ABSTRAK HUBUNGAN PEMBERIAN INJEKSI INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUANG PERAWATAN ANAK RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA MAKASSAR Hasriani Azis Pada tahun 2012 diperoleh data di Rumah Sakit TK II Pelamonia, sekitar 720 (36,2%) dari 1.989 penderita mengalami phlebitis dan pada tahun 2013 didapatkan sekitar 527 (32,5%) dari 1.623 penderita yang mengalami phlebitis. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan menggunakan rancangan “cross sectional study”. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Sampel yang diambil adalah pasien anak yang terpasang infus dan mendapat injeksi intravena dengan jumlah sampel sebanyak 65 orang. Data di uji dengan uji statistik Fisher exact Test dengan tingkat signifikan α< 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang terpasang infus sebagian besar injeksi intravenanya tergolong kategori risiko tinggi (86,2%), anak yang terpasang infus sebagian besar mengalami phlebitis (70,8%), dan ada hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar (p=0,001). Simpulan ada hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar. Saran, untuk mencegah terjadinya phlebitis, diharapkan kepada perawat untuk melakukan injeksi intravena dengan dengan konsentrasi yang lebih encer. Kata Kunci : Injeksi intravena, Kejadian Phlebitis parenteral atau terpasang infus (Triyanto Pendahuluan Terapi intravena adalah salah satu dkk, 2007). Ketika kulit tembus oleh alat teknologi yang paling sering digunakan seperti kateter intra vena, terbakat, atau luka dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. bedah akan menjadi hospes yang rentan Lebih dari 60% pasien yang masuk ke terhadap organisme endogen dan eksogen rumah sakit mendapat terapi melalui yang resisten dan masuk ke dalam tubuh dan intravena (Hindley, 2004). Terapi parenteral menyebabkan infeksi (Schaffer, 2010). atau yang biasa disebut dengan terapi infus, Berkaitan dengan terapi intravena merupakan metode yang efektif untuk ini, maka telah diidentifikasi suatu masalah mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, obat keperawatan yang sering dijumpai yaitu melalui pembuluh darah (intravaskular) terjadinya plebitis dan ekstravasasi vena (Darmawan, 2008). Menurut Josephson (1999) dikutip dari Data Medis Internasional Triyanto dkk (2007) komplikasi yang paling melaporkan, "lebih dari 300 juta intravena sering terjadi akibat terapi intravena adalah kateter yang berupa kateter plastik atau plebitis, suatu inflamasi vena yang terjadi Teflon dan jarum logam digunakan pada akibat tidak berhasilnya penusukan vena, rumah-rumah sakit dalam negeri". Dari ratakontaminasi alat intravena dan penggunaan rata pasien yang dirawat di rumah sakit cairan hipertonik yang tidak adekuat, yang setiap tahunnya 60 - 70% mendapat terapi secara kimiawi dapat mengiritasi vena.
