TANGGUNG JAWAB PENJUAL TERHADAP TANAH YANG BERSENGKETA Oleh: Rahmat GM Manik Pembimbing: Dr. Firdaus., SH., MH Rahmad Hendra, SH., M.Kn Alamat: Jalan Perma 1 Gang Permata 1 No 1, Kelurahan Labuhbaru Barat Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru Riau Email:
[email protected] ABSTRAK Land as a commodity that can be owned by the public, transferable ownership rights, one way transfer of land rights is through buying and selling. In the process of buying and selling land, the land status of the trade is very important. Because the common phenomenon of buying and selling land that was in dispute. The sale and purchase of land under customary law adopts cash, real and bright, meaning that every relationship should look real and concrete. Means of direct cash payments when buying and selling process, the real meaning of buying and selling land as a real object, and the light means buying and selling is done in front of the authorities. Today the frequent buying and selling land that is in dispute, of course it would be detrimental to the buyer. Land dispute itself has not decided who is entitled by law to have it, but routed through buying and selling. When there is a third party that will disturb the tranquility of the buyer to control the land he bought. Issues that will be examined in this study are: First, whether the land in dispute can be the object of buying and selling? Second, if the seller is responsible for the land in dispute? This research is a normative legal research. This discussion is more to discuss about an analysis of the law written in the book. Source of data used is the source of the data obtained from the study of literature, among others, include official documents, books, research results in the form of reports and so on. Data was analyzed qualitatively in drawing conclusions using deductive thinking. The results of this study are first, that the land was in dispute can not be transferred, because the land rights dispute itself is still up for grabs. Certainly not qualify agreement is valid lawful reason. Second, the seller is responsible in conflict over land dispute traded. Because the law states that the seller shall ensure and bear the traded goods. Advice from the author of First, the land in dispute should not be traded, because the rights of the land is not yet clear, Secondly, the land in dispute Seller shall be liable for damages arising from the sale and purchase of land in dispute. Key Word : Buy and Selling, Dispute, Responsibility
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 1
hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.” Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam, yaitu :3 1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya; 2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak; 3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar; 4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis). Menurut ketentuan Pasal 20 UUPA :4 1. Hak Milik adalah hak turuntemurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 16; 2. Hak Milik dapat beralihdan dialihkan pihak lain.. Jual beli tanah menurut hukum adat menganut sistem tunai, riil dan terang, artinya setiap hubungan harus terlihat nyata dan konkrit. Hal ini karena masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual tanah tersebut baru mengikat
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia dan merupakan kebutuhan hidup yang mendasar, sehingga dalam memenuhi kebutuhan tanah akan terjadi sengketa kepemilikan diantara masyarakat karena terbatasnya tanah dan kebutuhan tanah yang semakin meningkat. Tanah mempunyai arti yang penting dan menempati kedudukan yang vital dalam kehidupan seharihari. Dalam hubungan ini Van Dijk berpendapat bahwa tanah merupakan modal yang terutama dan untuk sebagian besar wilayah Indonesia ini, tanahlah yang merupakan modal satusatunya.1 Tanah sebagai salah satu komoditas yang dapat dimiliki oleh masyarakat, dapat dialihkan hak kepemilikannya, salah satu cara pengalihan hak atas tanah adalah melalui jual beli. Dalam proses jual beli tanah dapat terjadi sengketa kepemilikan atas tanah yang diperjualbelikan. Sengketa tanah dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik.2 Konflik berarti adanya pertentangan antara orang-orang atau kelompok-kelompok terhadap suatu objek permasalahan. Sengketa pertanahan dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, yaitu : ”Perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian 3
1
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hlm. 1. 2 Ali Muhammad, Kamus Bahasa Indonesia Modern.
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,Bandung, 1991, hlm. 23 4 Mulyadi Kartini dan Gunawan wijaya, HakHak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 29.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 2
apabila transaksi tersebut terlihat secara nyata dan konkrit telah terjadi, yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah sebagai objek dengan sekaligus penyerahan uang secara tunai sebagai pembayaran.5 Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan.6 Pasal 1338 KUHPer menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UndangUndang bagi mereka yang 7 membuatnya. Jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer, yaitu : “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Pada jual beli ada dua subjek yaitu penjual dan pembeli, masingmasing mempunyai kewajiban dan berbagai hak, maka mereka masingmasing dalam beberapa hal merupakan pihak yang berwajib dan dalam hal-hal lain merupakan pihak yang berhak.Ini berhubungan dengan sifa-sifat timbal balik dari persetujuan jual beli (Werdering Overenkomst).8
5
Skripsi M. abdul “Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dalam Masyarakat Adat Karo, Study Kasus Sumatera Utara, 2010, hlm 6. 6 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 15. 7 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1982, hlm 127. 8 Idris Zainal, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU, Medan, hlm 36.
