Kadar Secretory Imunoglobulin-E (s-IgE) dan Gambaran Histopatologi Otot Polos Bronkiolus Pada Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) Asma Yang Terpapar Lipopolisakarida Levels of Secretory Immunoglobulin E (s-IgE) and Histopathology of Bronchial Smooth Muscle in Asthmatic Rat (Rattus norvegicus) Model Exposed by Lipopolisaccharide Risang Renanda, Aulanni’am, Dyah K. Wuragil Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernafasan. Pada asma terjadi peningkatan kadar s-IgE, sebagai respon awal terjadinya inflamasi. Inflamasi tersebut akan mengakibatkan terjadinya hipertropi otot polos bronkiolus. Infeksi rongga mulut mampu menginduksi inflamasi pada saluran pernafasan. Salah satu sumber infeksi mulut adalah endoktoksin lipopolisakarida (LPS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keparahan asma hewan model tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi lipopolisakarida (LPS) berdasar gambaran hipertropi otot polos bronkiolus dan kadar s-IgE. Penelitian ini menggunakan tiga kelompok tikus, yang masingmasing terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol, kelompok asma, dan kelompok asma yang terpapar LPS. Sensitisasi alergi dilakukan dengan injeksi intraperitonial OVA sebanyak 10 µg/ml dalam 1,5 mg AlOH3, dilanjutkan dengan nebulasi 1 mg/ml OVA selama 20 menit. Paparan LPS dilakukan dengan cara menginjeksikan 1 µg/ml LPS bakteri Phorpyromonas ginggivalis pada sulkus gingiva tikus. Penentuan kadar s-IgE dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA sedangkan gambaran hipertropi otot polos pada bronkiolus diamati secara kualitatif menggunakan mikroskop BX51. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan hipertropi otot polos secara kualitatif. Kadar s-IgE meningkat signifikan (p<0,05) pada kelompok asma yang terpapar LPS (9,73±0,24 IU/mL) dan kelompok asma (5,56±0,25 IU/mL), dibandingkan dengan kelompok normal (2,15±0,14 IU/mL).
Kata Kunci : Asma, LPS, s-IgE, Hipertropi otot polos ABSTRACT Asthma is a chronic inflammatory disease in respiratory tract. In asthma increased levels of s-IgE, in response to the onset of inflammatory. Inflamation causing bronchial smooth muscle hypertrophy. Oral infection was able to induce inflammation in the respiratory tract. One of infection source in the oral cavity is lipopolysaccharide (LPS) endoktoksin. This research was conducted to determine asthma severity in the rat model (Rattus norvegicus) which exposed by Lypopolysaccharide (LPS) based on bronchial smooth muscle hypertrophy and s-IgE levels. Three groups of rat (Rattus norvegicus), each groups contain six rats, were used in this research which were control group, asthma group, and exposed LPS asthma group. Allergy sensitization was conducted by intraperitonial injection of 10 μg/ml ovalbumin (OVA), emulsified in 1,5 mg AlOH 3, followed by 20min 1mg/ml OVA by nebulizer. LPS exposure was conducted by injection of 1µg/ml Phorpyromonas ginggivalis LPS in rat’s gingival sulcus. Determination of s-IgE levels was done by using ELISA and histopatological observations of the bronchial smooth muscle using BX51 microscope. The result showed, bronchial smooth muscle hypertrophy was increased qualitatively. The s-IgE levels was increased significantly (p<0,05) in LPS asthma group (9,73±0,24 IU/mL) and asthma group (5,56±0,25 IU/mL), compared with normal group (2,15±0,14 IU/mL).
Keywords: Asthma, LPS, s-IgE, smooth muscle hypertrophy 1
imun tubuh sebagai alergen (Schwartz, 2002). Lipopolisakarida pada infeksi rongga mulut yang berperan sebagai alergen dapat memodulasi terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan. Dari paparan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan mempelajari apakah LPS berpengaruh terhadap tingkat keparahan asma pada hewan coba Rattus norvegicus, tingkat keparahan asma dinilai berdasarkan kadar s-IgE dalam fungsinya sebagai respon awal dan respon lanjut saluran pernafasan terhadap alergen dan hipertropi otot polos pada bronkiolus sebagai indikator keparahan jaringan paru akibat proses inflamasi pada kasus asma.
