Programme
Abstrak
1. Pendahuluan Reformasi politik di Indonesia pada akhir tahun 1990-an telah membawa era baru desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. 1 Desentralisasi, khususnya desentralisasi fiskal yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2001, telah mengubah struktur tata kelola (governance structure) pemerintahan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penerapan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah dalam hal ini dipercaya akan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis serta akuntabel dalam hal pengalokasian sumber daya daerah dan pemberian pelayanan publik. Sehingga melalui kebijakan desentralisasi diharapkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pembangunan antar daerah dapat lebih terwujudkan. 1
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Pengaruh positif desentralisasi terhadap perkembangan investasi di daerah belum dapat dibuktikan. Dengan membandingkan perkembangan investasi pada periode sebelum (1990-2000) dan setelah desentralisasi (2001-2010), paper ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu: 1) nilai riil investasi pasca desentralisasi bertumbuh sangat lambat, sehingga pertumbuhan nilai nominal investasi lebih disebabkan karena inflasi; 2) kontribusi investasi terhadap PDRB pada periode setelah desentralisasi relatif lebih kecil dibanding pada periode sebelum desentralisasi, menunjukan kontribusi kegiatan produksi yang semakin kecil terhadap pendapatan daerah; 3) desentralisasi juga tidak terbukti membuat ekonomi daerah lebih efisien, karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata ICOR pada periode sebelum dan setelah desentralisasi; dan 4) iklim investasi terbukti berpengaruh positif terhadap kontribusi investasi terhadap PDRB, sehingga penurunan rasio investasi terhadap PDRB pada periode setelah desentralisasi dapat dijelaskan sebagai akibat dari iklim investasi di daerah yang belum kondusif. Dengan demikian, upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif menjadi prasyarat utama bagi desentralisasi dalam memberi manfaat positif terhadap pertumbuhan investasi di daerah. Posisi KADIN dalam hal ini adalah mendorong reformasi regulasi usaha yang efektif di daerah, terutama terkait dengan: 1) penyederhanaan prosedur perizinan usaha, dan 2) penghapusan peraturan dan pungutan yang mengganggu dan memberatkan dunia usaha.
Namun demikian, sampai dengan saat ini masih banyak perdebatan tentang efektivitas desentralisasi, khususnya tentang pengaruhnya terhadap kinerja makro ekonomi daerah, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, inflasi dan juga pelayanan publik. Simanjuntak (2008) berpendapat bahwa bukti mengenai manfaat dari desentralisasi fiskal terhadap tujuantujuan efisiensi ekonomi masih cenderung kurang meyakinkan. Walaupun ada beberapa hasil studi yang memperlihatkan manfaat yang positif dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, studi lainnya justru memperlihatkan berbagai persoalan dalam pembangunan ekonomi muncul akibat desentralisasi. Dalam Simanjutak (2008) dibahas berbagai studi yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi telah
Dasar hukum proses desentralisasi dan otonomi daerah adalah UU no. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan menjadi UU no. 32 Tahun 2004, serta UU no. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang disempurnakan menjadi UU no. 33 Tahun 2004. Tujuan ekonomi dari desentralisasi adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui (1) peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat, serta (2) peningkatan daya saing daerah. Sementara tujuan politiknya adalah demokratisasi pemerintahan melalui pertanggungjawaban langsung kepala daerah kepada konstituen mereka di daerah.
1
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Cina (Yilmaz 2000, Lin dan Liu 2000, dan Feltenstein dan Iwata 2000). Demikian juga ditemukan pelaksanaan desentralisasi di Turki telah menghasilkan tingkat volatilitas investasi swasta yang semakin kecil dan pertumbuhan pendapatan per kapita di banyak provinsi menjadi lebih pesat (Neyapti 2002). Namun sebaliknya, Simanjuntak menunjukan ada juga studi yang menunjukkan bahwa governance justru semakin baik pada desentralisasi penerimaan yang semakin rendah (De Mello dan Barenstein 2001). Hal ini disebabkan karena pada pemerintah daerah, budget constraint cenderung lebih “lunak” di banding pemerintah pusat, adanya vested interest yang kental, terbatasnya basis-basis pajak, serta terbatasnya kapasitas manajemen (Simanjuntak, 2008, hal. 8) Dalam konteks Indonesia, pengaruh desentralisasi terhadap kinerja ekonomi daerah juga masih meragukan. Priyohari (2005) memperlihatkan bahwa desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa dan Bali. Namun sebaliknya Fauziah (2008) memperlihatkan bahwa setelah lima tahun pelaksanaannya, desentralisasi penerimaan cenderung memberi dampak negatif terhadap penerimaan, sedangkan desentralisasi pengeluaran tidak mempunyai pengaruh signifikan tehadap pertumbuhan daerah. Penyebabnya adalah pemerintah daerah yang lebih berorientasi pada PAD daripada PDRB, sehingga mengabaikan perbaikan iklim investasi daerah. Sementara itu, pengaruh desentralisasi terhadap pemerataan di Indonesia, yang dapat dilihat dari konvergensi pertumbuhan daerah, juga tidak terbukti. Studi Sulfi dan Nazara (2009) memperlihatkan bahwa kecepatan konvergensi justru melambat pada periode pasca pemberlakuan otonomi daerah dibanding periode sebelumnya (dari 3,30% menjadi 1,06%).