Syarat sahnya suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPer yaitu mengandung 4 (empat) syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu pengikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Kewajiban dari penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli terdapat pada Bab V Buku III KUHPer Pasal 1473 hingga Pasal 1518, yaitu : 1. Kewajiban penjual adalah menyerahkan hak milik atas barang yang dan menanggung barang diperjual belikan (Pasal 1474 KUHPer), menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram dan tidak ada cacat tersembunyi atas barang tersebut (Pasal 1491 KUHPer); dan, 2. Kewajiban pihak pembeli adalah membayar harga barang yang dibeli sesuai dengan janji yang telah disepakati (Pasal 1513 KUHPer). Sebagai dasar penulis dalam melakukan penelitian ini, penulis lampirkan putusan Pengadilan tentang objek kajian penelitian penulis, yaitu putusan No. 35/Pdt/2011/PT.Sultra, yaitu perkara yang diperiksa oleh pengadilan tinggi Sulawesi Utara. Dalam kasus ini sengketa antara Badan urusan Logistik (Pembanding/tergugat) melawan Hj. Djastia, H. Muh. Rajab, dan Iskandar, S.pd (terbanding/Penggugat). Dalam pertimbangannya majelis hakim tingkat banding, berpendapat bahwa, para terbanding/para tergugat lebih tepat mengajukan gugatan dalam bentuk pembatalan jual beli, bukan gugatan perbuatan melawan hukum, karena para penjual tanah objek sengketa wajib secara hukum untuk menanggung pertanggung jawaban
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 3
terhadap barang-barang yang dijualnya, apabila para terbanding /para penggugat sebagai pembeli yang beritikad baik. Pertanggung jawaban tersebut yaitu penjual wajib menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman kepada pembeli dan wajib menjamin barang yang dijual dari cacat tersembunyi. Tanah objek sengketa ternyata tidak aman dalam penguasaan para terbanding/para penggugat selaku pembeli, karena telah diambil dari penguasaan para terbanding/para penggugat dan telah diserahkan kepada pembanding/ tergugat oleh pengadilan negeri kendari dengan eksekusi. Tanah yang dijual oleh para penjual kepada para pembeli (tanah objek sengketa) ternyata mengandung cacat tersembunyi. Karena para penjual telah menjual tanah objek jual beli yang masih dalam proses berperkara pada tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. 9 Berdasarkan uraian diatas, menurut hemat penulis sangat relevan dikaji suatu penelitian hukum yang berjudul : “Tanggung Jawab Penjual Terhadap Tanah Yang Bersengketa”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang Permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah tanah yang bersengketa dapat menjadi objek jual beli? 2. Apakah dalam jual beli penjual bertanggungjawab atas tanah yang bersengketa? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penulis mengadakan penelitian dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 9
Putusan No. 35/Pdt/2011/PT. Sultra
a. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : a) Untuk mengetahui objek tanah yang bersengketa dapat diperjualbelikan b) Untuk mengetahui tanggung jawab penjual atas tanah yang bersengketa b. Kegunaan Penelitian a) Bagi Penulis b) Bagi Dunia Akademik c) Bagi Instansi Terkai D. Kerangka teori a. Teori Pertanggungjawaban Hukum Teori tanggungjawab hukum yang dikemukakan oleh Hans kelsen : “Suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia memikul tanggung jawab hukum, berarti bahwa ia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan hukum yang bertentangan. Biasanya dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya 10 sendiri”. Tanggung jawab hukum terkait dengan konsep hak dan kewajiban hukum. Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak, istilah hak yang dimaksud disini adalah hak hukum (legal right). Penggunaan linguistik telah membuat dua perbedaan hak yaitu jus in rem dan jus in personam. Jus in rem adalah hak 10
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of Law and State” alih bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001, hlm. 65.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 4
atas suatu benda, sedang jus in personam adalah hak yang menuntut orang lain atas suatu perbuatan atauhak atas perbuatan orang lain. Pembedaan ini sesungguhnya juga bersifat ideologis berdasarkan kepentingan melindungi kepemilikan privat dalam hukum perdata. Jus in rem tidak lain adalah hak atas perbuatan orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang mengganggu 11 kepemilikan. Teori Pertanggungjawaban hukum mewajibkan penjual bertanggung jawab atas tanah sengketa yang diperjual belikan, karena sengketa tanah menimbulkan perselihan hak anatra pihak-pihak yang bersengketa dan dalam proses jual beli yang dilakukan, terdapat hak-hak pembeli yang harus dipenuhi oleh penjual. b. Teori Peralihan Hak atas Tanah Peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari suatu pihak ke pihak lain. Berbeda dengan dialihkannya suatu hak, maka dengan dialihkannya suatu hak menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang disengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud mengalihkan hak miliknya kepada orang lain. Dengan demikian pengalihan hak milik tersebut diketahui atau diinginkan oleh pihak yang melakukan perjanjian peralihan hak.12 Teori peralihan hak, khususnya peralihan hak melalui jual beli mewajibkan penjual dan pembeli melaksanakan proses jual beli
