Abstrak This research aimed to investigate the value of phytoplankton primary productivity in terms of chlorophyll-a content on different water depth level in floating net cages and open water of Rawa Pening lake. This research also aimed to study the abundance of phytoplankton, phytoplankton diversity index, and species richness. Chlorophyll-a was determined using the Schwoerbel (1970) method. Sampling was done in floating net cages and open water on three different water depth level, those are 0 m, 0.5 m and 1 m from water surface. Another analysis was conducted to measure the phytoplankton abundance , phytoplankton diversity index, species richness, temperature, Secchi Disk visibility, pH, Dissolved Oxygen, ammonia, nitrate, and phosphate. The result showed that different depth level gave a significant difference on phytoplankton primary productivity. Significant difference also found from different location treatment. There was no interaction between location and depth level on chlorophyll-a content. The highest chlorophyll-a value was found on 0 m deep. Chlorophyll-a value in floating net cages were higher than open water. The highest primary productivity was obtained from floating net cages on 0 m deep in the amount of 9,97 mg/m3, and the lowest was obtained from open water on 1 m deep in the amount of 5,08 mg/m3. The phytoplankton abundance ranged from 83.220 cells/m3 - 217.542 cells/m3, phytoplankton diversity index ranged from 2,88 - 2,96 and phytoplankton species richness ranged from 23-24. Key word : Phytoplankton, Chlorophyll-a, Abundance, diversity index, species richness and Rawa Pening Lake
Pendahuluan Masukan limbah organik dapat mempengaruhi ekosistem danau, khususnya di Danau Rawa Pening. Limbah organik ini berasal dari pertanian, rumah tangga, industri pariwisata, kotoran ikan dan sisa pakan ikan di kawasan karamba. Pasokan limbah organik ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi ini terlihat dengan melimpahnya enceng gondok dan kandungan unsur hara yang berada di perairan danau Rawa Pening (Wibowo 2004 dan Purnomo dkk, 2013). Hal ini dapat mengakibatkan terpengaruhnya keseimbangan ekosistem perairan yang nantinya akan berhubungan dengan pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton (Pratiwi dkk, 2013 dan Yuningsih, 2014). Fitoplankton dipilih dalam penelitian ini dikarenakan awal mata rantai (produsen primer) dalam jaring makanan dan penyuplai oksigen (Nybakken, 1988; 2
Thoha, 2011). Apabila keberadaan fitoplankton terpengaruh maka organisme lain juga akan berpengaruh (Handayani, 2005). Selain itu fitoplankton dapat dijadikan indikator untuk mengetahui kualitas perairan (Handayani, 2005; Widianingsih, 2005). Keberadaan fitoplankton diantaranya dipengaruhi oleh unsur hara dan cahaya (Manu, dkk., 2010; Rumanti, 2014). Fitoplankton produktif berfotosintesis di daerah fotik karena mendapat intensitas cahaya yang cukup. Perubahan intensitas cahaya salah satunya dikarenakan kedalaman. Bertambahnya kedalaman berpengaruh terhadap produktivitas primer dan kelimpahan fitoplankton. Selain itu, fitoplankton memanfaatkan unsur hara untuk tumbuh dan berkembang (Nuchsin, 2007; Krismono, 2007; Barus, 2008). Fitoplankton dapat menyerap sinar matahari secara langsung melalui fotosintesis, untuk membentuk bahan organic dari bahan anorganik yang dikenal produktivitas primer (Barus, 2008; Widyorini, 2009). Nilai produktivitas primer penting karena berperan sebagai penyedia makanan (produser) dalam suatu ekosistem perairan serta pemasok oksigen terlarut. Produktivitas primer perairan dapat memberikan gambaran, apakah suatu perairan produktif menghasilkan biomassa fitoplankton atau tidak (Hariyadi, dkk., 2010). Apabila kandungan klorofil a fitoplankton dalam perairan semakin tinggi maka produktivitas perairan semakin tinggi. Tingginya produktivitas primer mengindikasikan adanya eutrofikasi dan apabila terlalu rendah maka perairan tersebut tidak produktif (Riyono, 2006; Manu, dkk., 2010). Produktivitas primer bergantung pada konsentrasi klorofil (Pitoyo, 2002; Syah, 2009). Dalam suatu volume air tertentu kadar klorofil merupakan ukuran biomassa fitoplankton dalam suatu perairan, sehingga klorofil dapat digunakan menaksir produktivitas primer suatu perairan (Nybakken, 1988). Pengukuran produktivitas primer dengan klorofil-a dikarenakan cara ini termasuk cara yang mudah, pengukuran langsung dilakukan terhadap klorofil-a fitoplankton dan klorofil-a merupakan pemegang kunci dalam proses fotosintesis sehingga dapat digunakan untuk produktivitas primer perairan. Selain itu pigmen klorofil fitoplankton terdapat pada semua organisme yang dapat melakukan proses fotosintesis, kecuali purple and green bacteria (Riyono, 2007).
3
Tujuan Mengetahui produktivitas primer ditinjau dari klorofil-a fitoplankton berdasarkan tingkat kedalaman perairan danau Rawa Pening di kawasan karamba dan perairan bebas, selain itu mengetahui nilai kelimpahan fitoplankton, indeks keanekaragaman fitoplankton, dan kekayaan spesies fitoplankton.
