ABSTRAK Ruang publik Yaroana Masigi merupakan bagian paling inti dari kawasan Benteng Keraton Buton. Kegiatan Budaya dan adat yang berlangsung di Yaroana Masigi masih terpelihara sampai saat ini. Kajian pelestarian ruang publik di kawasan Yaroana Masigi ini dilakukan, karena peneliti melihat bahwa dalam perkembangan ruang publik yang awalnya terbentuk karena sejarah dan pemaknaan tradisi dikhawatirkan akan bergeser menjadi ruang komunal yang kehilangan makna. Pelestarian ruang publik Yaroana Masigi sebagai ruang publik eks-kesultanan Buton ini ditujukan untuk mengetahui karakter fisik, nilai sejarah dan signifikansi budaya, serta bagaimana arahan pelestariannya. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa karakteristik fisik ruang publik memiliki tata letak yang dipengaruhi oleh sejarah urutan keberadaan, serta konsep kosmologis setempat. Batasan ruangnya berupa jalan dan ruang-ruang terbuka. Dari segi hirarki, ruang publik Yaroana Masigi merupakan hirarki paling inti dalam kedudukannya terhadap seluruh kawasan Benteng Keraton, sedangkan didalam ruang publik Yaroana Masigi sendiri, obyek Masjid Agung keraton yang memiliki hirarki teratas dalam ruang. Nilai sejarah dan signifikansi budaya tercermin pada sejarah yang terkandung pada tiap obyek serta aktivitas budaya yang berlangsung. Arahan pelestariannya didasarkan atas penilaian makna kultural pada ruang publik dengan mendapatkan nilai potensial tinggi, sedang hingga rendah dengan arahan pelestarian fisik berupa preservasi, konservasi, restorasi dan rekonstruksi, kemudian ada arahan pelestarian non fisik, serta arahan kebijakan yang bersifat peraturan, kesadaran, dan inisiatif. Kata Kunci : Ruang publik, Yaroana Masigi, Pelestarian
ABSTRACT Public space of Yaroana Masigi is the most central the region in Buton palace. Cultural and traditional activities that take place in Yaroana Masigi still preserved by the community until today. The reason of taking Preservation Study of public space in Yaroana Masigi is because the researcher noticed in its development, public space which was originally formed by the history and meaning of tradition is worry to be shifted into a communal space without meaning. Preservation of public space Yaroana Masigi as Buton Sultanate public space heritage is intended to determine the physical character, the value of historical and cultural significance, and how the preservation in this area can be done. Results of the study found that the physical characteristics of the public space has the particular layout setting where the laying of every object in the space influenced by the history of the order of existence, as well as local cosmological concept. Limitation of space are roads and open spaces. In terms of public space hierarchy, Yaroana Masigi is a central hierarchy of the the whole area of the Palace Fortress position, while in the public space Yaroana Masigi itself, Masjid Agung Keraton which has a top hierarchy in that space. Historical and cultural significance of the value reflected in the history contained in each object in a public space and cultural activities that always held continued. The conservation efforts were based on an assessment of cultural meaning in a public space with a value of potential wich are high, moderate,until low for every object in space with the direction of the physical preservation are preservation, conservation, restoration and reconstruction, then there are non-physical conservation directives, as well as other regulatory policy directives , awareness and initiatives. Keywords: Public Space, Yaroana Masigi, Conservation
RINGKASAN Yaroana Masigi berada di dalam kompleks Benteng Keraton Buton, yaitu benteng dengan panjang keliling 2.740 m yang mengelilingi permukiman bernama Kelurahan Melai. Kelurahan Melai merupakan satu-satunya permukiman tradisional peninggalan Kesultanan Buton di kota Baubau yang bertahan, eksistensinya sejak abad ke-15M, juga merupakan kawasan yang pernah menjadi pusat kota serta pusat kekuasaan di zaman pemerintahan Kesultanan Buton dan menjadi embrio dari kota Baubau. Ruang publik Yaroana Masigi dapat dikatakan sebagai bagian paling inti dari kawasan Benteng Keraton Buton. Kegiatan Budaya dan adat yang berlangsung di Yaroana Masigi masih cukup terpelihara sampai saat ini. Kajian pelestarian ruang publik di kawasan Yaroana Masigi ini dilakukan, karena peneliti melihat bahwa dalam perkembangannya ruang-ruang publik yang awalnya terbentuk karena sejarah dan pemaknaan tradisi dikhawatirkan akan bergeser menjadi ruang komunal yang kehilangan makna. Secara fisik, ruang publik Yaroana Masigi merupakan sebuah kawasan/ area terbuka yang terdiri dari beberapa obyek/ bangunan bersejarah yang berkaitan erat dengan sejarah Kesultanan Buton yang mengitarinya berupa Batu Wolio, Batu Popaua, Baruga, Masjid Agung Keraton, Kasulana Tombi (tiang bendera kerajaan) dan Makam Sultan Murhum, Karakteristik ruang publik Yaroana Masigi memiliki tata letak, hirarki, orientasi, besaran dan batasan ruang. Tata letak dan hirarkinya dipengaruhi sejarah urutan keberadaannya serta dipengaruhi oleh konsep kosmologis masyarakat Buton yang menganggap bahwa area Yaroana Masigi merupakan alam batin manusia, yang dimana alam batin merupakan inti dari kehidupan dan senantiasa berada di tengah. Baruga yang baru dibangun oleh pemerintah ditahun 2012 dinilai menyalahi arsitektur asli Baruga itu sendiri. Kondisi Baruga saat ini selain sudah lebih modern dengan lantai keramik dan tiang beton juga diketahui telah mengalami beberapa perubahan bentuk material maupun arsitektural. Perubahan Baruga pertama kali tidak diketahui dengan pasti. Dari wawancara dengan budayawan setempat Imran Kudus (2014) mengatakan bahwa bentuk Baruga yang dibangun sekarang tidak sesuai dengan arsitektur Baruga yang seharusnya, terutama pada bentuk atap, serta desain lantai. Atap Baruga yang seharusnya tanpa susun, yang bermakna bahwa atap tanpa susun milik rakyat, sedangkan yang ada sekarang berupa model atap susun
dengan gaya Malige (rumah sultan). Atap susun Malige bermakna milik sultan atau pemimpin. Lantainya juga seharusnya berbentuk panggung yang tetap memiliki spasi antara lantai dan tanah, namun yang ada sekarang adalah lantai keramik yang tidak berbentuk panggung. Berubah bentuknya Baruga ini kemudian menjadi legitimasi sejumlah warga di kawasan permukiman tradisional Melai untuk merubah bentuk rumah adat mereka. Kawasan juga kerap menjadi tujuan wisata yang ramai terutama pada akhir pekan dan libur hari raya yang jumlah pengunjung paling ramai di tambah dengan pedagang kaki lima dadakan. Akses publik yang belum dikelola optimal dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada obyek-obyek penting di dalam kawasan. Seiring dengan perkembangan zaman, makna kawasan sebagai ruang budaya dan sejarah akan mengalami degradasi makna. Perkembangan zaman bukanlah hal yang buruk, hanya saja perlu disikapi dengan cermat bahwa zaman membutuhkan bukti-bukti budaya dan sejarah dari masa lampau sebagai bahan pembelajaran, karena tidak akan cukup jika hanya dipelajari dari buku dan dokumen tertulis namun perlu ada bukti fisik yang saling melengkapi. Sehingga untuk mencegah degradasi yang lebih luas, ruang publik Yaroana Masigi pada kawasan permukiman tradisional Kelurahan Melai perlu dilestarikan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengingat signifikansi obyek yang memuat unsur usia dan kelangkaan obyek, sejarah dan nilai budaya yang dimiliki, serta bernilai arsitektur. Sesuai dengan makna pelestarian dalam Piagam Burra (The Burra Charter, 1999) yaitu proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang ada terpelihara dengan baik sesuai situasi dan kondisi setempat. Pelestarian ruang publik Yaroana Masigi pada permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai ini ditujukan untuk mengetahui karakter fisik, nilai sejarah dan signifikansi budaya, serta bagaimana upaya pelestariannya. Maka disusunlah penelitian tentang ‘Pelestarian Ruang Publik Yaroana Masigi Sebagai Ruang Publik Eks-Kesultanan Buton di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara’ Dari hasil penelitian ditemukan bahwa karakteristik fisik eksisting ruang publik memiliki tata letak dan hirarki yang dipengaruhi oleh sejarah urutan keberadaannya serta oleh konsep kosmologis masyarakat Buton, besaran dan batasan ruangnya berupa jalan dan ruang-ruang terbuka tanpa batasan jarak pandang, dari segi hirarki ruang publik Yaroana masigi merupakan hirarki paling inti dalam kedudukannya terhadap kelurahan Melai. Sedangkan didalam ruang
publik Yaroana Masigi, obyek Masjid Agung Keraton memiliki hirarki teratas dalam ruang. Nilai sejarah dan Signifikansi budaya tercermin pada sejarah yang terkandung pada tiap obyek dalam ruang publik serta aktivitas budaya yang berlangsung. Upaya pelestariannya didasarkan atas penilaian makna kultural pada ruang publik dengan mendapatkan nilai potensial tinggi, rendah hingga sedang untuk tiap obyek pada ruang dengan arahan pelesarian fisik berupa preservasi, konservasi, restorasi, dan rekonstruksi, arahan pelestarian non fisik berupa arahan untuk mempertahankan aktivitas budaya yang dianggap penting bagi ciri khas dan karakter ruang , serta arahan pelestarian yang bersifat peraturan, kesadaran dan inisiatif.