HUBUNGAN ANTARA STRATEGI REGULASI EMOSI DENGAN TAHAP RELAPSE RESILIENCE PADA DEWASA MUDA MANTAN PENYALAHGUNA NARKOBA Indah Seprina Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27 Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530, Indonesia
[email protected]
Abstrak Narkoba merupakan sebuah masalah yang cukup marak dibicarakan akhir-akhir ini. Jumlah penyalahguna narkoba di indonesia mencapai 4,9 juta orang pada tahun 2013 (Indonesiabergegas.com, 2013). Penyalahguna narkoba tersebut harus mengikuti program rehabilitasi untuk mengatasi gangguan yang muncul saat penggunaan narkoba tersebut. Setelah rehabilitasi mantan penyalahguna akan menghadapi tantangan pasca rehabilitasi yang salah satunya adalah relapse atau penggunaan kembali (BNN, 2008). Tantangan tersebut harus dapat diatasi, salah satu caranya adalah dengan melakukan regulasi emosi menggunakan strategi cognitive reappraisal atau expressive suppression. Fenomena tersebut membuat penelitian ini dilakukan, khususnya untuk melihat hubungan strategi cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan relapse resilience pada 83 orang mantan penyalahguna narkoba yang berada di usia dewasa muda. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai signifikansi dibawah 0,05. Mengacu pada Priyatno (2013) nilai tersebut berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan tahap relapse resilience (IS). Kata Kunci: Regulasi emosi,cognitive reappraisal, expressive suppression, relapse resilience Drugs is a problem that is quite often discussed lately. The number of drug users in Indonesia reached 4.9 million people in 2013 (Indonesiabergegas.com, 2013). The drug abusers should attend a rehabilitation program to overcome the problems that arise when they are using these drugs. After the rehabilitation, former abusers will face the postrehabilitation challenges, one of which is a relapse (BNN, 2008). These challenges must be overcome with regulating their emotion using cognitive reappraisal strategy or expressive suppression strategy. Those phenomenon makes researcher want to made this research, especially to see the relationship between cognitive reappraisal strategy and expressive suppression strategy with relapse resilience phase in 83 former drug abusers who are in young adulthood stage. The results of this study demonstrate the significant value below 0.05. Referring to Priyatno (2013) that significant value means there is no significant relationship between cognitive reappraisal strategy and expressive strategies suppression strategy with relapse resilience phase (IS). Keywords: Emotion regulation, cognitive reappraisal, expressive suppression, relapse resilience.
Pendahuluan Maraknya kasus mengenai narkoba di Indonesia belakangan ini cukup menghebohkan masyarakat. Menurut data BNN tahun 2013 jumlah pengguna narkoba mencapai 2,2 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia atau kurang lebih sekitar 4,9 juta orang (Indonesiabergegas.com, 2013). Menurut Muryanta (2011) penyalahgunaan narkoba memiliki dampak-dampak negatif bagi fisik, psikis, maupun kehidupan sosial penggunanya, pengguna narkoba akan mengalami gangguan terhadap fungsi mental seperti gangguan pada persepsi, daya pikir, kreasi, dan emosi. Dampak psikologis lainnya dari penyalahgunaan narkoba adalah terganggunya stabilitas emosi bagi penggunanya. Selain itu perbedaan jenis narkoba yang dikonsumsi akan menimbulkan perbedaan efek mood yang ditimbulkan dari jenis narkoba tersebut (Pratama, 2011). Beberapa gangguan harus segera dipulihkan apabila individu ingin mendapatkan fungsinya kembali. Upaya yang dapat dijalankan salah satunya adalah dengan melakukan rehabilitasi. Menurut BNN (2009) rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga bagi penyalahguna narkoba setelah menjalankan pengobatan yang bertujuan agar individu tidak lagi menggunakan narkoba. