PENERAPAN KEBIJAKAN KEAMANAN PANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU PADA PENGELOLA KANTIN DAN PENJAJA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI JAKARTA DAN BOGOR
NUNING HIDAYATI I14086019
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT Nuning Hidayati. The Application of Food Safety Policy and Relationship With Behaviour of Manager at School’s Canteen and Street Food Vendor for Elementary Students in Jakarta and Bogor. Under the direction of Siti Madanijah and Ikeu Ekayanti. The purpose of this research is to identity and to analyze the application of food safety policy concerened behaviour of manager at school’s canteen and street food vendor. This research use secondary data from Survey “National Monitoring and Verification Food Safety of Elementary student Street Food 2008” by SEAFAST Center, LPPM IPB. The subjects of this research are 123 consist of 33 manager at school’s canteen in Jakarta and 8 manager at school’s canteen in Bogor, 52 street food vendor in Jakarta and 30 in Bogor. The process of data analyzing was done by descriptive and inferencial methode. The correlation between variables were analyzed with chi-square, where as the difference between variables were analyzed by independent sampel t-test. The result of this research are most of the application of food safety was sufficient, where the school has rules about street food vandor, gived sanction. Had control and founding or counseling. The knowledge and practise of manager at school’s canteen was better than street food vendor. There are no difference between attitude of head master, the application of food safety, knowledge and food safety practise of manager at school’s canteen and street food vendor based on location. There are no difference between knowledge, higiene, handling and food storage, pest control, place sanitation and tools of manager at school’s canteen and street food vendor. However, there is difference between facilities and infrastructure of facilities and infrastructure and street food vendor There are no correlation between the application of food safety policy concerned knowledge (p=0.415), but there are significant correlation between the application of food safety concerned higiene (p=0.024), handling and food storage (p=0.022), pest control place sanitation and tools (p=0.040) and total of safety practice (p=0.004) of manager at school’s canteen. There are no significant correlation between the application of food safety policy concerned is knowledge (p=0.0457), higiene (p=0.533), handling and food storage (p=0.218), facilities and infrastructure (p=0.909), pest control sanitation of place and tools (p=0.813) and total of food safety practice (p=0.733) of street food vendor.
Keywords : The Application of Food Safety Policy, Food Safety Behavior, Manager at School’s Canteen and Street Food Vendor
RINGKASAN NUNING HIDAYATI. Penerapan Kebijakan Keamanan Pangan dan Hubungannya dengan Perilaku pada Pengelola Kantin dan Penjaja Jajanan Anak Sekolah di Jakarta dan Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan IKEU EKAYANTI. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan keamanan pangan dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik sekolah dasar (SD), (2) Mengidentifikasi karakteristik contoh, (3) Mengidentifikasi sikap kepala sekolah, (4) Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah, (5) Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor, (6) Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS, (7) Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS, (8) Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Desain penelitian ini yaitu cross-sectional study. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari survei “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasinal Tahun 2008”, yang dilakukan oleh Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM IPB. Analisis data penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010. Penelitian ini mengkhususkan pada wilayah jakarta dan bogor dengan total 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Contoh dalam penelitian ini adalah pengelola kantin dan penjaja PJAS. Jumlah total contoh yaitu sebanyak 123 contoh dengan rincian 33 orang pengelola kantin di Jakarta dan 8 orang pengelola kantin di Bogor serta 52 orang penjaja PJAS di Jakarta dan 30 orang penjaja PJAS di Bogor. Data sekunder diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan SPSS 16.0 for windows. SD yang dianalisis berjumlah 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Secara umum, sebagian besar SD berstatus negeri (59.8%) dan berakreditasi B (47.6%). Sekolah yang berada di wilayah Jakarta umumnya memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik daripada Bogor. Secara umum, sebagian besar kepala sekolah di wilayah Jakarta dan Bogor memiliki sikap mengenai keamanan pangan berkategori sedang dan penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan kategori baik. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar (73.2%) telah memiliki peraturan mengenai penjaja makanan. Berdasarkan hasil jawaban dari pihak sekolah, peraturan lebih banyak dikeluarkan oleh pihak sekolah itu sendiri (97.6%). Sebanyak 50.0% pengawasan di Jakarta dilakukan oleh guru UKS dan 53.3% di Bogor dilakukan oleh guru piket. Secara umum, pengelola kantin (65.9%) dan penjaja PJAS (84.1%) berjenis kelamin laki-laki, dimana pendidikan pengelola kantin (41.5% SMA/sederajat) lebih baik daripada penjaja PJAS (62.2% SD/sederajat). Pengetahuan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan yang berkategori baik pada pengelola kantin sebanyak 17.1% sedangkan pada penjaja PJAS sebanyak 9.8%. Namun hasil uji ttest menunjukkan tidak terdapat perbedaan pengetahuan pengelola kantin dan penjaja PJAS berdasarkan wilayah (p≥0.05) dan tidak terdapat perbedaan pengetahuan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki persepsi bahwa telah menjual makanan yang bergizi, pangan yang dijual aman dan tidak menyebabkan sakit serta telah menjaga kebersihan di sekitar lingkungan penjualan. Secara umum praktek keamanan pangan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari praktek higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan penjaja PJAS lebih rendah dibandingkan dengan pengelola kantin. Praktek higiene pengelola kantin dan penjaja PJAS
masih banyak yang memegang uang selama pengolahan serta sangat kurang dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Praktek penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak menutup makanan/minuman yang dijual serta masih penggunaan bahan tambahan kimia atau alami yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sarana dan prasarana masih kurang dalam hal tempat cuci tangan, lap peralatan, tempat sampah dan tempat pencucian peralatan dengan suplai air mengalir. Hal tersebut dapat menjelaskan tentang rendahnya praktek pengelola kantin dan penjaja PJAS dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Pada praktek pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak membuang sampah secara teratur, pencucian peralatan tidak menggunakan air yang mengalir dan detergen disimpan terpisah dan diberi label. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik sekolah, karakteristik contoh, sikap kepala sekolah dengan perilaku keamanan pangan pada pengelola kantin dan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan pengetahuan pengelola kantin. Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan higiene (p=0.024), dengan penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman (p=0.022), dengan pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p=0.004). Menurut Notoatmodjo (2003), dengan adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi, maka dapat membantu perubahan perilaku seseorang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik sekolah, karakteristik contoh, sikap kepala sekolah dan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada penjaja PJAS.
PENERAPAN KEBIJAKAN KEAMANAN PANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU PADA PENGELOLA KANTIN DAN PENJAJA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI JAKARTA DAN BOGOR
NUNING HIDAYATI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi
yang
berjudul
“Penerapan
Kebijakan
Keamanan
Pangan
dan
Hubungannya dengan Perilaku pada Pengelola Kantin dan Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah di Jakarta dan Bogor” merupakan satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, dan Dr. Ir ikeu Ekayanti, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, masukan, petunjuk, serta kesabaran dan perhatian yang sangat besar dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai. 2. Tiurma Sinaga, B.Sc., MFSA, selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. 3. Hilma Syafly, Yulia Puspita Sari, Ani Maria dan Lina Sugita yang telah menjadi
pembahas
seminar
dan
memberikan
masukan
demi
kesempurnaan skripsi ini. 4. Harisa Totelesi, Hilma Syafly, Revida Rosa, Shelly Gita Perdani dan Shinta Junita Fitri yang telah memberikan dukungan dalam pembuatan skripsi ini. 5. Papa, Mama, Kakak dan Adik yang selalu mendokan dan mendukung penulis. 6. Seluruh teman-teman Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi Angkatan 02 yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak.
