berempati dan lebih bijak lagi dalam menilai karena pada hakikatnya manusia secara individu juga memiliki kemauan atau prinsip yang tidak dapat dikendalikan orang lain, termasuk dalam memilih pasangan hidup.
Daftar Pustaka: Andayani, Tri Rejeki. 2009. Efektivitas Komunikasi Interpersonal. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Beebe, Steven A. 2005. Interpersonal Communication Relation With Other. Boston: Pearson Education, Inc. Harsanto,
Priyatno.
2006.
Pendekatan
Interpretif
dalam
Ilmu
Sosial:
Fenomenologi, Etnometodologi dan Simbolik Interaksionisme. Modul Pelatihan Penelitian Kualitatif. Semarang: FISIP Undip Knapp, Mark L & Anita L. Vangelisti. 1992. Interpersonal Communication and Human Relationships. Boston: Allyn and Bacon Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Littlejohn. 1999. Theories of Human Communication. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company. Moleong, Lexy J. Dr. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Morissan, M.A. 2010. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia
Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. California: Sage Publications, Inc Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada. Older Women-Younger Men Relationships: The Social Phenomenon of „Cougars‟. A Research Note. Institute of Policy Studies, Working Paper, January 2010. Olson, David H., dan John DeFrain. 2006. Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and Strengths. Lindenhurst, NY: McGraw-Hill Humanities Social. Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Thomas, K.W., & R.H. Kilmann. 1974. Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument. Sterling Forest, NY: Xicom, Inc. Tubbs, Stewart L., dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication PrinsipPrinsip Dasar Buku Pertama, diedit dan diterjemahkan oleh Dr. Deddy Mulyana, M.A. dan Gembirasari. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. West, Ricard dan Lyn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi Edisi 3. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Sumber Internet: http://id.omg.yahoo.com/news/kisah-nunung-mencari-cinta.html http://www.vemale.com/relationship/love/13801-wanita-paruh-baya-suka-melirikpria-muda.html http://life.viva.co.id/news/read/321023-ada-apa-di-balik-wanita-pencinta--daunmudahttp://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/500613 htttp://www.selebrita.com/entertainment/nassar-muzdalifah-menikah.html