Membela Desa Dengan Desentralisasi Dan Melawan Desa Dengan Demokratisasi Oleh: Didik Sukriono1
Abstract
Government expedient in construct and strengthen the village ability, shows predisposition in repairing administrative aspect than institutionally empower the village in community. The government disposition and wisdom above result the village “autonomy and democracy crisis”. Village autonomy crisis was signed by it lost control upon authentic right or generic (property right) and social base destruction, like leadership, social decree, local organization, etc. Meanwhile democracy crisis tangible to the society condition which have not enough “political space” and “voice” capacity and out of the village structural refraction elite condition, centralistic also feudal. Ergo, decentralization and democratization is a keyword, altogether destination and political foundation in the village government renewal in “human well being” based on the autonomy, openness, participation, variety and the village government capacity principal. It means plead the village with decentralization and oppose the village with democratization, it’s go in certain direction to give an approval for the village existence, strengthen the local identity, rise up the local initiative and potention, share the authorization and assets to the village, and creating a village (autonomy) Key Word: Decentralization and Democratization, Village Pendahuluhan Sebelum terbentuknya negara modern, desa merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi atau pranata lokal yang beragam, sebuah pemerintahan yang demokratis, dan pernah memiliki otonomi khas (asli) dalam mengatur kehidupannya sendiri (self governing community).2 Antara desa, kerajaan, ataupun negara merupakan sama-sama bentuk organisasi yang berbeda kawasannya, namun sama obyek dan subyek pelakunya, yaitu rakyat.3 Realitas desa di atas, kini telah mengalami perubahan dan kalangan akademisi atau organisasi non pemerintah yang menyoroti keadaan desa umumnya concern terhadap dua isu utama yang menimpa rakyat desa, yaitu kemiskinan dan keterisoliran. Ironisnya, desa di masa Orde Lama dan Orde Baru justru diklaim memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang ekonomi dan politik. Ref orma Agraria (d i Jawa masa O rde Lama ), pr ogram pembangunan, transmigrasi, Keluarga Berencana, kerja bakti, ABRI Masuk Desa (AMD), aktivitas inovasi pertanian (padi varietas unggul) dan intensifikasi pertanian; semuanya berlangsung di desa. Bahkan dalam pemilihan umum, para kandidat partai politik mengandalkan dukungan masa yang berasal dari rakyat desa. Gambaran 1
Ketua Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S. Supriadi 48 Malang, Tlp. (0341) 801488. 2 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LPFE UI,1984), hlm. 1-18. Lihat juga. Prof. Sayogjo, "Pengantar" dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, (Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001), hlm. xiv-xv. 3 Francis Wahono, “Bersekongkol atau Saling Kontrol”, dalam Duto Sosialismanto, Ibid, hlm. Xxi.
tersebut sekaligus menunjukkan kecenderungan obyektifikasi desa oleh tekanan politik dan ekonomi yang umumnya berasal dari luar desa.4 Salah satu bentuk tekanan politik yang menonjol terhadap desa, dalam konteks negara Orde Baru adalah ketika rejim memberlakukan Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan kelembagaan desa. Aturan ini mendefinisikan desa dalam pengertian administratif, yaitu suatu satuan pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. UU tersebut juga melakukan penyeragaman struktur pemerintahan desa, sebagai strategi untuk mengontrol desa. Dengan demikian, secara resmi desa berada di rantai terbawah pada hirarki birokrasi sistem pemerintahan nasional. Akibatnya desa menjadi bagian dari struktur negara, yang meniadakan otonomi asli desa.5 Kooptasi negara Orde Baru terhadap desa tersebut, berlangsung dalam jangkauan nasional, tampaknya mengadaptasi strategi ko lonial Belanda yang hanya mengistimewakan daerah -daerah pedesaaan tertentu jika dipandang mempunyai nilai strategis bagi penambahan khas kerajaan. Eksploitasi terhadap desa di atas, memunculkan psike masyarakat yang pasif, ketergantungan, dan tidak kritis terhadap objek pembangunan yang sintralistik. Hal senada diungkapkan oleh Zen Zanibar M.S., bahwa desa yang semula memiliki cakupan kewenangan yang luas, sumber keuangan dan lebih mandiri, dalam era Republik Indonesia terjadi kecenderungan degradasi kedudukan dan