Bogor, Januari 2011
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Apit, Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau pada tanggal 18 Februari 1987. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, putri dari pasangan M. Isyak Rasyidi dan Yusmalidar Karim. Penulis menyelesaikan pendidikan SDN 045 Siak Sri Indrapura pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan di MTS Darul Hikmah Pekanbaru. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di MA Darul Hikmah Pekanbaru dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima di Politeknik Kesehatan Padang Jurusan Gizi Program D-III Departemen Kesehatan pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Penulis pernah mengikuti praktikum lapang di RSUD Abdoel Moeloek Lampung dan Hotel Pusako Bukittinggi. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2008.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Sistem pangan tidak hanya dituntut untuk memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup (nutritionally adequate), tetapi juga aman (safe). Peraturan Pemerintah no 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, memberikan wewenang kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan keamanan, mutu, dan gizi pangan yang beredar di Indonesia. Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) adalah kesehatan. Faktor gizi memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Perbaikan dan peningkatan gizi harus selalu dilakukan pada setiap siklus kehidupan manusia, yaitu mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah adalah generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada anak tidak selalu dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan gangguan pada organ-organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2006). Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan makanan yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah makanan jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah dan umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Februhartanty (2004) di Bogor, bahwa makanan jajanan yang dikonsumsi oleh
2
pelajar pada waktu sekolah menyumbang asupan gizi sebanyak 36.0% energi, 29.0% protein dan 52.0% zat besi. Makanan jajanan sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat berisiko terhadap cemaran biologi dan kimia. BPOM tahun 2004 menemukan 60.0% jajanan yang dijual di Sekolah Dasar (SD) di Indonesia tidak memenuhi standar keamanan mutu dan keamanan. Di Jakarta ditemukan dari 800 pedagang yang berjualan di sekolah, 340 diantaranya menjual makanan jajanan yang mengandung zat kimia yang berbahaya (Eunike 2009). Pada tahun 2007 terjadi 28 Kejadian Luar Biasa (KLB) di Bogor merupakan keracunan pangan (16.0%), dimana terjadi di lingkungan sekolah dan pangan jajanan berkontribusi sebesar 28.5% sebagai pangan penyebab KLB. Siswa SD merupakan kelompok yang paling sering (67.0%) mengalami keracunan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) (BPOM 2008). Berdasarkan hasil ‘’Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh SEAFAST Center, LPPM IPB, sebagian besar (>70%) penjaja PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang. Sebanyak 14.3% memiliki persepsi bahwa pangan jajanan yang dijual tidak aman (Andarwulan et al 2008). Wijaya (2009) menyatakan bahwa dari 47 sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor, pengetahuan tentang keamanan pangan dengan kategori baik masih sedikit yaitu pada pengelola kantin sebanyak 38.5% dan penjaja PJAS sebanyak 23.5%. Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh kebijakan keamanan dari kepala sekolah. Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0% sekolah yang disurvei telah memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar dikeluarkan oleh pihak sekolah (95.0%) meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar mengatur tentang siswa (68.7%) kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang pengelola kantin (57.0%).
3
Perumusan Masalah Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan, namun banyak terdapat permasalahan mengenai perilaku yaitu pengetahuan dan praktek keamanan pangan yang meliputi higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Permasalahan tersebut bisa diakibatkan oleh kurangnya perhatian dari pihak sekolah. Penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah sangat mempengaruhi dalam mengurangi bahaya kesehatan terhadap anak sekolah akibat makanan yang tidak sehat dan aman. Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi praktek keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS, perlu diketahui penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan keamanan pangan dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi karakteristik sekolah dasar di Jakarta dan Bogor. 2. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan terakhir) di Jakarta dan Bogor. 3. Mengidentifikasi sikap kepala sekolah di Jakarta dan Bogor. 4. Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dasar di Jakarta dan Bogor. 5. Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.
4
6. Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. 7. Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap kepala sekolah dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. 8. Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Hipotesis 1. Tidak ada hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap kepala sekolah dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. 2. Tidak ada hubungan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan di bidang keamanan pangan dan gizi kepada masyarakat luas terutama pada pihak sekolah, pengelola kantin,
penjaja PJAS, siswa sekolah dan orangtua terkait
keamanan pangan jajanan. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi kepada kepada pihak sekolah dalam menentukan penerapan kebijakan mengenai keamanan pangan kepada penjaja makanan yaitu pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini diharapkan bermanfaat untuk menyusun kebijakan program di bidang pangan dan gizi khususnya makanan jajanan pada anak sekolah.
5
TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12 tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak. Walaupun pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hal membina hubungan dengan orang lain (Harris & Liebert 1991). Jika dibandingkan dengan periode awal masa kanak-kanak, pertumbuhan fisik berjalan dengan lambat. Walaupun kemampuan motoriknya terus meningkat, perubahannya tidak sedramatis perubahan selama enam tahun pertama kehidupan. Hal ini dikarenakan tingkat perubahan dari hari ke hari anak-anak usia sekolah tidak terlihat begitu nyata (Papalia & Olds 1986). Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah sudah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun oleh kelompok swasta berupa program suplementasi makanan tambahan di sekolah atau program makan siang sekolah (School Lunch Program). Kelompok anak sekolah merupakan kelompok yang mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya (Sediaoetama 2008). Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari berperan besar untuk kehidupan anak tersebut. Untuk dapat memenuhi dengan baik dan cukup, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi untuk anak. Masalah gizi masyarakat mencakup berbagai defisiensi zat gizi. Seorang anak juga dapat mengalami defisiensi zat gizi tersebut yang berakibat pada berbagai aspek fisik maupun mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat, jangka pendek dan jangka panjang serta dapat dicegah oleh masyarakat sendiri sesuai dengan klasifikasi dampak defisiensi zat gizi antara lain melalui pengaturan makan yang benar (Santoso 2004). Sikap Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku dalam menghadapi suatu rangsangan. Sikap ini bisa terjadi terhadap benda, situasi, orang,
6
kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat disekitar manusia (Muljono 2000 dalam Fitriyanti 2009). Sikap merupakan suatu kuadran jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku, begitu juga halnya dengan sikap terhadap makanan (Engel et al. 1994). Sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan. Pengalaman yang diperoleh ada yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka terhadap makanan (Suhardjo 2003). Kebijakan Keamanan Pangan Di Indonesia, secara formal nilai strategis dari mutu, gizi, dan keamanan pangan ini telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya undang-undang tentang pangan yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1996. Kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan yang ada masih kurang memadai bahkan sering membahayakan, hal ini disebabkan 1) Infrastruktur yang belum mantap, 2) Tingkat pendidikan produsen, 3) Sumber dana yang terbatas, dan 4) Produksi makanan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah. Namun demikian, harus diakui bahwa akar masalah utamanya adalah arti strategis mutu, gizi dan keamanan pangan ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat dan pelaksana kebijakan. Perlu disadari oleh pembuat kebijakan bahwa isu mutu, gizi dan keamanan pangan di suatu negara merupakan isu daya saing yang sangat strategis. Secara mendasar, upaya jaminan mutu, gizi dan kondisi keamanan pangan berarti pula menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping itu, peningkatan status dan kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan suatu negara akan menyebabkan peningkatan status kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas individu. Peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan pangan di sekolah, termasuk keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), juga
7
menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah (Andarwulan et al. 2009). Selanjutnya, Andarwulan et al (2009) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0 % sekolah yang disurvei telah memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95.0%) dikeluarkan oleh pihak sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68.7%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57.0%). Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawasan pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapat pengawasan (Yusuf 2004). Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan. Misalnya dalam memberikan penyuluhan kepada penjual makanan jajanan, melatih penjaja agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya. Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006). Kantin dan Penjaja PJAS Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan
8
sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat. Mengingat pentingnya asupan makanan pada saat jam sekolah, maka anak perlu mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan ini dapat diperoleh dengan dibeli di lingkungan sekolah baik pada penjaja di sekitar sekolah maupun di kantin sekolah. Hasil beberapa studi menujukkan bahwa anak sekolah di perkotaan lebih sering membeli makanan jajanan di kantin sekolah. Sedangkan di pedesaan, anakanak lebih sering membeli makanan/minuman pada penjaja. Adapun tujuan dari kantin sekolah adalah untuk memenuhi keperluan murid dengan menyediakan makanan yang enak, bergizi, terjamin kebersihannya dengan harga yang terjangkau. Beberapa manfaat yang diperoleh dari adanya kantin sekolah adalah : a.
meningkatkan kesehatan murid dengan menyediakan makanan yang bernilai gizi tinggi dan terjamin kebersihannya. Makanan jajanan di sekolah sangat potensial di dalam memberikan kontribusi gizi. Kantin berada di bawah pengelolaan guru atau orang tua murid, maka dalam menentukan makanan yang disajikan dapat lebih leluasa memilih makanan yang berasal dari sumber bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, kebersihan lebih mudah diawasi baik terhadap peralatan yang dipakai, air yang digunakan dan makanan yang disajikan.
b.
Dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan dan pendidikan gizi. Penyuluhan dan pendidikan gizi dapat dilakukan berbagai cara seperti lewat penyajian poster yang ditempel di dinding kantin, dengan gambar-gambar sumber makanan yang bernilai gizi tinggi, atau kalimat yang berisi pesan-pesan gizi yang sederhana dan mudah dimengerti oleh murid. Adapun hal yang perlu diperhatikan di dalam kantin adalah pengelola kantin,
dimana pengelola kantin perlu mempunyai pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan (Nuraida 2008). Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga kantin yang belum menyediakan makanan yang bergizi. Kepala sekolah dan guru belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan
9
makanan yang sehat, bergizi dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti 2006). Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domein yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo 1993). Pengetahuan merupakan kesan dalam fikiran manusia sebagai hasil panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal dan
informal.
Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Selain itu, juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alatalat komunikasi, selain membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan/gizi (Suhardjo 1996). Pengetahuan yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio atau melalui penyuluhan kesehatan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan. Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi seseorang dapat menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi pangan berubah menjadi asal kenyang (Suharjo 1989) Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa secara umum penjaja PJAS memiliki pengetahuan keamanan pangan
berkategori
sedang
sebesar
40.4%
dan
sebagian
kecil
memiliki
pengetahuan keamanan baik sebesar 27.7%. Selanjutnya pengetahuan keamanan
10
pangan berdasarkan wilayah memiliki perolehan skor rata rata di kota (62.3) lebih rendah daripada di Kabupaten (78.2), sekitar 50% penjaja PJAS di kota memiliki pengetahuan dengan kategori kurang dan di kabupaten dengan kategori sedang. Persepsi Persepsi dapat dinyatakan sebagai proses menafsirkan sensasi-sensasi dan memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas dan masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang realitas (Winardi 1991). Persepsi menurut Ely (1972), diacu dalam Pranadji (1988) adalah proses yang berhubungan dengan penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk yang membimbing kegiatan motorik. Petunjuk ini dimulai dari kesadaran terhadap adanya stimulus sampai memilih tugas yang relevan untuk menerjemahkan persepsi tersebut ke dalam kegiatan dalam suatu kegiatan. Menurut Stanton, diacu dalam Setiadi (2003) persepsi dapat didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu dan stimuli yang kita terima melalui panca indera. Pengenalan terhadap suatu objek, gerakan, intensitas, dan aroma adalah petunjuk yang mempengaruhi persepsi. Persepsi merupakan proses yang terjadi karena adanya sensasi. Sensasi merupakan aktivitas merasakan atau penyebab keadaan yang menggembirakan. Persepsi manusia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi di dalam diri manusia itu sendiri Praktek Keamanan Pangan Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan wajib
memenuhi
persyaratan
sanitasi
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
11
perundangan-undangan yang berlaku. Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Undang-undang RI no.7 tentang Pangan Tahun 1996). Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan bagi kesehatan dan berat badan. Food safety (Keamanan pangan) akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dikonsumsi. Kemungkinan-kemungkinan bahaya pangan dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain : 1) Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida, antibiotik dan hormon; 2) Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis maupun dosisnya; 3) Penyerapan logam yang berbahaya oleh tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan dan industri; 4) Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan sejak pertama sampai tingkat pengolahan akibat kurangnya sanitasi; 5) Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat penyimpanan dan pemasaran; dan 6) Ekses dari penggunaan teknologi yang belum tuntas
penelitiannya, misalnya
senyawa-senyawa
baru,
teknik
radiasi dan
sebagainya (Tjahja 2008). Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologi/mikrobiologis, kimia dan fisik. Bahaya makanan terdiri dari (Depdiknas 2009) : 1.
Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti salmonella, E.coli, virus, parasit dan kapang penghasil mikotoksin.
12
2.
Bahaya kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/toksin asal tumbuhan/hewan dan sejenisnya.
3.
Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka, misalnya pecahan gelas, kawat steples, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya. Badan POM RI mengidentifikasikan beberapa faktor yang diduga turut
mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan PJAS, antara lain pada saat ini program nasional pengawasan jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas yang tidak memadai, dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komunikasi risiko, anak sekolah jajan sembarangan, orangtua tidak menyediakan bekal, pedagang penjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan PJAS yang tidak aman) (Andarwulan et al 2009). Berdasarkan hasil monitoring PJAS yang dilakukan oleh POM RI pada tahun 2006 di 26 ibukota provinsi di Indonesia, dari 478 SD dengan jumlah sebanyak 2903 sampel, jumlah PJAS yang memenuhi syarat adalah sebesar 50.6% dan sebanyak 49.3% sampel jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan terhadap satu atau lebih dari beberapa parameter yang diuji. Selain itu, lebih dari 39.0% sampel tidak memenuhi syarat mikrobiologi (BPOM 2007) Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa total praktek keamanan PJAS berkategori kurang sebesar 51.1% dan hanya sebagian kecil (10.6%) berkategori baik. Total praktek keamanan pangan adalah gabungan dari keselurahan praktek yaitu praktek higiene, praktek penanganan dan penyimpanan serta praktek sarana dan fasilitas.
13
KERANGKA PEMIKIRAN Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan harus ditangani dan dikelola dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Namun, apabila penanganan dan pengelolaannya tidak baik dan benar maka makanan tersebut tidak terjamin dalam hal aspek gizi dan keamanan pangannya. Makanan tersebut jika dikonsumsi manusia dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan seseorang. Sebagian besar anak sekolah mengkonsumsi makanan jajanan yang dijajakan di lingkungan sekolah, yaitu di kantin sekolah atau penjaja pangan jajanan di sekitar sekolah. Namun, banyak terdapat permasalahan mengenai praktek keamanan pangan yang meliputi kurangnya higiene dari penjual atau penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Permasalahan keamanan pangan disebabkan kurangnya perhatian dari pihak sekolah dalam membuat kebijakan mengenai keamanan pangan untuk pengelola kantin dan penjaja PJAS. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS. Faktor pertama merupakan faktor internal, yaitu karakteristik pengelola kantin dan penjaja PJAS. Yang kedua adalah faktor eksternal, diantaranya adalah karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah dan penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah. Penerapan kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah mengenai keamanan pangan yang ditujukan kepada pengelola keamanan pangan jajanan anak sekolah. Kebijakan sekolah dapat mempengaruhi perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi perilaku keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan saran yang mendukung dalam peningkatan perilaku keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS.
14
Perilaku gizi dan Perilaku gizi dan keamanan pangan keamanan pangan Karakteristik sekolah Status sekolah Mutu sekolah Sarana dan prasarana
Penerapan kebijakan keamanan pangan
Pengetahuan
Karakteristik contoh Pendidikan Jenis kelamin
Persepsi Praktek : Higiene Penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman Sarana dan prasarana Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan
Sikap kepala sekolah
: Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1
Kerangka pemikiran penerapan kebijakan keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di sekolah
15
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study yaitu mengumpulkan informasi dengan satu kali survei. Penelitian ini mengkaji penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Data penelitian ini merupakan sebagian dari data Survei “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh SEAFAST Center, LPPM IPB. Analisis data penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2010. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah pengelola kantin dan penjaja PJAS di wilayah Jakarta dan Bogor yang ditetapkan secara purposive, dengan kriteria sebagai berikut : 1) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat; 2) Pihak sekolah bersedia untuk dijadikan tempat penelitian. Berdasarkan persyaratan tersebut diambil 52 SD di wilayah Jakarta dan 30 SD di wilayah Bogor. Dalam penelitian ini diambil 123 contoh yang terdiri dari 33 pengelola kantin di Jakarta dan delapan pengelola kantin di Bogor serta 52 penjaja PJAS di Jakarta dan 30 penjaja PJAS di Bogor. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui data Survei “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”. Data tersebut meliputi karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan), karakteristik sekolah (status sekolah, mutu sekolah serta sarana dan prasarana). Data tentang sikap kepala sekolah berupa sepuluh pertanyaan tingkat kesetujuan, data tentang penerapan kebijakan keamanan pangan terdiri dari enam pertanyaan yang terdiri dari peraturan, sanksi, pengawasan dan pembinaan/penyuluhan. Data tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan terdiri dari 14 pertanyaan yang dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Data tentang persepsi contoh terdiri dari tiga pertanyaan meliputi makanan yang dijual
16
bergizi, aman dan tidak menyebabkan sakit, serta menjaga kebersihan di lingkungan sekitar penjualan. Data tentang praktek contoh dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test) yang meliputi higiene penjual/penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dientri dengan menggunakan Microsoft Exel For Windows. Proses pengolahan data yaitu editing dan analisis data. Data dianalisis secara deskriptif statistik dan inferensial dengan program SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 16.0 for windows. Data karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan) serta karakteristik sekolah (status sekolah, mutu sekolah serta sarana dan prasarana) disajikan secara deskriptif. Data sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan, pengetahuan serta praktek keamanan pangan dihitung dengan cara menjumlahkan skor yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu baik apabila skor >80%, sedang apabila skor 60-80% dan kurang apabila <60% (Khomsan 2000). Hubungan antara variabel dianalisis dengan menggunakan chi square. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik contoh, karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah dan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Uji independent sampel t-test digunakan untuk menguji perbedaan variabel berdasarkan wilayah. Secara lebih jelas, pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
17
Tabel 1 Kategori variabel penelitian No
Variabel
1
Karakteristik contoh
2
Kategori
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi
Karakteristik sekolah
Status sekolah
Negeri Swasta
Mutu sekolah
Sarana dan prasarana
Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%)
A B C Belum terakreditasi
3
Sikap kepala sekolah
Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%)
4
Penerapan kebijakan keamanan pangan
Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%)
5
Perilaku
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan
Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%) (Khomsan 2000)
Praktek keamanan pangan
Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%)
18
Definisi Operasional Pengelola kantin adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung mengelola kantin dan berhubungan langsung dengan makanan dan peralatan makanan mulai dari persiapan bahan pangan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian Pengelola PJAS adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan PJAS dan peralatan makanan mulai dari persiapan bahan pangan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian Praktek keamanan pangan adalah tanggapan pihak pengelola kantin dan penjaja PJAS untuk mencegah pangan dari bahaya, yaitu meliputi higiene, penanganan
dan
penyimpanan,
sarana
dan
prasarana
serta
pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Pengetahuan keamanan pangan adalah informasi yang disimpan dalam bentuk ingatan mengenai keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Sikap adalah perasaan, keyakinan dan kecendrungan untuk bertindak pada pihak sekolah terhadap keamanan pangan. Persepsi adalah anggapan seseorang tentang keamanan pangan yang menyatakan ya atau tidak Higiene adalah upaya kesehatan dan cara memelihara dan melindungi kebersihan diri. Penyimpanan adalah cara menyimpan bahan pangan, makanan setengah jadi dan makanan matang di suatu tempat atau wadah dalam upaya memelihara keamanan pangan. Sarana dan fasilitas adalah sarana yang dimiliki oleh pengelola kantin dan penjaja PJAS yang digunakan untuk praktek keamanan pangan Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan adalah upaya kesehatan dan cara memelihara dan melindungi kebersihan yang meliputi pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan Kebijakan adalah peraturan, sanksi, pengawasan dan pembinaan tentang keamanan pangan.