Pendahuluan Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran pernafasan yang dapat mengakibatkan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Prevalensi asma dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur penderita, jenis kelamin, alergi, keturunan, dan lingkungan (Iskandar, 2006). Asma ditandai dengan adanya inflamasi saluran pernafasan yang dipicu dengan meningkatnya produksi sitokin pro-inflamasi. Sekresi sitokin proinflamasi memicu diferensiasi dan pengerahan eosinofil, sel mast, basofil serta produksi secretory-imunoglobulin E (s-IgE) oleh sel B (Akbari, et al., 2006). Studi pada populasi penderita asma menunjukkan adanya hubungan antara asma dengan kadar s-IgE dalam serum total (Sunyer et al., 1996). Secretoryimunoglobulin E memiliki peran yang penting dalam inflamasi saluran pernafasan sebagai respon awal. Pada penderita asma, gejala yang selalu tampak adalah terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan. Peningkatan frekuensi pernafasan ini diakibatkan karena terjadinya penyempitan jalan nafas akibat terjadinya remodelling jalan nafas sehingga udara yang masuk kedalam tubuh menjadi terbatas. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya remodelling jalan nafas karena adanya penyempitan lumen dari bronkiolus, terjadinya penyempitan tersebut diakibatkan adanya penebalan otot polos (hipertropi otot polos) sekitar bronkiolus. Hasil studi epidemiologi menyebutkan bahwa lipopolisakarida (LPS) dari bakteri Gram negatif dapat menginduksi inflamasi pada saluran pernafasan, peningkatan jumlah LPS pada lingkungan memiliki korelasi positif dengan peningkatan kejadian asma (Strohmier et al., 2001). Menurut Utomo (2006), bahwa 80% bakteri yang terdapat di rongga mulut adalah bakteri Phorpyromonas ginggivalis, bakteri tersebut adalah bakteri Gram negatif. Lipopolisakarida yang masuk kedalam tubuh akan direspon oleh sistem
Materi dan Metode Penelitian Perlakuan Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini berupa tikus (Rattus norvegicus) jantan strain wistar yang terbagi dalam tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol, kelompok asma dan kelompok asma terpapar lipopolisakarida. Hewan coba diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) UGM Yogyakarta dengan umur 8-12 minggu dan berat badan antara 150-250 gram serta telah mendapatkan sertifikat laik etik dari Komisi Etik Penelitian Universitas Brawijaya No. 77-KEP-UB. Pembuatan Hewan Model Asma Tahap pertama pembuatan hewan model asma dilakukan dengan injeksi ovalbumin (Sigma-Aldrich, Nomer Katalog: A5503) pada hari ke-1 dan ke-14 secara intraperitoneal sebanyak 10 μg/ml dalam AlOH3 dalam PBS (phosphate buffer saline). Tahap kedua dilakukan inhalasi ovalbumin dalam NaCl steril dengan dosis 1 mg/ml selama 20 menit yang dilakukan pada hari ke-21 dengan menggunakan Omron CompAir Compressor Nebulizer.