2
Beberapa persyaratan dibutuhkan untuk melihat efektivitas desentralisasi fiskal dalam mempromosikan ekonomi daerah, antara lain ukuran negara, cakupan privatisasi yang dilakukan, kapasitas pemerintah daerah dalam memobilisasi pendapatan, transparansi, serta kapasitas administrasi dan kelembagaan pemerintah daerah (lihat Simanjuntak 2009, hal 7). Terkait dengan masalah kelembagaan, studi Hall dan Jones (1999) menemukan bahwa infrastruktur sosial merupakan faktor penentu utama mengapa adanya variasi output per tenaga kerja (produktivitas) di berbagai negara di dunia. Mereka menjelaskan bahwa akumulasi modal serta produktivitas dalam suatu perekonomian, yang selanjutnya akan menentukan tingkat output per tenaga kerja, sangat dipengaruhi oleh variasi dari institusi dan kebijakan pemerintah, yang kemudian disebut sebagai variabel infrastruktur sosial. Terkait tujuan pembangunan ekonomi desentralisasi, investasi swasta memainkan peranan yang sangat penting. Dalam konsep ekonomi neoklasik, investasi sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Pertumbuhan investasi juga akan menciptakan peningkatan pendapatan dan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa. Sebagaimana temuan Hall dan Jones (1999), pertumbuhan investasi akan sangat dipengaruhi oleh iklim usaha yang merupakan bagian dari infrastruktur sosial dalam perekonomian. Hal ini juga sudah banyak dibahas oleh berbagai laporan internasional seperti laporan Bank Dunia “Doing Business” maupun laporan World Economic Forum “Global Competitiveness Index.” Iklim usaha yang kondusif sangat diperlukan bagi kegiatan produksi dan distribusi, karena iklim usaha secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi opportunity cost yang dihadapi pengusaha dalam berinvestasi. Iklim investasi yang kondusif akan mendukung proses akumulasi modal melalui reinvestasi profit
2
Programme
Dengan demikian, dalam era desentralisasi, upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif menjadi prasyarat utama untuk mendorong pertumbuhan investasi di daerah. Selama dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, kewenangan untuk menyediakan iklim investasi yang kondusif di tingkat daerah sebagian besar sudah diberikan kepada pemerintah daerah, yaitu terutama dalam hal pemberian pelayanan perijinan maupun nonperijinan. Pendelegasian kewenangan ini terintegrasi dalam berbagai paket kebijakan investasi, dan dilakukan untuk memperbaiki pelayanan pemerintah terhadap dunia usaha agar lebih efektif dan efisien. Namun tidak dapat disangkal, upaya pemerintah daerah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pertama adalah kesiapan pemerintah daerah dalam menerima kewenangan yang dilimpahkan dari pusat masih sangat beragam. Sementara, tantangan kedua adalah komitmen pemerintah daerah dalam menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif yang masih lemah. Memerhatikan kedua tantangan tersebut, serta merujuk pada mandat dari KADIN untuk menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang kondusif, bersih dan transparan, yang memungkinkan keikutsertaan yang seluasluasnya bagi pengusaha Indonesia dalam pembangunan nasional, maka KADIN Indonesia merasa perlu melakukan kajian atas pengaruh iklim investasi daerah terhadap pertumbuhan investasi di daerah. Hal ini dilakukan untuk dapat selanjutnya mendukung Pemerintah
Daerah dalam mengupayakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi di daerah. Pertanyaan dasar yang ingin dijawab dalam policy paper ini adalah: 1) bagaimana tren investasi di daerah pada periode sebelum dan setelah pemberlakuan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah; 2) sejauh mana iklim usaha mempengaruhi perkembangan investasi di daerah, serta 3) tantangan apa saja yang dihadapi pemerintah daerah dalam mewujudkan iklim investasi yang kondusif di daerah. Melalui tiga pertanyaan tersebut, policy paper ini merumuskan beberapa pokok rekomendasi yang dapat menjadi batu pijakan bagi KADIN Daerah melakukan proses advokasi kebijakan. Posisi KADIN dalam hal ini adalah mendorong adanya reformasi regulasi usaha yang efektif di daerah, terkait dengan: 1) penyederhanaan prosedur perizinan usaha, dan 2) penghapusan peraturan dan pungutan yang mengganggu dan memberatkan dunia usaha.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
serta tingkat produktivitas yang tinggi karena proses produksi dapat berlangsung secara efisien.
2. Desentralisasi dan Perkembangan Investasi di Daerah Perkembangan investasi swasta di daerah merupakan salah satu indikator pertumbuhan dunia usaha sebagai motor penggerak pembangunan daerah. Pertumbuhan investasi swasta di daerah dapat dilihat dari nilai pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTB) maupun realisasi investasi penanaman modal di daerah. Dua tabel berikut menampilkan perkembangan investasi di Indonesia dalam 20 tahun.2
Data PMTB yang dikeluarkan BPS merupakan data tentang pengeluaran untuk barang modal yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi. PMTB mencakup bangunan, mesin dan perlengkapan (dalam negeri dan luar negeri), alat angkutan (dalam negeri dan luar negeri), dan lainnya dan tidak termasuk pengeluaran barang modal untuk keperluan militer.
3
Programme
Tabel 1. Nilai PMTB dan PDRB di Indonesia, 1990-2010 (Rp. Juta) Tahun
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
PMTB 43,385,011 50,419,727 57,252,725 89,904,056 107,479,156 127,002,096 155,556,644 166,887,811 201,837,590 225,349,461 251,228,268 284,003,305 322,394,294 371,583,896 474,423,783 552,417,673 655,378,915 772,052,104 941,418,240 1,068,884,594 1,248,727,986
PDRB
%PMTB terhadap PDRB
189,475,840 219,565,787 250,436,259 323,584,085 374,573,942 438,515,463 511,592,971 584,689,331 888,147,970 996,664,195 1,196,397,940 1,366,435,305 1,540,728,695 1,708,891,904 2,210,818,376 2,669,975,426 3,118,308,048 3,535,736,448 4,274,764,503 4,653,067,433 5,284,854,286
22.90 22.96 22.86 27.78 28.69 28.96 30.41 28.54 22.73 22.61 21.00 20.78 20.92 21.74 21.46 20.69 21.02 21.84 22.02 22.97 23.63
Sumber: BPS, data diolah. Keterangan: Nilai PMTB dan PDRB dihitung dari nilai total di seluruh provinsi di setiap tahun.
Tabel 2. Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Indonesia, 1990-2011 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: BKPM
4
PMA (US$ Ribu) Jumlah Proyek Nilai (US$ Ribu) 102 707,074.7 149 1,035,317.7 155 1,911,121.7 184 5,748,542.1 392 3,770,107. 288 6,698,389.6 361 4,696,627.9 332 3,473,415.1 413 5,015,853.4 504 8,228,418 640 11,213,125.7 453 3,502,759.8 448 3,095,934.6 580 5,461,474.2 555 4,578,902.5 914 8,936,278.9 884 6,012,124.9 988 10,356,240.4 1,140 14,883,457. 1,227 10,816,262.1 3,076 16,214,772.3 3,743 19,474,531.5
PMDN (Rp. Juta) Jumlah Proyek Nilai (Rp. Juta) 256 2,399,952.9 265 3,666,133.6 227 5,095,086.4 303 8,269,463.5 584 12,791,923.1 375 11,312,533.1 449 18,603,911.6 345 18,628,825 296 14,877,246.6 250 16,403,940.9 299 20,058,695.4 164 9,900,831.3 112 12,515,439.3 125 12,271,187.3 137 15,416,650.3 217 30,724,262.9 165 20,653,325.3 161 36,199,623.3 243 20,366,933.6 248 37,858,063.1 872 60,626,307.9 1,081 76,000,694.3
Programme
Dilihat dari nilai nominalnya, baik PMTB maupun realisasi investasi di Indonesia cenderung meningkat selama era desentralisasi (2001-2010). Gambar 1 lebih jauh menunjukkan bahwa nilai nominal PMTB cenderung lebih tinggi pada periode setelah desentralisasi (20012010) dibanding periode sebelum desentralisasi (1990-2000). Walaupun demikian, peningkatan PMTB tidak setajam peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB).
