ABSTRACT ZEFRI, Spatial Palnning Model for Coastal Area. Case Study : Kabupaten Bekasi North Coastal Area. Promotors : Kadarwan Soewardi as Chair, Luky Adryanto as members and Budhy Tjahjati as members, The propose of the study is to purposes as spatial planning model for coastal areas, integrating land and marine aspect. The complexity of issues in coastal areas such as heterogentiy of life, potentials of economic resources, and tobe explored and developed. Coastal areas as the basic matrix for development is dynamic, difficult for clear and exact delineation, and do not have clear management boundaries. The approach employed to formulate the spatial planning model for coastal areas is a descriptive method both quantitative and qualitative. The dynamics taking place in coastal areas require different planning approach from a land based spatial planning, and the main indicators are its carrying capacity, land suitability and economic value of each land utilitation. These indicators also be applied in the coastal zone spatial planning model purposed in this study, with the necessary modification as appropriate in coastal zone. The main issue in developing coastal zones are the heterogeneity of resources and activities in coastal areas which need to be planned and developed, which conserving its sustainability. Development of the coastal area planning model will be based on three analysis : 1. Land sustainability analysis 2. Land carrying capacity analysis 3. Economic valuation analysis Activity taking place in the land part of the coastal area will have an impact on its water condition such as pollution levels of the BOD, COD, TSS and water turbidity. Changes in water condition are integrated by population activities on the land part of the coastal zone. Change in the ecosystem is represented by the aggregate changes taking place in the land and the water part of the coastal zone. Main factors influencing the spatial planning process of the coastal zone are: 1. Land sustainability factors, which originaled from; a) the ocean based factors such as depth of the water, basic sediments, speed of the current, temperature, water clanity, salinity, O2, N and P; b) land based factors such as coastal areas activities. 2. Carrying capacity of the water part of the coastal area include : a) water carrying capacity and b) ecosystem capacity of the coast. 3. Economics factors of the land utilization of; a) type of land use and b) the intensity of the land use in the coastal zone. Analysis of the coastal zone characteristics ( land and ocean) in the case study area yields the following findings. The land carrying capacity and sustainability of coastal zones can be classified into 3 catogories of sustainability. 1. Land uses with high level of sustainability such as fish ponds ( tambak), fishery whaif/port, floating fish cultivations; 2. Land uses with medium level sustainability such as; settlements, general seaport, sea weed cultivation, agriculture and industries; 3. Land use with low level of sustainability on restricted land use such as tourism, conservation and preservation. Parameter use as the basis for model development for coastal zone spatial planning can be classified based on ocean characteristics. The main parapemeters for
carrying capacity and land sustainability area; tidal pattern and height of waves; current velocity, accessibility, amplitude, acidity (pH), temperature and salinity. Saveral important factors associefed with coastal land utilization and its economics valuation and among others; a) types of utilization (settlements, agriculture) which will increase pollutant levels such as BOD; b) type of industrial land use which will increase level of COD; c) increase of construction activities particulary and conversion which will increase TSS levels and turbidity; d) land use intensity. The varion utilization of land will have an impact on the environmental quality of the coastal zone and therefore its economic value. The model spatial planning process that is developed in this study is conceptual model. The analysis on land carrying capacity and sustainability plus the economic analysis of each land utilization, will provide different size and utilization pattern of the coastal area. Space allocation are proportionally based on land suitability and its carrying capacity coastal zone region could be classified as preservation zone ( least suitable for development); concservation zone ( suitable with restriction), and the utilization zone ( high level of suitability). Key words : Coastal zone planning, land suitability, land carrying capacity and economic valuation of coastal zone land utilization.
RINGKASAN Wilayah pesisir sebagai matrik dasar yang bersifat dinamis (berubah) sulit untuk didelineasi dan memiliki batas yang tidak jelas dalam pengelolaan. Pendekatan yang digunakan untuk merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yaitu metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dinamika yang terjadi di wilayah pesisir menuntut pula pendekatan perencanaan yang berbeda pula jika dibandingkan dengan perencanaan tata ruang yang berbasis daratan. Indikator utamanya adalah daya dukung dan kesesuaian lahan, dan nilai ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan. Kompleksnya permasalahan yang ada di wilayah pesisir seperti heterogenitas sumberdaya, kegiatan yang berlangsung di wilayah pesisir, dan sumberdaya ekonomi yang potensial, perlu direncanakan, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Perencanaan tata ruang selama ini berlangsung masih berorientasi pada perencanaan sumberdaya daratan yang pada dasarnya sudah sangat terbatas jumlah dan kapasitasnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir perlu dikembangkan guna pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi antara kegiatan pembangunan di wilayah daratan dengan lautan. Struktur dan Pola pemanfaatan ruang yang selama ini kental di dalam penataan ruang wilayah yang berbasis daratan, seperti dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang maka struktur ruang seperti ruang daratan tidak dapat diberlakukan sepenuhnya untuk wilayah pesisir, khususnya wilayah pesisir bagian lautan. Penyusunan Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dilakukan melalui beberapa analisis: 1. Analisis berdasarkan pada kesesuaian lahan 2. Analisis berdasarkan daya dukung lahan, 3. Analisis berdasarkan pada valuasi ekonomi. Hasil analisis terhadap karakteristik wilayah pesisir (daratan dan lautan) di wilayah penelitian, maka dapat dideskripsikan berdasarkan kesesuaian lahan wilayah pesisir dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok kesesuaian lahan yaitu : 1) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SANGAT SESUAI, yaitu; tambak, pelabuhan perikanan, budidaya jaring apung; 2) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI, yaitu; permukiman, pelabuhan umum, budidaya rumput laut, pertanian dan industri; 3) penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT, yaitu; pariwisata, lindung dan konservasi. Peningkatan kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan rencana tata ruang berbasis daratan memberikan konsekuensi pada terjadinya konversi penggunaan lahan, lahan lindung menjadi budidaya, lahan pertanian menjadi lahan permukiman, industri dan lainnya. Analisis ruang di wilayah pesisir sebagai dasar dalam penyusunan model perencanaan tata ruang perlu dilihat dari setiap fungsi pemanfaatan dengan dampaknya terhadap kondisi ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang bersangkutan, hal ini ditunjukkan oleh wilayah pesisir Kabupaten Bekasi sebagai berikut:: 1. Peningkatan aktivitas masyarakat di darat memberikan dampak pada peningkatan kadar pencemaran, yaitu semakin tingginya kadar BOD,COD, TSS dan kekeruhan. 2. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman dan industri dari 16.848 ha tahun 2002 menjadi 17.417 ha tahun 2005. memberikan dampak pada peningkatan paramater BOD dan COD yaitu: 20,88 dan 16,5 (Tahun 2006) menjadi 33,2 dan 204,0 (Tahun 2007). Peningkatan aktivitas masyarakat di wilayah bagian daratan pesisir yang dicirikan dari peningkatan konversi lahan melalui peningkatan luas penggunaan lahan bagi sektor permukiman, industri dan perikanan ternyata mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan yaitu terjadinya peningkatan kadar pencemaran oleh parameter BOD,COD, TSS dan Kekeruhan. 3. Di perairan terjadinya peningkatan zat pencemar sejalan dengan penurunan luas lahan mangrove dan non-mangrove secara linier, ini mengindikasikan bahwa ada kaitan antara berkurangnya luas lahan mangrove dan lahan basah dengan peningkatan kadar pencemar. Penyebabnya adalah salah satu fungsi ekologis hutan mangrove dan lahan basah yaitu kemampuan mengencerkan dan mendegredasikan limbah yang berasal dari aktivitas di wilayah pesisir. Aktivitas yang berlangsung di wilayah pesisir bagian daratan memberikan dampak pada kondisi perairan wilayah pesisir seperti terlihat kadar pencemar BOD,COD, TSS, Kekeruhan. Perubahan itu disebabkan oleh aktivitas manusia yang ada di wilayah pesisir bagian daratan. Oleh karena itu, gambaran adanya perubahan dari setiap ekosistem dipresentasikan dari perubahan yang terjadi dari setiap agregat yang ada pada lahan daratan dan perairan. Dari gambaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi dalam proses penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir adalah : 1) faktor kesesuaian lahan, terdiri dari; a) faktor yang berasal dari unsur lautan berupa; kedalaman perairan, sedimen dasar perairan, kecepatan arus, suhu., kecerahan air, kekeruhan, salinitas. dan O2, N, P; b) faktor yang berasal dari unsur daratan berupa aktivitas yang terjadi di wilayah pesisir . 2). faktor daya dukung wilayah perairan meliputi; a) kemampuan kapasitas perairan pesisir. dan b). Kemampuan ekosistem wilayah pesisir. 3) faktor ekonomi lahan berupa; a) jenis penggunaan lahan wilayah pesisir dan b) Intensitas penggunaan lahan wilayah pesisir. Dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir ditentukan pula parameter-parameter perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Parameter tersebut diklasifikasikan berdasarkan kesesuaian dan daya dukung lahan dengan parameter utama adalah; a) pasut dan tinggi gelombang; b) kecepatan arus; c) aksessibilitas; d) amplitudo; e) ketgerlindungan; f) pH; dan i) salinitas. Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan ini adalah model emprik dari proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Analisis kesesuian lahan, daya dukung, dan analisis ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan yang direncanakan menghasilkan luas dan pola pemanfaatan lahan di wilayah pesisir. Sesuai dengan konsep dasar yang membedakan rencana tata ruang wilayah pesisir dengan rencana tata wilayah berbasis daratan adalah pada faktor penentu yaitu kesesuaian dan daya dukung wilayah pesisir dan nilai manfaat ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan. Dalam rencana tata ruang wilayah pesisir alokasi ruang dilakukan secara proporsional berdasarkan pada pertimbangan daya dukung, kesesuaian lahannya dan nilai ekonomi. Alokasi ruang terdiri dari; zona preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan.
DAFTAR ISI Halaman Halaman Pengesahan .....................................................................................
i
Kata Pengantar ................................................................................................
ii
Daftar Isi ..........................................................................................................
iv
Daftar Tabel
..................................................................................................
vi
Daftar Gambar .................................................................................................
vii
Daftar Lampiran ...............................................................................................
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ..........................................................................................
1
Rumusan Masalah.....................................................................................
7
Tujuan Penelitian .......................................................................................
11
Manfaat Penelitian .....................................................................................
12
Novelty (Kebaruan) ....................................................................................
12
STUDI PUSTAKA Pengertian Wilayah Pesisir ........................................................................
14
Ekosistem Wilayah Pesisir ........................................................................
19
Konsep Daya Dukung Wilayah Pesisir ......................................................
24
Konsep Kertkaitan Wilayah Pesisir ...........................................................
27
Pengertian Penataan Ruang .....................................................................
30
Proses Penataan Ruang ...........................................................................
35
Konsep Valuasi Ekonomi Terhadap Wilayah Pesisir ................................
37
Pengertian Model Dalam Penataan Ruang …………………………………
42
Penelitian Terdahulu ………………………………………..………….……...
46
Hasil Penelitian Tentang Wilayah Pesisir ……………………………….….
46
KERANGKA PEMIKIRAN Gagasan Awal Penyusunan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ………………………………………………………………..
50
Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir………………
57
Kedudukan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Terhadap Teori Perencanaan ………………………………………….
57
Perbadingan Penelitian ang Akan Dilakukan dengan Penelitian Terdahulu. 63
METODOLOGI PENELITIAN Wilayah Penelitian……………………………………………………………..
68
Data dan Variabel Penelitian …………………………………………………
72
Metode Pengumpulan Data ………………………………………………….
71
Metode Analisa Data ………………………………………………………….
72
Analisis Tata Ruang Wilayah Pesisir ………………………………….
72
Analisa Hidro-pseanografi ……………………………………………..
73
Analisa Kesesuaian Lahan ………………………………………….…
74
Analisa Daya Dukung Lahan ………………………………………….
78
Analisa Sosial Ekonomi ……………………………………………….
82
Merumuskan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ….
84
KONDISI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BEKASI Kondisi Biofisik Topografi, Geologi, Geomorfologi dan Hidrologi ................................
88
Batimetri, Pola arus dan Gelombang ………………………………….
94
Abrasi dan Akresi .............................................................................. . 98 Koalitas Perairan Pantai Utara Kabupaten Bekasi ……………………
99
Kondisi Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi …………………
100
Kondisi Perairan Sungai Kabupaten Bekasi …………………………..
103
Analisis Ekosistem Pesisir .......................................................
106
Mangrove ..........................................................................................
106
Terumbu karang ................................................................................
108
Kondisi Sosial Ekonomi .......................................................
109
Karakteristik Rumah Tangga Responden ..................................
109
Kependudukan ..........................................................................
114
Analisis Ekonomi Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ......................
117
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Hasil Penelitian
120
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ..........................................................................
120
Analisis Kesesuaian Lahan ..............................................................
122
Analisis Daya Dukung ......................................................................
135
v
Analisis Ekonomi dari Penggunaan Lahan .......................................
145
Pembahasan..............................................................................................
151
Konsentrasi Pencemar Pemanfaatan Lahan dalam Kebijakan Penataan Ruang dengan Kualitas Air Laut .......................................
151
Perbandingan Konsentrasi Pencemar Beberapa Jenis Penggunaan Lahan dengan Perubahan Kualitas Air Laut ...............
152
Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ............
165
Karakteristik Wilayah Pesisir .......................................................
165
Parameter-paramater dalam penyusunan model Perencanaan tata ruang wilayah pesisir ..........................................................
167
Faktor-faktor yang menjadi pokok dalam dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir........................
168
Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir .....................
176
Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi.......................................................................
180
Rencana Pemanfaatan untuk Kawasan Konservasi dan Preservasi ..................................................................................
180
Rencana Pemanfaatan untuk Kawasan budidaya......................
181
KESIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN Kesimpulan Penelitian ......................................................................
188
Saran ...............................................................................................
194
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel
1
Definisi Daya Dukung di Wilayah Pesisir ………………….
27
Tabel
2
Perkembangan Teori Perencanaan ……………………….
56
Tabel
3
Matrik Perbedaan Penelitian yang Akan dilakukan dengan Penelitian Terdahulu ......................................................
64
Tabel
4
Jumlah dan Kelompok Responden....................................
70
Tabel
5
Parameter dan Metode Analisis Kualitas Air Laut………..
73
Tabel
6
Parameter-Parameter Kesesuaian Lahan dalam Peruntukan Lahan .............................................................
75
Tabel
7
Keseuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Udang..........
76
Tabel
8
Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Laut .........................
76
Tabel
9
Pendugaan Limbah berdasarkan pada Jenis Aktivitas pemanfaatan lahan daratan Kabupaten Bekasi ...........
Tabel
10
80
Kualitas Sedimen di Muara dan Pantai Wilayah Pesisir Kab.Bekasi .......................................................................
106
Tabel
11
Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Bekasi.........
108
Tabel
12
Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur..
110
Tabel
13
Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
110
Tabel
14
Karakteristik Responden berdasarkan Anggota Keluarga
111
Tabel
15
Karakteristik Responden berdasarkan Mata Pencaharian
112
Tabel
16
Karakteristik Responden berdasarkan Pendapatan.........
113
Tabel
17
Karakteristik Responden berdasarkan Kepemilikan Lahan
113
Tabel
17
Jumlah dan distribusi Penduduk Wilayah Pesisir Kab.Bekasi 115
Tabel
18
Jumlah Penduduk Wlayah Pesisir Kabupaten Bekasi......... 116
Tabel
19
Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Berlaku Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi .............................................................
Tabel
20
118
Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Konstans Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi .............................................................
119 120
Tabel
21
Luas Alih Fungsi Lahan Tahun 2006-2006 .......................
Tabel
22
Penggunaan Lahan Kawasan Pantura Kabupaten Bekasi Tahun 2007 ......................................................................
121
Tabel
23
Profil Rata-Rata Kedalaman Laut Kab.Bekasi ..................
123
Tabel
24
Pendugaan Limbah berdasarkan jumlah Penduduk..........
138
vii
Tabel
25
Nilai Manfaat Ekonomi dari setiap penggunaan lahan ....
149
Tabel
26
Kualitas Perairan Zona A..................................................
162
Tabel
27
Kualitas Perairan Zona B..................................................
163
Tabel
28
Kualitas Perairan Zona C..................................................
164
Tabel
29.
Matrik Perbedaan Mendasar dalam Perencanaan Wilayah Pesisir dengan Perenc. Wilayah yang Berbasis Daratan . 177
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar
1
Konsep SDA dan Jasa Lingkungan ..................................
25
Gambar
2
Tipe Daya Dukung Pesisir ...............................................
25
Gambar
3
Kurva Permintaan dan Willingness to Pay ………………..
26
Gambar
4
Wilayah Pesisir dan Laut sebagai Kawasan Multi-Use .....
29
Gambar
5
Keterpaduan Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir.............
30
Gambar
6
Hubungan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Dalam Suatu Wilayah ........................................................
33
Gambar
7
Total Utilitas .......................................................................
38
Gambar
8
Kurva Permintaan ..............................................................
39
Gambar
9
Klasifikasi Konsep Valuasi Ekonomi...................................
42
Gambar
10
Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ............
67
Gambar
11
Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Bekasi ...................
68
Gambar
12
Proses Analisis Sistem Informasi Geografis......................
87
Gambar
13
Satuan Geologi Dataran Pantai Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi .............................................................
Gambar
14
90
Peta Salinitas Air Laut di Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi .................................................
93
Gambar
15
Peta Batimetri Wilayah Pesisir Kab. Bekasi
95
Gambar
16
Peta Arus Permukaan ......................................................
97
Gambar
17
Peta Kualitas Perairan Kabupaten Bekasi .........................
104
Gambar
18
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pesisir ............................
118
Gambar
19
Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai.....................................................................
Gambar
20
Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai .............................................................
Gambar
21 22 23
132
Peta Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan Pada Kesesuaian Lahan ..................................................
Gambar
130
Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai bersyarat Wilayah Pesisir ....................................
Gambar
126
134
Faktor Penentu Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan pada Daya Dukung Fisiknya .......................
135
Gambar
24
Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir untuk Permukiman ..
138
Gambar
25
Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir untuk Tambak .........
140
Gambar
26
Sub-Model Kualitas Air Laut ...............................................
141
ix
Gambar
27
Pemanfaatan Lahan Pertanian Sesuai dengan Daya Dukung .143
Gambar
28
Peta Rencana Tata Ruang berdasarkan Daya Dukung .....
144
Gambar
29
Peta Rencana Tata Ruang berdasarkan Valuasi Ekonomi
150
Gambar
30
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Laut .......................................................
Gambar
31
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Laut .......................................................
Gambar
32 33 34 35 36 37
Terhadap Koalitas Air Sungai Citarum ……………………..
157 179
38
Model Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir…
Gambar
39
Rencana Pemanfaatan Lahan Wlilayah Pesisir Berdasarkan Kesesuaian Lahan ……………………………
40 41 42
186
Rencana Pemanfaatan Lahan Wlilayah Pesisir Berdasarkan Kondisi Eksisting …………………………….
Gambar
186
Rencana Pemanfaatan Lahan Wlilayah Pesisir Berdasarkan Daya Dukung ………………………………….
Gambar
157
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan
Gambar
Gambar
156
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Sungai Kali Cilemah ……………………….
Gambar
156
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Sungai Kali Sadang ……………………….
Gambar
155
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Sungai Kali CBL.......................................
Gambar
154
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Laut ........................................................
Gambar
153
Konsentrasi Pencemar Penggunaan Lahan dengan Tingkat Pencemaran Air Laut .......................................................
Gambar
152
186
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi ……………………………………………
x
187
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1
Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan Matriks Kesesuaian Lahan
Lampiran
2
Hasil Hitung Daya Dukung Wilayah Pesisir
Lampiran
3
Data Primer Kadar Pencemar Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi berdasarkan Jarak Pengambilan Sampel
xi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan. Potensi sumberdaya alam, yang menjadi tulang punggung (backbone) dari pertumbuhan ekonomi dan asset bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan kesinambungan (sustainability) dari sumberdaya alam ini menjadi sangat penting bagi kelangsungan pembangunan, Dalam pengelolaannya tergantung oleh setiap stake holders yakni masyarakat dan pemerintah. Perencanaan pengelolaan kawasan pesisir (coastal management planning ) dengan sendirinya merupakan instrumen yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Dengan adanya rencana pengelolaan pesisir yang sistematis maka pengelolaan wilayah pesisir dan laut disuatu wilayah akan menjadi lebih efisien untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Salah satu prinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir adalah prinsip keterpaduan dan prinsip aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan komprehensif yang memadukan antara dinamika sistem alam (ecosystem) dan sistem manusia (human system), antara wilayah daratan dan lautan, sedangkan aspiratif lebih pada pendekatan dari bawah, dimana proses perencanaan wilayah pesisir dan laut dilakukan dengan melibatkan masyarakat pesisir sebagai subyek sekaligus obyek dari perencanaan itu sendiri (Adrianto, 2005). Tekanan penduduk dengan aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan di wilayah pesisir sering menimbulkan masalah bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik, begitu juga kesadaran masyarakat akan pentingnya
2 menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu proses pembangunan
ekonomi.
Meningkatnya
kebutuhan
ekonomi
yang
berbasis
sumberdaya alam (resource base), memberikan tekanan yang tinggi terhadap sumberdaya alam itu sendiri, sehingga kebutuhan akan pengelolaan sumberdaya alam yang baik menjadi kebutuhan yang mendesak. Pembangunan wilayah pesisir dan lautan sebagai sebuah model pemikiran yang dapat diimplementasikan tergolong relatif baru di Indonesia. Pustaka yang mengangkat masalah pesisir dan lautan masih “jarang” ditemukan terutama segi penataan ruangnya. Padahal makna ruang seperti tertuang dalam UU. No. 26 tahun 2007, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Makna tersebut menjelaskan bahwa disamping daratan yang lazim direpresentasikan sebagai lahan, maka lautan juga merupakan wujud yang nyata dari ruang. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir ke arah daratan dapat sampai ke daerah hulu sungai apabila disitu terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya dibagian hilir. Sedangkan kearah laut disesuaikan dengan batas yurisdiksi yang berlaku disetiap propinsi dan kabupaten/kota. Untuk kemudahan perolehan data sosial-ekonomi, maka kearah darat adalah sebatas wilayah administrasi kecamatan pantai, yaitu kecamatan yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan laut atau yang memiliki garis pantai. Dengan arti kata bahwa membangun wilayah pesisir dan laut tidaklah mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah, harus ada semacam pewilayahan atau zonasi pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alam, potensi pembangunan (sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan) yang tersedia serta
3 kondisi sosio-kultural masyarakatnya (UU No.27/2007).
Selain itu sehubungan
dengan banyaknya sektor-sektor pembangunan (seperti perikanan tangkap, perkanan budidaya, industri pengolahan produk perikanan, pariwisata bahari dll) yang terdapat di wilayah pesisir dan laut, maka diperlukan pula prioritas pembangunan di wilayah tersebut secara sinergis dengan dimensi waktu. Proses perencanaan tata ruang yang berbasis “daratan” dipandang seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah dengan kategori lindung dan budidaya. Didalam pelaksanaannya perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli
oleh kepentingan pihak-pihak tertentu
yang berorientasi kepada
kepentingan stakeholders. Aktivitas pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang dilakukan masyarakat sering bias dengan penetapan peruntukannya. Perencanaan tata ruang juga dianggap sebagai proses dimana perencana mengarahkan
masyarakat untuk melakukan
aktifitasnya (top-down process).
Dalam perencanaan tata ruang modern perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, ekonomi mendukung dan mengarahkan terbaik
untuk
pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang
untuk meningkatkan produktifitas
agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat (public) secara berkelanjutan (Rustiadi, 2003). Pemanfaatan ruang di wilayah pesisir sering terjadi tumpang tindih hak penguasaan dan pengelolaan ruang, hal ini tercermin dari keterlibatan berbagai pihak (stakeholders) dan institusi pemerintah untuk dapat mengatur dalam pemanfaatannya;
seperti Departemen Kelautan dan Perikanan UU No.27/2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.23/1997 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No.32/2004 tentang Otonomi Daerah dan beberapa Peraturan Pemerintah. Namun dalam kenyataannya selama ini pemanfaatan wilayah pesisir
4 sering menimbulkan konflik, karena masing-masing pihak memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Tentunya bila konflik terus berlangsung, jelas akan bermuara pada degradasi biofisik seperti hilangnya hutan mangrove, sumberdaya perikanan yang semakin menurun, kerusakan ekosistem pantai lainnya, dan tidak meratanya pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir. Beberapa contoh kasus kerusakan ekosistem pesisir (dari berbagai sumber), terungkap beberapa fakta baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain 1. Perubahan alih fungsi lahan di kawasan daratan memberi dampak pada ekosistem di wilayah pesisir, karena wilayah pesisir merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar. Aliran air dari hulu ke hilir banyak membawa
endapan
akibat
erosi.
Demikian
pula
pengerukan
dan
pengambilan pasir pantai untuk bahan bangunan penduduk, penimbunan (reklamasi
pantai)
telah
mempercepat
tingkat
abrasi
pantai
dan
mempercepat kerusakan fisik lingkungan pantai. 2. Bentangan mangrove (hutan bakau) semakin berkurang karena ditebang dan dikonversi menjadi pertambakan, kawasan industri, permukiman penduduk dan lahan pertanian, serta dipakai untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Padahal selain manfaatnya
sebagai ekosistem yang amat
produktif, mangrove merupakan pelindung pantai untuk menahan erosi akibat gempuran gelombang laut (abrasi). 3. Intensifikasi pertanian, perkembangan kawasan perkotaan, industri, wisata pantai dan bertambah padatnya permukiman, memperbesar limbah yang dihasilkan sehingga proses pencemaran terus berlangsung di wilayah pesisir. 4. Reklamasi pantai untuk pembangunan di wilayah pesisir telah mengubah proses-proses geomorfologi pantai. Akibatnya, terjadi perubahan pola arus air laut yang menyebabkan kawasan laut dan pantai
mengalami
5 sedimentasi atau pendangkalan, disisi yang lain terjadi proses abrasi sehingga luas daratan semakin berkurang. 5. Pemanfaatan lahan yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan karakteristik dan daya dukung lingkungan pantai. 6. Keberadaan lokasi dan aktifitas
industri
yang belum sesuai dengan
Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTR), termasuk membangun dan mengubah lingkungan fisik pantai untuk kepentingan investasinya (antara lain pembelokan muara sungai, pengerukan dan penimbunan pantai, pendirian bangunan serta perluasan areal, sumbangan polutan berupa limbah cair, limbah padat, maupun debu), semakin memperburuk keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir. 7. Sistem pengawasan yang lemah dan pola penerapan kebijakan pemerintah yang kurang optimal, kurang antisipatif dan reaktif (political will) terhadap kerusakan biogeofisik wilayah pesisir, menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem di wilayah pesisir. Permasalahan diatas pada dasarnya disebabkan oleh karena belum adanya konsep pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu (Integrated coastal zone management), meliputi tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Dengan demikian model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dapat dinilai sebagai strategi penataan ruang berwawasan lingkungan guna mendukung pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Oleh karena itu kajian secara mendalam mengenai penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir perlu dilakukan. Terdapat beberapa alasan, antara lain: 1. Komponen-komponen
wilayah
pesisir
merupakan
objek
fisik
yang
berdimensi ruang, mempunyai wilayah sebaran, dan dapat ditata menjadi ruang kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
6 2. Pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis ekosistem dapat dilakukan sebagai pendekatan untuk mengatasi kerusakan lingkungan wilayah pesisir, akibat pencemaran, tumpang tindih kegiatan, dan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan cara-cara tidak arif lingkungan. Zona-zona pemanfaatan yang dihasilkan dapat dijadikan dasar untuk mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan. 3. Adanya kenyataan bahwa tata ruang dan rencana tata ruang dibuat dan selalu direvisi setiap tahunnya masih berorientasi pada raung wilayah daratan, maka studi ini dinilai perlu agar hasilnya dapat dijadikan dasar dalam menata ruang dengan mengintegrasikan ruang daratan dengan ruang lautan, terutama berkenaan dengan berlakunya UU No.26 Tahun 2007 dan tentang Penataan Ruang dan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) menyangkut kewenangan daerah atas wilayah teritorial lautnya. Melihat berbagai potensi dan masalah seperti telah dijelaskan diatas, maka untuk
mengintegrasikan berbagai aktivitas diwilayah pesisir dalam upaya untuk
meminimalisasi kerusakan ekosistem, mengurangi adanya konflik, degradasi biogeofisik dan mengoptimalkan potensi sumberdaya wilayah pesisir, maka perlu dirumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Agar model yang dihasilkan dapat dipergunakan secara universal, mulai dari proses input data, proses dan out data dari proses penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, maka wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dapat mewakili permasalahan wilayah pesisir seperti yang dijelaskan diatas.
7 Rumusan Masalah Menurut UU No. 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang.
Tata ruang
didefinisikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang atau wadah, baik direncanakan maupun tidak. Perencanaan tata ruang sendiri lebih berfokus pada pemanfaatan ruang daratan itu sendiri, karena di wilayah inilah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya berinterkasi menjaga keseimbangan ekosistem. Artinya perencanaan tata ruang tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha menjaga kelestarian lingkungan, keseimbangan ekosistem dan bermuara pada tercapainya kenyamanan hidup bagi segenap penghuninya. Perencanaan tata ruang sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perencanaan dan pengaturan tempat baik secara vertikal maupun horizontal, berskala makro maupun mikro. Secara horizontal saja, penataan ruang menyimpan banyak persoalan serius untuk dicarikan solusinya. Sedemikian komplek persoalan penataan ruang ini terkait keseimbangan antar makhluk hidup, serta kenyamanan masyarakat yang hidup di dalamnya, diperlukan perencanaan yang terintegrasi antara nilai ekologi dan ekonomi ruang tersebut. Pengertian ruang dalam UU.No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang secara geografis terdiri dari ruang darat, laut,dan udara, ketiganya memiliki interaksi satu sama lainnya dan memiliki fungsi untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Antara ruang darat dan laut terdapat ruang pesisir. Ruang pesisir ini memiliki keunikan ekologis dan heterogenitas dalam pemanfaatan nya, Pemanfaatannya sering menimbulkan berbagai permasalahan, terutama dalam sistem ekologi dan ekonomi dari potensi sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Karena itu sangat diperlukan
perencanaan tata ruang yang dapat
mengatasi permasalahaan tersebut, yaitu adanya keterpaduan dalam perencanaan wilayah pesisir ( laut dan darat). Rencana tata ruang wilayah pesisir menurut hemat
8 penulis yang dibuat selama ini masih berorientasi pada lahan daratan (land-base), Pada hal perbedaan karakteristik wilayah pesisir dengan wilayah daratan sangat berbeda
sekali.
Dalam
kenyataannya
pengelolaan
wilayah
pesisir
sering
menimbulkan pada kerusakan ekosistem, misalnya berkurangnya luas kawasan lindung atau hutan mangrove, berkurangnya potensi perikanan, kadar pencemaran perairan yang semakin bertambah, intrusi air laut semakin jauh ke darat dan hal yang paling penting adalah masyarakat nelayan masih berada dibawah garis kemiskinan. Karena itu penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir secara terpadu sangat dibutuhkan. Wilayah pesisir adalah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan (intrusi) air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia. Pengertian diatas mencerminkan bahwa wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi
satu sama lainnya. Selain mempunyai potensi yang besar,
wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia, umumnya kegiatan pembangunan. Karakteristik wilayah pesisir berbeda dengan wilayah daratan. Wilayah pesisir terdiri dari wilayah daratan dan wilayah lautan yang merupakan satu kesatuan pemanfaatan, dampak pemanfaatan di wilayah daratan (lahan atas) berupa limbah dan sedimentasi pada akhirnya akan terakumulasi di wilayah pesisir. Di wilayah pesisir ada lokasi (habitat)
yang mengandung “dimensi dan proses
ekologis” yang menentukan daya dukung lingkungan wilayah pesisir. Karakteristik
9 lainnya adalah sifat wilayah pesisir yang multi uses zone, common
property
resource, dan tunduk di bawah rejim oppen access (Dahuri, 2000). Karakteristik di atas menunjukkan fungsi wilayah pesisir sangat majemuk. Oleh karena itu, pola pemanfaatan ruang pesisir akan sangat rumit, sehingga perlu suatu model perencanaan yang spesisfik pula agar sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir itu sendiri. Untuk menyusun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir diambil Kasus wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi merupakan kawasan pesisir dengan kompleksitas permasalahan, baik akibat kegiatan pembangunan maupun pengaruh lainnya. Dalam aspek dinamika pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi merupakan salah satu kawasan penting yang perkembangannya perlu diatur. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi secara administratif berbatasan dengan DKI Jakarta dengan kegiatan Pelabuhan Tanjung Priok dan Kawasan Berikat Nasional Marunda. Kawasan ini telah dijadikan salah satu fokus utama pembangunan wilayah Kabupaten Bekasi sebagai pendukung pelabuhan internasioanl dan nasional Tanjung Priok.
Hal ini tertuang dalam
Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi 2003-2013, dimana di dalamnya diatur tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi. Pembangunan kawasan diupayakan agar terjadi keterpaduan dalam pelaksanaannya dengan pembangunan sektor-sektor lainnya.
Hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan
tahapan
pembangunan
pelaksanaan
kawasan
ini
adalah
memperhatikan
keberadaan para ekosistem dan para nelayan laut dan nelayan tambak yang membentang sepanjang pantai tersebut. Demikian pula, keberadaan permukiman nelayan dan aktivitasnya tidak dapat dilupakan begitu saja dalam konteks pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi.
Oleh karena itu, upaya
10 pengembangan kawasan pesisir ini harus didukung oleh suatu arahan rencana tata ruang sebagai “tools” keterpaduan program-program pemanfaatan ruang. Dalam rangka merencanakan dan memanfaatkan ruang di kawasan tersebut, maka Pemerintah Kabupatren Bekasi melakukan Perencanaan tata ruang kawasan Pesisir Kabupaten Bekasi.
Perencanaan ini secara sederhana dapat
diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan ruang untuk mengakomodasikan kegiatan sosial-ekonomi, terutama nelayan dan petambak yang jumlahnya cukup besar, yang diinginkan dan pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan
prasarana dan sarana perkotaan dan pengembangan wilayah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, jika tidak direncanakan dengan baik akan mengancam pada ekosistem wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, ada beberapa alasan Kabupaten Bekasi dijadikan wilayah sampel dalam penelitian ini, antara lain : 1.
Rencana tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Bekasi saat ini disusun berdasarkan pada rencana tata ruang yang berbasis daratan. Rencana tata ruang yang dibuat berbasis pada lahan daratan (land-base) yang selama ini ternyata memberikan dampak pada kerusakan ekosistem wilayah pesisir.
2.
Wilayah pesisir di Kabupaten Bekasi memiliki ekosistem dan kegiatan pembangunan yang sangat kompleks. Keunikan ekologis dan heterogenitas dalam pemanfaatannya. Sekitar 19.745 Ha (15,5 persen) wilayah pesisir Kabupaten Bekasi memiliki air tanah yang terintrusi air laut (terutama Kecamatan Muaragembong dan Kecamatan Cabangbungin), sedangkan 25.605 Ha (20,1 persen) memiliki air tanah dangkal dan 82.038.023 Ha (64,4 persen) memiliki 104.185 Ha (81,79) dari luas kabupaten memiliki kedalaman efektif air tanah di atas 90 meter (Bappeda Kab.Bekasi,2006).
11 Kadar pencemar yang melebihi baku mutu umumnya ditemukan di muaramuara sungai. Hal ini menunjukkan bahwa bahan polutan tersebut berasal dari kegiatan didarat yang terbawa oleh air sungai. Di Sungai Citarum misalnya kadar
sedimen yang tinggi yaitu Cu (36,30 mg/l), timah hitam
(21,13 mg.l), Cr ( 23,77 mg/l) Ni ( 5,21 mg/l), Cd ( 0,23 mg/l), Zn ( 215,10 mg/l, Fe ( 3452,0 mg/l), Mn ( 886,20 gr/kg) dan Hg ( 1,16 gr/kg) (hasil pengolahan data primer di laboratorium, 2006). 3.
Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi belum memiliki dasar aturan yang jelas dalam pemanfaatan ruang.
4.
Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi memberikan konstribusi PAD Kabupaten Bekasi yang signifikan terutama sektor perikanan dan pertanian.
Dari gambaran permasalahan yang dikemukakan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perbedaan karakteristik wilayah pesisir dengan wilayah daratan menuntut pendekatan perencanaan tata ruang yang berbeda pula; 2. Parameter-parameter apa yang merupakan penentu dalam penyusunan pola keterkaitan penggunaan lahan wilayah pesisir bagian daratan dengan bagian lautan; 3. Faktor-faktor yang menjadi pokok dalam menyusun model perencanaan tata ruang untuk dapat menentukan alokasi pemanfaatan yang optimum; 4. Belum adanya model perencanaan tata ruang yang mengintegrasikan wilayah pesisir bagian daratan dengan wilayah pesisir bagian lautan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk dapat merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yaitu :
12 1. Mengetahui karakteristik lahan di wilayah pesisir berdasarkan pada kesesuaian lahan, daya dukung dan nilai ekonomi; 2. Identifikasi parameter-parameter pembatas (daya dukung) dalam menyusun pola keterkaitan penggunaan lahan di wilayah pesisir bagian daratan dengan bagian lautan; 3. Mengidentifikasi faktor-faktor pokok dalam menyusun model perencanaan tata ruang untuk dapat menentukan alokasi pemanfaatan yang optimum; 4. Merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Manfaat Penelitian Keluaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai acuan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir sesuai dengan karakteristik ekosistem, fisik, ekonomi dan sosial masyarakat;
2. Rumusan model perencanaan tata ruang yang dapat mengintegrasikan antara wilayah darat dengan laut;
3. Rumusan saran tindak dalam rangka melengkapi konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Novelty ( kebaruan) Kebaruan dari penelitian ini adalah : 1.
Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan, merupakan model yang disusun dengan pendekatan kesesuaian lahan, daya dukung lahan dan valuasi ekonomi. Faktor laut berupa karakteristik ekosistem, (sifat fisik, kimia dan biologi) lebih dominan mempengaruhi dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang kompleks dan bersifat dinamis, maka penyusunan model
13 rencana tata ruang wilayah pesisir dilakukan dengan pendekatan yang berbeda pula bila dibandingkan dengan model rencana tata ruang wilayah yang berbasis daratan. 2.
Model rencana tata ruang wilayah pesisir ini mengandung nilai manfaat sebagai
pedoman
keseimbangan
untuk
mewujudkan
perkembangan
keterpaduan,
wilayah.
Dalam
keterkaitan,
penyusunannya
dan perlu
dilakukan secara terpadu dan sistematis dengan mepertimbangkan adalah parameter-parameter kesesuaian lahan berupa; pasut dan tinggi gelombang; kecepatan arus; aksesibilitas; amplitudo; keterlindungan; pH dan salinitas 3.
Dapat disimpulkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan merupakan model baru untuk merencanakan wilayah pesisir yang lebih baik, yang sebelumnya penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir masih berbasis daratan. Peneliti terdahulu melihat wilayah pesisir masih dalam konteks perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara parsial dan tidak terintegrasi. Peneliti melihat adanya ketimpangan dalam proses dan pelaksanaan pembangunan yang selama ini terjadi, yaitu bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masih berorientasi pada sumberdaya daratan yang pada dasarnya sudah sangat terbatas jumlah dan kapasitasnya. Perencanaan
tata
ruang
wilayah
pesisir
perlu
dikembangkan
guna
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi antara kegiatan pembangunan di wilayah daratan dengan lautan. Struktur dan Pola pemanfaatan ruang yang selama ini kental di dalam penataan ruang wilayah yang berbasis daratan, seperti dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang maka struktur ruang seperti ruang daratan tidak dapat diberlakukan di wilayah pesisir bagian lautan.
14
STUDI PUSTAKA Pengertian Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan (intrusi) air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus
terhadap
garis pantai (cross-shore). Dalam UU No.27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir, wilayah pesisir didefinisikan sebagai kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti pasang surut, intrusi air laut; dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu, pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah yang administrasi pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota. Sedangkan dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penangangan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab. Menurut IPCC (1994) dalam Dahuri (1996), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) merupakan cabang ilmu baru bukan saja di Indonesia, namun juga di tingkat dunia. Dalam konteks ini, walaupun secara
15
substansial sama, namun kemudian timbul beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut seperti Coastal Management (CM), Integrated Coastal Management (ICM), Integrated Coastal Area Management (ICAM), Integrated Coastal and River Basin Management (ICRBM), Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM), dan lain sebagainya. Substansi pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu adalah pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk dalam lingkup ini pemanfaatan. Untuk keperluan pengelolaan penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Kondisi suatu wilayah pesisir erat kaitannya dengan sistem sungai yang bermuara di wilayah itu. Perubahan sifat sungai yang mungkin terjadi disebabkan karena proses alami maupun sebagai akibat kegiatan manusia, perubahan yang terjadi di hulu maupun di daerah hilir sungai, akan mempengaruhi wilayah pesisir yang bersangkutan. Oleh karenanya secara alami wilayah pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem wilayah sungai. Di samping itu, beberapa pakar berpendapat bahwa wilayah pesisir juga tidak dapat lepas dari permasalahan sosialekonomi masyarakat pesisir. Pembangunan yang berbasis pada interkasi wilayah pesisir daratan dan lautan merupakan sebuah model pemikiran yang dapat diimplementasikan dengan kondisi ekosistem yang sangat kompleks. Pustaka yang mengangkat masalah pesisir dan lautan masih sangat terbatas jumlahnya terutama
yang membahas dalam aspek
penataan ruangnya. Padahal makna ruang seperti tertuang dalam UU. No. 26 tahun 2007,
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. (UU
Nomor : 26
Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pasal 1) .Makna tersebut menjelaskan bahwa disamping daratan yang lazim direpresentasikan sebagai lahan, maka lautan juga merupakan wujud yang nyata dari ruang.
16
Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup termasuk wilayah pesisir. Pemerintah Indonesia melalui UU No.4/1982 yang diperbaharui dengan UU No.23/1997, tentang Lingkungan Hidup, mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup sebagai peristiwa masuknya unsur-unsur makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Soegiarto (1976), definisi Wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi; bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifatsifat laut seperti pasang surut, angin laut, perembesan air asin; sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antar habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia, umumnya kegiatan pembangunan. Menurut kesepakatan Internasional wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan. Kearah darat mencakup daerah yang terkena pengaruh percikan air pasang surut, dan kearah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.,1994).
17
Berdasarkan dua definisi diatas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah kurang begitu penting untuk menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku (rigid). Akan lebih berarti, jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya yang ada didalamnya., serta tujuan pengelolaan itu sendiri atau yang dikenal dengan batas fungsional dan batas administratif. Dahuri dkk (2001) mengatakan dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem dapat bersifat alami atau buatan (man-made). Ekosistem alami
yang terdapat di wilayah pesisir
antara lain; terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan Delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa; tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan permukiman. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh suatu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacam ini sering menimbulkan konflik antar sektor yang berkepentingan
yang
melakukan aktifitas pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang sama. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam secara luas Hanson (1988), mendefinisikan perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai upaya
bertahap
dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara optimal dengan meperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan
18
yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran rakyat. Lang (1986) dalam Dahuri dkk (2001) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti pesisir dan lautan hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level), teknis, konsultatif dan koordinasi. Pada tataran teknis segenap pertimbangkan hendaknya
secara
seimbang
atau
teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan proporsional
dimasukan
kedalam
setiap
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan luatan. Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan. Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat umum. Dari aspek ekonomi wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah dengan aktifitas ekonomi manusia yang sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang sehat menjadi issue yang cukup kompleks dalam pembangunan wilayah pesisir.
Meskipun sumberdaya pesisir dikategorikan sebagai sumberdaya
yang tidak terbaharukan, namun pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar potensi sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat tanpa harus menimbulkan dampak yang negatif untuk masa mendatang. Keberlanjutan adalah merupakan kata kunci dalam pembangunan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya wilayah pesisir itu sendiri. Walaupun konsep keberlanjutan ini sudah mulai dapat dipahami, namun sampai saat sekarang
kita masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasi
keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir itu sendiri. Khususnya
kita akan
19
dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen (secara holistik) baik aspek ekologi, sosial, ekonomi dan etnik. Ekosistem Wilayah Pesisir Wilayah pesisir memiliki beberapa komponen spesifik ekosistem dengan berbagai fungsi ekologis yang menuntut kehati-hatian dalam pemanfaatan dan pengembangannya, juga dalam penanganan dampak yang ditimbulkannya. Berikut ini akan diuraikan karakteristik setiap ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir. Estuaria Estuaria adalah teluk di pesisir tempat pertemuan antara air tawar dengan air asin (air laut). Ekosistem estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Kebanyakan dari partikel endapan tersebut bersifat organik, sehingga menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuaria (Dahuri, R, dkk, 1996. Ada dua hal utama yang mempengaruhi ekosistem estuaria, yaitu aliran sungai yang mengangkut limbah, toksikan (zat beracun), sedimen, dan nutrien yang dikandungnya; serta sifat-sifat fisik air laut, seperti pasang surut dan gelombang. Fauna yang terdapat dalam ekosistem estuaria terdiri dari jenis hewan laut (yang terbatas kemampuannya mentolerir perubahan salinitas hingga 300/00), hewan air tawar (tidak mampu mentolerir perubahan salinitas), dan hewan payau (yang tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun air tawar). Dibandingkan di perairan tawar dan laut, maka estuaria miskin akan flora dan jumlah organisme, karena fluktuasi salinitas yang sangat besar. Hutan Bakau Hutan bakau merupakan sekumpulan tumbuhan spesifik
yang terdapat di
perairan yang bersalinitas tinggi. Perkembangan maksimumnya ditentukan oleh
20
sirkulasi air permukaan yang memungkinkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Hutan bakau menjadi tempat pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan, udang, dan kerang. Hutan bakau ini memberi perlindungan bagi udang dari serangan virus. Beberapa jenis bangau, cangak, kuntul dan bebek yang terdapat di sekitar pantai, juga membangun sarangsarangnya di hutan bakau. Di samping itu reruntuhan dedaunan dan bagian lain dari hutan bakau yang terbawa air, menyediakan sumber hara penting bagi ekosistem pesisir dan ekosistem sekitar muara, walaupun tidak selalu harus berkaitan langsung antara jumlah hutan bakau dan produktifitasnya. Secara fisik keberadaan hutan bakau juga melindungi pantai dari kekuatan ombak (Whitten,T,dkk,1999. Ekologi Jawa dan Bali, Prenhallindo, Jakarta. Halaman 387). Perakarannya yang kokoh mampu meredam gelombang, menahan lumpur, gelombang pasang dan angin topan (Dahuri,R,dkk,). Ada beberapa kondisi yang dapat mengancam kelestarian hutan bakau, yaitu: -
Berkurangnya kadar oksigen dalam air, misalnya akibat sedimentasi yang berlebihan dan tumpahan minyak.