Saat ini phlebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat intravena, terapi cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi meliputi usia lanjut, trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi, hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dan lain-lain. Pihak praktisi rumah sakit harus memikirkan sebab-sebab multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi komplikasi serius. Selain itu, phlebitis berpengaruh pada vena superfisial dimana dapat menyebabkan kondisi yang serius yang membutuhkan penanganan khusus dan menuntut untuk diselesaikan segera. Kadangkala seseorang yang mengalami phlebitis dapat menyebabkan terjadinya trombophlebitis yang pada akhirnya dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah yang mana hal ini tentunya akan membutuhkan evaluasi medis yang lebih lanjut (La rocca, 2008). Pemberian obat melalui wadah cairan intravena merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau memasukan obat ke dalam wadah cairan intravena yang bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah, (Rahmanto, 2010). Dalam penyuntikan obat atau pemberian infus, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial kedalam tubuh, pH dan osmololaritas cairan infus yang ekstrim selalu diikuti resiko phlebitis tinggi. Infeksi phlebitis dapat terjadi melalui Metode Rancangan penelitian yang digunakan ialah Survey analitik dengan pendekatan cross sectional study dimana subjek penelitian dan pengukuran status karakter atau variabel subjek diukur menurut keadaan atau statusnya secara simultan pada
cairan intravena dan jarum suntik yang digunakan atau di pakai berulang-ulang dan banyaknya suntikan yang tidak penting misalnya penyuntikan antibiotika (Darmawan, 2008). Hasil penelitian dari Pose Reino dkk Amerika Serikat (2007) dikutip dari Darmawan (2008) tentang kejadian phlebitis menemukan sekitar 35% plebitis pada pasien penyakit dalam, 18% pada pasien bedah yang mendapat PPN (nutrisi parenteral perifer). Semua larutan nutrisi diberikan selama 24 jam dari bag 3 liter dan lokasi infus dirotasi setiap hari, 26 % pada pasien di bangsal penyakit dalam dan bedah, 39% pada pasien dengan pnemonia akut yang membutuhkan terapi intravena, dan 35% pada semua pasien. Jumlah kejadian plebitis menurut Distribusi Penyakit Sistem Sirkulasi Darah Pasien Rawat Inap, Indonesia Tahun 2010 berjumlah 744 orang (17,11%), (Depkes, RI, 2008). Berdasarkan data dari Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar menunjukkan bahwa pada tahun 2012 sekitar 720 (36,2%) penderita yang mengalami phlebitis dari 1.989 pasien yang yang mendaoat terapi cairan intravena, dan tahun 2013 sekitar 527 (32,5%) penderita yang mengalami phlebitis dari 1623 orang yang mendapat terapi cairan parenteral (Data Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa anggak kejadian phlebitis relative tinggi dan dapat berdampak pada lama hari rawat dan besarnya biaya yang ditanggung oleh pasien. satu saat dalam suatu sampel populasi yang representative untuk mengidentifikasi hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Perawatan Anak
Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar dengan rata-rata pasien perbulan ±187 anak, dengan pertimbangan bahwa rumah sakit ini jadi jumlah tiap tahun ± 2244 orang. Sampel mudah dijangkau dan cukup banyak adalah bagian dari populasi yang dapat dilakukan prosedur terapi cairan intravena mewakili populasi pasien yang mendapatkan pada pasien. Penelitian dilaksanakan pada prosedur terapi cairan parenteral dan injeksi tanggal 21 Maret 2014 sampai tanggal 21 intravena. Pengambilan sampel pada April 20014. Populasi Pasien yang dirawat penelitian ini menggunakan metode di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK purposive sampling yaitu penentuan sampel II Pelamonia Makassar yang diberikan dengan mengambil sampel berdasarkan tindakan prosedur terapi cairan parenteral pertimbangan tertentu sesuai dengan kriteria atau yang diberikan injeksi intra vena peneliti dengan kriteria sebagai berikut: Hasil Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar. Rancangan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah survey analitik dengan menggunakan rancangan “cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 65 orang. 