Metode Penelitian 1.
Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel air dilakukan pada bulan Oktober - Desember 2013 di Danau Rawa Pening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Penentuan lokasi sampling berdasarkan intensitas cahaya, karamba aktif, ijin pemilik karamba dan jenis ikan yang sama dalam karamba. Pengambilan sampel dilakukan di 3 stasiun kawasan karamba dan 3 stasiun perairan bebas dengan 3 kali ulangan. Kedalaman ditentukan berdasarkan secchi disk. Tingkat kedalaman yang ditentukan yaitu 0m (permukaan), 0,5 m dan 1 m. Pengambilan sampel air kedalaman 0,5m dan 1m dengan menggunakan lamute water sampler. Posisi stasiun berdasarkan GPS (Global Positioning System) pada Tabel 1. sebagai berikut: Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel air di sekitar kawasan karamba dan kawasan perairan bebas, Danau Rawa Pening Stasiun Letak Geografis Karamba Perairan Bebas 0 0 0 1 S 07 18’24.2” E 110 25’37.6” S 07 18’16.7” E 110025’32.6” 2 S 07018’24.9” E 110025’41.4” S 07018’18.6” E 110025’34,0” 3 S 07018’21.9” E 110025’16.1” S 07018’24.8” E 110025’41,4” 2.
Pengambilan Sampel Sampel air nantinya dimasukkan dalam botol-botol selanjutnya diberi label untuk dianalisa kandungan klorofil-a fitoplankton, kelimpahan fitoplankton, indeks keanekaragaman fitoplankton dan kekayaan spesies. Selain itu dilakukan analisa kualitas air yaitu nitrat, fosfat, amonia, DO, pH, dan suhu. Pengambilan sampel air untuk kelimpahan, indeks keanekaragaman, dan kekayaan spesies fitoplankton diambil sebanyak 1 l air rawa pening. Sampel air nantinya disaring dengan planktonet. Hasil sampel air yang tersaring langsung dimasukkan dalam botol film dan diberi pengawet lugol sebanyak 3 tetes tiap 15ml (Sachlan, 1982). Pengukuran suhu, pH dan kecerahan dilakukan dilapangan, sedangkan klorofil-a 4
fitoplankton, DO, fosfat, nitrat, ammonia, kelimpahan, indeks keanekaragaman, dan kekayaan spesies fitoplankton dilakukan di laboratorium Universitas Kristen Satya Wacana. Pengukuran sampel ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. 3.
Pengukuran Parameter Parameter yang diujikan terdapat 3 yaitu biologi berupa klorofil-a, indeks keanekaragaman, kelimpahan dan kekayaan spesies. Fisika yaitu kecerahan dan suhu. Kimia yaitu pH, DO, nitrat, amonia dan fosfat. Berikut ini merupakan parameter yang akan diuji dan metode yang akan digunakan Tabel 2. Metode dan alat yang digunakan dengan parameter biologi, fisika dan kimia perairan Parameter Satuan Metode A. Biologi Klorofil-a mg/m3 Spektrofotometrik (ekstrak aseton) (Schwoerbel, 1970) Kelimpahan Sel/l Pencacahan (APHA, 1998) Indeks H’ Shannon wiener diversity (Odum, 1996) Keanekaragaman Kekayaan Spesies (Streble, 1974); (Heurck, 1984) B. Fisika Kecerahan Cm Secchi disk / visual 0 Suhu C Termometer (Hg) C. Kimia pH pH meter Nitrat mg/l Spektrofotometer (Alaerts, 1984) Amonia mg/l Spektrofotometer hach Fosfat mg/l Spektrofotometer hach DO mg/l Winkler (Alaerts, 1984) 3.1 Pengukuran klorofil-a Pengambilan sampel air fitoplankton dilakukan sebanyak 1 L. Sampel air tersebut dibawa ke laboratorium Biotekling Universitas Kristen Satya Wacana untuk disaring dengan pompa vakum, dengan kertas saring whatman (Riyono, 2006) dengan ukuran pori 1,2μm. Selanjutnya, kertas saring tersebut di letakkan di cawan petri dan di letakkan diatas waterbath selama 45 detik dengan suhu 80 0C untuk dipanaskan setelah itu dikering anginkan. Kertas saring selanjutnya di beri 5
aseton 90% sebanyak 25 ml dan disimpan dalam lemari es selama 20 jam. Pengukuran klorofil-a dengan spektrofotometri dengan panjang gelombang 665μm, 645μm, dan 630μm (Schwoerbel, 1970). Klorofil-a = 11,6.A – 0,14.B – 1,31.C Keterangan : A = D665 B = D645 C = D630 D = panjang gelombang Perhitungan nilai klorofil-a, selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus (Schwoerbel, 1970) sebagai berikut: Klorofil-a mg/m3 = C.v / IV Keterangan : C = klorofil-a v = Jumlah ekstrak aseton V = Volume air yang disaring l = panjang kuvet Identifikasi Sampel Fitoplankton Identifikasi sampel fitoplankton dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Perairan Biologi UKSW. Sebelum dilakukan identifikasi pada sampel fitoplankton, botol film dikocok terlebih dahulu, agar tidak ada yang mengendap di dasar botol. Sampel air diambil sebanyak 1 tetes (0,04 ml) (Sachlan, 1982) dengan pipet tetes, selanjutnya diteteskan pada object glass dan ditutup dengan cover glass (24 mm x 24 mm) dan diamati dengan mikroskop sampai perbesaran 400x. Identifikasi spesies fitoplankton, kelimpahan dan indeks keanekaragaman dengan buku Streble (1974) dan Heurck (1984). Perhitungan individu fitoplankton dibantu dengan alat hitung counter. 3.2 Kelimpahan Fitoplankton Perhitungan kelimpahan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kelimpahan fitoplankton setiap spesies tertentu yang ditemukan selama 6
pengamatan. Rumus perhitungan kelimpahan fitoplankton dihitung berdasarkan rumus APHA (1998) sebagai berikut : N = n x (Vr / Vo) x (1 / Vs) x (Oi / Op) Keterangan : N = Kelimpahan fitoplankton (sel/l) Oi = Luas gelas penutup preparat (24 mm2) Op = Luas amatan (24 mm2) Vr = Volume air sampel yang tersaring (1 l) Vo = Volume air sampel yang diamati (0,04 ml) Vs = Volume air sampel yang disaring (15 ml) n = Jumlah sel yang tercacah (sel) 3.3 Kekayaan Spesies Merupakan perhitungan jumlah total spesies dalam satu komunitas S = perhitungan jumlah total spesies dalam 1 komunitas 3.4 Indeks Keanekaragaman Fitoplankton Analisis indeks keanekaragaman (H’) dengan menggunakan rumus indeks shanon weinner (Odum, 1996) sebagai berikut:
Keterangan : H’ = Indeks Keeanekaragaman Shanon-Wiener S = Jumlah spesies Pi = ni/N ni = jumlah individu spesies i N = jumlah total fitoplankton. 4.
Analisis Data Data yang disajikan dalam penelitian merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan. Data yang didapatkan di analisis dengan menggunakan analisis two way anova dengan α 5% untuk mengetahui pengaruh nilai klorofil-a pada kedalaman berbeda di kawasan karamba dan perairan bebas. 7
Hasil dan Pembahasan 1.
Klorofil-a Nilai klorofil-a fitoplankton digunakan untuk mengetahui produktivitas primer fitoplankton yang ada di Danau Rawa Pening. Berdasarkan uji statistik nilai rata-rata klorofil-a mg/m3 menunjukkan adanya beda nyata tiap kedalaman dan lokasi (karamba dan perairan bebas), serta tidak terdapat interaksi antara lokasi dan kedalaman terhadap nilai klorofil-a. Adanya nilai beda nyata dapat dilihat dari nilai sig <0,05. Berikut ini merupakan hasil uji two way anova terhadap nilai klorofil-a (mg/m3) fitoplankton di berbagai lokasi dan kedalaman Danau Rawa Pening. Tabel 3. Hasil uji two way anova terhadap nilai klorofil-a (mg/m3) fitoplankton di Danau Rawa Pening. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:klorofil_a Source
Type III Sum of Squares
Mean Square
df
F
Sig.
Corrected Model
44.263
a
5
Intercept
980.359
1
Lokasi
19.677
1
19.677
28.943
.000
Kedalaman
24.219
2
12.110
17.812
.000
.366
2
.183
.270
.768
Error
8.158
12
.680
Total
1032.781
18
52.422
17
Lokasi * Kedalaman
Corrected Total
8.853
13.021
.000
980.359 1.442E3
.000
a. R Squared = ,844 (Adjusted R Squared = ,780) Adanya beda nyata nilai klorofil-a terhadap lokasi dapat dilihat dari nilai produktivitas primer fitoplankton di kawasan karamba lebih tinggi daripada perairan bebas, sedangkan untuk kedalaman menunjukkan permukaan memiliki nilai produktivitas paling tinggi dan disusul dengan kedalaman 0,5m dan 1m. Berikut ini (Gambar 1) merupakan nilai rata-rata klorofil-a di Danau Rawa Pening : 8