19
Penerapan kebijakan adalah diberlakukannya peraturan, sanksi, pengawasan dan pembinaan tentang keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pihakpihak terkait.
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah Dasar Sekolah Dasar (SD) yang dianalisis berjumlah 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Pada analisis ini, sekolah dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu berdasarkan wilayah, status sekolah, mutu sekolah (akreditasi) serta sarana dan prasarana sekolah. Sebaran SD berdasarkan kategorikategori tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran SD berdasarkan status, mutu serta sarana dan prasarana sekolah di Jakarta dan Bogor Wilayah Jakarta (n=52)
Kategori SD Status Negeri Swasta Total Mutu (akreditasi) A B C Belum terakreditasi Total Sarana dan prasarana Baik Sedang Kurang Total
n
%
n
29 23 52
55.8 44.2 100.0
20 10 30
24 25 2 1 52
46.2 48.1 3.8 1.9 100.0
49 3 0 52
94.2 5.8 0.0 100.0
Bogor (n=30) %
Total (n=82) n
%
66.7 33.3 100.0
49 33 82
59.8 40.2 100.0
10 14 5 1 30
33.3 46.7 16.7 3.3 100.0
34 39 7 2 82
41.5 47.6 8.5 2.4 100.0
10 17 3 30
33.3 56.7 10.0 100.0
59 20 3 82
72.0 24.4 3.7 100.0
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar SD yang menjadi tempat penelitian di wilayah Jakarta maupun Bogor berstatus negeri dan berakreditasi B. Jika dilihat berdasarkan sarana dan prasarana sekolah,
SD di
wilayah Jakarta memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik daripada SD di wilayah Bogor. Hal ini dapat dilihat pada SD yang memiliki sarana dan prasarana yang berkategori baik di wilayah Jakarta sebanyak 94.2% sedangkan di Bogor hanya 33.3%. SD dengan sarana dan prasarana yang baik akan menunjang proses belajar mengajar siswa di sekolah. Selain itu juga dapat mendukung perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS. Sarana dan prasarana yang terdiri dari tempat sampah di kelas, tempat sampah di lingkungan sekolah, tempat penampungan sampah
21
sementara, bentuk penampungan sampah sementara di sekolah, keberadaan air, keberadaan WC dan kualitas air.merupakan faktor pendukung dalam keamanan pangan di lingkungan sekolah. Hal ini dapat dilihat dari Sebaran SD berdasarkan kondisi sarana dan prasarana di Jakarta dan Bogor disajikan pada Tabel 3 Tabel 3 Sebaran SD berdasarkan kondisi sarana dan prasarana di Jakarta dan Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sarana dan Prasarana Keberadaan tempat sampah di kelas Keberadaan tempat sampah sekolah Tempat penampungan sampah sementara di sekolah penampungan sampah sementara yang tertutup di sekolah Ketersediaan air Sumber air dari PAM Kualitas air bersih Tempat cuci tangan Ketersediaan listrik Ketersediaan WC
Wilayah Jakarta Bogor n % n % 49 94.2 16 53.3 50 96.2 27 90.0 38 73.1 21 70.0
n 65 77 59
Total % 79.3 93.9 72.0
16
30.8
2
6.7
18
22.0
51 27 50 43 52 50
98.1 51.9 96.2 82.7 100.0 96.2
28 20 28 3 29 28
93.3 66.7 93.3 10.0 96.7 93.3
79 47 78 46 81 78
96.3 57.3 95.1 56.1 98.8 95.1
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa penampungan sampah sementara yang tetutup di Jakarta (30.8%) dan Bogor (6.7%) sangat
sedikit. Keberadaan
tempat cuci tangan di wilayah Bogor (10.0%) juga masih sangat kurang. Andarwulan et al (2008) menyatakan bahwa fasilitas sekolah yang memadai diperlukan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. Kenyamanan belajar dan keberhasilan proses belajar mengajar suatu sekolah sangat tergantung dari peraturan sekolah yang diterapkan dan keberadaan fasilitas sekolah. Sekolah yang berada di wilayah Jakarta umumnya memiliki fasilitas yang lebih baik daripada Bogor. Hal ini mungkin karena wilayah Jakarta yang memiliki sekolah dengan mutu (akreditasi) A lebih banyak dan Jakarta merupakan wilayah metropolitan, sehingga akses untuk sarana dan prasarana yang tersedia lebih memadai. Karakteristik Contoh Contoh dalam penelitian ini berjumlah 123 orang, yang terdiri dari 41 orang pengelola kantin yang berjualan di kantin atau warung sekolah dan 82 orang penjaja
22
PJAS yang berjualan di sekitar atau luar sekolah. Contoh tersebut berasal dari 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Jumlah pengelola kantin di Jakarta sebanyak 33 orang dan Bogor 8 orang, sedangkan penjaja PJAS di Jakarta sebanyak 52 orang dan Bogor 30 orang. Pendidikan Contoh Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh
oleh
contoh.
Pendidikan
gizi
merupakan
salah
satu
upaya
penanggulangan masalah gizi. Dengan pendidikan gizi, diharapkan terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dalam hal mengkonsumsi makanan dan status gizi. Perilaku konsumsi pangan berasal dari proses sosialisasi dalam sistem keluarga melalui proses pendidikan maupun sebagai dampak penyebaran informasi (Madanijah 2004). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan, semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan semakin besar (Engel et al 1994 diacu dalam Lusiana 2008). Tingkat pendidikan contoh tersebar dari tidak sekolah hingga perguruan tinggi. Secara umum, pendidikan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, dimana sebagian besar pendidikan pengelola kantin adalah SMA/sederajat (41.5%) sedangkan penjaja PJAS adalah SD/sederajat (62.2%). Sebaran contoh berdasarkan pendidikan di Jakarta dan Bogor disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan di Jakarta dan Bogor Pendidikan Tidak sekolah SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan tinggi Total
Pengelola kantin Jakarta Bogor n % n % 1 3.0 0 0.0 6 18.2 0 0.0 7 21.2 3 37.5 14 42.4 2 25.0 5 15.2 3 37.5 33 100.0 8 100.0
Total n % 1 2.4 6 14.6 10 24.4 17 41.5 7 17.1 41 100.0
Penjaja PJAS Jakarta Bogor n % n % 0 0.0 0 0.0 35 67.3 16 53.3 11 21.2 9 30.0 5 9.6 5 16.7 1 1.9 0 0.0 52 100.0 30 100.0
n 0 51 20 10 1 82
Total % 0.0 62.2 24.4 12.2 1.2 100.0
Jenis Kelamin Contoh Secara umum, sebagian besar jenis kelamin pengelola kantin dan penjaja PJAS adalah laki-laki. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga atau orang yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga perlu
23
memiliki pekerjaan. Pada Tabel 5 dapat dilihat sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin di Jakarta dan Bogor Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin di Jakarta dan Bogor Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
Pengelola kantin Jakarta Bogor Total n % n % n % 22 66.7 5 62.5 27 65.9 11 33.3 3 37.5 14 34.1 33 100.0 8 100.0 41 100.0
Jakarta n % 43 82.7 9 17.3 52 100.0
Penjaja PJAS Bogor n % 26 86.7 4 13.3 30 100.0
n 69 13 82
Total % 84.1 15.9 100.0
Sikap Kepala Sekolah Sikap adalah suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan berfikir (neural) yang disiapkan untuk memberikan tanggapan suatu objek yang diorganisasikan melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada praktek atau tindakan. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan dari tindakan tertutup. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Menurut Notoatmodjo 2003, sikap merupakan reaksi atau respon terhadap suatu stimulus atau menggambarkan suka atau tidaknya terhadap suatu objek dan belum menunjukkan tindakan atau aktivitas. Sikap kepala sekolah tentang keamanan pangan dinilai berdasarkan hasil jawaban 10 pertanyaan. Pada Tabel 6 dapat dilihat sebaran sikap kepala sekolah di Jakarta dan Bogor tentang keamanan pangan. Sikap kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang menjaga kebersihan sekolah dengan baik, senantiasa melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penjual, peduli akan kesehatan dan kebersihan, sering memberikan nasehat perihal keamanan yang baik terhadap siswa, selalu menginstruksikan kepada guru untuk memberikan bimbingan atau penyuluhan kepada siswa tentang bahaya mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, melakukan pembinaan kepada para penjual serta adanya upaya untuk memperbaiki kantin sekolah.