-
Penebangan hutan bakau untuk berbagai keperluan, seperti kayu bakar, bahan baku kimia, atau untuk mengkonversikannya menjadi lahan pemukiman, industri, tambak udang dan lain-lain. Padang Lamun Padang lamun merupakan kumpulan tumbuhan perairan pesisir yang dapat
ditemukan di laguna atau pantai-pantai berpasir yang dangkal dan berlereng. Lamun tumbuh cepat dan mengikat endapan-endapan di tempat yang dangkal. Untuk syarat tumbuhnya, diperlukan kedalaman maksimum 20 M, intensitas masuknya sinar matahari yang tinggi, sirkulasi air yang baik dan kontinu, nutrien yang tinggi, serta pergerakan substrat yang akan mengalihkan sisa metabolisme. (Supriharyono, loc. cit). Temperatur yang optimal berkisar 280 – 300 C.
21
Diantara tumbuhan lamun kadang-kadang terdapat ganggang-ganggang yang berbeda, yang umumnya lebih sering terdapat bersama terumbu karang. Padang lamun juga merupakan habitat berbagai jenis moluska, termasuk siput (lambis) berukuran besar (paling banyak dieksploitasi), jenis kepala kambing (strombus), tripang (synapta), keong laut, bintang laut, dan tripang hitam berlapis pasir (holothuira atra). Dalam satu hektar padang lamun dapat ditemukan hampir sebanyak 25.000 ekor tripang. Daun-daun lamun memberikan tempat berlindung atau menjadi habitat bagi ikan-ikan muda dari ancaman berbagai jenis pemangsa yang berukuran lebih besar. Keragaman habitat padang lamun menentukan banyaknya jenis ikan yang ada di dalamnya. Padang lamun sangat diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan kestabilan sistem pantai, serta untuk mendukung ekosistem lepas pantai melalui rantai makanan yang tergantung pada bahan-bahan terurai. Padang lamun juga membantu terumbu karang dengan cara menstabilkan endapan-endapan di laguna, sehingga dapat mengurangi kekeruhan. Dengan demikian ekosistem padang lamun berperan penting dalam menjaga kestabilan pantai dan mendukung kelestarian perikanan pantai. Adapun tumbuhan lamun tidak hanya berperan dalam menstabilkan pantai, tetapi juga menghasilkan pasir-pasir yang sebagian besar terdiri dari tetrahedral test atau cangkang-cangkang jenis bentik foraminifera. Hilangnya padang lamun dapat menurunkan produksi foraminifera dan mempercepat kehilangan pasir pantai. Akibat lainnya adalah energi yang masuk ke dalam perairan wilayah pantai akan berkurang, produsen plankton primer akan menggantikan produsen bentik, morfologi pantai akan berubah karena pasirnya tidak terikat lagi, serta hilangnya keragaman struktural dan biologis akibat lahan pasir yang gundul.
22
Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang unik, yang hanya terdapat di perairan tropik dangkal (kedalaman kurang dar 30 Meter) dengan suhu diatas 200 C. Ekosistem terumbu karang umumnya ditandai dengan menonjolnya kekayaan jenis biota yang hidup di dalamnya. Air laut yang jernih dan salintas yang tinggi merupakan faktor utama bagi kehidupan terumbu karang. Dalam wilayah pesisir, ekosistem terumbu karang memiliki peran sebagai berikut : -
sebagai pelindung garis pantai dari hantaman ombak dan gelombang laut, sehingga dapat melindungi garis pantai dari kemungkinan abrasi
-
sebagai habitat bagi beragam jenis ikan (100 – 200 jenis dalam satu hektar) yang mempunyai produktifitas hayati tinggi
-
sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari karena memiliki beraneka ragam biota dan panorama yang sangat indah,
-
sebagai sumber produksi bagi kegiatan perdagangan karena di terumbu karang hidup berbagai jenis hewan moluska bernilai komersil, seperti kima raksasa atau kima raja (tridacna gigas, moluska bercangkang terbesar di dunia), triton terompet (charonica tritonis), kepala kambing (cassis cornuta), lola (trochus niloticus), dan batulaga (turbo marmoratus). Secara fisik maupun biologis, terumbu karang mempunyai struktur yang sangat
kompleks. Terumbu karang yang ada sekarang ini sebenarnya merupakan hasil keseimbangan secara simultan antara faktor-faktor yang bersifat membangun (konstruktif) dan merusak (destruktif).
Faktor-faktor yang bersifat membangun
sebagian besar terdiri dari unsur-unsur organik yang dihasilkan oleh berbagai biota laut penghasil kapur, seperti karang batu, algae berkapur, molusca, crustacea, dan porifera. Sedangkan faktor-faktor yang bersifat merusak adalah semua kekuatan yang dapat menghancurkan kerangka karang batu, atau algae berkapur, melalui berbagai proses fisik, biologis, maupun kimiawi, misalnya:
23
-
Acanthaster planci, yaitu salah satu biota laut sejenis echinodermata yang terkenal suka memakan karang batu, molusca, algae, sponge, dan ikan,
-
Faktor-faktor alami, seperti angin topan, gempa bumi, arus dan gelombang, letusan gunung api, dan kenaikan suhu air laut,
-
Ulah manusia
yang
secara
langsung merusak
terumbu karang,
seperti
pengambilan karang batu, pengumpulan biota laut untuk perhiasan, pengambilan fosil, penangkapan ikan dengan jaring muromi, dengan bahan kimia dan bahan peledak, bahkan pemasangan bubu di terumbu karang, -
Kegiatan manusia yang secara tidak langsung dapat merusak terumbu karang, misalnya penggundulan di hulu sungai atau intensifikasi pertanian yang dapat berakibat meningkatnya jumlah endapan yang dibawa sungai (sedimentasi), pembangunan wilayah industri di sepanjang pantai yang membuang limbahnya ke sungai, limbah dari pemukiman, pengeboran minyak, dan pengembangan industri pariwisata yang tidak ramah lingkungan di wilayah terumbu karang, serta penambangan pasir liar yang tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan. Lebih jauh rusaknya terumbu karang dapat mengakibatkan beberapa hal
berikut: - Abrasi (pengikisan) garis pantai, - Penurunan produktifitas perairan (populasi perikanan) wilayah pesisir, - Menurunnya daya tarik pariwisata, khususnya wisata bahari, - Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Di wilayah pesisir terdapat tiga jenis terumbu karang, yaitu: karang pinggiran, karang penghalang, dan karang patahan. Karang pinggiran terbentuk di dekat pesisir pada garis pantai yang berbatu-batu. Batas-batas vertikal pertumbuhannya ditentukan oleh pasang purnama dan kedalaman airnya dapat ditembus oleh cahaya. Diantara garis pantai dan karang pinggiran, biasanya terdapat terumbu yang dangkal, dengan pertumbuhan karang yang buruk karena sirkulasi air berkurang, muatan endapan lebih
24
tinggi, dan salinitas air lebih rendah karena limpasan air dari pantai.
Karang
penghalang tumbuh setelah garis pantai tergenang dan hanya bagian yang tumbuh ke arah laut yang dapat melanjutkan pertumbuhannya, sehingga karang penghalang terpisah dari garis pantai oleh laguna. Sedangkan karang patahan tumbuh di tempat yang substratnya terisolasi dan tidak tersingkap di permukaan laut. Konsep Daya Dukung Wilayah Pesisir Odum (1971) menegaskan bahwa daya dukung lingkungan merupakan jumlah populasi
organisme
yang
kehidupannya
dapat
didukung
oleh
suatu
kawasan/ekosistem. Caughley (1979) mengatakan daya dukung ekologi menjelaskan ukuran herbivora dan populasi tanaman yang dapat dicapai secara alami apabila keduanya dibiarkan berinteraksi tanpa ada intervensi manusia; Daya dukung ekonomi menjelaskan suatu kesetimbangan yang ditimbulkan oleh kelestarian pemanenan populasi herbivora; Daya dukung lingkungan dimaknai sebagai kapasitas maksimum lingkungan yang dapat memikul beban yang ada (Catton 1986). Rees (1996) menyatakan bahwa daya dukung ekologis merupakan landasan bagi optimalisasi habitat dalam menghasilkan produksi. Daya dukung tidaklah tetap, melainkan berkembang sesuai dengan waktu, perkembangan serta dapat dipengaruhi oleh teknik-teknik manajemen dan pengontrolan (Saveriades, 2000). Telfor dan Robinson (2003) mendefinisikan daya dukung lingkungan periran sebagai jumlah produksi budidaya perairan yang dapat ditopang oleh suatu lingkungan, dalam suatu kriteria yang didefinisikan. Kemampuan lingkungan melestarikan SDA dan JASLING ini tanpa kerusakan berarti dikenal dengan daya dukung lingkungan. Auke Bay Laboratory, Alaska Fishery Science Center, 1999 menetapkan strategi penentuan Daya Dukung Lautan (OCC) antara lain : •
daya dukung turisme (tourism carrying capacity/TCC): suatu telaahan terhadap komponen-komponen yang dapat mempengaruhi optimalisasi aktivitas turis,
25
termasuk
ekoturisme.
Komponen-komponen
yang
diamatinya
adalah
komponen fisika-ekologis, komponen sosio-demografi, dan komponen politikekonomi (Final Report “Defining, Measuring And Evaluating Carrying Capacity In European Tourism Destinations”, 2001) Produk (ikan, kerang)
Sistem produksi budidaya pantai
Sumberdaya (benur, pakan, kualitas air, dll) SDA
DAYA DUKUNG
LINGKUNGAN
Limbah (pakan, limbah metabolisme, kimia, feral hewan, dll) JASLING
Gambar 1 Konsep SDA dan JASLING, Rangkuman dari Pendapat
daya dukung fisik (physical carrying capacity)
daya dukung ekologi (ecologil carrying capacity)
daya dukung produksi (production carrying capacity)
daya dukung sosial (social carrying capacity)
Inglis et al. (2000) Gambar 2 Tipe Daya Dukung Pesisir (Inglis et al. (2000) )
26
Tipe Daya Dukung : •
Daya dukung fisik suatu kawasan berhubungan dengan ukuran dan jumlah area yang dapat diakomodasi dalam suatu ruang fisik yang layak
•
Daya dukung produksi merujuk pada kelimpahan stok yang mengikuti panen
Nt
yang kontinyu dan maksimal, seperti Gambar 3 berikut :
L
t
Gambar 3 Kurva Sigmoid yang Menggambarkan Daya Dukung •
daya dukung ekologi merupakan tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat di akomodasi oleh suatu kawasan atau area sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.
•
daya dukung sosial merupakan tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan area akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan.
Defenisi daya dukung seperti tabel 1 berikut:
27
Tabel 1 Defenisi Daya Dukung di Wilayah Pesisir No. Jenis Definisi Skala pengaruh 1. Daya dukung fisik Batasan-batasan yang ditata Bawah permukaan oleh ruang fisik dan kondisi- dan area kondisi yang diperlukan perencanaan kawasan pantai/laut (ukuran, situasi, kedalaman air, dll.) 2.
Daya produksi
dukung Kelimpahan stok lestari pada Pertanian dan tingkat produksi maksimum wilayah pesisir
3.
Daya dukung ekologi
4.
Daya dukung social
Tingkatan dimana Aktivitas dan pengembangan kawasan masyarakat menyebabkan perubahan- wilayah pesisir perubahan nyata dalam ekosistem
Tingkatan dimana Wilayah pesisir pengembangan kawasan berbenturan atau menimbulkan konflik dengan penggunaan lainnya Sumber : Inglis et al. 2000 ( modifikasi)
Konsep Keterkaitan Wilayah pesisir Sesuai dengan karakteristik geografis wilayah pesisir dapat dilihat bahwa wilayah pesisir mencirikan adanya wilayah laut dan berupa pulau-pulau. Dimana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan/interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara berkelompok”, sehingga konsep pemanfaatan ruang yang akan dirumuskan tentunya perlu mempertimbangkan kondisi wilayah yang sangat spesifik tersebut. Untuk itu, pemanfaatan wilayah pesisir bersama dengan ruang wilayah perairan (laut) dapat dilaksanakan seoptimal mungkin demi mewujudkan proses pembangunan melalui upaya peningkatan distribusi dari hasil-hasil kegiatan produksi dan jasa serta optimalisasi dari fungsi-fungsi dari setiap aktifitas di atasnya. Pemanfaatan ruang wilayah daratan dan lautan perlu direncanakan secara serasi dan selaras dengan mempertimbangkan :
28
•
Kawasan yang ada di darat dan laut serta hubungan fungsional kawasan-kawasan tersebut (inter-functionalities)
•
Potensi ruang wilayah pesisir dan perairan laut.
•
Keterbatasan-keterbatasan fisik alam, SDA, habitat, dan ekosistem lingkungan yang ada baik di wilayah daratan maupun lautan. Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, prinsip keterpaduan sangat penting
dan memegang peran yang fundamental sebagai salah satu kunci sukses pengelolaan. Hal ini terkait dengan sifat alamiah dari wilayah pesisir yang sering disebut sebagai “the most complex system and multiple-use”.
Gambar 2.8 memberikan ilustrasi
tentang wilayah pesisir sebagai kawasan yang multi-use (Dahuri, 2004). Mengingat fungsi wilayah pesisir dan laut yang dinamik tersebut, Cicin-Sain and Knecht (1998) memberikan guidance bahwa elemen keterpaduan dalam pengelolaan pesisir adalah (1) keterpaduan sektoral; (2) keterpaduan pemerintahan; (3) keterpaduan spasial; (4) keterpaduan ilmu dan manajemen; dan (5) keterpaduan internasional. Keterpaduan sektoral mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Integrasi antar sektor ini dapat bersifat horizontal antar sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir, misalnya perikanan dan pariwisata bahari, atau vertikal yaitu antar sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan sector yang memanfaatkan sumberdaya daratan namun memiliki pengaruh terhadap dinamika ekosistem pesisir dan laut. Sebagai contoh sektor perikanan dengan pertanian pesisir. Keterkaitan dalam pengelolaan wilayah pesisir seperti Gambar 4 berikut
29
Gambar 4 Wilayah Pesisir dan Laut Sebagai Kawasan Multi-Use (Dahuri, 2004) Keterpaduan pemerintahan memiliki makna integrasi antar penyelenggara pemerintahan antar level dalam sebuah konteks pengelolaan wilayah pesisir tertentu. Pengelolaan sebuah teluk misalnya dapat melibatkan lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Lebih dari itu, koordinasi dan integrasi antar level pemerintahan seperti antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi atau bahkan pemerintah pusat diperlukan dalam konteks keterpaduan pemerintahan ini. Keterpaduan spasial memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan pesisir, yaitu mencakup kawasan daratan dan kawasan laut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Dengan demikian pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem tersebut sehingga integrasi pengelolaan secara spasial menjadi kebutuhan mutlak. Dalam konteks Indonesia, saat ini dikembangkan integrasi atau harmonisasi antara tata ruang darat dan tata ruang laut (DKP, 2004). Keterpaduan ilmu dan manajemen menitikberatkan pada integrasi antar ilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan pesisir. Dalam konteks ini, integrasi pemahaman bersama antara ilmu alam (natural sciences) dan ilmu sosial (social
30
sciences) menjadi sangat penting sehingga tujuan pengelolaan pesisir berkelanjutan dapat diwujudkan (Turner, 2000). Keterpaduan internasional mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut yang melibatkan dua atau lebih negara seperti dalam konteks transboundary species, high migratory biota maupun efek polusi antar ekosistem. Keterpaduan ini misalnya sangat diperlukan ketika pemerintah harus terlibat dalam pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization) seperti yang disyaratkan oleh Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) seperti IOTC (Indian Ocean of Tuna Commision) dan lain sebagainya. Secara diagram, keterpaduan yang diperlukan dalam pengelolaan pesisir digambarkan lebih komprehensif oleh Dahuri (2004) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. Intergovernmental integration
Ecosystem integration
Intersectoral integration
Local knowledge and wisdom
Sciencemanagement integration
ICM
Decentralization
Consistency on development funding
Law enforcement Institutional arrangement
Consistency in planning and management
Gambar 5 Keterpaduan Dalam Pengelolaan Pesisir (Dahuri, 2004) Pengertian Penataan Ruang Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budayanya) dengan ekosistem (sumber daya alam dan sumber daya buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu
31
secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak yang ada. Hal ini karena adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya ( Departemen PU, 2001) Penataannya perlu didasarkan pada pemahaman potensi dan keterbatasan alam, perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta tuntutan kebutuhan perikehidupan saat ini dan kelestarian lingkungan hidup dimasa yang akan datang. Upaya pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan ini dituangkan dalam suatu kesatuan rencana tata ruang. Sesuai dengan Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1, menerangkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. struktur ruang
Selanjutnya dinyatakan bahwa tata ruang
adalah wujud
dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis, baik antar kegiatan maupun antar pusat, akan tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang itu sendiri ditentukan oleh terwujudnya
32
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur (keterkaitan jaringan infrastruktur dengan pusat permukim dan jasa) (Departemen PU, 2001) Dalam UU No.26/2007 dinyatakan juga bahwa perencanaan tata ruang secara dapat diartikan suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah. Pengaturan kawasan perkotaan diarahkan bagi keserasian pusat-pusat wilayah maupun kota, yang dipandang dalam rangka keserasian administratif maupun fungsional, dan sifat rencananya menyangkut hal-hal yang strategis dalam bentuk RUTR Kota, sedangkan kawasan perkotaan yang terdapat dalam wilayah Kabupaten, diakomodasikan perencanaannya dalam RTRW Kabupaten. Penataan
ruang
kawasan
perdesaan
diarahkan
untuk
pemberdayaan
masyarakat perdesaan; pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya; konservasi sumberdaya alam; pelestarian warisan budaya lokal; pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahan pangan; dan penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan (UU No.26 Tahun 2007). Keterkaitan perencanaan masing-masing tingkatan rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat digambarkan dalam proses perencanaan sebagai diagram pada Gambar 6 berikut ini.
33
PENGATURAN STRUKTUR RENCANA STRUKTUR
RENCANA UMUM
PENGATURAN
PEMANFAATAN RUANG
RENCANA DETAIL
POLA PEMANFAATAN RUANG
RENCANA TEKNIK
Gambar 6 Hubungan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang dalam Suatu Wilayah (Departemen PU,2001)
Rencana struktur tata ruang wilayah, adalah rencana struktur pemanfaatan ruang wilayah, yang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang secara garis besar, disusun untuk menjaga konsistensi perkembangan pembangunan suatu wilayah dengan strategi nasional dalam jangka panjang, serta menjaga keserasian perkembangan pembangunan dengan wilayah pengembangannya. Rencana merupakan ketentuan yang tidak mengikat secara hukum kepada masyarakat luas, namun merupakan ketentuan yang mengikat bagi instansi terkait dan yang berwenang memberikan arahan bagi pengembangan dan pembangunan di wilayah tersebut, terutama untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan lingkungan dan perkembangan wilayah inti dengan
wilayah lainnya
dalam wilayah pengaruh pengembangannya. Sesuai dengan prinsip-prinsip manfaat kegunaan rencana tersebut, berisi: 1. Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya di wilayah arahan pengembangan kawasan permukiman, pertanian, perikanan, perindustrian, pariwisata, jasa perniagaan. Muatan rencana ini mempunyai nilai manfaat sebagai pedoman arahan alokasi kegiatan investasi, Kawasan Pengembangan Industri Estate, Kawasan Pengembangan Wisata dll);
34
2. Arahan pengembangan sistem prasarana dan sarana primer. Muatan rencana ini mengandung nilai manfaat sebagai pedoman perumusan kebijakan
pelaksanaan
pemanfaatan
ruang
di
wilayah
dan
wilayah
pengaruhnya; sekaligus untuk mewujudkan keserasian perkembangan wilayah di wilayah pengaruh pengembangannya. Pengembangan sistem prasarana dan sarana yang mempunyai jangkauan wilayah, diharapkan akan dapat menciptakan keseimbangan antar wilayah sesuai fungsi dan peran masing-masing yang dilayani prasarana dan sarana sesuai dengan kebutuhannya, sehingga terbentuk struktur yang diharapkan. 3. Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan
sumber daya alam
lainnya, dengan memperhatikan keterpaduan sumber daya manusia dan buatan. Muatan rencana ini mengandung nilai manfaat sebagai pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan wilayah dan wilayah lainnya di wilayah pengaruhnya serta wilayah pengaruh pengembangannya, sehingga diharapkan akan tercapai sustainabilitas pembangunan wilayah dilihat dari daya dukung lingkungan. 4. Arahan lokasi pengembangan kawasan prioritas. Muatan-muatan tersebut di atas secara keseluruhan mengandung nilai manfaat sebagai pedoman penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten, Kriteria yang digunakan untuk menentukan tata ruang dan zonasi adalah kriteria-kriteria yang disusun berdasarkan potensi supply dan potensi demand ( Gold, 1980; Mac.Kinnon,J.et.al. 1986; Departemen Kehutanan, 1983). Potensi supply meliputi kondisi sumberdaya alam
yang terdiri dari unsur fisik dan biologi
yang
mempunyai interaksi satu sama lainnya, mempunyai kemampuan tumbuh
dan
berkembang
serta
dapat
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan potensi demand meliputi kondisi sosial dan ekonomi
35
masyarakat serta potensi wisatawan yang dalam perkembangannya membutuhkan pasokan
sumberdaya alam ( potensi suplly) yang memadai dan memerlukan
pengaturan pemanfaatan agar dapat menjamin kelestariannya. Proses Penataan Ruang Unsur-unsur Penataan Ruang Ada dua unsur penataan ruang, yaitu proses penataan ruang fisik dan unsur kelembagaan/instansional penataan ruang (Rustiadi et al, 2003). Unsur fisik penataan ruang mencakup ; 1) Arah pemanfaatan fisik ruang. Pengaturan pemanfaatan ruang yang paling dikenal selama ini adalah berupa pengaturan penggunaan lahan penyusunan
yang didahului oleh
perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Rencana
penggunaan lahan dianggap perencanaan fisik paling utama dalam proses penataan ruang, bahkan sebagian berpendapat
proses ini merupakan proses
perencanaan minimal dari suatu perencanaan tata ruang. Namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan (tata guna tanah) tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya tidak pernah efektif., karena penggunaan lahan tidak bersifat independen dari perencanaan struktur pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan
hirarki
dan perencanaan infrastruktur
lainnya serta unsur-unsur kelembagaan. 2) Penataan struktur/Hirarki Pusat-Pusat Aktifitas Sosial Ekonomi. Struktur hirarki pusat pelayanan umumnya didasarkan atas dua bentuk hirarki, yakni hirarki sosial-politik dan hirarki ekonomi. Hirarki sosial politik umumnya sangat terkait dengan aspek historis dari struktur pemusatan politik masyarakat yang dilegalkan sebagai administrasi pemerintahan di suatu wilayah. Namun berbagai pertimbangan sosial khususnya hal-hal yang menyangkut upaya pemerataan/keadilan pembangunan mengarahkan pada pusat-pusat administrasi
36
pemerintahan walaupun secara jangka pendek menciptakan berbagai bentuk inefisiensi. Struktur pemusatan ekonomi lebih ditentukan oleh ekonomi pasar. Pertimbangan tingginya ekonomi dari lakoasi-lokasi tertentu menyebabkan suatu piusat pelayanan wilayah lebih berkembang dibandingkan dengan pusat-pusat ekonomi secara alamiah. Penataan struktur hirarki pusat ekonomi diperlukan sebagai upayan
meningkatkan
fungsi
dan
peran
pusat-pusat
pertumbuhan
agar
berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan produktifitas wilayah secara keseluruhan menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun pola hirarki pemusatan. Konsentrasi spasial (aglomerasi) secara berlebihan di suatu pusat pelayanan ekonomi yang tidak diimbangi dengan perencanaan yang baik sering mengarah kepada bentuk-bentuk inefisiensi. Oleh karena itu upaya-upaya untuk melakukan dekonsentrasi aktifitas ekonomi dengan memacu pusat-pusat pertumbuhan lainnya dapat
dijadikan
pemecahan
keseimbangan
struktur
hirarki
pusat-pusat
pembangunan. 3) Pengembangan Jaringan Keterkaitan antar pusat-pusat aktifitas Sistem-sistem jaringan di dalam wilayah mencakup berbagai sistem yang menfasilitasi aliran barang barang jasa dan informasi antar pusat-pusat aktifitas sosial dan ekonomi memberikan tingkat efisiensi dan produktifitas yang optimal. Bentuk atau pola keterkaitan atau hubungan hubungan antar pusat-pusat aktifitas yang dibutuhkan di dalam suatu perencanaan akan menentukan struktur jaringan yang dibutuhkan didalam suatu perencanaan akan menentukan struktur jaringan yang terbentuk
akan mempengaruhi
perkembangan
masing-masing pusat
aktifitas dan bentuk-bentuk keterkaitan (linkage) antar pusat-pusat aktifitas yang pada akhirnya dapat mengubah struktur hirarki pusat-pusat yang ada. Secara
37
keseluruhan sistem jaringan dikembangkan untuk menfasilitasi
interaksi dan
keterkaitan antar pusat-pusat yang paling optimal. Dalam wilayah yang dipandang sebagai suatu sistem ekonomi, sistem-sistem jaringan dikembangkan untuk memfasilitasi sistem aliran sumberdaya (informasi, barang dan jasa) yang efisien, meningkatkan produktifitas, dan mendorong interaksi spasial
yang saling memperkuat (reinforcing each others). Untuk itu
sistem jaringan yang perlu dikembangkan diantaranya seperti sistem transportasi (jalan raya, kereta api, energi, modal, perairan dll). Guna menciptakan aliran inputinput (sumberdaya manusia, energi, modal, barang-barang dan jasa lainnya) secara lintas sektor industri antar wilayah. 4) Pengembangan Infrastruktur Infrastruktur
pusat-pusat pelayanan; pusat ekonomi, aktifitas sosial dan pusat
administrasi pemerintahan, pusat budaya dan lainnya. Termasuk juga infrastruktur jaringan. Konsep Valuasi Ekonomi terhadap Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara umum dapat didefinisikan bahwa valuasi ekonomi pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market prices) tersedia atau tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neoclassical economic theory) yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Di dalam konsep ekonomi neo-klasik, penilaian seorang individu atas barang dan jasa sering dinyatakan dengan total utilitas yang diperoleh dari mengkonsumsi barang dan jasa tersebut. Secara matematis, jika x adalah kuantitas barang yang dikonsumsi, maka total utilitas yang diperoleh oleh seorang individu adalah : U =U(x).............................
(2.1)
38
Selain konsep Total Utilitas, konsep yang lebih menarik dari Teori Preferensi adalah konsep Utilitas
Marginal atau “Marginal Utility”.
Utilitas Marginal dapat
diartikan sebagai laju perubahan utilitas sebagai akibat dari perubahan unit x yang dikonsumsi. Secara grafis, Utilitas Marginal adalah kemiringan atau “slope” dari kurva Utilitas Total seperti terlihat dari Gambar 7 berikut dan secara matematis dapat ditulis sebagai : dU/dx = MU(x).....................................
(2.2)
U(x)
xj
x
Gambar 7 Total Utilitas Pada Gambar 7 axis vertikal adalah utilitas total dan axis horizontal adalah jumlah x yang mencerminkan ‘typical” utilitas seseorang dimana pada kisaran tertentu (0 sampai xj) menunjukkan bahwa semakin banyak x yang dikonsumsi semakin banyak utilitas yang diperoleh, Pada tingkat
xj (titik jenuh) utilitas total akan mencapai
maksimum, kemudian pada daerah x>xj utilitas total akan menurun, sehingga sering dikatakan bahwa utilitas total meningkat dengan “laju yang menurun”. Meskipun secara teoritis konsep utilitas di atas mudah untuk dipahami, namun satu kendala utama dalam pemahaman konsep utilitas masalah pengukuran. Utilitas total dan utilitas marginal
tidak dapat diukur secara obsolut atau “unobservable”.
Untuk memperoleh penilaian utilitas seorang individu , diperlukan informasi mengenai pola konsumsi atau preferensi individu. Jika kita asumsikan bahwa individu A kita
39
berikan sejumlah pendapatan (income) tertentu dan kita berikan kebebasan kepada individu tersebut untuk menentukan preferensinya atau “keinginan untuk membayar (WTP)” terhadap barang dan jasa yang akan dikunsumsinya, maka kurva permintaan dia terhadap barang dan jasa tersebut dapat dijadikan proxy sebagai WTP individu tersebut. Pada Gambar 7, kurva permintaan terhadap barang X digambarkan dengan slope (kemiringan) yang negatif, yang menunjukan adanya hubungan yang terbalik antara harga dan kuantitas yang diminta (jika harga naik maka kuantitas yang diminta akan
menurun).
Kurva
tersebut
mencerminkan
keinginan
konsumen
untuk
mengkonsumsi sejumlah barang pada setiap harga yang berbeda. Dari Gambar 2.3, dapat ditunjukan bahwa seluruh daerah di bawah kurva permintaan tersebut menunjukan “keinginan membayar” (WTP) dari individu pada barang X. Daerah tersebut menunjukan pula “kepuasan total” dari mengkonsumsi seluruh barang X. Dengan demikian, titik-titik yang menghubungkan sepanjang kurva permintaan menunjukan keinginan membayar untuk setiap tambahan barang X atau diistilahkan dengan marginal WTP. Seperti Gambar 8 berikut:
P A
P*
E
x* Gambar 8 Kurva Permintaan dan Willingness to Pay
X
40
Dari Gambar 8 dapat pula kita lihat bahwa, jika keseimbangan harga di pasar ditunjukan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar X*. Meskipun konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun yang benar-benar ia bayar hanyalah sebesar P*. Kelebihan keinginan membayar ini adalah ditunjukan oleh daerah P*EA yang di dalam pemikiran ekonomi neo-klasikal disebut sebagai surplus konsumen (Consumer Surplus) atau Marshallian consumer’s surplus) yang telah dikembangkan lebih dini oleh Dupuit (1952). Meskipun tidak terukur secara jelas, teknik pengukuran surplus konsumen ini sudah sangat dikenal pada barang dan jasa yang konvensional yang diperdagangkan di pasar dengan harga yang terukur. Ketika surplus konsumen yang diperoleh dari mengkonsumsi barang dan jasa tersebut sudah diukur, valuasi ekonomi pada komoditas yang konvensional ini kemudian bisa diukur dengan melihat perbandingan surplus konsumen yang terjadi (change in consumer’s surplus) akibat adanya perubahan ekonomi, misalnya terjadi perubahan harga, kenaikan pendapatan, dsb. Krutila (1967) mengenalkan konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total bagi setiap individu atas sumberdaya alam dan lingkungan. Total Economic Value ini pada dasarnya sama dengan manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh dari sumberdaya alam. Di dalam konsep ini, nilai yang dikonsumsi oleh seorang individu dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yakni use value (nilai kegunaan) dan non-use value. Komponen pertama, yakni use value pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan seperti berburu, memancing, rekreasi, dsb. Kedalam nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang bisa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use value secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam direct use value (nilai
41
kegunaan langsung) dan indirect use value (nilai kegunaan tidak langsung). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan bakar dan lain sebaginya baik secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk di dalam kategori indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan nursery ground dari suatu ekosistem (misalnya mangrove). Komponen non-use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value lebih bersifat sulit diukur (less tangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail, kategori non-use value ini dibagi lagi kedalam sub-class yakni: Existence Value, Bequest Value dan Option Value. Existence value atau nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari sumberdaya alam. Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang (mereka yang belum lahir). Sementara, option value lebih diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) masih tersedia untuk masa yang akan datang. Option value mengandung makna ketidakpastian. Dimana merujuk pada nilai barang dan jasa SDA yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa datang. Jadi jika kita yakin akan preferensi dan ketersediaan SDA di masa mendatang, misalnya, maka nilai option value kita akan nol. Sebaliknya jika kita tidak yakin, maka nilai option value kita akan positif. Misalnya saja kita mau membayar “premium” (nilai opsi) agar opsi untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari SDA tetap terbuka.
42
Secara sistematis konsep nilai ekonomi total
(total economic value) dapat
dilihat pada Gambar 9 berikut. Konsep Valuasi Ekonomi SDA
Use
Direct
Non Use
Indirect
Option
Bequest
Existence
Gambar 9 Klasifikasi Konsep Valuasi Ekonomi, Krutila 1967 Pengertian Model dalam Penataan Ruang Manusia tanpa disadari sudah menggunakan model. Dalam percakapan seharihari, model untuk menyatakan sesuatu yang patut ”dicontoh” atau ”patut dijadikan teladan”.Tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan suatu model merupakan abstraksi (abstraction) ataupun penyederhanaan (simplification) dari suatu sistem, dan untuk menafsirkannya (Jorgensen, 1988; Hall dan Day,1997; Grant et all., 1997). Dengan kata lain, model dalam arti luas merupakan penggambaran sebagian dari kenyataan. Model-model dari ruang
jauh lebih sederhana dari pada ruang yang sebenarnya.
Suatu model harus memiliki suatu atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut, karena kalau hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model melainkan suatu sistem nyata. Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran
terhadap suatu sistem yang rumit, dan kadang-kadang untuk
meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal harganya, sulit ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang bersangkutan. Pemodelan (modelling) adalah berfikir (thinking) dengan mengikuti sekuen logis (Fauzi, 2000). Secara berstruktur
pemodelan merupakan proses menyerap,
43
memformulasikan, memproses dan menampilkan kembali, dan hasil proses tersebut adalah model. Pembuatan model adalah perluasan dari suatu analisis ilmiah. Pembuatan model diperlukan untuk memahami alam karena alam sangatlah rumit. Bagaimanapun, model-model yang dibuat harus sering diperiksa kaitannya dengan dunia nyata untuk memastikan keakuratann dan gambaran mengenai modelmodel tersebut. Alat yang paling baik digunakan adalah sifat saling mempengaruhi antara model dengan empirisme, yang secara ideal berada dalam suatu rangkaian timbal balik. Setelah definisi dari komponen-komponen model dan langkah pemodelan sudah ditampilkan, maka sebauah prosedur pemodelan tentatif diberikan. Prosesdur secara berturut-turut, yaitu perumusan masalah, membatasi masalah menutur waktu, tempat dan sub-sistem, kebutuhan data, konsep diagram, persamaan-persamaan, verifikasi, analisis sensitif, kalibrasi dan validiasi. Dalam permodelan yang terkait dengan waktu, secara umum ada tiga tipe model yang biasa digunakan. Tipe pertama, adalah model-model yang mewakili fenomena-fenomena tertentu, disebut model statik. Menggambarkan lokasi dan ukuran dengan segala fungsinya. Tipe kedua, adalah model statik komparatif membandingkan beberapa fenomena
yang
pada berbagai waktu. Ini adalah seperti
menggunakan serangkaian gambar/foto untuk membuat kesimpulan mengenai jalur sistem dari suatu saat tertentu hingga saat lain tanpa membuat model proses yang menghasilkan perubahan itu sendiri. Tipe ketiga
adalah model yang dibuat untuk
memberikan gambaran perubahan selama berjalannya waktu, atau model yang berusaha mencerminkan
perubahan dalam
waktu
riil
atau simulasi
yang
mnempertimbangkan bahwa komponen-kompoenen model tersebut secara konstant berevolusi sebagai akibat dari tindakan-tindakan sebelumnya. Tipe model ini disebut dengan tipe model dinamik ( Ruth dan Hannon, 1997). Model-model yang mewakili fenomena-fenomena tertentu, menggambarkan lokasi
dan
ukuran
dengan
segala
fungsinya
dan
keterkaitannya,
serta
44
membandingkan beberapa fenomena
pada berbagai tempat dan waktu akan
menghasilkan suatu model desikriptif. Dalam rumusan model perencanaan wilayah pesisir yang akan dihasilkan adalah pada tataran rumusan model deskrpitif proses perencanaan. Model ini berupa rumusan konsep dari proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang digambarkan secara spasial dengan menggunakan metode analisis sistem informasi geografis. Hasilnya berupa model berdasarkan pada fungsi dan struktur seperti menggunakan serangkaian gambar untuk membuat kesimpulan mengenai sistem dan proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Yaitu : a. Model statis, yaitu ; terjadi perubahan tanpa memperhitungkan waktu. Contoh : skema, bagan, dll. b. Model Deskriptif, yaitu ; menggambarkan situasi tertentu, contoh Model dalam bentuk Bagan. c. Model Prediktif, yaitu : persamaan yang bersifat ramalan , contoh ; Grafik. d. Model Normatif, yaitu; persamaan yang memberikan rekomendasi untuk tindakan tertentu, contoh aliran energi listrik untuk penggunaan perangkat komputer. e. Model Analog, yaitu; antara hal orisinil dan model terjadi subsitusi elemen-elemen dan relasi-relasi, contoh peta. Arti lain adalah bahwa model merupakan alat untuk meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami. Dari perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik. Definisi ketiga adalah bahwa model dapat dianggap sebagai suatu formulasi dari suatu pengetahuan mengenai suatu sistem. Dalam penataan ruang, model adalah konsep atau formulasi yang memberikan gambaran mengenai keadaan sebenarnya (real world situation ). Karena populasi berubah-ubah sepanjang waktu, maka dengan adanya model dimungkinkan untuk mengadakan ramalan-ramalan mengenai keadaan populasi yang bersangkutan untuk
45
waktu-waktu tertentu. Dua tipe utama dari model ekologi yang sering digunakan dan dapat diklasifikasikan dengan baik adalah model analitik dan model simulasi ( Hall dan Day, 1997). Kedua pendekatan tersebut, secara teoritis diarahkan pada peningkatan pemahaman dan ramalan mengenai sistem penataan ruang dan komponenkomponennya. Pembuatan model analitik biasanya dikarakterisasi melalui penggunaan pensil, kertas dan matematika
yang relatif rumit. Sedangkan pembuatan model
simulasi cendrung untuk dikarakterisasikan melalui penggunaan matematika yang lebih sederhana yang disertai dengan penggunaan komputer. Salah satu penggunaan model yang penting adalah mengoptimasi pembuatan keputusan mengenai lingkungan. Model juga dapat membantu dalam mengoptimasi atau memilih cara yang terbaik, untuk menghadapi kondisi-kondisi yang rumit dimasa mendatang, meskipun tidak ada jaminan bahwa apakah model yang bersangkutan memang benar adanya atau bahwa para pembuat keputusan memang
akan
memusatkan perhatian padanya. Pembuatan model ingin tahu lebih banyak mengenai struktur dan perilaku alam, baik pada saat ini maupun dimasa mendatang. Model merupakan salah satu alat
dari banyak alat yang dapat membantu dalam proses
tersebut. Hampir semua interaksi dibidang ekologi bersifat dinamik (Jeffers, 1978) dalam arti bahwa interaksi-interaksi tersebut bersifat time-dependent dan senantiasa berubah. Terlebih lagi, interaksi-interaksi
tersebut seringkali memiliki feature yang disebut
dengan feedback, yaitu membawa kepada sumbernya
kembali efek-efek dari suatu proses
tertentu
atau kepada tahap terdahulu untuk dapat memperkuat
atau
memodifikasikannya. Feedback semacam itu kadang-kadang bersifat positif dalam arti bahwa efek-efeknya meningkat dan kadang-kadang bersifat negatif. Dalam arti bahwa efeknya menurun. Feedback itu bersifat kompleks, dengan berbagai hasil bergantung pada serangkaian faktor lingkungan.
yang
46
Dengan berjalannya waktu, suatu model mungkin dapat menggambarkan suatu sistem yang berubah ataupun tidak. Suatu model statik menggambarkan hubungan atau kumpulan hubungan
yang tidak berubah dengan berjalannya waktu. Contoh
model-model regresi yang tidak memiliki waktu sebagai variabel independen. Suatu model dinamik menggambarkan hubungan yang bersifat time varying. Model-model dinamik adalah model-model yang berusaha mencerminkan perubahan-perubahan karena pengaruh waktu, dengan
mempertimbangkan bahwa komponen-komponen
model tersebut secara konstan berevolusi sebagai akibat dari tindakan-tindakan sebelumnya, sehingga dapat menyelidiki perileku sistem apakah mendekati atau menjauhi dari posisi ekuilibrium. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk memperdalam pemahaman tentang keunikan karakteristik ekosistem pesisir dan laut serta dampak dari proses aktivitas manusia pada ekosistem tersebut. Namun jiuka diperhatikan lebih seksama, pertimbangan terhadap aspek lingkungan dan pendekatan-pendekatan dalam penelitian tersebut masih dilakukan secara terpisah untuk kepentingan masing-masing, sehingga belum mengkaitkan secara eksplisit dan secara detail interaksi antara kawasan pesisir bagian darat dan kawasan pesisr bagian laut yang terpadu. Walaupun demikian, beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan lembaga riset menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi pada ekosistem wilayah pesisir sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia dibagian daratnya. Beberapa penelitian tersebut antara lain meliputi : Hasil Penelitian Tentang Wilayah Pesisir Beberapa penelitian telah dilkakukan dalam rangka melihat hubungan antara perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir yang dilakukan dalam rangka
47
kegiatan pembangunan terhadap ekosistem wilayah pesisir. Beberapa penelitian tersebut adalah : •
Penelitian tentang dampak sedimentasi pada DAS Baquit terhadap kegiatan pariwisata dan perikanan di kawasan pesisirnya yang berada di Pulau Palawan, Philipina ( Hodgson G dan Dixon J.A 1988). Dampak sedimentasi di kawasan pesisir Pulau Palawan tersebut diakibatkan oleh kegiatan penebangan hutan di hulu yang mempengaruhi kualitas perairan yang mengalir ke pesisir. Untuk mengetahu dampak sedimentasi, dilakukan simulasi terhadap dua pilihan model pembangunan, yaitu a) pilahan ( alternatif) I membatasi hutan di hulu sungai, dan b) pilihan (alternatif)
kegiatan penebangan
II terus melakukan kegiatan
penebangan dihulu ( tanpa batasan). Berdasarkan simulasi perhitungan amternatif pertama, maka diperoleh hasil terjadinya peningkatan pendapatan dari kegiatan pariwisata dan perikanan di kawasan pesisir. Sedangkan simulasi alternatif kedua, maka diperoleh hasil terjadi
berdasarkan pada
penurunan pendapatan
kegiatan pariwisata dan perikanan di pesisir akibat peningkatan sedimentasi di kawasan pesisir. Selanjutnya, sedimentasi tersebut perairan, sehingga perairan menjadi kurang layak
mempengaruhi kualitas bagi habitat perikanan dan
kegiatan pariwisata. Melalui suatu analisis ekonomi-ekologi, diperoleh gambaran bahwa dalam jangka waktu 10 tahun, pendapatan yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungsan alternatif pertama mencapai du kali lipat lebih dibandingkan dengan hasil perhitungan alternatif kedua. •
Hasil pelaksanaan studi awal (1989) yang dilakukan oleh ASEAN-US CRMP) di Segara Anakan, menunjukan bahwa telah terjadi perubahan kualitas lingkungan yang drastis
di kawasan pesisir Segara Anakan, Cilapcap. Kawasan pesisir
tersebut merupakan bagian hilir DAS Segara Anakan yang terbentuk oleh aliran Sungai Citanduy yang mengalami peningkatan laju sedimentasi yang tinggi akibat
48
pembukaan lahan di kawasan hulunya.