Gambar 1. Rata-rata klorofil-a mg/m3 fitoplankton pada berbagai kedalaman di Danau Rawa Pening Berdasarkan diagram batang, nilai tertinggi di kawasan karamba terdapat di area permukaan sebesar 9,97 mg/m3 selanjutnya kedalaman 0,5m yaitu 8,51 mg/m3 dan kedalaman 1m yaitu 6,79 mg/m3. Nilai klorofil-a tertinggi di kawasan perairan bebas terdapat di area permukaan 7,58 mg/m3, selanjutnya kedalaman 0,5m yaitu 6,35 mg/m3 dan terendah di kedalaman 1m yaitu 5,08 mg/m3. Hasil penelitian menunjukkan adanya beda nyata kandungan klorofil-a fitoplankton terhadap kedalaman. Hasil pengukuran klorofil-a fitoplankton (mg/m3) di semua lokasi terjadi penurunan nilai dari kedalaman 0m (permukaan), 0,5 m dan 1 m. Adanya beda nyata kandungan klorofil-a terhadap kedalaman dalam penelitian ini dikarenakan oleh cahaya dan kelimpahan. Nilai klorofil-a akan semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman (Ruyitno, 2007; Barus dkk, 2008; Wirasatriya, 2011). Hal ini dikarenakan dengan bertambahnya kedalaman maka intensitas cahaya yang menembus perairan semakin berkurang. Adanya cahaya yang tinggi di area permukaan memungkinkan fitoplankton cenderung naik ke permukaan untuk berfotosintesis dan menyerap zat hara (Facta dkk, 2006). Selain itu fitoplankton dapat ditemukan di daerah fotik, yaitu daerah yang cahayanya mencukupi untuk berfotosintesis (Krismono dan Sugianti, 2007). Berkurangnya intensitas cahaya, mengakibatkan proses fotosintesis pada fitoplankton kurang optimal (Pitoyo dan Wiryanto, 2002; Facta dkk, 2006). Beda nyata nilai klorofil-a yang tinggi antar kedalaman juga disebabkan adanya kelimpahan fitoplankton dan nutrien. Hasil penelitian menunjukkan nilai klorofil-a yang tinggi cenderung diikuti oleh tingginya nilai kelimpahan fitoplankton. Nilai kelimpahan suatu perairan dapat mempengaruhi tingginya nilai klorofil-a. Hal ini dikarenakan setiap spesies fitoplankton akan membawa 9
kandungan klorofil-a sehingga apabila nilai kelimpahan tinggi mengakibatkan nilai klorofil-a juga tinggi (Pitoyo dan Wiryanto, 2002). Hasil penelitian menunjukkan adanya beda nyata antar lokasi. Nilai klorofil-a menunjukkan lebih tinggi di kawasan karamba daripada perairan bebas. Faktor yang mempengaruhi perbedaan nilai klorofil-a dikarenakan unsur hara, kelimpahan fitoplankton, arus dan planktivor (Edward, 2003; Krismono dan Sugianti 2007; Manu, 2010; Piranti, 2014). Faktor yang mempengaruhi beda nyata dalam penelitian ini lebih dipengaruhi oleh faktor kelimpahan, arus, dan planktivor. Unsur hara kurang berpengaruh karena nilai unsur hara memiliki nilai yang hampir sama antara kedua lokasi. Kelimpahan mempengaruhi nilai klorofil-a dikarenakan nilai klorofil-a berhubungan dengan kelimpahan fitoplankton. Hasil penelitian menunjukkan kelimpahan fitoplankton lebih banyak di kawasan karamba dibandingkan di perairan bebas. Hal ini sesuai pernyataan Manu, dkk (2010) bahwa nilai kelimpahan akan mempengaruhi nilai klorofil-a, karena setiap individu fitoplankton akan membawa klorofil-a. Arus berpengaruh karena kawasan perairan bebas merupakan perairan dengan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan karamba. Arus ini ditimbulkan oleh putaran baling-baling dari perahu, gesekan dengan dasar perahu karena merupakan jalur transportasi nelayan, dan adanya angin. Adanya arus yang lebih besar di perairan bebas mengakibatkan fitoplankton sering berpindahpindah tempat, hal ini diduga mengakibatkan nilai klorofil-a lebih sedikit dibandingkan kawasan karamba. Kawasan karamba memiliki nilai klorofil-a lebih tinggi karena di kawasan ini memiliki perairan yang lebih tenang dibandingkan perairan bebas. Perairan yang tenang mengakibatkan fitoplankton lebih lama tinggal dan berkembang biak di kawasan perairan tersebut (Krismono dan Sugianti, 2007). Planktivor berdampak terhadap klorofil-a fitoplankton. Klorofil-a lebih tinggi di kawasan karamba diduga planktivor di karamba lebih sedikit dibandingkan perairan bebas. Planktivor di kawasan karamba hanya ikan nila dan zooplankton sedangkan di perairan bebas berbagai macam ikan dan zooplankton. Selain itu ukuran ikan pada saat larva lebih suka mengkonsumsi pakan alami seperti fitoplankton, sedangkan setelah bertambah besarnya ikan, maka ikan dapat mengkonsumsi pelet dan pakan alami (Edward, 2003; Piranti, 2014). Karamba, hanya terdapat ikan nila dengan ukuran besar, sehingga nilai klorofil-a lebih tinggi. Klorofil-a di perairan bebas rendah karena ikan yang berada di perairan bebas memiliki jenis, jumlah dan ukuran yang bervariasi, sehingga 10
fitoplankton banyak yang dimakan oleh ikan-ikan di area tersebut, terutama ikan yang berukuran kecil. 2.