Namun perlu diperhatikan bahwa pertumbuhan nilai riil PMTB (harga konstan) di era desentralisasi berjalan sangat lambat, hampir-hampir tidak ada pertumbuhan. Sehingga, pertumbuhan PMTB berdasarkan harga berlaku lebih merupakan efek dari inflasi, demikian pula pertumbuhan nilai PDRB. Gap yang semakin besar antar PMTB berdasarkan harga berlaku dan harga konstan terjadi setelah tahun 2005, dimana inflasi tahunan tahun 2005 mencapai 17,11, kemudian menurun di kisaran 6.60 dan 6.59 di tahun 2006
Gambar 1. Nilai PMTB dan PDRB di Indonesia Pasca Desentralisasi, 2001-2010 (Rp. Juta)
Sumber: BPS, berbagai sumber. Keterangan: PMTB dan PDRB harga konstan berdasarkan tahun dasar 2000.
dan 2007, dan kemudian melompat lagi menjadi 11.06 di tahun 2008. Walaupun inflasi kemudian turun menjadi 2,78 dan 6,69 di tahun 2009 dan 2010, efek dari inflasi tinggi sebelumnya telah membuat nilai PMTB dan PDRB harga berlaku semakin jauh dari harga konstan. Gap harga berlaku dan harga konstan yang lebih besar pada PDRB dibanding PMTB memperlihatkan bahwa inflasi lebih tinggi terjadi pada kelompok barang bukan modal.
Hal yang sama ditemukan saat perkembangan investasi di daerah didekati melalui nilai realisasi penanaman modal di Indonesia. Jika dilihat dari nilai nominal investasi, pertumbuhan realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) cenderung lebih tinggi pada periode setelah desentralisasi. Pertumbuhan nilai PMDN bahwa mengalami lonjakan yang sangat signifikan semenjak tahun 2008, sementara untuk PMA pertumbuhannya jauh lebih lambat.
5
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
2.1. Nilai riil investasi pasca desentralisasi bertumbuh sangat lambat
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 2. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Indonesia, 1990-2011 (Rp. Juta)
Sumber: BKPM 2.2.Desentralisasi belum meningkatkan kontribusi investasi terhadap pendapatan daerah Namun jika dilihat dari kontribusi nilai investasi daerah terhadap total pendapatan atau output daerah, yang dihitung dari total PDRB, maka gambarannya menjadi berbeda. Secara keseluruhan kontribusi PMTB terhadap pembentukan PDRB di Indonesia cenderung lebih besar pada periode sebelum desentralisasi, khususnya sebelum terjadinya krisis ekonomi 1998 (lihat Gambar 1). Pasca
desentralisasi, rasio PMTB terhadap PDRB cenderung menurun jika dilihat berdasarkan harga konstan, yaitu dari 22,23% di tahun 2001 menjadi 19,98% di tahun 2010. Sedikit peningkatan terjadi jika dihitung berdasarkan harga berlaku, yaitu dari 20,78% di tahun 2001 menjadi 23,63% di tahun 2010. Pertumbuhan yang kecil berdasarkan harga berlaku menunjukkan bahwa pertumbuhan kontribusi investasi terhadap pendapatan daerah disebabkan karena tingginya tingkat inflasi, khususnya atas barang modal.
Gambar 3. Tren Rasio PMTB terhadap PDB di Indonesia, 1990-2010
Sumber: BPS, data diolah.
6
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 4. Investasi PMA & PMDN di Indonesia, 1990-2010 (% terhadap PDRB)
Sumber: BKPM & BPS, data diolah. Demikian pula jika dilihat dari rasio nilai realisasi investasi PMA maupun PMDN di Indonesia terhadap PDRB. Rasio investasi terhadap PDRB di Indonesia justru menurun drastis pada periode setelah desentralisasi (2001-2010). Pasca desentralisasi, porsi PMA terhadap PDRB selalu ada di bawah nilai 1%, sementara porsi PMDN hanya sedikit di atas porsi PMA. Pada tahun 2010 porsi PMDN terhadap PDRB hanya 0,31% sementara porsi PMA terhadap PDRB adalah 1,15%.
investasi PMA dan PMDN) terhadap pendapatan atau output daerah (PDRB). Di era desentralisasi, pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB secara riil (berdasarkan harga konstan) hanya terjadi pada periode 20042005, kemudian turun cukup tajam pada 20082009, dan kembali meningkat secara tajam pada 2009-2010. Jika dibandingkan dengan periode sebelum desentralisasi, terlihat taraf pertumbuhan yang lebih stabil ada pada periode setelah desentralisasi.
Hal ini menegaskan bahwa penerapan desentralisasi tidak memengaruhi pertumbuhan kontribusi investasi daerah (baik dihitung melalui nilai PMTB maupun realisasi
Pengujian statistik lebih jauh membuktikan adanya penurunan kontribusi PMTB terhadap PDRB yang signifikan pada periode sebelum dan setelah desentralisasi.
Gambar 5. Pertumbuhan Ratio PMTB terhadap PDRB di Indonesia, 1990-2010
Sumber: BPS, data diolah.
7
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Hal ini memperkuat temuan pada Gambar 3 dan Gambar 4 di atas yang menunjukkan bahwa desentralisasi belum dapat memberi dampak yang positif terhadap perkembangan investasi di daerah. Pengujian t statistik atas perbedaan rata-rata rasio PMTB terhadap GDRP pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi di tingkat nasional maupun di masing-masing propinsi dalam dilihat pada Tabel 3.3
signifikansi 5%). Sementara, analisa lebih jauh
Di tingkat nasional, nilai rata-rata rasio PMTB terhadap PDRB menurun dari 26,48% di periode sebelum desentralisasi menjadi 21,43% di periode setelah desentralisasi (nilai t statistik 39,769 signifikan pada taraf
rata rasio PMTB terhadap PDRB untuk periode
atas 25 provinsi yang mengalami kedua periode tersebut memperlihatkan adanya variasi efektivitas desentralisasi di daerah. Dari 25 provinsi yang di telaah, dampak positif desentralisasi terhadap peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB hanya ditemukan di 5 provinsi, yaitu Aceh, Kalbar, Kalteng, Sulsel dan Papua. Di kelima provinsi ini, nilai ratasetelah desentralisasi lebih tinggi dari pada nilai yang sama untuk periode sebelum desentralisasi, dan perbedaannya signifikan secara statistik.
Tabel 3. Hasil Pengujian t Statistik Rata-rata Rasio PMTB terhadap PDRB di Indonesia Provinsi
INDONESIA Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua
Sebelum Desentralisasi Mean Standar % PMTB/PDRB deviasi
Setelah Desentralisasi Mean Standar % PMTB/PDRB deviasi
Arah Perkembangan
26.48
3.46
21.43
1.00
Menurun*
8.91 23.63 20.99 26.64 25.31 27.96 30.48 24.65 41.97 21.69 21.28 24.36 25.26 20.35 24.85 29.78 18.90 24.19 19.30 23.73 19.02 23.99 31.47 22.20 19.65 23.77
2.71 5.99 5.83 3.24 6.18 6.06 8.98 8.48 5.60 3.36 1.56 3.17 3.16 7.36 7.28 8.62 5.03 4.48 5.59 4.73 3.66 6.24 10.61 3.92 7.59 15.32
11.55 16.91 18.84 25.89 15.39 20.83 11.45 17.83 36.56 16.10 17.62 29.29 18.00 16.14 27.65 39.18 16.19 13.30 21.06 17.57 19.06 22.52 22.89 16.14 4.78 24.87
4.49 2.71 1.14 2.44 1.45 1.83 2.73 0.82 1.32 1.01 1.09 3.81 0.84 5.00 2.10 3.79 4.45 1.52 3.92 0.93 2.15 1.73 1,85 3,56 1,19 3,80
Meningkat* Menurun Menurun* Menurun Menurun* Menurun* Menurun* Menurun* Menurun* Menurun* Menurun Meningkat Menurun* Menurun Meningkat* Meningkat* Menurun Menurun* Meningkat Menurun* Meningkat* Menurun* Menurun Menurun Menurun* Meningkat*
Uji t statistik F Sig. 39.769 6.412 3.394 22.321 1.107 16.032 11.531 7.218 46.248 31.046 13.057 .881 .982 12.156 .203 15.395 15.914 .066 6.738 .664 31.621 10.229 19.418 4.138 .150 7.448 45.202
.000 .020 .081 .000 .306 .001 .003 .015 .000 .000 .002 .360 .334 .002 .657 .001 .001 .799 .018 .425 .000 .005 .000 .056 .703 .013 .000
Sumber: BPS, data diolah. Keterangan: * signifikan pada tingkat kepercayaan di atas 95%; Data memakai harga berlaku.