Untuk kepentingan kegiatan-kegiatan
pertanian, permukiman dan industri. Sedimentasi mencapai 5 – 10 juta ton per tahun mengalir ke hilir dan menyebabkan kurangnya luas Danau Segara Anakan. Pada studi tersebut diperkirakan pada tahun 200 luasnya akan menjadi 550 Ha dari semula 1400 Ha ( White et al. 1989). Sedimentasi ini telah berdampak pada penurunan hasil perikana, rusaknya habitat
mangrove
dan banjir yang
keseluruhannya mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk setempat. Dampak tersebut pada akhirnya juga menimbulkan masalah sosial yaitu konflik antar penduduk lokal akibat perebutan tanah timbul hasil sedimentasi. •
Penelitian Disertasi Rokmin Dahuri yang berjudul An Approach to Coastal Resource Utilization; The Nature and Role of Sustainable Development in Eas Kalimantan Coastal Zone, Indonesia, yang telah merumuskan sebuah kerangka pengelolalaan kawasan pesisir Kutai Kalimantan Timur berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ( Dahuri, 1992) sebagai upaya pengintegrasian aspek lingkungan
ke dalam kegiatan pembangunan. Akan tetapi lingkup penelitian
tersebut masih terbatas pada konteks pengelolalaan kawasan pesisir, pada hal pengelolalaan kawasan pesisir
lebih merupakan upya pengarahan
dan
pengendalian kagiatan pembangunan hanya di kawasan pesisir saja. Sedangkan permasalahan kawasan pesisir tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pembangunan di hulu karena adanya keterkaitan ekologis hulu-hilir memalui daerah aliran sungai. Diperlukan suatu upaya yang mengitegrasikan perencanaan kawasan pesisir dengan kawasan hulunya melalui penataan ruang yang komprehensif serta adanya kompensasi
finansial
bagi
kawasan
hulu
dalam
kontreks
pengelolaan
pembangunan DAS. •
Penelitian yang dilakukan oleh S.Amir et al ( 1997) mengenalisis mengenai suatu konsep spasial untuk kepentingan proyeksi distribusi penduduk, evaluasi dampak
49
lingkungan dari suatu rencana keluar dan cara (tools) yang
pembangunan, untuk kemudian
mencari jalan
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
kehilangan sumberdaya alam akibat kegiatan pembangunan. Hasil dari penelitian ini adalah usulan memamsukan pertimbangan lingkungan sejak awal dari suatu rencana
pembangunan
maupun
pada
masing-masing
tahapan
proses
perencanaan. Usulan tersebut berlaku untuk implementasi rencana pembangunan pada semua jenis wilayah termasuk wilayah sepanjang DAS sejak hulu hingga pesisir. •
Penelitian disertasi Adibroto, Tusi Agustine yang berjudul Pendekatan Keterkaitan Ekologis Hulu-Hilir
Dalam Penataan Ruang Wilayah Berkawasan Pesisir (2001)
telah merumuskan sebuah konsep keterkaitan ekologis Hulu-hilir dalam penataan ruang berkawasan pesisir.
Pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan
pendekatakan keterpaduan antara bidang ilmu perencanaan dengan ilmu ekologis dengan model dinamik. Dalam penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berpengaruh perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang wilayah ekologis suatu DAS dapat dikelompokan pada empat kategori; a) Faktor ekonomi merupakan kegiatan pembangunan (permukiman, pertanian dan indusri) dalam kaitannya
dengan penataan ruang, b) faktor ekologis merupakan
keterkaitan dengan kemampuan alamiah suatu wilayah dalam mendukung suatu kegiatan pembangunan, c) Alokasi ruang yang proporsional antar kawasan lindung dan budidaya dan d) faktor kependudukan.
50
KERANGKA PEMIKIRAN Gagasan Awal Penyusunan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Mengacu kepada konsep ruang darat, laut, dan udara yang tertuang dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka ruang kelautan bagi perencanaan merupakan ruang yang melangsungkan fungsi-fungsi yang
secara
struktural akan terkait dengan sistem pusat-pusat yang berada di daratan. Oleh karenanya,
pada batas-batas tertentu akan terjadi
tumpang-tindih wilayah
perencanaan dengan kawasan daratan dengan kawasan lautan, terutama di kawasan pesisir. Wilayah pesisir secara keruangan menempati wilayah daratan dan wilayah lautan. Oleh karenanya dalam pengembangan konsep tata ruang kelautan perlu dipertimbangkan lebih lanjut mengenai hubungan dan integrasi fungsi ruang wilayah laut terhadap darat. Dalam melangsungkan fungsinya, maka ruang laut dapat berperan sebagai kawasan budidaya, kawasan lindung, atau kawasan tertentu.
Mengacu kepada
ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka wilayah laut dapat memiliki satu atau lebih ciri-ciri sebagai kawasan cepat tumbuh; kawasan potensial berkembang; kawasan sangat tertinggal; kawasan kritis lingkungan; kawasan perbatasan; dan kawasan pertahanan keamanan negara. Khusus untuk ruang laut yang berfungsi sebagai kawasan cepat tumbuh; kawasan potensial berkembang; dan kawasan sangat tertinggal, maka ruang laut akan selalu terkait dengan ruang darat di sekitarnya yang dapat menghasilkan tingkat kinerja mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat; produktifitas sektor; serta indikator kemasyarakatan lainnya. Sedang untuk ruang laut yang berfungsi sebagai kawasan kritis lingkungan; kawasan perbatasan; dan kawasan pertahanan keamanan negara dapat mencakup kawasan laut semata.
51
Pertimbangan ekologis, sutau pengelolaan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan dapat dicapai manakala mempertimbangkan persyaratan-persyaratan berikut, yaitu (a) adanya keharmonisan spasial di wilayah pesisir, (b) melaksanakan pemanfaatan
sumberdaya
pesisir
secara
optimal
dan
berkelanjutan,
(c)
mendayagunakan potensi sumberdaya pesisir sesuai daya dukung lingkungan. (Adrianto,2005). 1. Keharmonisan Spasial Keharmonisan spasial adalah penataan dan penempatan setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara tepat dan akurat berdasarkan potensi dan kemampuan lahan pesisir.
Oleh karena itu, pada tahap awal
perlunya penyusunan tata ruang pembangunan di wilayah pesisir dan lautan. Penataan ruang pesisir dan laut dapat dilakukan melalui empat tahap, yaitu : Tahap pertama, menata ruang pesisir secara menyeluruh bagi berbagai peruntukan, yaitu peruntukan bagi zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan secara intensif. Zona preservasi adalah zona yang tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan kecuali kegiatan penelitian. Zona ini misalnya daerah pemijahan (spawning area) dan jalur hijau pantai. Zona konservasi adalah zona dimana kegiatan pembangunan yang diperbolehkan hanyalah kegiatan yang tidak merusak lingkungan seperti wisata alam. Tahap kedua, menata ruang pesisir dan lautan yang diperuntukkan bagi zona pemanfaatan secara intensif untuk berbagai kegiatan pembangunan.
Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan dan tumpang tindih berbagai kegiatan pembangunan. Tahap ketiga, menata ruang pesisir dan lautan dengan lahan atas untuk menghindari adanya dampak dari kegiatan pembangunan dari lahan atas yang dapat mematikan kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dan lautan.
52
Tahap keempat, menempatkan setiap kegiatan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan biofisik dari kegiatan tersebut, seperti penempatan lahan budidaya tambak, budidaya mutiara, kerapu dan sebagainya. 2. Pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan Pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan memiliki arti bahwa pemanfaatan sumberdaya harus dilakukan dengan meperhatikan kemampuan pulihnya. Pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan harus memperhatikan hal-hal berikut : •
Pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap tidak boleh melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield)
•
Kegiatan penangkapan ikan tidak boleh menggunakan teknik-teknik dan cara ilegal yang dapat memusnahkan sumberdaya perikanan dan ekosistemnya.
•
Pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan harus didukung oleh penggunaan alat tangkap yang selektif khususnya perikanan pantai.
•
Pemanfaatan sumberdaya tidak pulih harus dilakukan secara cermat dan bijaksana.
3. Pendayagunaan potensi sesuai daya dukung lingkungan Pendayagunaan potensi wilayah pesisir dan lautan sesuai daya dukung lingkungan adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus mampu ditolerir oleh kemampuan dan daya dukung lingkungan pesisir. Pendayagunaan
potensi
wilayah
pesisir
dan
lautan
yang
harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: •
Peningkatan produksi perikanan budidaya melalui ekstensifikasi harus memperhatikan kelestarian lingkungan khususnya jalur hijau pantai.
53
•
Pemaanfaatan sumberdaya tidak pulih (sumberdaya kelompok kedua) tidak boleh mematikan kegiatan pemanfaatan sumberdaya pulih (sumberdaya kelompok pertama).
•
Seluruh akumulasi limbah yang dibuang ke perairan harus sesuai dengan kapasitas assimilasi perairan.
4. Perancangan dan Pembangunan di wilayah pesisir sebaiknya sesuai dengan kondisi alamiahnya. Bahwa setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang mengubah kondisi fisik perairan pesisir (proses-proses ekologis atau oseanografis) seperti reklamasi pantai, pembuatan dermaga, pelabuhan dan sebagainya harus mengikuti karakteristik dan pola hidrodinamika perairan pesisir dan lautan tersebut. Ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya, pengelolaan wilayah pesisir beserta dengan sumberdaya alam di dalamnya, seharusnya memberikan manfaat terbesar kepada masyarakat pesisir sebagai pelaku utama dan pemilik sumberdaya tersebut.
Oleh karena itu, segala aktivitas pembangunan di wilayah pesisir
diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa mengorbankan aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat. Untuk itu, kebijakan pengelolaan pesisir yang harus diterapkan, ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya ini adalah : •
Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
•
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
54
•
Memasyarakatkan pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dan diikuti dengan upaya-upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, melalui pengembangan mata pencaharian alternatif.
•
Pengelolaan wilayah pesisir seyogyanya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat, disesuaikan dengan kearifan-kearifan yang ada di masyarakat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat pesisir. Suatu kegiatan pembangunan berkelanjutan khususnya di wilayah pesisir
dan lautan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang demokratis dan transparan. Untuk mewujudkan suasana politik yang demokratis dan transparan tersebut, maka kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dalam aspek sosial politik adalah: •
Perencanaan
pengelolaan
wilayah
pesisir
harus
independen tanpa ada tekanan dari pihak lain.
dilakukan
secara
Artinya bahwa pihak
perencana harus bebas menentukan arah pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan dengan memrtimbangkan kepentingan seluruh stakeholder. •
Penyusunan perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah
pesisir
hendaknya
dilakukan
secara
bijaksana
denga
membertimbangkan askep ekologis dan ekonomis. •
Proses penyusunan perencanaan pembangunan wilayah pesisir hendaknya dilakukan dalam dua arah, yaitu perencanaan yang bersifat ‘bottom up’ dan perencanaan yang bersifat ‘top down’. Artinya ada keseimbangan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
•
Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir juga harus diikuti pendidikan politik bagi seluruh pelaku pembangunan di wilayah pesisir, untuk menciptakan kesamaan pandangan terhadap wilayah pesisir.
55
Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Oleh karena itu pengaturan hukum dan
kelembagaan hanya akan dapat memberikan peranannya secara maksimal apabila kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut telah ditetapkan secara pasti. Pemilihan kebijakan pengelolaan
harus
memiliki
landasan
teoritis
dengan
mempertimbangkan kemampuan sumberdaya alam yang tersedia serta proyeksi pemanfaatannya di masa depan, baik untuk sumberdaya pulih, tak pulih maupun untuk jasa-jasa lingkungan kelautan. Peranan pengaturan hukum dan kelembagaan adalah sebagai sarana penunjang bagi pelaksanaan kebijakan yang telah menjadi pilihan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dalam penelitian ini menggunakan beberapa analisis. Terdapat tiga unsur pokok dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Ketiga unsur itu adalah;. a) Komponen ruang wilayah pesisir, yang dipresentasikan suatu lingkungan geografi dengan aktifitas manusia diatasnya yang ditandai oleh terjadinya pemanfaatan lahan. Kondosi ini sering dibuat dalam bentuk kebijakan penataan ruang atau yang dikenal dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (RTRW Kabupaten Bekasi dan RTR Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi ); b) Komponen kesesuaian lahan dan daya dukung yang dipresentasikan oleh karakteristik fisik, kimia dan biologi wilayah pesisir bagian daratan maupun wilayah pesisir bagian perairan (lautan) dan c) Komponen nilai-nilai ekonomi dan serta dampak
yang
terjadi akibat interaksi dalam proses pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Hubungan yang bersifat timbal balik (causalitas) merupakan interaksi antara kegiatan aktifitas manusia (pembangunan) pada satuan unit lahan (land unit) terhadap pemanfaatan ruang di wilayah pesisir.
56
Penelitian ini pada dasarnya ingin merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dapat menyederhanakan karakteristik wilayah pesisir yang begitu heterogen dan kompleks kedalam suatu rumusan yang bersifat universal untuk penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Dengan mengamati pola dan gejala yang terjadi dari setiap aktifitas yang berlangsung pada ruang wilayah pesisir akan memberikan kemudahan pemanfaatan dan pengendalian terhadap kerusakan-keruakan yang mungkin timbul setelah terjadinya perencanaan yang baik dari ruang di wilayah pesisir. Karena penentuan skenario dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang digunakan adalah
analisis suplly-demand
terhadap
variabel-variabel penentu dalam pembuatan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, sehingga bisa dipertangungjawabkan (valid) untuk dapat memprediksi untuk penyusunan model berikutnya. Model perencanaan tata ruang wilayah pesisir lebih kompleks bila ditinjau dari variabel-variabel yang diamati, diantara, yaitu: •
Kriteria-kriteria yang disusun berdasarkan kondisi sumberdaya wilayah pesisir terdiri dari aspek geo-fisika-kimia dan lingkungan hayati yang mempunyai interaksi satu sama lain, mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang serta dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
•
Kriteria-kriteria yang disusun berdasarkan nilai ekonomi dari setiap penggunaan lahan yang dalam perkembangannya
membutuhkan pasokan sumberdaya
wilayah pesisir yang memadai dan memerlukan pengaturan pemanfaatan agar menjamin kelestariannya. •
Beberapa jenis model spasial dengan bantuan analisis sistem informasi geografis, statistik deskriptif dan kunatitatif.
57
Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Kedudukan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir terhadap Teori Perencanaan Paradigma baru dalam perkembangan teori perencanaan wilayah dan pembangunan berkelanjutan adalah suatu hal yang penting dalam penyusunan suatu model perencanaan tata ruang wilayah yang berkelanjutan. Perubahan teori perencanaan sejak dari rational planning menuju pendekatan partisipatif seperti adaptive dan consensus planning merefleksikan perkembangan teori perencanaan terhadap perubahan pada masyarakat. Berdasarkan asas rationality (kemasuk-akalan) yang menjadi pandangan utama masyarakat dalam perencanaan menggunakan pendekatan ilmiah dalam pemecahan masalah. Teori tersebut merupakan upaya memilih cara terbaik dalam mencapai hasil akhir. Dari pandangan ini tumbuhlah pendekatan Rational Planning yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perencanaan., khususnya pada situasi yang penuh konfliks dan memiliki berbagai sasaran. Pendekatan rasional atau biasa juga dikenal dengan master plan tersebut lebih memperhatikan permasalahan spasial, penggunaan lahan dan rencana zoning
yang bersifat rinci dan kaku.
Mengakibatkan perencanaan yang dilakukan seringkali tidak sejalan dengan hampir semua aspek perkembangan yang terjadi. Dianggap sebagai model yang terlalu komprehensif sehingga sulit untuk dilaksanakan, muncul modifikasi teori tersebut menjadi dispointed incrementalism. Modifikasi dilakukan terhadap tujuan dan sasaran yang lebih fleksibel. Hal tersebut dilakukan sebagai usaha mencegah informasi berlebihan dan solusi radikal yang belum tentu dapat diterima baik secara sosial maupun secara politik seperti banyak terjadi
dengan pendekatan rational planning. Teori perencanaan yang muncul
kemudian dikenal dengan Incremental Planning yang sering digambarkan sebagai science of muddling trough ( ilmu mengatasi kondisi campur aduk). Pendekatan ini
58
merupakan adopsi dari strategi pengambilan keputusan yang mempertimbangkan keterbatasan kapasitas para pembuat keputusan, mengurangi lingkup serta biaya pengumpulan informasi dan analisis. Pendcekatan incremental planning berfokus pada manejemen isu yang berkembang saat itu dan tidak pada mendukung tujuan di masa datang. Teori berikutnya dibentuk dari konsep adaptive planning. Teori ini berdasarkan pada adaptive control pengambilan keputusan merupakan
bentuk
process theory yang memiliki fokus pada
yang berdasarkan pada pengalaman. Teori ini juga
perencanaan
perencana dan manejer pelaksana
yang
opportunistic
karena
untuk mengantisipasi
mengantarkan
atau mengambil
keuntungan yang tak terduga, selanjutnya hasil dari aktivitas manejemen sebagai alat pembelajaran. Adaptive planning responsif terhadap permasalahan
yang
dihadapi pada kegiatan pengelolaan lingkungan. Adaptive planning merupakan bentuk perencanaan yang memperhatikan berbagai pihak yang terkait. Selanjutnya dari penjabaran aspek-aspek lingkungan timbul pendekatan baru dalam perencanaan, yaitu perencanaan
yang mengintegrasikan berbagai
kepentingan ekonomi, sosial maupun fungsi-fungsi lingkungan hidup atau dikenal dengan Consensus Planning. Perencanaan ini didasarkan pada keinginan mencari pemecahan
pragmatisme dan pendidikan, sehingga menekankan pentingnya
mempelajari kondisi masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat. yang digunakan adalah melalui kominikasi rasional
cara
yang dilakukan untuk
mengefektifkan peran stakeholders yang ada pada suatu masyarakat. Dengan demikian terjadi perubahan pelaksanaan perencanaan yang lebih berdasarkan pada kekuatan partisipatif masyarakat termasuk pada sistem rencana tata guna lahan. Secara matrik perkembangan teori perencanaan seperti terlihat pada tabel 2 berikut:
59
Tabel 2 : Perkembangan Teori perencanaan Teori Perencanaan Rational Planning
Pendekatan
- Pandangan Komprehensif. - Memiliki pengaruh signifikan terhadap perencanaan., khususnya pada situasi yang penuh konfliks dan memiliki berbagai sasaran. - Pendekatan rasional atau biasa juga dikenal dengan master plan tersebut lebih memperhatikan permasalahan spasial, penggunaan lahan dan rencana zoning yang bersifat rinci dan kaku, sehingga perencanaan yang dilakukan seringkali tidak sejalan dengan hampir semua aspek perkembangan yang terjadi.
Incremental Planning
- Mempertimbangkan keterbatasan perencana sehingga membatasi lingkup pembahasan pada manejemen isu saat ini, dan bukan pada pencapaian tujuan yang akan datang - Teori perencanaan yang muncul kemudian dikenal dengan Incremental Planning yang sering digambarkan sebagai science of muddling trough (ilmu mengatasi kondisi campur aduk). Pendekatan ini merupakan adopsi dari strategi pengambilan keputusan yang mempertimbangkan keterbatasan kapasitas para pembuat keputusan, mengurangi lingkup serta biaya pengumpulan informasi dan analisis.
Kelemahan
- Terlalu komprehensi f sehingga sulit diterapkan/te rlaksana karena terlalu banyaknya faktor yang perlu dipertimbang kan - Perencanaa n yang dilakukan seringkali tidak sejalan dengan hampir semua aspek perkembang an yang terjadi. Terlalu kasustis, sulit diorganisir untuk mendukung tujuan jangka panjang dan kurang antisipasi terhadap konsekwensi dampak pembangunan
60
Teori Perencanaan Adaptive Planning
Pendekatan
- Teori ini yang memiliki fokus pada pengambilan keputusan yang berdasarkan pada pengalaman. Teori ini juga merupakan bentuk perencanaan yang opportunistic karena mengantarkan perencana dan manejer pelaksana untuk mengantisipasi atau mengambil keuntungan yang tak terduga, selanjutnya hasil dari aktivitas manejemen sebagai alat pembelajaran
Kelemahan
Sulit untuk diterapkan karena pendekatan dilakukan berdasarkan pada pengalaman
- Adaptive planning responsif terhadap permasalahan yang dihadapi pada kegiatan pengelolaan lingkungan. - Adaptive planning merupakan bentuk perencanaan yang memperhatikan berbagai pihak yang terkait. Consensus Planning
- Perencanaan ini didasarkan pada keinginan mencari pemecahan pragmatisme dan pendidikan, sehingga menekankan pentingnya mempelajari kondisi masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat. cara yang digunakan adalah melalui kominikasi rasional yang dilakukan untuk mengefektifkan peran stakeholders yang ada pada suatu masyarakat. - Dengan demikian terjadi perubahan pelaksanaan perencanaan yang lebih berdasarkan pada kekuatan partisipatif masyarakat termasuk pada sistem rencana tata guna lahan.
Sulit untuk melakukan konsensus antar berbagai pihak yang berkepentingan
61
Teori Perencanaan
Pendekatan
Coastal Planning
Perencanaan pesisir diadopsi dari beberapa teori perencanaan seperti rational planning, incremental planning, adaptive planning dan consensual planning - Wilayah pesisir sebagai matrik dasar yang bersifat dinamis (berubah) sulit untuk didelineasi dan memiliki batas yang tidak jelas dalam pengelolaan
”Responsive Planning*. Hasil dirumuskan Penelitian perencanaan wilayah pesisir
Kelemahan
Pendekatan dan rumusan yang pasti
Temun Penelitian perencanaan tata ruang wilayah pesisir - Fokus perencanaan pada : 1) Masih dalam karakteristik ekosistem dan kesimbangan bentuk model aspek biogeofisik-kimia, ekonomi dan deskriptif sosial: 2) Pengelolaan konflik.
- Pengelolaan dan penguasaan sumberdaya bersifat open acsess. - Perencanaan bersifat terpadu, dimana keterkaitan antar pemanfaatan ruang daratan dan lautan hal yang utama - Karena dasar utama adalah karakteristik ekosistem dan pengelolaan konflik maka wilayah perencanaan ditentukan oleh keterkiatan antara daratan dan lautan - Dasar perencanaan berdasarkan komponen-komponen wilayah pesisir bagian daratan dan wilayah pesisir bagian lautan - aspek biogeofisik dan kimia unsur daratan dan lautan (lahan, air dan biota) - Pertimbangan terhadap keterkaitan wilayah darat-laut merupakan hal yang utama - Alokasi ruang dilakukan secara proporsional berdasar- kan pada pertimbangan daya dukung dan kesesuaian lahannya. - Kawasan dibagi berdasarkan pada karakteristik ekosistem dan zona pemanfaatan diantaranya: - zona preservasi - zona konservasi - zona pemanfaatan
62
- Menggunakan metode statistik yang bersifat dinamik, karena sesuai dinamika yang terjadi di wilayah pesisir, permasalahan daya dukung dan kesesuaian lahan, kondisi ekosistem, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui parameter2 lahan, air dan biota wilayah pesisir yang bersifat timbal balik. - Mengelaborasi masalah yang kompleks dengan ”berfikir secara sistem” untuk melihat keterkaitan parameter-parameter perencanaan tata ruang wilayah pesisir bagian daratan dan bagian kautan - Penyusunan Model perencanaan tata ruang secara terpadu melalui beberapa skenario: 1. Skenario berdasarkan pada daya dukung dan kesesuian lahan, 2. Skenario Rencana tata ruang wilayah yang berbasis daratan (RTRW/RTR)*) 3. Skenario berdasarkan pada kondisi sosial ekonomi masyarakat dan wilayah Sumber : Hasil Rumusan, 2007
Pembuatan model diperlukan untuk memahami
wilayah pesisir sebagai
ekosistem yang sangat rumit. Bagaimanapun, model-model yang dibuat harus sering diperiksa kaitannya
dengan dunia nyata untuk memastikan keakuratan dan
gambaran mengenai model-model tersebut. Alat yang paling baik digunakan adalah sifat saling mempengaruhi antara model dengan empirisme, yang secara ideal berada dalam suatu rangkaian komponen model
timbal balik. Setelah definisi dari komponen-
dan langkah pemodelan
sudah ditampilkan, maka sebauah
prosedur pemodelan tentatif diberikan. Prosesdur secara berturut-turut, yaitu perumusan masalah, membatasi masalah menutur waktu, tempat dan sub-sistem, kebutuhan data, konsep diagram, persamaan-persamaan, verifikasi, analisis sensitif, kalibrasi dan validiasi.
63
Dalam permodelan
yang akan dirumuskan adalah model-model yang
mewakili fenomena-fenomena ekosistem wilayah pesisir disebut model konseptual atau model deskriptif, yaitu model yang menhasilkan konsep dan rumusan dalam penyusunan perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Dalam rumusan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif dan analisis GIS. Hasil yang diperoleh adalah berupa rumusan konsep yang digambarkan dalam bentuk bagan dan peta. Misalnya peta wilayah pesisir Kebupaten Bekasi. Konsep yang dihasilkan menggambarkan lokasi dan ukuran eksositem wilayah pesisir dengan segala fungsinya, membuat kesimpulan
mengenai jalur sistem dari suatu saat tertentu
hingga saat lain dengan membuat model itu sendiri. Dalam model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, sangat diperlukan adanya pemahaman mengenai karakteristik ekosistem wilayah pesisir. Ekosistem pesisir ditentukan oleh pola interaksi antara lahan daratan dengan lautan ( kesesuaian lahan, pola pemanfaatan ruang eksisting dan sosial ekonomi ) yang ada, serta interaksi yang terjadi dalam ruang darat dan laut akibat adanya pembangunan atau aktivitas manusia. Model konseptual atau model deskriptif yang dihasilkan dapat merepresentasikan interaksi antara elemen kesesuaian lahan dan daya dukung, tata ruang wilayah yang berbasis daratan , dan sosial ekonomi masyarakat yang berada di wilayah pesisir. Perbandingan Penelitian yang Akan Dilakukan dengan Penelitian Terdahulu Jika dikaitkan dengan topik penelitian disertasi ini, ada tiga butir penting yang dapat ditarik yaitu dan a) perlunya suatu kesesuaian penggunaan lahan dengan daya dukungnya di wilayah pesisir baik daratan dan lautan b) perlunya suatu keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir bagian daratan dan lautan, dan c) perlu ada suatu model yang dapat menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir secara terpadu. Dengan penataan ruang yang sesuai dengan daya dukungnya serta pembanfaatan dan pengendalian yang benar pula, maka dalam
64
pemanfaatan wilayah pesisir diharapkan dapat menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan disatu sisi serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sisi lain, khususnya masyarakat yang berada di kawasan pesisir tersebut. Seperti Tabel 3 berikut : Tabel 3
Matrik Perbedaan Penelitian yang Akan dilakukan dengan Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Tujuan
Pendekatan /Metodologi
Hasil
Hodgson G dan Dixon J.A 1988
Penelitian tentang dampak sedimentasi pada DAS Baquit terhadap kegiatan pariwisata dan perikanan di kawasan pesisirnya yang berada di Pulau Palawan, Philipina
Merumuska n Pengaruh sedimentasi terhadap i kualitas perairan, sehingga perairan menjadi kurang layak bagi habitat perikanan dan kegiatan pariwisata. Melalui suatu analisis ekonomiekologi,
Untuk mengetahu dampak sedimentasi, dilakukan simulasi terhadap dua pilihan model pembangunan, yaitu a) pilahan ( alternatif) I membatasi kegiatan penebangan hutan di hulu sungai, dan b) pilihan (alternatif) II terus melakukan kegiatan penebangan dihulu ( tanpa batasan).
Berdasarkan simulasi perhitungan amternatif pertama, maka diperoleh hasil terjadinya peningkatan pendapatan dari kegiatan pariwisata dan perikanan di kawasan pesisir. Sedangkan berdasarkan pada simulasi alternatif kedua, maka diperoleh hasil terjadi penurunan pendapatan kegiatan pariwisata dan perikanan di pesisir akibat peningkatan sedimentasi di kawasan pesisir. Selanjutnya,
• ASEAN-US CRMP) 1989.
Dampak Sedimentasi terhadap sumberdaya perikanan, habitat mangrove dan banjir yang keseluruhannya mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk setempat. Dampak tersebut pada akhirnya juga menimbulkan masalah sosial yaitu konflik antar penduduk lokal akibat perebutan tanah timbul hasil sedimentasi.
Merumuska n Faktor yang mempngaru hi sedimentasi di Segara Anakan
telah terjadi perubahan kualitas lingkungan yang drastis di kawasan pesisir Segara Anakan, Cilapcap. Kawasan pesisir tersebut merupakan bagian hilir DAS Segara Anakan yang terbentuk oleh aliran Sungai Citanduy yang mengalami peningkatan laju sedimentasi yang tinggi akibat pembukaan lahan di kawasan hulunya. Untuk kepentingan kegiatankegiatan pertanian, permukiman dan industri.
65
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Tujuan
Pendekatan /Metodologi
Hasil
Rokmin Dahuri Dahuri, 1992
An Approach to Coastal Resource Utilization; The Nature and Role of Sustainable Development in Eas Kalimantan Coastal Zone, Indonesia,
Merumuska n sebuah kerangka pengelolala an kawasan pesisir Kutai Kalimantan Timur berdasarkan prinsipprinsip pembangun an berkelanjuta n
Pendekatan Terpadu (PWLPT)
• S.Amir et al 1997
Integrated of Environmental Assessment nto Regional Planning Process of the Galilee
Mengenalisi s mengenai suatu konsep spasial untuk kepentingan proyeksi distribusi penduduk, evaluasi dampak lingkungan dari suatu rencana pembangun an,
Deskriptif Kualitatif
Lahan kawasan pesisir tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pembangunan di hulu karena adanya keterkaitan ekologis huluhilir memalui daerah aliran sungai. Diperlukan suatu upaya yang mengitegrasikan perencanaan kawasan pesisir dengan kawasan hulunya melalui penataan ruang yang komprehensif serta adanya kompensasi finansial bagi kawasan hulu dalam kontreks pengelolaan pembangunan DAS usulan memamsukan pertimbangan lingkungan sejak awal dari suatu rencana pembangunan maupun pada masingmasing tahapan proses perencanaan. Usulan tersebut berlaku untuk implementasi rencana pembangunan pada semua jenis wilayah termasuk wilayah sepanjang DAS sejak hulu hingga pesisir.
Adibroto, Tusi Agustine 2001.
Pendekatan Keterkaitan Ekologis Hulu-Hilir Dalam Penataan Ruang Wilayah Berkawasan Pesisir
Merumuska n sebuah konsep keterkaitan ekologis Hulu-hilir dalam penataan ruang berkawasan pesisir.
Pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan pendekatakan keterpaduan antara bidang ilmu perencanaan dengan ilmu ekologis dengan model dinamik.
faktor-faktor yang berpengaruh perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang wilayah ekologis suatu DAS dapat dikelompokan pada empat kategori; a) Faktor ekonomi merupakan kegiatan pembangunan(permukim an, pertanian dan indusri) dalam kaitannya dengan penataan ruang, b) faktor ekologis merupakamn keterkaitan dengan kemampuan alamiah suatu wilayah dalam mendukung suatu kegiatan pembangunan, c) Alokasi ruang yang proporsional antar kawasan lindung dan budidaya dan d) faktor kependudukan.
66
Jika dikaitkan dengan penelitian disertasi ini, ada tiga butir penting yang dapat ditarik yaitu dan a) Dalam penataan ruang pesisir perlu diperhatikan eksositem daratan dan luatan terutama kesesuaian dan daya dukungnya
b) perlunya ada
suatu nilai optimasi dalam pemanfaatan lahan di wilayah pesisir agar kerusakan ekologis dapat dihindari, dan c) perlu suatu model penataan ruang wilayah pesisir dengan pendekatan ekosistem secara terpadu yang dapat menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir secara optimal. Dengan penataan ruang yang sesuai dengan daya dukungnya serta pemanfaatan dan pengendalian yang benar pula, maka dalam pemanfaatan wilayah pesisir diharapkan dapat menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan disatu sisi serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sisi lain, khususnya masyarakat yang berada di kawasan pesisir tersebut. Ketiga butir itu belum pernah dilakukan oleh penelitipeneliti terdahulu secara keseluruhan (integrasi) terhadap komponen-komponen yang ada di wilayah pesisir bagian lautan, transisi daratan dan lautan serta daratan. Adapun Proses Perencanaan Penataan Ruang seperti pada Gambar 10 berikut ini :
67
I N P U T RUANG WILAYAH PESISIR
UNSUR LAUTAN
WILAYAH PESISIR
UNSUR DARATAN
PARAMETER DALAM PENATAAN RUANG KONDISI FISIK
KONDISI EKONOMI
PETA TEMATIK
KONDISI SOSIAL
PETA DASAR
METODOLOGI : Analisis kondisi fisik, kimia dan biologi wilayah pesisir, Analisis Rencana Tata Ruang yang berbasis daratan, pertimbangan sosial dan ekonomi serta pertimbangan ekologi (ekosistem) .
O V E R L A Y • • •
O U T P U T
Penyusunan Model perencanaan tata ruangwilayah pesisir dilakukan dengan 3 Analisis : Analisis berdasarkan pada kesesuaian lahan Analisis daya dukung wilayah pesisir , Analisis valuasi ekonomi
TATA RUANG BIOGEOFISIK DAN EKONOMI
RENCANA TATA RUANG WILAYAH PESISIR
PERTIMBANGAN SOSIAL DAN KELEMBAGAAN
Gambar 10 Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir
P R O S E S
68
METODOLOGI PENELITIAN Wilayah Penelitian Untuk dapat merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir dilakukan pengambilan data tentang kondisi fisik, kimia dan biologi wilayah pesisir serta variabel kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi terdiri dari tiga kecamatan yaitu;
Kecamatan Muaragembong, Kecamatan Tarumajaya dan Kecamatan
Babelan. Pengambilan tiga Kecamatan ini didasari pada batas wilayah administrative yang mencakup beberapa hal yaitu:
WILAYAH PENELITIAN
Gambar 11 Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi
69
1) Wilayah penelitian untuk kajian kesesuaian lahan dan daya dukung meliputi;
Kajian yang berkaitan dengan hidrooseanografi, yaitu yang
mencakup pola arus, gelombang, pasang-surut, serta kualitas fisika dan kimia air laut. Wilayah perairan laut yang diamati meliputi wilayah perairan yang secara adminstratif sejauh 1/3 (sepertiga) wilayah perairan kewenangan propinsi ( UU No.26/ 2007 dan UU No.27/2007 ). Pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu jarak dari garis pantai 1 km, 2 km dan 3 km dan beberapa titik dimuara sungai, kawasan padat permukiman/industri dan titik di lokasi mangrove. 2) Wilayah penelitian untuk komponen lingkungan hayati. Komponen lingkungan hayati terutama difokuskan pada lingkungan hayati akuatik dan terestrial yang terkait, yaitu : •
Untuk biota perairan seperti plankton, bentos, dan nekton, sama dengan wilayah penelitian komponen lingkungan geofisik kimiawi, khususnya yang berkaitan dengan kualitas perairan pantai dan laut.
•
Untuk biota hutan rawa dan pantai, wilayah penelitian mencakup habitat kehidupan biota tersebut,
yaitu wilayah dengan tiga
kecamatan Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya. 3) Wilayah penelitian komponen sosial ekonomi tidak ditentukan secara definitif, melainkan diidentifikasi secara indikatif. Delineasi wilayah penelitian adalah sebagai berikut : •
Wilayah penelitian aspek sosial berupa kependudukan (demografi), seperti jumlah penduduk, pendidikan dan ketenagakerjaan
•
Untuk aspek ekonomi, wilayah penelitian dibatasi pada batas administratif yang meliputi pendapatan masyarakat dan pendapatan wilayah.
70
Secara administratif wilayah pesisir terdiri dari 3 kecamatan. Luasnya wilayah penelitian dengan karakteristik yang homogen, maka dilakukan pengambilan sampel
wilayah berdasarkan
pada karakteristik letak dan
ekosistem yang dimiliki, fokus utama untuk penduduk didasari pada klasifikasi tempat tinggal dan mata pencaharian penduduk, yaitu kelompok-kelompok masyarakat yang termasuk dalam lingkup kajian tersebut secara garis besar merupakan masyarakat dengan karakteristik seperti kelompok masyarakat sebagai berikut; 1) Masyarakat di permukiman nelayan; 2) Masyarakat di permukiman padat. Besaarnya sampel ditentukan oleh peneliti (mengingat karakteristik populasi adalah homogen berdasarkan pada permukiman nelayan (permukiman padat dan permukiman jarang) dengan distribusi dari setiap Kecamatan yaitu Kecamatan Muaragembong, Babelan dan Kecamatan Tarumajaya dengan jumlah responden masing-masing adalah 20 responden). Sedangkan untuk pengambilan data karakteristik fisik, kimia dan biologi ekosistem pesisir adalah berdasarkan pada batas administrative, hal ini dikarenakan sulitnya untuk melihat batas ekologi, karena wilayah penelitian secara ekologi sudah mengalami ganguan akibat aktivitas pembangunan. Adapun sampel responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 4 Jumlah dan Kelompok Responden Nomor
Kelompok Masyarakat
Jumlah Responden
1 2 3 4
Nelayan di permukiman Muaragembong Nelayan di permukiman Tarumajaya Nelayan di permukiman Babelan Masyarakat di permukiman padat Muaragembong
20 20 20 20
5 6
Masyarakat di permukiman padat Taumajaya Masyarakat di permukiman padat Babelan Jumlah
20 20 120
71
Data dan Variabel Penelitian Secara rinci variabel-variabel
yang diteliti dan fungsinya dalam
penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Bekasi mencakup : 1. Variabel geo-fisika kimiawi, yaitu pola arus, gelombang, pasang-surut, serta kualitas fisika dan kimia air laut. Aspek geo-fisika-kimia dan lingkungan hayati yang mempunyai interaksi satu sama lain, mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang serta dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Variabel lingkungan hayati terutama difokuskan pada lingkungan hayati akuatik dan terestrial, yaitu; kualitas perairan sungai, pantai dan laut. 2. Variabel sosial ekonomi masyarakat yang dalam perkembangannya membutuhkan pasokan sumberdaya wilayah pesisir yang memadai dan memerlukan pengaturan pemanfaatan agar menjamin
kelestariannya.
Diantara
kependudukan
variabel-variabel
yang
diamati
adalah
(demografi), seperti jumlah penduduk, pendidikan dan ketenagakerjaan masyarakat dan valuasi ekonomi dari pemanfaatan lahan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. 3. Variabel
rencana
penataan
ruang
yaitu
pola
pemanfaatan
dan
penggunaan lahan, sistem prasarana dan sarana sesuai dengan rencana tata ruang yang sudah dibuat yaitu RTR kawasan khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui data primer dan data sekunder.
72
Data primer dilakukan melalui : 1) Data lapangan, observasi, pengukuran, dan pengambilan contoh (sampel) untuk beberapa parameter fisika-kimia-biologi. 2) Wawancara dan pengisian kuesioner yang dilakukan dengan pihak pemrakarsa, pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi, tokoh masyarakat, serta responden masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir tersebut. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pendataan, rekaman, dan penggandaan dokumen, laporan, dan catatan dari instansi terkait, dokumen
perencanaan,
penelitian
yang
telah
dilakukan,
dan
kepustakaan. Metode Analisa Data Analisis Kualitas Perairan ( geo-fisika-kimia) Untuk mengetahui kualitas perairan berdasarkan aspek geo-fisik dan kimia perairan, maka data hasil dilapangan dan laboratorium dibandingkan dengan kriteria baku mutu air laut untuk biota laut dan kriteria perikanan dan budidaya berdasarkan pada (MENKLH, 1998) Kualitas air mencakup kualitas air sungai, air laut, dan air tanah dilakukan melalui pengukuran dilapangan dan data sekunder dari dinas terkait. Pengukuran kualitas air dilakukan melalui pengambilan per contoh air sungai, air laut, dan air tanah secara acak. Pengambilan contoh air laut dilakukan dengan sea water sampler didaerah pantai dan laut pada bagian pinggir/permukaan, tengah, dan dalam untuk parameter suhu, salinitas, kecerahan,
arah dan
kecepatan arus. Penetapan titik pengambilan contoh di perairan laut dilakukan secara grid sampling sebanyak 9 titik. Parameter kualitas air laut dan metode analisis yang dilakukan mengacu pada Kepmen KLH Nomor Kep-02/MENKLH/I/1998. Pada
73
setiap zona di perairan laut dan muara sungai dilakukan pengukuran kandungan PAH (Poli Aromatik Hidrokarbon) dan PCB (Poli Chloro Biphenil) pada air laut dan sedimen. Secara jelas masing-masingnya dapat dijelaskan pada Tabel 5 berikut:: Tabel 5 Parameter dan Metode Analisis Kualitas Air Laut dan Air Sungai Nomor Parameter Satuan Metode Analisis/Peralatan Keterangan SIFAT FISIKA 1 Suhu 0C Pemuaian/Thermometer SNI M-03-1989 2 Kekeruhan NTU Turbidimeter SNI M-03-1989 3 Warna Pt.Co Spektrophotometer SNI M-03-1989 Mg/l Filtrasi/Gravimetri SNI M-03-1989 4 Padatan tersuspensi 5 Derajat (pH) pH meter SNI M-03-1989 In-situ SNI M6 Salinitas Permil Salinometer 03-1989 SIFAT KIMIA 1 Karbondioksida Mg/l Titrasi Na2CO3 In-situ 2 Oksigen terlarut Mg/l Galvanic sel, DO meter 3 Nitrogen – ammonia mg/l Nessler, SNI M-48-1990Spektrophotometer SNI M-70-1990-03 4 COD (dichormat) Mg/l Refluks, titrasi K2Cr2O7 SNI M-69-1990-03 5 BOD (200 cc, hari) Mg/l Winkler, Iodometrik Sumber : BPLHD, DKI Jakarta,`2001
Hidro-oseanografi. Hidrodinamika laut yang ditelaah meliputi kondisi arus, gelombang, pasang-surut, batimetri, dan abrasi dan akrasi. Perhitungan peningkatan elevasi muka air akibat storm surge didasarkan formula berikut (Sverdrup, Munk, Bretschneider, 1993) : h = F x C x ( U 2 /gd) ................................... (1) Dimana: h = peningkatan elevasi muka air (m) F= panjang fetch (m) C= konstanta = 3.5 x 10 –6 U= kecepatan angin (m/det)
74
g= percepatan gravitasi d= kedalaman rata-rata (m) Peningkatan elevasi muka air akibat set up (Sw) dan set down (Sb) dihitung berdasarkan :
Sb =
H 2Tg 0,5 64π d 1,5 ……………………….(2)
Dimana: Sb = peningkatan elevasi muka air akibat set up H = tinggi gelombang T = perioda gelombang g = percepatan gravitasi d = kedalaman dimana terjadi gelombang pecah Analisa Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan dengan daya dukung lahan di wilayah pesisir berdasarkan variabel-variabel yang diteliti kemudian dikelompokkan kedalam kriteria kesesuaian lahan menurut FAO ( 1976) dan Bakosurtanal 1996 yang dimodifikasi. Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagi kedalam tiga kelas, yaitu: 1. Kelas S1 : sangat sesuai, yaitu; lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara berkelanjutan, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan serta tidak akan menambah masukan (input). 2. Kelas S2 : sesuai, yaitu : lahan yang mempunyai pembatas agak ringan untuk suatu penggunaan tertentu yang berkelanjutan. Pembatas itu akan mengurangi produktifitas
lahan dan keuntungan yang diperoleh serta
meningkatkan masukan untuk mengolah lahan agar produktif secara optimal.
75
3. N1 : sesuai bersyarat/kurang sesuai ( sesuai bersyarat),yaitu ; lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat berat , akan tetapi masih dimungkinkan untuk diperbaiki (direhabilitasi) dengan biaya yang seimbang. Matriks kesesuaian lahan di wilayah pesisir untuk berbagai pemanfaatan seperti wilayah permukiman penduduk, budidaya tambak, budidaya kerang dan jaring apung, budidaya rumput laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, pariwisata dan konservasi
didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk
setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter-parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan yang dibuat berdasarkan hasil pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting disusun, mengingat dari matriks ini akan dapat diketahui parameter data dan cara analisanya sampai dengan hasil akhir untuk penentuan penataan ruang. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaannya seperti dijelaskan pada Tabel. 6 dan Tabel 7 berikut: Tabel 6 Parameter-Parameter Kesesuaian Lahan dalam Peruntukan Lahan untuk Budidaya Laut A. PARAMETER No. Kriteria 1. 2.
Kadar Garam (Salinitas) : Suhu Air
30 – 35 ppt 26 – 30 0C
3. 4.
Pergantian Air pH
50 – 100 % per hari 7,0 – 7,8
5.
Oksigen Terlarut
5,0 – 7,0 ppm
Sumber : Dinas Perikanan dan Kajian Budidaya Perikanan, 2003
76
Tabel 7 Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak Udang
No.
Parameter
1.
Curah Hujan (mm/th)
2. 3. 4. 5. 6. 7. No.
Kelerengan pantai (%) Kedalaman (cm) Kisaran Pasut (m) Tekstur Drainase Tebal Gambut (cm) Parameter
Baik 2500-3000 <2 >150 3-5 Halus Baik 0 Baik
9. 10 11 12 13 14 15.
Oksigen Terlarut (mg/l) Salinitas (0/00 ) Suhu (0C) Kecerahan (%) pH Amoniak (NH3) (mg/l) H2S (mg/l)
>5 12-20 28-31 25-34 7,5-8,5 <0,3 <0,1
Kriteria Kesesuaian Sedang Buruk 1000-2000 dan <1000 atau 3000-3500 >3500 2-3 >3 75-150 <75 2-3 atau 5-6 <1 atau >7 Sedang Kasar Sedang Buruk <25 >25 Kriteria Kesesuaian Sedang Buruk 3-5 <3 20-35 >35 26-28 <26 atau >31 16-24 <16 atau >34 6-7,5 dan 8,5-10 >10 atau <6 0,3-0,5 >0,5 0,1-0,2 >0,2
Sumber : Dinas Perikanan dan Kajian Budidaya Perikanan, 2003 Tabel 8 Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Laut
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Parameter Curah Hujan (mm/th)
Baik 2500-3000
Kedalaman pirit (cm) Tinggi pasang (m) Dasar Perairan Suhu (0C) Kecerahan (%) Input air tawar Kesuburan air Pengaruh banjir Oksigen Terlarut (mg/l) Salinitas (0/00 ) Ph Amoniak (NH3) (mg/l) Polutan
>100 >0,5 Lumpur 26-31 25-34 Besar Tinggi Tidak ada >5 12-20 7,5-8,5 <0,3 Tidak ada
Kriteria Kesesuaian Sedang Buruk 1000-2000 dan <1000 atau 3000-3500 >3500 50-75 <50 0,3-0,5 <0,3 Lumpur Berpasir Pasir 20-26 <20 16-24 <16 atau >34 Sedang Kurang Sedang Rendah Ada 3-5 <3 20-35 >35 6-7,5 dan 8,5-10 >10 atau <6 0,3-0,5 >0,5 Ada
Sumber : Dinas Perikanan dan Kajian Budidaya Perikanan, 2003. Hasil klasifikasi kriteria kesesuaian lahan dari matrik diatas akan menghasilkan satuan unit kenampakan yang dapat dibedakan dengan kenampakan lainnya. Kenampakan secara spasial dari setiap potensi wilayah
77
pesisir dengan satuan unit terkecil digunakan teknik analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara model tumpang susun (overlay), pembobotan, dan pengkelasan (Chirsman dan Realino dalam Bengen, 2000). Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan melakukan pemisahan serta mempertimbangkan masing-masing faktor (parameter) pembatas. Faktor-faktor pembatas dilakukan dengan mengklasifikasikan potensi sumberdaya wilayah pesisir disusun dalam bobot, skor dan kelas. Penentuan bobot dan skor untuk jenis penggunaan lahan di wilayah pesisir dikelompokkan kedalam 3 kelas yaitu S1 = sangat sesuai, S2 = sesuai, dan N1 = sesuai bersyarat. Adapun untuk setiap parameter yaitu; untuk pemberian skor yaitu; Skor tertinggi = kelas 1 = 5 dan seterusnya sampai yang terendah dengan kelas 3 dengan skor = 1. Untuk nilai kesesuaian lahan yaitu; S1 = Sangat sesuai , S2 = sesuai , dan N1= sesuai bersyarat dapat dilihat dalam Tabel Matriks masing-masing kesesuaian lahan.