kewenangan, sehingga ketergantungan kepada daerah otonom yang lebih tinggi tampak menonjol bahkan cenderung mencapai titik nadir.6 Tepat sekali kalau Sadu Wasistiono7 mengibaratkan kedudukan dan keberadaan desa dengan ungkapan “Kekuatan rantai besi berada pada mata rantai yang terlemah”, artinya ibarat sistem pemerintahan nasional sebagai rangkaian mata rantai sistem pemerintahan mulai dari pusat, daerah, dan desa, maka desa merupakan mata rantai terlemah. Hampir segala aspek menunjukkan betapa lemahnya kedudukan dan keberadaan desa dalam konstelasi pemerintahan. Padahal kalau dicermati, desalah yang menjadi pertautan terakhir dengan masyarakat yang akan membawanya ke tujuan akhir yang telah digariskan sebagai cita-cita bersama.8 Dengan demikian desentralisasi (otonomi) desa dan demokrasi desa, merupakan dua isu krusial dalam pembaharuan pemerintahan desa (village governance reform). Keduanya merupakan tujuan dan fondasi politik bagi pengelolaan pembangunan desa yang berkelanjutan. Pembangunan desa menuju human well being masyarakat desa tentu juga dilandasi prinsip kemandirian, keterbukaan, partisipasi, kapasitas pemerintahan desa dan lain-lain. Oleh karena itu, mengikuti pendapat Institute for
4
Irene Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007, hlm. 2. 5 Irene Heraswati Gayatri, Ibid, hlm. 2. 6 Zen Zanibar M.S., Otonomi Desa Dengan Acuan Khusus Pada Desa Di Propinsi Sumatera Selatan, Disertasi Program Doktor, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1988/ 1999. 7 Sadu Wasistiono, Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Tahun 2006, hal. 2-3. 8 Sadu Wasistiono, Ibid., Prospek ……., hal. 18. Mengatakan, bahwa sangat ironis kalau melihat gambaran data sensus nasional 2003, karena berbicara mengenai desa berarti berbicara tentang nasib sebagian besar rakyat Indonesia dalam wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan luas kurang lebih 4,8 juta km2 dengan luas daratan 1,9 juta km2 dengan rentang dari Timur ke Barat sekitar 5.110 km. Dan 1.880 km. Dari Utara ke Selatan, yang tersebar di 62.806 buah desa.
Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta berkeyakinan, bahwa desa harus “dibela” dengan desentralisasi, sekaligus “dilawan” dengan demokratisasi.9 Refleksi Dinamika Pemerintahan Desa Menjadi sangat jelas bahwa desa sebagai wilayah dari suatu komunitas masyarakat mengalami dan menjalani suatu dinamika, yang sebagian besar sangat ditentukan oleh berbagai kekuatan supra desa. Pilihan bentukbentuk (format) pengaturan desa, dengan demikian tampak, bukan merupakan pilihan yang serta merta melibatkan, dan berangkat dari kebutuhan atau pilihan sadar rakyat.10 Rakyat memang mengikuti pemilu dan terlibat dalam proses pemilu yang dari sana dikatakan merupakan momentum untuk memilih wakil rakyat, yang akan merepresentasikan suara atau aspirasi rakyat. Namun dalam prosesnya, secara teknis, pemilu dapat dikatakan tidak dalam kondisi ideal, sebab tidak didahului oleh suatu proses yang memungkinkan rakyat mengambil sikap dan menentukan posisi secara sadar. Kenyataan sebagian besar rakyat masih buta huruf, kendala geografis, dan pergolakan kepentingan di kalangan elit yang sangat dominan, membuat proses politik yang bersifat memungkinkan pendidikan politik, tidak bisa berlangsung secara wajar. Kondisi ini pula yang mungkin menjadi dasar klaim dari kekuatan supra desa, dengan mengambil alih apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat desa sendiri. Hal yang terjadi kemudian tidak lain dari suatu proses politik top-down, dari atas ke bawah, dimana rakyat desa hanya berposisi sebagai penerima pasif, yang tidak punya daya tawar untuk menolak. Proses politik ini merupakan realisasi dari skema satu arah, dalam mana segala sesuatu telah diputuskan oleh "atasan” dan rakyat desa diposisikan sebagai ”bawahan" yang harus menerima atau menjalankan keputusan yang sudah ada.11 Pada sisi yang lain pihak eksternal, supra desa berasumsi sebagai pihak yang tidak akan keliru dalam merumuskan apa yang dibutuhkan desa. Keterlibatan massa rakyat dianggap tidak perlu, meskipun senyatanya dalam suatu proses pengambilan keputusan yang berlangsung adalah suatu pertengkaran kepentingan. Dalam pertengkaran kepentingan di tingkat elit, rakyat desa diposisikan tidak lebih sebagai basis dukungan. Lebih jauh di masa Orde Baru, ketika negara menguasai ruang politik nasional dan daerah, desa hanya merupakan ”unit pemerintahan” yang berkedudukan di bawah kecamatan. Pranata lokal lumpuh dan desa semakin ditekan oleh