BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman
tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan Buton yaitu pada abad ke-15-M, juga merupakan kawasan yang pernah menjadi pusat kota serta pusat kekuasaan di zaman pemerintahan Kesultanan Buton dan menjadi embrio dari kota Baubau. Kelurahan Melai berada di dalam kawasan Benteng Keraton Buton, benteng terluas di dunia sesuai catatan MURI 22,8 Ha (panjang keliling 2.740 m). Pada masa Kesultanan Buton kawasan ini merupakan ibukota kerajaan yang selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan juga sebagai permukiman, pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan dakwah (syiar) Islam. Setelah Indonesia merdeka, fungsi kekuasaannya menjadi hilang, namun kawasan ini masih mempertahankan fungsinya sebagai perkampungan tradisional sehingga budaya dan adat-istiadat di zaman kesultanan juga masih dipertahankan di Kota Baubau. Dalam perkembangannya, Kota Baubau tersebut berkembang pesat melebihi embrio kotanya yang berada di Kelurahan Melai. Kawasan permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai dapat dikatakan sebagai representasi peradaban sejarah dan budaya bagi Kota Baubau, sehingga sisa-sisa peninggalan zaman kesultanan masih bisa ditemukan pada kawasan permukiman tersebut, termasuk ruang publiknya.
1
2
Kawasan Kelurahan Melai sebagai pusat pemerintahan hanya berlangsung selama zaman Kesultanan Buton. Setelah Kesultanan Buton berakhir kawasan ini masih tetap menjadi pusat dakwah Islam di Pulau Buton, hal ini dikuatkan oleh keberadaan Masjid Agung Keraton yang merupakan masjid pertama di Pulau Buton yang berada di dalam kawasan. Karakteristik
suatu
permukiman
sangat
dipengaruhi
oleh
sejarah
terbentuknya dan sistem sosial serta cara adaptasi yang dianut komunitas dalam suatu permukiman, sehingga pada kawasan ini juga masih memiliki fungsi sosial-budaya yaitu sebagai tempat pusat penyelenggaraan berbagai tradisi atau upacara adat Buton. Tradisi tersebut masih berlangsung hingga sekarang, dan kerap diselenggarakan di ruang publik yang berada dalam kawasan. Ruang publik adalah ruang dalam suatu kawasan yang dipakai masyarakat penghuninya untuk melakukan kegiatan kontak publik (Whyte. 2003). Ruang publik dapat berbentuk, cluster, maupun linier dalam ruang terbuka maupun tertutup, seperti: plaza, square, atrium, pedestrian. Ruang publik pada permukiman tradisional memiliki karakter lokal yang konsepnya hanya berlaku di kawasan tersebut dan tidak ditemukan di tempat lain, ruang dimaknai secara beragam tergantung pada interpretasi penggunanya. Ruang publik pada komunitas tradisional sedikit berbeda dengan konteks ruang publik pada lingkungan urban. Disampaikan oleh Rapoport (1997), bahwa permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial
3
budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi, tidak terkecuali dalam memaknai ruang publik. Ada banyak ruang publik terbuka di dalam kawasan permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai, yaitu ruang-ruang terbuka seperti lapangan yang digunakan anak-anak setempat untuk bermain, taman, jalan, Baruga, serta area Yaroana Masigi. Area Yaroana Masigi dipilih sebagai obyek studi dikarenakan signifikansinya yang selain bersifat sebagai ruang publik, juga bermakna sebagai ruang budaya dan sejarah. Keberadaan ruang publik Yaroana Masigi di Kelurahan Melai sebagai warisan arsitektur Kota Baubau merupakan kekayaan fisik dan non fisik yang merupakan keputusan masyarakat yang telah melegitimasi keberadaan warisan arsitekturnya sebagai jati diri dan citra terhadap identitas kotanya. Perkembangan ruang publik di suatu kota akan membentuk pola kawasan yang merupakan cerminan dari perkembangan sosial budaya masyarakatnya. Keberadaan ruang publik tidak hanya dapat dilihat dari elemen pembentuknya tetapi juga terhadap makna bangunan yang ada yang di sekitarnya. Gambaran umum ruang publik Yaroana Masigi pada permukiman tradisional Buton di Kelurahan Melai ini berada di tengah-tengah permukiman, berupa halaman luas serupa square dengan bangunan dan situs penting bersejarah yang berusia hingga 300 tahun yang mengintarinya, terdiri dari Masjid Agung Keraton, tiang bendera kesultanan, jangkar, Batu Popaua (batu pelantikan sultan), bangunan Baruga, makam Sultan Murhum yaitu sultan pertama yang memerintah serta Batu Wolio. Kesemuanya merupakan area paling inti dalam kawasan benteng keraton Buton. Obyek-
4