Penentuan kesesuaian lahan
di wilayah pesisir berdasarkan variabel-variabel yang diteliti sesuai dengan peruntukannya, kemudian dikelompokkan kedalam kriteria kesesuaian lahan berdasarkan pada matriks keseuaian lahan yaitu;
1) Kesesuaian lahan sangat
sesuai, yaitu; lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara berkelanjutan, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan serta tidak akan menambah masukan (input); 2) Kesesuaian lahan sesuai, yaitu: lahan yang mempunyai pembatas agak ringan untuk suatu penggunaan tertentu yang berkelanjutan. Pembatas itu akan mengurangi produktifitas
lahan dan
keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk mengolah lahan agar produktif secara optimal; 3) Kesesuaian lahan bersyarat, yaitu; lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat berat , akan tetapi masih dimungkinkan untuk diperbaiki (direhabilitasi) dengan biaya yang seimbang.
L
78
Analisa Daya Dukung Lahan Kegiatan Tambak Pemilihan lokasi lahan yang akan digunakan untuk peruntukannya seperti kegiatan tambak udang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Untuk mendapatkan kapasitas daya dukung dari setiap penggunaan lahan di wilayah pesisir maka dapat dirumuskan sebagai berikut : VO = 0,5 h.y ( 2 Χ– h/tgӨ ) ...................... Dimana
:
(3)
VO
= volume air laut yang tersedia (m3)
h
= tinggi pasang surut setempat (m)
Ө
= kemiringan dasar pantai
y
= lebar areal tambak yang sejajar garis pantai (m)
X
= jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga pengambilan air ke laut (sea water intake) untuk keperluan tambak (m).
Kegiatan Pertanian (sawah) Salah satu sifat rumah tangga pertanian adalah penguasaan/kepemilikan lahan yang relatif sempit (pada tahun 2003 rata-rata luas lahan sawqah perrumah tangga
pertanaian tanaman pangan 0,37 ha). Karena pertumbuhan
penduduk, luas penguasaan lahan ini menunjukkan
kecendrungan yang
semakin sempit, bahkan banyak pentani tidak mempunyai lahan. Kondisi ini pada dasarnya menyebabkan meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan. Berarti kebutuhan lahan garapan terus bertambah, tetapi luas lahan pertanian terbatas sehingga kemampuan suatu wilayah un tuk mendukung kehidupan, yang disebut dengan daya dukung lingkungan, terbatas pula. Karena tekanan penduduk terhadap lahan yang terus meningkat, maka daya dukung lingkungan akan terlampaui.
79
Didasarkan pada pemahaman kaitan antara tekanan penduduk
yang
mempengaruhi daya dukung lingkungan diatas, maka untuk menganalisis daya dukung lahan untuk pertanian di wilayah pantai utara Kabupaten Bekasi, dipergunakan Model Tekanan Penduduk. Dengan adanya pertumbuhan penduduk, luas lahan pertanian semakin lama semakin kecil sehingga akhirnya dapat terjadi tidak cukup lagi Lahan untuk memenuhi kebutuhan pertanian. Model matematik tekanan penduduk sebagai berikut : FPO (1 + r) TP = z ( 1 –a ) ------------------ ..............................................(5) BL TP
= Tekanan Penduduk
Z
= luas yang diperlukan untuk mendukung kehidupan pada tingkat hidup yang dianggap layak ( ha/rumah tangga )
a
= proposi pendapatan dari pekerjaan nir-pertanian ( 0 = < a < 1)
f
= faraksi penduduk yang menjadi petani
PO
= jumlah penduduk pada waktu t-0 (orang)
r
= laju pertumbuhan penduduk ( %/tahun)
t
= Waktu perhitungan ( tahun)
B
= Proporsi manfaat yang dinikmati oleh penduduk dari usahanya ( 0 < B <1)
L
= luas lahan pertanian Dengan model ini dapat dianalisis
besaran tekanan penduduk. Jika
tekanan penduduk di atas, maka daya dukung lahan pertanaian telah melampaui. Produktivitas merupakan ukuran kemampuan lahan untuk menghasilkan suatu output
tertentu, dalam hal ini kemampuan lahan sawah untuk
menghasilkan padi. Produktifitas lahan sawah di kawasan pesisir Kabupaten Bekasi dari tahun 2003-2007 menunjukkan penurunan. Penurunan produktivitas
80
salah satunya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan lahan sebagai akibat dari kondisi fisik, biologi dan kimia tanah yang tidak seimbang disamping tingkat pencemaran
yang
semakin tinggi.
Untuk
memproyeksikan
produktivitas
digunakan rumusan sebagai berikut : = Do ( 1 + r) t .......................................................( 6)
Dt Dt
= Daya dukung tahun ke-t
Do
= Daya dukung tahun ke-0
t
= range tahun yang diproyeksikan dengan tahun patokan
r
= rate laju penurunan per tahun (%)
Kegiatan Permukiman
Perhitungan daya dukung berdasarkan pada fungsi peruntukan lahan diatasnya (daratan/upland) mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh Land Ocean Interactionin the Coastal Zone ( LOICZ) Project. Hasil identifikasi jenis dan tingkatan aktivitas serta pendugaan beban limbah antropogenik di wilayah pesisir
terdiri dari kegiatan rumah tangga, industri dan peternakan.
Jenis aktivitas seperti Tabel 9 berikut : Tabel 9 Pendugaan Limbah berdasarkan pada Jenis Aktivitas pemanfaatan lahan daratan No
Jenis Aktivitas
Tingkat Aktivitas
Pendugaan Limbah Koefesien limbah
1
Rumah tangga a. limbah padat b. sampah c. deterjen Jumlah
205 org
1,86 kg N/org/th 0,37 kg/P/org/th 4 kg P/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th
N 381,3 820 1.201,3
P
Ket
75,9 205 205 485,9
1 2 3 3 3
Sumber : Sogreah (1974); Padilla et.al (1997); Word Bank ( 1993); WHO (1993); Valiela et al (1997) dalam Rachmansyah (2004)
81
Disamping itu juga digunakan berdasarkan analisis fisik binaan, terutama ditujukan untuk mengetahui intensitas penggunaan ruang ( terutama perkotaan) berdasarkan hasil perhitungan luas penggunaan tanah, jumlah bangunan dan luas lantai. Rumus matematis dan intensitas penggunaan lahan dapat dijabarkan sebagai berikut :
IPL
1,903 + LOG KLB = -------------------------------0,381
.......................................................( 7)
Dimana : IPL KLB
= Intensitas Penggunaan lahan = Koefisien Lantai Bangunan
Kegiatan Industri Praktek pembuangan limbah industri memiliki sejumlah aturan, Undangundang Lingkungan Hidup melarang pembuangan zat padat ke badan air, sungai laut dan danau.
Aturan lain yang tidak memungkinkan dibuang ke laut adalah
adanya batas maksimal Total Suspended Solid (TTS) bagi zat padat yang dilepas ke periaran. Batasan TSS, sebesar 30 ppm merupakan baku mutu yang harus dipenuhi industri ( tambang/tailing) yang memiliki TSS beberapa kali lipat. Aturan mengenai batas TSS ini dibuat untuk melindungi sumberdaya perikanan setempat. TSS kira-kira dapat dilihat sebagai bagian dari tailing yang dapat berupa
partikel/butiran-butiran
halus
yang
melayang-layang
di
perairan
(suspended). Adanya partikel-partikel tersuspensi ini akan meningkatkan kekeruhan perairan, menghalangi cahaya matahari yang dibutuhkan sebagai sumber metabolisme kehidupan perairan ( Kepmen KLH no. 02 tahun 1986 UU Lingkungan Hidup No. 23/1997 dan PP. Pencegahan Pencemaran Laut). Disebutkan bahwa ambang batas TSS untuk effluen sebesar 400 mg/l.
82
Analisa Sosial Ekonomi Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kajian komponen sosial-ekonomi dan social budaya masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Bekasi ditentukan berdasarkan pada struktur sosial yang meliputi struktur perekonomian setempat, struktur penguasaan sumberdaya, dan interaksi sosial pada kelompok-kelompok masyarakat. Lingkup kajian aspek sosial-ekonomi dan sosial-budaya didasarkan pada prakiraan perubahan bentang alam, terutama pada areal daratan pantai. Adapun lingkup kajian dampak kegiatan meliputi area di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi yang telah direncanakan untuk kegiatan perbaikan dan pembangunan permukiman, pembangunan prasarana kegiatan usaha dan pembinaan usaha,
dan
pengembangan wilayah wisata bahari. Analisis
ini
mengkaji
perkembangan
perekonomian
dilihat
dari
sumbangan setiap sektor dari setiap wilayah terhadap pendapatan daerah ( PDRB) dengan menggunakan teknik analisis Shift and Share, yaitu sebagai berikut : Ri = PDRB 2005ij = PDRB 2000ij PB (0%) =
PDB 2005 = PDB 2005i ………(8) PDB 2000 PDB 2005ij PB
. ………………………….(9)
PDRB 2005
Analisa Manfaat Ekonomi dari setiap penggunaan lahan Lingkup kajian aspek sosial-ekonomi didasarkan pada manfaat ekonomi dari setiap penggunaan lahan, terutama pada wilayah pesisir. Adapun lingkup kajian dampak kegiatan meliputi area di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi yang telah direncanakan untuk kegiatan perbaikan dan pembangunan permukiman,
83
pembangunan
prasarana
kegiatan
usaha
dan
pembinaan
usaha,
dan
pengembangan wilayah wisata bahari. Model Total Ekonomi Value (TEV) Di dalam menganalisis TEV, Bell dan Cruz-Trinidad (1996) membagi benefit dan cost
dari potensi kegunaan mangrove kedalam tiga komponen yakni
konservasi, kelestarian eksploitasi dan konversi. Untuk memformulasikan nilai kegunaan mangrove di atas, Bell dan CruzTrinidad menjabarkan kedalam suatu fungsi tujuan (objective function)
yang
ditulis sebagai berikut :
maxZ = ∑NBs +∑NBm
…………………(10)
Dimana NBs adalah keuntungan (net benefit) dari budidaya udang, dan NBm adalah keuntungan (net benefit) yang berhubungan dengan kelestarian eksploitasi hutan mangrove. Maksimum total keuntungan (total net benefit), dimana X*P adalah penerimaan total, X*C adalah biaya. Indeks a menunjukkan penggunaan lahan , b menunjukkan penggunaan sumberdaya, c menunjukkan sector produksi, i menunjukkan aktivitas proses (ekstraksi, tranportasi, dsb), Aj menunjukkan area atau daerah dimana aktivitas i terjadi , Nk menunjukkan level konversi mangrove di daerah k, l dan m menunjukkan level teknologi dan n menunjukkan sumberdaya atau produk akhir. Sedangkan untuk mengukur nilai manfaata dari setiap penggunaan lahan adalah dengan menggunakan persamaan Nilai Setiap Penggunaan Lahan adalah perkalian antara harga setiap satuan penggunaan lahan dengan jumlah/produksi/luas setiap satuan unit lahan ( I = p x q ), dimana I nilai ekonomi lahan, p harga dari setiap satuan unit lahan dan q jumlah satuan unit lahan (Anto Dadjan, 1982, Modifikasi) .
84
Merumuskan Model Perencanan Tata Ruang Wilayah Pesisir Setelah data-data dari veraiabel diperoleh baik secara primer ataupun sekunder kemudian dilakukan penyusunan konsep awal dari model perencanaan penataan ruang yang ingin dicapai dengan beberapa skenario, yaitu : 1. Analisis kebijakan penataan ruang yang sudah ada (RTRW Kabupaten Bekasi). Rencana penataan ruang yang sudah dibuat dijadikan dasar untuk analisis terhadap fungsi masing-masing kawasan. Fungsi kawasan tersebut dibagi atas dua bagian utama, yaitu ; •
Kawasan lindung meliputi; hutan lindung (hutan mangrove), kawasan cagar alam dan kawasan suaka marga satwa atau jenis lainnya.
•
kawasan budidaya meliputi ; permukiman, industri, tambak, pertanian, pariwisata dan tempat penangkapan ikan (perikanan laut).
Skenario
kebijakan
penataan
ruang
menggunakan
pendekatan
keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya untuk pembangunan, yaitu dengan perubahan konversi lahan dan kemudian disesuaikan dengan rencana penataan ruang yang ada. 2. Analisis kesesuaian dan daya dukung lahan (Tabel matriks kesesuaian lahan; Lampiran 1 ) dari wilayah pesisir yang dijadikan wilayah penelitian dalam hal ini adalah wilayah pesisir Pantai Utara Kabupaten Bekasi. Skenario ini dianggap skenario yang terjadi bila tidak ada perubahan kebijakan dalam pemanfaatan lahannya. Pada dasar skenario ini, struktur dan
pola pemanfaatan lahan belum ada intervensi dengan kebijakan
apapun dan pola penggunaan lahan yang secara alamiah tidak dirubah. Artinya
klasifikasi kesesuaian penggunaan lahan sesuai
dengan
85
karakteristik dan daya dukungnya. Konsep ini mengacu pada kondisi fisik, kimia dan bilogi wilayah perairan dan daratan. 3. Analisis ekonomi sumberdaya lahan wilayah pesisir
yang meliputi
penggunaan lahan wilayah pesisir saat ini (eksisting) dan penggunaan lahan berdasarkan pada daya dukung. Analisis ekonomi berdasarkan daya dukung lahannya yang
secara ekologi akan memberikan
keberlanjutan sumberdaya wilayah pesisir. Nilai ekonomi memberikan nilai tambah yang berarti bagi masyarakatnya dan lingkungannya. Pendekatan dilakukan pada wilayah pesisir dengan menggunakan modelmodel valuasi ekonomi. 4. Analisis dengan rumusan model perencanaan penataan ruang wilayah pesisir. Model ini merupakan hasil analisis dari kebijakan tata ruang yang berbasis daratan, analisis kesesuaian dan daya dukung lahan serta analisis ekonomi sumberdaya lahan wilayah pesisir. Analisis terhadap unsur-unsur diatas menghasil rumusan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Sumberdaya wilayah pesisir dapat ditampilkan dalam satuan unit terkecil yang mewakili bentuk perbedaan kenampakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dalam penelitian ini satuan terkecil yang digunakan adalah batas adminstratif desa. Dari aspek kenampakan bentangan alamnya secara spasial dapat ditampilkan dalam bentuk peta. Sistem informasi geografis dilakukan untuk mendapatkan penyajian spasial dari skenario penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir di Kabupaten Bekasi. Analisis SIG dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Arc-View versi 3.3 (ESRI, 1995).
86
Untuk menentukan sebaran spasial karakteristik geo-fisika-kimia perairan digunakan
pendekatan
spasial
berdasarkan
pada
parameter-perameter
pendukung untuk suatu lokasi di wilayah pesisir. Penentuannya secara diskriptif yang dihasilkan oleh setiap peta kondisi fisik wilayah pesisir misalnya peta batimetri, peta distribusi phytiplankton, peta jenis substrat dan peta lainnya. Petapeta tersebut menggambar secara spasial akan peta kesesuaian dan daya dukung lahan. Langkah berikutnya adalah overlay dengan peta rencana tata ruang berbasis daratan yang sudah ada ( khususnya dalam pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya);
Berdasarkan kesesuaian dan daya dukung
lahannya; dan peta analisis ekonomi. Dengan teknik overlay peta kesesuaian dan daya dukung dapat diketahui kesesuaian dan daya dukung lahan untuk permukiman, pelabuhan, industri, pertanian, perikanan tambak, budidaya laut, konservasi dan pariwisata. Setelah didapatkan kawasan berdasarkan rencana tata ruang berbasis daratan, kesesuaian lahan, daya dukung, dan nilai ekonomi, maka langkah berikutnya adalah mengklasifikasikan wilayah persisir berdasarkan pada fungsi kawasan yaitu kawasan pre-servasi, konservasi dan pemanfaatan intensif atau kawasan lindung dan budidaya. Dari metode itu diketahui parameter-parameter yang menjadi kriteria pokok dalam penentuan satuan rencana tata ruang wilayah pesisir dari ketiga skenario diatas maka dirumuskan dalam bentuk suatu proses dan model yang sederhana agar model yang akan dirumuskan dapat diketahui dengan lebih mudah baik secara spasial (peta tata ruang wilayah pesisir) maupun dalam bentuk konsep dalam penyusunan rencana tata ruan wilayah pesisir berikutnya.
87
Model yang akan dihasilkan dapat diterapkan juga di wilayah lainnya, dengan dasar bahwa wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Akhirnya dari hasil analisis SIG yang diintegrasikan dengan anilisis matematis yang lainnya, akan didapatkan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Proses penyusunan model rencana tata ruang wilayah pesisir dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap input, tahap proses dan tahap output seperti Gambar 12 berikut : POTENSI DAN PERMASALAHAN
DATA PRIMER
BASIS DATA
DATA SEKUNDER
PETA DASAR
PETA TEMATIK KE-1
PETA TEMATIK KE-2
PETA TEMATIK KE-N
OVERLAY MODELLING
ANALISIS SPASIAL (Pola Pemanfaatan Ruang & TABULAR
Analisis Kuantitatif dari Karakteristik Ekosistem Pesisir
TATA RUANG BERBASIS OVERLAY MODELLING
KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG LAHAN PEMANFAATAN SAAT INI VALUASI EKONOMI
TATA RUANG WILAYAH PESISIR Gambar 12 Proses Analisis Sistem Informasi Geografis (Rokhmin, 2000)
88
ANALISIS KONDISI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BEKASI Kondisi Geofisik Topografi, Geologi, Geomorfologi dan Hidrologi Wilayah pesisir Pantura Kabupaten Bekasi pada umumnya merupakan dataran rendah, dengan ketinggian wilayah berkisar antara 0 - 25 m dpl dan kemiringan lahan 0 – 4 %. Kemiringan lereng seperti ini memperkecil daya erosi dan kestabilan lereng. Topografi daerah perairan wilayah Pantura Kabupaten Bekasi memperlihatkan perairan yang relatif dangkal sampai jarak 1,202 km dari garis pantai, dengan kedalaman rata-rata 2 - 15 m. Dari pantai ke arah laut, dasar lautnya melandai dengan kedalaman semakin meningkat sampai kedalaman 25 – 30 m. Pada jarak yang lebih jauh mempunyai kedalaman ± 300 meter. Topografi perairan dangkal ini tentu tak lepas dari akibat banyaknya sungai yang bermuara ke Laut Jawa, yang banyak membawa substrat sedimentasi, sehingga perairan sekitar menjadi dangkal. Sratigrafi wilayah pesisir Kabupaten Bekasi tersusun oleh endapan Kuarter dengan ketebalan mencapai lebih dari 100 meter (PPGL,1996). Endapan tersebut dibedakan menjadi satuan batuan yang terdapat di daerah daratan dan yang terdapat di laut (lepas pantai) pesisir Kabupaten Bekasi.
Di daerah daratan satuan batuannya dapat
dibedakan menjadi endapan volkanik, endapan sungai, endapan rawa, endapan pematang pantai, endapan laut, dan terumbu karang (Situmorang, 1997). Di daerah daratan satuan batuannya dapat dibedakan menjadi endapan volkanik, endapan sungai, endapan rawa, endapan pematang pantai, endapan laut, dan terumbu karang (Situmorang, 1997). a. Endapan volkanik terdiri dari dua tipe, yaitu lempung lanauan tuf/Tuf Banten (vB) dan endapan volkanik kipas aluvial (vF). Tuf Banten (vB) terdiri dari tuf putih hingga putih kekuningan, berisi pumice, dan lunak. Endapan volkanik kipas aluvial
89
(vF) terdiri dari lempung tufaan kaku dan sticky dengan kerikil yang tersebar. Lempung berwarna abu-abu – abu-abu muda dan lapukannya berwarna merah hingga coklat mirip dengan tanah laterit. Kerikil berukuran halus-sedang (1-2 cm), membundar tanggung, terpilah buruk. b. Endapan sungai terdiri dari dua jenis endapan yaitu endapan tua (OC) dan muda (F, FR, FM, FMR). Endapan sungai tua (OC) membentuk channel-channel dengan ketebalan 10 m dan terdiri dari pasir, lempung, dan lanau. Pasir merupakan yang dominan pada endapan ini, berukuran sedang-kasar, berwarna abu-abu – abu-abu kecoklatan, membundar tanggung, terpilah sedang-buruk, dan lepas-lepas. Lempung coklat dan lanau umumnya terdapat di bagian atas endapan. Endapan sungai muda merupakan endapan dataran banjir dan channel. Endapan sungai muda berupa channel tersebar di Sungai Citarum, Kali Bekasi, dan Sungai Cisadane. Endapan dataran banjir didominasi oleh lempung dengan bagian bawah lanau dan pasir, berwarna abu-abu dengan tebal 10 m dan menutupi endapan rawa dan endapan laut. c. Endapan rawa terdiri dari endapan rawa (R) dan endapan laut dan rawa (MR). Endapan rawa tersusun oleh lempung, lanau yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu, berwarna coklat - abu-abu gelap dan ketebalannya dapat mencapai 8 m. d. Endapan pematang pantai (b) terdapat di bagian Timur Laut, Tengah, dan Barat Laut dengan ketebalan 1 - 3 m. Endapan ini berwarna abu-abu, lepas-lepas, berukuran sedang-kasar, terpilah sedang. Fauna yang umum dijumpai adalah foraminifera dan moluska. e. Endapan laut terdiri dari endapan laut (M) dan endapan laut dan rawa (MR). Endapan laut mempunyai ketebalan maksimum 16,7 m, tersusun dari pasir, lempung, dan lanau. Lapisan teratas umumnya pasir, dialasi oleh selang seling pasir dan lempung. Pasir berukuran sedang-halus, terpilah baik. Di bagian bawah, lanau dan lempung dominan dan banyak terdapat laminasi dengan ketebalan 1 - 3 cm.
90
f. Terumbu karang (K) merupakan koloni koral yang menyusun sebagian besar pulau-pulau di lepas pantai uata (Kepulauan Seribu). Di Pulau Nusa, sebelah Barat Muara Pecah, terumbu karang memperlihatkan warna putih keruh, padat dan kompak dengan bagian teratas terdiri dari fragmen terumbu karang bercampur dengan fauna laut. Satuan Geologi seperti terlihat Gambar 13 berikut :
PANTURA KABUPATEN BEKASI
Gambar 13 Satuan Geologi Dataran Pantai Wilayah Pesisir Kab.Bekasi (PPGL1995) Berdasarkan bentuk bentang alam (landscape) secara umum, geomorfologi wilayah bagian Utara Jakarta dapat dibagi menjadi 2 (dua) satuan geomorfologi sebagaimana ditunjukkan (PPGL, 1996). Satuan Geomorfologi Dataran Pantai Satuan geomorfologi dataran pantai letaknya memanjang sepanjang Pantai Utara Kabupaten Bekasi. Satuan geomorfologi dataran pantai merupakan
91
daerah dengan kelerengan datar hingga landai (1o - 3o). Litologi yang menempati satuan tersebut adalah endapan pasir dan lempung serta sebagian ditempati rawa-rawa. Pola aliran sungai yang berkembang umumnya subdendritik dengan arus yang tidak begitu kuat. Satuan Geomorfologi Fluvial Satuan geomorfologi fluvial terletak di bagian Selatan dari satuan geomorfologi dataran pantai, memanjang dari Barat ke Timur. Satuan ini umumnya berupa dataran dan tidak begitu terpengaruh oleh proses interaksi dengan laut. Litologinya terdiri dari lempung dan kerikil (gravel) yang merupakan hasil transportasi endapan volkanik. Pola aliran sungainya adalah sub-paralel hingga paralel. Kawasan Pantura Jakarta terletak pada satuan geomorfologi dataran pantai. Dengan demikian, topografi di kawasan tersebut relatif datar, sehingga potensi terjadinya gerakan tanah adalah sangat kecil. Kondisi litologi mengindikasikan bahwa di kawasan tersebut terdapat tanah/batuan yang relatif lunak. Arus sungai yang tidak cukup besar menunjukkan bahwa erosi oleh air sungai juga tidak besar dan sedimentasi adalah intensif. Menurut Hollings (1976), kawasan Pantura Jakarta termasuk Pantura Kabupaten Bekasi berada pada Zona 4 dengan potensi gempa sedang. Pengamatan terhadap kualitas sedimen sungai antara lain dilakukan melalui pengukuran kualitas sedimen. Dengan memilih 10 (sepuluh) lokasi pengukuran sesuai dengan lokasi pengukuran kualitas perairan muara sungai dan menggunakan parameter besi (Fe) dan logam seperti tembaga (Cu), timah hitam (Pb), Chromium (Cr), Nikel (Ni), Cadmium (Cd), Seng (Zn), Mangan (Mn), dan Mercury (Hg). Kandungan logam dalam sedimen mengindikasikan kemungkinan sifat akumulatif, sehingga kadarnya senantiasa bertambah sesuai dengan perjalanan waktu.
92
Kondisi hidrologi di muara-muara sungai umumnya sangat dipengaruhi oleh proses pasang-surut. Jika saluran muara dangkal, proses sedimentasi akan berlanjut. Adanya proses akresi pantai yang dominan pada bulan Desember - Maret akan menyebabkan pendangkalan pada mulut sungai dan saluran. Proses pendangkalan tersebut menyebabkan sering terjadinya penyumbatan pada muara-muara sungai, sehingga mengubah karakter banjir serta mempengaruhi pergerakan volume air sungai ke arah lepas pantai terutama pada musim penghujan. Salinitas air luat Kabupaten Bekasi seperti Gambar 14. Pada sistem aliran Kali Bekasi, terlihat bahwa kualitas air termasuk kategori buruk. Sedangkan kualitas sedimen di sistem Sungai S.Ciherang relatif lebih baik, oleh karena DPS sistem Kali Bekasi masih didominasi oleh permukiman. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi sebagiannya merupakan wilayah yang setiap tahun menghadapi masalah banjir dan genangan air. Terutama
wilayah
sebagian wilayah Babelan dan Tarumajaya yang rawan banjir. Morfologinya yang merupakan dataran rendah, melintasnya beberapa wilayah, dan bagian Utara Kabupaten Bekasi yang berhubungan langsung dengan Laut Jawa, menyebabkan wilayah ini menjadi wilayah potensial banjir. Secara garis besar, beberapa faktor yang menjadi penyebab banjir adalah (a) curah hujan yang tinggi di hulu, (b) batuan dan jenis tanah di hulu sungai tergolong rawan longsor dan peka erosi, (c) perubahan penggunaan lahan yang pesat di daerah aliran sungai, (d) gradien sungai dan drainase yang sangat landai, (e) pengaruh pasang-surut, (f) pengambilan air tanah, dan (g) pendangkalan sungai di sekitar muara antara lain oleh sampah kota, dan (i) penyempitan badan sungai oleh pemukiman di bantaran sungai.
93 &
30.00 #
LAUT JAWA
Tg.KARAWANG #
30.15
PANTAIBAHAGIA 30.65
&
#
&
PANTAIBAKTI #
30.50
31.50
&
&
PANTURA KAB.BEKASI #
Tg. GEMBONG
PANTAISEDERHANA
#
#
PANTAIMEKAR #
MUARAGEMBONG
JAYASAKTI
#
#
30.75 PANTAIHARAPANJAYA
&
#
30.50 &
TELUKJAKARTA #
PANTAIHURIP HURIPJAYA #
#
27.50 &
MARUNDA #
KEC.CILINCING PANTAIMAKMUR SEGARAMAKMUR #
#
BUNIBAKTI
#
MUARABAKTI
#
TARUMAJAYA SAMUDRAJAYA
#
#
#
PAHLAWANSETIA SETIAMULYA KEDUNGPENGAWAS KEDUNGJAYA #
#
#
#
BABELANKOTA PUSAKARAKYAT SETIASIH #
#
#
BABELAN #
BAHAGIA #
KABELAN #
Sumber : 1. Bakosurtanal Peta Skala 1 : 25.000 2. BPLHD Tahun 2001 3. Peta Laut Nusantara 4. Bapedal Da DKI Jakarta
KETERANGAN SALINITAS 27 - 28 ( PPM ) SALINITAS 28 - 29 ( PPM ) SALINITAS 29- 30 ( PPM ) SALINITAS 30 - 31 ( PPM ) SALINITAS < 27 ( PPM ) KABUPATEN KARAWANG KAWASAN BELUM JELAS KAWASAN HUTAN LINDUNG KAWASAN INDUSTRI KAWASAN PARIWISATA KAWASAN PELABUHAN PERIKANAN KAWASAN PELABUHAN UMUM KAWASAN PEMUKIMAN KAWASAN PERKEBUNAN KAWASAN TAMBAK KOTA BEKASI LAUT JAWA PROPINSI DKI JAKARTA KAWASAN NON STUDY
Gambar 14
&
Titik Sampel Salinitas Batas Kecamatan Batas Propinsi Jalan Tol Jalan Primer Sungai
PETA SALINITAS WILAYAH PESISIR KAB. BEKASI
0.7
0
0.7
1.4 Miles
Provinsi Jawa Barat
N
Kabupaten Bekasi
W
E S
Peta Salinitas Air Laut Laut Di Perairan Pantura Kabupaten Bekasi (PPGL, 2005 dan Analisis GIS, 2007)
94
Penggunaan lahan yang kurang tepat di dareah belakang (hinterland) dapat memperbesar aliran permukaan yang membawa material rombakan sehingga pada kondisi tertentu mengakibatkan proses sedimentasi pada beberapa dasar sungai yang mempunyai gradien landai. Di sisi lain, pembangunan fisik di sekitar kawasan pantai utara Kabupaten Bekasi yang semakin pesat mengakibatkan berkurangnya lahan terbuka sebagai tempat resapan hujan. Hal ini mengakibatkan aliran permukaan bertambah besar sehingga daya dukung aliran permukaan menjadi terbatas sehingga terjadi banjir di beberapa tempat. Gambaran curah hujan menunjukkan bahwa wilayah pantura memiliki curah hujan sekitar 1000 - 2.000 mm. Kondisi kualitas air tanah di wilayah Kabupaten Bekasi relatif buruk, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa parameter kunci yang telah melebihi baku mutu sesuai Permen Kesehatan Nomor 416/Men.Kes/Per/IX/1990. Parameter yang terdeteksi melampaui baku mutu adalah kekeruhan, amonia (NH3), Khromium (Cr), deterjen, organik, dan total coliform. Batimetri, Pola Arus dan Gelombang Wilayah Pantura Kabupaten Bekasi merupakan perairan teluk, sehingga kondisi arus di perairan Teluk ini dipengaruhi oleh arus yang berkembang di Laut Jawa di depannya, topografi dasar laut, musim, cuaca dan pasang surut. Arus laut pada musim barat di daerah ini berkecepatan maksimum 1,5 knot dengan arah Tenggara. Pada musim timur akan terjadi sebaliknya, yaitu berpengaruh pada pantai Utara Kabupaten Bekasi
yang menghadap ke arah timur, tetapi di sini pengaruh tidak
sebesar pada waktu musim barat. Batimetri dasar perairan Pantura Kabupaten Bekasi adalah landai dengan kemiringan rata-rata 1 : 300 (Batimetri dan Arus Permukaan seperti Gambar 15 dan Gambar 16), sedimen dasar terdiri dari material berbutir halus yang mempunyai kemampuan meredam energi gelombang yang cukup besar. Kontur batimetri relatif sejajar dengan garis pantai melengkung sesuai dengan bentuk
95
.
LAUT JAWA
PANTAIB AH AGIA . PANTAIBAK TI .
PANTURA. KAB.BEKASI PANTAISEDERH AN A . PANTAIMEKAR .
MUARAGEMBONG .
JAYASAKTI .
PANTAIHAR . APANJAYA
TELUKJAKARTA .
PANTAIHURIP . HURIPJAYA .
KEC.CILINCING . PANTAIMAKMUR . SEGARAMAKMUR .
MARUNDA .
BUNIBAKTI .
TARUMAJAYA . SAMUD. RAJAYA
MUARABAKTI .
PAHLA . ANSETIA SETIAMULYA KEDUNGPENGAWAS . . KEDUNGJAYA .
W
BAB ELANKOTA . PUSAKARAKYAT SETIASIH . . BABELAN . BAHAGIA . KABELAN .
Sumber : 1. Bakosurtanal Peta S kala 1 : 25.000 2. BPLH D Tahun 2001 3. Peta Laut Nusantara 4. Bapedal Da D KI Jakarta
K ETERANG AN BATIMETRI 6 - 10 METER BATRIMET RI 0 - 5 METER BATRIMET RI 11- 20 METER BATRIMET RI 21 30 METER KAW ASAN HUTAN LINDUNG KAW ASAN INDUSTR I KAW ASAN PARIWISATA KAW ASAN PELABUHAN PERIKAN AN KAW ASAN PELABUHAN UMUM KAW ASAN PEMU KIMAN KAW ASAN TAMBAK KOTA BEKASI LAUT JAWA PROPINSI DKI JAKARTA
Batas Kecamatan Batas Propinsi Jalan Tol Jalan Primer Sungai
PETA BATRIMETRI WILAYAH PESISIR KAB.BEKASI
0.7
0
0.7
1.4 Miles
Provinsi Jawa Barat
N
Kabupaten B ekasi
W
E S
Gambar 15 Peta Batimetri Pantura Kabupaten Bekasi (PPGL, 2005 dan Analisis GIS, 2007)
96
perairan Pantura Bekasi. Di perairan Pantura Kabupaten Bekasi tidak ditemukan palung atau tonjolan yang dapat mengubah pola gelombang datang akibat refraksi dan difraksi. Dilihat dari kondisi batimetri yang ada, dapat disimpulkan bahwa kondisi tersebut berada dalam kondisi seimbang yang stabil, dimana tidak terlihat terjadinya perubahan yang berarti pada keadaan batimetri. Pasang-surut adalah proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, yang dibangkitkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari. Hal ini terjadi, karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara teratur, maka besarnya kisaran pasang-surut juga berubah mengikuti perubahan posisi benda-benda angkasa tersebut. Akibatnya, terbentuklah berbagai komponen harmonik pasang-surut yang dikelompokkan menurut siklusnya, seperti komponen pasang-surut harian (diurnal), ganda (semidiurnal), perempat harian (quarternal), maupun komponen pasut periode panjang (seperti dua mingguan atau bulanan). Komponen-komponen harmonik pasang-surut tersebut menentukan tipe pasang-surut suatu perairan. Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang-surut tunggal (diurnal tide). Jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka pasangsurutnya dikatakan bertipe pasang-surut ganda (semidiurnal tide). Tipe pasang-surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, dan dikenal sebagai pasang-surut campuran (mixed tide). Pasang surut di perairan Pantura Kabupaten Bekasi mempunyai sifat harian tunggal, yaitu terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari. Kisaran terbesar antara surut tertinggi dan surut terendah adalah 1,2 m. Gerakan periodik ini meskipun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai Kabupaten Bekasi.
97
Ú Ê
Ú Ê
0.18
0.59
LAUT JAWA
Tg.KARAWANG 0.49
Ú Ê
0.38
Ú Ê
PANTAIB AHAGIA
PANTAIBAK TI
0.92
Ú Ê
PANTURA KAB.BEKASI Tg. GEMBONG
PANTAISEDERH AN A PANTAIM EKAR
MUARAGEMBONG
JAYASAKTI
0.92
Ú Ê
PANTAIHAR APAN JAYA
TELUKJAKARTA
PANTAIHURIP HURIPJAYA
MARUNDA
KEC.CILINCING PANTAIMAKMUR SEGARAMAKMUR
BUNIBAKTI MUARABAKTI
TARUMAJAYA SAMUDRAJAYA
PAHLAWANSETIA SETIAMULYA KEDU NGPENGAWAS KEDU NGJAYA
BABELANKOTA PUSAKARAKYAT SETIASIH BABELAN
BAH AGIA KABELAN
KETERANGAN ARUS PERMU KAAN
( M/Detik )
0.1 - 0. 2 0.2 - 0. 3 0.3 - 0. 4 0.4 - 0. 5 0.5 - 0. 6 0.6 - 0. 7 0.7 - 0. 8 0.8 - 0. 9 >09
PemanfatanKawasan Kaw as an Hutan Lindung Kaw as an Indus tri Kaw as an Pariwisata Kaw as an Pelabuhan Perikanan Kaw as an Pelabuhan Um um Kaw as an Pem ukiman Kaw as an Tambak
KET ER ANGAN RELIEF DAN TITIK Ú Ê Titik Sam pel Salinitas Jalan T ol Jalan Primer Sungai
Laut Jawa
PETA ARUS PERMU KAAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BEKASI
Arah Arus Samu dera Hindia
BATAS AD MIN ISTRASI Kabupaten Karawang Kota Bekasi Laut Jawa Pr ov ins i D KI J akarta W ilayah Non Study Batas Kec amatan Batas Propinsi
Teluk J akarta
U
0.7
0
0.7
1.4 Miles
Sumber : 1. BakosurtanalPeta Skala 1 : 25.000 2. BPLHD Tahu n20 01 3. Peta Laut Nusan tara 4. Bapedalda DKI Jakarta
Gambar 16 Peta Arus Permukaan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi (PPGL, 2005 dan Analisis GIS, 2007)
98
Arus yang terjadi di perairan di Laut Jawa Pantura Bekasi terutama disebabkan oleh angin dan pengaruh pasang-surut. Pengaruh pasang-surut pada dasarnya tidak terlampau besar, karena tunggang pasang purnama (spring tide) yang terjadi di Pantura Kabupaten Bekasi yaitu berkisar antara 90 cm hingga 150 cm tergantung pada lokasi. Kecepatan arus berkisar antara 25 cm/detik hingga 50 cm/detik dan arahnya mengikuti arah angin, yaitu ke Timur pada saat musim Barat pada bulan Desember hingga Februari dan ke Barat pada saat musim Timur pada bulan Juni hingga Agustus. Sedangkan arus yang terjadi di perairan Pantura Kabupaten Bekasi lebih kecil, semakin mendekati kepantai arus semakin melemah. Besar arus diperairan ini berkisar antara 10 cm/detik hingga 30 cm/detik (Departemen PU dan Dishidros TNIAL). Semakin melemahnya di perairan yang semakin mendekati pantai dan menjahui Laut Jawa disebabkan oleh terjadinya arus dominan di Laut Jawa, sedang pengaruh pasang-surut memberikan kontribusi yang kecil pada magnitude arus. Arus di perairan pantai memperlihatkan pola yang relatif kompleks, oleh karena dipengaruhi oleh bangunan-bangunan pantai seperti beton-beton penahan gelombang dan lahan reklamasi. Ke arah perairan pantai terjadi perubahan pola dan konsentrasi arus, dimana pengaruh pasang-surut menjadi lebih besar, dan dipengaruhi pula oleh debit saluran drainase dan badan sungai. Abrasi dan Akresi Morfologi pantai Pantura Kabupaten Bekasi terdiri dari dataran rendah pantai, dan dataran delta. Ketinggian pantai berkisar antara 0 - 5 m dari muka air laut. Bagian Barat Pantura Kabupaten Bekasi sebagian besar merupakan pantai berlumpur, sedangkan ke arah Timur merupakan pantai berpasir. Perubahan garis pantai di Pantura Kabupaten Bekasi pada umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia, antara lain pembangunan didepan garis pantai
99
atau penambangan pasir. Perubahan garis pantai oleh faktor alam terutama berupa penambahan pantai oleh sedimentasi. Abrasi terjadi di beberapa lokasi di Pantai Utara Kabupaten Bekasi terutama diwilayah Babelan dan Muarogembong bagian Timur. Perubahan oleh aktifitas manusia menyebabkan terjadinya perubahan dalam keseimbangan alam, sehingga pantai akan mencari keseimbangan yang baru. Faktor alam yang menyebabkan perubahan morfologi pantai yang utama adalah gelombang, pasang-surut, arus, angin, dan discharge sedimen dari sungai. Tumbuhan pantai, pantai yang landai, karang (reef),dan headland berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang. Beberapa daerah yang mengalami erosi dan akresi pada umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia, yaitu pantai Muarogembong, muara Sembilangan dan Muara Bagong. Bagian pantai tersebut telah mengalami keseimbangan baru. Pantai Babelan dan Tarumajaya juga mengalami erosi, namun hingga kini belum membentuk keseimbangan alam, dimana suplai sedimen tidak mencukupi untuk menutup defisit yang diakibatkan oleh abrasi dan pengambilan pasir. Pembangunan tambak di wilayah perairan Muarogembong menyebabkan kawasan tersebut mengalami kehilangan pelindung pantai alami berupa tanaman mangrove. Kualitas Perairan Pantai Utara Kabupaten Bekasi Kondisi hidrologi Kabupaten Bekasi termasuk dalam dataran utara Jawa Barat bagian timur, yang sangat luas. Bagian selatan Jawa Barat di batasi oleh punggung pergunungan. Bagian utara Jawa Barat dibatasi oleh Laut Jawa, yang memiliki potensi air tanah dengan akuifer produktivitas sedang. Potensi ini tersebar dengan perwatakan angka keterusan : sedang, muka air tanah dangkal, dan debit sumur umumnya kurang dari 5 liter per detik. Sekitar 19.745 Ha (15,5 persen) wilayah Kabupaten Bekasi memiliki air tanah
100
yang terintrusi air laut (terutama Kecamatan Muaragembong dan Kecamatan Cabangbungin), sedangkan 25.605 Ha (20,1 persen) memiliki air tanah dangkal dan 82.038.023 Ha (64,4 persen) memiliki 104.185 Ha (81,79) dari luas kabupaten memiliki kedalaman efektif air tanah di atas 90 meter. Sumber daya air tanah di daerah ini berasal dari cekungan artesis yang berumur kuarter, dengan batuan sedimen tersier terlipat dari jalur Bogor dan endapan paparan sumber dari zona darat endapan laut, yang berselang-seling dengan kedalaman berkisar antara 15 – 20 m. Kualitas air tanah dangkal pada umumnya kurang baik menurut persyaratan Departemen Kesehatan, yang apabila di eksploitasi berlebihan akan mengganggu keseimbangan lingkungan dan pada akhirnya akan menyebabkan intrusi air laut pada kawasan tersebut. Air tanah dalam terdapat pada kedalaman 90 – 250 m, dengan kualitas airnya pada umumnya lebih baik dari air tanah dangkal, karena terletak pada lapisan impermeabel dan bebas bakteri. Kondisi Perairan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Wilayah pantai utara Kabupaten Bekasi
yang mempunyai panjang 40 Km
terletak antara 2 tanjung, yaitu Tanjung Kerawang di sebelah barat dan Tanjung Pasir di sebelah timur. Pantura Kabupaten Bekasi dibatasi 2 sungai besar, yaitu Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Bekasi di sebelah timur dengan kualitas air sungai kurang baik. Kualitas air sungai yang membawa polutan dari kegiatan di darat akan mempengaruhi kualitas air laut pantura Kabupaten Bekasi. Dari hasil pengujian dilaboratorium menunjukkan perairan Utara Kabupaten Bekasi bagian timur lebih baik dibandingkan dengan bagian barat dan tengah. Kualitas air laut pantura Kabupaten Bekasi sangat dipengaruhi oleh kualitas air sungai-sungai yang bermuara ke pantura Kabupaten Bekasi , karena dipengaruhi oleh sungai, maka kualitas air laut juga sangat berbeda pada musim hujan dan musim
101
kemarau. Pada saat musim kemarau kadar turbiditas air laut masih memenuhi Baku Mutu. Namun, kadar COD, BOD, sianida, fenol, nitrit, NH3, dan logam berat sudah melebihi Baku Mutu Air Laut (Dinas
KLH Kabupaten Bekasi 2006). Pada musim
hujan, kadar turbiditas sangat tinggi dan sebarannya meluas sampai 5 km ke tengah laut. Kadar parameter-parameter tersebut berbanding terbalik dengan nilai salinitas. Kadar parameter yang melebihi baku mutu umumnya ditemukan di muaramuara sungai. Hal ini menunjukkan bahwa bahan polutan tersebut berasal dari kegiatan di darat yang terbawa oleh air sungai. Nilai BOD dan COD yang tinggi di perairan pantura Kabupaten Bekasi banyak sekali mengandung bahan organik yang mudah dan sukar mengurai. Selain parameter-paremeter tersebut kadar fosfat dan nitrat juga tergolong tinggi. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa perairan pantura Kabupaten Bekasi
bagian timur lebih baik dibandingkan dengan bagian barat dan tengah.