proyek-proyek pembangunan, yaitu tumbuhnya zona industri dan perusahaan Hak Penguasaan Hutan (HPH) semakin memiskinkan dan meminggirkan masyarakat desa. Di masa reformasi, dimana nilai-nilai global dengan kata kunci demokratisasi dan desentralisasi diadopsi oleh negara dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di tingkat desa secara nasional dilakukan pelbagai penyesuaian, salah satunya mengakomodasi pranata tradisional di samping pemerintahan desa. Selain itu, di desa-desa di Indonesia dibentuk Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai bentuk lembaga demokrasi desa yang dianggap ideal, dan selanjutanya diubah menjadi Badan Permusyawratan Desa (BPD) dalam UU No. 32 Tahun 2004. 9
Sutoro Eko, Krisdyatmiko, Kaya Proyek Miskin Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa, Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta, 2006, hlm. 194. 10 Suhartono, dkk., Politik Lokal, Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 59. 11 Suhartono, Ibid., hlm. 59-60.
Membela Desa Dengan Desentralisasi Sebagaimana diketahui, upaya untuk membangun dan memperkuat kemampuan desa, baik dari segi pemerintahan maupun komunitasnya telah dilakukan oleh Pemerintah. Namun, titik beratnya masih cenderung pada pembenahan aspek administratif ketimbang sebagai pijakan dalam memberdayakan desa secara institusional dan secara komunitas. Selama ini upaya untuk menata pemerintah/an desa12 masih terjadi tarik ulur antara pihak-pihak yang hanya menghendaki desa sebagai bagian terkecil dari sistem pemerintahan di Indonesia dengan upaya untuk meletakkan otonomi asli desa yang pernah ada. Gagasan otonomi asli merupakan gagasan yang bersifat awang -awang dalam menempatkan desa dalam struktur pemerintahan, karena praktik otonomi asli sebagai warisan sejarah, 13 sudah digantikan oleh siste m pe mer intahan yang modern sejak Indonesia merdeka. Karena itu upaya untuk mengembalikan otonomi asli desa adalah sebuah romantisme sejarah. Oleh karena itu, dalam rangka penataan pemerintah/an desa patut pula memperhatikan desa sebagai pusat komunitas sosial dan budaya yang membangun karakter masyarakat pedesaan (rural society). Hal ini disebabkan karena desa dalam sejarah Indonesia memiliki peran dan posisi yang cukup signifikan. Sebagaimana diketahui Indonesia memiliki sekitar 70.611 desa yang memperlihatkan keberagaman, baik dari as pe k p e me r in taha n ( in st i tu s iona l ) m aupu n da r i as pe k kemasyarakatan. Keberagaman ini merupakan ciri khas dari masyarakat Indonesia, yang tersebar hampir sebagian besar di pedesaan. Desa juga menjadi tumpuhan hidup hampir 60 persen masyarakat Indonesia. Dalam hal mengurus dirinya sendiri, desa telah memiliki pengalaman yang cukup lama. Di sisi yang lain, masyarakat desa secara filosofis terikat oleh lingkungan geografisnya, tradisi pedesaan yang agraris dengan segala bentuk kelembagaannya. Penataan desa acapkali kurang menjadikan desa, khususnya komunitasnya sebagai subjek dari perubahan, karena aspek sentralisasi (top down) dalam kebijakan tentang desa masih cukup dominan. Ini menjadi salah satu penyebab bagi relatif tertinggalnya komunitas desa dibandingkan dengan daerah-daerah perkotaan. Dengan demikian kehadiran desentralisasi pada desa merupakan keniscayaa dalam kerangka membangun dan memperkuat kemampuan desa. Disamping itu desentralisasi juga didasarkan oleh adanya persoalan yang kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor heteregonitas dan kekhususan daerah yang melingkunginya seperti : budaya, agama, adat-istiadat, dan luas wilayah yang jika ditangani semuanya oleh pemerintah pusat merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilaksanakan. Begitu juga 12
Dalam tulisan ini istilah pemerintah/an desa digunakan karena terdapat penyebutan yang bemacam-macam dalam perundang-undangan. Ada yang menvebut sebagai pemerintahan desa yang merujuk pada UU No. 22/1999 yang terdiri dari kepala desa dan Badan Perwakilan Desa. Sementara sekarang dengan berlakunya UU No. 32/2004 tentang Pemeriniahan Daerah telah ada pengubahan menjadi pemerintah desa yang terdiri atas kepala desa dan perangkat-perangkatnya sebagaimana pernah dipraktikkan pada UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. 13 P en g a l a m a n d a l am m en g el o l a r u m a h t an g g a s en d i r i i n i s er i n g k a l i d i s eb u t sebagai "otonomi asli," yang sangat tua sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir, mirip dengan konsep self governing community yang dikenal di E r o p a .