obyek tersebut terkait erat dengan sejarah Kesultanan Buton dan akar budaya dari masyarakat Buton, dimana ritual adat maupun ritual pemerintahan kesultanan Buton terpusat di ruang Publik Yaroana Masigi. Mulai dari kegiatan budaya adat-istiadat, musyarawarah kenegaraan sampai pemilihan pemimpin. Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna (Carr et al. 1992). Sejalan dengan pendapat tersebut, ruang publik Yaroana Masigi memiliki riwayat sebagai ruang yang mewadahi aktivitas demokrasi. Kerajaan Buton dengan Raja pertama adalah seorang wanita, ini menandakan antara wanita dan pria memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai seorang pemimpin. Pengangkatan Ratu Wa kakaa menunjukkan adanya sistem demokrasi yang berlangsung, dan ruang publik Yaroana Masigi menjadi ruang yang mewadahi aktivitas ritual pelantikan Ratu Wakaka yang dilakukan di batu popaua. Praktik demokrasi juga diaplikasikan pada pemilihan Sultan oleh kesultanan Buton, Sultan tidak didasarkan oleh garis keturunan raja melainkan melalui pemilihan musyawarah oleh para Patalimbona/Siolimbona yang berlaku sebagai dewan legislatif. Ruang publik Yaroana Masigi dapat dikatakan sebagai bagian paling inti dari kawasan Benteng Keraton Buton. Kegiatan Budaya dan adat yang berlangsung di Yaroana Masigi masih cukup terpelihara sampai saat ini. Kajian pelestarian ruang publik di kawasan Yaroana Masigi ini dilakukan, karena peneliti melihat bahwa dalam perkembangannya ruang-ruang publik yang
awalnya
terbentuk
karena
sejarah
dan
pemaknaan
tradisi
5
dikhawatirkan akan bergeser menjadi ruang komunal yang kehilangan maknanya. Pembangunan Baruga oleh pemerintah ditahun 2012 dinilai menyalahi arsitektur asli Baruga itu sendiri. Kondisi Baruga saat ini selain sudah lebih modern dengan lantai keramik dan tiang beton juga diketahui telah mengalami beberapa perubahan bentuk material maupun arsitektural. Perubahan Baruga pertama kali tidak diketahui dengan pasti, namun menurut penuturan masyarakat sekitar bahwa telah terjadi beberapa kali perubahan. Dari
wawancara
dengan
budayawan
Imran
Kudus
(2014)
mengatakan bahwa bentuk Baruga yang dibangun oleh pemerintah saat ini tidak sesuai dengan arsitektur Baruga yang seharusnya, terutama pada bentuk atap, serta desain lantai. Atap Baruga yang seharusnya adalah tanpa susun, yang bermakna bahwa atap tanpa susun adalah milik rakyat, sedangkan yang ada sekarang adalah model atap susun dengan gaya Malige (rumah sultan). Sedangkan atap susun Malige adalah bermakna milik sultan atau pemimpin. Lantainya seharusnya berbentuk panggung yang tetap memiliki spasi antara lantai dan tanah sedangkan yang ada sekarang adalah lantai keramik yang tidak berbentuk panggung. Berubah bentuknya Baruga ini kemudian menjadi legitimasi sejumlah warga di kawasan permukiman tradisional Melai untuk merubah bentuk rumah adat mereka. Kawasan juga kerap menjadi tujuan wisata yang ramai terutama pada akhir pekan dan libur hari raya yang jumlah pengunjung paling ramai di tambah dengan PKL dadakan. Akses publik yang belum dikelola optimal dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada obyek-obyek penting di dalam
6
kawasan. Seiring dengan perkembangan zaman, makna kawasan sebagai ruang budaya dan sejarah akan mengalami degradasi makna. Perkembangan zaman bukanlah hal yang buruk, hanya saja perlu disikapi dengan cermat bahwa zaman membutuhkan bukti-bukti budaya dan sejarah dari masa lampau sebagai bahan pembelajaran, karena tidak akan cukup jika hanya dipelajari dari buku dan dokumen tertulis namun perlu ada bukti fisik yang saling melengkapi. Sehingga untuk mencegah degradasi yang lebih luas, ruang publik Yaroana Masigi yang memuat obyek bersejarah peningggalan kesultanan perlu dilestarikan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa mengingat signifikansi obyek yang memuat unsur usia dan kelangkaan obyek, sejarah dan nilai budaya yang dimiliki, serta bernilai arsitektur. Pelestarian ruang publik Yaroana Masigi sebagai ruang publik eksKesultanan Buton ini ditujukan untuk mengetahui karakter fisik, nilai sejarah dan signifikansi budaya, serta bagaimana upaya pelestariannya. Maka disusunlah penelitian tentang ‘Pelestarian Yaroana Masigi sebagai Ruang Publik Peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau Sulawesi Tenggara’
1.2
Rumusan Masalah
7
Tesis dengan judul pelestarian ruang publik Yaroana Masigi sebagai ruang publik peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dimaksudkan untuk menjawab: 1. Bagaimana karakteristik fisik eksisting ruang publik Yaroana Masigi? 2. Bagaimana nilai sejarah dan signifikansi budaya pada ruang publik Yaroana Masigi? 3. Bagaimana arahan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik fisik ruang publik Yaroana Masigi serta memberi rekomendasi pelestarian terkait kondisi fisik. 2. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis nilai Sejarah dan signifikansi budaya pada ruang publik Yaroana Masigi. 3. Untuk menganalisis arahan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi.
8
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat antara lain adalah: a. Manfaat Akademis: Dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut mengenai ruang publik Yaroana Masigi terkait dengan arsitektur permukiman serta arahan pelestariannya. b. Manfaat Praktis: Bagi pemerintah, hal ini dapat dijadikan pertimbangan Pemerintahan Daerah dalam menyusun kebijakan khususnya kebijakan terkait dengan upaya mempertahankan kawasan penting di permukiman tradisional Buton seperti ruang publik Yaroana Masigi Bagi masyarakat, dapat memahami dan mengetahui bahwa Indonesia kaya akan warisan budaya tradisional terutama permukiman tradisional dan seharusnya tergerak untuk berperan serta dalam menjaga dan melestarikannya.