Kualitas perairan Utara Kabupaten Bekasi
bagian barat lebih baik dibandingkan
dengan bagian tengah. Kadar logam berat dalam sedimen Utara Kabupaten Bekasi ternyata juga tinggi. Kualitas perairan Pantura Kabupaten Bekasi dari arah pantai menuju ke arah laut lepas, yaitu dari Zona C ke arah Zona A ( titik-titik pengujian ) menunjukkan kondisi beragam, yaitu konsentrasi beberapa parameter semakin kecil atau besar. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh arah arus, gelombang, dan pasang-surut laut. Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa kualitas perairan pantura Kabupaten Bekasi relatif baik, sebagian besar parameter memiliki konsentrasi di bawah baku mutu yang ditetapkan, terutama bagi kehidupan biota laut. Sungai-sungai yang terdapat di Wilayah Pesisir Pantura Kabupaten Bekasi, adalah Sungai Citarum, CBL dan Ciherang. Semuanya bermuara ke laut. Aliran-aliran sungai tersebut selama ini digunakan untuk keperluan irigasi, transportasi dan air
102
minum. Sistem drainase yang buruk seringkali menyebabkan genangan-genangan apabila terjadi hujan, terutama daerah di pinggiran pantai. Daerah genangan di wilayah Pantura Bekasi mengikuti garis pantai dengan jarak ± 1,5 km dari garis pantai. Genangan yang terjadi terus menerus ini akan menyebabkan turunnya kualitas lahan berupa korosi tanah yang bersifat asam. Wilayah Pantura Kabupaten Bekasi pada awalnya merupakan areal pertanian, dalam satu dasawarsa ini telah berubah menjadi kawasan industri dan permukiman. Seiring dengan perubahan tersebut, pada kenyataan telah terjadi kerusakan lingkungan hidup terutama pencemaran air. Pencemaran oleh limbah industri dan rumah tangga dari kawasan industri dan permukiman banyak terjadi daerah aliran sungai (DAS). Warna air sungai sering tampak coklat kehitaman dan sepanjang hari berbau busuk. Kemungkinan pencemaran itu berasal dari pembuangan limbah sejumlah pabrik industri pengolahan kertas, tekstil dan baja yang tidak menerapkan water treatment (pengolahan air limbah). Kondisi tersebut juga terjadi pada DAS Kali Canal Bekasi Laut (CBL) dan Kali Bekasi yang merupakan anak dari aliran Sungai Citarum. Keadaan yang demikian, menyebabkan Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat No. 38, Tahun 1991 tentang Sumber Air di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa sungai-sungai di Kabupaten Bekasi yang saat ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan air baku air minum, perlu dievaluasi. Kualitas perairan Pantura Kabupaten Bekasi dapat dibedakan atas kualitas perairan pantai, yaitu di sekitar muara sungai-sungai dan kualitas perairan laut. Hasil penelitian terlihat bahwa kualitas perairan pantai lebih buruk dibandingkan kualitas perairan laut. Kondisi tersebut disebabkan fungsi perairan pantai sebagai badan penerima buangan limbah cair yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di ke laut. Muara sungai-sungai tersebut mempunyai kedalaman relatif dangkal, yaitu berkisar antara 0,75 - 3,75 meter, sehingga limbah cair cenderung mengendap di sekitar perairan pantai. Pantura Kabupaten Bekasi mempunyai kedalaman sekitar 2 -
103
25 meter, pada kedalaman tersebut kecepatan arus menjadi lebih besar yang mempercepat proses pencampuran cemaran. Akibatnya terjadi pengenceran cemaran diperairan laut dan menyebabkan kualitas perairan laut lebih baik dibandingkan perairan pantai. Kualitas perairan laut di Pantura Kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa perairan bersangkutan masih memenuhi baku mutu bagi peruntukan budidaya biota laut atau perikanan. Sedangkan kualitas perairan pantai pada umumnya telah melampaui baku mutu untuk dimanfaatkan bagi budidaya biota laut atau perikanan. Kualitas perairan seperti digambarkan pada gambar 15 pada halaman berikut. Kondisi Perairan Sungai Pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa kualitas perairan di pantai dan muara sungai telah melampaui baku mutu yang ditetapkan, terutama untuk budidaya biota laut dan perikanan. Beberapa parameter menunjukkan konsentrasi di atas baku mutu, yaitu warna, zat padat tersuspensi, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, surfaktan, tembaga, timah hitam, seng, merkuri, arsen, dan coliform, seperti Gambar 17. Beberapa parameter yang mengindikasikan kualitas air yang rendah untuk seluruh lokasi pengukuran adalah oksigen terlarut, nitrit, surfaktan, tembaga, seng, merkuri, dan arsen. Seluruh lokasi pengukuran menunjukkan kadar oksigen terlarut melampaui baku mutu, oleh karena zat organik dalam air cukup tinggi. Oksigen terlarut merupakan parameter kunci bagi aktifitas budidaya perikanan laut. Zat organik yang tinggi diperkirakan berasal dari limbah domestik yang umumnya langsung dibuang ke sungai atau laut oleh masyarakat yang berdiam di sepanjang badan sungai. Akibat kandungan oksigen terlarut yang rendah, hampir di seluruh lokasi pengukuran mencatat kadar nitrit yang tinggi. Selain nitrit, kadar surfaktan, logam tembaga (Cu), seng (Zn), merkuri (Hg), dan arsen (As) juga melampaui baku mutu di seluruh lokasi pengukuran, di mana tingginya kadar nitrit yang diperkirakan berasal dari limbah
104
domestik yang dibuang langsung ke sungai. Logam berat seperti tembaga, seng, merkuri, dan arsen bersifat toksik bagi ikan, sehingga dapat mengakibatkan kematian atau terakumulasi pada hewan ikan. Kadar logam seng, merkuri, dan arsen yang tinggi
.
LAUT JAWA
PANTAIBAHAGIA . PANTAIBAK TI .
PANTURA.KAB.BEKASI PANTAISEDERH AN A . PANTAIMEKAR .
MUARAGEM BONG .
JAYASAKTI .
PANTAIHARAPAN JAYA .
TELUKJAKARTA .
PANTAIH URIP . HURIPJAYA .
MARUNDA .
KEC.CILINCING . PANTAIMAKMUR . SEGARAMAKMUR .
BUNIBAKTI .
TARUM. AJAYA SAMUD. RAJAYA
MUARABAKTI .
PAHLAWANSETIA . SETIAMULYA KEDU .NGPENGAWAS . KEDUNGJAYA .
BAB ELANKOTA . PUSAK .ARAKYAT SETIASIH .
BABELAN . BAHAGIA . KAB.ELAN
Sumber : 1. B akosurtanal Pet a Skala 1 : 25.000 2. B PLHD Tahun 2001 3. P eta Laut Nusantara 4. B apedal Da D KI Jak arta
KET E RANG A N KAW ASAN KAW ASAN KAW ASAN KAW ASAN KAW ASAN KAW ASAN
HU TAN LIND U NG IN D UST RI PARIW ISAT A PELAB UHAN PE RIKANAN PELAB UHAN UMU M PEMUKIM AN
KAW ASAN T AM BAK KAW ASAN BUD IDAYA PER IKANAN KUA LIT AS AIR BAIK KUA LIT AS AIR BUR UK KABUPATEN KAR AW ANG KO T A BEKASI LAUT J AW A PROPI NSI DKI JAKARTA
Batas Kecamat an Batas Propinsi J alan T ol J alan Pr im er Sungai
PETA KUALITAS PERAIRAN WILAYAH PESISIR KAB.BEKASI
0.7
0
0 .7
1.4 Mil es
Provinsi Jawa Barat
N
Kab u pa te n B eka si
W
E S
Gambar 17 Kualitas Perairan Kabupaten Bekasi, 2007
105
diperkirakan berasal dari alam, limbah industri, atau terbawa arus laut ke muara pada waktu pasang. Parameter warna yang melampaui baku mutu tercatat di muara Citarum dan muara Kali Bekasi pada waktu surut. Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh tingginya jumlah material terlarut pada lokasi tersebut, sehingga kecerahan menjadi rendah. Zat padat tersuspensi mengakibatkan gangguan penetrasi sinar matahari ke dalam air, sehingga proses fotosintesis, biota air, respirasi, dan oksigen terlarut dalam air menjadi terganggu. Parameter lainnya yang melampaui baku mutu adalah zat padat tersuspensi sebagaimana tercatat di muara Kali Bekasi. Pengamatan pada salah satu lokasi menunjukkan bahwa zat padat tersuspensi yang terbawa dari hulu mengendap di sepanjang sungai. Konsentrasi zat padat tersuspensi yang tinggi akan mengganggu penetrasi sinar matahari, proses fotosintesis, kehidupan biota laut, respirasi, dan oksigen terlarut dalam air. Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat kecerahan di seluruh lokasi pengukuran menunjukkan kondisi di atas baku mutu. Di Muara Citarum dan Kali Bekasi, konsentrasi amonia relatif tinggi. Hal ini diduga diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan industri. Konsentrasi amonia yang tinggi dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Sedangkan kadar logam timah hitam (Pb) yang tinggi teramati di muara Kali Bekasi, baik pada waktu pasang maupun surut, sedang di S.Ciherang, kali Bendungan dan S.Citarum hanya pada waktu surut. Timah hitam diduga berasal dari alam dan industri. Kandungan timah hitam yang tinggi dapat mengakibatkan kematian atau akumulasi pada hewan ikan. Di Muara Kali Bekasi dan Citarum kadar logam nikel (Ni) yang tinggi terjadi pada waktu pasang yang diperkirakan berasal dari limbah industri dan terbawa arus laut ke muara. Konsentrasi nikel yang tinggi sebagaimana sifat logam berat lainnya dapat menyebabkan kematian atau pencemaran pada hewan ikan. Di perairan muara dan pantai tercatat bakteri Coliform yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perairan muara dan pantai di Pantura Bekasi Kabupaten merupakan badan penerima buangan
106
air kotor sebagaimana terlihat dari bangunan WC atau MCK di sepanjang sungai hingga muaranya. Perairan pantai Pantura Kabupaten Bekasi juga mengandung pestisida jenis Heptachlor yang tercatat di Muara Kali Bekasi dan Muara S.Ciherang , masing-masing sebesar 0,519 ppb dan 0,0382 ppb. Dilihat dari kualitas sedimen di perairan pantai utara Kabupaten Bekasi, pengukuran menunjukkan bahwa sedimen mengandung logam berat, seperti Cu, Pb, Cr, Ni, dan Zn hampir di seluruh lokasi dan di beberapa lokasi mengandung pestisida. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa terjadi pengendapan logam berat dan pestisida di pantai dan muara sungai di Pantura Kabupaten Bekasi yang diprakirakan berasal dari kegiatan di sepanjang sungai bagian hulu hingga ke muara. Kualitas sedimen di perairan tertera pada Tabel 10 berikut. Dari pengamatan terhadap kualitas perairan di muara sungai dan pantai utara Kabupaten Bekasi dapat dilihat Tabel 9. Disimpulkan bahwa kualitas perairan relatif buruk dan dapat mengganggu aktifitas budidaya hewan perairan atau perikanan laut. Tabel 10 Kualitas Sedimen di Muara dan Pantai Utara Kabupaten Bekasi Tahun 2007 Parameter Satuan Lokasi CTRM CHRG Tembaga (Cu) Mg/l 36,30 11,52 Timah Hitam (Pb) Mg/l 21,13 16,64 Crhomium(Cr) Mg/l 23,77 37,76 Nikel (Ni) Mg/l 5,21 3,60 Cadmium (Cd) Mg/l 0,23 * Seng (Zn) Mg/l 215,10 89,60 Besi (Fe) Mg/l 3453,0 2868,0 Mangan (Mn) Gr/kg 886,20 1264,4 Mercury (Hg Gr/kg 1,16 1,90 Sumber : Hasil Analisis Lab. 2007
CBL 17,88 11,36 7,17 14,94 0,11 90,00 2986,0 1346,0 2,16
Analisis Ekosistem Pesisir Mangrove Komponen biotik dari ekosistem mangrove adalah komunitas mangrove yang terdiri dari populasi tumbuhan (hutan) dan fauna mangrove yang berinteraksi dengan
107
komponen abiotik mangrove seperti tanah, oksigen, nutrisi, angin, arus air, cahaya, suhu, kelembaban, gelombang, dan salinitas. Secara fisik, hutan mangrove menjaga pantai dari gempuran ombak dan tebing sungai dari abrasi, menahan angin, mengendapkan lumpur, mencegah intrusi air laut, dan sebagai perangkap zat pencemar dan limbah. Secara biologi, hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah asuhan post larva (yuwana), tempat bertelur, tempat memijah, dan tempat mencari makan bagi ikan dan udang. Selain itu, berfungsi juga sebagai habitat burung air, kelelawar, primata, reptil, dan jenis insekta. Fungsi lain adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan sumber makanan biota, sehingga menjadi penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan. Jenis vegetasi mangrove wilayah pesisir Kabupaten Bekasi; Avicennia marina (Officinalis dan
alba), Delonix regia, Sonneratia caseolaris, Thespesia populnea,
Avicennia alba (marina dan officinalis), Rhizophora mucronata, Excoecaria agallocha Avicennia marina ( officinalis dan alba), Rhizophora mucronata, Acasia auriculiformis Delonix regiadengan kerapatan sedikit (kurang dari 5 individu) sampai kerapatan sedang (antara 5 - 10 individu). ( Bappeda Kab.Bekasi, 2006) Fauna yang terdapat di kawasan mangrove antara lain didominasi oleh burung pantai yang sejenisnya. Berdasarkan informasi Bappeda Kab.Bekasi, 2003, jenis burung yang terdapat di dalam hutan mangrove adalah pecuk ular (Anhinga melanogaster), kowak maling (Nycticorax nycticorax), kuntul putih (Egretta sp), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), cangak abu (Ardea cinerea), blekok (Ardeola speciosa), blibis (Anas gibberrifrons), cekakak (Halcyon chloris), pecuk (Phalacrocorax sp), dan bluwak (Mycteria cineria). Satwa lain selain burung adalah biawak (Varanus salvator), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beberapa jenis ular. Bila dilihat penampilan dari arah darat margasatwa hampir sebagian besar digenangi air, sehingga tumbuhan di kawasan ini merupakan vegetasi rawa yang langsung terkena pengaruh pasang-surut air laut. Dominasi adalah pohon pidada atau
108
bidara (Sonneratia alba) selain api-api (Avicenia marina), jangkar (Bruguiera sp), apiapi (Rhizopora sp), waru laut (Thespesia populnea), buta-buta (Excoecaria agallocha), nipah (Nypa fruticans), dan ketapang (Terminalia catapa). Kondisi mangrove dapat dilihat Tabel 11 berikut : Tabel 11 Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Kabupaten Bekasi Prosentasi Kondisi Catatan Kondisi Ekosistem Nama Desa Penutupan Mangrove Mangrove (%) Pantai Makmur Kerusakan berat 20 Buruk Pantai Harapan Jaya Sedikit degradasi lingkungan 62 Baik Pantai Mekar Kerusakan berat 28 Buruk Pantai Sederhana 46 Kerusakan ekosistem Sedang Pantai Bakti Kerusakan sedang 32 Sedang Pantai Bahagia Sedikit degradasi lingkungan 74 Baik Pantaihurip Kerusakan sedang 43 Sedang Huripjaya Sedikit degradasi lingkungan 62 Baik Sumber : Hasil survey lapangan dan analisis, 2007 Dari kondisi ekosistem terumbu karang yang ada, maka saat ini yang mendukung untuk kegiatan wisata bahari adalah Desa Pantai Bhakti dan Pantai Bahagia. Sedangkan lokasi yang kurang sesuai tetapi dapat dipertimbangkan (sesuai bersyarat) adalah Desa yang ada di Kecamatan Tarumajaya dan Mauragembong. Secara umum, area yang seharusnya didominasi oleh pohon bakau, saat ini terjadi pergeseran dari mangrove menjadi tambak. Pada kawasan ini juga ditemukan lahan rawa terbuka tumbuh vegetasi bukan spesifik penghuni hutan mangrove seperti gelagah (Saccharum spontaneum), putri malu (Mimosa pudica), talas lompong (Colocasia sp), dan kangkungan (Ipomoea sp). Tumbuhan di atas merupakan tumbuhan yang hidup pada kondisi bukan payau. Terumbu Karang Di sepanjang pantai utara Kabupaten Bekasi
tidak dijumpai adanya karang
hidup. Terumbu karang yang berada di pulau-pulau yang terletak di pantura Kabupaten Bekasi
(P. Nyamuk, P. Air, P. Bidadari, P. Onsrust dan P. Kelor)
menunjukkan adanya gejala degradasi menuju kepunahan. Presentase tutupan
109
karang hidup yang tersisa berkisar antara (0,8 – 2 %) dengan jumlah jenis sekitar 21 species. Karang yang hidup di pulau-pulau tersebut tidak dapat lagi dikatakan sebagai terumbu karang. Karang yang masih bertahan hidup merupakan koloni-koloni kecil dari jenis-jenis yang mempunyai polip dengan tentakel besar atau jenis karang yang tidak membutuhkan matahari untuk kelangsungan hidupnya, seperti Oulastre crispate dan Turbinaria spp. Dasar tubir berupa karang mati atau pasir bercampur lumpur dengan beberapa pertumbuhan makro algae dari jenis Padina. Berdasarkan data hasil pemantauan kondisi terumbu karang, maka kondisi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bekasi dapat digolongkan mulai buruk atau sudah hampir tidak ada. Hal tersebut menggambarkan bahwa ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bekasi telah mengalami degradasi mulai dari sangat berat hingga ringan dan sudah tidak adalagi yang sesuai dengan kondisi alaminya. Dengan luas yang relatif sedikit ekosistem terumbu karang lebih cendrung ke wilayah kepulauan seribu.
Kondisi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bekasi dapat
dilihat bahwa, ekosisistem terumbu karang yang mengalami rusak berat telah terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Persentase tutupan karang hidup di wilayah perairan pesisir Kabupaten Bekasi berada pada kondisi buruk ( kerusakan ekosistem susah sekali direhabilitasi)
sampai dengan sedang ( kerusakan ekosistem yang
berat). Kondisi Sosial Ekonomi Karakteristik Umum Rumah Tangga Responden Umur Responden Umur akan mempengaruhi pada fisik untuk bekerja dan kemampuan pola pikir seseorang. Pada umumnya masyarakat, khususnya masyarakat petani dan buruh yang berumur muda dan sehat mempunyai kemampuan fisik lebih kuat dari pada yang berumur tua, umur muda juga mempunyai kecendrungan lebih cepat untuk menerima
110
inovasi, hal ini disebabkan karena lebih berani untuk menanggung resiko. Untuk mengimbangi keadaan ini, yang berumur lebih muda lebih dinamis sehingga cepat mendapat pengalaman baru yang berharga bagi perkembangan hidup dimasa yang akan datang. Petani dan buruh yang lebih tua memiliki kepastian pengelolaan usaha yang lebih matang dan memiliki banyak pengalaman sehingga berhati-hati bertindak. Keadaan umur responden berkisar dari 21 sampai 65 tahun. Selengkapnya pada Tabel 12 berikut : Tabel 12 Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur Frekuensi ( orang) Responden 21 – 30 27 31 - 40 21 41 - 50 34 51 – 60 26 > 60 14 Jumlah 120
Persentase 22,5 17,5 28,3 21,7 11,6 100
Sumber : Data Primer, 2007 Pada Tabel di atas menunjukkan bahwa komposisi umur demikian sangat potensial untuk melaksanakan kegiatan usaha tani dan menunjukkan bahwa responden masih produktif dan sanggup melaksanakan kegiatan usahanya. Pendidikan Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal. Menurut D. Sundara (1994), bahwa dalam mengukur pendidikan yaitu lamanya seseorang dibangku sekolah yang dinyatakan dalam tahun, dengan kategori antara lain tidak tamat SD, SD, SLTP, dan SLTA sederajat, seperti dapat dilihat pada Tabel 13 berikut : Tabel 13 : Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Frekuensi ( orang) Persentase Tidak Sekolah 7 5,8 SD 28 23,3 SLTP 47 39,2 SLTA 21 17,5 PT 17 11,7 Jumlah 120 100 Sumber : Data Primer, 2007
111
Pada tabel tersebut seluruh responden telah memiliki pendidikan formal, sebagian besar yaitu 47 orang atau 39,2.% telah mencapai pendidikan tingkat SLTP. Todaro (1983) mengemukakan bahwa pendidikan formal setidaknya memberikan pengetahuan dan keterampilan masing-masing individu untuk memungkinkan mereka bekerja sebagai kekuatan yang akan mengubah ekonomi mereka. Orang yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi mempunyai prospek untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar. Disektor pertanian penguasaan ilmu pengatahuan dan keterampilan ini selain dapat diperoleh melalui pendidikan formal juga non formal. Tingkat pendidikan menjadi indikator dalam menjalankan suatu usaha, bahkan menentukan pada status mereka bekerja. Keadaan Anggota Keluarga Responden Jumlah anggota keluarga
akan mempengaruhi peran petani, umumnya
ketentuan dalam usahanya masih ditentukan oleh mereka sebagai individu tetapi dia mengambil keputusan atas dasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. (Mosher,1979). Selanjutnya keputusan yang diambilnya dari setiap usahanya tidak terlepas dari resiko dan ketidakpastian. Petani yang mempunyai tangungan keluarga besar umumnya sangat berhati-hati dalam pengsambilan keputusan, petani ini lebih suka mengindari resiko dan memilih usaha yang aman. Tanggungan keluarga yang sedikit serta finansial yang lebih besar akan lebih berarti mengambil rresiko walau situasu keputusan tersebut penuh dengan ketidakpastian. Kondisi Anggota keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 14 berikut : Tabel 14 Karakteristik Responden berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Ukuran Keluarga ( orang ) Frekuensi (keluarga) % 2–4 63 52,5 5–7 47 39,2 8 – 10 10 8,3 Jumlah 120 100 Sumber : Data Primer, 2007
112
Pada Tabel 14 tersebut menunjukkan bahwa jumlah ukuran anggota keluarga adalah anggota keluarga paling besar
yaitu 2 – 4 orang dengan 63 responden
(52,5%). Sedangkan ukuran keluarga antara 8-10 0rang berjumlah 10 orang ( 8,3%) dan merupakan jumlah frekuensi terkecil. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa ukuran keluarga responden relatif kecil. Kecilnya ukuran keluarga akan memperingan biaya hidup, apalagi sebagaian anggota keluarga sudah bekerja. Jenis Mata Pencaharian Responden Mata pencaharian respnden wilayah pesisir dapat dilihat Tabel 15 berikut : Tabel 15 : Karakteristik Responden berdasarkan Mata Pencaharian Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase Tani Dagang Jasa Nelayan/Tambak Pengolahan hasil Jumlah Sumber : Data Primer, 2007 Tabel
47 9 17 35 12 120
39,2 7,5 14,2 29,2 10,0 100
15 diatas menunjukkan bahwa pada umumnya responden memiliki
pekerjaan sebagai petani dan nelayan/tambak yaitu 47 (39,2%) responden sebagai petani dan 35 (29,2%) responden sebagai nelayan/tambak. Usaha lainnya berupa dagang, jasa yang meliputi pekerjaan sebagai pegawai aparat pemerintahan, bengkel, kuli bangunan, kuli angkut serta tukang ojeg. Kegiatan non pertanian ini oleh responden dapat dijadikan sebagai pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan. Bersamaan dengan itu penduduk selalu berusaha menciptakan kesempatan kerja sendiri dengan jalan menjual jasa ataupun pergi ke kota untuk dapat bekerja sebagai buruh atau melibatkan diri dalam kegiatan sektor informal dan pekerjaanpekerjaan yang tidak membutuhkan modal dan keterampilan. Gejala ini tampak dengan besarnya arus penduduk desa sebagai migran musiman ke kota ( Jakarta, Kota Bekasi dan Kawasan Industri yang ada di Kabupaten Bekasi). Pekerjaan yang
113
mereka lakukan umumnya memiliki produktifitas yang rendah dengan jam kerja yang panjang sedangkan upah yang diterima rendah. Pendapatan Rumah Tangga Responden Rumah tangga responden yang terdiri dari petani dan non petani yang menjadi tanggungannya dapat dilihat Tabel 16 berikut : Tabel 16 Karakteristik Responden berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan (Rp ) < 500.000 500.000 – 1.000.000 > 1.000.000 Jumlah Sumber : Data Primer, 2007
Frekuensi 43 47 30 120
Persentase 38,8 39,2 25,0 100
Tabel 16 diatas dapat dilihat bahwa pendapatan rumah tangga responden besarnya pendapatan responden berkisar antara Rp. 500.000 – Rp.1.000.000 yaitu sebanyak 47 responden ( 39,2%), bila dibandingankan dengan jumlah secara keseluruhan menunjukkan bahwa besarnya pendapatan responden masih berada di bawah pendapatan yang diharapkan. Pendapatan rumah tangga diperoleh dari anggota keluarga responden diantaranya berasal dari hasil tani, jasa, dagang dan jenis usaha sampingan lainnya. Jika diambil rata-rata pendapatan
rumah tangga
seluruh responden, maka rata-rata pendapatannya adalah Rp.850.000. Kontribusi dalam usaha tani (termasuk nelayan) pendapatan rumah tangga adalah 63,55%. Luas Kepemilikan Lahan Berdasarkan pada kepemilikan lahan, ternyata responden umumnya memiliki lahan sawah < 0,50 ha yaitu sebanyak 74,2%. Jika memperhitungkan efesiensi penggunaan biaya terhadap lahan dengan luas 0,50 ha maka akan sulit dilakukan. Luas kepemilikan lahan seperti Tabel 17 berikut : Tabel 17 Karakteristik Responden berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan Luas kepemilikan lahan (ha) < 0,50
Frekuensi (keluarga) 89
% 74,2
114
0,50 – 1,00 > 1,00 Jumlah Sumber : Data Primer, 2007
19 12 120
15,8 10,0 100
Semakin kecilnya luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh para petani dan non petani disebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang sangat cepat. Alih fungsi lahan ini pada umumnya disebabkan oleh besarnya pengaruh dari nilai ekonomi lahan yang cendrung digunakan untuk kawasan terbangun ( industri dan permukiman). Rata-rata
pemilikannya
disamping
alih
fungsi
dalam
pemanfaatanya
juga
kepemilikannya sudah berubah ( atau lahan mereka cendrung untuk dijual). Kependudukan Masalah kependudukan dan sosial budaya dalam lingkup perencanaan tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Bekasi merupakan salah satu faktor yang penting untuk menggambarkan potensi suatu wilayah. Potensi wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dilihat dari aspek penduduk dan sosial budaya meliputi;
jumlah dan
persebaran penduduk, perkembangan penduduk, kepadatan penduduk, serta sosial budaya. Jumlah dan Persebaran Penduduk Jumlah penduduk wilayah pesisir Kabupaten Bekasi yang tersebar tidak merata di setiap desa/kelurahan.
adalah 181.683 jiwa,
Jumlah penduduk terbesar
terdapat pada Kecamatan Babelan tepatnya di Desa Bahagia 20.620 jiwa dengan persebaran 11.35 % dan Desa Babelan Kota 20.335 jiwa dengan persebaran 11.19 % dari seluruh jumlah penduduk wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Jumlah penduduk terendah juga terdapat pada Kecamatan Babelan tepatnya di Desa Huripjaya sebanyak 2.537 jiwa. Jumlah dan persebaran penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.
115
Tabel 17 Jumlah dan Persebaran Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Menurut Desa Tahun 2007 Jumlah Persentase No. Kecamatan Desa (jiwa) (%) 1 Tarumajaya Pusakarakyat 5,927 3.26% 2 Setiaasih 11,790 6.49% 3 Pahlawansetia 7,139 3.93% 4 Setiamulya 4,890 2.69% 5 Segaramakmur 10,057 5.54% 6 Pantaimakmur 6,800 3.74% 7 Segarajaya 7,922 4.36% 8 Samudrajaya 4,029 2.22% 9 Jumlah 58,554 32.23% 10 Babelan Bahagia 20,620 11.35% 11 Kebalen 18,302 10.07% 12 Babelan Kota 20,335 11.19% 13 Kedung Pengawas 8,873 4.88% 14 Kedungjaya 7,328 4.03% 15 Bunibakti 5,731 3.15% 16 Muarabhakti 8,490 4.67% 17 Pantaihurip 4,227 2.33% 18 Huripjaya 2,537 1.40% 19 Jumlah 96,443 53.08% Jumlah 181,683 100% Sumber : Potensi Desa Kecamatan Tarumajaya, Kecamatan Babelan. 2007 Perkembangan Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten
Bekasi secara administrasi termasuk dalam
wilayah Kabupaten Bekasi dan terdiri atas tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tarumajaya, dan Babelan. Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi dari 2003 sampai dengan 2007 mengalami perkembangan yang cukup besar, yaitu rata-rata sebesar 9,62 persen pertahun. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi sebanyak 129.954 jiwa. Pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi sebanyak 167.771 jiwa atau mengalami pertumbuhan sebesar 8,76 persen, sedangkan pertumbuhan penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi pada tahun 2007 sebesar 14,14 persen menjadi sebanyak 180.856 jiwa. Kontribusi pertumbuhan penduduk terbesar diberikan oleh Kecamatan Tarumajaya yang rata-rata pertumbuhan penduduknya dalam kurun waktu tahun
116
2003-2007 sebesar 10.21 persen per tahun, sedangkan Kecamatan Babelan merupakan pemberi kontribusi pertumbuhan penduduk terkecil, yaitu sebesar 8,09 persen per tahun pada periode yang sama. Untuk melihat perkembangan penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Tabel 18 .berikut: Tabel 18
Jumlah Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Tahun 2003 – 2007 Jumlah Penduduk No. Nama Desa 2003 2004 2005 2006 1 Pusakarakyat 4,246 5,752 5,918 5,918 2 Setiasih 8,313 11,607 11,594 11,612 3 Pahlawansetia 4,734 4,955 7,115 7,129 4 Setiamulya 3,370 4,201 4,240 4,240 5 Segaramakmur 5,122 5,214 9,493 9,617 6 Pantai Makmur 4,023 3,602 6,155 6,162 7 Segarajaya 6,454 6,501 7,724 7,732 8 Samudrajaya 3,399 4,555 4,028 4,029 9 Bahagia 12,137 12,209 12,361 18,526 10 Kebalen 12,617 12,858 13,208 18,203 11 Babelan Kota 15,550 15,332 16,017 19,302 12 Kedung 6,525 6,721 6,954 7,828 Pengawas 13 Kedungjaya 6,799 7,009 7,236 7,328 14 Bunibhakti 4,914 5,098 5,375 5,731 15 Muarabhakti 7,359 7,569 8,066 8,477 16 Pantaihurip 3,292 3,404 3,446 3,630 17 Huripjaya 2,236 2,330 2,378 2,504 Sumber : Potensi Desa, 2007.
2007 5,935 11,625 7,139 4,888 10,057 6,162 7,922 4,029 20,620 18,302 20,335 8,873 7,328 5,731 8,490 4,227 2,537
Secara visual, sebaran kepadatan penduduk ini dapat terlihat bahwa penyebaran penduduk di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi belum merata. Penduduk terkonsentrasi pada daerah-daerah dengan aktivitas ekonomi yang cukup tinggi seperti Desa Kebalen dan Bahagia. Jumlah dan distribusi penduduk yang tidak merata akan berimplikasi terhadap pola pemanfaatan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam di tiap desa. Penduduk terkonsentrasi pada daerah-daerah dengan aktivitas ekonomi yang cukup tinggi seperti Desa Kebalen dan Bahagia. Sedangkan di daerah lain sebaran penduduk cukup rendah seperti desa-desa di Kecamatan Muaragembong. Hal ini kemungkinan
117
disebabkan, karena lahan di Kecamatan Muaragembong sebagian besar berupa lahan pertanian (tambak) dan kehutanan, di samping pusat-pusat aktifitas ekonomi di Kecamatan yang masih terbatas. Pusat kegiatan terkonsentrasi di Desa Kebalen, hal ini disebabkan, karena desa ini terletak dekat dengan pusat Kabupaten Bekasi. Kondisi Ekonomi Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Kebijakan penataan ruang dengan prioritas pada peningkatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menunjukkan adanya saling keterkaitan antara kondisi ekonomi di satu sisi dan ekologi disisi lain. Perubahan fungsi penggunaan lahan seperti yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah khusus pantai utara Kabupaten Bekasi berorientasi pada antisipasi pada pertumbuhan wilayah sekitarnya terutama pertumbuhan wilayah DKI Jakarta ( Marunda, Cilincing ) dengan orientasi pada industri dan pelabuhan. Kegiatan industri dan permukiman meningkat secara drastis dan lahan mangrove selalu terjadi penurunan. Laju pertumbuhan lahan industri mencapai 28% dari semula 5%, permukiman dari 10 menjadi 30% disisi lain luas mangrove terjadi penurunan jumlah luas dan kualitasnya namun perubahan tidak signifikan. Disisi lain terjadi penurunan kegiatan pertanian dimana laju pertumbuhan menurun dari 30% menjadi 10%. PDRB Kabupaten Bekasi tahun 2005 atas dasar harga berlaku, meningkat 5,73 % dari tahun sebelumnya dari Rp 34.834 milyar di tahun 2004 menjadi Rp 37.793 milyar di tahun 2005. Sedangkan atas dasar harga konstan mengalami peningkatan Rp 9.478 milyar di tahun 2004 menjadi Rp 10.022 milyar di tahun 2005. Distribusi persentase PDRB menurut sektor menunjukkan kontribusi masingmasing sektor dalam pembentukan PDRB. Sektor industri mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDRB dari 82,24% pada tahun 2002 menjadi 82,87% di tahun 2003. Sektor ini adalah sektor
yang paling dominan dalam pembentukan PDRB.
Sektor perdagangan memberikan kontribusi sebesar 8,92 %. Sebagai mana layaknya
118
sektor yang menjadi motor penggerak
pembangunan, maka keberadaan sektor
Industri yang dominan mengangkat sektor Tersier (Perdagangan, angkutan, bank, lembaga keuangan dan jasa) menjadi sektor ke 2 (dua) yang dominan di Kabupaten Bekasi. Dilain pihak sektor pertanian adalah sektor ekonomi yang selalu terdesak. Sektor Pertanian di Kabupaten Bekasi sebelum Industri mendominasi Perekonomian adalah sektor yang menjadi andalan di Kabupaten Bekasi Bila dilihat dari setiap kecamatan yang terletak di wilayah pesisir kabupaten Bekasi
sumbangannya
terhadap
Pendapatan
Wilayah
Kecamatan
Babelan
memberikan sumbangan yang terbesar pada pendapatan daerah hal ini seperti terlihat pada Tabel 19 dan Tabel 20 serta Gambar 18 berikut : Tabel 19 Produk Domestik Regional Bruto Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2007 NO
Kecamatan
2004
2005
2006
2007
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
1
Babelan
654,807.89
706,608.31
775,615.42
858,183.64
2
Tarumajaya
176,872.64
196,429.83
218,681.60
244,159.30
3
Muara Gembong KAB. BEKASI
243,333.49
276,124.78
311,982.19
362,715.63
30,356,859.85
32,427,580.64
34,834,117.74
37,793,488.57
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi dan Hasil Analisis 2007
Gambar 18 Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan Di Wilayah Pesisir Kab.Bekasi 2004-2007.
119
Tabel 20 Produk Domestik Regional Bruto Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 2004-2007 NO. [1]
Tahun
Kecamatan [2]
1
Babelan
2 3
2004
2005
2006
2007
[3]
[4]
[5]
[6]
193,510.10
200,965.98
210,124.16
223,231.08
Tarumajaya
68,127.63
70,238.94
72,980.61
77,295.02
Muaragembong
74,223.18
75,666.64
77,697.98
80,157.25
8,660,013.18
9,032,158.68
9,478,996.16
10,022,616.18
% x Kab.Bekasi
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi dan Hasil Analisis 2007 Dilihat dari pendapatan wilayah dalam hal ini PDRB, terjadinya peningkatan disebabkan karena terjadinya pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa seperti yang diuraikan pada penjelasan diatas. Dengan dasar peningkatan pendapatan penerimaan daerah menunjukkan pula pada adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yang ada di wilayah pesisir tersebut. Hal yang mendasari adanya peningkatan pendapatan itu adalah juga disebebkan terjedinya pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.
120
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Hasil Penelitian Analisis Perubahan Penggunaan lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi Meningkatnya aktifitas pembangunan serta perkembangan sarana dan prasarana transportasi, berdampak kepada meningkatnya dinamika penggunaan lahan. Luas lahan yang relatif tetap disatu pihak dan permintaan lahan yang terus meningkat di lain pihak, menyebabkan proses alih fungsi lahan di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi sulit dihindarkan. Terutama dari sektor pertanian ke sektor ike sektor non pertanian. Proses alih fungsi lahan pertanian ini bersifat irreversilbe karena lebih mudah mengalihkan fungsi lahan dari aktivitas pertanian ke industri, permukiman dan perumahan, jasa dan sebaliknya. Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi sebagai wilayah penyangga terutama perkembangan DKI Jakarta ( Wilayah Tanjung Priuk dan Cilincing)
mengalami perkembangan yang pesat kearah terbentuknya pusat-pusat
kegiatan baru. Tinggi proses urbanisasi mengakibatkan perubahan struktur penggunaan lahan yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat perubahan penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi pada Tabel 21 berikut : Tabel 21 Luas Alih Fungsi Lahan Tahun 2005 – 2006 Kecamatan
Total luas wilayah
Kec.Babelan Kec.Tarumajaya Kec.Muaragembong
6.696,10 5.066,24 13.738,14
Luas Penggunaan Lahan (ha) 2005 2006 4.304,95 3.490,69 3.223,47 2.353,13 5.109,70 3.254,21
Rata-rata alih fungsi lahan (%) tahun 2,43 3,43 2,70
Sumber : Bekasi dalam Angka, 2006 dan Hasil Analisis, 2007 Perluasan wilayah perkotaan (urban) di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi membawa dampak pada terbentuknya pusat-pusat kegiatan baru yang membutuhkan
121
lahan yang luas dan lokasi-lokasi strategis. Dalam prosesnya selalu diiringi dengan konversi lahan-lahan pertanian yang produktif terutama untuk lahan sawah. Berkembangnya kawasan pembangunan industri, komplek-komplek permukiman, pariwisata, tambak dan kegiatan ekonomi lainnya memperlihatkan bahwa wilayah pesisir kabupaten Bekasi sedang dan menuju terbentuknya suatu kegiatan yang potensial dan strategis. Penggunaan tanah wilayah pesisir Kabupaten Bekasi tahun 2005 untuk pertanian adalah 8.906,056 ha, industri 551,345 ha, permukiman 1.695,388 ha, pariwisata 231,759 ha, lahan tambak dan kolam 8.373,194 ha, sedangkan penggunaan lahan untuk sawah semakin lama semakin berkurang. Secara rinci penggunaan lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi seperti Tabel 22 berikut : Tabel 22 Penggunaan Lahan Kawasan Khusus Pantura Kabupaten Bekasi Tahun 2007 PenggunaanLahan(%) Permukiman Bangunan Pertanian Ladang/ Perkebunan PadangRumput/ Hutan Rekreasi Sawah Tegalan Stepa/Ladang dan No. Kecamatan Desa Gembalaan/ Olahraga Pangonan 1 Tarumajaya 2 3 4 5 6 7 8 9 Babelan 10 11 12 13 14 15 16 17
Pusakarakyat Setiaasih Pahlawansetia Setiamulya Segaramakmur Pantaimakmur Segarajaya Samudrajaya Bahagia Kebalen BabelanKota KedungPengawas Kedungjaya Bunibakti Muarabhakti Pantaihurip Huripjaya
18 KecamatanTarumajaya 19 KecamatanBabelan 20 KawasanPanturaBekasi TahapII
0.52% 1.06% 0.56% 0.52% 5.91% 2.85% 1.59% 0.36% 0.59% 0.76% 0.59% 0.40% 2.66% 13.04% 15.70%
0.53% 0.29% 0.10% 0.03% 0.15% 0.09% 0.12% 0.09% 0.26% 0.14% 0.15% 0.04% 0.11% 0.06% 0.03% 1.20% 1.00% 2.20%
6.77% 6.09% 3.73% 1.77% 4.20% 5.59% 6.64% 3.31% 5.37% 4.83% 4.43% 4.82% 5.04% 5.26% 3.49% 28.15% 43.20% 71.34%
1.16% 1.16% 1.16%
-
-
Sumber : Potensi Desa Kawasan Khusus Pantura Kabupaten Bekasi, 2007
-
0.01% 0.01% 0.01% 1.93% 0.10% 0.01% 0.02% 0.00% 0.01% 0.02% 0.02% 0.06% 0.03% 1.96% 0.28% 2.24%
122
Perubahan penggunaan lahan ini telah mendorong berkembangnya usahausaha lain, terutama usaha di sektor swasta yaitu pada usaha perdagangan, pariwisata dan perumahan. Perubahan kualitas lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir dan perairan laut merupakan pengaruh atau cerminan kegiatan yang berlangsung di daerah darat sekitarnya (daerah pengalirannya). Kegiatan pertanian yang berlangsung di bagian daratan (hulu) telah memunculkan masalah tersendiri terhadap lingkungan perairan. Peningkatan erosi dilahan bagian atas mengakibatkan meningkatnya laju aliran sedimen yang masuk kedalam badan sungai. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya laju sedimentasi dimuara-muara sungai yang menimbulkan pendangkalan serta gosong-gosong di sekitarnya, seperti terjadi di Babelan, Tarumajaya (Muara Bekasi Cikarang Laut/BCL) dan Sungai Citarum yang bermuara di Kecamatan Muaragembong. Analisis Kesesuaian Lahan Hasil analisis dengan metoda klasifikasi kesesuaian dan daya dukung lahan dengan menggunakan matrik kesesuaian lahan yang sudah disusun para peneliti terdahulu diantaranya; Masrul (2002) untuk Pelabuhan Umum; Puslitbang Perikanan (1992) dan Punomo (1992) untuk Budidaya Tambak; Syafri dan Sugiarti (2000) untuk Permukiman; Krmadibrata (1985) untuk Pelabuhan; Tiengsongrusmee dkk (1986) untuk Budidaya Keramba dan Jaring Apung; Wahyuningrum (2001) untuk Budidaya Rumput Laut; Bakosurtanal (1996) untuk Pariwisata; dan Soedharma et.al (1992) dan untuk pertanian : FAO (framework of land evaluation) (1976) untuk wilayah konservasi. Sedangkan kategori yang digunakan adalah kelas dan sub-kelas kesesuaian lahan seperti pada matriks kesesuaian lahan pada kerangka pemikiran penelitian ini. Penilaian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan data yang diperoleh dari data wilayah pesisir di lapangan. Tingkat kelas ditentukan dari hasil evaluasi sifat lahan alamiah dari wilayah pesisir yang bersifat menguntungkan dan yang merugikan.
123
Analisis berdasarkan faktor fisik di wilayah pesisir seperti pasang-surut yang terjadi di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi termasuk tipe pasang-surut diurnal, yaitu air tertinggi dan terendah terjadi hanya satu kali dalam duapuluh empat jam. Kisaran tunggang pasang tertinggi (spring tide) adalah 90 cm hingga 150 cm. Dalam kondisi tertentu, tunggang pasang tercatat lebih tinggi dari angka tersebut. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kenaikan muka air akibat surge yang disebabkan oleh badai (storm surge). Secara umum, kedalaman laut
dan besar arus di laut Wilayah Pesisir
Kabupaten Bekasi tertera pada Tabel 23 berikut: Tabel 23 Profil Rata-Rata Kedalaman Laut Kabupaten Bekasi Profil Rata-Rata Kedalaman Laut Kedalaman Laut Jarak (m) 0 1.510 1.110 985 Dalam (m) 0 0-5 0 -5 0–5 Jarak (m) 1.300 2.280 1.875 Dalam (m) 5 - 10 5 – 10 5 – 10 5 – 10 Sumber : Hasil Analisis dari Data Sekunder,2007
Rata-Rata 3.605 0–5 5.455
1,202 0–5 1,818 5 – 10
Keterangan : 1. Jarak rata-rata dari pantai pada kedalaman 5 m adalah 1.202 km 2. Jarak rata-rata pada kedalaman 5 – 10 m adalah 1.818 km 3. Pada kedalaman 0 – 5 m, setiap pertambahan kedalaman 1 m, jaraknya bertambah dengan : 240 m 4. Pada kedalaman 5 – 10 m, setiap pertambahan kedalaman 1 m, jaraknya bertambah dengan : 364 m
Gelombang yang terjadi di Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi terutama diakibatkan oleh angin yang pembentukannya dapat terjadi di sekitar lokasi yang disebut sebagai seas atau jauh dari lokasi yang kemudian merambat ke lokasi yang diamati yang disebut sebagai swell. Karakteristik seas adalah acak, arahnya sesuai dengan arah angin, dan perioda gelombangnya lebih pendek. Swell mempunyai perioda yang lebih panjang dengan arah tertentu.