Kekayaan Spesies Kekayaan spesies fitoplankton danau Rawa Pening pada penelitian ini terlihat hampir sama yaitu berkisar 23 - 26 jenis spesies tiap stasiun. Berikut ini (gambar 4) merupakan kekayaan spesies tiap kedalaman yang berada di danau Rawa Pening
Gambar 2. Kekayaan spesies fitoplankton pada berbagai kedalaman di Danau Rawa Pening Kekayaan spesies tertinggi di kawasan karamba di bagian permukaan (0m) dengan nilai 26 jenis spesies, selanjutnya 0,5m yaitu 25 jenis dan 1m yaitu 23 jenis. Kekayaan spesies di perairan bebas memiliki nilai yang sama yaitu di area permukaan dan 0,5m yaitu 24 jenis spesies dan di kedalaman 1m yaitu 23 jenis spesies. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 63 jenis spesies dengan 5 kelas. Kelas Bacillariophyceae terdapat 34 jenis spesies, Chlorophyceae 20 jenis spesies, Cyanophyceae 5 jenis spesies, Conjugatophyceae dan Trebouxiophyceae 2 jenis spesies. Spesies sering muncul berasal dari kelas Bacillariophyceae (lihat di lampiran). Bacillariophyceae banyak ditemukan karena mudah untuk beradaptasi di lingkungan, dan distribusi yang luas dari air laut, air tawar (Abida, 2010; Sari dkk, 2013). Menurut Nybakken (1992), ukuran fitoplankton yang dominan tertangkap pada plankton net yaitu Bacillariophyceae. Selain itu kelas fitoplankton dari Bacillariophyceae, melimpah karena fitoplankton dari kelas ini merupakan anggota utama fitoplankton yang terdapat di seluruh bagian perairan (Rokhim dkk, 2009). 11
Spesies yang sering muncul tiap stasiun dan kedalaman adalah Synedra afflinis, Eunotia pectinalis, Fragillaria crotonensis, dan Rhizosolenia longiseta (Bacillariophyceae) sedangkan kelas Chlorophyceae adalah Colechaete scutata. Spesies ini sering muncul dikarenakan golongan alga yang dapat hidup pada komunitas perairan tercemar limbah organik (Curtis dan Curd, 1971 dalam Wijaya, 2009). Sedangkan spesies dengan jumlah sedikit adalah Ophiocytium pervulum. Spesies ini ditemukan jumlah sedikit karena tidak toleran terhadap ketersediaan hara, adanya bahan pencemar, selain itu spesies ini menyukai pH yang agak asam ± 4,5 (Watanabe, 1990 dalam Sari, 2013). 3.
Indeks Keanekaragaman Fitoplankton Indeks keanekaragaman menunjukkan jumlah spesies yang mampu beradaptasi di lingkungan tersebut. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman maka semakin banyak spesies yang mampu bertahan hidup pada lingkungan tersebut. Melimpahnya unsur hara menyebabkan tingginya indeks keanekaragaman (Odum, 1996). Berikut gambar 3 merupakan indeks keanekaragaman fitoplankton di Danau Rawa Pening:
Gambar 3. Indeks keanekaragaman fitoplankton pada berbagai kedalaman di Danau Rawa Pening Berdasarkan penelitian nilai indeks keanekaragaman (H’) fitoplankton berkisar antara 2,88 sampai 2,96. Nilai indeks keanekaragaman di perairan bebas tertinggi di 0m (permukaan) yaitu 2,96, selanjutnya 0,5m yaitu 2,94 dan 1m yaitu 2,91. Nilai indeks keanekaragaman di karamba tertinggi di permukaan yaitu 2,95 selanjutnya 0,5 m yaitu 2,89 dan 1m yaitu 2,88. Nilai 1
Nilai indeks keanekaragaman dan kekayaan spesies yang hampir sama dikarenakan oleh cahaya dan nilai kualitas air yang hampir sama. Fitoplankton yang lebih suka dengan cahaya sehingga fitoplankton tersebut akan naik ke permukaan (Facta dkk, 2006). Karakteristik kondisi lingkungan yang hampir sama dilihat dari nilai kualitas air yang telah diukur menunjukkan nilai hampir sama antara kedalaman mupun lokasi. Nilai fosfat, amonia dan nitrat di Danau Rawa Pening termasuk dalam nilai yang optimal dikarenakan masih dalam kisaran. Nitrat di kawasan karamba dan perairan bebas berkisar 0,64mg/l – 1.44 mg/l. Fitoplankton dapat hidup berkisar 0,9mg/l – 3,5mg/l (Chu dalam Sari 2005). Kadar nitrat kurang dari 0,114 mg/l menyebabkan nitrat menjadi faktor pembatas (Rumanti, dkk, 2014). Menurut Purnomo dkk, (2013) kandungan nitrat perairan >5mg/l menandakan perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik. Kadar nitrat >0,2mg/l mengakibatkan eutrofikasi sehingga pertumbuhan alga dan tumbuhan air cepat. Hasil pengukuran fosfat yaitu 0,15 mg/l – 0,28 mg/l. Fosfat untuk pertumbuhan optimum bagi alga adalah 0,09 mg/l – 1,8 mg/l (Chu dalam Sari 2005) sedangkan faktor pembatas berkisar bagi fitoplankton adalah 0,02mg/l (Rumanti dkk, 