24
Tabel 6 Sebaran kepala sekolah berdasarkan sikap di Jakarta dan Bogor Jakarta % 6 11.5 41 78.8 5 9.6 52 100.0 70.1
Sikap Kepala Sekolah
n
Baik Sedang Kurang Total Rata-rata skor
Bogor % 8 26.7 19 63.3 3 10.0 30 100.0 75.8 n
Total n 14 60 8 82
% 17.1 73.2 9.8 100.0 72.7
Uji Beda
P=0.215
Secara umum, sebagian besar kepala sekolah di wilayah Jakarta dan Bogor memiliki sikap tentang keamanan pangan dengan kategori sedang. Jika dilihat dari skor rata-rata, kepala sekolah yang memiliki sikap tentang keamanan pangan di wilayah Bogor (75.8) lebih tinggi dari pada Jakarta (70.1). Berdasarkan hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap kepala sekolah berdasarkan wilayah (p=0.215). Penerapan Kebijakan Keamanan Pangan Peraturan sekolah harus disosialisasikan kepada penjaja makanan yaitu pada pengelola kantin dan penjaja PJAS dan kemudian harus dipatuhi. Menurut Notoatmodjo (2003), dengan adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi maka akan dapat membantu dalam perubahan perilaku seseorang. Penerapan kebijakan keamanan pangan di SD dinilai berdasarkan hasil jawaban enam pertanyaan. Pertanyaan tentang kebijakan keamanan mencakup tentang peraturan tentang pengelola kantin dan penjaja PJAS, bentuk sanksi yang diberikan kepada pengelola kantin dan penjaja PJAS jika mereka melanggar peraturan, pengawasan serta pembinaan/penyuluhan. Pada Tabel 7 dapat dilihat sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah. Pada umumnya, sebagian besar sekolah memiliki penerapan kebijakan keamanan pangan dengan kategori baik yaitu sebesar 50.0%. Jika dilihat dari skor rata-rata penerapan kebijakan keamanan sekolah, wilayah Bogor (80.0) lebih tinggi daripada Jakarta (77.4). Hal ini sejalan dengan sikap kepala sekolah, dimana skor sikap kepala sekolah tentang keamanan pangan yang tinggi, juga diikuti dengan penerapan kebijakan keamanan pangan di sekolah juga cenderung tinggi. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah berdasarkan wilayah (p=0.931).
25
Tabel 7 Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan di Jakarta dan Bogor Penerapan kebijakan keamanan pangan Baik Sedang Kurang Total Rata-rata skor
Jakarta n % 26 53.8 9 17.3 15 28.8 52 100.0 77.4
n 13 12 5 30
Bogor % 43.3 40.0 16.7 100.0 80.0
n 41 21 20 82
Total % 50.0 25.6 24.4 100.0 78.4
Uji Beda
p=0.931
Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan di Jakarta dan Bogor dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum, sebagian besar sekolah yang dijadikan contoh penelitian telah memiliki peraturan mengenai penjaja makanan. Berdasarkan hasil jawaban dari pihak sekolah, peraturan lebih banyak dikeluarkan oleh pihak sekolah itu sendiri (97.6%) dan sebagian lainnya dikeluarkan oleh pihak Sudin Kecamatan (12.2%), Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota (9.6%), Dinas Pendidikan Provinsi (6.1%), Depdiknas Pusat (2.4%) dan lainnya (1.2%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian PJAS dalam skala nasional oleh SEAFAST Center, LPPM IPB (2008) dimana peraturan sekolah dikeluarkan oleh berbagai sektor antara lain kepala sekolah (95.0%), Dinas Pusat (1.7%), Dinas Provinsi (1.7%), Dinas Kabupaten/Kota (8.5%), dan Sudin Kecamatan (7.4%). Umumnya pihak sekolah memberikan sanksi jika melanggar peraturan yaitu tidak diizinkan lagi berjualan di sekitar sekolah (64.6%) dan tidak boleh berjualan pada selang waktu tertentu (26.8%). Namun, sebanyak 8.5% sekolah tidak memberikan sanksi apapun kepada penjaja makanan jika melanggar peraturan. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar sekolah telah menerapkan pengawasan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS, yang dilakukan oleh guru UKS (41.5%), guru piket (39.0%), petugas kantin (12.2%) dan lainnya (2.4%). Berdasarkan wilayah, pengawasan di Jakarta sebagian besar dilakukan oleh guru UKS (50.0%) dan di Bogor dilakukan oleh guru piket (53.3%). Sebaiknya yang dijadikan sebagai tim pengawas adalah orang yang memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan, mengetahui cara pengolahan pangan yang baik, sanitasi dan higiene. Lebih baik lagi jika pengelola kantin dan penjaja PJAS pernah mengikuti pelatihan pengawasan.
26
Tabel 8 Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan di Jakarta dan Bogor No 1
2
3
4
5
6
Penerapan kebijakan Adanya peraturan/tata tertib yang diberlakukan oleh sekolah Ada Tidak Yang mengeluarkan peraturan Sekolah Sudin Kecamatan Dinas Pendidikan Kab/kota Dinas Pendidikan Provinsi Depdiknas Pusat Lainnya Yang diatur dalam peraturan keamanan pangan Kantin sekolah Penjaja makanan di sekitar sekolah Siswa Orangtua siswa Guru Penggunaan fasilitas untuk penjaja kantin dan penjaja PJAS Lainnya Bentuk sanksi yang diberikan jika melanggar peraturan Tidak boleh berjualan pada selang waktu tertentu Tidak diizinkan lagi berjualan Tidak ada sanksi Yang mengawasi penjaja di sekolah Guru UKS Guru piket Petugas kantin Lainnya Tidak ada Pembinaan/penyuluhan Pernah Tidak pernah
Wilayah Jakarta Bogor n % n %
n
%
39 13
75.0 25.0
21 9
70.0 30.0
60 22
73.2 26.8
51 7 5 4 1 0
98.1 13.5 9.6 7.7 1.9 0.0
29 3 3 1 1 1
96.7 10.0 10.0 3.3 3.3 3.3
80 10 8 5 2 1
97.6 12.2 9.6 6.1 2.4 1.2
38 34 36 20 22 24
73.0 65.4 69.2 38.5 42.3 46.2
13 24 21 9 12 11
43.3 80.0 70.0 30.0 40.0 36.7
51 58 57 20 34 35
62.2 70.7 69.5 24.4 41.5 42.7
1
1.9
2
6.7
3
3.6
16
30.8
6
20.0
22
26.8
30 6
57.7 11.5
23 1
76.7 3.3
53 7
64.6 8.5
26 16 9 0 9
50.0 30.8 17.3 0.0 17.3
8 16 1 2 4
30.0 53.3 3.3 6.7 13.3
34 32 10 2 13
41.5 39.0 12.2 2.4 15.9
32 20
61.5 38.5
20 10
66.7 33.3
52 30
63.4 36.6
Jumlah
Penerapan kebijakan yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam hal pembinaan/penyuluhan kepada pihak penjaja makanan pada umumnya sudah dilaksanakan
yaitu
sebanyak
Pembinaan/penyuluhan
61.5%%
keamanan
di
pangan
Jakarta dilakukan
dan
66.7%
dengan
di
tujuan
Bogor. untuk
meningkatkan atau mengubah perilaku penjaja PJAS dan pengelola kantin yang terkait
dengan
gizi
dan
keamanan
pangan.