124
Arah gelombang datang sesuai dengan arah angin, yaitu pada musim Barat gelombang datang dari arah Barat Laut dan pada musim Timur gelombang datang dari arah Timur Laut dan sebagian datang dari arah Utara . Waverose yang menggambarkan distribusi arah angin dan tinggi gelombang rata-rata dan bulanan diperoleh dari hindcasting data angin jam-jaman yang dicatat pada stasiun pengamatan Tanjung. Tinggi gelombang dominan berkisar antara 50 cm hingga 100 cm dengan perioda antara 3 detik hingga 5 detik. Tinggi gelombang maksimum untuk perioda ulang 50 tahun adalah 2,15 meter dengan perioda gelombang sebesar 6,6 detik. Sedangkan untuk perioda ulang 100 tahun tinggi gelombang adalah sebesar 2,25 meter dengan perioda 7,0 detik. Dalam perjalanannya ke pantai, gelombang mengalami transformasi akibat rintangan (difraksi) dan perubahan kontur batimetri (refraksi). Akibat gesekan internal karena viskositas fluida dan eksternal dengan dasar gelombang, gelombang akan terdisipasi sehingga tingginya akan berkurang. Dasar yang berlumpur di daerah yang dangkal mempunyai koefisien disipasi yang besar. Dampak reklamasi terhadap gelombang adalah berkurangnya efek disipasi dalam mereduksi energi gelombang, dan bila seawall yang digunakan tidak absorsif, maka akan terjadi amplifikasi gelombang akibat refleksi dari seawall. Dari hasil refraksi terlihat bahwa gelombang yang datang dari arah Barat Laut dan Timur Laut akan tersebar, sehingga intensitas energinya akan berkurang. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan tinggi gelombang ketika mencapai perairan dangkal. Dampak dari reklamasi adalah tidak terjadi manfaat dari penyebaran ray gelombang, sehingga intensitas energinya tidak berkurang. Hasil analisis dari karakteristik fisik wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, maka wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dapat diklasfikasikan atas :
125
Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SANGAT SESUAI, yaitu; 1. Kawasan pelabuhan perikanan berada pada kategori sangat sesuai dengan skor 3,17. Masing-masing indikator dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah produktifitas perikanan 600 – 800 ton/thn, ampitudo pasut 0,9 – 1,5 m, tipe pasut harian tunggal, jarak dari fishing ground kurang dari 5 mil, jarak ke permukiman nelayan kurang dari 5 km, keterlindungan terbuka, tekstur tanah pasir berlempung, kemirngan lahan (0-4%), kedalaman perairan 25 – 30 m, dan fasilitas transport mendukung. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pelabuhan perikanan meliputi daerah Kecamatan Muaragembong. Hal ini didukung oleh kemirngan lahan, kecapatan arus dan kedalaman perairan. Kesesuian lahan untuk pelabuhan umum terdapat di
Kecamatan
Tarumajaya.
Untuk
pelabuhan
perikanan
Kecamatan
Muaragembong. Pembatas kesesuaian lahan untuk pelabuhan adalah tinggi gelombang diatas 2,5 meter dan tempat yang terbuka ( tidak ada pelindung). Pelabuhan Perikanan: Kecamatan Tarumajaya untuk Pelabuhan Umum dan Kecamatan Muaragembong untuk Pelabuhan Perikanan. Luas lahan untuk pelabuhan perikanan adalah 315 ha. 2. Kawasan budidaya tambak berada pada kategori sangat sesuai dengan skor 3,77. Masing-masing indikator dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah kemirngan lahan (0-4%), jenis tanah alluvial, fisiografi wilayah berupa dataran pasut, salinitas 26 - 31%o, ampitudo pasut 0,9 – 1,5 m, jarak dari sungai kurang dari 500 m, penggunaan lahan tipe rawa air asin, jarak dari pantai kurang dari 2000 m dan jarak dari jalan kurang dari 1000 m. Tambak: Desa Pantai Bhakti, Pantai Bahagia, Pantai Sederhana, Pantai Mekar dan Desa Harapan Jaya (Kecamatan Muaragembong). Kecamatan Babelan dan Kecamatan Tarumajaya. Luas lahan untuk tambak adalah 2.469 ha.
126
3. Kawasan Budidaya Keramba, jaring apung
berada pada kategori sangat
sesuai dengan skor 3,44. Masing-masing indikator
dalam penentuan
kesesuaian lahannya adalah kecepatan arus 10 – 30 m/dtk, tinggi pasut 0,9 – 1,5 m, kedalaman air dasar jarring 10 – 30 m, pH perairan 7,7 – 8,2, oksigen terlarut 5,0 – 5,5 saliniats 26 – 31, suhu perairan 28 – 31 ˚C, kandungan nitrat 0,185 - 0,215 mg/l dan kandungan phospat 0,002 – 0,1 mg/l. Budidaya Jaring Apung: Kesesuaian lahan untuk jaring apung terdapat merata disepanjang pantai utara kabupaten Bekasi. Hanya Kecamatan Tarumajaya yang tidak sesuai untuk pengembangan budidaya jaring apung. Hal ini disebabkan oleh karena di kawasan ini tingkat
pencemaran tinggi akibat
berkembangnya industri. Wilayah yang sangat
sesuai adalah terdapat di
wilayah perairan Kecamatan Babelan dan Kecamatan Muaragembong . Luas lahan untuk jaring apung adalah 5.903 ha. Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SANGAT SESUAI, seperti Gambar 19 berikut:
Gambar 19 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai
127
Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI, yaitu; 1. Kawasan permukiman berada pada kategori sesuai dengan skor 18. Masingmasing indikator
dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah kemirngan
lahan (0-4%), ketersediaan air tawar sesuai bersyarat dengan skor 12,6, kategori penggunaan lahannnya adalah kelompok A ( permukiman , industri, perkotaan), jarak dari pantai lebih dari 500 m, drainase sering tergenang dan jarak dari sarana prasarana jalan antara 500-1000 m. Kesesuaian lahan untuk permukiman dan indutri di kawasan pesisir nampaknya tersebar merata di desa-desa pesisir. Kecamatan Babelan ( Desa Kebalen dan Desa Babelan Kota dan Kecamatan Tarumajaya ( Desa Setiamulya, Pembatas
Segaramakmur, kesesuaian
untuk
Pusakarakyat
dan
Desa
permukiman
dan
industri
Pahlawansetia). adalah
faktor
oceanografi dan faktor ketinggian dari pengaruh pasang naik dan surut air laut. Letak dengan kemiringan 0 – 4% menyebabkan sering terjadi genangan yang secara periodik, kemudian ketersediaan air tawar sangat terbatas karena air tanah telah terintrusi oleh air laut. Evaluasi lahan untuk permukiman ini mencakup penilaian kesesuian lahan untuk gedung, jalan, tempat pembuangan sampah. Penentuan klas suatu lahan untuk tempat tinggal didasari juga pada kemampuan lahan sebagai penopang pondasi, yaitu daya dukung tanahnya, tata air, banjir dan lainnya. Untuk lahan permukiman sarana dan prasarana merupakan suatu hal yang sangat vital, seperti sumber air tawar, jalan, kesehatan dan lainnya. Hal ini mengakibatkan beberapa desa wilayah pesisir tidak sesuai untuk permukiman. Ketidaksesusaian itu bukan berarti tempat tersebut tidak bisa dihuni tetapi perlu masukan teknologi (investasi) sarana dan prasarana yang lebih besar jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya.
128
Permukiman: Desa-desa yang sesuai untuk pengembangan permukiman adalah Desa Segarajaya dan Desa Samudrajaya di Kecamatan Tarumajaya, Desa Bahagia, Kebalen, Babelan Kota dan Desa Kedung Pengawas di Kecamatan Babelan dan Desa Pantai Sederhana, Pantai Mekar dan Desa Pantai Bahagia di Kecamatan Muaragembong memiliki lahan yang sesuai untuk fungsi permukiman. Luas lahan untuk permukiman adalah 3.156 ha 2. Kawasan pertanian berada pada kategori sesuai dengan skor 18. Masingmasing indikator
dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah kemirngan
lahan (0-4%), kategori penggunaan lahannnya adalah kelompok A, jarak dari pantai lebih dari 500 m, drainase sering tergenang dan jarak dari sarana prasarana jalan antara 500-1000 m. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pertanian dapat diklasifikasi pada tingkat kesesuaian lahan SESUAI. Pertanian: Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tambak dapat diklasifikasi pada tingkat kesesuaian lahan sesuai. Kesesuaian lahan untuk pertanian di kawasan pesisir sebagian besar menyebar di Kecamatan Babelan (Desa Bahagia, Kebalen, Kedung Pengawas, Kedungjaya, Bunibakti); Kecamatan Tarumajaya (Pusakarakyat ) dan Kecamatan Muaragembong (Desa Pantai Sederhana dan Desa Pantai Bahagia ). Luas lahan yang sesuai untuk pertanian adalah Pembatas kesesuaian untuk permukiman
adalah faktor
oceanografi dan faktor ketinggian dari pengaruh pasang naik dan surut air laut. Letak dengan kemiringan 0 – 4% menyebakan sering terjadi genangan yang secara periodi, kemudian ketersediaan air tawar sangat terbatas karena air tanah telah terintrusi oleh air laut. Luas lahan untuk pertanian adalah 11.244 ha. 3. Kawasan pelabuhan umum berada pada kategori sesuai dengan skor 2,875. Masing-masing indikator
dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah
129
kemirngan lahan (0-4%), kedalaman perairan 25 – 30 m, dasar perairan pasir berlempung, tinggi gelombang 2,15 – 2,25, kecepatan gelombang 10-30 m/detik, fasilitas transport 2, ampitudo pasut 0,9 – 1,5m dan keterlindungannya terbuka. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pelabuhan umum dapat diklasifikasi pada tingkat kesesuaian lahan SESUAI. Kesesuaian lahan untuk pelabuhan umum di kawasan pesisir hanya terdapat di Kecamatan Tarumajaya. Disamping kedalaman lautnya yang agak dalam 25 meter juga secara aksesibilitas lebih baik dan dekat dengan Palabuhan Tanjung Priok. Pembatas kesesuaian untuk pelabuhan umum yang dominan adalah karakteritik perairan laut, yaitu kedalaman laut, tinggi gelombang dan faktor darat yaitu dekat dengan permukiman penduduk. Faktor oceanografi dan faktor ketinggian dari pengaruh pasang naik dan surut air laut. Pelabuhan Umum:
Kecamatan Tarumajaya. Luas lahan untuk pelabuhan
umum adalah 2.178 ha 4. Kawasan rumput laut berada pada kategori sesuai dengan skor 2,35. Masingmasing indikator
dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah kecepatan
arus 10 -30 m/dtk, tinggi gelombang 2,15 – 2,25 m, material dasar perairan Lumpur berpasiran, pH perairan 7,7 – 8,2, kedalaman perairan 25 – 30 m salinitas 26 -31, suhu perairan 28 -31 dan jarak dari sumber pencemar kurang dari 2000 m. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tambak dapat diklasifikasi pada tingkat kesesuaian lahan SESUAI. Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut di kawasan pesisir terdapat di Kecamatan
Tarumajaya, Babelan dan
Muaragembong (Desa Pantai Sederhana dan Desa Pantai Bahagia). Pembatas kesesuaian untuk budidaya rumput laut adalah adalah faktor
130
aktivitas yang terjadi di darat yaitu berupa limbah dan aktivitas pembangunan. Faktor oceanografi dan faktor ketinggian dari pengaruh pasang naik dan surut air laut. Luas untuk budidaya rumput laut Luas lahan untuk budidaya rumput laut adalah 671 Ha. 5. Industri : Kecamatan Babelan ( Desa Kebalen dan Desa Babelan Kota dan Kecamatan Tarumajaya ( Desa Setiamulya, Segaramakmur, Pusakarakyat dan Desa Pahlawansetia ). Luas lahan untuk industri adalah 656 ha. Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI, seperti Gambar 20 berikut:
Gambar 20 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT, yaitu; 1. Kawasan pariwisata pantai berada pada kategori sesuai bersyarat dengan skor 1,5. Masing-masing indikator
dalam penentuan kesesuaian lahannya
adalah kedalaman perairan 25 – 30 m, material dasar perairan Lumpur berpasiran, kecepatan arus 10 -30 m/dtk, kecerahan perairan sedang, jarak dari pantai 50 -10 m, penutup lahan pantai permukiman, pelabuhan dan hutan
131
bakau, jarak dari sungsai 500 -2000 m dan jarak dari sumber pencemar kurang dari 2000 m. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tambak dapat diklasifikasi pada tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT. Kesesuaian peruntukan fungsi pariwisata tergolong spesifik. Estetika dan eksotisme lokasi merupakan faktorfaktor penentu, baik alami maupun buatan manusia. Berdasarkan pada daya dukung dan kesesuaian lahannya wilayah pesisir Kabupaten Bekasi peruntukan untuk pariwisata adalah sesuai bersyarat. Pembatas utama adalah kedalaman laut di atas 25 meter, material dasar lumpuran, kecepatan arus diatas 10 meter/dtk dan tingkat pencemar yang tinggi. Pengembangan pariwisata pantai bisa dilakukan jika faktor-faktor pendukung bisa dipenuhi yaitu bentuk dengan kondisi untuk pemasukan teknologi namun membutuhkan biaya yang besar. Tetapi jika itu bisa terpenuhi maka pengembangan pariwisata pantai dikembangkan di Kecamatan Muarogembong. Pariwisata: Kesesuaian peruntukan fungsi pariwisata tergolong spesifik. Estetika lokasi merupakan faktor-faktor penentu, baik alami maupun buatan manusia. Namun jika itu bisa terpenuhi maka pengembangan pariwisata pantai dapat dikembangkan. Wilayah yang sesuai bersyarat untuk pariwisata adalah; Desa Pantai Harapan Jaya, Pantai Mekar, Pantai Sederhana, Pantai Bakti dan Desa Pantai Bahagia di Kecamatan Muarogembong. Desa Pantai Makmur, Segarajaya dan Desa Samudrajaya di Kecamatan Tarumajaya; Desa Muarabhakti, Pantaihurip, dan Desa Huripjaya Kecamatan Babelan. Luas lahan untuk pariwisata adalah 440 ha. 2. Kawasan konservasi berada pada kategori sesuai bersyarat
dengan skor
2,33. Masing-masing indikator dalam penentuan kesesuaian lahannya adalah jarak dari pantai kurang dari 100 m, vegetasi pantai mangrove, kemiringan
132
lahan 0 -4%, vegetasi laut karang mati, salinitas 26 – 31, suhu perairan 26 -31 oC, tekanan penduduk sangat serius, aspirasi masyarakat tidak mendukung dan jarak dari sumber pencemar kurang dari 2000 m. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk lindung dan konservasi dapat diklasifikasi pada tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT. Wilayah yang sesuai untuk konservasi ini adalah disepanjang Pantai Kecamatan Muaro Gembong, Kecamatan Tarumajaya dan Kecamatan Babelan.
Luas lahan untuk kawasan
lindung dan konservasi adalah 2.479 ha. Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI BERSYARAT , seperti Gambar 21 berikut:
Gambar 21 Penggunaan Lahan Tingkat Kesesuaian Lahan Sesuai Bersyarat
Ekosistem mangrove pada desa-desa ini dapat dikelola sebagai obyek ekowisata berbasis hutan mangrove. Sedangkan kondisi hutan dengan penutupan yang jarang dan mengalami kerusakan terdapat di Kecamatan Muaragembong. Kecamatan Babelan dan Tarumajaya hutan mangrove tidak ditemui atau sudah habis beralih fungsi menjadi peruntukan lainnysa. Perlu dilakukan upaya untuk mencegah
133
penghancuran dan pembongkaran terumbu karang serta praktek penangkapan ikan dengan menggunakan racun (destructive fishing), seraya diikuti penyuluhan dan sosialisasi kesadaran masyarakat untuk turut menjaga kelestarian terumbu karang. Ketersediaan Kawasan lindung dan konservasi di pesisir Kabupaten Bekasi masih dapat
diperluas sebarannya melalui upaya rehabilitasi dan pemulihan
ekosistem, seperti ketersediaan lahan mangrove di pantai sepanjang Kecamatan Muaragembong dan Kecamatan Babelan. Kesesuaian sempadan pantai di kawasan pesisir Kabupaten Bekasi terletak di sepanjang garis pantai dengan lebar antara 50 meter-100 meter. Kecuali pada ruas pantai yang merupakan hutan bakau yang sekaligus berfungsi sebagai sempadan pantai, lebarnya bisa lebih dari 100 meter. Pada umumnya sempadan pantai berbentuk vegetasi yang tumbuh hingga bibir pantai. Namun pada pantai yang berpasir landai, batas vegetasi bisa terletak di belakang hamparan pasir. Guna melindungi garis pantai dan perairan pesisir dari bahaya abrasi dan pencemaran, maka peruntukan sempadan pantai perlu dialokasikan kembali. Kesesuaian peruntukan sempadan sungai yang melintasi permukiman penduduk terletak pada bantaran sungai selebar 25 meter untuk sungai besar dan 10 meter untuk sungai kecil. Bantaran sungai-sungai tersebut yang ruasnya terletak di kawasan pesisir, umumnya belum efektif dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian. Untuk wilayah pesisir Kabupaten Bekasi berdasarkan pada kesesuaian lahannya dapat dibagi atas beberapa zona ini meliputi zona penggunaan konservasi, perikanan, pelabuhan (dermaga) umum dan pelabuhan perikanan dengan beberapa fasilitas pendukungnya, zona tambak, zona budidaya jaring apung dan rumput laut serta didapat beberapa zona pendukung zona utama yang diarahkan sebagai kawasan kegiatan sosial-ekonomi, permukiman, pariwisata, dan lain sebagainya, seperti Gambar 22 Peta kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi.
134
LA UT JAWA
Tg .KAR AWAN G
PANTAIBAH AGIA
PAN TAIBAKTI
PANTURA K AB.BEKASI Tg . GEMBONG
KAB. KARAWANG
PANTAISEDER HANA PANTAIMEKA R
MU ARAGEMB ONG
JAYASAKT I
PANTAIHARAPANJAYA
TELU KJAKAR TA
PANTAIHUR IP HUR IPJA YA
MAR UND A
KEC .C IL IN CING
PANTAIMAKMUR SEGAR AMAKMUR
BUNIBA KTI MU ARABAK TI
TARU MAJAYA SAMUD RAJAYA
PAH LAWANSETI A SETIAM ULYA KED UNGPENGAWAS KEDUNGJAYA
DKI JAK AR TA BABELAN KOT A PUSAKARAKYAT SETIASIH BAB EL AN
BAHAGIA KABELAN
KOTA BEK ASI KE TE R AN G AN C. KETERANGAN RELI EF DAN TITIK
A. KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISI R 1. SANGAT SESUAI Pelabuhan Perikan an Kawasan Tambak Budidaya Perikanan 2. SESUAI Kawasan Permukima n
B. BATAS ADMINISTRASI
Laut Jawa
Batas Ke camat an Batas Propinsi Kab . Karaw ang Kota Bekasi DKI Ja karta Wil yah N on Stu dy Set Plan e Derm aga
P ETA RENCANA TA TA R U AN G W ILAY A H P ES ISIR K ABUP ATE N BEKA S I BER DA SA RK A N KES ESU AIN LA HAN
Samudera H india
U
Kawasan Indu stri Pelabuhan Umu m Per tanian 3 . SES UAI BE RSYARAT Kaw asan L indung da n Konservasi Kawasan Pariwisa ta Kaw asan P erikanan
Jalan Tol Jalan Primer Sungai
Teluk Ja kar ta
0.7
0
0.7
1.4 Mile s
Arah Ar us Su mbe r : 1. Ba kosu rtanal Pe ta Sk al a 1 : 25.0 00 2. BPL H D T a hu n 2001 3. Pe ta La ut N usanta ra 4. Ba peda ld a DK I Ja ka r ta
Gambar 22 Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan pada Lahan
Kesesuaian
135
Analisis Daya Dukung Lahan Daya dukung lahan dari ekosistem yang ada di wilayah pesisir merupakan unsur utama yang perlu dijadikan konsep awal dalam rumusan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir. Analisis daya dukung dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu karakteristik fisik, kimia dan biologi perairan, daratan dan wilayah transisi perairan dan daratan. Secara diagramaik, model konsepsual daya dukung untuk pemanfaatan wilayah pesisir disajikan pada Gambar 23 berikut:
WILAYAH PESISIR KESESUAIAN LAHAN Pelabuhan Umum
Pariwisata
Pelabuhan Perikanan
• • • • •
Rumput Laut
Faktor Penentu : Pasut dan Tinggi Gelombang Pertanian Kecepatan Arus Aksesibilitas Permukiman/Industri Amplitudo Keterlindungan
Tambak
rgpg Konservasi
Faktor Penentu : • pH • Suhu • Salinitas
Gambar 23
Faktor penentu pemanfaatan lahan wilayah pesisir berdasarkan pada daya dukung fisiknya.
Keterangan : : wilayah pesisir : peruntukan lahan : faktor yang menentukan daya dukung dan kesesuaian lahan : : Konsep kesesuaian lahan berdasarkan pada analisis daya dukung fisik dari ekosistem yang ada diwilayah pesisir merupakan konsep awal dalam rumusan penyusunan model rencana penataan ruang di wilayah pesisir.
Setiap ekosistem
136
senantiasa mengarah pada suatu keadaan yang seimbang sehingga kesinambungan terjamin. Namun suatu ekosistem mungkin mengalami perubahan-perubahan lantaran bekerjanya faktor-faktor fisik alamiah, dan pengaruhnya sangat besar terhadap manusia. Berdasarkan pada wilayah sampel penelitian ini
keadaan topografi wilayah
pesisir Kabupaten Bekasi mempunyai kemiringan antara 0 – 4 %, atau dapat dikatakan sebagai daerah landai yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut, kondisi substrat dan pendangkalan perairan akibat sedimentasi dari wilayah daratan. Dalam penggunaan lahannya memiliki kendala untuk pelaksanaan pembangunan dan memerlukan biaya investasi yang sangat tinggi. Selain itu untuk meminimalisasi permasalahan fisik terutama abrasi diperlukan penataan green belt dalam bentuk reboisasi hutan bakau disepanjang pantai. Hutan bakau dapat berperan sangat besar dalam hal ini. Salah satu fungsi terbaik dari sebuah penataan areal green belt pada kawasan pesisir ini adalah menahan terjadinya abrasi pantai secara terus menerus dan memperangkap sedimentasi perairan yang sudah terjadi, sehingga pendangkalan perairan pesisir dapat dihindari terutama pada zona-zona kegiatan fungsional utama, seperti, perikanan, permukiman dan pariwisata. Luas lahan untuk permukiman berdasarkan pada daya dukung lahannya adalah 1.290 ha, yaitu Desa Segarajaya dan Desa Samudrajaya di Kecamatan Tarumajaya, Desa Bahagia, Kebalen, Babelan Kota dan Desa Kedung Pengawas di Kecamatan Babelan dan Desa Pantai Sederhana, Pantai Mekar dan Desa Pantai Bahagia di Kecamatan Muaragembong memiliki lahan yang sesuai untuk fungsi permukiman. Sedangkan parameter-parameter yang menentukan pemanfaatan lahan wilayah pesisir berdasarkan pada kesesuaian lahannya adalah : •
panjang garis pantai
•
tinggi amplitudo rata-rata
137
•
kemiringan dasar perairan
•
jarak dari pantai sampai titik pengambilan air
•
Kedalaman perairan
•
Kecepatan arus
•
Kekeruhan.
•
Salinitas Analisis Daya Dukung untuk Lahan Permukiman. Hasil analisis yang dilakukan bahwa aktivitas di daratan yang berkontribusi
besar adalah kegiatan peternakan rumah tangga. Dengan asumsi jumlah penduduk 205 orang maka limbah rumah tangga yang dikeluarkannya adalah N (1.201,3 kg/th), P ( 485,9). Untuk kegiatan peternakan maka limbah yang dikeluarkan adalah N ( 617,1 kg/th) dan P (568,1 kg/th). Dengan asumsi jumlah N dan P yang masuk tubuh perairan sebanyak 25% dari limbah antrophogenik setelah malelui asimilasi didaratan maka kontribusi limbah dari kegiatan antropogenik adalah 0,25 x 1.201,3 = 300,325 kg/th (N) dan 0,25 x 485,9 = 121,475 kg/th (P) pertahun untuk setiap 205 orang penduduk. Untuk wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Kecamatan Tarumajaya dengan jumlah penduduk 58.554 jiwa akan mengeluarkan limbah yang masuk keperairan yaitu sebesar 85.781,6 kg/th (N) dan 34.696,8 kg/th (P). Kecamatan Babelan dengan jumlah penduduk 96.443 jiwa akan mengeluarkan limbah yang masuk perairan yaitu 141.300,76 kg/th (N) dan 57.148,36 kg/th (P). Kecamatan Muaragembong dengan jumlah penduduk 26.686 jiwa akan mengeluarkan limbah yang masuk perairan yaitu 39.094,99 kg/th
(N) dan
15.813,08 kg/th (P). Jumlah ini dapat dijadikan dasar dalam pendugaan daya dukung untuk suatu kawasan pesisir berdasarkan pada kesesuaian lahannya. Analisis pendekatan beban limbah total N dan P dan analisis ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan dan limbah bahan organik untuk pengembangan permukiman (sangat
138
tergantung jumlah penduduk), Besarnya nilai limbah N dan P di wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi seperti dijelaskan pada Tabel 24 berikut: Tabel 24 Pendugaan Limbah berdasarkan pada Jumlah Penduduk dan Aktivitasnya No Kecamatan Jumlah Pendugaan Limbah Penduduk N P 1 Tarumajaya 58.554 85.781,6 34.696,8 2 Babelan 96.443 141.300,7 57.148,36 3 Muaragembong 26.686 6 15.813,08
Ket. *) *)
39.094,99 266.177,3 107.558,24 5 Sumber : Hasil Analisis, 2007 . *) tidak bisa dikembangkan untuk Budidaya Tambak Jumlah
181.683
Dari jumlah penduduk tersebut dapat diuraikan bahwa dengan jumlah rata-rata anggota keluarga dalam satu rumah ( 5 orang), hasil perhitungan diperoleh luas lahan untuk kawasan permukiman sesuai dengan daya dukungya adalah seluas 2194 ha seperti pada Gambar 24 berikut :
Gambar 24 Pemanfaatan Lahan untuk Permukiman Analisis Daya Dukung untuk Lahan Tambak Perhitungan daya dukung budidaya tambak ditentukan dengan beberapa pendekatan, yaitu; a) volume air penerima limbah; b) kapasitas ketersediaan oksigen
139
terlarut; dan c) kapasitas asimilasi perairan terhadap N dan P. Hasil perhitungan volume air yang tersedia di pantai untuk budidaya tambak. a. Garis pantai sepanjang 72000 m (y) b. Tinggi amplitudo rata-rata 1 m c. Kemiringan dasar perairan pantai 1o d. Frekuensi pasang surut 2 kali sehari e. Jarak dari pantai sampai titik pengambilan air 500 m (x) Apabila kita terima asumsi-asumsi yang menyatakan, bahwa; a. Produksi tambak lestari maksimum adalah 5 ton/ha/MT (intensif), b. Volume limbah tambak yang dibuang ke perairan setiap hari adalah 5% dari volume total air yang dibuang, c. Limbah tambak yang dibuang ke perairan umum maksimum adalah 1% dari total volume air yang tersedia di pantai (Vo), d. Kedalaman air di dalam tambak rata-rata adalah 1.2 meter, e. Persentase pergantian air rata-rata 5%/hari dari volume air tambak Maka : Limbah tambak maksumum
: 338.823,53 m3
Vol tambak total
: 6.776.470,59 m3
Vol limbah tambak yang dibuang Keperairan 5% dari volume air yang dibuangpada prod 5ton/ha) Luas Tambak( kadalaman rata2 1 m) : 6.776.470,59 m2 atau 677,65 ha Luas tambak jika teknologi yang diterapkan adalah: Intensive
: 5 ton/ha
: 677,65 ha
Semi
: 2 ton/ha
: 1.694,12 ha
Tradisional
: 0,6 ton/ha
: 5.647,06 ha
Semi intensif
: 1.372,2
: 56,12 %
Tradisional plus
: 1.072,9
: 43,88 %
Kombinasi yang ideal adalah :
Total
: 2.445,2
Alternatif lainnya : Semi intensif
: 1.440,0 ha
140
Tradisional plus
: 847,1 ha
Ikan
: 158,1 ha Total
: 2.445,2 ha
Dengan menggunakan persamaan luas lahan untuk budidaya tambak intensif di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi diperoleh luas tambak lestari adalah seluas 2.445,2 ha. Namun melihat besarnya limbah yang dikeluarkan baik organik maupun anorganik oleh aktivitas diwilayah
pesisir lahan atas dan di perairannya serta
berdasarkan jumlah penduduk, maka luas tambak yang ideal (sesuai dengan daya dukung) adalah 677,65 ha. Luas tambak yang ada saat ini berjumlah 837,692 ha berarti usaha tambak di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi tidak dapat dikembangkan dan sudah melebihi luas berdasarkan pada daya dukungnya. Seperti Gambar 25 di bawah ini:
Penggunaan Lahan Tambak
2,500 2,000 Luas (ha)
1,500 1,000 500 0 1 Lahan Tambak
Luas Tambak Berdasarkan Kesesuaian Lahan Luas Tambak berdasarkan Daya dukung Luas Tambak Eksisting
Gambar 25 Pemanfaatan Lahan untuk Tambak
Analisis Daya Dukung untuk Lahan Industri Model kualitas air laut dipengaruhi oleh aktifitas pembangunan yang terjadi di wilayah daerah dan di lautan. Di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi aktifitas yang ada menimbulkan pada besarnya tingkat pencemaran hal ini terlihat darikondisi air laut. Faktor yang dominan mempengaruhi pada kualitas air laut adalah sama dengan faktor
141
yang terjadi pada sungai. Biasanya adalah aktifitas permukiman, industri dan tambak akan memberikan dampak pada kualitas air laut dalam bentuk tinginya kadar BOD, COD TSS dan Kekeruhan. Model kualitas air laut seperti Gambar 26 berikut:
PERTUMBUHAN PENDUDUK
PERTUMBUHAN TAMBAK
PERTUMBUHAN PELABUHAN
+
POLUTAN BOD.COD.TSS DAN KEKERUHAN
+ PENYISIHAN POLUTAN
-
+
+ PERTUMBUHAN USAHA PERIKANAN
WILAYAH PESISIR Gambar 26 Sub-Model Kualitas Air Laut Tingkat pencemaran air laut dipengaruhi oleh pengenceran air laut atau reaksi kimia dan biologi yang terjadi pada badan air, sehingga secara alamiah terjadi degredasi zat pencemar. Selain itu juga ditentukan oleh besaran koefisien dari indikator penentu tingkat pencemaran air. Maka hal yang penting diperhatikan dalam model ini adalah pola pemanfatan lahan permukiman, industri pertanian dan tambak yang dikaitkan dengan konversi penggunaan lahan dan banyaknya polutan atau zat pencemar. Dengan melihat keberadaan zat pencemar, yaitu warna air laut
142
(kekeruhan), BOD, COD dan TSS maka semakin jauh dari pantai maka memiliki nilai yang semakin tinggi. Konversi lahan pertanian dan mangrove untuk permukiman dan industri akan menambah pada luas lahan terbangun. Secara alamiah lingkungan mempunyai kemampuan untuk memulihkan kualitasnya sampai batas-batas tertentu. Oleh karena itu semakin tinggi konversi lahan yang terjadi di wilayah pesisir, semakin meningkat pula unsur-unsur pencemar, disisi lain menurun.
Meningkatnya
konversi
kemampuan lahan untuk pulih semakin
lahan
ini
juga
disebabkan
oleh
semakin
bertambahnya jumlah penduduk, yang kahirnya akan memberikan pada besarnya ekploitasi pada sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Memperhatikan bentuk panta, kedalaman laut maka luas daya dukung lahan untuk industry dapat dihitung dengan asumsi bahwa 1 liter limbah dapat diencerkan dengan 100 l air. Model kualitas air sungai dipengaruhi oleh aktifitas pembangunan yang terjadi di wilayah daerah pengaliran sungai tersebut. Biasanya adalah aktifitas permukiman, industri dan pertanian akan memberikan dampak pada kualitas air sungai dalam bentuk pencemaran ( BOD, COD TSS dan Kekeruhan). Wilayah pesisir Kabupaten Bekasi pengembangan lahan untuk industry berdasarkan daya dukungnya adalah seluas 934,8 ha. Analisis Daya Dukung untuk Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian dan mangrove untuk permukiman dan industri akan menambah pada luas lahan terbangun. Secara alamiah lingkungan mempunyai kemampuan untuk memulihkan kualitasnya sampai batas-batas tertentu. Oleh karena itu semakin tinggi ketersediaan lahan alami ( luas lahan alami), semakin meningkat pula kemapuan lahan untuk pulih. Meningkatnya konversi lahan ini juga disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah penduduk, yang kahirnya akan kembali pada ketersediaan lahannya. Terbatasnya atau semakin sempitnya lahan-lahan almiah
143
disatu sisi maka memberikan dampak negatif disisi lain yaitu limbah yang dihasilkan dari setiap aktifitas penduduk tidak bisa pulih secara alamiah, dan sifatnya terus meningkat.
Luas lahan untuk pertanian sesuai dengan daya dukungnya adalah
3.935,4 ha seperti Gambar 27 dan Gambar 28 berikut:
Gambar 27 Pemanfaatan Lahan Pertanian sesuai dengan Daya Dukung
144
LA UT JAWA
Tg.KAR AWAN G
PANTAIBAHAGIA
PAN TAIBAKTI
PANTURA K AB.BEKASI Tg . GE MBONG
KAB. KARAWAN G
PANTAISEDER HAN A PANTA IMEKA R
MUARAGEMB ONG
JAYASAKT I
PANTAIHARAPANJAYA
TELUK JAK ARTA
PANTAIHUR IP HURIPJAYA
MARU NDA
KEC.CILIN CING PANTA IMAKM UR SEGARAMAKMUR
BUN IBAKTI MUARAB AKTI
TARUMAJAYA SAMUDRAJAYA
PAHLAWANSETI A SETIAMULYA KEDUNGPENGAWAS KEDUNG JAYA
DKI JAKARTA BAB ELANKOTA PUS AKARAK YAT SETIASIH BABELAN
BAH AGIA KABEL AN
KOTA BEK ASI KETERANG AN A. DAYA DU KUN G WIL AYAH PERAIRA N Baik Sed ang Buruk A. DAYA DU KUN G WIL AYAH DA RATAN Hutan Lindun g Baik Hutan Lindun g Sedang Hutan Lindun g Buruk Pertanian Ba ik Pertanian Se dang Pertanian Bu ru k Pemukiman Ba ik Pemukiman Se dang Pemukiman Bu ru k Ind ustri Pariwisa ta Pelab uh an Perikanan Pelab uh an Umum Tamb ak
C. KETERANGAN RELIEF DAN T ITIK Jalan Tol Jalan Primer Sungai
P E TA R E N A N A Laut Jawa
Arah Arus
TATA RUANG WILAYAH PESISIR K ABUPATEN BEKASI BE RDASARKAN DAYA DUKUNG
D. BATA S ADM IN ISTRASI Kab upaten Karawan g Kota Bekasi Provinsi DKI Jaka rt a W li aya h No n Stud y Bata s Ke camat an Bata s Propinsi
Samudera Hindia
Teluk Ja karta
U
0.7
0
0.7
1.4 M iles
Site Plane Dermaga Sumber : 1. Bakosu rta na l Pe ta Sk al a 1 : 25.000 2. BP LH D Ta hun 2 001 3. Pe t a La ut Nusant ara 4. Bapeda lda DK I J akarta
Gambar 28 Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Berdasarkan Daya Dukung
145
Analisa Ekonomi dari Penggunaan Lahan Pemanfaatan lahan pesisir dan perairan laut di Kabupaten Bekasi sangat intensif. Potensi lahan pesisir yang semakin lama semakin berkurang akibat konversi lahan yang tidak terkendali. Keadaan ini disebabkan karena adanya faktor sebagai wilayah penyangga kota Metropolitan Jakarta. Pemanfaatan lahan pesisir terutama digunakan untuk kegiatan permukiman 247,308 ha di Kecamatan Tarumajaya, 1.214,110 ha di Kecamatan Babelan, 233,970 di Kecamatan Muaragembong. Untuk pertanian 2,619,784 ha
di Kecamatan
Tarumajaya, 4.128,800 ha di Kecamatan Babelan dan 2.265,272 ha di Kecamatan Muaragembong. Perikanan Potensi sumberdaya pesisir dan laut wilayah pesisir Kabupaten Bekasi untuk kegiatan perikanan budidaya tergolong cukup besar. Potensi tersebut terdiri atas budidaya perikanan, dan budidaya tambak. Jumlah potensi sumber daya perikanan tangkap adalah 1.512 ton tahun 2004, 1.512 ton tahun 2005 dan 1.535 ton tahun 2006. Jumlah produksi perikanan tambak pada tahun yang sama adalah 5.812 ton (2004), 5.812 ton (2005) dan 5.885 ton (2006). Pengembangan budidaya perikanan (tambak dan Jaring Apung ) adalah
seluas 230
Ha di Kecamatan Tarumajaya,
454,170 ha di Kecamatan Babelan dan 7.688,522 ha di Kecamatan Muaragembong. Jenis-jenis perikanan tangkap yang dikembangkan sebagai berikut : 1. Ikan pelagis besar: tuna, cakalang, marlin, tongkol, tengiri dan cucut, kegiatan penangkapan ikan tuna diperkirakan akan memiliki sumberdaya yang cukup tinggi. 2. Ikan pelagis kecil, meliputi : tembang, teri, lemuru, layang. Dilihat secara perkapita masyarakat nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi berdasarkan pada valuasi ekonomi, diperoleh nilai ekonomi untuk setiap petani, yaitu Rp 400.000,00 per produksi untuk pertanian, dan usaha perikanan laut
146
pendapatan sekitar Rp 450.000,00 dan usaha perikanan tambak rata-rata mereka menerima upah dari para pemilik tambak yang secara spasial sulit untuk dinilai. Khusus berdasarkan luas yang ada maka luas pemanfaatan lahan untuk tambak dan budidaya perikanan sama dengan luas lahan dalam analisa daya dukung ( untuk tambak) dan kesesuaian lahan (untuk budidaya perikanan) seperti diraikan sebelumnya. Hutan Mangrove Hasil analisis ekonomi dari pemanfaatan kayu mangrove menunjukkan bahwa perhitungan kayu mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan bangunan dan dijual sebagai untuk permukiman. Perhitungan nilai ekonominya diukur berdasarkan pada jumlah tegakan mangrove per hektar
yang terdapat di wilayah
pesisir Kabupaten Bekasi ( Kecamatan Muaragembong) yang berkisar 500 batang dengan total dari pohon per hektar berkisar 0,94 meter kubik per hektar per tahun. Untuk kayu mangrove dijual sebesar Rp.75.000,- per meter kubik. Potensi perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, dimana masyarakatnya dikenal dengan masyarakat nelayan dengan tempat sumber udang dan ikan, oleh karena itu daerah sepanjang Muarageombong, sebagian Tarumajaya dann Babelan sebagai daerah tangkapan ikan sering digunakan nelayan
pada umumnya daerah disekitar hutan mangrove
sebagai daerah tangkapan ikan,
udang dan kepiting
terutama nelayan-nelayan tradisional. hasil survey terhadap nelayan di wilayah diperoleh hasil tangkapan mereka di jual dengan harga Rp.3.000 per kg untuk udang, Rp.1.250 per kg untuk ikan, dan Rp.2.500 per kg untuk kepiting. Harga ini jauh dari harga pasaran, namun karena mereka beranggapan bahwa jika dijual ke pasar atau ke masyarakat harga akan lebih tinggi yaitu sampai dengan Rp.8.000 – Rp.12.000 untuk jenis udang, kepiting dan ikan.
147
Nilai ekonomi lain yang bisa diperoleh dari manfaat mangrove adalah bahwa mangrove sebagai hutan lindung yaitu berfungsi sebagai penahan erosi (abrasi). Valuasi ekonomi dari manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metoda benefit transfer , dengan membuat tanggul dimana dapat dinilai dari upah tenaga kerja untuk setiap hektar tanggul yaitu sebesar Rp. 300.000,-. Manfaat lain dari keberadaaan mangrove adalah sebagai penyedia unsur hara. Penilaian tidak langsung pada penggunaan lahan mangrove dapat dilakukan dari jumlah kandungan unsur hara yang terkandung dari daun mangrove. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukarjo (1995)
menyebutkan bahwa setiap hektar hutan
mangrove menghasilkan guguran daun mangrove sebanyak 13,08 ton/tahun. Berarti akan mendapatkan 4,85 ton berat kering. Hasil analisis kandungan unsur hara yang terkandung di dalam daun mangrove tersebut adalah 10,5 kg per hektar unsur Nitrogen, atau sama dengan 23,33 kg pupuk urea, mengandung Phospor 4,72 kg sama dengan 13,11 kg pupuk SP-36. Bila dilihat harga pupuk di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, khususnya Muaragembong berkisar antara 2.500 – 3.000 per kg untuk pupuk urea, Rp.3.000 – 3.500 untuk pupuk SP-36. Nilai ini bila dikalikan dengan luas mangrove yaitu 398,40 ha. Manfaat tidak langsung yang mempunyai fungsi sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan, udang dan kepiting, mangrove adalah guguran daunnya yang berfungsi sebagai bahan makanan bagi ikan-ikan yang ada. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam rantai makanan ekosistem hutan mangrove, daun mangrove tersebut akan terurai oleh mikroorganisme dan kemudian diuraikan oleh partikel-partikel, dan begitu seterusnya (konsep rantai makan suatu habitat). Pilihan lain adalah apa yang disebut dengan option value dari hutan mangrove. Option value dihitung dengan metoda nilai manfaat dari keanekaragaman hayati
148
(biodiversity). Ruitenbeek (1991), menilai option value untuk hutan mangrove di Indonesia sebesar US$ 15,- hektar per tahun. Berarti apabila dikonversikan kedalam mata uang rupiah dengan harga US$ 1 = Rp.9.200,- sesuai dengan waktu penelitian ini maka niilai manfaat biodiversity di wilayah pesisir adalah Rp.138.000,- per tahun. Besarnya fungsi dari hutan mangrove menunjukkan bahwa ada nilai ekonomi baik langsung atau tidak langsung maka keberadaannya perlu diwariskan pada generasi berikutnya. Untuk itu perhitungan-perhitungan dengan menggunakan berbgaai metode misalnya metode benafit transfer dengan analisis future value. Dengan menggunakan discount rate sebesar 10% dari luas mangrove saat ini (2006) maka dalam jangka waktu 10 tahun yang akan datang ( future value) dari ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi ( Kecamatan Muaragembong) adalah ± Rp. 328.234.400 per hektar. Terjadinya
konversi
lahan
memberikan
dampak
terhadap
pendapatan
masyarakat (Income Perkapita) dan pendapatan wilayah (PDRB). Perubahan itu akibat adanya aktivitas manusia dalam bentuk pembangunan. Pertumbuhan aktivitas dan perubahan bidang pekerjaan misalnya dari pertanian menjadi industri,
jasa
dan
perdagangan menyebabkan peningkatan pendapatan penduduk di sektor ini menjadi meningkat, disisi lain terjadi penurunan pendapatan masyarakat dari sektor pertanian dan masyarakat yang berada di kawasan dimana lahan-lahan konservasi seperti mangrove lebih dominan. Model pendapatan masyarakat dapat dibedakan atas jenis pekerjaannya yaitu, pada sektor perikanan laut, perikanan tambak, pertanian sawah, dan industri. Jenis pekerjaan ini memiliki karakterisatik dan jumlah yang berbeda. Pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat yang berada di wilayah pesisir pada dasarnya dibedakan atas pendapatan yang hanya bersumber pada ekploitasi sumberdaya alamnya ( perikanan, pertanian sawah, tambang dsb) dan pendapatan
149
yang diperoleh dari jasa upah ( industri dan pariwisata). Pendapatan yang diperoleh pada sektor eksploitasi sumberdaya biasa semakin lama semakin menurun besertaan dengan semakin berkurangnya luas lahan dan populasi ikan yang bisa diperoleh. Sedangkan pada sketor jasa industri (upah) kondisi akan berbeda dan tergantung pada perkembangan iindustri yang dikerjakannya. Apabila dilihat dari aspek ini maka bentuk yang diperoleh oleh penduduk adalah dalam bentuk pendapatan riil. Apabila dilihat kondisi saat ini besarnya pendapatan riil mereka semakin lama semakin menurun dari pendapatan yang diharapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam juga sangat berpengaruh pada besarnya pendapatan yang diperoleh oleh penduduknya. Pariwisata Produk
pariwisata
merupakan
komponen
utama
dari
kepariwisataan,
khususnya yang berbentuk obyek atau daya tarik wisata (ODTW). Produk kepariwisataan kawasan Pantura Bekasi kurang memadai (dalam arti kuantitas dan keragamannya). Pengembangan produk pariwisata di Kawasan Pantura Bekasi, adalah berupa Pantai Asdam dengan bentuk pariwisata parks tourism. Produk yang memerlukan biaya tidak terlalu besar untuk dapat dinikmati, dan dapat menyedot wisatawan cukup banyak. Nilai manfaat ekonomi dari setiap penggunaan lahan seperti Tabel 25 Rencana tata ruang berdasarkan manfaat ekonomi sumberdaya pesisir seperti terlihat pada Gambar 29 berikut : Tabel 25 Nilai manfaat ekonomi dari setiap penggunaan lahan. Penggunaan Lahan Permukiman Industri Perikanan Pertanian Hutan Mangrove Sumber : Hasil Analisis,2007
Luas (ha) 3,156 656 5,585 9,013,856 398.48
Nilai Ekonomi ( Rp) 142,020,000,000 29,520,000,000 16,755,000,000 9,013,856,000 230,516,695
150
LA UT JA WA
Tg.K AR AW AN G
PAN TA IB AH AGIA
PAN TA IB AK TI
PAN TU R A K AB .B EK ASI Tg. GE MB ON G
KAB K A RA W ANG
PAN TA ISED ER H AN A PAN TA IME KA R
MU AR AGEM B ONG
JAYA S AK T I
PAN TA IH AR APAN JA YA
TELU K JAK AR TA
PAN TA IH UR IP HU R IPJA YA
MAR U ND A
KEC .C ILIN CIN G PAN TA IMA KM U R SEGAR AM AK MU R
BU N IBA KTI MU AR AB AK TI
TAR U MA JAY A SAM UD R AJA YA
PAH LA WA NSE TI A KED U NG PEN GAW AS SETIAM ULYA KED U NG JAYA
DK I JAK AR T A
BAB ELAN K OTA PUS AK AR AK YAT SETIASIH BAB ELAN
BAH AG IA KAB ELAN
KO TA BE K AS I KETER ANGAN A. MANFAAT EKONOMI P ERAIRAN PESISIR (R p.5 20 .00 0.000 /th )
.