2014). Kesuburan perairan rendah apabila kadar fosfat berkisar 0-0,02 mg/l, kesuburan sedang berkisar 0,021-0,05 mg/l dan kesuburan tinggi berkisar 0,051-0,1 mg/l (Purnomo dkk, 2013). Kadar amonia yang telah diukur berkisar antara 0,16mg/l 0,20mg/l. Ambang batas amonia adalah 0,2 mg/l (Simanjuntak, 2009). Nilai amonia ini masih memenuhi baku mutu perairan karena kurang dari 0,2mg/l. Selain unsur hara, nilai pH, DO, suhu dan kecerahan juga memiliki nilai yang hampir sama. Nilai pH pada penelitian berkisar 6,54 sampai 6,82. Menurut Purnomo et al (2013) umumnya mikroorganisme dapat tumbuh secara optimum pada kisaran suhu 6 – 9 dan sensitif perubahan pH. Nilai DO selama penelitian antara 4,82 mg/l - 5,45 mg/l dan semakin menurun nilainya dengan bertambahnya kedalaman. Kandungan oksigen yang masih dapat ditolerir oleh fitoplankton adalah 3mg/l – 14,16mg/l. Nilai oksigen terlarut ini termasuk dalam batas yang sesuai untuk keberadaan fitoplankton (Yuningsih dkk, 2014). Hasil pengukuran suhu berkisar 26,370C – 27,130C, nilai yang didapatkan hampir sama karena keadaan cuaca cenderung sama. Nilai suhu sesuai pertumbuhan plankton sekitar 250C-300C (Krismono dan sugianti, 2007). Nilai kecerahan antar stasiun memiliki nilai yang hampir sama yaitu antara 101 sampai 103. Nilai kecerahan ini termasuk rendah, rendahnya nilai kecerahan ini dikarenakan tingginya partikel tersuspensi akibat adanya aktivitas sekitar perairan misalnya kegiatan pertanian, perikanan, transportasi dll. 13
4. Kelimpahan Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian nilai kelimpahan fitoplankton di karamba lebih tinggi daripada di perairan bebas. Kelimpahan fitoplankton di Danau Rawa Pening berkisar antara 83.220 sel/m3 – 217.542 sel/m3. Kelimpahan rata-rata fitoplankton setiap kedalaman ditampilkan pada Gambar 2. sebagai berikut:
Gambar 4. Kelimpahan fitoplankton (sel/l) pada berbagai kedalaman di Danau Rawa Pening Hasil penelitian menunjukkan kelimpahan tertinggi di kawasan karamba terdapat di area permukaan (217.542 sel/m3), selanjutnya kedalaman 0,5m (170.708 sel/m3) dan terendah di kedalaman 1m (119.628 sel/m3). Kelimpahan tertinggi di perairan bebas di permukaan (127.917 sel/m3), selanjutnya kedalaman 0,5 m (108.708 sel/m3) dan kedalaman 1m (83.220 sel/m3). Berdasarkan data tersebut, nilai kelimpahan fitoplankton tertinggi di kawasan karamba permukaan dan terendah di perairan bebas kedalaman 1m. Pada penelitian ini, semakin dalam perairan terlihat kelimpahan fitoplankton akan semakin sedikit, hal ini berhubungan dengan adanya planktivor dan distribusi fitoplankton terhadap cahaya. Untuk jenis ikan yaitu ikan nila dan ukuran ikan besar di karamba maka fitoplankton yang dimakan lebih sedikit dibandingkan perairan bebas. Di perairan bebas jenis ikan yang bermacam dan ukuran ikan dari larva (lebih suka fitoplankton) dan sampai ikan yang berukuran besar mengakibatkan kelimpahan ikan di perairan bebas lebih sedikit (Situmorang dkk, 2013; Piranti, 2014). Fitoplankton akan naik ke permukaan karena lebih menyukai adanya cahaya untuk berfotosintesis, mengakibatkan keberadaan fitoplankton di permukaan akan lebih melimpah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pitoyo dan Wiryanto, (2002); Facta, dkk (2006); Krismono dan Sugianti, (2007) distribusi 14
vertikal fitoplankton lebih berkaitan dengan intensitas cahaya yang menembus perairan. Stratifikasi cahaya dalam kolom air, menyebabkan kemelimpahan fitoplankton terkonsentrasi pada permukaan perairan.
Kesimpulan
Nilai rata-rata klorofil-a mg/m3 menunjukkan adanya beda nyata tiap kedalaman dan beda nyata tiap lokasi (karamba dan perairan bebas), tetapi tidak terdapat interaksi antara lokasi dan kedalaman terhadap nilai klorofil-a. Berdasarkan lokasi, karamba memiliki nilai klorofil-a lebih tinggi daripada perairan bebas. Berdasarkan perbedaan kedalaman, menunjukkan permukaan memiliki nilai klorofil-a yang lebih tinggi dan disusul dengan kedalaman 0,5m dan 1m. Nilai kelimpahan fitoplankton di kedua lokasi berkisar 83.220 sel/m3 – 217.542 sel/m3 dengan nilai kelimpahan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Nilai indeks keanekaragaman di kedua lokasi berkisar 2,88 sampai 2,96. Kekayaan spesies di kedua lokasi berkisar 23-26 jenis spesies tiap stasiun.