Diharapkan
dengan
adanya
27
pembinaan/penyuluhan tersebut, pengetahuan dan praktek gizi dan keamanan dapat menjadi lebih baik. Perilaku Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS Pengetahuan Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap praktek dan pemilihan pangan, pengolahan dan penyimpanan pangan (Andarwulan et al 2008). Pengetahuan gizi dan keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS dinilai berdasarkan hasil jawaban 14 pertanyaan. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan dikategorikan menjadi tiga yaitu baik, sedang dan kurang. Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Lampiran 1. Pada Lampiran 1 dapat dilihat contoh pertanyaan mengenai 4 sehat 5 sempurna, akibat mengkonsumsi pangan jajanan yang tidak sehat dan bersih, kebiasaan mencuci tangan yang baik dan es sirup yang terasa manis, namun agak pahit jika ditelan, sebagian besar mampu dijawab oleh pengelola kantin dan penjaja PJAS. Namun pertanyaan mengenai definisi jajanan dan pangan jajanan yang menyebabkan sakit, kurang mampu dijawab oleh pengelola kantin dan penjaja PJAS. Hal ini berarti masih kurangnya pengetahuan contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Oleh karena itu, diharapkan kepada pihak sekolah dan pihakpihak terkait untuk dapat memberikan pembinaan atau penyuluhan yang rutin terhadap pengelola kantin dan penjaja PJAS tentang gizi khususnya tentang keamanan pangan. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan contoh berpengaruh terhadap praktek dalam pemilihan pangan yang dijual, dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik, diharapkan contoh dapat menjual makanan yang
28
aman dan bergizi. Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan di Jakarta dan Bogor dapat dilihat pada Tabel 9 Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan di Jakarta dan Bogor Kategori Pengetahuan Baik Sedang Kurang Total Rata-rata skor
Pengelola kantin Jakarta Bogor n % n % 6 18.2 1 12.5 15 45.5 5 62.5 12 36.4 2 25.0 33 100.0 8 100.0 66.2 66.9
n 7 20 14 41
Total % 17.1 48.8 34.1 100.0 66.4
Uji beda
p=0.841
Penjaja PJAS Jakarta Bogor n % n % 5 9.6 3 10.0 23 44.2 13 43.3 24 46.2 14 46.7 52 100.0 30 100.0 62.1 60.5
n 8 36 38 82
Total % 9.8 43.9 46.3 100.0 61.5
Secara umum, pengetahuan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari total pengetahuan pengelola kantin yang berkategori baik sebanyak 17.1% sedangkan penjaja PJAS hanya 9.8% dan rata-rata skor pengetahuan pengelola kantin (66.4) dan penjaja PJAS (61.5). Sedangkan berdasarkan wilayah, pengelola kantin di Jakarta maupun di Bogor memiliki pengetahuan dengan kategori sedang, dan pada penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor memiliki pengetahuan dengan kategori kurang. Hal ini sejalan dengan pendapat Tjitarsa (1992) yang mengatakan bahwa rendahnya pendidikan berakibat pada rendahnya pengetahuan dan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya masalah kesehatan. Oleh karena itu, pihak sekolah maupun pihak-pihak terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun Balai POM setempat dapat memberikan pembinaan atau penyuluhan kepada penjaja PJAS mengenai gizi dan keamanan pangan. Berdasarkan hasil uji t-test, tidak ada perbedaan pengetahuan pengelola kantin dan penjaja PJAS berdasarkan wilayah (p≥0.05) dan tidak terdapat perbedaan pengetahuan antara pengelola kantin dan penjaja PJAS (p≥0.05). Persepsi Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS Persepsi contoh dinilai berdasarkan hasil jawaban tiga pertanyaan. Sebaran contoh berdasarkan persepsi yang termasuk baik, disajikan pada Tabel 10.
Uji beda
p=0.993
29
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan persepsi yang baik No
Persepsi
Pengelola kantin Jakarta Bogor n % n % 28 84.8 7 87.5
Total n % 35 85.4
Penjaja PJAS Jakarta Bogor n % n % 36 69.2 25 83.3
Total n % 61 74.4
1
Pangan jajanan yang dijual bergizi
2
Pangan jajanan yang dijual aman dan tidak menyebabkan sakit
31
93.9
8
100.0
39
95.1
47
90.4
29
96.7
76
92.7
3
Menjaga kebersihan
33
100.0
8
100.0
41
100.0
52
100.0
29
96.7
81
98.8
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa secara umum, sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki persepsi bahwa telah menjual makanan yang bergizi, pangan yang dijual aman dan tidak menyebabkan sakit serta telah menjaga kebersihan di sekitar lingkungan penjualan. Praktek Keamanan Pangan Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS Praktek atau tindakan merupakan respon yang timbul akibat dari rangsangan atau objek yang telah diketahui atau disadari sepenuhnya. Praktek atau tindakan nyata seseorang merupakan suatu bentuk aktif dari perilaku (Notoatmodjo 2007). Praktek keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS terdiri dari higiene penjual atau penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Praktek keamanan pangan dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu baik, sedang dan kurang. Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan di Jakarta dan Bogor disajikan pada Tabel 11. Secara umum, keseluruhan praktek pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari praktek keamanan pengelola kantin yang berkategori baik sebanyak 9.8% sedangkan penjaja PJAS hanya 1.2% dan rata-rata skor praktek keamanan pangan pada pengelola kantin sebesar 62.7 sedangkan penjaja PJAS hanya 49.2 Secara umum, sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki higiene dengan kategori kurang dan penanganan serta penyimpanan makanan dan minuman dengan kategori sedang. Namun pada aspek sarana dan prasarana serta pada pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, pengelola kantin lebih baik dari pada penjaja PJAS.
30
Sebaran contoh berdasarkan praktek higiene serta penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman yang benar disajikan pada Lampiran 2, sedangkan
sebaran contoh berdasarkan praktek sarana dan prasarana serta
pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan disajikan pada Lampiran 3. Hasil uji t-test menunjukkan bahwa pada pengelola kantin tidak terdapat perbedaan pada praktek keamanan yaitu higiene, sarana dan prasarana serta penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman (p≥0.05) kecuali pada pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p=0.011). Hasil uji t-test pada penjaja PJAS menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada praktek keamanan pangan yaitu pada higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan miinuman, sarana dan prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p≥0.05). Berdasarkan Lampiran 2, dapat dilihat bahwa pada praktek higiene pengelola kantin dan penjaja PJAS masih banyak yang memegang uang selama pengolahan pangan. Pengelola kantin dan penjaja PJAS juga sangat kurang dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Namun lebih dari 90% pengelola kantin dan penjaja PJAS tidak menggaruk-garuk badan, bersin ataupun batuk selama melayani pembeli. Pada praktek penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak selalu menutup makanan/minuman yang dijual serta penggunaan bahan tambahan kimia atau alami yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, lebih dari 90% pengelola kantin dan penjaja PJAS tidak terdapat bahan-bahan beracun di area penjualannya. Lampiran 3 menunjukkan bahwa pada praktek sarana dan prasarana masih banyak yang kurang dalam hal tempat cuci tangan, lap tangan, lap peralatan, tempat sampah dan tempat pencucian peralatan dengan suplai air yang mengalir. Hal tersebut dapat menjelaskan tentang rendahnya praktek pengelola kantin dan penjaja PJAS dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Menurut Notoatmodjo
(2007)
sarana
dan
fasilitas
merupakan
faktor
pemungkinan
terbentuknya atau berubahnya perilaku seseorang. Pada praktek pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak membuang sampah secara teratur, pencucian peralatan tidak menggunakan air yang mengalir dan detergen disimpan terpisah dan diberi label.
31
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan di Jakarta dan Bogor Kelompok Pengelola kantin Penjaja PJAS Praktek Jakarta Bogor Total Jakarta Bogor n % n % n % n % n % Higiene penjual/ penyaji Baik 1 3.0 0 0.0 1 2.4 1 1.9 0 0.0 Sedang 13 39.4 5 62.5 18 43.9 24 46.2 10 33.3 Kurang 19 57.6 3 37.5 22 53.7 27 51.9 20 66.7 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100 30 100.0 Rata-rata 57.8 65.6 59.4 57.0 51.6 Uji beda p=0.441 p=0.166 Penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman Baik 11 33.3 5 50.0 16 39.0 7 13.5 3 10.0 Sedang 15 45.5 3 37.5 18 43.9 30 57.7 21 70.0 Kurang 7 21.2 0 0.0 7 17.1 15 28.8 6 20.0 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 Rata-rata 69.6 84.6 72.5 62.7 67.1 Uji beda p=0.078 p=0.700 Sarana dan prasarana Baik 14 42.4 4 50.0 18 43.9 8 15.4 0 0.0 Sedang 5 15.2 3 37.5 8 19.5 3 5.8 5 16.7 Kurang 14 42.4 1 12.5 15 36.6 41 78.8 25 83.3 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 Rata-rata 60.5 75.0 63.4 40.7 30.7 Uji beda p=0.299 p=0.176 Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan Baik 1 3.0 2 25.0 3 7.3 1 1.9 1 3.3 Sedang 15 45.5 5 62.5 20 48.8 7 13.5 5 16.7 Kurang 17 51.5 1 12.5 18 43.9 44 84.6 24 80.0 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 Rata-rata 54.3 76.9 58.7 43.5 44.4 Uji beda p=0.011 p=0.568 Total praktek Baik 2 6.1 2 25.0 4 9.8 1 1.9 0 0.0 Sedang 20 60.6 6 75.0 26 63.4 10 19.2 4 13.3 Kurang 11 33.3 0 0.0 11 26.8 41 78.8 26 86.7 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 Rata-rata 59.6 75.3 62.7 49.2 49.1 Uji beda p=0.22 p=0.324
Total n
%
1 34 47 82
1.2 41.5 57.3 100.0 55.0
10 51 21 82
12.2 62.2 25.6 100.0 64.3
8 8 66 82
9.8 9.8 80.5 100.0 37.0
2 12 68 82
2.4 14.6 82.9 100.0 43.8
1 14 67 82
1.2 17.1 81.7 100.0 49.2
Hubungan Antar Variabel Hubungan antar variabel dianalisis untuk mengetahui adanya hubungan antara karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan), karakteristik sekolah (status sekolah, mutu sekolah serta sarana dan prasarana), sikap kepala sekolah, serta penerapan kebijakan keamanan pangan terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek keamanan pangan) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.