2
Pengukuran Kadar s-IgE dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Pemeriksaan dengan ELISA, pertama dilakukan dengan coating microplate dengan 50 µL ovalbumin selama 24 jam pada 400C, kemudian dicuci dengan washing buffer tiga kali. 100 µL sampel serum dan standar IgE (IgE-Sigma USA) dimasukkan dalam well, kemudian dicuci dengan washing buffer tiga kali. Anti IgE biotin conjugate (Sigma-USA) ditambahkan pada masing- masing well sebanyak 50 µL dan dilakukan inkubasi selama 60 menit, kemudian dicuci dengan washing buffer tiga kali. Strep avidinHorseradish Peroxidase (SA-HRP) ditambahkan pada masing-masing well sebanyak 50 µL dan dilakukan inkubasi selama 40 menit, dicuci dengan washing buffer tiga kali, kemudian ditambahkan tetramethylbenzidine (TMB) sebanyak 50 µL/well dan diinkubasi selama 20 menit. Stop reaction dilakukan dengan menambahkan NaOH 3M sebanyak 50 µL/well selama 10 menit, dan kemudian micro plate dibaca dengan menggunakan
ELISA Reader pada panjang gelombang 450 nm. Pengamatan Gambaran Otot Polos Bronkiolus Pengambilan organ paru tikus dilakukan pada hari ke-21 setelah inhalasi OVA untuk pembuatan preparat hematoksilin eosin. Gambaran histopatologi otot polos bronkiolus diamati secara kualitatif menggunakan mikroskop Olympus BX51 dengan perbesaran 200x dan 400x. Hasil dan Pembahasan Terjadinya asma pada suatu individu sangat erat kaitannya dengan kadar secretory-immunoglobulin E (s-IgE) dalam total serum. Tingkat keparahan asma berbanding lurus dengan peningkatan kadar s-IgE dalam total serum, hal ini menunjukkan terjadi peningkatan inflamasi pada saluran pernafasan. Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat terjadi peningkatan kadar s-IgE seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1. Perbandingan rata-rata kadar s-IgE (IU/mL) pada kelompok tikus percobaan
3
Pada kasus asma terjadi hiperresponsifitas pada saluran pernafasan. Hiperresponsifitas tersebut ditandai dengan peningkatan kadar s-IgE sebagai respon imun awal dalam total serum. Kelompok tikus kontrol yang tidak diberikan perlakuan memiliki kadar s-IgE sebesar 2,15±0,14 IU/mL sedangkan pada kelompok tikus asma yang diberikan paparan berupa ovalbumin tanpa LPS memiliki kadar s-IgE sebesar 5,56±0,25 IU/mL. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chu et al (2012), bahwa kadar s-IgE pada tikus dikatakan menderita asma apabila kadarnya diatas 3,95 IU/mL. Hal tersebut membuktikan bahwa paparan OVA secara intraperitonial dan inhalasi mampu menimbulkan asma pada Rattus norvegicus. Hal tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al, (2005), bahwa tikus putih (Rattus norvegicus) untuk model asma dihasilkan dengan cara melakukan induksi asma dengan pemberian ovalbumin (OVA). Pada tikus asma yang dipapar LPS memiliki kadar s-IgE sebesar 9,73±0,24 IU/mL, dari hasil tersebut membuktikan bahwa adanya paparan LPS pada rongga mulut dapat memperparah kondisi asma. Derajat inflamasi pada asma akan meningkat seiring dengan adanya paparan LPS. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Jung et al (2006), bahwa LPS memiliki potensi untuk memodulasi terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan. Perbedaan yang signifikan (p<0,05) terjadi antara kelompok tikus kontrol, kelompok asma dan kelompok asma yang dipapar LPS. Hal ini menunjukkan bahwa paparan LPS pada sulkus gigi berpengaruh terhadap kadar s-IgE dalam total serum tikus yang menderita asma. Penelitian Malik et al. (2008) menunjukkan terjadi peningkatan ekspresi (upregulation) sitokin IL-4 dan IL-13 pada hewan coba asma yang disensitisasi dengan ovalbumin. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hewan coba asma yang disensitisasi dengan ovalbumin memberikan respon