sesuatu hal yang tidak realistis jika semuanya didesentralisasikan kepada daerah dengan alasan cerminan dari prinsip demokrasi. Oleh karena itu pengendalian dan pengawasan pusat sebagai cerminan dari sentralisasi tetap dipandang mutlak sepanjang tidak melemahkan bahkan “memandulkan” prinsip demokrasi itu sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekadar pemencaran wewenang (spreiding van bevoegdheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheidiny van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom. Dengan katalain setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi. 14 Otonomi bukan sekadar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.15 Otonomi dan demokrasi merupakan satu kesatuan semangat sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai penentu yang utama dalam negara. Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi dalam negara kesatuan (unitarisme), otonomi diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh negara bagian. Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government, sedangkan dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar berada pada local government. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah (local government) dalam negara kesatuan seperti Indonesia otonominya lebih banyak bergantung kepada political will pemerintah pusat, yaitu sampai sejauh mana pemerintah pusat mempunyai niat baik untuk memberdayakan local government melalui pemberian wewenang yang lebih besar.16 Dalam konteks desa, desentralisasi merupakan wahana relasi antara desa dan supradesa. Sedangkan demokrasi adalah ruang dimana terjadi relasi antara aktor pemerintah dan non pemerintah. Demokratisasi merupakan ruang dimana terjadi relasi antar aktor pemerintah desa, parlemen desa dan unsur masyarakat. Tujuan ideal dari desentralisasi dan demokratisasi adalah untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan potensi lokal, membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, serta mewujudkan kemandirian (otonomi) desa. 17 Arus utama liberalisme (politik) yang mengandaikan berkurangnya peran negara, pada prakteknya memerlukan otonomi desa. Permasalahannya, dengan 14
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm. 174. 15 Bagir Manan, Menyongsong ....., Ibid, hlm. 24. 16 Sarundajang, Arus balik Kekuasaan ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999., hlm. 27. 17 Tim Lapera, Otonomi Versi Negara: Demokrasi Di Bawah Bayang-Bayang Otoriterisme, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2000, hal. 153.