32
Hubungan antara Karakteristik Contoh dengan Perilaku Keamanan Pangan Pengelola kantin Hubungan antara karakteristik contoh dengan pengetahuan dan praktek keamanan kantin disajikan pada Tabel 12 dan 13. Tabel 12 Hubungan pendidikan dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola kantin Pendidikan pengelola kantin Tidak tamat SD SMP SMA n % n % n % n % Pengetahuan pengelola kantin Baik 0 0.0 1 16.7 0 0.0 4 25.0 Sedang 0 0.0 3 50.0 4 40.0 9 56.3 kurang 1 100.0 2 33.3 6 60.0 3 18.8 Total 1 100.0 6 100.0 10 100.0 16 100.0 p=0.421 r=0.278 Praktek keamanan pangan pengelola kantin Baik 0 0.0 1 16.7 1 10.0 0 0.0 sedang 1 100.0 3 50.0 6 60.0 11 68.7 kurang 0 0.0 2 33.3 3 30.0 5 31.3 Total 1 100.0 6 100.0 10 100.0 16 100.0 p=0.707 r=0.550 Variabel
n
PT %
n
Total %
2 4 2 8
25.0 50.0 25.0 100.0
7 20 14 41
17.1 48.8 34.1 100.0
2 5 1 8
25.0 62.5 12.5 100.0
4 26 11 41
9.8 63.4 26.8 100.0
Pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa hasil uji chi square, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pengetahuan (p=0.421), maupun praktek keamanan pangan (p=0.707) pada pengelola kantin. Namun jika dilihat pada Tabel 12, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin baik pengetahuan dan praktek keamanan pangannya. Hal tersebut dilihat pada pengetahuan dan praktek keamanan pangan yang berkategori kurang sangat sedikit ditemukan pada pengelola kantin yang berpendidikan formal perguruan tinggi. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku yang lebih baik.
33
Tabel 13 Hubungan jenis kelamin dengan pengetahuan dan praktek pangan pengelola kantin Jenis kelamin pengelola kantin Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Pengetahuan pengelola kantin Baik 5 18.5 2 14.3 7 17.1 sedang 14 51.9 6 42.9 20 48.8 Kurang 8 29.6 6 42.9 14 34.1 Total 27 100.0 14 100.0 41 100.0 Praktek keamanan pangan pengelola kantin Baik 2 7.4 2 14.3 4 9.8 Sedang 16 59.3 10 71.4 26 63.4 Kurang 9 33.3 2 14.3 11 26.8 Total 27 100.0 14 100.0 41 100.0 Variabel
Uji
p=0.697 r=0.700
p=0.385 r=0.364
Pada Tabel 13, dapat dilihat bahwa berdasarkan uji chi square, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan pengetahuan (p=0.697) maupun dengan praktek keamanan pangan (p=0.385). Hal ini diduga ada faktor lain yang lebih mempengaruhi dan mempunyai peranan yang sangat penting seperti pikiran, keyakinan dan emosi dalam menentukan sikap dan tindakan atau praktek seseorang. Respon dan praktek individu dipengaruhi oleh faktor internal yaitu karakteristik individu yang bersifat genetik (tingkat kecerdasan, tingkat emosional dan sebagainya) dan faktor eksternal (lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya) (Notoatmodjo 2003). Penjaja PJAS Hubungan antara karakteristik contoh dengan pengetahuan dan praktek keamanan pada penjaja PJAS pangan disajikan pada Tabel 14 dan 15. Tabel 14 Hubungan pendidikan dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan penjaja PJAS Variabel
SD
Pendidikan penjaja PJAS SMP SMA PT n % n % n %
n % Pengetahuan penjaja PJAS Baik 6 11.8 1 5.0 Sedang 20 39.2 9 45.0 Kurang 25 49.0 10 50.0 Total 51 100.0 20 100.0 Praktek keamanan pangan penjaja PJAS Baik 0 0.00 0 0.0 Sedang 8 15.7 4 20.0 Kurang 43 84.3 16 80.0 Total 51 100.0 20 100.0
n
Total %
Uji
1 6 3 10
10.0 60.0 30.0 100.0
0 1 0 1
0.0 100.0 0.0 100.0
8 36 38 82
9.8 43.9 46.3 100.0
p=0.742 r=0.676
1 2 7 10
10.0 20.0 70.0 100.0
0 0 1 1
0.0 0.0 100.0 100.0
1 14 67 82
1.2 17.1 81.7 100.0
p=0.250 r=0.542
34
Pada Tabel 14 terlihat bahwa, berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan chi square, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan dengan pengetahuan (p=0.742) maupun praktek keamanan pangan (p=0.250). Namun jika diamati pada Tabel 14, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendidikan terlihat semakin baik pengetahuannya. Hubungan yang tidak signifikan tersebut diduga karena terdapat faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap pengetahuan penjaja PJAS. Suhardjo (1996) menyatakan bahwa pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Faktor pendidikan informal yang diduga mempengaruhi pengetahuan penjaja PJAS adalah informasi yang diperoleh dari berbagai sumber seperti media masa dan koran. Hal ini sesuai dengan pendapat WHO (2000) menyatakan pengetahuan bisa diperoleh melalui informasi ataupun pengalaman. Banyak faktor yang mempengaruhi praktek/tindakan seseorang. Salah satunya adalah kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun dalam kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan tersebut mungkin kurang baik dengan kaidah
kesehatan, tetapi sulit untuk merubahnya (Suprapti 2004). Tabel 15 Hubungan jenis kelamin dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan penjaja PJAS Jenis kelamin penjaja PJAS Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Pengetahuan penjaja PJAS Baik 34 49.3 4 30.8 38 46.3 Sedang 30 43.5 6 46.2 36 43.9 Kurang 5 7.2 3 23.1 8 9.8 Total 69 100.0 13 100.0 82 100.0 Praktek keamanan pangan penjaja PJAS Baik 58 84.1 9 69.2 67 81.7 Sedang 11 15.9 3 23.1 14 14 Kurang 0 0.0 1 7.7 1 1 Total 69 100.0 13 100.0 82 100.0 Variabel
Uji
p=0.162 r=0.211
p=0.052 r=0.117
Pada Tabel 15 terlihat bahwa, berdasarkan uji chi square tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan pengetahuan (p=0.162) maupun praktek keamanan pangan (p=0.052).
35
Hubungan antara Karakteristik Sekolah dengan Perilaku Keamanan Pangan Pengelola Kantin Hubungan karakteristik sekolah dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola kantin disajikan pada Tabel 16 dan 17. Pada Tabel 16 dan 17 dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status sekolah (p=0.641), dengan mutu sekolah (p=0.690) maupun dengan sarana dan prasarana sekolah (p=0.647). Tidak terdapat juga hubungan yang signifikan antara praktek keamanan pangan dengan status sekolah (p=0.225), dengan mutu sekolah (p=0.367) maupun dengan sarana dan prasarana sekolah (p=0.918). Karakteristik sekolah yang tidak berhubungan dengan
pengetahuan
maupun
praktek
keamanan
pangan
diduga
karena
pengetahuan maupun praktek keamanan pangan pada pengelola kantin yang berjualan di sekolah baik berstatus negeri maupun swasta dengan akreditasi A, B, C atau belum terakreditasi serta pada sarana dan prasarana sekolah yang baik, sedang maupun kurang umumnya termasuk kategori yang sama berkisar antara kurang sampai sedang. Tabel 16 Hubungan karakteristik sekolah dengan pengetahuan pengelola kantin Variabel Status sekolah Negeri Swasta Total Mutu sekolah Belum terakreditasi C B A Total Sarana dan prasarana Baik Sedang Kurang Total
Kurang n %
Pengetahuan pengelola kantin Sedang Baik n % n %
n
%
7 7 14
30.4 38.9 34.1
11 9 20
47.8 50.0 48.8
5 2 7
21.7 11.1 17.1
23 18 41
100.0 100.0 100.0
0 0 4 10 14
0.0 0.0 26.7 41.7 34.1
1 1 7 11 20
100.0 100.0 46.7 45.8 48.8
0 0 4 3 7
0.0 0.0 26.7 12.5 17.1
1 1 15 24 41
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.690 r=0.599
9 5 0 14
42.9 26.8 0.0 34.1
9 10 1 20
42.9 52.6 100.0 48.8
3 4 0 7
14.3 21.1 0.0 17.1
21 19 1 41
100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.647 r=0.606
Total
Uji
p=0.641 r=0.632
36
Tabel 17 Hubungan karakteristik sekolah dengan praktek keamanan pangan pengelola kantin Variabel Status sekolah Negeri Swasta Total Mutu sekolah Belum terakreditasi C B A Total Sarana dan prasarana Baik Sedang Kurang Total
Kurang n %
praktek pengelola kantin Sedang Baik n % n %
n
%
5 6 11
21.7 33.3 26.8
17 9 26
73.9 50.0 63.4
1 3 4
4.3 16.7 9.8
23 18 41
100.0 100.0 100.0
p=0.225 r=0.220
1 0 5 5 11
100.0 0.0 33.3 20.8 26.8
0 1 10 15 26
0.0 100.0 66.7 62.5 63.4
0 0 0 4 4
0.0 0.0 0.0 16.7 9.8
1 1 15 24 41
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.367 r=0.236