tanah sesuai dengan aturan-aturan jual beli yang ada di Indonesia, karena peraturan mengenai jual beli menetukan sah tidak peralihan hak tanah yang diperjualbelikan. c. Teori Sistematika Hukum Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek ”seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.13 Sistematika hukum dalam KUHPer, buku pertama mengenai orang, buku kedua mengenai benda, buku ketiga mengenai perikatan, buku keempat mengenai daluarsa. Dalam penelitian ini membahas mengenai permasalahan dalam rangkaian jual beli tanah, dan hali ini diatur di buku ketiga KUHPer mengenai perikatan. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu: a. Tahap pracontractual, yaitu adalah penawaran dan penerimaan; b. Tahap contractual, yaitu adanya penyesuaian pernyataan kehendak antara pihak; c. Tahap postcontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.14 Dalam pelaksanaan tahapantahapan dalam membuat perjanjian, terdapat asas-asas yang menjadi landasan dalam melaksanakan tahapan-tahapan tersebut. Salah satunya adalah asas itikad baik, karena dalam melaksanakan suatu perjanjian, penjual dan pembeli tidak boleh merugikan salah satu pihak.
11
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Perss Cetakan Kedua, Jakarta, 2012, hlm. 60-61. 12 http://denyelfaruq.wordpress.com/peralihanhak-atas-tanah-melalui-jual-beli, diakses terakhir 03April 2014 pukul 14:49 WIB.
13
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum_Mu rni. 14 Ibid.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 5
b) Bahan Hukum Sekunder16 Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, yaitu dapat berupa rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, jurnal-jurnal hukum dari kalangan hukum dan lain lain. c) Bahan Hukum tersier17 Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang diperoleh melalui kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, website dan Ebook. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan PerundangUndangan. 4. Analisis Data Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, dimana data dianalisis dengan tidak menggunakan statistik atau matematika dalam menguraikan secara deskriptif dari data yang telah diperoleh. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu
Dalam melaksanakan kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik; 2. Fungsi menambah, yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu; dan, 3. Fungsi membatasi dan meniadakan.15 Para pihak dalam kontrak jual beli harus menerapkan itikad baik dalam seluruh proses kontrak. E. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian hukum normative (legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri daribahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. b. Sumber Data a) Bahan Hukum Primer 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Perikatan 2. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria 3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
15
Ridwan khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 33
16
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, Ghalia Indonesia, 1990, hlm 54. 17 Ibid.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 6
dianalisa sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
a) Hukum Tanah Adat masa Lampau; b) Hukum Tanah Adat masa Kini; 2) Kebiasaan; 3) Tanah-Tanah Swapraja; 4) Tanah Pertikelir; 5) Tanah Negara; 6) Tanah Garapan; 7) Hukum Tanah Belanda; 8) Hukum Tanah Jepang; 9) Tanah-Tanah Milik Perusahaan Asing Belanda; 10) Tanah-Tanah Milik perseorangan Warga Belanda; 11) Surat Izin perusahaan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B); 12) Tanah Bundo Deso; 13) Tanah Bengkok; 14) Tanah Wedi Kengser; 15) Tanah Kelenggahan; 16) Tanah Pekulen; 17) Tanah Res Extra Commercium; 18) Tanah Absentee; 19) Tanah Oncoran, dan Tanah Bukan Oncoran. Efendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang konkret.20 Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas
F. Pembahasan 1. Tanah Bersengketa Menjadi Objek Jual Beli a. Pengertian dan Sumber Hukum Tanah Indonesia Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut SKPT) untuk tanah-tanah bekas hakhak barat dan hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari Pajak Bumi dan bangunan atau surat keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini.18 Sumber hukum tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam :19 1) Hukum Tanah Adat dibagi 2, yaitu:
18
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2004 , hlm. 55 dalam buku Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 8. 19 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 8.