C KETERANGAN R ELIEF DAN TITIK
Kawasan bud idaya perikanan b aik ( >Rp.204.000.000/th ) Kawasan bud idaya perikanan sedan g (Rp.5.100.000Rp.16.150.000/th) Kawasan bud idaya perikanan ren da h ( < R p . B MANFAAT . EKON OMI WI LAYAH DARAT PESISIR S ESU AI D ENGAN TINGKATANNYA Kawasan P emukiman (Rp.331.380.000.000) Kawasan I ndustri
(R p. 157. 500. 000. 000)
Kawasan P erta nian
(R p. 68. 800. 000. 000)
Jalan Tol Jalan Primer Sun gai
5. 100. 000 / t h )
D. BATAS ADMINISTR ASI
U
Kota Bekasi Provinsi DKI Jaka rt a Set Plan Derma ga
Kawasan T amb ak (Rp.953.550.000)
Wila ya h Non Stud y
Kaw asan Hu tan Lin dung (Rp.328.234.600)
Bata s Kecam at an Bata s Propinsi
Gambar 29
Samudera Hindia
Kabupaten Karaw an g
Kawasan P elab uh an Umum
(R p. 83. 083. 000)
PE TA RENCANA TA TA RUANG W IL AYAH PESISIR K ABUP ATEN BEKAS I BER DASARKAN VALUASI EKONOMI
Arah Arus
Kawasan P elab uh an Perikan an
Kawasan P ariwisata
Laut Jawa
Teluk Ja karta
0.7
0
0.7
1.4 Mi le s
Sumbe r : 1. Ba kosu rtanal Pe ta Skal a 1 : 2 5.000 2. BP LH D Ta hu n 2001 3. Pe ta La ut N usanta ra 4. Ba peda ld a DKI Ja ka rta
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Berdasarkan Valuasi Ekonomi
151
Pembahasan Konsentrasi Pencemar Pemanfaatan Lahan dalam Kebijakan Penataan Ruang dengan Kualitas Air Laut Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi. Orientasi dari perencanaan tata ruang tersebut adalah terjadinya pergeseran pola pemanfaatan lahan dari aspek kesesuaian lahannya ( Analisis 1 dalam penelitian ini).
Hal
ini
tercermin
adanya
pemanfaatan
lahan
yang
berorientasi
pada
pengembangan permukiman, industri, tambak, pertanian, pariwisata dan pelabuhan umum dan perikanan (perikanan laut). Tata ruang merupakan repsentasi pemakaian dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir untuk jangka waktu 10 tahun ( RTRK 20032012). Peningkatan kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan rencana tata ruang memberikan konsekuensi pada terjadinya konversi penggunaan lahan dari lahan lindung menjadi budidaya, lahan pertanian menjadi lahan permukiman, industri dan lainnya. Disisi lain konservasi melalui laju pertumbuhan penghijauan hanya terbatas di Kecamatan Muaragembong sebagai kawasan konservasi hutan mangrove, yang secara keseluruhan dari 2.632 tahun 2002 menjadi 2.066 tahun 2005. Penurunan ini merupakan suatu bentuk kondisi pemanfaatan yang terjadi, dimana rencana tata ruang hanya bisa memberikan indikasi telah terjadi perubahan dan penurunan penggunaan lahan sebagai kawasan penghijauan. Walaupun secara konseptual bahwa ada standar luas magrove dan konservasi sebesar 30%, yang tujuannya untuk menjaga keseimbangan ekologis wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Kawasan lindung secara keseluruhan adalah 10.023,36 ha. Kawasan lindung terdiri dari kawasan lindung situ, kawasan lindung resapan air, kawasan lindung rawan bencana, kawasan perlindungan setempat, kawasan lindung mangrove 1.382,59 ha dan kawasan sempadan pantai 491 ha. Analisis Kebijakan penataan ruang di wilayah pesisir sebagai dasar dalam penyusunan model perencanaan tata ruang perlu dilihat dari setiap fungsi
152
pemanfaatan dalam tata ruang dengan dampaknya terhadap kondisi ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang bersangkutan. Perbandingan Konsentrasi Pencemar Beberapa Jenis Penggunaan Lahan dengan Konsentrasi Pencemar Penggunaan lahan industri, Permukiman dan Mangrove dengan Perubahan Kualitas Laut Pantura Kabupaten Bekasi
Penggunaan lahan dengan orientasi pada sektor industri dan permukiman
di
wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dan bila dilihat keterkaitannya dengan pemanfaatan itu terhadap lingkungan, khusus kualitas air sungai dan laut. Dapat dijelaskan seperti pada Gambar 30 berikut : HUBUNGAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN AIR LAUT
KADAR PENCEMAR
300 250 TSS
200
KEKERUHAN
150
BOD
100
COD
50 0 MANGROVE
PERMUKIMAN
INDUSTRI
LOKASI PENGGUNAAN LAHAN
Gambar 30 Gambar
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Tingkat Pencemaran Air Laut. 30
diatas
menunjukkan
bahwa
parameter
pencemar
untuk
penggunaan lahan industri lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan permukiman dan mangrove. Kadar TSS, Kekeruhan dan COD menunjukkan nilai yang tinggi dari penggunaan lahan industri dan permukiman, sedangkan lahan mangrove memiliki paramater pencemar (TSS, Kekeruhan, BOD dan COD) yang rendah.
153
Konsentrasi Pencemar Penggunaan lahan pertanian, Permukiman dan Mangrove dengan Perubahan Kualitas Laut Pantura Kabupaten Bekasi Penggunaan lahan dengan orientasi pada sektor pertanian dan permukiman di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dan bila dilihat keterkaitannya dengan pemanfaatan itu terhadap lingkungan, khusus kualitas air sungai dan laut. Dapat dijelaskan seperti pada Gambar 31 berikut :
KADAR PENCEMAR
HUBUNGAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN AIR LAUT 500 400
TSS
300
KEKERUHAN
200
BOD
100
COD
0 PERTANIAN
PERMUKIMAN
MANGROVE
LOKASI PENGGUNAAN LAHAN
Gambar 31 Gambar
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Tingkat Pencemaran Air Laut. 29
diatas
menunjukkan
bahwa
parameter
pencemar
untuk
penggunaan lahan pertanian lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan permukiman dan mangrove. Kadar TSS, Kekeruhan, BOD dan COD menunjukkan nilai yang tinggi dari penggunaan lahan permukiman dan mangrove, sedangkan penggunaan lahan permukiman dan mangrove memiliki paramater pencemar (TSS, Kekeruhan, BOD dan COD) yang relatif rendah. Konsentrasi Pencemar Penggunaan lahan Industri, Pariwisata dan Pertanian dengan Perubahan Kualitas Laut Pantura Kabupaten Bekasi Penggunaan lahan dengan orientasi pada sektor industri, pariwisata dan pertanian untuk lokasi yang berbeda menunjukkan tingkat pencemar yang berbeda pula. Penggunaan lahan untuk industri dan pariwisata lebih tinggi tingkat pencemar
154
dari penggunaan lahan untuk pertanian. Bila dilihat keterkaitannya dengan kerusakan lingkungan, khusus kualitas air sungai dan laut, dapat dijelaskan seperti pada gambar 32 berikut :
KADAR PENCEMAR
HUBUNGAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN AIR LAUT 400 350 300 250 200 150 100 50 0
TSS KEKERUHAN BOD COD
PERTANIAN
PARIWISATA
INDUSTRI
LOKASI PENGGUNAAN LAHAN
Gambar 32 Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Tingkat Pencemaran Air Laut. Gambar
32
diatas
menunjukkan
bahwa
parameter
pencemar
untuk
penggunaan lahan industri lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan periwisata dan pertanian. Kadar TSS, Kekeruhan menunjukkan kadar tertinggi, sedangkan BOD dan COD berada pada nilai yang relatif rendah, hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi ini tingkat pencemar limbah industri berupa limbah domistik memiliki nilai yang lebih sedikit jika dibandingkan pada lokasi pertama. Konsentrasi Pencemar penggunaan lahan Pelabuhan, Kawasan lainnya dan Permukiman dengan Perubahan Kualitas Laut Pantura Kabupaten Bekasi Penggunaan lahan dengan orientasi pada sektor pelabuhan, kawasan lainnya dan permukiman untuk lokasi yang berbeda menunjukkan tingkat pencemar yang berbeda pula. Penggunaan lahan untuk pelabuhan dan kawasan lainnya lebih tinggi tingkat pencemar dari penggunaan lahan untuk permukiman yang teratur dan permamen. Bila dilihat keterkaitannya dengan tingkat pencemaran air laut dapat dilihat pada Gambar 33 berikut :
155
HUBUNGAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN TINGKAT PENCEMAR AIR LAUT
KADAR PENCEMAR
700 600 500
TSS
400
KEKERUHAN
300
BOD
200
COD
100 0 PERMUKIMAN
KAWASAN LAINNYA
PELABUHAN
PENGGUNAAN LAHAN
Gambar 33 Gambar
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Tingkat Pencemaran Air Laut. 33
diatas
menunjukkan
bahwa
parameter
pencemar
untuk
penggunaan lahan pelabuhan lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan kawasan lainnya. Kadar TSS, Kekeruhan menunjukkan kadar tertinggi, sedangkan BOD dan COD berada pada nilai yang relatif rendah, hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi ini tingkat pencemar limbah pelabuhan lebih besar dari pada penggunaan lainnya. Konsentrasi Pencemar Pemanfaatan Lahan dalam Kebijakan Penataan Ruang dengan Air Sungai Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi. Penggunaan lahan yang terjadi di wilayah pesisir pantai utara Kabupaten Bekasi seperti pada penjelasan tata ruang yang sudah disusun dan dijelaskan diatas, menunjukkan bahwa sistem penggunaan lahan di wilayah daratan sangat besarnya pengaruhnya kondisi unsur-unsur pencemar yang ada di air sungai. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap kondisi air sungai Citarum, Cikarang Bekasi Laut ( CBL), Kali Sadang dan Kali Cilemah. Dalam pengujian diperoleh bahwa tingkat pencemaran dari air sungai dari hulu (daratan pesisir ) ke bagian hilir menunjukkan kadar unsur pencemar semakin ke hilir
156
semakin tinggi. Gambaran dari setiap lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 34. 35, 36 dan Gambar 37 berikut : TINGKAT PENCEMARAN AIR SUNGAI
KADARPENCEMAR
300 250 200
TSS KEKERUHAN
150
BOD COD
100 50 0 HULU
TENGAH
HILIR
LOKASI
Gambar 34
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kualitas Air Sungai CBL. Hasil Analisis, 2007
TINGKAT PENCEMARAN AIR SUNGAI 700 600 500 TSS 400
KEKERUHA N BOD
300
COD 200 100 0 HULU
TENGA H
HILIR
LO KA S I
Gambar 35
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kualitas Air Sungai Kali Sadang. Hasil Analisis, 2007
157
TINGKAT PENCEMAR AIR SUNGAI 350 300 250 TSS
200
KEKERUHA N B OD
150
COD 100 50 0 HULU
TENGA H
HILIR
LO KA S I
Gambar 36
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kualitas Air Sungai Cilemah. Hasil Analisis, 2007 TINGKAT PENCEMARAN AIR SUNGAI
KADAR PENCEMAR
400 350 300 TSS
250
KEKERUHAN
200
BOD
150
COD
100 50 0 HULU
TENGAH
HILIR
LOKASI
Gambar 37
Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kualitas Air Sungai Citatum. Hasil Analisis, 2007
Dari Gambar 34 sampai Gambar 37 diatas di daerah daratan dapat terlihat bahwa analisis yang memberikan prioritas peningkatan kegiatan di daratan wilayah pesisir memberikan dampak yang besar pada kualitas air laut dan air sungai. Dampak yang terbesar terhadap kualitas air laut dan sungai adalah penggunaan lahan Industri, permukiman, pertanian, pelabuhan dan pariwisata. Seperti hasil yang diperoleh pada
158
analisis 1 yaitu kesesuaian dan daya dukung lahan untuk penggunaan lahan industri, permukiman, pertanian, pelabuhan dan pariwisata berada pada posisi lahan yang ”sesuai” ( dimana faktor pembatas masih menentukan dalam pemanfaatannya). Hasil analisis 1 juga menunjukkan bahwa lahan di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi ”sangat sesuai” untuk usaha budidaya tambak, pelabuhan perikanan dan usaha perikanan jaring apung. Hasil pemodelan interaksi menunjukkan bahwa konsentrasi parameter lingkungan yang diamati secara umum juga mengalami peningkatan. Peningkatan paramater-paramater yang berkaitan langsung dengan kondisi wilayah pesisir terlihat jelas pada paramater peraiaran/laut dan sungai. Sebagaimana pada analisis 2 telah dijelaskan bahwa paramater-paramater dari kondisi perairan selalu cendrung meningkat seiring dengan perubahan penggunaan lahan dan pertumbuhan penduduk diatasnya. Peningkatan konsentrasi ini menunjukkan bahwa luas lahan untuk aktivitas seperti yang dijelaskan diatas menunjukkan bahwa peningkatan kadar BOD,COD dan TSS dan Kekeruhan, ini juga dibarengi oleh berkurangnya luas lahan konservasi dan mengrove. Hasil model interkasi menunjukkan bahwa, keberadaan lahan mangrove dan konservasi memberikan sumbangan yang paling kecil pada parameter pencemaran air laut dan air sungai ( TSS, Kekeruhan, BOD dan COD) yang sifatnya relatif sama. Mangrove dapat berfungsi sebagai lokasi alamiah untuk meningkatkan kandungan oksigen dalam perairan agar mempermudah terjadinya proses-proses degredasi alamiah limbah yang ada. Disamping itu mangrove juga diharapkan dapat menahan penambahan kandungan TSS ke dalam perairan. Berkurangnya lahan mengrovesebagai lahan konservasi mempengaruhi pula terjadinya peningkatan kadar TSS di wilayah pesisir. Namun bila dilihat dari kesesuaian dan daya dukung lahan pada analisis 1 kesesuaian lahan untuk pariwisata dan konservasi meliki lahan dengan ”kesesuaian
159
bersyarat”, artinya bisa dikembangkan untuk pemanfaatan lahan itu jika ada syaratsyarat yang harus dipenuhi yaitu dikembangkan sesuai dengan kriteria pengembangan lahan untuk pariwisata dan konservasi. Dalam Perencanaan Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi (RTR) Tahun 2003-2012 seperti pada penejelasan bahwa kawasan Pantai Bahagia dan Pantai Bhakti dan Pantai lainnya yang ada, khususnya di Kecamatan Babelan dan Kecamatan Muaragembong akan dikembangkan untuk kawasan pariwisata. Bila dilihat dari konsep perencanaan tata ruang ini menunjukkan bahwa konsep perencanaan penataan ruang tidak sesuai dengan kesesuaian lahan yang ada di kawasan tersebut. Konsentrasi Pencemar Perubahan Penggunaan lahan dengan Perubahan Kualitas Air Laut berdasarkan Zona Jarak dari Garis Pantai Pantura Kabupaten Bekasi Penggunaan lahan wilayah pantura Kabupaten Bekasi tahun 2004 adalah 25.028 ha (19,65%) yang terdiri dari di Kecamatan
Babelan
6.360 ha (4,99%),
Kecamatan Muarogembong 14.009 ha (11,00%) dan Kecamatan Tarumajaya 4.659 ha ( 3,66%). Penggunaan lahan tahun 2004 sebagian besar terdiri dari lahan pertanian artinya luas yang meliputi tanaman pangan, perikanan dan perkebunan sebesar 16.846 ha atau 82,7%, hutan 895 ha atau 4,4% dan penggunaan untuk permukiman 2.628 ha atau 12,9%. Kondisi penggunaan lahan tahun 2004 dibanding dengan tahun 2003 mengalami perubahan terutama areal sawah irigasi teknis meningkat sementara sawah tadah hujan mengalami penurunan. Pola penggunaan lahan dari ketiga wilayah yang berbeda., Di Kecamatan Babelan sangat dominan untuk sawah irigasi teknis, Kecamatan Muaragembong didominasi oleh kawasan pertambakan yang sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan pantura, dan Kecamatan Tarumajaya didominasi dengan Industri dan permukiman. Meskipun dominasi penggunaan lahan relatif berbeda, namun secara strkutur ekonomi masih berbasis pada industri dan pertanian. Oleh
160
Karena itu dominasi struktur penggunaan lahan kawasan harus dialokasikan sesuai dengan daya dukung lahan dalam rangka pengendalian perubahan alih fungsi lahan. Produksi perikanan laut selama tahun 2005 mengalami peningkatan yaitu 2,0%. Perikanan darat juga meningkat, yaitu 2%. Jenis perikanan darat yang banyak memproduksi ikan adalah tambak dengan produksi 6.008,3 ton dengan nilai Rp 34 juta. Adapun jenis ikan yang dihasilkan berupa udang, bandeng, mujair dan belanak. Kecamatan Muara Gembong memiliki pantai yang merupakan potensi kelautan Kabupaten Bekasi, dengan luas hutan bakau 75 Ha dan hasil perikanan laut 1151,5 ton. Hasil simulasi terlihat bahwa di daerah daratan pesisir
selalu mengalami
perubahan konversi lahan alami yang signifikan. Luas lahan untuk pertanian dan industri cendrung meningkat, begitu pula lahan untuk permukiman. Konversi penggunaan lahan ternyata berpengaruh pada kualitas lingkungan di wilayah pesisir seperti kondisi air sungai dan air laut.
Indikasinya dapat dilihat dari beberapa
parameter pencemaran yang diteliti ( BOD, COD, TSS dan Kekeruhan ). Terjadinya peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman dan industri dari 16.848 ha tahun 2005 menjadi 17.417 ha tahun 2007. memberikan dampak pada peningkatan paramater BOD dan COD di Cikarang Bekasi Laut (CBL) yaitu : 20,88 dan 16,5 (Tahun 2002) menjadi 33,2 dan 204,0 (Tahun 2006). Sistem pengolahan limbah belum berfungsi secara baik, serta belum efektifnya berbagai kebijakan pengendalian lingkungan yang ada saat ini. Setelah 5 tahun parameter BOD dan COD mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada pengukuran laboaratorium telah teridentifikasi bahwa TSS tahun 2001 adalah 3,00 (CBL). Tahun 2003 7,00 (CBL). dan Tahun 2005 dan 8,00 (CBL). Untuk tahun 2006 terjadi peningkatan TSS yang sangat tinggi yaitu 320. Hal ini menandakan bahwa terjadi pergeseran penggunaan
161
lahan yang yang signifikan dari lahan mangrove menjadi pertanian, industri dan permukiman. Hasil survei di lapangan dan penyebaran kuesioner, menunjukkan bahwa perubahan kualitas air sungai dan laut di lokasi penelitian telah kelihatan secara visual dan sangat dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah pesisir. Hal ini diperkuat oleh 93,5% menyatakan
merasakan akibat dari pada pendangkalan sungai yaitu
dalam bentuk genangan dan banjir. Parameter yang dipertimbangkan dalam kasus perairan pesisir Kabupaten Bekasi adalah pH, salinitas, oksigen terlarut, nitrat, phospat dan lainnya, akibat banyak terjadinya konversi lahan di wilayah bagian daratan Kabupaten Bekasi. TSS menjadi penting karena sifatnya yang mempengaruhi akan kelangsungan ekosistem untuk hidup dan berkembang, Bila komposisi jenis konversi lahan yang berkembang sesuai dengan RTRWP adalah tetap maka konversi lahan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi menjadi penyumbang TSS ke badan air yang paling dominan, serta penyebab terjadinya pendangkalan sungai sehingga terbentuk delta-delta dan penyebab terjadinya banjir karena penyempitan profil dasar sungai. Peningkatan pembangunan
dibagian daratan
yang dibarengi dengan
penurunan lahan mangrove dan non-mangrove dibagian pesisir berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan kadar pencemaran berupa kenaikan oksigen terlaut, nitrat, phospat, BOD, COD, TSS
dan kekeruhan dan unsur-unsur pencemar lainnya di
perairan zona A, B dan Zona C muara sungai Citarum, CBL, Kali Cikarang dan di laut sesuai dengan zona yang diamati. Konsentrasi TSS, Kekeruhan, BOD dan COD merupakan fenomena yang dapat dilihat dari hasil analisis laboratorium dari lapangan pada titik sampling air laut berdasarkan pada zona pengambilan sampel ( Zona A : 3 km, Zona B : 2 km dan Zona C : 1 km) seperti ada Tabel 26, 27 dan Tabel 28 berikut:
162
Tabel 26 Kualitas Perairan Zona A Pantai Utara Kabupaten Bekasi Parameter Warna Zat pada tersuspensi (TSS) pH Salinitas oksigen terlarut Ammonia nitrat Nitrit phosphat Kebutuhan oksigen kimia (COD)
Satuan mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l gr/kg gr/kg
Kebutuhan oksigen Biokimia (BOD)
Lokasi CBL 15,00 6,00 8,10 31,50 5,50 * * 0,001 * 29,84
KCKR 14,00 5,00 8,20 31,00 5,40 * * * * 21,89
CITARUM 10,00 3,00 8,00 30,0 5,00 * * 0,011 * 20,88
16,95
11,90
13,30
Tembaga (Cu)
mg/l
0,08
*
0,07
Timah Hitam (Pb)
mg/l
*
*
*
Chromium (Cr)
mg/l
*
*
*
nikel (Ni)
mg/l
*
*
*
Cadmium(cd)
mg/l
*
*
*
Seng (Zn)
mg/l
0,05
0,65
0,09
Mercury (Hg)
ugr/l
0,78
0,09
0,19
Arsen
ugr/l
1,13
1,16
0,98
Organik (KmnO4)
mg/l
22,89
14,76
17,07
minyak dan lemak
mg/l
4,50
4,60
4,00
meter
*
0,001
0,002
kecerahan cyanida
mg/l
*
*
*
Phenol
mg/l
8,00
<3
<3
MPN coliforn Surfaktan
/100cc
*
*
*
mg/l
0,07
0,07
0,11
*) tidak terdeteksi Sumber : Hasil Analisis Lab. Baku Mutu didasarkan Kepmen KLH No.02/MENKLH/I/1988 Lokasi ± 3 km dari pantai
163
Tabel 27
Kualitas Perairan Zona B Pantai Utara Kabupaten Bekasi
Parameter
Satuan
Lokasi CBL
KCKR
CITARUM
warna
mg/l
10,00
23,00
12,00
Zat pada tersuspensi (TSS)
mg/l
7,00
5,00
8,00
pH
mg/l
8,10
7,70
7,60
Salinitas
mg/l
30,40
26,60
26,00
oksigen terlarut
mg/l
4,90
5,20
5,10
Ammonia
mg/l
*
*
*
nitrat
mg/l
0,104
0,244
*
Nitrit
mg/l
0,001
0,001
0,061
Phosphate
gr/kg
*
*
*
Kebutuhan oksigen kimia (COD)
gr/kg
29,48
22,29
29,08
Kebutuhan oksigen Biokimia (BOD)
mg/l
12,75
13,40
16,35
Tembaga (Cu)
mg/l
0,02
0,06
0,05
Timah Hitam (Pb)
mg/l
*
*
*
Chromium (Cr)
mg/l
*
*
*
nikel (Ni)
mg/l
*
*
*
Cadmium(cd)
mg/l
*
*
*
Seng (Zn)
mg/l
0,69
*
0,14
Mercury (Hg)
ugr/l
0,32
1,10
1,21
Arsen
ugr/l
1,29
1,80
1,42
Organik (KmnO4)
mg/l
19,54
16,01
21,26
minyak dan lemak
mg/l
0,10
0,08
0,05
meter
2,50
1,50
1,20
cyanida
mg/l
*
*
*
Phenol
mg/l
0,05
0,06
0,04
/100cc
23,00
<3
28,00
mg/l
0,11
0,13
0,28
kecerahan
MPN coliforn Surfaktan
* ) tidak terdeteksi Sumber : Hasil Analisis Lab. Baku Mutu didasarkan Kepmen KLH No.02/MENKLH/I/1988 Lokasi ± 2 km dari pantai
164
Tabel 28
Kualitas Perairan Zona C Pantai Utara Kabupaten Bekasi
Parameter
Satuan
Lokasi CBL
KCKR
CITARUM
warna
mg/l
12,00
10,00
37,00
Zat pada tersuspensi (TSS)
mg/l
6,00
10,00
7,00
pH
mg/l
7,80
7,40
7,40
Salinitas
mg/l
28,50
16,10
16,10
oksigen terlarut
mg/l
3,50
3,40
3,20
Ammonia
mg/l
0,09
0,11
0,13
Nitrat
mg/l
0,185
0,102
0,176
Nitrit
mg/l
*
0,01
0,005
Phosphate
gr/kg
0,04
0,01
0,08
kebutuhan oksigen kimia (COD)
gr/kg
21,32
23,09
28,27
Kebutuhan oksigen Biokimia (BOD)
mg/l
18,15
12,45
18,55
Tembaga (Cu)
mg/l
0,01
0,03
0,02
Timah Hitam (Pb)
mg/l
*
1,49
*
Chromium (Cr)
mg/l
*
*
*
nikel (Ni)
mg/l
*
*
*
Cadmium(cd)
mg/l
*
*
*
Seng (Zn)
mg/l
0,20
0,85
0,15
Mercury (Hg)
ugr/l
0,45
0,74
0,96
Arsen
ugr/l
1,97
2,01
1,65
Organik (KmnO4)
mg/l
18,51
14,48
21,51
minyak dan lemak
mg/l
0,19
0,10
0,18
meter
3,00
2,50
0,80
cyanida
mg/l
*
*
*
Phenol
mg/l
0,03
0,04
0,04
/100cc
4,00
<3,00
16,00
mg/l
0,32
0,29
0,24
kecerahan
MPN coliforn Surfaktan
*) tidak terdeteksi Sumber : Hasil Analisis Lab. Baku Mutu didasarkan Kepmen KLH No.02/MENKLH/I/1988 Lokasi ± 1km dari pantai
165
Rumusan Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian yaitu untuk merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, maka sebelumnya harus diketahui beberapa hal : Karakteristik wilayah pesisir seperti tujuan I : Berdasarkan pada hasil temuan dan pembahasan dari penelitian ini maka wilayah pesisir dapat diklasifikasikan berdasarkan pada
analisis dari setiap satuan lahan
diperoleh kesesuaian lahan, daya dukung dan unsur-unsur yang terkandung didalamnya yaitu; a) pasut dan tinggi gelombang; b) kecepatan arus; c) aksessibilitas; d) amplitudo; e) ketgerlindungan; f) pH; g) suhu; dan i) salinitas.
Perubahan
penggunaan lahan wilayah pesisir bagian daratan memberikan dampak pada kondisi perairan wilayah pesisir seperti terlihat kadar pencemar seperti BOD,COD, TSS, Kekeruhan. Perubahan itu disebabkan oleh aktivitas manusia yang ada di wilayah pesisir. Oleh karena itu, gambaran adanya perubahan dari setiap ekosistem dipresentasikan dari perubahan yang terjadi dari setiap agregat yang ada pada lahan daratan dan perairan. Analisis dasar berdasarkan pada karakteristik lahan di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kecendrungan yang terjadi saat ini akan terus berlanjut dimasa akan datang dan secara kesesuaian lahannya akan terjadi pergeseran dengan adanya intervensi dalam kebijakan pengunaan dan pemanfatan lahan di wilayah pesisir. Hal yang mendasari karakteristik kesesuaian lahan dengan daya dukungnya adalah : o
Adanya kemampuan alamiah fisik lahan daratan dan fisik perairan lautan maupun ekosistem pesisir sesuai dengan prinsip daya dukung ekologis. Kemampuan itu selalu konstan dalam kondisi dimana sistem penggunaannya tidak mengalami konversi.
166
o
Peningkatan aktivitas manusia di wilayah pesisir merupakan peningkatan akan kebutuhan lahan itu sendiri. Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersedian lahan merupakan faktor pembatas kemampuan fisik lahan untuk mendukung segala aktivitasnya. Berdasarkan pada wilayah sampel penelitian ini
keadaan topografi wilayah
pesisir Kabupaten Bekasi mempunyai kemiringan antara 0 – 4 %, atau dapat dikatakan sebagai daerah landai yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut, kondisi substrat dan pendangkalan perairan akibat sedimentasi dari wilayah daratan. Dalam penggunaan lahannya memiliki kendala untuk pelaksanaan pembangunan dan memerlukan biaya investasi yang sangat tinggi. Selain itu untuk meminimalisasi permasalahan fisik terutama abrasi diperlukan penataan green belt dalam bentuk reboisasi hutan bakau disepanjang pantai. Hutan bakau dapat berperan sangat besar dalam hal ini. Salah satu fungsi terbaik dari sebuah penataan areal green belt pada kawasan pesisir ini adalah menahan terjadinya abrasi pantai secara terus menerus dan memperangkap sedimentasi perairan yang sudah terjadi, sehingga pendangkalan perairan pesisir dapat dihindari terutama pada zona-zona kegiatan fungsional utama, seperti, perikanan, permukiman dan pariwisata. Mengacu kepada pendekatan dalam teori perencanaan perencanaan wilayah dan pembangunan berkelanjutan bahwa penyusunan suatu model perencanaan tata ruang wilayah memiliki peran yang sangat berarti. Berdasarkan pada karakteristik wilayah pesisir sebagai dasar utama dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir merupakan upaya memilih cara terbaik dalam mencapai hasil akhir.
167
Parametar-parameter dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir seperti tujuan II :
Secara
empirik
dapat
dirumuskan
bahwa
parameter-parameter
model
perencanaan tata ruang wilayah pesisir secara daya dukung dengan analisis sebagai berikut; Laju akumulasi mass dalam sistem = laju aliran mass kedalam sistem – laju aliran mass keluar sistem + laju transformasi mass bersih dalam sistem. Dengan kata lain: Akumulasi = Input – Output + Generasi – Konsumsi. Mengacu pada Konsep mass balance Losondo dan W esters (1993). Ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam menentukan luas kawasan pengembangan di perairan/laut yaitu : •
Mendefinisikan batasan-batasan system
•
Isolasi dan identifikasi aliran arus melewati batas tersebut
•
Identifikasi material yang akan dibuat balance (seimbang) misalnya P, N, O2 dll.
•
Identifikasi proses transformasi yang terjadi didalam ‘sistem pembatas’ yang mempengaruhi keseimbangan massa (mass balance).
Setelah diketahui besaran-besaran tersebut, perlu diamati: •
besarnya proporsi limbah yang masih dapat ditolelir oleh perairan pantai,
•
besarnya pembuangan air tambak,
•
kedalaman tambak,
•
green belt (ditetapkan sejauh 200 meter dari garis pantai)
•
FCR Terjadinya peningkatan aktivitas penggunaan lahan untuk permukiman dan
industri di wilayah pesisir ( khususnya kawasan perkotaan).
memberikan dampak
pada peningkatan paramater BOD, COD, TSS dan kekeruhan serta unsur pencemar lainnya. Peningkatan akan terus bertambah seiring dengan terjadinya konversi lahan di wilayah pesisir bagian daratan. Terjadi peningkatan kadar pencemar tersebut
168
menandakan bahwa terjadi pergeseran penggunaan lahan yang yang signifikan dari lahan mangrove/kawasan lindung menjadi pertanian, industri dan permukiman. Hasil survei di lapangan dan penyebaran kuesioner, menunjukkan bahwa perubahan kualitas air sungai dan laut di lokasi penelitian telah kelihatan secara visual dan sangat dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah pesisir. Hal ini diperkuat oleh 93,5% responden menyatakan merasakan akibat dari pada pendangkalan sungai yaitu dalam bentuk genangan dan banjir. Parameter yang dipertimbangkan dalam kasus perairan pesisir dengan aktivitas pembangunan yang kompleks seperti; panjang garis pantai, tinggi amplitudo rata-rata , kemiringan dasar perairan, jarak dari pantai sampai titik pengambilan air, kedalaman perairan, kecepatan arus, kekeruhan dan salinitas. TSS menjadi penting karena sifatnya yang mempengaruhi akan kelangsungan ekosistem untuk hidup dan berkembang, Bila komposisi jenis konversi lahan yang berkembang sesuai dengan RTRWP adalah tetap maka konversi lahan yang ada di wilayah pesisir menjadi penyumbang TSS ke badan air yang paling dominan, serta penyebab terjadinya pendangkalan sungai sehingga terbentuk delta-delta dan penyebab terjadinya banjir karena penyempitan profil dasar sungai. Faktor-faktor yang menjadi pokok dalam menyusun model perencanaan tata ruang untuk dapat menentukan alokasi pemanfaatan yang optimum, seperti tujuan III Faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan (perairan) dengan sendirinya akan menjadi faktor pokok dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisr adalah : Faktor Kesesuaian Lahan Faktor yang berasal dari unsur lautan berupa : a. Kedalaman perairan, perairan untuk budidaya perikanan sebaiknya bertopografi landai dengan kedalaman 7 – 15 meter dari surut terendah.
169
Kedalaman tersebut untuk mencegah gangguan dari hewan-hewan bentik yang mengifeksi ikan budidaya. b. Sedimen dasar perairan, kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air di atasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh arus maupun gelombang akan membawa
partikel
dasar
ke
permukaan
(upwelling)
yang
akan
menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutupi insang ikan. c. Kecepatan arus, arus air sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa metebolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Kecepatan arus perairan untuk usaha budidaya ikan kerapu berkisar 15 – 25 cm/detik. d. Suhu. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi. Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu antara 27 – 29oC. Suhu perairan sangat penting didalam mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Semakin tinggi suhu perairan maka kecepatan metabolisme ikan semakin tinggi pula dan kebutuhan oksigen juga semakin tinggi. Pada suhu kisaran 5 - 35oC setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan proses dekomposisi bahan organik dan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik menjadi 2- 3 kali lipat. e. Kecerahan air. Kecerahan air tergantung
pada warna dan kekeruhan
merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual.
170
Kecerahan perairan merupakan salah satu indikator untuk menentukan lokasi. f.
Kekeruhan. Kekeruhan atau turbiditas oleh adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam air. Seperti jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah liat dan zat koloid serta benda terapung yang tidak mengendap dengan segera. Untuk budidaya kekeruhan berkisar antara 2 -30 NTU (Nepehlometric Turbidity Unit).
g. Salinitas. Persayaratan osmoregulasi
di dalam tubuh ikan laut sangat
ditentukan oleh salinitas perairan tempat hidupnya. Fluktuasi nilai salinitas yang tinggi sangat mempengaruhi keberhasilan pembesaran ikan. Salinitas untuk budidaya perikanan berkisar antara 30 -31 ppt. h. O2, N, P. Unsur-unsur ini erat kaitannya dengan aktivitas pemanfaatan lahan di wilayah daratan, khususnya aktivitas rumah tangga yang menghasilkan limbah padat, sampah dan deterjen. Nilai koefesien limbah N dan P yang ada diperairan akan mencerminkan jumlah penduduk yang melakukan aktivitas di darat. Faktor yang berasal dari unsur daratan berupa : Aktivitas yang terjadi di wilayah pesisir memberikan dampak pada ekosistem pesisir untuk dapat berproduksi secara optimal. Aktivitas yang dilakukan akan menghasilkan suatu limbah apakah yang berasal dari lahan atas (upland ) atau dari limbah yang dihasilkan oleh aktifitas di perairan. Dekomposisi limbah partikel organik dapat mempengaruhi perubahan fisika, kimia substrat dan kehidupan ekosistem sekitarnya. Pengkayaan materi organik didalam sedimen akan menstimulir aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga dapat menimbulkan
deoksigenasi pada substrat dan kolom air di atas
substrat akibat pengurangan konsentrasi interstial oksigen dan meningkatkan
171
konsumsi oksigen, meningkatkan reduksi sulfat, meningkatkan denitrifikasi, dan meningkatkan pelepasan nutrien organik seperti nitrat, nitrit, ammonium, silikat dan pospat. Limbah nutrien atau organik baik dalam bentuk terlarut maupun tersuspensi ( partikel), berasal dari pakan
yang tidak dimakan dan ekskresi, umumnya
dikarakterisasi oleh peningkatan total suspended solid ( TSS), BOD, COD, kekeruhan dan kandungan C, N, P. Limbah dari sistem budidaya di wilayah perairan pesisir (jaring apung, tambak, rumput laut ) bila memamsuki lingkungan perairan pesisir dan lautan akan mendapatkan perlakukan sebagai berikut; 1) tercecer dan tersebar oleh adukan dan turbelensi arus laut; 2) dipekatkan melalui proses biologis dengan cara diserap ikan, plankton, nabati, dan proses fisik-kimia dengan cara absorbsi, pengendapan dan pertukaran ion, kemudian bahan pencemar itu akan mengendap di dasar perairan; 3) terbawa langsung oleh arus dan ikan. Pola penyebaran bahan pencemar dan polutan lainnya yang berasosiasi sangat tergantung pada luasan sebaran dan ini merupakan berbagai proses yang berbeda mempengaruhi penyebaran dan pengendapan bahan-bahan pencemar. Dari
hal-hal tersebut proses hidrodinamika
perairan menjadi kunci dalam
mempengaruhi keberadaan dan konsentrasi limbah yang masuk dalam lingkungan pesisir. Pengaruh ini akan berbeda-beda untuk setiap lokasi
karena karakteristik
hidrodinamika merupakan respon dari kondisi lokal. Wilayah pesisir dalam bentuk teluk (tertutup)
misalnya akan menyulitkan limbah keluar dari sistem perairan dimana
pembilasan yang digerakan oleh arus laut menjadi lemah, berbeda dengan perairan terbuka. Faktor Daya Dukung Wilayah Perairan Faktor daya dukung wilayah perairan dalam penelitian ini dipresentasikan dalam interaksi parameter-parameter ruang wilayah pesisir yang dikaitkan dengan
172
faktor pembatas lingkungan wilayah pesisir dalam mendukung kegiatan ( aktivitas manusia)
yang berlangsung di wilayah pesisir sesuai dengan jenis pemanfaatan
lahan. Dengan kata lain dikaitkan dengan kemapuan alamiah suata unit pemanfaatan lahan wilayah pesisir agar menghasilkan produksi optimal.
Sesuai dengan tujuan
penelitian ini adalah merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, maka faktor daya dukung meliputi : Kemampuan kapasitas perairan pesisir. Secara alamiah perairan laut mempunyai kemampuan untuk mengencerkan limbah yang masuk ke dalamnya. Kemampuan tersebut mempunyai batasan ( baku mutu) tertentu. Agar daya dukung tetap terjamin, persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu terpeliharanya kuantitas air laut, maupun kualitas air laut
untuk tetap dapat
mempertahankan kapasitas perairan dalam mengencerkan limbah secara alamiah, maka perlu dijaga siklus air yang terjadi di wilayah pesisir tersebut, yaitu dengan membuat luas lahan maksimum yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan daya dukungnya. Oleh karena itu dasar utama dalam penyusunan model perencanaan atat ruang wilayah pesisir
harus memperhatikan pengalokasian ruang
dalam
pemanfaatannya. Hasil analisis yang dilakukan bahwa aktivitas di daratan yang berkontribusi besar adalah kegiatan peternakan rumah tangga. Dengan asumsi jumlah penduduk 205 orang maka limbah rumah tangga yang dikeluarkannya adalah N (1.201,3 kg/th), P ( 485,9). Untuk kegiatan peternakan maka limbah yang dikeluarkan adalah N ( 617,1 kg/th) dan P (568,1 kg/th). Dengan asumsi jumlah N dan P yang masuk tubuh perairan sebanyak 25% dari limbah antrophogenik setelah malelui asimilasi didaratan maka kontribusi limbah dari kegiatan antropogenik adalah 0,25 x 1.201,3 = 300,325 kg/th (N) dan 0,25 x 485,9 = 121,475 kg/th (P) pertahun untuk setiap 205 orang penduduk. Untuk
173
wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Kecamatan Tarumajaya dengan jumlah penduduk 58.554 jiwa akan mengeluarkan limbah yang masuk keperairan yaitu sebesar 85.781,6 kg/th (N) dan 34.696,8 kg/th (P). Kecamatan Babelan dengan jumlah penduduk 96.443 jiwa akan mengeluarkan limbah yang masuk perairan yaitu 141.300,76 kg/th (N) dan 57.148,36 kg/th (P). Kecamatan Muaragembong dengan jumlah penduduk 26.686 jiwa akan mengeluarkan limbah yang masuk perairan yaitu 39.094,99 kg/th
(N) dan 15.813,08 kg/th (P). Jumlah ini dapat
dijadikan dasar dalam pendugaan daya dukung untuk suatu kawasan pesisir berdasarkan pada kesesuaian lahannya. Analisis pendekatan beban limbah total N dan P dan analisis ketersediaan oksigen Konsep kesesuaian lahan berdasarkan pada analisis daya dukung fisik dari ekosistem yang ada diwilayah pesisir merupakan konsep awal dalam rumusan penyusunan model rencana penataan ruang di wilayah pesisir.
Setiap ekosistem senantiasa mengarah pada suatu
keadaan yang seimbang sehingga kesinambungan terjamin. Namun suatu ekosistem mungkin mengalami perubahan-perubahan lantaran bekerjanya faktorfaktor fisik alamiah, dan pengaruhnya sangat besar terhadap manusia. Daya dukung lahan akan mengalami perubahan sehingga terjadi relokasi lahan peruntukan lahan terpilih. Hasil analisis terlihat bahwa peruntukan lahan pertanian, perikanan tambak dan konservasi mengalami penurunan sebesar 4,3 % sampai dengan 6,2 % dari pemanfaatan lahan saat ini. Konversi dari ketiga jenis penggunaan lahan tersebut dikompensasi oleh perubahan lahan industri dan permukiman. Gambaran diatas menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan diwilayah pesisir ( wilayah pesisir Kabupaten Bekasi ) untuk jenis pemanfaatan lahan tambak, pertanian sudah melebih dari luas yang tersedia berdasarkan daya dukungnya.
174
Kemampuan ekosistem wilayah pesisir. Secara alamiah ekosistem wilayah pesisir juga memiliki kemampuan mereduksi limbah yang mengalir ke dalamnya. Elemen yang ada pada ekosistem pesisir adalah hutan mangrove, menyerap limbah
padang lamun dan terumbu karang. Selain mampu
juga berfungsi menjaga kerusakan akibat erosi atau abrasi.
Kedua fungsi tersebut erat kaitannya dengan kondisi perairan wlayah pesisir. Oleh karena itu faktor ekosistem wilayah pesisir merupakan faktor yang menjadi penting dalam proses penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir. Faktor Ekonomi Untuk melakukan perhitungan nilai optimal dari penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi digunakan pendekatan future value. Hal ini penting dalam penyusunan model perencanaan tata ruangnya dimasa yang akan datang. Kondisi eksisting pemanfaatan lahan (penggunaan lahan yang termuat dalam tata ruang wilayah dan kawasan khusus pantai utara kabupaten Bekasi tahun 2003-2013) menjadi kendala. Berarti model optimal berupaya mencari seberapa besar konversi lahan yang dapat ditolerir
dengan menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal.
Sembilan penggunaan lahan yang digunakan dalam model optimalisasi
yaitu;
pertanian (sawah dan tegalan), tambak, perikanan (budidaya jaring apung dan budidaya rumput laut), permukiman, industri, mangrove, pariwisata dan lindung. Luas lahan terpilih berdasarkan maksimal produktivitas dari penggunaannya masing-masing untuk selama 10 tahun 2005, maka model optimalisasi berusaha mencari alokasi yang
optimal
pada
setiap
peruntukan
lahannya.
Dengan
discount
rate
menggambarkan unit rent dari lahan dan pemanfaatan eksisting, sementara batas maksimal penggunaan lahan yang dapat ditolerir sesuai dengan luas lahan pada nilai produktifitas maksimal 10 tahun yang akan datang.
175
Hasil perhitungan dan analisis dengan metoda optimalisasi penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dengan metode total economic
value dengan
beberapa 3 opsi penggunaan lahan dan analisa linier. Repsentasi fungsi tujuan maksimalisasi dari profit dan kendala berupa kondisi eksisiting penggunaan lahan serta kondala konversi, yaitu batasan konversi sebesar 5.780 ha untuk tambak, 2.036 ha untuk pertanian, maka dapat diperoleh nilai optimalisasi maksimal produktifitas dalam kurun waktu 10 tahun penggunaan lahan dengan total economic value (TEV). Analisis pemanfaatan lahan berdasarkan perhitungan TEV yaitu ; 1) tidak terjadi pengurangan daya dukung lahan untuk pengembangan; 2) menunjukkan terjadinya perubahan positif
dalam pemanfaatan lahan optimal maka nilai yang
diperoleh adalah nilai maksimum (objective value) sebesar Rp.652.796.929,- akan dapat dicapai jika perubahan lahan wilayah pesisir, apabila; 1) perubahan penggunaan lahan untuk tambak tidak melebihi 60%; 2) lahan untuk pertanian dapat dikonversi karena kurang produktif kelahan mangrove karena memiliki nilai TEV yang signifikan atau konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Dua analisis pemanfaatan lahan berdasarkan koefisien optimal yang diperoleh dari optimlasisasi. Analisis 1 yakni tidak terjadinya pengurangan daya dukung lahan untuk pengembangan kedepan, menunjukkan
adanya perubahan positif dalam hal
pemanfaatan lahan optimal dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Dari hasil analisis 1 dapat dilihat bahwa pemanfaatan kawasan terpilih
dengan nilai ekonomi yang
maksimum akan dicapai jika perubahan lahan di wilayah pesisir tidak melebihi 4.3 persen dari peruntukan yang ada saat ini tiap tahun. Beberapa aspek penting faktor ekonomi bila dikaitkan dengan pemanfaatan lahan wilayah pesisir adalah :
176
Jenis Penggunaan Lahan wilayah pesisir •
Jenis penggunaan lahan ( permukiman dan pertanian ( sawah dan tambak) akan meningkat pula kadar pencemar seperti BOD. Hal tersebut terjadi karena limah yang dihasilkan dari kegiatan tersebut
sebagian besar adalah limbah
organik dan BOD dapat dipakao sebagai indikator pencemar organik. •
Jenis penggunaan lahan industri akan meningkatkan kadar pencemar COD. Hal tersebut terjadi karena limbah
yang dihasilkan sebagian besar berupa
limbah an-organik dan COD dapat dipakai sebagai indikator pencemar limbah an-organik. •
Peningkatan aktivitas pembangunan akan meningkatkan kadar TSS dan kekeruhan. hal tersebut disebabkan oleh peningkatan kegiatan pembangunan, terutama terjadinya konversi lahan.