1. Karakteristik Demografi Karakteristik demografi pasien di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan umur Pasien di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Tahun 2014 Umur (Tahun) n % 1-3 32 49,2 4–6 12 18,5 6–9 12 18,5 10 – 12 9 13,8 Jumlah 65 100,0 Sumber : Data Primer, 2014 Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 65 orang responden berdasarkan karasteristik umur, diperoleh data umur terbanyak yang mendapat injeksi intravena adalah 1-3 tahun sebanyak 32 orang (49,2%) dan umur yang paling sedikit yang mendapat injeksi intravena adalah 10-12 tahun sebanyak 9 orang (13,8%). Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Terpasang Infus di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Tahun 2014 Lama Terpasang Infus n % ≤ 3 hari 5 7,7 > 3 hari 60 92,3 Jumlah 65 100,0 Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 65 orang responden berdasarkan karasteristik lama terpasang infus, diperoleh data lama terpasang infus tertinggi adalah > 3 hari sebesar 60 orang (92,3%) dan terendah adalah ≤ 3 hari sebesar 5 orang (7,7%). Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan jenis cairan yang terpasang di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Tahun 2014 Jenis Cairan n % RL 43 66,2 Dextrose 5% 11 16,9 KN3B 11 16,9 Jumlah 65 100,0 Sumber : Data Primer, 2014 Tabel 3 menunjukkan dari 65 orang responden berdasarkan cairan infus yang terpasang, diperoleh data jenis cairan tertinggi yang dipakai adalah RL sebesar 43 (66,2%), dan terendah adalah Dextrose 5% dan KN3B masing-masing sebesar 11 (16,9%). 2. Analisa univariat a. Injeksi Intravena Distribusi responden berdasarkan injeksi intravena di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Injeksi Intravena di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Tahun 2014 Injeksi Intravena n % Risiko Tinggi 56 86,2 Risiko Rendah 9 13,8 Jumlah 65 100,0 Sumber : Data Primer, 2014 Tabel 4 menunjukkan dari 65 orang responden berdasarkan injeksi intravena , diperoleh data injeksi intravena tertinggi adalah kategori risiko tinggi sebesar 56 (86,2%) dan terendah adalah kategori risiko rendah sebesar 9 (13,8%). b. Kejadian Phlebitis Distribusi responden berdasarkan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Tahun 2014 Kejadian Phlebitis N % Phlebitis 46 70,8 Tidak Phlebitis 19 29,2 Jumlah 65 100,0 Sumber : Data Primer, 2014 Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 65 orang responden berdasarkan kejadian phlebitis, diperoleh data kejadian phlebitis tertinggi adalah kategori phlebitis sebesar 46 (70,8%) dan terendah adalah kategori tidak phlebitis sebesar 19 (29,2%).
3. Analisa bivariat Tabel 6 Hubungan Pemberian Injeksi Intravena dengan Kejadian Phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar Kejadian Phlebitis p Jumlah value Injeksi Intravena Phlebitis Tidak Phlebitis N % n % n % 0,001 Risiko Tinggi 45 80,4 11 19,6 56 100,0 Risiko Rendah 1 11,1 8 88,9 9 100,0 Jumlah 46 70,8 19 29,2 65 100,0 Sumber : Data Primer, 2014 Tabel 6. menunjukkan bahwa dari 56 responden berdasarkan hubungan antara pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis, diperoleh data injeksi intravena risiko tinggi dan kejadian phlebitis untuk kategori phlebitis sebesar 45 (80,4%) dan tidak phlebitis sebesar 11 (19,6%). Sementara untuk injeksi intaravena risiko rendah dan kejadian phlebitis untuk kategori phlebitis sebesar 1 (11,1%) dan tidak phlebitis sebesar 8 (88,9%). Berdasarkan uji Fisher Exact Test diperoleh nilai p=0,001, hal ini berarti nilai p < 0,05. Hal ini berarti ada hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar. berdasarkan dosis pemberiannya adalah Pembahasan 1.Injeksi intravena sesuai 68 responden (100%), berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian, pengoplosan adalah sesuai yaitu 68 diperoleh data injeksi intravena tertinggi responden (100%) dan berdasarkan adalah kategori risiko tinggi sebesar 56 kecepatan adalah sesuai ada 68 responden (86,2%) dan terendah kategori risiko rendah (100%). sebesar 9 (13,8%). Pemberian obat melalui wadah Menurut peneliti, angka kejadian cairan intravena merupakan cara phlebitis yang tinggi disebabkan karena memberikan obat dengan menambahkan