1
ABSTRAK PENERAPAN REKAM MEDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA MALPRAKTEK KEDOKTERAN Oleh Arief Chandra Gutama, Heni Siswanto, Tri Andrisman Email :
[email protected] Keberadaan rekam medis sangat diperlukan dalam setiap sarana pelayanan kesehatan, baik ditinjau dari segi pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan maupun dari aspek hukum. Peraturan hukum berhubungan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan mencakup aspek hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Dari aspek hukum, rekam medis dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara medis, sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti rekam medis dalam penegakan hukum pidana malpraktek kedokteran. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan
penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Kekuatan pembuktian alat bukti rekam medis merupakan alat bukti yang kuat berbentuk surat, alat bukti rekam medis merupakan petunjuk bagi hakim di dalam tindak pidana malpraktek kedokteran untuk menjadi dasar memperberat atau memperingan dalam pertimbangan hukum hakim pada saat memutuskan perkara di persidangan.
Kata Kunci : Rekam Medis, Alat Bukti, Malpraktek Kedokteran.
2
ABSTRACT THE APPLICATION OF MEDICAL RECORD IN MEDICINE MALPRACTICE CRIMINAL LAW ENFORCEMANT By Arief Chandra Gutama, Heni Siswanto, Tri Andrisman Email :
[email protected] The existence of medical record is needed in every health facility sevice, both observe from operation aspect of practice service and law aspect. The rule of justice is relation with impementation of health service, such as criminl of justice aspect, court of justice and administration justice. From the justice aspect, medical record can be used as the proof in medical case, that consistance with passage 184 verse (1) KUHAP. The problem in this research is how the strength of proof instrument authentication in malpractice medicine criminal law enforcement. The approach the be used in this reasearch is the approach normatif yuridis and empiris yuridis. The strength of proof instrument authentication medical record is the clue for adjudicator in the act of medicine malpractice criminal to be basic to make the punishment heavier or lighten consideration from adjudicator justice at the moment to adjudicate the case in the court session.
Key Words : Medical Record, Proof, Medicine Malpractice.
3
I. Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik tenaga kesehatan baik itu dokter atau bidan yang malakukan kelalaian dalam tindakan medis, sering juga kita dengar pasien yang menjadi cacat dan bahkan meningal dunia yang ditanggani oleh dokter atau tenaga medis lainya. Kemudian polemik yang muncul adalah bahwa petugas kesehatan melakukan malpraktek yang menyebabkan pasien cacat seumur hidup dan bahkan sampai meninggal. Oleh sebab itu masyrakat, terutama yang terkenan kasus atau yang keluarganya terkenan kasus tersebut mengajukan tuntutan hukum. Fenomena semacam itu adalah bagus kalau dilakukan secara proporsional, sebab fenomena ini menunjukan meningkatnyakesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Di samping itu, fenomena ini juga menunjukan adanya kesadaran masyarakat terutama pasien tantang hak-haknya atau hakhak pasien.1 Rekam medis merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan terhadap pasien. Ketentuan rekam medis ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 749a/Men. Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record .
Keberadaan rekam medis sangat diperlukan dalam setiap sarana pelayanan kesehatan, baik ditinjau dari segi pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan maupun dari aspek hukum. Peraturan hukum berhubungan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan mencakup aspek hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Dari aspek hukum, rekam medis dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara medis,2 sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan ada lima jenis alat bukti yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa kelima jenis alat bukti tersebut dapat dianggap cukup untuk mengungkapkan kebenaran dari suatu tindak pidana konvensional.3 II. Pembahasan A. Karakteristik responden 1. Nama : Baharudin Y. Jabatan : Penyidik Polisi dari Polresta Bandar Lampung 2. Nama : Tri Wahyu Agus P. Jabatan : Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung 3. Nama : Nelson panjaitan. 2
Y.A. Triana Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media Publishing, Malang, 2007, hlm. 19.
1
Soekidjo Notoatmodjo. Etika & Hukum
3
Al.
Wisnubroto
dan
G.
Widiartana.
Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT.
166.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 100.