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa hanya sekitar 0,47 persen dari keseluruhan jumlah pengguna yang dapat mengikuti program rehabilitasi pertahunnya atau hanya sebanyak 18.000 orang yang masuk ke dalam pusat rehabilitasi baik yang dikelola oleh negara maupun oleh swasta (Indonesiabergegas.com, 2013). Selain itu data dari Deputi Bidang Rehabilitasi BNN (2013) menyatakan bahwa pada tahun 2012 ada 13.602 orang yang menjalani program di tempat rehabilitasi milik negara yang bertempat hampir di seluruh Indonesia. Data tersebut juga menampilkan bahwa jumlah penyalahguna narkoba tertinggi adalah individu yang berada pada umur 2040 tahun, yaitu kurang lebih sebanyak 11.706 orang. Individu yang berada pada umur 20-40 tahun sendiri dapat dikategorikan kedalam dewasa awal (Santrock, 2011). Meskipun tujuan dari rehabilitasi adalah untuk memulihkan dan membuat individu tidak lagi menggunakan narkoba, tetapi bukan berarti setiap penyalahguna narkoba yang sudah menjalani rehabilitasi akan benar-benar terhindar dari ketergantungan tersebut seterusnya, melainkan mereka akan tetap berhadapan dengan tantangan setelah rehabilitasi. Menurut BNN (2008) tantangan para mantan pengguna pasca rehabilitasi adalah sugesti
dan relapse. Sugesti dapat diartikan sebagai perasaan rindu yang kuat untuk kembali menggunakan narkoba. Sedangkan relapse adalah proses pemakaian kembali pada pecandu sebagai kejadian terakhir dari rangkaian panjang ketidak mampuan menyesuaikan diri terhadap rangsangan stress dari dalam dan luar diri (FAN Campus 2013). Relapse merupakan tantangan terbesar dan tersulit bagi para mantan penguna narkoba, faktanya hasil dari beberapa penelitian menyatakan bahwa 40 hingga 60% individu yang menjalani perawatan penanganan adiksi kembali relapse (NIDA, 2009 dalam Alim et al., 2011). Apabila individu ingin terhindar dari relapse maka individu harus dapat bertahan dari relapse tersebut atau dengan kata lain resilien terhadap relapse. Relapse resilience adalah sebuah mode sistematis yang menggunakan Process Model of Addiction and Recovery dalam penerapan konsepnya (Harris et al., 2011). Lebih lanjut lagi relapse resilience merupakan pengimplementasian siklus coping dalam process model of addiction and recovery secara terus menerus dalam fase recovery sebagai cara mempertahankan resiliensi dari relapse dalam jangka waktu yang lama. Regulasi emosi dapat berguna untuk resiliensi karena regulasi emosi merupakan salah satu faktor resiliensi menurut Reivitch & Shatte (dalam Purba, 2011).Regulasi emosi menurut Gross (2007) adalah cara individu mempengaruhi emosi apa yang ia miliki, kapan emosi tersebut dirasakannya, dan bagaimana individu mengalaminya atau mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi menurut Gross dapat dibagi lagi menjadi dua strategi bedasarkan strategi yang sering digunakan yaitu cognitive reappraisal dan expressive supression (Snyder, Simpson dan Hughes, 2006). Sebuah penelitian mengenai regulasi emosi menyatakan bahwa cognitive reappraisal biasanya lebih efektif dibandingkan dengan expressive suppression karena strategi ini menunjukkan kecakapan seseorang dalam melakukan coping (Gross, 2002). Tipe regulasi emosi expressive suppression dapat menimbulkan beberapa efek negatif yang salah satunya adalah penggunaan alkohol atau bahkan penggunaan obat-obatan dalam penggunaannya. Hal tersebut didukung oleh penelitian Gross (2002) yang menyatakan cognitive reappraisal dapat menurunkan pengalaman emosi dan ekspresi perilaku serta tidak memiliki pengaruh terhadap memori, sedangkan meskipun expressive suppression juga mengurangi ekspresi perilaku tetapi strategi ini tidak dapat menurunkan pengalaman emosi dan dapat merusak memori serta