20
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989, hlm. 195 dalam buku Urip Santoso, Hukum Agraria, Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm 10.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 7
tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.. Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. b. Pengertian Sengketa Tanah Konflik, menurut definisi Coser adalah sebagai berikut : ”Conflicts involve struggles between two or more people over values, or competition for status, power, or scarce resources”.21 Jika konflik itu telah nyata (manifest), maka hal itu disebut sengketa.22 Berdasarkan keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, sengketa pertanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau
publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.23 Definisi mengenai sengketa pertanahan, mendapat sedikit penekanan dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang mengatakan bahwa sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara perorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan defenisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Menurut penulis, konflik kepentingan serta konflik data yang menjadi akar permasalahan sengketa tanah indonesia ini disebabkan karena orang-orang yang memiliki kepentingan atas tanah akan menghalalkan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh hak atas tanah, atas kepentingan itu, banyak pihak yang melakukan manipulasi data ataupun memalsukan datadata kepemilikan hak atas tanah, sehingga selain konflik
21
Moore, Konflik dan Sengketa Tanah di Indonesia, 1996, http://www.lains.com/artikel.php, hlm. 16 dalam buku Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hlm.22. 22 Moore, Ibid, hlm. 17.
23
Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hlm. 48-49.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 8
kepentingan, akan muncul konflik data yang menjadi akar dari sengketa pertanahan. c. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli 1) Jual Beli PadaUmumnya Pengaturan masalah jual beli secara cermat dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar karena jual beli yang terjadi dalam masyarakat sangat beragam, baik dari jenis barang yang diperdagangkan maupun cara pembayarannya. Perjanjian Jual beli diatur dalam Pasal 1457 Pasal 1540 KUHPer. Ketentuan tersebut untuk masa sekarang ini tentu saja tidak cukup untuk mengatur segala bentuk atau jenis perjanjian jual beli yang ada dalam masyarakat, akan tetapi cukup untuk mengatur tentang dasar-dasar perjanjian jual beli. Dalam Pasal 1457 KUHPer diatur tentang pengertian jual beli sebagai berikut : “Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan” Perjanjian jual beli pada umumnya
merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian juga memberikan pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lainnya untuk membayar harga yang telah dijanjikan.24 2) Pengertian Jual Beli Tanah Untuk memahami pengertian jual beli dapat dilihat dari dasar pembentukan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yaitu didasarkan atas hukum adat, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5-nya, yaitu : “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan 24
R. Subekti, Op.cit, hlm. 79.
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 9
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama”.25 Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa hukum tanah nasional kita adalah hukum adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya hukum adat yang telah di-saneer (dibersihkan dari segi-segi negatifnya) yang dihilangkan cacatcacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli tanah menurut hukum tanah nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut hukum adat.26 Menurut Hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya 25
Urip santoso, Pendaftaran dan Peraliahan Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta,2011,hlm. 359. 26 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 71.
dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.27 Berkenaan dengan pengertian jual beli tanah, Boedi Harsono menyatakan bahwa pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selamalamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam Hukum Agraria atau Hukum Tanah.28 Menurut Maria S.W. Sumardjono, sifat jual beli tanah menurut hukum adat, adalah :29 27
Sorjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983, hlm 211, dalam buku Adrian Sutedi, Op.cit, hlm 72. 28 Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksaannya, Jambatan,Djakarta,1971, hlm. 135, dalam buku Urip Santoso, Pendaftaran dan Peraliahan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2011,hlm. 360. 29 Maria S. W. Sumardjono, “Aspek Teoretis Peralihan Hak Atas Tanah Menurut UUPA”, Majalah Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, No. 18/X/93, Yogyakarta, 1993, hlm 11, dalam buku Urip
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 10
a) Tunai Tunai artinya penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah (penjual) dilakukan bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain (pembeli). b) Riil Riil, artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan yang nyata menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian dihadapan kepala desa. c) Terang Terang, artinya untuk perbuatan hukum tersebur haruslah dilakukan dihadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku. 3) Syarat-Syarat Jual Beli tanah 1) Syarat-syarat sah perjanjian jual beli Sahnya suatu perjanjian jual beli sama dengan syarat sahnya perjanjian. Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya jual beli sudah dikatakan sebagai suatu perjanjian sah, Santoso, pendaftaran dan peraliahan hak atas tanah, Kencana, Jakarta,2011,hlm. 361.