mempertimbangkan kondisi obyektif realitas sosial di desa, agaknya tidak begitu saja bisa diterapkan konsep desentralisasi yang memposisikan desa sebagai suatu kesatuan hukum yang otonom, baik dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Tetapi hal ini bukan menjadi penghambat, apalagi jika otonomi desa benar-benar disesuaikan dengan kepentingan serta preferensi masyarakat desa, dan bukan atas dasar klaim dari pihak luar.18 Secara teoritik, jika desa terlepas dari “intervensi” negara, maka aplikasi kekuasaan dan kewenangan yang telah didesentralisasikan berlangsung lebih leluasa. Asumsinya, dalam keadaan berlangsungnya otonomi, desa memperoleh kewenangan yang lebih besar sebagai institusi, juga terdapat kekuasaan yang jauh lebih besar di tangan politisi lokal, dan tersedia ruang pemberdayaan civil society di desa. Kekuasaan besar yang dimiliki politisi lokal akan bermanfaat bagi pengembangan desa, jika disertai dengan kapasitas yang memadai dan kesadaran serta tanggung jawab poliitk yang besar pula. Sedangkan demokratisasi sebagai prinsip bekerjanya kelembagaan desa sangat penting untuk beberapa alasan: pertama, meningkatkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses dan implementasi kebijakan desa; kedua, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam proses pemerintahan desa; ketiga, meningkatkan kontestasi dalam pemilihan jabatan elit dan membangun kepercayaan antar masyarakat atau antara masyarakat dengan pemerintah. Keleluasaan desa bisa diwujudkan bila desa mempunyai sejumlah kewenangan yang diberikan pemerintah melalui skema desentralisasi politik. Untuk membangun otonomi desa, desentralisasi harus didorong sampai pada level desa dimana distribusi kewenangan tidak berhenti sampai ke level kabupaten, namun perlu juga distribusi kewenangan hingga ke tingkat desa. Pengembangan otonomi desa, terutama penguatan local-self government desa tidak harus dilakukan secara maksimalis dengan melakukan amandemen konstitusi yang menegaskan kedudukan desa sebagai entitas otonom, melainkan dengan cara bertahap membagi kewenangan dan keuangan kepada desa. Pada saat yang sama, pihak pemerintah supradesa perlu mendorong subsidiarity serta memfasilitasi capacity building dan supervisi agar pemerintah desa secara bertahap mampu mengembangkan kapa s i ta s m enge l o la k ew en ang an dan keu ang an, se r t a bertanggungjawab dalam pengelolaan pelayanan publik. Pembagian kewenangan menjadi kunci untuk membuat otonomi desa. Kewenangan sering dipahami sebagai hak legal secara penuh untuk bertindak mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri. Ada pula yang memahami bahwa kewenangan adalah kekuatan formal perangkat negara untuk mengambil keputusan yang bersifat mengikat dan memaksa terhadap warga negara. Kewenangan juga bisa dipahami sebagai instrumen administratif untuk mengelola urusan. Menurut ketentuan formal, kewenangan desa adalah hak dan kekuasaan pemerintahan desa dalam rangka otonomi desa, yang artinya hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai kondisi dan sosial budaya setempat. Dengan demik ian, kewenangan akan memperkuat posisi dan eksistensi subyek pemilik kewenangan itu untuk menjadi subyek hukum yang leluasa dan otonom dalam mengambil keputusan. Kewenangan akan membuat otonomi, dan bahkan skala yang lebih tinggi akan membuat kedaulatan. Karena kewenangan mempunyai implikasi yang serius, misalnya pengaturan dan pemaksanaan terhadap warga, maka pemegang kewenangan tersebut harus bertanggungjawab terhadap pemberi mandat atau obyek yang terkena kewenangan. 18
Tim Lapera, Ibid., hal. 154.
Penerapan kewenangan akan terbentang mulai dari pembuatan keputusan, pelaksanaan, dan kontrol atas keputusan tersebut dalam rangka membuat peraturan sendiri yang mengikat, mengelola (merencanakan, mengumpulkan, membagi, merawat, dan seterusnya) dan mengambil atau memanfaatkan barang-barang atau aset publik (warga, jabatan, wilayah, tanah, urusan tugas, hutan, laut, uang, dll.) dalam lingkup yurisdiknya. Sebagai langkah awal untuk pemetaan, adalah mengidentifikasi empat tipe kewenangan desa. Pertama, kewenangan generik atau kewenangan asli yang sering disebut hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Jenis kewenangan generik adalah: kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll); kewenangan membuat dan menialankan hukum adat setempat; kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dari budaya lokal (termasuk adat-istiadat); kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal yang bukan kriminal. Desentralisasi politik desa tentu harus memberikan pengakuan dan sekaligus melakukan pemulihan terhadap sejumlah kewenangan generik yang sudah lama dimiliki desa. Salah satu yang krusial untuk direvitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan, terutama tanah dan hukum adat. Penyatuan antara desa negara dengan desa adat menjadi sangat penting, yang kemudian ditetapkan batas-batas wilayah dan kewenangan lokal. jika problem generik ini sudah clear dengan format "desa baru" (yang mempunyai batas-batas wilayah dan kewenangan secara jelas), maka langkah berikutnya adalah melakukan distribusi kewenangan kepada desa. Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai entitas o t o n o m s e p e r t i k a b u p a t e n / k o t a . D e s a , s e b a g a i b e n t u k pemerintahan lokal (local-self government) sekarang mempunyai perangkat pemerintah desa (eksekutif) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD sebagai perangkat legislatif) yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri. Di masa Orde Baru di bawah UU No. 5/1979, kewenangan devolutif dalam hal pembuatan Perdes ini tidak dimiliki oleh desa. Ada sejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif: Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa; Pencalonan, pemilihan dan penerapan Kepala Desa; Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa; Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; Penetapan dan pembentukan BPD; Pencalonan, pemilihan dan penetapan angora BPD; Penyusunan dan penetapan APBDes; Penetapan peraturan desa; Penetapan kerja sama antar desa; Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Penetapan kewenangan devolutif sebenarnya sudah merupakan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun dalam praktiknya masih banyak masalah yang muncul. Contohnya adalah penetapan jumlah BPD, rekrutmen perangkat, dan SOT desa. Apabila sejumlah kewenangan itu dilaksanakan dengan baik oleh desa, tentu secara bertahap akan menempa kemampuan dan kemandirian desa. Ke depan ada pula gagasan kewenangan devolutif yang perlu dilembagakan di desa, yakni membuat desa sebagai entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa
secara otonom bisa membuat perencanaan dan pembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal. Inilah yang disebut sebagai local-self planning, sebagai alternatif atas bottom-up planning yang selama ini diterapkan di daerah, tetapi penuh dengan masalah dan distorsi. Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola u ru san ( b idang ) pe me rin tahan yang d ibag i (bu kan se kada r delegasi) oleh pemerintah kepada desa. jika mengikuti UU No. 22/1999, kewenangan distributif ini disebut sebagai "kewenangan yang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah", yang dalam pratiknya sering dikritik sebagai "kewenangan kering" karena tidak jelas atau "kewenangan sisa" karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Tit ik kewenangannya justru bersifat "negatif", yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bila tidak disertai pendukungnya. Melawan Desa Dengan Demokratisasi Dalam konteks demokrasi di jaman modern, secara minimal ahli demokrasi Robert Dahl mengetengahkan dua aspek demokrasi yang saling terkait, yaitu: pertama, adanya ruang persaingan yang terbuka untuk memperoleh kedudukan dan kekuasaan politik; kedua, di saat yang sama dalam demokrasi terdapat ruang aktifitas yang cukup dengan jaminan yang memadai bagi pertisipasi politik seluruh warga negara. Di bagian lain, penjelasan tentang prasyarat demokrasi dapat dikatakan bahwa kontrol dan partisipasi politik suatu warga adalah syarat yang disarankan agar tercipta demokrasi yang sesungguhnya.19 Selanjutnya dengan berpedoman pada pengertian, unsur-unsur “demokrasi” dapat dikatakan bahwa esensi negara demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai penentu utama dalam semua aktifitas pemerintahan. Sebagai penentu utama mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang tertinggi di dalam penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat. Bila konsep kekuasaan yang tertinggi diidentikkan dengan “kedaulatan”, berarti didalam negara demokrasi yang mempunyai kedaulatan adalah rakyat. Konsep kedaulatan sendiri menurut Jellinek, sebagai kekuasaan negara yang mempunyai kemampuan yang penuh untuk secara hukum menentukan dan mengikatkan dirinya sendiri. Dalam konsepsi hukum Neil Mac Cormick menguraikan “Sovereignty is the power of law-making unrestricted by any legal limit, by contrast that body is politically soverign or supreme in a state the will of which is ultimately obeyed by the citizens of the state”. (Kedaulatan adalah kekuasaan untuk pembuatan hukum yang tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan, dan secara tegasnya bahwa suatu badan atau
19
Wolfgang Merkel, Demokrasi di Asia: Sebuah Benua antara Diktator dan Demokrasi, (Terjemahan dari judul asli: Demokratie in Asien, Ein Kontinent Zwischen Diktatur und Demokratie, 2003), Friedrich Ebert Stiftung, FES, Jakarta, 2005, hl. 18.