3
Uji t statistik adalah pengujian untuk melihat apakah perbedaan rata-rata persentase PMTB terhadap PDRB pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi signifikan secara statistik pada taraf kepercayaan di atas 95%.
8
Nampaknya, kesiapan sebagian besar daerah dalam pelaksanaan desentralisasi masih belum memadai, sehingga efektivitas desentralisasi dalam mendorong pertumbuhan investasi di daerah sangat rendah. Sebagaimana dikemukakan oleh Brodjonegoro (2003), pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan suatu pendekatan Big Bang, karena dilakukan dalam jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk kondisi geografis yang sangat menyulitkan. Lebih buruknya lagi,
4
Programme
penerapan desentralisasi fiskal juga terjadi di tengah kesenjangan pertumbuhan daerah yang cukup lebar. Akibatnya kesiapan daerah menjadi sangat bervariasi. Sebenarnya hal ini diatasi pemerintah dengan penerapan alokasi transfer dana alokasi umum (DAU) yang berbeda antar daerah, dimana daerah dengan tingkat pertumbuhan tinggi mendapat dana DAU yang semakin kecil. Namun, hal yang menarik untuk dicermati adalah tidak satupun dari provinsi yang mengalami dampak positif dari desentralisasi terhadap rasio PMTB terhadap PDRB di atas merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Dengan demikian, perolehan dana DAU dalam hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap efektivitas desentralisasi tersebut.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Sebaliknya, dampak negatif desentralisasi terhadap peningkatan rasio PMTB terhadap PDRB ditemukan di 12 provinsi, yaitu Sumbar, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jatim, Kaltim, Sulteng, Sultra dan Maluku. Pada 12 provinsi ini, rasio PMTB terhadap PDRB justru semakin menurun setelah adanya desentralisasi, dan penurunannya signifikan secara statistik. Di 9 provinsi lainnya, yaitu Sumut, Riau, Jateng, DIY, Bali, Kalsel, Sulut dan NTB, dan NTT, efek dari desentralisasi terhadap rasio PMTB terhadap PDRB tidak signifikan secara statistik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi tidak memberikan dampak yang nyata di 9 provinsi di atas. Kontribusi investasi terhadap pendapatan atau output daerah yang cenderung semakin rendah di era desentralisasi mengindikasikan peran investasi yang justru semakin marginal setelah diterapkannya desentralisasi fiskal. Hal ini memperlihatkan semakin kecilnya kontribusi kegiatan produksi terhadap pendapatan daerah. Dengan demikian, output daerah semakin bergantung pada variabel lain diluar investasi, khususnya pengeluaran konsumsi rumah tangga.
2.3. Pengaruh desentralisasi terhadap efisiensi ekonomi juga belum nyata Belum nyatanya pengaruh dari desentralisasi terhadap perkembangan investasi di daerah juga terlihat saat menghitung besaran koefisien Incremental Input Output Ratio (ICOR) pada periode 19912010.4 Jika dihitung rata-ratanya, nilai rata-rata ICOR pada periode sebelum desentralisasi (5,0924) lebih tinggi dibanding rata-rata ICOR pada periode setelah desentralisasi (4,608). Walaupun demikian, perbedaan rata-rata ICOR pada dua periode tersebut tidak signifikan berdasarkan statistik (lihat Tabel 4). Angka ini mencerminkan bahwa untuk meningkatkan Rp. 1 unit output dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp. 5,0924 pada periode sebelum desentralisasi dan Rp. 4,608 pada periode
Nilai ICOR menunjukan pengaruh tambahan stok kapital terhadap output dan seberapa efisien investasi yang ditanamkan pada satu periode waktu. Nilai ICOR dihitung berdasarkan model yang dibangun oleh Harrod-Domar dalam persamaan ICOR = K/ Y, dimana K = tambahan stok kapital dan Y = tambahan output atau pendapatan wilayah (PDRB). Karena besarnya K = I, yaitu investasi, maka ICOR = I/ Y.
9
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 4. Pengujian t Statistik atas Koefisien ICOR di Indonesia Periode 1991-2010 Sebelum Desentralisasi (1991-2000)
Setelah Desentralisasi (2001-2010)
Rata-rata
5.0924
4.608
Standar deviasi
5.186
0.891
Nilai t statistik
Sig.
3.385*
.082
Sumber: BPS, data diolah. Keterangan: - Dihitung berdasarkan harga konstan tahun 1983, 1993, dan 2000. - Hasil t test tidak signifikan pada derajat kepercayaan di atas 95%.
setelah desentralisasi. Angka ICOR di atas 4 pada kedua periode tersebut masih menunjukan adanya inefisiensi dalam pemakaian investasi. Ada asumsi bahwa nilai ICOR yang dianggap menunjukan produktivitas investasi di negara berkembang berkisar diantara 3 dan 4. Perlu dijelaskan bahwa perhitungan ICOR disini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa mayoritas investasi selama periode-t mempunyai lag 0, artinya investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t akan memberikan tambahan output pada tahun ke-t itu juga.
Walaupun demikian, dengan melihat tren perkembangan ICOR sejak 1991-2010, terlihat bahwa nilai ICOR lebih stabil di era desentralisasi. Sebaliknya, nilai ICOR lebih berfluktuasi pada periode sebelum desentralisasi, terutama karena adanya krisis moneter 1998.5 Dari Gambar 5 di bawah terlihat bahwa nilai ICOR juga cenderung menurun sejak tahun 2001, dan selama 2005-2010 nilainya stabil di kisaran 4.35 (tahun 2006) hingga 3.49 (tahun 2010). Sekilas terlihat adanya peningkatan tingkat utilisasi kapasitas produksi yang kemudian menurunkan nilai ICOR di era desentralisasi.
Gambar 5. Perkembangan ICOR Indonesia, 1990-2010
Sumber: BPS, data diolah. Keterangan: Data PMTB dan PDRB tahun 1990-1992 memakai nilai konstan tahun 1983, tahun 1993-2003 memakai nilai konstan tahun 1993, dan tahun 2004-2010 memakai nilai konstan tahun 2000. Khusus untuk perhitungan tahun 2004, data PMTB dan PDRB tahun 2003 memakai nilai konstan tahun 2000.