melalui jalur T helper 2 (TH2) pada fase awal induksi asma. Kedua sitokin tersebut mengaktifkan sel B, sehingga memproduksi s-IgE yang selanjutnya menyebabkan terjadinya inflamasi. Adanya peningkatan kadar s-IgE secara signifikan membuktikan bahwa pemberian LPS dengan dosis 1µg/mL yang diinjeksikan kedalam tubuh tikus direspon oleh sistem imun tubuh melalui jalur Th2. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Keun Kim et al (2007) bahwa pemberian LPS dosis rendah (0,1 μg dan1 μg) akan menginduksi asma tipe 2 yang ditandai dengan hiperesponsivitas saluran pernapasan, inflamasi eosinofil, dan peningkatan regulasi IgE. Adanya respon imun melalui jalur Th2 membuktikan bahwa LPS yang masuk kedalam tubuh akan berikatan dengan reseptor LPS berupa TLR4, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Darveau et al (2004), yang menyebutkan aktivasi Th2 sebagai respon terhadap LPS diawali dengan terjadinya ikatan antara LPS dengan TLR4. Eisenbarth (2002), menyebutkan bahwa reseptor TLR4 yang telah berikatan dengan LPS akan mengikat protein MD2, kompleks TLR4+MD2 dapat menginduksi terjadinya peningkatan aktivasi sel dendrit dan Th2, yang selanjutnya sel dendrit akan merangsang sel Th2 untuk memproduksi sekresi sitokin berupa IL-13 dan IL-4, kedua sitokin tersebut berfungsi untuk memodulasi sistem humoral. Salah satu respon sistem imun humoral adalah produksi imunoglobulin E (IgE), sekresi sitokin berupa IL-13 dan IL-4 akan mengaktivasi sel B untuk memproduksi IgE. Adanya peningkatan aktivasi sel dendrit pada kondisi asma oleh karena adanya paparan LPS akan menyebabkan terjadiya peningkatan kadar s-IgE sehingga akan memperparah kondisi asma. Peningkatan inflamasi akibat paparan LPS yang berujung pada semakin parahnya kondisi asma juga terlihat dari peningkatan hipertropi otot polos
4
bronkiolus seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini :
A
B Keterangan. Struktur Histologi bronkiolus tikus (200x); kontrol negatif asma (A); asma tanpa paparan LPS (B), dan asma dengan paparan LPS (C); otot polos bronkiolus (tanda panah hitam), insert struktur lapisan otot polos bronkiolus (400x); bar 50μm.
C Gambar 2. Gambar otot polos bronkiolus pada histopatologi paru tikus
Berdasarkan penampang preparat bronkiolus dengan pewarnaan Hematoksilen-Eosin (Gambar 2), diketahui bronkiolus kelompok tikus kontrol (Gambar 2.A) terdiri atas gambaran normal lapisan epitel semu silindris bersilia, selapis otot polos, dan sedikit sel mononuklear yang berada pada struktur parenkima peribronkial. Remodeling jalan nafas tampak pada tekstur histologi bronkiolus pada kelompok tikus asma hasil induksi OVA (Gambar 2.B), perubahan struktur otot polos dengan terjadinya hipertropi tampak pada kelompok tikus asma sehingga pada potongan melintang mengalami pelebaran permukaan potongan melintang. Ini membuktikan bahwa paparan OVA secara injeksi dan inhalasi dapat menimbulkan kondisi inflamasi pada saluran pernafasan tikus dan berujung pada terjadinya asma.
Lipopolisakarida merupakan salah satu alergen yang berasal dari bakteri Gram negatif diketahui dapat menginduksi terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan sehingga memperparah kondisi asma (Utomo, 2006). Hal tersebut tampak pada lapisan otot polos bronkiolus yang mengalami hipertropi hingga mencapai 28,89µm pada tikus asma yang diberikan paparan LPS secara intrasulkuler (Gambar 2.C). Terjadinya keparahan hipertropi otot polos tersebut membuktikan bahwa LPS dapat memperparah kondisi inflamasi jalan nafas melalui peningkatan aktivitas sel dendrit dan juga sel Th2. Sel T helper 2 (Th2) merupakan sel yang bertanggung jawab terhadap inflamasi saluran pernafasan.Sel Th2 akan menginduksi sel B untuk melakukan produksi imunoglobulin E (IgE) yang nantinya akan berperan sebagai pengikat antigen yang masuk kedalam tubuh. Rifa’i 5