mengikat para pihak segera setelah mereka menemukan kata sepakat mengenai benda yang diperjual belikan dan harga yang harus dibayar. Sifat sepakat atau konsensuil jual beli ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPer yang berbunyi jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. 2) Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu : a) Syarat materil Syarat materilnya yaitu adanya penjual, pembeli dan sesuai aturan hukum. b) Syarat Formil Pembuatan akta jual beli di PPAT. d. Itikad Baik Dalam Jual Beli Sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh subekti, itikad baik merupakan suatu sendi terpenting dalam hukum perjanjian. Berarti itikad baik dari penjual untuk menjelaskan mengenai status atau informasi mengenai tanah yang dijual merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perjanjian, salah satunya perjanjian jual beli. Karena informasi mengenai objek jual beli dapat
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 11
menentukan keinginan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan proses jual beli. Karena informasi yang tidak sesuai atau keadaan yang bertentangan dengan undang-undang akan merugikn pembeli. Dalam hal ini, jual beli tanah sengketa, maka objek tanah yang menjadi objek jual beli, tidak dapat diperjualbelikan, karena jelas-jelas telah bertentangan dengan aturan yang berlaku. Perjanjian jual beli tanah yang bersengketa jelas melanggar pasal 1328 mengenai syarat sah jual beli, karena jual beli tidak dilakukan oleh sebab yang halal. 2. Tanggung Jawab Penjual Atas Tanah Yang Bersengketa a. Syarat Sah Perjanjian Suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan wajib untuk dipenuhi. Dalam penelitian ini, perjanjian yang dilaksanakan adalah perjanjian jual beli hak atas tanah. Yang berarti syaratsyarat perjanjian harus terpenuhi dalam melaksanakan perjanjian jual beli tanah. Agar perjanjian jula beli tanah yang terjadi sah menurut hukum dan tidak merugikan para pihak. Dalam penelitian ini perjanjian jual beli yang terjadi adalah perjanjian jual beli terhadap
tanah yang bersengketa, status tanah yang bersengketa tentu bertentangan dengan syarat perjanjian ataupun bertentangan dengan KUHPer. Karena status tanah yang masih berada dalam sengketa, berarti kepemilikan atas tanah tersebut belum sah sebelum ada keputusan mengikat dari pengadilan, tentu tanah tersebut tidak dapat dialihkan. b. Kewajiban Pembeli Dan Penjual Tanah 1) Kewajiban Pembeli Tanah Kewajiban utama pembeli tanah adalah membayar lunas tanah yang dibelinya. 2) Kewajiban Penjual Tanah a) Menyerahkan hak atas tanah kepada pembeli b) Menanggung dan menjamin tanah yang dijualnya. Menurut Pasal 1491 yang berbunyi penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram, kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga memberikan alasan untuk pambatalan pembeliannya. Menurut Pasal 1513 yang berbunyi kewajiban utama si pembeli ialah membayar pembelian, pada
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 12
waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. c. Itikad Baik Dalam Jual Beli Tanah Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 138 Ayat (3) KUHPer, yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplesit pengertian dari itikad baik, akibatnya orang akan kesulitan dalam menafsirkan itikad baik itu sendiri. Menurut James Gadley, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwa Khairandy, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.30 Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam melaksanakan kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik; 2. Fungsi menambah, yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu; dan, 3. Fungsi membatasi dan meniadakan.31
30 31
Ridwan khairandy, Op. cit hal. 129-130. Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm. 33.