10
Hal ini selaras dengan temuan Fauziah (2008) tentang kaitan antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah yang menyatakan bahwa desentralisasi penerimaan di Indonesia cenderung memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut studi Fauziah tersebut menekankan bahwa kesuksesan desentralisasi tidak dapat diperoleh hanya dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah, termasuk dalam hal keuangan. Hal yang mendasar adalah perlunya mengembangkan lingkungan yang cocok bagi berlangsungnya desentralisasi, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (lihat Simanjuntak 2008). Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap peran investasi di daerah dalam meningkatkan
Merujuk pada studi-studi tersebut, paper ini ingin menggali lebih dalam pengaruh dari iklim usaha, yang tidak lain merupakan cerminan dari infrastruktur sosial didalam masyarakat. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah, sejauh mana pengaruh desentralisasi yang tidak nyata atas perkembangan investasi
11
Programme
Analisa atas perkembangan investasi pada periode sebelum dan setelah desentralisasi di atas memperlihatkan bahwa pengaruh positif penerapan desentralisasi fiskal terhadap perkembangan investasi di daerah belum dapat dibuktikan. Walau secara nominal nilai investasi di daerah meningkat, namun secara riil peningkatan tersebut lebih disebabkan oleh inflasi. Sementara itu, jika dibanding dengan periode sebelum desentralisasi, kontribusi investasi terhadap pendapatan maupun output daerah justru lebih kecil pada periode setelah desentralisasi. Hanya ada 5 dari 25 provinsi yang ditelaah yang mengalami pertumbuhan rasio PMTB terhadap PDRB setelah desentralisasi. Sementara itu, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara ratarata ICOR Indonesia pada periode sebelum dan setelah desentralisasi juga menunjukan belum adanya manfaat yang nyata dari desentralisasi terhadap efisiensi perekonomian daerah.
pendapatan atau output daerah yang belum begitu nyata mengundang pertanyaan lebih lanjut tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan desentralisasi tersebut belum bisa menciptakan market preserving effect kepada pembangunan ekonomi daerah. Sebagaimana temuan Fauziah di atas, kajian Hall dan Jones (1999) atas 127 negara atas pertanyaan mengapa suatu negara dapat jauh lebih produktif, diukur dari output per pekerja, dibanding negara lain, juga menemukan hal yang sama. Studi ini menemukan bahwa dengan menggunakan model fungsi produksi yang dikembangkan oleh Solow (1957), perbedaan intensitas kapital serta tingkat pendidikan antar negara justru bukan merupakan faktor yang utama yang mempengaruhi perbedaan output per pekerja, tetapi justru variabel residual dari model tersebut, yang kemudian mereka sebut sebagai variabel infrastruktur sosial. Infrastruktur sosial dalam kajian ini mencakup regulasi pemerintah dan institusi dalam masyarakat. Dalam studi tersebut, proksi untuk variabel sosial infrastruktur adalah indeks Government Anti-Diversion Policy (GADP) yang dikeluarkan International Coutry Risk Guide dan indeks Sachs dan Warner (1995) tentang keterbukaan negara terhadap perdagangan internasional. Dengan merujuk pada kedua indeks tersebut, mereka kemudian membuktikan bahwa perbedaan 0.01 persen dalam infrastruktur sosial di 127 negara berpengaruh terhadap perbedaan output per pekerja sebesar 5.14 persen (hal. 105).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
2.4. Pengaruh positif desentralisasi terhadap investasi di daerah belum dapat dibuktikan
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
di daerah dapat dijelaskan oleh variabel iklim usaha di daerah. Perkembangan investasi yang justru negatif pada periode setelah desentralisasi, yaitu jika diukur dari rasio investasi terhadap penerimaan atau output daerah, dianalisa kaitannya dengan indeks iklim usaha di daerah.
3. Iklim Usaha dan Perkembangan Investasi di Daerah Meningkatkan daya saing ekonomi dengan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional di dalam Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Upaya ini diarahkan terutama melalui berbagai reformasi kebijakan usaha yang dapat meningkatkan kemudahan dalam mendirikan usaha, mendorong investasi dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja. Namun demikian, reformasi regulasi usaha yang dilakukan di Indonesia masih belum cukup cepat untuk mendukung peningkatan investasi, termasuk investasi asing. Peringkat Indonesia dalam laporan Bank Dunia “Doing Business” tahun 2012 memperlihatkan posisi Indonesia yang tidak mengalami perbaikan dari peringkat ke-129 di 2009, ke-122 di 2010, ke-121 di 2011 dan ke-129 di 2012. Berdasarkan survey yang dilakukan World Economic Forum/WEF (2012), birokrasi yang berbelit-belit (nilai 15.4) dan korupsi (nilai 14.2) menjadi momok utama dalam dunia usaha, lebih daripada masalah buruknya infrastruktur (nilai 8.7), regulasi tenaga kerja yang kaku (nilai 6.8) atau bahkan regulasi pajak yang berlaku (nilai 5.1). Berbagai temuan di atas juga diperkuat oleh temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2011 untuk iklim usaha di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi
12
di Indonesia. Studi ini memperlihatkan bahwa iklim investasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi. Beberapa temuan penting dalam studi ini adalah: 1) infrastruktur merupakan penghambat utama dunia usaha, 2) akses terhadap lahan, termasuk pengurusan ijin peruntukan lahan, masih dinilai bermasalah; 3) masih banyak peraturan daerah yang berpotensi menciptakan biaya transaksi tinggi karena masih belum selaras dengan UU No. 28/ 2009 tentang pajak dan retribusi daerah; dan 4) penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah ternyata belum cukup efektif, karena banyak yang justru tidak berfungsi memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan ketetapannya. Khusus tentang PTSP, studi ini menemukan bahwa biaya yang lebih mahal dari ketentuan dan waktu yang relatif lama untuk memperoleh ijin masih dialami oleh pelaku usaha (2011, hal. 101-102). Temuan studi KPPOD di tingkat kabupaten/kota di 19 provinsi tersebut juga tidak jauh berbeda dengan temuan studi KPPOD tahun 2008 tentang iklim investasi di 33 provinsi di Indonesia. Infrastruktur adalah kendala utama bagi dunia usaha, diikuti dengan kesulitan akses tanah dan ketidakpastian kepemilikan lahan. Hal yang menarik dari temuan ini adalah banyak pengusaha tidak merasa terganggu dengan prosedur perizinan, pajak dan retribusi daerah, padahal banyak perusahaan yang tidak mempunya izin resmi. Sementara itu, keamanan berusaha dan konflik sosial di sekitar lokasi usaha dipandang sebagai kendala oleh pelaku usaha, sehingga tidak sedikit pengusaha mengeluarkan biaya keamanan tambahan kepada berbagai pihak (hal. 37-38). Peringkat dan indeks iklim investasi di 33 provinsi di Indonesia hasil temuan KPPOD (2008) dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah, disandingkan dengan data investasi dan pendapatan daerah.