Daftar Pustaka
Abida IW. 2010. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Porong Sidoarjo. Kelautan 3(1): 36-41. Alaerts G, Santika SS. 1984. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional. American Public Health Association (APHA). 1998. Standard Methods for the Examinition of Water and Waste Water. 20thEd. Wangsington: Amer.Publ. Health Assciation Inc. Barus TA, Sinaga SS, dan Tarigan R. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Hubungannya dengan Faktor Fisik-Kimia Air di Perairan Parapat Danau Toba. Jurnal Biologi Sumatera 3(1): 11-16. Edward, Tarigan MS. 2003. Pengaruh Musim Terhadap Fluktuasi Kadar Fosfat dan Nitrat di Laut Banda. Makara Sains 7(2): 2. Facta M, Zainuri M, Sudjadi SEP. 2006. Pengaruh Pengaturan Intensitas Cahaya yang Berbeda Terhadap Kelimpahan Dunallella sp. dan Oksigen Terlarut dengan Simulator TRIAC dan Mikrokontroller AT89S52. Ilmu Kelautan 11(2): 67-71. Handayani S, Patria MP. 2005. Komunitas Zooplankton di Perairan Waduk Krenceng, Cilegon, Banten. Makara Sains 9(2): 75-80. Hariyadi S, Enam MA, Tri P, Sudodo H, Ario D. 2010. Produktivitas Primer Estuari Sungai Cisadane pada Musim Kemarau. Limnotek 17 (1): 49-57. Heurck HV. 1984. A Treatise On The Diatomaceae Suplement. No Publish Krismono, Sugianti Y. 2007. Distribusi Plankton di Waduk Kedungombo. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) IX 1: 108-115. 15
Manu G, Baroleh M, Kambey A. 2010. Studi Fitoplankton di Danau Tondano Propinsi Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan VI 1: 13-17. Nuchsin R. 2007. Distribusi Vertikal Bakteri dan Kaitannya dengan Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Kalimantan Timur. Makara Sains 11(1): 10-15. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut (Suatu Pendekatan Ekologis). (Terjemahan oleh Muhamad Eidman). Jakarta: Gramedia. Odum EP. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan, T. Dan Sri Gandono, B. Cet-3. Yogyakarta: Gajah Mada Press. IKAPI. Pitoyo A, Wiryanto. 2002. Produktivitas Primer Perairan Waduk Cenglik Boyolali. Biodiversitas 3(1): 189-195. Pratiwi NTM, Sigid H, Inna PA, Aliati I, Fitri JA. 2013. Komposisi Fitoplankton dan Status Kesuburan Perairan Danau Lido, Bogor-Jawa Barat Melalui Beberapa Pendekatan. Jurnal Biologi Indonesia 9(10): 111-120. Purnomo PW, Mustofa N, Purwandari Y. 2013. Hubungan Antara Total Bakteri dengan Bahan Organik, NO3 dan H2S pada Lokasi Sekitar Eceng Gondok dan Perairan Bebas di Rawa Pening. Journal Of Management Of Aquatic Resources 2(3) : 85-92. Riyono HS. 2006. Beberapa metode Pengukuran Klorofil Fitoplankton di Laut. Oseana XXXI 3: 33-44. Riyono HS, Afdal, Rozak A. 2006. Kondisi Perairan Teluk Klabat Ditinjau dari Kandungan Klorofil-a Fitoplankton. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 39: 55-73. Riyono HS. 2007. Beberapa Sifat Umum dari Klorofil Fitoplankton. Oseana XXXII 1: 23-31. Rumanti M, Siti R, Mustofa NS. 2014. Hubungan Antara Kandungan Nitrat dan Fosfat dengan Kelimpahan Fitoplankton di Sungai Bremi Kabupaten Pekalongan. Diponegoro Journal of Maquares 3(1): 168-176 Sachlan M. 1982. Planktonologi. Semarang: Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro. Sari LK. 2005. Kajian Saprobitas Perairan sebagai Landasan Pengelolaan Das Kaligarang Semarang. Tesis. Semarang: Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Sari RM, Sri NF, Putut MHB. 2013. Keanekaragaman Fitoplankton di Aliran Sumber Panas Condrodimuko Gedungsongo Kabupaten Semarang. Unnes Jurnal of Life Science 2(1): 110-116. Schwoerbel J. 1970. Methods of Hydrobiology. German: Pergamon Press Ltd. Streble H, Krauter D. 1974. Das Leben im Wassertropfen. Franckh’sche: Kosmos Bucher. Syah F. 2009. Neural Network-Dasar Pendugaan Konsentrasi Klorofil-A Secara Vertikal. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, Madura, 17 Desember 2009. 16
Thoha H, Amri K. 2011. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Kalimantan Selatan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 37(2): 371382. Wibowo H. 2004. Tingkat Eutrofikasi Rawa Pening dalam Kerangka Kajian Produktivitas Primer Fitoplankton. Tesis. Magister Ilmu Lingkungan. Magister Progam Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Widianingsih, Retno H, Asikin D, Sugestiningsih. 2007. Kelimpahan dan Sebaran Horizontal Fitoplankton di Perairan Pantai Timur Pulau Belitung 12(1): 611. Widyorini N. 2009. Pola Struktur Komunitas Fitoplankton Berdasarkan Kandungan Pigmennya di Pantai Jepara. Jurnal Saintek Perikanan 4(2) : 69-75. Wirasatriya A. 2011. Pola Distribusi Klorofil-a dan Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Toli Toli, Sulawesi. Buletin Oseanografi Marina 1:137-149. Yuningsih HD, Soedarsono P, Anggoro S. 2014. Hubungan Bahan Organik dengan Produktivitas Perairan pada Kawasan Tutupan Eceng Gondok, Perairan Terbuka dan Karamba Jaring Apung di Rawa Pening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Journal Of Maquares 3(1): 37-34.