lembaga mempunyai kedaulatan secara politik atau kekuasaan yang tertinggal di dalam negara yang pada akhirnya adanya ketaatan warga negara terhadap negara). Demikian juga dalam konteks Indonesia, beberapa kajian menunjukkan demokrasi mempunyai akar dalam tradisi lokal.20 Hal ini sesuai dengan pandangan “teori demokrasi ideal normatif” yang salah satu penganutnya adalah Mohammad Hatta, dengan merefleksikan kondisi pedesaan di Jawa pada kurun waktu pasca revolusi kemerdekaan hingga 1960-an. Ia berpendapat, demokrasi asli letaknya di desa, sebagai entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat. Idealnya: “struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa”.21 Ciri-ciri demokrasi desa, menurut Hatta adalah: (1) rapat (tempat rakyat bermusyawarah dan bermufakat); (2) hak rakyat untuk mengadakan protes; dan (3) citacita tolong menolong. Hatta menambahkan, bahwa demokrasi desa ini dapat bertahan lama di bawah feodalisme pedesaan Jawa karena didasari pemilikan tanah secara kolektif oleh masyarakat desa.22 “Di desa-desa yang sistem demokrasinya masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi”.23 Namun perubahan sosial dalam bentuk modernisasi mempengaruhi struktur sosial, yang menyebabkan hubungan sosial desa tidak lagi didasarkan atas solidaritas organik, tetapi lebih ke arah mekanis, yang ditunjukkan dengan memudarnya komunalisme akibat berubahnya pola kepemilikan tanah.24 Perubahan sosial juga memunculkan kelas sosial baru yang melahirkan elit politik baru, dan semua proses tersebut mempengaruhi berlangsungnya demokrasi lokal. Tanpa adanya partisipasi rakyat dan suksesi kepemimpinan yang teratur, desadesa di Indonesia mengalami praktek non demokratis, seperti feodalisme, ketidakadilan dan patronase elit baik dalam konteks kerajaan/keraton, atau negara. Sebagaimana ditunjukkan oleh Wright Mills dalam The Power Elite, bahwa kebijaksanaan atau kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan elit pemerintah yang memerintah. Teori elit berasumsi bahwa elit pemerintah yang menentukan kebijakan yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah. Kondisi di atas sekaligus memperlihatkan bahwa realitas sosial di kalangan masyarakat pedesaan mencerminkan dua kondisi, yaitu: pertama, kompleksitas yang kurang dapat diakomodasi oleh pandangan demokrasi ideal normatif, terutama ketika diaplikasikan untuk menganalisis pemerintahan desa; kedua, praktek demokrasi prosedural yang ditandai dengan pemilu di tingkat desa, meskipun merupakan keharusan negara demokrasi, tetapi dalam perspektif demokrasi empirik pragmatis, masih dianggap tidak memadai untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa, sebab setelah pemilu selesai masyarakat jarang sekali dilibatkan dalam proses politik. Pertanyaannya mengapa demokrasi penting dalam pembangunan desa? 20
Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2001, hlm. 172-175. 21 Prijono Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hal. 17-18. 22 Mohammad Hatta, Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial (1956), dalam Herbert Feith dan Lance Castle, ed., Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, Jakarta, 1988, hal. 13. 23 Prijono Tjiptoherijanto, Op. Cit., hal. 18. 24 Duto Sosialismanto, Op. Cit., hal. 173, 181.
Pertama, pembangunan desa tentu bukan sekedar masalah teknis dan ekonomis, tetapi juga terkait dengan masalah politik. Berbagai agenda dalam pembangunan desa (prioritas program, pelibatan stakeholders, alokasi anggaran dan lain-lain), merupakan pilihan dan keputusan politik. Agar keputusan politik tersebut aspiratif, akomodatif, dan tepat sasaran, maka dibutuhkan proses demokrasi di dalamnya. Kedua, pembangunan desa merupakan bidang governance, yang dikelola dengan melibatkan pemerintah desa dan unsur-unsur masyarakat. Pembangunan tentu bukan ha ny a m en j ad i do m a i n p e mer i n t a h d e sa , me s k i pu n d e sa mempunyai kewenangan dan tanggungjawab terbesar, tetapi juga harus melibatkan stakeholder di luar pemerintah. Keterlibatan (partisipasi) itulah yang kita sebut dengan demokrasi. Ketiga, berdasarkan pengalaman selama ini, pembangunan desa bekerja tanpa melalui proses yang demokratis, melainkan didominasi oleh elite desa. Keputusan-keputusan politik yang penting mengenai agenda pembangunan desa ditentukan secara terbatas oleh elite-elite desa. Yang lebih menyolok lagi, dominasi elite desa itu selama ini menghasilkan manipulasi dan korupsi terhadap sumberdaya desa, yang kemudian menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan. Bagaimana disain dan proses demokratisasi dalam konteks pembangunan desa? Di setiap desa sudah lama ada pemillhan kepala desa secara demokratis, juga