Iklim Usaha Peringka t
Nilai
Realisasi Investasi PMA & PMDN (Rp. Juta)
PMTB (Rp. Juta)
PDRB (Rp. Juta)
2008
2009
2009
2009
Sulawesi Utara
1
71.18
597,469.40
8,961,668
33,033,600
Jawa Tengah
2
68.51
3,432,496.60
77,408,666
397,904,000
Kalimantan Selatan
3
64.45
2,503,271.40
10,273,359
51,460,200
Gorontalo
4
63.72
-
1,491,665
7,069,050
Sulawesi Selatan*
5
63.29
1,869,200.00
22,274,612
99,954,600
Jawa Timur
6
63.22
8,312,891.05
122,639,583
686,848,000
Kalimantan Timur
7
62.23
841,373.40
39,242,630
284,967,000
Kepulauan Riau
8
61.37
2,431,414.65
38,169,644
63,892,900
Kalimantan Barat*
9
60.73
780,964.10
15,532,144
54,234,100
Bali
10
60.71
2,208,782.80
13,427,562
60,292,200
Aceh*
11
60.34
83,414.30
12,579,775
71,694,500
DKI Jakarta
12
60.03
62,048,897.70
263,468,267
757,697,000
Kalimantan Tengah*
13
59.86
1,510,483.80
16013503
37,114,200
Jambi
14
59.68
598,584.45
7,401,965
44,127,000
Jawa Barat
15
59.44
23,156,866.40
116,396,431
689,841,000
Kepulauan Bangka Belitung
16
59.17
462,603.55
6,135,022
22,982,000
Sulawesi Tengah
17
58.38
31,363.30
5,448,379
32,395,400
Riau
18
57.5
5,776,910.25
72,806,509
297,173,000
Sumatera Selatan
19
56.78
1,119,706.35
31,453,571
137,332,000
Sumatera Barat
20
56.54
460,900.70
14,177,270
76,752,900
Banten
21
56.38
17,795,444.45
40,992,090
151,980,000
Lampung
22
54.65
860,501.05
16,325,471
87,842,800
Maluku
23
54.44
-
421,151
7,069,640
DI. Yogyakarta
24
54.14
109,670.80
13,964,317
41,407,000
Maluku Utara
25
53.05
55,983.50
447,618
4,690,570
Papua*
26
52.62
57,931.90
20,809,024
77,728,600
Nusa Tenggara Barat
27
51.59
25,650.00
11,056,065
42,410,900
Nusa Tenggara Timur
28
50.84
37,623.80
3,702,522
24,179,000
Sulawesi Barat
29
50.35
-
1,494,342
9,403,380
Sumatera Utara
30
50.26
3,388,352.00
49,982,798
236,354,000
Bengkulu
31
50.18
9,975.00
1,724,769
15,920,800
Sulawesi Tenggara
32
46.88
34,326.35
7,037,949
30,103,500
Papua Barat
33
46.45
9,500.00
5,624,236
17,214,100
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Provinsi
Programme
Tabel 5. Iklim Investasi, Nilai Investasi dan PDRB di 33 Provinsi di Indonesia, 2008-2009
Sumber: KPPOD, BKPM, BPS. Keterangan: * provinsi yang mengalami dampak positif dari desentralisasi pada Tabel 3.
13
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
3.1. Pengaruh iklim usaha terhadap perkembangan investasi sangat signifikan Untuk menguji lebih jauh pengaruh dari iklim usaha dan investasi di daerah terhadap kinerja ekonomi daerah, maka selanjutnya paper ini membangun suatu model struktural untuk menguji secara kuantitatif pengaruh perbedaan iklim investasi antar daerah terhadap perbedaan rasio investasi terhadap pendapatan daerah, sebagai berikut6:
dimana I adalah investasi daerah, Y adalah pendapatan daerah, dan IKLIM adalah iklim investasi daerah. Data nilai investasi daerah (PMTB tahun 2009 dan nilai realisasi investasi PMA dan PMDN tahun 2009), pendapatan daerah (PDRB tahun 2009) dan indeks iklim
usaha (Indeks KPPOD tahun 2008) untuk 33 provinsi di Indonesia selanjutnya menjadi dasar pengujian regresi model tersebut di atas. 7 Indeks Iklim Investasi yang dikembangkan oleh KPPOD tersebut dianggap dapat mewakili variabel iklim usaha karena cakupannya yang luas yang mencakup 10 komponen penilaian, yaitu komponen: kelembagaan pelayanan, promosi investasi daerah, komitment pemerintah provinsi dalam pengembangan dunia usaha, infrastruktur, akses lahan usaha, tenaga kerja, keamanan berusaha, kinerja ekonomi daerah, serta peranan dunia usaha dalam perekonomian daerah. Hasil pengujian regresi linear atas persamaan investasi linear rasio investasi terhadap pendapatan di daerah tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Regresi Rasio Investasi terhadap Pendapatan Daerah
Ln PMA-PMDN/PDRB = - 32.599 + 6.963 Ln IKLIM (0.024) (0.049)* R2 = 0.119; Adj R = 0.091 Ln PMTB/PDRB = .243 + .694 Ln IKLIM (0.938) (0.368)** R2 = 0.027; Adj R = -0.005
Keterangan:* signifikan pada taraf kepercayaan di atas 95%. ** tidak signifikan pada taraf kepercayaan di atas 95%. Temuan di atas membuktikan secara statistik bahwa iklim usaha berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan rasio investasi terhadap pendapatan daerah. Perbaikan iklim investasi di daerah akan
6
7
meningkatkan kontribusi investasi terhadap penerimaan atau output daerah, dan demikian sebaliknya. Dari hasil temuan di atas, ditemukan bahwa pengaruh tersebut secara signifikan ditemukan atas rasio nilai
Model ini merujuk pada model yang dipakai oleh Hall dan Jones (1999) untuk mengukur pengaruh dari perbedaan infrastruktur sosial antar negara terhadap kinerja ekonomi, yang dalam studi mereka adalah pendapatan antar negara. Laporan KPPOD tentang Pemeringkatan Iklim Investasi tahun 2008 dipilih karena dilakukan pada tingkat provinsi, bukan kabupaten/ kota, sehingga dapat dilakukan analisa selanjutnya tentang hubungan iklim investasi dengan perkembangan investasi di daerah. Pada studi ini, iklim investasi dihitung melalui survey pendapat pelaku usaha di 33 provinsi di Indonesia, yang mencakup 1.144 responden, terdiri atas 36% pelaku usaha kecil, 39,1% pelaku usaha menengah, dan 18,8% pelaku usaha besar.