banyaknya jenis obat injeksi yang diberikan, atau memasukan obat ke dalam wadah dimana kita ketahui bahwa ada beberapa cairan intravena yang bertujuan untuk jenis obat injeksi yang menimbulkan rasa meminimalkan efek samping dan nyeri dan perih jika diinjeksikan, terlalu mempertahankan kadar terapeutik dalam seringnya pasien diberikan obat injeksi, cara darah, (Rahmanto, 2010). Dalam pemberian injeksi yang terlalu cepat, cara penyuntikan obat atau pemberian infus pengoplosan obat yang terlalu kental serta intravena, dan pengambilan sampel darah) pasien anak yang diinjeksi kadang merupakan jalan masuk kuman yang memukulkan atau menghentakkan tangan potensial kedalam tubuh, pH dan yang terpasang infus jika selesai diinjeksi. osmololaritas cairan infuse yang ekstrim Hasil penelitian ini sejalan dengan selalu diikuti resiko phlebitis tinggi. Infeksi penelitian yang dilakukan oleh Iradiyanti phlebitis dapat terjadi melalui cairan (2013) yang melakukan penelitian analisis intravena dan jarum suntik yang digunakan faktor pemberian obat melalui selang atau di pakai berulang-ulang dan banyaknya intravena di Instalasi Rawat Inap Rumah suntikan yang tidak penting misalnya Sakit Baptis Kediri didapatkan bahwa penyuntikan antibiotika (Darmawan, 2008). mayoritas perawat memberikan melalui Plebitis merupakan inflamasi vena selang intravena kepada 68 pasien yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun
mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (La Rocca dan Otto, 2008). Terapi intravena, atau yang kita kenal dengan terapi infus, merupakan terapi yang telah berkembang dari suatu tindakan yang dianggap ekstrim, dimana hanya digunakan pada kondisi kritis, menjadi terapi yang digunakan pada 80% –90% pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Peningkatan jumlah pasien yang mendapat terapi infus tidak hanya dilakukan di rumah sakit, tetapi juga makin sering dilakukan di tempat-tempat alternatif seperti praktek dokter, klinik rawat jalan, bahkan di rumah yang dilakukan untuk penggantian cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrisi jika tidak ada pemberian dengan cara lain (Smeltzer & Bare, 2004). Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloid darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini “benda asing” langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi intravena sebaiknya dilakukan amat perlahan, antara 50-70 detik lamanya (La Rocca & Otto, 2008). Sebetulnya kata bolus atau injeksi intra selang itu sendiri merupakan istilah baru yang tercipta di kalangan para perawat untuk mendefinisikan suatu tindakan penyuntikan melalui karet selang infus, yang merupakan bagian dari teknik
penyuntikan intravena. Hal ini dimaksudkan sebagai pengganti penyuntikan intravena berulang (pada pasien rawat inap), yang berarti mencegah/mengurangi rasa sakit dari penyuntikan berulang. Pada dasarnya, prosedur yang digunakan sama dengan prosedur penyuntikan yang lain. Hanya karena penyuntikannya melalui karet selang infus, maka akan lebih banyak dibahas mengenai keunikan dari tindakan ini (Suryaningsih, 2007). Banyak sekali akibat buruk yang ditimbulkan akibat teknik penyuntikan yang tidak benar terutama phlebitis. Pemberian obat melalui selang intravena memiliki resiko terjadinya plebitis dikarenakan pencampuran dan kecepatan yang tidak sesuai. Kecepatan pemberian obat melalui selang intravena merupakan salah satu penyebab phlebitis sehingga pemberian dalam kecepatan rendah dapat mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah. Kecepatan penyuntikan tergantung pada jenis obatnya, umumnya tidak ada obat yang boleh disuntikkan secara intravena dengan kecepatan kurang dari satu menit, kecuali jika pasiennya mengalami gagal jantung atau bila terdapat perdarahan hebat ((La Rocca & Otto, 2008). 2. Kejadian phlebitis Hasil penelitian ini didapatkan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami phlebitis yakni sebanyak 46 orang (70,8%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Handoyo, Triyanto dan Latifah (2006) didapatkan presentase kejadian plebitis di Bangsal Bedah RSUD Prof Dr. Margono Soekardjo Purwokerto adalah 31, 7%. Penelitian tersebut juga menemukan rata-rata 2-4 pasien mengalami plebitis setiap harinya. Penanganan atau tindakan untuk mengatasi plebitis merupakan isu penting di Indonesia