dapat meningkatkan kemungkinan penggunaan alkohol. Namun apabila seorang individu dapat mengelola emosinya serta memiliki emosi yang positif maka kemungkinan besar individu tersebut dapat terhindar dari penggunaan atau penggunaan kembali obat-obatan terlarang yang tentunya akan sangat berguna bagi para mantan penyalahguna narkoba untuk dapat meneruskan recovery-nya. Pendapat penulis tersebut dapat didukung oleh sebuah penelitian mengenai relapse resilience yang menyatakan bahwa optimisme, emosi positif, kecenderungan untuk terus menerus memiliki suasana hati yang positif, terbukti memiliki hubungan dengan resiliensi penggunaan kembali alkohol dan obat-obatan terlarang (Wills et al., 2001 dalam Alim, et. al., 2011). Penelitian berikutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Reivich dan Shatte (dalam Purba, 2011) terdapat tujuh faktor resiliensi dimana regulasi emosi merupakan factor pertama dalam resiliensi, penulis merasa perlu mengetahui apakah regulasi emosi memiliki hubungan dengan resiliensi dari relapse pada para mantan penyalahguna narkoba. Lebih lanjut lagi penulis merasa perlu mengetahui apakah pada populasi dewasa muda mantan penyalahguna narkoba di Indonesia, kedua jenis strategi regulasi emosi yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression memiliki hubungan dengan ketahanan untuk kembali relapse (relapse resilience). Melalui penelitian ini diharapkan akan ditemukan hubungan diantara keduanya sehingga dapat membantu para mantan penyalahguna agar tetap resilien terhadap relapse serta dapat tetap menjalankan kehidupannya.
Tujuan Penelitian ini dibuat untuk mengetahui gambaran cognitive reappraisal, expressive suppression, dan tahap-tahap dalam relapse resilience, serta hubungan antara cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan tahap relapse resilience pada dewasa muda mantan penyalahguna narkoba.
Metode Penelitian ini menggunakan metode korelasional yaitu metode untuk menentukan hubungan antara dua variabel yang berbeda dalam satu kelompok partisipan. Hubungan
yang diperoleh dalam penelitian korelasional biasanya dideskripsikan dan dievaluasi menggunakan perhitungan statistik korelasi. (Gravetter, 2013). Metode korelasi yang digunakan pada penelitian ini adalah korelasi Spearman yang biasanya digunakan pada data non-parametrik yaitu data yang memiliki skala interval atau rasio, atau data yang dimiliki tidak terdistribusi normal (Priyatno, 2013). Terdapat 83 orang subjek yang masuk dalam karakteristik subjek pada penelitian ini. Subjek penelitian ini terdiri dari 56 orang wanita dan 27 orang pria yang terbagi menjadi lima kelompok usia dimana subjek terbanyak berusia diantara 26 – 30 tahun yaitu sebanyak 28 orang. Seluruh subjek dalam penelitian ini juga pernah mengikuti berbagai macam program rehabilitasi dimana program therapeutic community (TC) adalah program yang paling banyak diikuti. Sebanyak 39 orang pernah mengikuti program rehabilitasi tersebut. Subjek penelitian juga telah berhenti sekurang-kurangnya selama empat tahun, dimana kebanyakan (47%) subjek telah berhenti selama 4 – 6 tahun. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu pendekatan yang menjelaskan fenomena dengan mengumpulkan data yang bersifat numerik serta dianalisa menggunakan metode berbasis matematika (Aliana & Guinder dalam Muijs, 2010). Data kuantitatif didapatkan dari hasil pengisian kuesioner yang diberikan. Terdapat dua kuesioner yang diberikan dalam penelitian ini. Kuesioner pertama adalah emotion regulation questionnaire (ERQ) yang dibuat oleh J.J. Gross dan O.P. John (2003) yang berjumlah 10 item dengan skala 1 – 7 dimana 1 untuk sangat setuju dan 7 untuk sangat tidak setuju. Nilai reliabilitas alat ukur ini dibagi menjadi dua bedasarkan dimensi yang ada yaitu dimensi reappraisal dan suppresion. Nilai reliabilitas dimensi reappraisal adalah sebesar 0,819 dan dimensi suppression sebesar 0,689. Kuesioner kedua yang diberikan adalah kuesioner yang penulis konstruk sendiri dan diadaptasi dari teori relapse resilience tepatnya dari sebuah model yaitu the process model of addiction and recovery (Harris et. al., 2011) yang terdiri dari 37 item dengan skala 1 – 5 dimana 1 untuk sangat tidak sesuai dan 5 untuk sangat sesuai. Terdapat tiga dimensi pada alat ukur ini yaitu dimensi mekanisme coping, self-esteem, dan konsekuensi positif. Nilai reliabilitas untuk dimensi mekanisme coping adalah sebesar 0866, dimensi self-esteem 0,849, dan untuk dimensi konsekuensi positif sebesar 0,815.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini didapatkan dari hasil pengolahan data dengan metode korelasi Spearman. Terdapat enam hasil korelasi yang didapatkan dari korelasi antara kedua strategi regulasi emosi yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression tiga tahapan relapse resilience yaitu tahap mekanisme coping, tahap self-esteem, dan tahap konsekuensi positif. Korelasi antara strategi cognitive reappraisal dengan tahap mekanisme coping tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa strategi cognitive reappraisal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mekanisme coping, sehingga tinggi atau rendahnya tingkat cognitive reappraisal tidak berkaitan dengan tahap mekanisme coping seseorang. Tidak ditemukannya hubungan antara strategi cognitive reappraisal dengan tahap mekanisme coping menurut peneliti terjadi dikarenakan program rehabilitasi yang diikuti oleh kebanyak subjek pada penelitian ini yaitu pregram therapeutic community (TC) yang disajikan dalam kerangka sosial dan psikologi, beberapa terapi psikologi juga mempengaruhi praktek TC itu sendiri yaitu terapi psikoanalisa, terapi gestalt, terapi regresi, role therapy, pengkondisian dan modifikasi perilaku, terapi pembelajaran sosial, dan relapse prevention therapy (De Leon, 2000) dimana pengkondisian dan modifikasi perilaku terlihat lebih berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan salah satu struktur program yang digunakan dalam metode TC, dimana manajemen pembentukan perilaku dilakukan dengan pengkondisian operan dan dibantu oleh elemen-elemen komunitas dalam TC (De Leon, 2000). Pengkondisian ini dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, perubahan kepribadian terjadi apabila perilaku baru menjadi stabil seiring berjalannya waktu dan/atau dalam situasi berbeda-beda yang dapat dibuktikan dalam psikoterapi (Feist & Feist, 2010). Terjadinya perubahan perilaku pada sebagian besar subjek penelitian disebabkan karena program TC yang pernah dijalani membuat subjek melihat masalah yang dihadapi harus diselesaikan tanpa menggunakan narkoba. Pengkondisian yang didapatkan dari masa rehabilitasi tersebut bukan dari proses pemikiran kembali, sedangkan strategi cognitive reappraisal merupakan kemampuan subjek menggunakan pemikiran untuk mengatur emosinya.