(2011) menyebutkan adanya IgE didalam sirkulasi darah akan memberikan sinyal kepada sel mast untuk teraktivasi. IgE kemudian akan berikatan dengan sel mast pada reseptor Fc€RI yang terletak pada sel mast. Kompleks sel mast IgE akan memicu terjadinya produksi sitokin pro inflmatori. Dalam penelitian yang dilakukan Belmonte (2005) disebutkan bahwa sitokin pro inflamatori akan merangsang sekresi asetilkolin dari saraf parasimpatis meregulasi nada saluran pernafasan, hipertropi otot polos saluran pernafasan, dan vasodilatasi, melalui interaksi dengan muscarinic asetilcholin receptors (mAChRs) yang terdapat di otot polos saluran pernafasan. Asetilkolin dan enzim yang disintesis yaitu choline acetyltransferase (ChAT) terdapat pada limfosit, makrofag, sel-sel mast, eosinofil, dan neutrofil (Gosen, et al., 2006). Muscarinic asetilcholin receptors (mAChRs) merupakan reseptor yang berfungsi meregulasi sekresi asetilkolin. Reseptor muskarinik yang terlibat dalam saluran pernafasan adalah M2 dan M3. Reseptor muskarinik menginduksi kontraksi otot polos saluran pernafasan melalui sejumlah mekanisme signal intraseluler. Asetilkolin (ACh) disekresikan oleh saraf parasimpatik, berikatan dengan M3 mAChRs pada otot polos saluran pernafasan, sehingga menyebabkan hipertropi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hipertropi otot polos sebagian besar disebabkan oleh peningkatan aktivitas saraf parasimpatis yang dimediasi oleh reseptor muskarinik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Belmonte (2005), bahwa mAChRs (muscarinic acetylcholine receptors) merupakan reseptor protein berpasangan, dengan asetilkolin sebagai ligan. Asetilkolin mengikat reseptor muskarinik dan menginisiasi jalur informasi dalam sel. Ikatan antara reseptor muskarinik M2 dengan asetilkolin mereduksi pengeluaran asetilkolin. Peningkatan sekresi asetilkolin dari saraf terminal kolinergik dan ekpresi
reseptor muskarinik abnormal serta gangguan pada reseptor muskarinik M2 merupakan salah satu penyebab meningkatnya penebalan otot polos bronkiolus pada pasien asma (Belmonte,2005). Adanya paparan LPS yang masuk ke dalam tubuh akan direspon oleh Toll-Like Receptor-4 (TLR-4) dan protein ekstraseluler, yaitu LPS Binding Protein (LBP). TLR4 yang telah berikatan dengan molekul LPS akan membentuk kompleks dengan MD2. Kompleks TLR4+MD2 tersebut akan meningkatkan regulasi pada sel dendrit dan juga sel Th2 (Eisenbarth, 2002). Adanya peningkatan aktivasi pada sel dendrit dan Th2 akan membuat sel B memproduksi IgE dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan jumlah IgE yang cukup signifikan akan merangsang saraf parasimpatis menjadi lebih aktif. Menurut Bara (2010), adanya peningkatan aktivasi saraf parasimpatis terebut akan menyebabkan sel-sel otot polos bronkiolus menjadi lebih aktif untuk melakukan penambahan massa. Penambahan massa yang lebih masif tersebut membuat jalan nafas menjadi lebih sempit, sehingga udara yang masuk menjadi sangat terbatas dan kondisi asma akan menjadi semakin parah. Kesimpulan Terjadi peningkatan hipertropi otot polos bronkiolus pada gambaran histopatologi paru dan peningkatan kadar s-IgE pada hewan model tikus (Rattus norvegicus) asma yang terpapar LPS. Hal tersebut membuktikan bahwa paparan LPS dapat memperparah keadaan asma dengan memodulasi inflamasi. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah mendanai penelitian ini sehingga penelitian ini dapat selesai sesuai dengan yang direncanakan. Terimakasih kepada Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES dan Ibu Dyah Kinasih Wuragil, S,Si., M.P., M.Sc, Mas Hilman Fuadil Amin, Galuh P 6
Prameswari serta staf Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya atas dukungan, bantuan, dan kerjasama yang luar biasa untuk penyelesaian penelitian ini.