14
Hubungan positif yang kuat antara iklim investasi dan rasio penanaman modal terhadap PDRB di daerah selanjutnya turut menjelaskan mengapa desentralisasi masih belum dapat memberikan manfaat yang positif terhadap perkembangan investasi di daerah. Daerah-daerah yang mengalami efek negatif dari desentralisasi, cenderung memiliki iklim usaha yang tidak kondusif terhadap kegiatan-kegiatan produksi. Jika merujuk pada Tabel 3 dan Tabel 5 di atas, terlihat bahwa kelima provinsi yang secara signifikan mengalami efek positif dari desentralisasi, yaitu memiliki rata-rata rasio PMTB terhadap PDRB lebih besar pada periode setelah desentralisasi dibanding periode sebelum desentralisasi, adalah provinsi-provinsi yang memiliki peringkat iklim investasi relatif tinggi. Selain Papua (peringkat ke-26), keempat provinsi lainnya (Aceh, Kalbar, Kalteng, dan Sulsel) menempati posisi 13 teratas dalam pemeringkatan KPPOD.
1.1.Tantangan pemerintah daerah dalam memperbaiki iklim usaha di daerah
8
Tantangan pertama adalah kesiapan pemerintah daerah dalam menerima kewenangan yang dilimpahkan dari pusat masih sangat beragam, sehingga pelayanan investasi antar daerah juga masih berbedabeda. Kesiapan pemerintah daerah yang lemah kemudian secara langsung dan tidak langsung turut mempengaruhi perkembangan investasi dan iklim usaha di daerah. Menurut studi Bank Dunia (2012) tentang Doing Business di 20 kota di Indonesia, reformasi regulasi usaha walaupun sudah cukup banyak dilakukan di daerah, namun persyaratan perizinan yang berlaku di daerah, baik untuk mendirikan usaha, izin-izin mendirikan bangunan, dan pendaftaran properti, masih berbeda-beda antar daerah. Tidak terdapat keseragaman persyaratan perizinan, termasuk biaya resmi yang ditetapkan, di berbagai daerah.8 Terkait
Misalnya saja, untuk mendirikan usaha di Yogyakarta dan Palangkaraya, seorang pengusaha membutuhkan waktu selama 5 hari untuk menjalankan 1 prosedur, sementara di Pontianak 15 hari untuk 3 prosedur untuk memperoleh surat izin usaha perdagangan, tanda daftar perusahaan dan izin lokasi. Sementara biaya bisa mencapai 30,8% pendapatan per kapita di Manado dan hanya 17,8% di Pontianak. Sementara itu, untuk izin mendirikan bangunan, terdapat perbedaan efisiensi yang cukup besar antar kota. Seorang pengusaha harus menghadapi 7 persyaratan di Medan dan Yogyakarta dan 14 persyaratan di Manado untuk membangun gudang dan memperoleh sambungan layanan utilitas. Sementara semua perizinan dan persetujuan prinsip tersebut dapat diperoleh dalam waktu 42 hari di Banda Aceh, namun memerlukan waktu 158 hari di DKI Jakarta. Demikian juga dalam hal pendaftaran properti, walaupun umumnya kota-kota menerapkan menetapkan 6 prosedur, namun waktu yang diperlukan
15
Programme
Iklim usaha di daerah terbukti sangat menentukan perkembangan investasi riil di daerah, diukur dari rasio penanaman investasi terhadap PDRB. Dengan demikian, upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif menjadi prasyarat utama untuk mendorong pertumbuhan investasi di daerah. Dalam era desentralisasi, pemerintah daerah bertanggung jawab dalam menciptakan iklim usaha dan investasi di wilayahnya. Secara khusus, pemerintah provinsi bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan usaha dan investasi di level provinsi dan yang bersifat lintas kabupaten/kota, termasuk di dalamnya pelayanan investasi. Namun dalam pelaksanaannya, ada dua tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam memperbaiki iklim usaha di daerah.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
penanaman modal (PMA dan PMDN) terhadap PDRB, bukan atas rasio PMTB terhadap PDRB. Interpretasi atas temuan tersebut adalah bahwa perbedaan 0.01 dalam pemeringkatan iklim usaha daerah menjelaskan adanya perbedaan 6.963% rasio nilai penanaman modal (PMA dan PMDN) terhadap PDRB. Hasil regresi ini mengkonfirmasi temuan Hall dan Jones (1999) tentang besarnya pengaruh infrastruktur sosial terhadap kinerja ekonomi yang telah dibahas di atas.
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
dengan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau PTSP (Permendagri No. 24 Tahun 2006 sesuai Inpres No. 3 Tahun 2006), kajian KPPOD (2011) menemukan bahwa belum seluruh kabupaten/kota yang disurvey telah memiliki PTSP, sementara itu, pendirian PTSP di daerah tidak menjamin adanya kualitas pelayanan yang baik.9 Sebagai konsekuensinya, kajian tersebut juga menemukan masih cukup banyak pelaku usaha yang belum memiliki izin. Hanya sekitar 50% pelaku usaha memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) yang seharusnya diwajibkan untuk seluruh pelaku usaha, dan 58% yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Menurut Gultom (2012), variasi pemberlakuan regulasi usaha di daerah mengindikasikan adanya interpretasi pemerintah daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat yang masih beragam dan sangat bergantung pada kepentingan lain di daerah. Hal ini terkait dengan tantangan selanjutnya, yaitu, komitmen pemerintah daerah dalam menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif seringkali berbenturan dengan kepentingan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu upaya meningkatkan PAD adalah dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda) terkait dengan penerimaan pajak dan retribusi daerah. Seringkali Perda-perda tersebut dipakai menjadi alat bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengambil-alihan (diversion) manfaat dari produksi dan investasi melalui pajak dan retribusi daerah, atau sering diistilahkan sebagai confiscatory taxation. Semakin besar pengambil-alihan tersebut, maka semakin kecil pengembalian investasi (return on investment) dari suatu investasi. Hal ini selanjutnya dapat membuat hasil produksi menjadi tidak efisien dan memiliki daya saing rendah. Hingga tahun 2012, Pemerintah Pusat sudah mengidentifikasi 13.520 Perda yang berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi 9
Lihat Gultom (2012) untuk permasalahan izin mendirikan usaha.
16
investor dan sebanyak 824 Perda yang sudah dibatalkan (Pidato Kenegaraan Presiden RI pada 16 Agustus 2012). Berdasarkan kajian KPPOD (2011), dari 1480 perda yang dikaji, 17% persen mengandung permasalahan karena menimbulkan dampak ekonomi negatif, yaitu perda retribusi daerah yang menyebabkan adanya pungutan berganda karena perusahaan harus membayar pajak di pusat dan daerah atau di dua wilayah yang berbeda. Hal ini terutama ditemui pada perdagangan komoditas, seperti peraturan-peraturan sektor perkebunan, pertambangan, peternakan, dan pertanian, yang mengenakan pungutan pada komoditas yang dibawa keluar daerah atau diangkut antar wilayah. Hal ini selanjutnya berdampak negatif kepada investasi karena memicu peningkatan harga jual, menurunkan daya saing, dan bahkan menghambat perdagangan antar wilayah. Berbagai regulasi usaha yang berbelit-belit serta perda-perda yang bermasalah merupakan pemicu adanya biaya transaksi tinggi yang harus dihadapi pelaku usaha di daerah. Gultom (2012) menjelaskan bahwa regulasi usaha yang berbelit-belit menimbulkan biaya transaksi tinggi dalam bentuk biaya mencari informasi, biaya menggunakan jasa pihak ketiga, dan biaya tidak resmi (suap) terkait dengan pengurusan perizinan. Sementara itu, kajian KPPOD (2011) mendefinisikan biaya transaksi resmi sebagai pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga (SP3) yang ditetapkan melalui peraturan daerah serta biaya ilegal/pungutan liar yang dibayarkan pengusaha untuk biaya keamanan kepada oknum polisi, tentara, organisasi kemasyarakatan, dan preman. Semakin tinggi biaya-biaya transaksi yang ditanggung pengusaha berarti semakin tidak kondusif iklim usaha di daerah. Dengan demikian, kedua tantangan tersebut di atas perlu menjadi perhatian utama bagi pemerintah daerah dalam memperbaiki iklim usaha daerah guna meningkatkan rasio investasi dan penanaman modal di daerah terhadap output/pendapatan daerah.