Strategi cognitive reappraisal juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap self-esteem. Hal ini ditunjukkan dari korelasi antara strategi cognitive reappraisal dengan tahap self-esteem tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa strategi cognitive reappraisal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap self-esteem, sehingga tinggi atau rendahnya tingkat cognitive reappraisal tidak berkaitan dengan tahap self-esteem seseorang. Rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri tidak terbentuk oleh kemampuan subjek melakukan regulasi emosi dengan mengubah kognitifnya untuk tidak menggunakan narkoba saat menyelesaikan suatu masalah. Berdasarkan hasil wawancara peneliti, subjek menyatakan bahwa saat dirinya mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa kembali menggunakan narkoba atau berpikir kembali menggunakan narkoba, ia tidak merasakan peningkatan self-esteem atau pun lebih menghargai dirinya sendiri. Subjek juga mengungkapkan hal tersebut dikarenakan penyelesaian masalah dianggapnya sebagai sebuah kewajiban, sedangkan tidak menggunakan kembali narkoba merupakan komitmennya terhadap masa recovery yang ia jalani (Purnomo, 2014). Tidak adanya keterkaitan juga terjadi antara cognitive reappraisal dengan tahap konsekuensi positif yang dibuktikan bedasarkan korelasi antara strategi cognitive reappraisal dengan tahap konsekuensi positif tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa strategi cognitive reappraisal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap konsekuensi positif, sehingga tinggi atau rendahnya tingkat cognitive reappraisal tidak berkaitan dengan tahap konsekuensi positif seseorang.. Strategi cognitive reappraisal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap konsekuensi positif, karena konsekuensi positif yang didapatkan oleh para subjek bukanlah berasal dari pemikirannya dalam meregulasi emosi melainkan pengkondisian yang telah diterima oleh subjek selama menjalani masa rehabilitasi dengan metode TC. Dalam teori yang berfokus pada behavioristik, pengkondisian mendapat konsekuensi positif akan berfungsi sebagai penguatan. Penguatan merupakan sebuah hasil dari perilaku yang ditunjukkan serta dapat membuat perilaku tersebut tetap diulang atau dipertahankan (Feist & Feist, 2010), sehingga sebuah konsekuensi positif yang didapatkan merupakan hasil dari perilaku tidak
menggunakan kembali narkoba dan bukan merupakan hasil dari pemecahan masalah atau meregulasi emosi dengan menggunakan strategi cognitive reappraisal. Strategi kedua dalam meregulasi emosi adalah strategi expressive suppression. Hasil uji analisis menunjukkan bahwa strategi expressive suppression tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap mekanisme coping (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa strategi expressive suppression tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mekanisme coping, sehingga tinggi atau rendahnya tingkat expressive suppression tidak berkaitan dengan tahap mekanisme coping seseorang.. Tidak adanya hubungan disebabkan karena terkadang saat individu menggunakan strategi expressive suppression dalam meregulasi emosi, alkohol atau obat-obatan juga digunakan untuk membantunya (Gross, 2002). Apabila individu kembali menggunakan obat-obatan atau alkohol dalam menghadapi tekanan maka individu tersebut tidak melakukan upaya resiliensi terhadap penggunaan narkoba. Subjek tidak akan masuk pada coping cycle dalam process model of addiction and recovery, melainkan akan masuk dalam compulsive cycle. Strategi expressive suppression juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap self-esteem (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa strategi expressive suppression tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap self-esteem, sehingga tinggi atau rendahnya tingkat expressive suppression tidak berkaitan dengan tahap self-esteem seseorang. Self-esteem tidak dirasakan pada individu yang berada pada compulsive cycle, karena ketika menggunakan kembali narkoba maka tidak akan muncul perasaan bangga pada dirinya sendiri. Menggunakan kembali narkoba saat menyelesaikan masalah akan membuat subjek merasa lega (relief). Perasaan lega yang didapatkan dari penggunaan narkoba kembali merupakan proses lanjutan dalam compulsive cycle pada the process model of recovery and addiction (Harris et.al., 2011). Hubungan yang signifikan juga tidak ditemukan pada strategi expressive suppression dan tahap konsekuensi positif (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa strategi expressive suppression tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tahap konsekuensi positif, sehingga tinggi atau rendahnya tingkat expressive suppression tidak berkaitan dengan tahap konsekuensi positif seseorang. Saat individu berperilaku kompulsif dalam penggunaan obat-obatan dan membutuhkan obat-obatan tersebut untuk merasa lega maka bukan
konsekuensi positif yang didapatkan melainkan konsekuensi negatif yang dapat dirasakan pada kesehatan individu yang terus menerus menggunakan strategi ini. Menurut Gross (2003) berinteraksi dengan seseorang dengan menggunakan expressive suppression lebih membuat stress dibandingkan dengan menggunakan cognitive reappraisal yang diindikasikan dengan peningkatan tekanan darah. Selain itu sebuah eksperimen menunjukkan bahwa penggunaan expressive suppression dapat mengarah kepada peningkatan aktivasi simpatik dari sistem kardiovaskular yang diindikasikan dengan meningkatnya detak jantung (Gross dalam Snyder, 2006).