Intensitas Penggunaan Lahan wilayah pesisir Intensitas penggunaan lahan dalam faktor penentu dalam proses penataan ruang adalah frekuensi pemanfaatan lahan dalam satu tahun/periode misalnya 1x, 2x dst akan menghasilkan jumlah lmbah yang berbeda pula. Khusus untuk permukiman dan industri perlu ada IMB, KDB dan KLB. Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir seperti tujuan IV: Model proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan ini adalah model konseptual dari setiap analisis analisis kesesuian dan daya dukung lahan, dan analisis
ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan yang direncanakan.
Sesuai dengan konsep dasar yang membedakan rencana tata ruang wilayah pesisir dengan rencana tata wilayah berbasis daratan adalah pada faktor penentu yaitu kesesuaian dan daya dukung wilayah pesisir, maka model perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan secara spasial seperti pada Gambar 37. 38 dan Gambar 42 pada halaman berikut.
177
Proses
identifikasi
yang membedakan karakteristik
dan
perencanaan wilayah yang berbasis daratan dengan perencanaan
permasalahan wilayah pesisir
yang berbasis daratan dan lautan, seperti terlihat pada matrik dibawah ini : Tabel 29 Matrik Perbedaaan mendasar dalam perencanaan wilayah pesisir bila dibandingkan dengan perencanaan wilayah yang berbasis daratan No. Aspek yang Perencanaan Tata Perencanaan Tata Ruang Dikaji Ruang Wilayah Wilayah Pesisir berbasis daratan A. SUBSTANSI 1 Pendekatan - Wilayah daratan - Wilayah pesisir unsur-unsur Perencanaan unsur-unsur dasarnya dasarnya bersifat dinamis ( bersifat statis ( tidak berubah) sulit untuk berubah) lebih mudah didelineasi dan memiliki batas untuk didelineasi dan yang tidak jelas dalam memiliki batas yang pengelolaan jelas dalam pengelolaan. - Fokus perencanaan - Fokus perencanaan pada: pada : 1) karakteristik ekosistem dan 1) sistem kesimbangan aspek permukiman dan biogeofisik-kimia, ekonomi infrastruktur dan sosial, 2) pengembangannya 2) Pengelolaan konflik. tidak terbatas. - Pengembangan aktivitas permukiman dan infrastruktur terbatas.
2
Wilayah Perencanaan
- Pengelolaan dan penguasaan sumberdaya bersifat private, public hingga open acsess.
- Pengelolaan dan penguasaan sumberdaya bersifat open acsess
- Paramater utama dalam pemanfaatan kawasan adalah aspek fisik berupa kemiringan lahan dan unsur daratan lainnya - Karena dasar utama adalah aktifitas permukiman (ManMade Capital) dalam penentuan kawasan maka wilayah perencanaan adalah berdasarkan pada
- Paramater utama dalam pemanfaatan kawasan adalah aspek fisik berupa kondisi perairan air laut dan keterkaitan antara unsur lautan dan daratan. - Karena dasar utama adalah karakteristik ekosistem, maka wilayah perencanaan ditentukan oleh daya dukung dan kesesuaian lahan serta keterkaitan antara wilayah bagian darat dan laut
178
3
Parameter yang digunakan
4
Orientasi Perencanaan
5
Alokasi Ruang
wilayah administratif - aspek fisik dasar berupa ketinggian lahan, kemiringan lereng, kondisi lapisan tanah dan tingkat kerawanan terhadap bencana banjir ( UU 26/2007, dan Kepres No.57/1999 - menngetahui potensi dan kendala yang ada diwilayah perencanaan dalam rangka kegiatan oemanfaatan ruang - Kawasan pesisir dianggap sama dengan kawasan darat - Pembagian alokasi ruang berdasarkan pada kepentingan pertumbuhan ekonomi
- Pola dan struktur ruang berdasarkan pada aktifitas budidaya (sarana dan prasarana buatan) - Kawasan dibagi atas Lindung dan Budidaya Sumber : Hasil analisis, 2007
- aspek biogeofisik dan kimia unsur daratan dan lautan (lahan, air dan biota) - Variabel geo-fisika kimiawi, yaitu pola arus, gelombang, pasang-surut, serta kualitas fisika dan kimia air laut. - Variabel lingkungan hayati yaitu; kualitas perairan sungai, pantai dan laut. - Pertimbangan terhadap keterkaitan wilayah daratlaut. - Daya dukung perairan sangat menentukan dalam pemanfaatan ruang
- Alokasi ruang dilakukan secara proporsional berdasar kan pada pertimbangan daya kesesuaian dan dukung lahannya. - Kawasan dibagi berdasarkan pada karakteristik ekosistem dan zona pemanfaatan diantaranya: - zona preservasi - zona konservasi - zona pemanfaatan
179
Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir
Valuasi Ekonomi
Daya Dukung Wilayah Pesisir
Kesesuaian Lahan wilayah Pesisir
Ekologi dan Ekonomi
Aktivitas Pembangunan
Trade off ekonomi dan daya dukung Kualitas lingkungan
Keseimbangan ekologi
Pembanfaatan lahan optimal
Keterbatasan Lahan
Gambar 38 Hubungan unsur-unsur dalam model Perencanaan Tata Ruang W ilayah Peisisir
•UU No.26/2007 •UU No.27/2007 •UU No.32/2004
Wilayah Pesisir
Analisis Kesesuaian Lahan
Matrik Kesesuaian Lahan
Peta Kesesuaian Lahan
Analisis Daya Dukung
Daya Dukung Perairan dan Lahan
Peta Daya Dukung Perairan dan
Analisis Ekonomi
Valuasi Ekonomi
Peta Valuasi Ekonomi
ANALISIS GIS Limbah
Menipisnya SDA WP Sedimentasi dan Kerusakan Pantai
Terjadi Pencemaran Over Eksploitasi
AKTIVITAS PENDUDUK
Abrasi
Kerusakan Ekosistem Reklamasi
Gambar 39 Model Proses Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir
OVERLAY
Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir
180
Untuk pemanfaatan lahan industri dan pertanian pada dasarnya sama dengan pemanfaatan wilayah perairan. Penekanan penting untuk industri adalah jumlah akumulasi limnah indutri yang masuk ke tubuh perairan pesisir. Sedangkan untuk pertanian didasarkan pada frekuensi masa tanam dan jenis pupuk yang dihasilkan. Untuk lahan permukiman mengacu pada 30% kawasan lindung. Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi
Berdasarkan pada analisa kesesuaian lahan, daya dukung lahan dan valuasi ekonomi lahan, maka dapat dirumuskan bahwa rencana pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Bekasi. Rencana pemanfaatan ruang yang direncanakan secara fisik memenuhi nilai daya dukung dan kesesuaian lahan dan secara ekonomi memberikan nilai yang optimal. Sehingga perhitungan dalam penentuan rencana tata ruang sangat memperhatikan daya dukung dan nilai ekonomi yang dapat disumbangkan untuk peningkatan pendapatan wilayah. Rencana pemanfaatan lahan tersebut adalah sebagai berikut : Rencana pemanfaatan untuk kawasan Konservasi dan Preservasi. Pemanfaatan lahan bagi Kawasan Lindung merupakan pokok dasar dalam pemanfaatan lahan bagi kawasan lindung. Rencana persediaan tanah
sebagai
rencana dasar yang menggambarkan kawasan yang dilarang diusahakan (kawasan lindung). Pemanfaatan lahan pada kawasan lindung di kawasan diarahkan untuk dapat mengatasi kerusakan wilayah pesisir semakin lama semakin bertambah serta menyelesaikan permasalah tumpang tindih dan konflik penggunaan lahan. Adapun rencana pemanfaatan lahan wilayah pesisir untuk kawasan hutan lindung adalah: Rencana pemanfaatan lahan untuk kawasan hutan lindung berfungsi sebagai penyangga kawasan kawasan budi daya intensif (tambak, pertanian, industri,
181
pariwisata dan budidaya perikanan laut). Penggunaan tanah pada kawasan kawasan lindung yang bersifat sebagai penyangga kawasan budi daya karena itu perlu disertai dengan upaya-upaya konservasi tanah secara ketat. Luas lahan ntuk konservasi adalah sebesar 6,46 %. Rencana pemanfaatan untuk kawasan Budidaya Penggunaan tanah di kawasan budi daya yang bersifat intensif pada dasarnya lebih longgar dengan mempertimbangkan azas konvertibilitas penggunaan tanah. Meskipun demikian pengalihan antar penggunaan (dari yang kurang intensif ke tingkat yang lebih intensif) seperti dari pertanian ke permukiman dan industri, dari hutan lindung ke tambak, perlu dikendalikan melalui mekanisme perijinan (pencadangan tanah, perijinan lokasi). Pemanfaatan lahan pada kawasan budi daya dibedakan menurut tingkat pemanfaatan ruang kawasan, yaitu bersifat sebagai penyangga kawasan lindung di kawasan budi daya intensif (tambak, pertanian, industri, pariwisata, pelabuhan ). Disamping itu juga digunakan untuk pertambangan, pariwisata dan rencana pengembangan kawasan pelabuhan umum dan perikanan. Secara garis besar penggunaan lahan kawasan terbagi dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu permukiman, tambak, pelabuhan umum dan pelabuhan perikanan, budidaya perairan, pariwisata dan konservasi, dan industri. Kawasan
ini
berada
pada
kawasan
yang
secara
kesesuaian
dapat
diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu sangat sesuai, sesuai dan sesuai bersyarat. Rencana kawasan budidaya perikanan terdapat merata disepanjang wilayah pesisir kabupaten Bekasi. Hanya Kecamatan Tarumajaya yang tidak sesuai untuk pengembangan budidaya jaring apung. Hal ini disebabkan oleh karena di kawasan ini tingkat pencemaran tinggi akibat berkembangnya industri. Wilayah yang sangat sesuai adalah terdapat di wilayah perairan Kecamatan Muaragembong.
182
Penggunaan lahan terbangun telah mengalami perkembangan dengan munculnya kawasan-kawasan perumahan baru yang dibangun oleh developer/pengem-bang, maupun yang dibangun secara tradisional oleh masyarakat. Perkembang-an ini juga diikuti oleh bertambahnya sarana dan prasarana pendukung, seperti lapangan terbuka, fasilitas sosial, perkantoran dan jaringan jalan, meskipun perkembangannya masih sangat sedikit. Kajian komponen sosial-ekonomi dan sosial budaya masyarakat wilayah pesisir ditentukan berdasarkan pada struktur sosial yang meliputi struktur perekonomian setempat, struktur penguasaan sumberdaya, dan interaksi sosial pada kelompokkelompok masyarakat. Lingkup kajian aspek sosial-ekonomi dan sosial-budaya didasarkan pada valuasi nilai ekonomi sumberdaya dan prakiraan perubahan bentang alam, terutama pada areal daratan pantai dan kondisi air laut. Adapun lingkup kajian dampak kegiatan meliputi area di wilayah pesisir untuk kegiatan perbaikan dan pembangunan permukiman, pembangunan prasarana kegiatan usaha dan pembinaan usaha, dan pengembangan wilayah wisata bahari. Pemanfaatan lahan pada kawasan budi daya di kawasan perencanaan dilakukan sebagai berikut : •
Pemanfaatan lahan pada kawasan budi daya yang bersifat sebagai penyangga kawasan lindung di atasnya perlu disertai dengan upayaupaya konservasi tanah secara ketat.
•
Pemanfaatan lahan di kawasan budi daya yang bersifat intensif pada dasarnya lebih longgar dengan mempertimbangkan azas konvertibilitas penggunaan tanah. Meskipun demikian pengalihan antar penggunaan (dari yang kurang intensif ke tingkat yang lebih intensif) perlu dikendalikan
melalui
perijinan lokasi).
mekanisme
perijinan
(pencadangan
tanah,
183
Permukiman Pembangunan permukiman hendaknya dilakukan dengan tetap memperhatikan lingkungan permukiman yang memenuhi syarat permukiman, bagi semua lapisan masyarakat, dengan cara mengatur besar kapling dan daya tampung kawasan itu sendiri. Rencana ini terutama untuk kawasan yang sudah direncanakan. Untuk wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dengan sector perdesaan,
pembangunan
permukiman
paling
tidak
hendaknya
tetap
memperhatikan faktor keteraturan lingkungan serta kesehatan lingkungan dan bangunan. Pembangunan perumahan hendaknya dilakukan dengan tetap memper-hatikan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat perkotaan, bagi semua lapisan masyarakat, dengan cara mengatur besar kapling dan daya tampung kawasan itu sendiri. Kebijakan ini terutama untuk kawasan perkotaan di kawasan perencanaan. Untuk kawasan perdesaan, pemba-ngunan perumahan paling tidak hendaknya tetap memperhatikan faktor keteraturan lingkungan serta kesehatan lingkungan dan bangunan. Luas lahan ntuk permukiman adalah sebesar 14,72 %. Industri Rencana
pembangunan
industri
hendaknya
memperhatikan
kelestarian
lingkungan alam dan dampak lingkungan, di samping pertimbangan ekonomis. Oleh karena itu, pengendalian dampak yang timbul dari kegiatan industri perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Industri Pembangunan industri hendaknya memperhatikan kelestarian lingkungan alam dan dampak lingkungan, di samping pertimbangan ekonomis. Oleh karena itu, pengendalian dampak yang timbul dari kegiatan industri perlu mendapat
184
perhatian yang sungguh-sungguh. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan industri adalah 8,12 % dari luas wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Pelabuhan Rencana pemanfaatan lahan untuk pelabuhan hendaknya dilakukan dengan berdasarkan pertimbangan aspek dasar, sehingga tidak menjadi investasi yang tak mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan yang sudah lebih dahulu ada di Kawasan Pantura Jakarta. Dengan fungsinya sebagai inlet dan outlet, khususnya bagi kegiatan industri dan perdagangan, pengembangan pelabuhan di Kawasan Pantura Bekasi hendaknya tidak membatasi pelayanannnya bagi Kota Jakarta, namun hendaknya dapat memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat di luar Kabupaten Bekasi. Pembangunan pergudangan dan terminal peti kemas di Kawasan Pantura Bekasi hendaknya dilakukan dengan memperhatikan guna lahan dan dukungan prasarana jalan yang ada di sekitarnya, sehingga tidak menimbulkan gangguan dan kemacetan lalu-lintas. Pengembangan
pelabuhan
hendaknya
dilakukan
dengan
berdasarkan
pertimbangan yang masak, sehingga tidak menjadi investasi yang tak mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan yang sudah lebih dahulu ada di Kawasan Pantura Jakarta. Dengan fungsinya sebagai inlet dan outlet, khususnya
bagi
pelabuhan
di
kegiatan
Kawasan
industri
Pantura
dan
perdagangan,
Jakarta
hendaknya
pengembang-an tidak
membatasi
pelayanannnya bagi Kabupaten Bekasi saja, namun hendaknya dapat memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat di luar Kabupaten Bekasi. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan pelabuhan adalah 6,32
185
% untuk Pelabuhan umum dan 2,,74% untuk pelabuhana perikanan. dari luas wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Pariwisata Pengembangan pariwisata di kawasan perencanaan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan norma-norma budaya setempat, serta sejauh mungkin menggunakan sumber daya yang tidak berdampak pada kebo-coran ekonomi ke luar negeri. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan pariwisata adalah 3,82 % dari luas wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Tambak Rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan tambak di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi berdasarkan daya dukung tidak terlalu luas kawasan yang bisa dikembangkan berada di Kecamatan Muaragembong. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan tambak adalah 6,56 % dari luas wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Pertanian Luas lahan untuk pertanian seperti sawah, kebun campuran, tegalan dan tambak rakyat yang mencapai luas 34,17 % dari luas wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, Budidaya Perikanan Laut Luas untuk budidaya perikanan terutama jaring apung atau keramba mencapai 17,3 % dari luas wilayah pesisir Kabupaten Bekasi Berdasarkan
luas
wilayah
yang
direncanakan
dengan
dasar
analisis
kesesuaian lahan, daya dukung dan valuasi ekonomi yang kemudian dibandingkan dengan kondisi eksisting dari setiap pemanfaatan lahan seperti digambarkan pada Gambar 39 sampai dengan Gambar 42 berikut :
186
Re ncana Pe m anfaatan Lahan Wilayah Pe s is ir Be rdas ark an Ke s e s uaian Lahan (ha)
2,479 Permukiman
3154
440 2,469
3116 2428
Industri Pelabuhan Umum Pelabuhan Perikanan Pertanian
6,574
315
Budidaya Laut Tambak Pariw isata
11,244
Konservasi
Gambar 39 Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan Kesesuaian Lahan (ha) Rencana Pem anfaatan Lahan Wilayah Pesis ir Berdasarkan Daya Duk ung (ha)
744 340
Permukiman
2,194
Industri
751.415
Pelabuhan Umum
935
1,972
Pelabuhan Perikanan Pertanian
728 315
Budidaya Laut Tambak Pariw isata Konservasi
3,935
Gambar 40
Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan Daya Dukung Lahan (ha) Kondis i Eksisting Pem anfaatan Lahan Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi (ha)
413 232 Permukiman
837.692
Industri Pelabuhan Umum
5,764
8,921
Pelabuhan Perikanan Pertanian Budidaya Laut Tambak
1,244 315
Gambar 41
Pariw isata
2,178
656
Konservasi
Rencana Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir Berdasarkan Kondisi Eksisting
187
LA UT JA WA
Tg.K AR AWANG
PANTAIB AH AGIA
PANTAIBAKTI
PANTURA KAB.BEKASI Tg. GEMB ON G
KAB. KARAW ANG
PANTAISED ER HAN A PANTAIME KA R
MUARAGEM BONG
JAYA SAKT I
PAN TA IHARAPAN JA YA
TEL UK JAKARTA
PAN TA IH UR IP HU RIPJAYA
MARUNDA
KEC.C ILINCIN G PANTAIMAKM UR SEGAR AM AKMUR
BU NIBAKTI
MU AR AB AK TI
TARU MA JAYA SAMUD RAJA YA
PAH LA WANSE TI A SET IAMULYA KEDUNGPEN GAWAS KED UNGJAYA
DKI JAK ART A BABELANKOTA PUSAKAR AK YAT SETIASIH BABELAN
BAH AGIA KAB ELAN
KOT A BEK ASI KE TERANG AN
A. R EN CANA TAT A RU AN G PE RAIRAN WILAYAH P ESIS IR Bud idaya Pe rikanan Prioritas 1 Bud idaya Perikanan Prioritas 2 Bud idaya Perikanan Prioritas 3 B. R EN CANA TAT A RU AN G WILAYA H DARAT AN PES ISI R Hutan Lin dun g Prioritas 1 Hutan Lin dun g Prioritas 2 Hutan Lin dun g Prioritas 3 Pertanian Prioritas 1 Pertanian Prioritas 2 Pertanian Prioritas 3 Permukim an Prioritas 1 Permukim an Prioritas 2 Permukim an Prioritas 3 Ind ustri Pariwisata Pelabuhan Perikanan Pelabuhan Umum Tambak
C. KETE RA NG AN R ELIEF D AN T ITIK Jalan Tol Jalan Prime r Sun gai
Laut Jawa
Arah Arus
P ET A RENC ANA TA TA RUA NG W IL AYAH PE SISIR K AB UP ATE N BEK ASI
D. BATA S AD MINISTR ASI Kab upa te n Karawang Kota Be kasi Provinsi D KI Jakarta Wila ya h N on Stud y Bata s Kecam at an Bata s Pro pinsi
Samudera Hindia
Teluk Ja kar ta
U
0.7
0
0.7
1.4 M ile s
Site Plane Dermaga Sum be r : 1. B a kosu rta na l Pe ta Sk ala 1 : 25.000 2. B PL H D T ahun 2 001 3. P et a La ut Nu sa nt ara 4. B a peda lda D KI J akarta
Gambar 42 Model Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi
188
KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini merupakan kesimpulan dari temuan-temuan penelitian, kontribusi penelitian dalam pengembangan ilmu perencanaan dan wilayah pesisir, implikasi
pengelolaan
penelitian bagi bidang terkait serta keterbatasan studi
yang perlu penelitian-penelitian lebih lanjut. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ada beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh sesuai dengan permasalahan tujuan penelitian dan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Berdasarkan pada hasil temuan dan pembahasan dari penelitian ini maka wilayah pesisir dapat diklasifikasikan berdasarkan pada analisis dari setiap satuan lahan diperoleh kesesuaian lahan, daya dukung dan unsur-unsur yang terkandung didalamnya yaitu; a) pasut dan tinggi gelombang; b) kecepatan arus; c) aksessibilitas; d) amplitudo; e) ketgerlindungan; f) pH; g) suhu; dan i) salinitas. 2. Analisis dasar berdasarkan pada karakteristik lahan di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kecendrungan yang terjadi saat ini akan terus berlanjut dimasa akan datang dan secara kesesuaian lahannya akan terjadi pergeseran dengan adanya intervensi dalam kebijakan pengunaan dan pemanfatan lahan di wilayah pesisir. Hal yang mendasari karakteristik kesesuaian lahan dan daya dukung lahan. 3. Parameter yang mempengaruhi kualitas lingkungan (perairan) dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah faktor-faktor biofisika, kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Parameter-parameter dimaksud adalah :
189
a. Kedalaman perairan, Sedimen dasar perairan, Kecepatan arus, Suhu. Kecerahan air. Kekeruhan. Salinitas. O2, N, P. Unsur-unsur ini erat kaitannya dengan aktivitas pemanfaatan lahan di wilayah daratan, khususnya aktivitas rumah tangga yang menghasilkan limbah sampah dan deterjen. Nilai koefesien limbah
padat,
N dan P yang ada
diperairan akan mencerminkan jumlah penduduk yang melakukan aktivitas di darat. b. Sedangkan parameter-parameter yang menentukan pemanfaatan lahan wilayah pesisir berdasarkan pada kesesuaian lahannya adalah : •
Pasut dan Tinggi Gelombang
•
Kecepatan Arus
•
Aksesibilitas
•
Amplitudo
•
Keterlindungan
•
pH
•
Suhu
•
Salinitas
4. Penghitungan daya dukung ini dilandaskan kepada kemampuan periran untuk mengencerkan limbah. Parameter yang dipertimbangkan dalam kasus perairan pesisir dengan aktivitas pembangunan yang kompleks seperti; panjang garis pantai, tinggi amplitudo rata-rata , kemiringan dasar perairan, jarak dari pantai sampai titik pengambilan air,
kedalaman perairan,
kecepatan arus, kekeruhan dan salinitas. 5. Faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan (perairan) dengan sendirinya akan menjadi faktor pokok dalam penyusunan model perencanaan tata ruang wilayah pesisr adalah :
190
Faktor Kesesuaian Lahan a. Faktor yang berasal dari unsur lautan berupa; kedalaman perairan, sedimen dasar perairan, kecepatan arus, suhu, kecerahan air, salinitas, kadar O2, N, P. b.
Faktor yang berasal dari unsur daratan berupa; aktivitas yang terjadi di wilayah pesisir. Aktivitas yang dilakukan akan menghasilkan suatu limbah apakah yang berasal dari lahan atas (upland ) atau dari limbah yang dihasilkan oleh aktifitas di perairan. Limbah nutrien atau organik adalah dalam benupa TSS, BOD, COD, kekeruhan dan kandungan C, N, P.
c. Pola penyebaran bahan pencemar dan polutan lainnya yang berasosiasi sangat tergantung pada luasan sebaran dan ini merupakan berbagai proses yang berbeda mempengaruhi penyebaran dan pengendapan bahan-bahan pencemar. d. Proses hidrodinamika
perairan menjadi kunci dalam mempengaruhi
keberadaan dan konsentrasi limbah
yang masuk dalam lingkungan
pesisir. Pengaruh ini akan berbeda-beda untuk setiap lokasi
karena
karakteristik hidrodinamika merupakan respon dari kondisi lokal. Wilayah pesisir dalam bentuk teluk (tertutup) misalnya akan menyulitkan limbah keluar dari sistem perairan dimana pembilasan yang digerakan oleh arus laut menjadi lemah, berbeda dengan perairan terbuka. Faktor Daya Dukung Wilayah Perairan Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah merumuskan model perencanaan tata ruang wilayah pesisir, maka faktor daya dukung meliputi : a. Kemampuan kapasitas perairan pesisir. Secara
alamiah
perairan
laut
mempunyai
kemampuan
untuk
mengencerkan limbah yang masuk ke dalamnya. Kemampuan tersebut
191
mempunyai batasan ( baku mutu) tertentu. Agar daya dukung tetap terjamin, persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu terpeliharanya kuantitas air laut, maupun kualitas air laut. Oleh karena itu dasar utama dalam penyusunan model perencanaan atat ruang wilayah pesisir
harus
memperhatikan pengalokasian ruang dalam pemanfaatannya. b. Kemampuan ekosistem wilayah pesisir. Ekosistem akan mereduksi limbah yang mengalir ke dalamnya. Elemen yang ada pada ekosistem pesisir adalah hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Oleh karena itu faktor ekosistem menjadi penting dalam proses penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir. Faktor Ekonomi a. Untuk melakukan perhitungan nilai optimal dari penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Bekasi digunakan pendekatan future value. Analisis pemanfaatan lahan berdasarkan perhitungan TEV yaitu ; 1) tidak terjadi pengurangan daya dukung lahan untuk pengembangan; 2) menunjukkan terjadinya perubahan positif
dalam pemanfaatan lahan
optimal maka nilai yang diperoleh adalah
nilai maksimum (objective
value) sebesar Rp.652.796.929,- akan dapat dicapai jika perubahan lahan wilayah pesisir, apabila; 1) perubahan penggunaan lahan untuk tambak tidak melebihi 60%; 2) lahan untuk pertanian dapat dikonversi karena kurang produktif kelahan mangrove karena memiliki nilai TEV yang signifikan atau konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri. b. Beberapa
aspek
penting
faktor
ekonomi
bila
dikaitkan
dengan
pemanfaatan lahan wilayah pesisir adalah : Jenis Penggunaan Lahan wilayah pesisir •
Jenis penggunaan lahan ( permukiman dan pertanian ( sawah dan tambak) akan meningkat pula kadar pencemar seperti BOD. Hal
192
tersebut terjadi karena limah yang dihasilkan dari kegiatan tersebut sebagian besar adalah limbah organik
dan BOD dapat dipakao
sebagai indikator pencemar organik. •
Jenis penggunaan lahan industri akan meningkatkan kadar pencemar COD. Hal tersebut terjadi karena limbah yang dihasilkan sebagian besar berupa limbah an-organik dan COD dapat dipakai sebagai indikator pencemar limbah an-organik.
•
Peningkatan aktivitas pembangunan akan meningkatkan kadar TSS dan kekeruhan. hal tersebut disebabkan oleh peningkatan kegiatan pembangunan, terutama terjadinya konversi lahan.
6. Model proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang dihasilkan ini adalah model konseptual dari setiap analisis analisis kesesuian dan daya dukung lahan, dan analisis ekonomi dari setiap pemanfaatan lahan yang direncanakan. Sesuai dengan konsep dasar yang membedakan rencana tata ruang wilayah pesisir dengan rencana tata wilayah berbasis daratan adalah pada faktor penentu yaitu kesesuaian dan daya dukung wilayah pesisir. Dalam penelitian ini model tersebut adalah berupa model analog. 7. Alokasi
ruang
dilakukan
secara
proporsional
berdasarkan
pada
pertimbangan daya dukung dan kesesuaian lahannya, sehingga wilayah pesisir dibagi atas tiga kawasan zona pemanfaatan diantaranya ; zona preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan. 8. Hasil analisis dari karakteristik fisik wilayah pesisir Kabupaten Bekasi, maka wilayah pesisir Kabupaten Bekasi dapat diklasfikasikan atas : a. Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SANGAT SESUAI, yaitu; Luas lahan untuk pelabuhan perikanan adalah 315 ha, tambak adalah 2.469 ha, jaring apung dengan luas adalah 5.903 ha.
193
b. Penggunaan lahan dengan tingkat kesesuaian lahan SESUAI, yaitu; Wilayah pesisir yang memiliki lahan yang sesuai untuk fungsi permukiman adalah seluas 3.156 ha, pertanian seluas 11.244 ha, pelabuhan umum adalah 2.178 ha, budidaya rumput laut adalah 671 ha dan Industri seluas 656 ha. c. Penggunaan
lahan
dengan
tingkat
kesesuaian
lahan
SESUAI
BERSYARAT, yaitu; Kesesuaian peruntukan fungsi pariwisata tergolong spesifik. Estetika lokasi merupakan faktor-faktor penentu, baik alami maupun buatan manusia. Namun jika itu bisa terpenuhi maka pengembangan pariwisata pantai dapat dikembangkan. Wilayah yang sesuai bersyarat untuk pariwisata seluas
440 ha, dan lahan untuk
kawasan lindung dan konservasi adalah 2.479 ha. 9. Peningkatan kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan rencana tata ruang memberikan konsekuensi pada terjadinya konversi penggunaan lahan dari lahan lindung menjadi budidaya, lahan pertanian menjadi lahan permukiman, industri dan lainnya. Analisis Kebijakan penataan ruang di wilayah pesisir sebagai dasar dalam penyusunan model perencanaan tata ruang perlu dilihat dari setiap fungsi pemanfaatan dalam tata ruang dengan dampaknya terhadap kondisi ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang bersangkutan, maka : a. Peningkatan aktivitas masyarakat di darat memberikan dampak pada peningkatan
kadar
pencemaran,
yaitu
semakin
tingginya
kadar
BOD,COD, TSS dan kekeruhan. b. Terjadinya peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman dan industri dari 16.848 ha
tahun 2002 menjadi 17.417 ha
tahun 2005.
memberikan dampak pada peningkatan paramater BOD dan COD yaitu : 20,88 dan 16,5 (Tahun 2006) menjadi 33,2 dan 204,0 (Tahun 2007).
194
Peningkatan aktivitas masyarakat di wilayah bagian daratan pesisir yang dicirikan dari peningkatan konversi lahan melalui peningkatan luas penggunaan lahan bagi sektor permukiman, industri dan perikanan ternyata mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yaitu terjadinya peningkatan kadar pencemaran oleh parameter BOD,COD, TSS
dan
Kekeruhan. c. Di perairan terjadinya peningkatan zat pencemar
sejalan dengan
penurunan luas lahan mangrove dan non-mangrove secara linier hal tersebut mengindikasikan bahwa ada kaitan antara berkurangnya luas lahan mangrove dan lahan basah dengan peningkatan kadar pencemar. Hal tersebut disebabkan salah satu fungsi ekologis hutan mangrove dan lahan basah
yaitu kemampuan mengecerkan dan mendegredasikan
limbah juga berkurang.
Saran 1. Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu perencanaan dengan menambah konsep baru tentang perencanaan tata ruang wilayah pesisir mepertimbangkan karaktersitik ekosistem wilayah pesisir dalam konteks perencanaan wilayah yang berbasis pada wilayah daratan dan wilayah lautan. Konsep tersebut merupakan upaya untuk mencari model perencanaan baru yang selama ini masih berorientasi pada perencanaan wilayah daratan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam suatu kegiatan
penataan ruang wilayah pesisir, sehingga ada perbedaan yang
mendasar dalam penataan ruang wilayah pesisir dengan wilayah daratan yang selama ini kita gunakan. Perencanaan ini dapat digunakan dalam menyiapkan RTRW Propinsi, Kota dan Kabupaten yang berbasis pada wilayah pesisir
195
(lautan). Temuan penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir selanjutnya.
3. Keterbatasan Penelitian dan Pengembangan Lebih Lanjut. Ada beberapa kendala yang ditemuai dalam penelitian ini, yaitu: 1)Ketersediaan data sekunder; 2) keterbatasan waktu dalam pengumpulan data primer, khususnya data primer yang
berkenaan dengan eksostem laut; 3) keterbatasan referensi dan
pengetahuan peneliti akan filosofi ilmu kelautan. Oleh karena itu perlu penelitian lanjutan yang melibatkan beberapa disiplin ilmu terkait.
DAFTAR BACAAN Ade SN.Hang Tuah dan Ofyar. 1999. Analisis Kebutuhan Model Interaksi Tata Guna Lahan dan Transportasi Studi Kasus Kota Bandung. Adrianto, 2005. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Pesisir. PKSPL IPB Bogor Alonso W.1970. Locations and Land use. Toward a General Theory of Land Rent. Harvard University Press.Cambridge. Anwar, A. 2000. Perspektif Otonomi Daerah dan Federasi dalam Pembangunan Indonesia di Masa Depan. Makalah Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Otonomi Daerah dan wacana Federasi. Otonomi Daerah, Jakarta Anwar, A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan Non Pertanian di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jornal Perencanaan Wilayah dan Kota No.10 TriwulanIV. Bandung. Arceivela, S.J., 1981 Waste Water Treatment and Disposal : Engineering and Ecology in Pullution Control, Mareel Dekker, New York. …………………… “Defining, Measuring And Evaluating Carrying Capacity In European Tourism Destinations”, 2001) Coutrier, P.L. 1996AMDAL Bagi Kawasan Pemukiman Dan Industri Untuk Memelihara Ketersediaan Air Di Perkotaan. Auke Bay Laboratory, Alaska Fishery Science Center, 1999. Defining, Measuring And Evaluating Carrying Capacity In European Tourism Destinations”, 2001) Arsyad S.1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Bogor Barbier, E. B. Acreman, M. C. and Knowler, D. 1996. Economic Valuation of Wetlands : A guide for Policy Makers and Planners. Ramsar Convention Bureau, Gland, Switzerland. Bapedalda DKI, (1999). Analisis Dampak Lingkungan Kawasan Pantura DKI Jakarta dalam Rangka Reklamasi dan Revitalisasi. Pemda DKI. Barton, D. N.
1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR Report 14/1994. University I. Bergen. Norway.
Bengen, Dietrik, 2002. Pengelolaan Hutan Mangrove, IPB Bogor. Bell, F and A. Cruz-Trinidad. 1966. Options for Mangrove Management in the Gulf of Guayaquil, Equador. In. A. Cruz-Trinidad (ed) Valuation of Tropical Coastal Resources: Theory and Aplication of Linear Programming. ICLARM, Manila Philippine.
197
Boer.M.,K.A.Aziz.1995. Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi. Jurnal Ilmu-ilmuPerairan dan Perikanan Indonesia.IPB Darmaga Bogor.1660.Indonesia. Clawson, M. and Knetsh, J. 1996. Economic of Outdoor Recreation. Hopkins University. Press. Baltimore.
John
Drapper, N.R. and Smith.1981.Applied Regression Analysis. John Willy & Sons.Inc.Ny.USA. Davis, R. 1963. Recreation Planning as an Economic Problem. Natural Resource Journal. 3. 239-249. Dixon, J.A., R.A. Carpenter, L.A. Fallon, P.B. Sherman, and S. Manipomoke. 1988. Economic Analysis of the Enviromental Impact of Development Projects. Third ed., London : Earthscan Dupuit, J. 1952. ‘On the Measurement of the Utility of Public Works’, reprinted in International Economic Papers, No. 2, London : Macmillan. Dudewics, J.Edward and Mishra,N.Satya 1995. Modern Mathematical Statistisc Modern. ITB Bandung, (Terjemahan). Dinas Pemetaan dan PengukuranTanah, Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan Dinas Hido-Oseanografi, Survey Gelombang Dan Arus Di Perairan Pantai Utara Jakarta tahun 2001. Dinas Pemetaan dan PengukuranTanah, Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan Dinas Hido-Oseanografi, Survey Penyatuan Sistem Kerangka Vertikal Dikaikan Dengan MSL di Sepanjang Pantura, 2001 Djajadiningrat,
Suma T., Harry Harsono Amir, Penilaian Secara Cepat Sumbersumber Pencemaran Air, Tanah Dan Udara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1990
Eckstein, O. 1958. Water-Resources Development : The Economic of Project Evaluation. Cambridge, Mass : Harvard University Press. Edgar M.Hoover anda Frank Giarratani. 1985. An Intruduction to Regional Economics. Alfred A.Knopf,New York. Fauzi, Akhmad, dan Anna , Susi 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT SUN Jakarta. Fauzi,
Akhmad,
1999. Teknik Valuasi Ekosistem Magrove. Bahan pelatihan“Management for mangrove forest rehabilitation. Bogor, Oktober 1999.
198
Griliches, Z. 1971. Price Indexes and Quality Change. Cambridge MA : Harvard University Press. Gordon,H.S.1954 The Economic Theory of a Common Property Resources. The Fishery. Journal of Political Economy 62,124. Hutching, P. And Saenger, P, 1987. Ecology Of Mangrove, Australia Series, University of Queensland Press. Khazali, M., 1996. Hutan Bakau habitat Utama Burung Air Migran, Warta Konservasi Lahan Basah, Vol 5(2) : 14.
Krentel, Peter A.,et at., Water Quality Management, Academic Press, New York, 1980 Hammonnd, R. J. 1958. Benefit-Cost Analysis and Water Pollution Control. Standford, Calif. : Stanford University Press. Hufschmidt, M. M., D. E. James., A. D. Meister., B. T. Bower and J. A. Dixon. 1983. Enviroment, Natural Systems and Development : An Economic Valuation Guide. Johns Hopkins University. Press. Baltimore. Higgins, B. 1978. “Development Poles: Do They Exist?”. Growth Pole Strategy and regional Development Policy. In Lo. F. and S. Kamal. Pergamon Press. -------------. 1980. “Planning Regional Development: Art, Science, or Phylosophy? The Challenge of the 1980s.” Training for Regional Development Planning. In Mathur, O.P. UNCRD Development Series, Vol IX. Maruzen. Singapore. IHD-WHO, 1978. Water Quality Surveys : A Guide For The Collection And Interpretion Of Water Quality Data, Unesco/WHO, UK. Inglish et al. (2000) Measuring And Evaluating Carrying Capacity In European Tourism Destinations”, Auke Bay Laboratory, Alaska Fishery Science Center. Kennedy, O.S.Jhon. 1986. Dynamic Programming. Aplications to Agricultural and Natural Resources. Elsevier Applied Sciense Publishers, London and New York. Kerry R.Turner
and Iann,J.Bateman. 2001 Water Resources and Coastal management. An Elgar Reference Coillection,Cheltenham, UK.Northampton,MA,USA.
Kuhn, T.S. 1970. The structure of scientific revolutions. 2nd ed., Chicago, Chicago Univ. Press.
199
Krutila, J. 1967. Conservation Reconsidered. American Economic review. 57, 787-796. Krutilla, J., and O. Eckstein. 1958. Multiple Purpose River Development : Studies in Applied Economic Analysis. Baltimore : Johns Hopkins Press. Lancaster, K. J. 1966.”A New Approach to Consumer Theory” Journal of Political Economy 74 : 132-157 McKean, R. Efficiency in Government through System Analysis. New York : Wiley, 1958. Mishan, E. J. Cost-Benefit Analysis. New York : Praeger, 1976. Myrdal, G. 1968. Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations. London. Allen Lane, 1968.gy and regional Development Policy. Mac.Kinnon, J., K. Phillips., B. Van Balen. 1992. Burung-burung Di Sumatera, Jawa, Bali Dan Kalimantan, Puslitbang Biologi – LIPI. Ministry of the Environment, Action Plan For The Management Of Indonesia Wetlands. Tahun 1996 Muara Wisesa Samudra, Studi Evaluasi Lingkungan Pembangunan Pantai Mutiara,1996. Nagamine, H. 2000. Regional Development in Third World Countries, Paradigms and Operational Principles. Int. Dev Journal. Tokyo. Pemda Kabupaten Bekasi. 2003. Penyusunan Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Sepanjang Pesisir Pantura Kabupaten Bekasi, Kerawang, Subang, Indramayu, Cirebon dan Kota Cirebon. Dinas Tata Ruang dan Permukiman. Pemda Kabupaten Bekasi. Pemerintah
Daerah DKI Jakarta, Jakarta Pembangunan. 2001
Kota
Dalam
Derap
Langkah
Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Selayang Pandang.1995 Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Kota Sejarah.1996. Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Lingkungan.2001 Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jakarta Waterfront City. 2001 Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Peraturan Daerah DKI Nomor 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi Dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta1996. Kebijaksanaan Air Minum Dan Prosedur Sambungan Baru Di Kwasan Real Estate.
200
Puri Fadjar Mandiri, JAKARTA WATERFRONT.1995: Rebirth of Jayakarta (Rencana Induk Pantura Jakarta), bagian II : Studi Lingkungan Dan Rencana Lingkungan, Planning Workshop International. Rais.Yacub, Sulistiyo,Budi dkk ( 2004). Menata Ruang Laut Terpadu. PT.Pradnya Paramita Jakarta. Rachmansyah, 2004. “Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi IPB Bogor. Rosen, S. 1974. “Hedonic Prices and Implicit Markets : Product Differentiation in Pure Competition” Journal of Political Economy 82 : 34-55. Ruitenbeek, H.J.
1992. Mangrove Management: An economic Analysis of Management Options with a focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI Enviromental Report No. 8.
Royat,
1997. Perencana Tata Ruang Dalam Mengantisipasi Keseimbangan Sumber Air Wilayah, Biro Perkotaan, Pemukiman, Perumahan Rakyat dan Penataan Ruang, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sunjana,
Rusila, Y. 1996. Burung Air Migran Di Indonesia, Warta Konservasi Lahan Basah, Vol 5(2) : 12 –13. Rustuiadi, dkk. 2003 . Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan, IPB Bogor. Rustam, 2005 “ Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan terhadap Daya Dukung Kawasan Pesisir. Disertasi IPB Bogor. Schaefer,M.B 1954. Some Aspects of Dynamics of Populations Important to the Management of the Commercial Marine Fisheries. Bull. InterAm.Trop, Tuna Comm I: 27. Schaefer,M.B 1957. A Study of the Dynamics of the Fishery for Yellofin Tuna in the Eastern Tropical Pasicis Ocew. Bull. Int-AmTrop Tuna.Com2 : 247. Siloan, N. A. 1993. Effects Of Oil On Marine Resources : A Worldwide Literature, Review Relevant T0 Indonesia. Sitorus, 2005 “ Estimasi Daya Dukung Lingkungan Pesisir untuk Pengembangan Areal Tambak Berdasarkan Laju Biodegradasi Limbah Tambak Terhadap Pesisir Kabupaten Serang. Disertasi IPB Bogor. Sulistijo, Coastal and Marine Quality of Jakarta Bay. 1993. Institute of Ecology, Research Institute, Padjadjaran University.
201
Sumanjaya, Nyoman, Kebutuhan Sumber Dan Pemanfaatan Air Bersih DKI Jakarta, Puslitbang Geotehnologi – LIPI.1996. Sekretariat Negara RI, 2007. Undang-Undang Penataan Ruang N0.26 tahun 2007. Sekneg RI. Jakarta Tjahjati, Budhy S. dkk. 2006. Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Bunga Rampai Buku I. URDI Jakarta. Tjahjati, Budhy S. dkk. 2006. Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Bunga Rampai Buku II. URDI Jakarta. The Study On Comprehensive River Water Management Plan In Jabotabek, 1996. Nippon Consultants, Inc., Nippon Koei Co, Ltd., dan Japan International Cooperation Agency The Study On The Revise OF Jakarta Water Supply Development Project. Nihon Suido Consultans, Inc., Nippon Koei Co, Ltd., dan Japan International Cooperation Agency. 1996. The Study On The Urban Drainage Wasterwater Disposal Project In The City Of Jakarta, Nippon Consultants, Inc., Nippon Koei Co, Ltd., dan Japan International Cooperation Agency, dan The Goverment of the Republic of Indonesia. 1996 Turner . 2000. Development Poles: Do They Exist?”. Growth Pole Strategy and regional Development Policy. I Van Steenis, C.G.G.J., Ecologi. 1993: The Intoduction Part To The Monograph Of Rhizophoraceace, by Ding Hou, Flora Malesiana Wood, S., and Trice, A. 1958. Measurement of Recreational Benefits. Economics 34, 195-207.
Land
Waterston, W.L.C. 1965. Development Planning: Lessons of Experience, Baltimore. Johns Hopkins Univ. Press. Whitten,T,dkk,1999. Ekologi Jawa dan Bali, Prenhallindo, Jakarta. Halaman 387 Laporan Akhir Studi Geologi Pantai Wilayah Jakarta, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung – Departemen Pertambangan dan Energi, 1995 Laporan Akhir Studi Pengembangan Sedimentasi Pasir Laut Teluk Jakarta, Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung – Departemen Pertambangan dan Energi, 1995 dan 1996
Lampiran 1 Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan Matriks Kesesuaian Lahan
xii
Lampiran 2 Hasil Hitung Daya Dukung Wilayah Pesisir
xiii
Lampiran 3 Data Primer Kadar Pencemar Wilayah Pesisir Kabupaten Bekasi berdasarkan Jarak Pengambilan Sampel
xiv