Hasil pengujian statistik yang memperlihatkan adanya hubungan positif yang kuat antara iklim investasi dan rasio penanaman modal terhadap PDRB di daerah menjadi kunci jawaban utama dalam menjelaskan mengapa desentralisasi masih belum dapat memberikan manfaat yang positif terhadap perkembangan investasi di daerah. Daerah-daerah yang mengalami efek negatif dari desentralisasi, cenderung memiliki iklim usaha yang tidak kondusif terhadap kegiatan-kegiatan produksi. Kewenangan untuk menyediakan iklim investasi dan usaha yang kondusif di tingkat daerah sebagian besar sudah diberikan kepada pemerintah daerah, yaitu terutama dalam hal pemberian pelayanan perijinan maupun nonperijinan. Namun dua tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam hal ini adalah kesiapan pemerintah daerah yang masih sangat beragam dan komitmen pemerintah daerah dalam menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif yang seringkali berbenturan dengan kepentingan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Terkait dengan kedua tantangan tersebut serta mandat dari KADIN untuk menciaptakan dan
1.
Perlunya pemerintah daerah terus berupaya untuk memperbaiki iklim investasi di daerah dan melakukan berbagai reformasi kebijakan dan regulasi usaha dengan merujuk pada temuan-temuan kajian KPPOD tentang Iklim Investasi atau Tata Kelola Ekonomi Daerah maupun berbagai laporan dari lembaga lokal maupun lembaga internasional lainnya, seperti laporan Bank Dunia tentang Doing Business di Indonesia dan laporan World Economic Forum tentang Indeks Persaingan Global.
2.
Perlunya pemerintah daerah membentuk lembaga pengawas pengembangan iklim investasi dan usaha di daerah yang terutama melibatkan KADIN Indonesia dan KADIN Daerah, serta para pemangku kepentingan lainnya, dalam hal memonitoring dan mengevaluasi perbaikan iklim usaha di daerah. Lembaga ini selanjutnya bertugas untuk memonitoring dan mengevaluasi iklim investasi dan usaha di daerah berdasarkan: 1) indikator-indikator proses, yaitu indikatorindikator tata kelola ekonomi daerah yang disusun oleh KPPOD, dan 2) indikatorindikator output atau outcome yang akan mengukur dampak dari kondisi tata kelola ekonomi di suatu daerah terhadap perkembangan rasio investasi terhadap output/pendapatan daerah, tingkat produktivitas dan daya saing daerah, serta pertumbuhan ekonomi yang riil di daerah.
17
Programme
Pengaruh positif desentralisasi fiskal terhadap peran investasi di daerah dalam meningkatkan pendapatan atau output daerah masih belum terlihat. Nilai investasi di daerah walaupun meningkat secara nominal, namun secara riil peningkatan tersebut lebih disebabkan oleh inflasi. Sementara itu, jika dibanding dengan periode sebelum desentralisasi, kontribusi investasi terhadap pendapatan maupun output daerah justru lebih kecil pada periode setelah desentralisasi. Hal ini ditemukan secara umum di Indonesia, khususnya di 20 dari 33 provinsi yang ada. Sementara itu, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara rata-rata ICOR Indonesia pada periode sebelum dan setelah desentralisasi, sehingga belum terlihat dampak dari desentralisasi terhadap efisiensi pemakaian investasi di daerah.
mengembangkan iklim usaha yang kondusif, bersih dan transparan, yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia dalam pembangunan nasional (UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang Industri), maka posisi KADIN dalam hal ini adalah mendorong adanya reformasi regulasi usaha yang efektif di daerah, terkait dengan: 1) penyederhanaan prosedur perizinan usaha, dan 2) penghapusan peraturan dan pungutan yang mengganggu dan memberatkan dunia usaha. Berberapa rekomendasi teknis terkait dengan hal tersebut mencakup:
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Daftar Pustaka Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi pada Kabupaten/Kota se Jawa-Bali. Jurnal Interdisipliner Kritis, Universitas Kristen Satya Wacana. Bohte, John dan Kenneth J Meier. 2000. The Marble Cake : Introducing Federalism to The Government Growth Equation. Publius. Summer. Hal : 35 – 99. Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martines Vasques. 2002. An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospect. George State University. Andrew Young School of Policy Studies. Working Paper. Brodjonegoro, Bambang. 2003. Dua Setengah Tahun Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya Terhadap Upaya Mengurangi Kemiskinan dan Mendorong Investasi. Fauziah. 2008. Fiscal Decentralization and Economic Growth. Bab 4 dari Disertasi Doktor Hitotsubashi University, Jepang. Gultom, Yohanna M.L. 2012. Biaya Transaksi di Indonesia: Studi Kasus Regulasi Membuka Usaha. Policy Paper Program Active KADIN Indonesia No. 4, April. Hall, Robert E. & Charles I. Jones. 1999. Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker than Others?, The Quarterly Journal of Economics, Vol. 114, No. 1 (Feb., 1999), hal. 83-116, Oxford University Press. Mahmud, M. Farid, Incremental Capital Output Ratio: Barometer Efisiensi Perekonomian Nasional, Jurnal Ekonomi Bisnis No. 1 Vol. 13, April 2008. Oates, Wallace E. 1995. Comment on “Conflict and Dillemas of Decentralization” by Rudolf Holmes. The World Bank Research Observer. Hal : 351 – 353. Simanjuntak, Robert A. 2008. Desentralisasi Fiskal dan Manajemen Makroekonomi serta Urgensi Suatu Grand Design di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, November. Sufii, Sukadana dan Suahasil Nazara. 2009. Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia Sebelum dan Sesudah Pemberlakukan Otonomi Daerah. Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 5 No. 1, Oktober. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi. 2011. Statistik Perekonomian. Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah/KPPOD dan Asia Foundation. 2011. Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011: Survey Pelaku Usaha di 245 Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 2008. Pemeringkatan Iklim Investasi 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2008. Jakarta. World Bank. 2012. Doing Business di Indonesia 2012: Memperbandingkan Kebijakan Usaha di 20 Kota dan 183 Perekonomian, Washington, DC: The World Bank Group. World Economic Forum. 2012. The Global Competitiveness Report 2012-2013, Geneva: World Economic Forum.
18