sudah ada tradisi musyawarah yang terbatas untuk pengambilan keputusan. Pemerintahan yang demokratis (democratic governance) mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berawal "dari" partisipasi masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan "oleh" wakil-wakil yang dipercaya masyarakat, serta dimanfaatkan secara responsif "untuk" kebutuhan masyarakat. Dalam memahaml demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga demokrasi memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara pemerintah desa, perwakilan desa (BPD) dan masyarakat. Dalam konteks ini, memahami dam meletakkan demokrasi (yang relevan dengan konteks desa) ke dalam empat ranah utama: pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan; penyelenggaraan pemerintahan desa; dan perwaakilan desa. Penutup Persoalan yang kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor heteregonitas dan kekhususan daerah dan luas wilayah, nampaknya kehadiran desentralisasi dan demokratisasi pada desa merupakan keniscayaan. Tetapi yang perlu digarisbawahi, bahwa sesuatu hal yang tidak realistis jika semuanya didesentralisasikan kepada daerah dengan alasan cerminan dari prinsip demokrasi. Oleh karena itu pengendalian dan pengawasan pusat sebagai cerminan dari sentralisasi tetap dipandang mutlak sepanjang tidak melemahkan bahkan “memandulkan” prinsip demokrasi itu sendiri. Secara teoritik, jika desa terlepas dari “intervensi” negara, maka aplikasi kekuasaan dan kewenangan yang telah didesentralisasikan berlangsung lebih leluasa. Asumsinya, dalam keadaan berlangsungnya otonomi, desa memperoleh kewenangan yang lebih besar sebagai institusi, juga terdapat kekuasaan yang jauh lebih besar di tangan politisi lokal, dan tersedia ruang pemberdayaan civil society di desa. Kekuasaan besar yang dimiliki politisi lokal akan bermanfaat bagi pengembangan
desa, jika disertai dengan kapasitas yang memadai dan kesadaran serta tanggung jawab poliitk yang besar pula. Sedangkan demokratisasi sebagai prinsip bekerjanya kelembagaan desa sangat penting untuk beberapa alasan: pertama, meningkatkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses dan implementasi kebijakan desa; kedua, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam proses pemerintahan desa; ketiga, meningkatkan kontestasi dalam pemilihan jabatan elit dan membangun kepercayaan antar masyarakat atau antara masyarakat dengan pemerintah. Toqueville mengatakan, bahwa salah satu karakter utama semangat demokrasi adalah adanya semangat kebebasan sehingga institusi-institusi daerah dan desa memili dua hal: pertama, agar rakyat terbiasa memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan secara langsung dengan mereka; kedua, membuka kesempatan kepada setiap komunitas yang mempunyai tuntutan beragam dapat membuat peraturan dan programnya sendiri. Sementara itu, Bagir Manan mencatat adanya tiga faktor yang menunjukkan kaitan antara demokrasi dan otonomi serta desentralisasi, yaitu: pertama, untuk mewujudkan kebebasan; kedua, menumbuhkan kebiasaan di kalangan rakyat agar mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka; ketiga, untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan berbeda-beda.
Daftar Bacaan
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001. Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2001. Irene Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007. Mohammad Hatta, Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial (1956), dalam Herbert Feith dan Lance Castle, ed., Pemikiran Politik Indonesia 19451965, LP3ES, Jakarta, 1988. Prijono Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1983. Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: LPFE UI,1984. Sadu Wasistiono, Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Tahun 2006. Sarundajang, Arus balik Kekuasaan ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999. Suhartono, dkk., Politik Lokal, Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001. Sutoro Eko, Krisdyatmiko, Kaya Proyek Miskin Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa, Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta, 2006. Tim Lapera, Otonomi Versi Negara: Demokrasi Di Bawah Bayang-Bayang Otoriterisme, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2000. Wolfgang Merkel, Demokrasi di Asia: Sebuah Benua antara Diktator dan Demokrasi, (Terjemahan dari judul asli: Demokratie in Asien, Ein Kontinent Zwischen Diktatur und Demokratie, 2003), Friedrich Ebert Stiftung, FES, Jakarta, 2005. Zen Zanibar M.S., Otonomi Desa Dengan Acuan Khusus Pada Desa Di Propinsi Sumatera Selatan, Disertasi Program Doktor, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1988/ 1999.