Kesimpulan Hasil analisis dan pengujian hipotesa yang telah dilakukan penulis terhadap 83 subjek penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi cognitive reappraisal atau pun strategi expressive suppression dengan tahap relapse resilience. Tidak adanya hubungan diantara ketiga variabel tersebut dapat dilihat dari nilai signifikansi yang berada diatas 0,05 (ρ>0,05). Hal tersebut juga berarti tinggi atau rendahnya cognitive reappraisal dan expressive suppression tidak berkaitan dengan tahap mekanisme coping, tahap self-esteem, atau pun tahap konsekuensi positif seseorang.
Daftar Pustaka Alim, T.N., Lawson, W.B., Feder, A., et al. (2011). Resilience to Meet the Challenge of Addiction : Psychobiology and Clinical Considerations. (http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/arcr344/506-515.htm diakses pada Tanggal 17 Desember 2013). De Leon, G. (2000). The Therapeutic Community : Theory, Model, and Method. New York : Springer Publishing Company, Inc. Deputi Rehabilitasi. (2013). Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2012 Edisi Tahun 2013. Jakarta : Badan Narkotika nasional. FAN Campus. (2013). Relapse Prevention Training. Cisarua : FAN Campus. Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
Gravetter, F.J. & Wallnau, L.B. (2013). Statistics for the Behavioral Sciences, 9th edition. California : WADSWORTH Cengage Learning. Gross, J. J, (2002). Emotion Regulation : Affective, Cognitive, and Social Consequences. Psychophysiology, 39,281-291. Gross, J.J. & John, O.P. (2003). Individual Differences in Two Emotion Regulation Processes : Implications for Affect, Relationships, and Well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 348-362. Gross, J. J. (2007). Handbook of Emotion Regulation. London : The Guilford Press. Harris, K.S., Smock, S.A., & Wilkes, M.T. (2011) Relapse Resilience: A Process Model of Addiction and Recovery, Journal of Family Psychotherapy, 22:3, 265-274, DOI: 10.1080/08975353.2011.602622 Indonesiabergegas.com. (2013). Rehabilitasi Jalan Terbaik bagi Pengguna Narkoba. (http://indonesiabergegas.com/index.php/item/161-rehabilitasi-jalan-terbaik-bagipengguna-narkoba, diakses pada 10 Februari 2014). Muijs, D. (2010). Doing Quantitative Research in Education with SPSS. California : Sage Publications. Muryanta, A. (2011). Narkoba dan Dampaknya Terhadap Pengguna. Yogyakarta : BKKBN Provinsi DIY. Pratama, R. (2011). Gambaran Regulasi Emosi pada Mantan Pengguna Narkoba Dewasa Awal Pasca Rehabilitasi. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta : Universitas Paramadina. Priyatno, D. (2013). Mandiri Belajar Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta : Mediakom. Purnomo, R. (2014, October 18). (I. Seprina, Interviewer). Purba, R.P.S. (2011). Dinamika Faktor-Faktor Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba. Skripsi tidak diterbitkan. Medan : Universitas Sumatra Utara. Santrock, J.W. (2011). Edisi ketiga belas Life-Span Development Perkembangan masa Hidup Jilid II. Jakarta : Penerbit Erlangga. Snyder, K.D., Simpson, J.A., Hughes, J.N. (2006).Emotion Regulation in Couples and Families. Washington D.C : American Psychological Association. Sumarlin. (2012). Dampak Narkotika pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat. Gorontalo : Komunikasi Penyaiaran Islam IAIN.
Tim Ahli. (2008). Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi Masyarakat . Jakarta : Badan Narkotika Nasional. Tim Penyusun. (2009). Pedoman Petugas Penyuluhan P4GN di Lingkungan Pendidikan. Jakarta : Badan Narkotika Nasional.