Gosen, R., J. Zaagsma, H. Meurs and A.J. Halayko. 2006. Muscarinic Reseptor Signaling in the Pathophisiology of Asthma and COPD. Respiratory Research, Vol. 7 No. 73. Iskandar, Y. 2006. Tanaman Obat yang Berkhasiat Sebagai Antiasma Bronkhial. Universitas Padjajaran: Jatinangor
Daftar Pustaka Akbari,O.,L.John, M.D.Faul, E.G. Hoyte, G.J.Berry, J.Wahlström,M. Kronenberg, R.H. DeKruyff, and D.T. Umetsu. 2006. CD4+ Invariant TCell–Receptor+ Natural Killer T Cells in Bronchial Asthma. The New England Journal of Medicine.
Jung, Y.W., T. R. Schoeb., C.T. Waever., and D.D. Chaplin. 2006. Antigen and Lipopolysaccharide Play Synergistic Roles in the Effector Phase of Airway Inflammation in Mice. American Journal of Pathology 168 (5)
Bara I, A.Ozier, and P.Berger. 2010. Pathophysiology of bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur Respir J 2010; 36: 1174–1184
Keun Kim, Y., S. Young Oh., S. Gyu Jeon., H. Woo Park., S. Yeon Lee., E. Young Chun., B. Bang., H. Seung Lee., M. Hee Oh., Y. Sun Kim., J. Hoon Kim., Y. Song Gho., S. Heon Cho., K. Up Min., Y. Young Kim., and Z. Zhu. 2007. Airway Exposure Levels of Lipopolysaccharide Determine Type 1 versus Type 2 Experimental Asthma. The Journal of Immunology 178: 5375-5382
Belmonte, K.E. 2005. Cholinergic Pathways in the Lungs and Anticholinergic Therapy for Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Chu, X, Y. Deng, and Q. Cai. 2012. Different Effects of Farrerol on an OVA-Induced Allergic Asthma and LPS-induced Acute Lung Injury. PloS One April 2012. Volume 7 : Issue 4
Liu S, K,Chihara and K,Maeyama . 2005. The contribution of mast cells to the late-phase of allergic asthma in rats. Inflamm Res 2005; 54:221–8.
Darveau, R.P., T.T. Pham, K. Lemley, R.A. Reife, B.W. Bainbridge, S.R. Coats, W.N. Howald, S.S.Way, and A.M.Hajjar. 2004. Porphyromonas gingivalis Lipopolysaccharide Contains Multiple Lipid A Species That Functionally Interact with Both Toll-Like Receptors 2 and 4. Infect. Immun. 72(9) : 5041–5051.
Malik, R., P. Priyadarsiny, R. Shirumalla, R. Soni, A. Ray, and K. Saini. 2008. Gene Expression Profile of Ovalbumin-Induced Lung Inflammation in a Murine Model of Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol 18(2): 106-112.
Eisenbarth, S.C., D.A. Piggott., J.W. Huleatt., I. Visintin., C.A. Herrick., and K. Bottomly. 2002. Lipopolysaccharide-enhanced, Tolllike Receptor 4–dependent T Helper Cell Type 2 Responses to Inhaled Antigen. J Exp Med 196 (12): 16451651
Rifa’i, M. 2011. Alergi and Hipersensitif. Diktat konsep alergi and hipersensitif. Fakultas Matematika and Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.
7
Schwartz, D. A. 2002. The Genetics of Innate Immunity. Chest Journal 121 : 62S–68S
Sunyer, J., J.M. Antó, J. Castellsagué, J.B. Soriano, and J. Roca. 1996. Total Serum IgE is Associated with Asthma Independently of Specific IgE Levels. Eur Respir J 9 : 1880–1884.
Strohmeier, G.R., J.H. Walsh, E.S. Kling, H.W. Farber, W.W. Cruikshank, D.M. Center, M.J. Fenton. 2001. Lipopolysaccharide Binding Protein Potentiates Airway Reactivity in a Murine Model of Allergic Asthma. J. Immunol. 166 : 2063-2070
Utomo, H. 2006. Management of Oral Focal Infection in Patients with Asthmatic Symptoms. Dent. J. (Maj. Ked. Gigi) 39(3) :120–125.
8