17
Lampiran Tabel 3. Spesies fitoplankton pada berbagai kedalaman di Danau Rawa Pening Karamba No.
Nama Spesies
Perairan Bebas
1
2
3
1
2
3
22
17
14
18
15
7
Bacillariophyceae 1
Amphora ovalis
2
Campylodiscus clipeus
-
9
-
6
1
3
3
Cocconeis scutellum
-
-
-
-
6
3
4
Coscinodisous lacustris
3
-
3
-
-
-
5
Cymbella microcephala
43
14
20
6
4
9
6
Cyclotella comta
8
11
-
11
2
-
7
Cyclotella kutzingiana
3
0
7
6
6
4
5
Cyclotella operculata
13
8
11
-
-
5
8
Diatoma elongatum
9
6
6
4
5
-
9
Enzyonema prostatum
2
-
2
3
1
1
10
Eunotia pectinalis
25
25
18
35
23
21
11
Eunotia flexuosa
11
3
-
-
-
-
12
Fragilaria crotonensis
19
20
26
5
10
7
13
Fragilaria capucina
19
23
9
14
9
7
14
Gomphonema intricatum
-
-
-
11
2
2
15
Gomphospaeria lacustris
2
-
2
5
2
9
16
Melosira granulata
21
20
14
9
4
8
17
Melosira crenulata
8
8
2
15
16
9
18
Navicula stauroptera
9
9
5
4
7
4
19
Navicula lata
10
5
2
-
3
-
20
Navicula cesatii
4
13
13
-
-
1
21
Navicula iridis
-
6
4
10
5
4
22
Rhizosolenia longiseta
36
29
26
23
24
20
23
Nitzschia linearis
6
11
7
2
4
3
24
Nitzschia dissipata
7
-
10
4
4
-
25
Nitzschia vitrea
2
-
-
-
3
-
26
Nitzschia neicularis
-
19
5
4
1
-
27
Nitzschia vermicularis
-
-
4
3
3
2
28
Pleurosigma angulatum
5
5
2
-
-
1
29
Pleurosigma macrum
9
-
2
-
2
4 18
30
Selenastrum gracile
-
-
2
-
-
1
31
Surirela ovalis
-
-
-
2
-
1
32
Synedra acus
35
9
15
13
10
9
33
Synedra afflinis
72
54
25
14
13
8
34
Synedra ulna
-
4
-
-
8
6
Chlorophyceae 35
Ankistrodesmus angustus
8
4
1
3
2
1
36
Chaetopeltis orbicularis
-
5
3
8
8
4
37
Achanthosphaera zachariasli
2
-
-
1
-
-
38
Actinastrum hantzsii
2
-
-
1
4
-
39
Characium ancora
3
-
-
-
2
-
40
Coleochaete soluta
26
4
6
-
9
7
41
Coleochaete scutata
33
28
17
28
15
9
42
Gloeocystis vesiculosa
11
3
1
4
6
3
43
Gloeocystis ampia
2
2
2
-
3
1
44
Pediastrum biraditium
-
1
3
4
2
4
45
Pediastrum duplex
7
3
5
6
1
-
46
Planktosphaeria gelatinosa
7
2
-
2
4
3
47
Scenedesmus acutus
9
7
-
5
1
1
48
Scenedesmus denticulatus
9
-
6
4
-
2
49
Scenedesmus opoliensis
7
12
3
2
3
5
50
Scenedesmus securiformis
-
7
3
-
3
4
51
Tribonema monochloron
5
-
8
12
10
4
52
Tetracoccus botryoides
-
-
-
3
3
2
53
Pleurococcus vulgaris
4
5
5
3
2
2
54
Ophiocytium pervulum
5
1
1
2
-
-
55
Merismopedia glauca
6
7
-
4
-
7
56
Chrococcus turgidus
5
2
-
8
3
2
57
Oscillatoria lauterbornii
19
15
8
11
10
2
58
Oscillatoria putrida
7
5
5
2
-
59
Oscillatoria splendida
10
9
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Cyanophyceae
Trebouxiophyceae 60
Crucigenia quadrata
3
11
-
-
2
-
61
Crucigenia rectangularis
3
-
4
-
-
-
Conjugatophyceae
-
-
-
-
-
19
62
Staurastrum tetracerum
8
4
-
-
-
-
63
Cosmarium meneghinii
-
3
1
2
-
-
Keterangan : 1 = kedalaman 0m (permukaan) 2 = kedalaman 0,5 m 3 = kedalaman 1 m
20