khususnya di RSUD Prof Dr. Margono Soekardjo Purwokerto, karena jika plebitis tidak diatasi dapat mengakibatkan sepsis atau infeksi seluruh tubuh yang dapat menyebabkan kematian. Berkaitan dengan terapi intravena ini, maka telah diidentifikasi suatu masalah keperawatan yang sering dijumpai yaitu terjadinya plebitis dan ekstravasasi vena Menurut Josephson (1999) dikutip dari Triyanto dkk (2007) komplikasi yang paling sering terjadi akibat terapi intravena adalah plebitis, suatu inflamasi vena yang terjadi akibat tidak berhasilnya penusukan vena, kontaminasi alat intravena dan penggunaan cairan hipertonik yang tidak adekuat, yang secara kimiawi dapat mengiritasi vena. Selain itu, phlebitis berpengaruh pada vena superfisial dimana dapat menyebabkan kondisi yang serius yang membutuhkan penanganan khusus dan menuntut untuk diselesaikan segera. Kadangkala seseorang yang mengalami phlebitis dapat menyebabkan terjadinya trombophlebitis yang pada akhirnya dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah yang mana hal ini tentunya akan membutuhkan evaluasi medis yang lebih lanjut (La rocca, 2008). i. Hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis Hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden yang injeksi intravenanya beresiko tinggi sebagian besar mengalami phlebitis sebanyak 45 (80,4%) sedangkan dari 9 responden yang injeksi intravenanya resiko rendah sebagian besar tidak mengalami phlebitis sebanyak 8 (88,9%). Berdasarkan uji statistik didapatkan ada hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar (p=0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handoyo, Triyanto dan Latifah (2006) juga
menerangkan bahwa pemberian antibiotik juga dapat dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan proses peradangan. Namun demikian pemberian obat termasuk antibiotik melalui slang infus dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya phlebitis. Saat ini phlebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat intravena, terapi cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi meliputi usia lanjut, trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi, hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dan lain-lain. Pihak praktisi rumah sakit harus memikirkan sebab-sebab multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi komplikasi serius. Hasil penelitian dari Pose Reino dkk Amerika Serikat (2007) dikutip dari Darmawan (2008) tentang kejadian phlebitis menemukan sekitar 35% plebitis pada pasien penyakit dalam, 18% pada pasien bedah yang mendapat PPN (nutrisi parenteral perifer). Semua larutan nutrisi diberikan selama 24 jam dari bag 3 liter dan lokasi infus dirotasi setiap hari, 26 % pada pasien di bangsal penyakit dalam dan bedah, 39% pada pasien dengan pnemonia akut yang membutuhkan terapi intravena, dan 35% pada semua pasien. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa pada pemberian obat melalui selang intravena yang beresiko tinggi namun kenyataannya tidak terjadi plebitis yaitu 11 pasien (19,6%). Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi yaitu perawat mengutamakan teknik aseptik pemberian alkohol swab dan ketepatan pemilihan lokasi insersi kateter intravena. Perawat juga memastikan obat larut sempurna saat pengoplosan obat, sebelum melakukan pemasangan infus dan dalam
memberikan obat melalui selang intravena mereka mencuci tangan terlebih dahulu. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya plebitis selain dari pemberian obat melalui selang intravena dan teknik aseptik cuci tangan adalah usia, dalam penelitian ini sebanyak 56,9% pasien berusia berusia kurang dari 5 tahun. Usia ini tergolong usia anak dimana pada usia ini dalam berinteraksi terkadang pasien tidak kooperatif sehingga dapat beresiko terjadinya plebitis contohnya perawat kesulitan untuk mengajarkan pasien untuk menjaga sistem infus seperti menghindari gerakan memutar atau berbalik secara tibatiba pada lengan yang terpasang infus, menghindari tarikan atau regangan pada selang intravena. Simpulan 1. Anak yang terpasang infus di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar sebagian besar injeksi intravenanya masuk kategori resiko tinggi (86,2%). 