Para pihak dalam kontrak jual beli harus menerapkan itikad baik dalam seluruh proses kontrak. Pada saat proses jual beli tanah yang bersengketa, maka akan muncul dua kemungkinan, pertama, si penjual tanah tidak memberitahukan informasi mengenai status tanah yang menjadi objek jual beli tersebut sedang berada dalam keadaan sengketa kepada sipenjual tanah, dalam arti penjual tidak memberitahukan bahwa ada cacat tersembunyi dari objek jual beli. Kedua, penjual dan pembeli telah sama-sama mengetahui bahwa tanah yang menjadi objek jual beli berada dalam keadaan sengketa, dalam arti penjual telah menyampaikan kepada si pembeli bahwa tanah yang menjadi objek jual beli berada dalam keadaan sengketa, dan si penjual tetap membeli tanah tersebut. Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam melaksanakan kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik; 2. Fungsi menambah, yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 13
yang berkaitan dengan perjanjian itu; dan, 3. Fungsi membatasi dan meniadakan.32 G. Penutup 1. Kesimpulan a. Tanah yang menjadi objek jual beli haruslah rill atau nyata, baik rill keberadaan tanah tersebut dan nyata dalam kepemilikan tanah tersebut. Apabila tanah yang diperjualbelikan berada dalam keadaan sengketa, artinya tanah tersebut belumlah menjadi milik si penjual, dan jelas bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPer yaitu, tidak memenuhi sebab yang halal untuk dilaksanakan perjanjian. Dalam Pasal 1491 KUHPer dinyatakan bahwa salah satu kewajiban penjual adalah menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram dan tidak ada cacat tersembunyi atas barang tersebut. Apabila tanah dalam keadaan sengketa, maka penjual tidak akan mampu menjamin bahwa tanah tersebut aman dan tenteram dalam penguasaan pembeli, dan kepemilikan hak atas tanah tersebut adalah cacat hukum. Maka tanah yang sedang berada dalam keadaan sengketa tidak dapat menjadi objek jual beli. b. Pada Pasal 1491 KUHPer jelas dinyatakan kewajiban daripada penjual adalah menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram, dan penjual menjamin terhadap adanya 32
Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm. 33.
cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi. Sesuai Pasal 1338 KUHPer, jelas dinyatakan suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dari para pihak. Penjual beritikad baik dan bertanggungjawab atas cacat yang ada pada tanah yang dijualnya. Baik penjual telah memberitahukan status tanah yang bersengketa, ataupun penjual tidak memberitahukan status tanah yang bersengketa kepada sipenjual. Si penjual wajib bertanggug jawab penuh terhadap jual beli tanah yang bersengketa. 2. Saran a. Tanah yang sedang berada dalam keadaan sengketa, hendaknya tidak dipindah alihkan haknya. Karena jelas bahwa dengan status tanah yag sedang berada dalam sengketa, yang disengketakan adalah hak milik dari tanah tersebut. Tentu ketika hak milik atas tanah tersebut masih dalam keadaan sengketa, tanah tersebut tidak dapat dialihkan. b. Dalam melakukan jual beli tanah, para pihak wajib mematuhi dan melaksanakan jual beli tanah sesuai dengan Undang-Undang. Jangan melakukan jual beli tanah yang bersengketa, karena akan muncul permasalahan atas tanah tersebut. Penjual Tanah yang bersengketa harus bertanggungjawab atas permasalahan yang muncul. Maka diharapkan pemilik tanah yang bersengketa, tidak mengalihkan tanah sebelum memiliki putusan hukum tetap atas status tanah
JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 14
tersebut. Dan bagi pembeli tanah yang bersengketa untuk tidak membeli tanah yang bersengketa. H. Daftar Pustaka 1. Buku Al-Alabij , Adijani, 1992, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers. Al Rashi, Harun, 1985, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia. Gunawan Wijaya dan Kartini Mulyadi, 2008, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana. Harsono, Boedi, 2002, HukumAgraria Indonesia, Jakarta, Djambatan. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Khairandy, Ridwan, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Jakarta, Margaretha Pustaka.
Murad, Rusmadi, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung, Alumni. Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria, Jakarta, Prenada Media Group. Santoso, Urip , 2011, Pendaftaran dan Peraliahan Hak atas Tanah, Jakarta, Kencana.
Zainal, Idris, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, Medan, Fakultas Hukum USU 2. Jurnal/kamus/makalah/ Putusan Pengadilan Abdul Muhammad, 2010, skripsi Pelaksanaan jual beli tanah dalam masyarakat adat karo, study kasus Sumatera Utara, USU Medan. Muhammad Ali, 1998, Kamus Bahasa Indonesia Modern, Balai Pustaka Edisi Ketiga, Jakarta ,Balai Pustaka. 3. Peraturan PerundangUndangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Udang-undang Pokok Agraria 4. Website http://denyelfaruq.wordpress.com/peral ihan-hak-atas-tanah-melalui-jual-beli/
Subekti R, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa. Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Jakarta, Sinar Grafika. Sutedi, Adrian, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika. JOM Fakultas Hukum Volume I No. 2 Oktober 2014 15