4
Jabatan : Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang. 4. Nama : Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.H. Jabatan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Rekam Medis dalam penegakan Hukum Pidana Malpraktek Kedokteran Pada sistem penegakan hukum di indonesia adalah sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum pidana diimplementasikan dalam 4(empat) subsistem dalam proses peradilan pidana ialah kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, keuasaan mengadili/ menjatuhkan putusan, dan kekuasaan pelaksanaan putusan atau esekusi.4 Dalam sistem penegakan hukum pidana indonesia juga perlu dilihat secara in abstracto (law making and law reform) karena penagakan hukum pidana in abstracto merupakan formulasi atau proses pembuatan perundang-undangan melalui proses legislasi5. Proses formulasi atau in abstracto merupakan tahap awal yang strategis dari proses penegakan hukum in concreto yang pada hakekatnya merupakan proses penjatuhan pidana atau proses pemidanaan yang sesuai dengan 4
4
Heni
Penegakan Kejahatan
Siswanto. Hukum
Rekonstruksi Pidana
Perdagangan
(empat) sistem penegakan hukum di indonesia, sesuai dengan kasus malpraktek kedokteran sebaiknya harus di tinjau dengan in abstracto undangundang yang berkaitan dengan prktek kedokteran dan in concreto proses penjatuhan pidana yang harus dilihat dari 4 (empat) sistem yaitu proses penyidikan pada tingkat kepolisian, penuntutan pada kejaksaan, dan penjatuhan pidana pada pengadilan dan apabila terbukti bersalah maka esekusi dapat dijalankan. Dalam hukum pidana dikenal apa yang disebut asas kesalahan yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen Straf Zonder Schuld).6 Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana yang semula menitikberatkan pada perbuatan (Daadstrafrecht) kemudian berkembang ke arah hukum pidana yang menitikberatkan pada orang yang melakukan tindak pidana (Daderstrafrecht), tanpa meningalakan sama sekali sifat dari daadstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai “Daad-daderstrafrecht”, yaitu hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun orangnya. Konsep KUHP 2008 merumuskan asas kesalahan ini secara tertulis dalam Pasal 37 sebagai berikut: 1. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan. 2. Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan,
Sistem
Menghadapi
Orang,
Pustaka 6
Tri Andrisman. Delik Tertentu Dalam KUHP,
Magister Semarang, semarang, 2013, hlm.108. Universitas 5
Ibid., hlm.116.
Lampung,
2011, hlm. 15.
Bandar
lampung,
5
kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut standar profesi dokter.7 Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya, ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex” yang berarti hukum tidak mencapuri hal-hal yang sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal. Tolak ukur culpa lata adalah: 1. 2. 3. 4.
Bertentangan dengan hukum Akibat dapat dibayangkan Akibat dapat dihindarkan Perbuatan yang dapat dipersalahkan
Jadi malpraktek medis merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar.8 Dalam Pasal 46 Undang- Undang Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa rekam medis adalah berkas yang
7
M. Jusuf Hannafiah & Amri Amir. Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC,
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien. 9 Berdasarkan Permenkes Nomor. 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis bahwa di rumah sakit terdapat 3 jenis rekam medis, yaitu: a. Rekam medis untuk pasien rawat jalan b. Rekam medis untuk pasien rawat inap c. Rekam medis untuk pasien rawat darurat Rekam medis merupakan surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu UndangUndang Praktik Kedokteran Pasal 46 ayat (1) sampai (3) dan Permenkes Nomor 749a/ Menkes/Per/XII/ 1989 tentang Rekam Medis atau Medical Record yang menurut Pasal 81 Undang-Undang Praktik Kedokteran masih berlaku. Surat ini dibuat oleh pejabat (Dokter) yang termasuk dalam tata laksana tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi sesuatu hal atau sesuatu keadaan tentang pasien. Kriteria ini memenuhi Pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP sehingga rekam medis dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan. Tentang petunjuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 huruf d, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 188 ayat (2) dan (3) bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, yang akan diperiksa oleh hakim secara arif dan bijaksana dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya sehingga
Jakarta, 1999, hlm.87. 8
Ibid., hlm.88.
9
Ibid., hlm. 183.
6
memberikan keyakinan kepada hakim atas kekuatan pembuktian petunjuk tersebut. Pemberian nilai atas petunjuk diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Rekam medis dapat pula digunakan sebagai alat bukti dalam tuntutan berdasarkan Pasal 79 huruf c dimana dokter dianggap tidak memenuhi kewajiban memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Karena dalam rekam medis akan dapat dilakukan audit medis untuk membuktikan bahwa dokter telah menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana kewajiban yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang Praktik Kedokteran.10 III. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpilkan bahwa kekuatan pembuktian alat bukti rekam medis merupakan alat bukti yang kuat berbentuk surat, alat bukti rekam medis merupakan petunjuk bagi hakim di dalam tindak pidana malpraktek kedokteran untuk menjadi dasar memperberat atau memperingan dalam pertimbangan hukum hakim pada saat memutuskan perkara di persidangan.
10
Ibid., hlm. 187.
7
Daftar Pustaka Buku : Andrisman, Tri. 2011. Delik Tertentu Dalam KUHP, Universitas Lampung , Bandar lampung.
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana. 2005. Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. M. Jusuf Hannafiah & Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta.
Undang- undang: Kitab undang-undang Hukum Pidana Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika & Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 Tentang Rekam Medis.
Ohoiwutun, Y.A. Triana. 2007. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Bayu Media Publishing. Malang.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Men.Kes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis.
Siswanto, Heni. 2013. Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan Perdagangan Orang. Pustaka Magister Semarang. Semarang.