2. Anak yang terpasang infus di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami phlebitis (70,8%). 3. Ada hubungan pemberian injeksi intravena dengan kejadian phlebitis di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit TK II Pelamonia Makassar. Saran 1. Untuk mencegah terjadinya phlebitis, diharapkan kepada perawat untuk melakukan injeksi intravena dengan dengan konsentrasi yang lebih encer. 2. Untuk mencegah terjadinya phlebitis, diharapkan kepada perawat untuk melakukan injeksi intravena dengan rentang jeda beberapa menit antara satu obat dengan obat lainnya. 3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan
dengan meneliti lama waktu terjadinya phlebitis pada pasien yang dilakukan injeksi intravena. Daftar Pustaka Alexander, M., Corrigan, A., Gorski, L. 2010. Infusion Nursing : An Evidence Based Approach. Saunders Elsevier Inc. http://books.google.co.id/books?id=G jY2NKEYhC8C&pg=PA474&dq=phl ebitis diakses 14 Januari 2014. Ari E, Tiastuti L, Heni S. 2009. Perbedaan Tehnik Mendesinfeksi Alkohol 70% Antara Cara Spray Dengan Oles Saat Pemasangan Infus Dalam Menurunkan Jumlah Bakteri Pada Site Infuse Di Rumah Sakit Santo Yusup Bandung, 10 No. XIX Oktober 2008 – Februari 2009 Darmawan, I 2008. Phlebitis, apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya? http://www.otsuka.co.id/?content=arti cle_detail&id=68&lang=id, diakses 22 Januari 2014 Depkes, RI. 2005. Intrumen Evaluasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta Depkes, RI. 2008. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan kesehatan Lainnya, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta Dougherty, L. 2008 Peripheral Cannulation, Nursing Standard, 22 (52) 49-56 Gayatri,
Handayani, Amelia 2003. Hubungan Jarak Pemasangan
Terapi Intravena Dari Persendian Dengan Waktu Terjadinya Phlebitis, Universitas Airlangga Library: Surabaya Gould
Dinah dan Brooker C. 2003. Mikrobiologi Terapi Untuk Perawat, EGC: Jakarta.
Handoyo, Triyanto, E. dan Latifah L., 2006. Hubungan Pengetahuan tentang Perawatan Terapi Intravena dengan Angka Kejadian Plebitis Di RSUD Prof Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Soedirman Nursing Journal . 2(1) Hidayat, A. A. 2007. Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Salemba Medika: Jakarta. Hindley, G. 2004. Infection control in peripheral cannulae. Nursing Standard, 18 (27), 37-40. Iradiyanti, W. P. 2013. Pemberian Obat Melalui Intravena Terhadap Kejadian Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit, STIKES RS Baptis Kediri, Jurnal STIKES Volume 6, No. 1, Juli 2013 La Rocca dan Otto. 2008. Terapi Intra Vena, EGC: Jakarta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta: Jakarta Potter
&
Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan “Konsep, Proses, dan Praktik” Edisi 4, EGC: Jakarta
Rahmanto, B. 2010. Hubungan teknik pemasangan infus dan cara pemberian obat dengan kejadian phlebitis di RSUD M. Yunus Bengkulu, Universitas Bengkulu Riduwan. 2012. Skala pengukuran variabelvariabel penelitian. Alfabeta: Bandung Schaffer dan Garzon. 2010. Penanganan Infeksi dan Praktek yang Aman, Pemberian Desinfeksi dan Sterilisasi, EGC: Jakarta. Smeltzer & Bare 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, EGC: Jakarta Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Makassar, 2014. Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi 10. Makassar Sugiyono, 2008, Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung Suryaningsih, U. (007. Hubungan Antara Jenis Cairan Terapi Intravena Dengan Tingkat Keparahan Flebitis (Studi di Rumah Sakit Islam Aisyiyah Malang), Universitas Muhammadiyah Malang: Malang Triyanto E, Handoyo, dan Pramana R.H. 2007. Upaya Menurunkan Skala Phlebitis Dengan Pemberian Kompres Hangat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto, Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 2, No.3, November 2007
Wayunah. 2011. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Infus Dengan Kejadian Phlebitis dan Kenyamanan Pasien di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
Indramayu, Thesis, Fakultas Ilmu Keperawatan, Unsiversitas Indonesia: Depok Weinstein S.M. 2001. Buku Saku Terapi intravena, EGC: Jakarta