5 6 0 11
23.8 31.6 0.0 26.8
14 11 1 26
66.7 57.9 100.0 63.4
2 2 0 4
9.5 10.5 0.0 9.8
21 19 1 41
100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.918 r=0.865
Total
Uji
Penjaja PJAS Hubungan antara karakteristik sekolah dengan pengetahuan dan praktek disajikan pada Tabel 18 dan 19. Pada Tabel 18 dan 19 terlihat bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status sekolah (p=0.111), dengan mutu sekolah (p=0.312) maupun dengan sarana dan prasarana sekolah (p=0.122). Tidak terdapat juga hubungan yang signifikan antara praktek keamanan pangan penjaja PJAS dengan status sekolah (p=0.101), dengan mutu sekolah (p=0.201) dan dengan sarana dan prasarana sekolah (p=0.312). Tabel 18 Hubungan karakteristik sekolah dengan pengetahuan penjaja PJAS Variabel Status sekolah Negeri Swasta Total Mutu sekolah Belum terakreditasi C B A Total Sarana dan prasarana Baik Sedang Kurang Total
Kurang n %
Pengetahuan penjaja PJAS Sedang Baik n % n %
n
%
27 11 38
55.1 33.3 46.3
17 19 36
34.7 57.6 43.9
5 3 8
10.2 9.1 9.8
49 33 82
100.0 100.0 100.0
p=0.111 r=0.109
1 4 19 14 38
50.0 57.1 48.7 41.2 46.3
0 3 15 18 36
0.0 42.9 38.5 52.9 43.9
1 0 5 2 8
50.0 0.0 12.8 5.9 9.8
2 7 39 34 82
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.312 r=0.319
12 24 2 38
40.0 54.5 25.0 46.3
16 14 6 36
53.3 31.8 75.0 43.9
2 6 0 8
6.7 13.6 0.0 9.8
30 44 8 82
100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.122 r=0.093
Total
Uji
37
Tabel 19 Hubungan karakteristik sekolah dengan praktek keamanan pangan penjaja PJAS Variabel Status sekolah Negeri Swasta Total Mutu sekolah Belum terakreditasi C B A Total Sarana dan prasarana Baik Sedang Kurang Total
Kurang n %
praktek penjaja PJAS Sedang Baik n % n %
n
%
43 24 67
87.8 72.7 81.7
5 9 14
10.2 27.3 17.1
1 0 1
2.0 0.0 1.2
49 33 82
100.0 100.0 100.0
p=0.101 r=0.088
2 7 35 23 67
100.0 100.0 89.7 67.6 81.7
0 0 4 10 14
0.0 0.0 10.3 29.4 17.1
0 0 0 1 1
0.0 0.0 0.0 2.9 1.2
2 7 39 34 82
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.201 r=0.121
22 37 8 67
73.3 84.1 100.0 81.7
8 6 0 14
26.7 13.6 0.0 17.1
0 1 0 1
0.0 2.3 0.0 1.2
30 44 8 81
100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.312 r=0.179
Total
Uji
Kondisi yang sama terjadi pada penjaja PJAS, dimana pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola PJAS hampir sama yaitu berkategori kurang sampai sedang. Hal ini diduga menjadi penyebab tidak adanya hubungan antara karakteristik sekolah dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan, disamping itu dipengaruhi oleh faktor lain seperti sarana dan prasarana sekolah. Hubungan antara sikap kepala sekolah dengan perilaku keamanan pangan pengelola kantin. Hubungan sikap kepala sekolah dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola kantin disajikan pada Tabel 20 Tabel 20 Hubungan sikap kepala sekolah dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola kantin Sikap kepala sekolah Kurang Sedang Baik n % n % n % Pengetahuan pengelola kantin Baik 0 0.0 5 17.2 2 28.6 Sedang 5 100.0 12 41.4 3 42.8 kurang 0 0.0 12 41.4 2 28.6 Total 5 100.0 29 100.0 7 100.0 Praktek keamanan pangan pengelola kantin Baik 1 20.0 3 10.3 0 0.0 Sedang 3 60.0 18 62.1 5 71.4 Kurang 1 20.0 8 27.6 2 28.6 Total 5 100.0 29 100.0 7 100.0 Variabel
n
Total %
Uji
7 20 14 41
17.1 48.8 34.1 100.0
p=0.154 r=0.075
4 26 11 41
9.8 63.4 26.8 100.0
p=0.841 r=0.739
38
Pada Tabel 20, dapat dilihat bahwa hasil uji chi square tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap kepala sekolah dengan pengetahuan (p=0.841) maupun praktek keamanan pangan (p=0.841). Keadaan ini diduga karena pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola kantin lebih dipengaruhi oleh faktor lain seperti pendidikan formal, informal serta sarana dan prasarana yang dimiliki. Penjaja PJAS Hubungan sikap kepala sekolah dengan perilaku keamanan pangan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Hubungan sikap kepala sekolah dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan penjaja PJAS Sikap kepala sekolah Kurang Sedang Baik n % n % n % Pengetahuan penjaja PJAS Baik 1 12.5 5 8.3 2 14.3 Sedang 2 25.0 26 43.3 8 57.1 kurang 5 62.5 29 48.3 4 28.6 Total 8 100.0 60 100.0 14 100.0 Praktek keamanan pangan Penjaja PJAS Baik 0 0.0 0 00.0 1 7.1 Sedang 0 00.0 12 20.0 2 14.3 Kurang 8 100.0 48 80.0 11 78.6 Total 8 100.0 60 100.0 14 100.0 Variabel
n
Total %
Uji
8 36 38 82
9.8 43.9 46.3 100.0
p=0.533 r=0.510
1 14 67 882
1.2 17.1 81.7 100.0
p=0.138 r=0.138
Pada Tabel 21 terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap kepala sekolah dengan pengetahuan (p=0.533) maupun dengan praktek keamanan pangan (p=0.138). Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan perilaku keamanan pangan pengelola kantin Salah satu upaya dalam merubah praktek keamanan pangan adalah dengan adanya penerapan kebijakan keamanan pangan di sekolah. Penerapan kebijakan keamanan pangan yang dimaksud adalah adanya peraturan, pengawasan, penyuluhan dan sanksi. Penerapan peraturan yang diamati meliputi banyak hal yaitu higiene penjual/penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan.
39
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Andarwulan et al (2009) pengetahuan gizi dan keamanan pangan dapat diperoleh melalui himbauan/pengarahan dari pihak sekolah yang merupakan bagian dari penerapan kebijakan keamanan pangan. Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 22 dan Tabel 23. Tabel 22 Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan pengetahuan Variabel Pengetahuan Baik Sedang Kurang Total
Penerapan kebijakan keamanan pangan pengelola kantin Kurang Sedang Baik Total n % n % n % n % 1 6 3 10
10.0 60.0 30.0 100.0
1 4 6 11
9.1 36.4 54.5 100.0
5 10 5 20
25.0 50.0 25.0 100.0
7 20 14 41
17.1 48.8 34.1 100.0
Uji
p=0.415 r=0.428
Berdasarkan uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan pengetahuan (p=0.415). Hal ini diduga karena kurangnya penerapan kebijakan keamanan pangan di sekolah khususnya mengenai penyuluhan/pembinaan yang rutin mengenai materi kriteria makanan jajanan sehat serta syarat higiene dan sanitasi makanan kepada pengelola kantin. Berdasarkan uji chi square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan higiene (p=0.024), dengan penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman (p=0.022),
dengan
pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p=0.040) dan dengan total praktek keamanan pangan (p=0.004). Hal tersebut terjadi karena adanya peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh sekolah yang harus ditaati oleh pengelola kantin karena jika tidak dipatuhi akan mendapatkan sanksi yaitu tidak diizinkan berjualan pada selang waktu tertentu dan tidak diizinkan berjualan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi, merupakan salah satu strategi untuk merubah perilaku seseorang kearah yang lebih baik.
40
Tabel 23 Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan praktek Penerapan kebijakan keamanan pangan pengelola kantin Kurang Sedang Baik Total n % n % n % n % Higiene pengelola kantin Baik 0 0.0 1 9.1 0 0.0 1 2.4 Sedang 1 10.0 4 36.4 13 65.0 18 43.9 Kurang 9 90.0 6 54.5 7 35.0 22 53.7 Total 10 100.0 11 100.0 20 100.0 41 100.0 Penanganan serta penyimpanan makanan dan minuman Baik 2 20.0 8 72.7 6 30.0 16 39.0 Sedang 4 40.0 2 18.2 12 60.0 18 43.9 Kurang 4 40.0 1 9.1 2 10.0 7 17.1 Total 10 100.0 11 100.0 20 100.0 41 100.0 Sarana dan prasarana Baik 2 20.0 7 63.6 9 45.0 18 43.9 Sedang 2 20.0 1 9.1 5 25.0 8 19.5 Kurang 6 60.0 3 27.3 6 30.0 15 36.6 Total 10 100.0 11 100.0 20 100.0 41 100.0 Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan Baik 0 0.0 3 27.2 0 0.0 3 7.3 Sedang 4 40.0 4 36.4 12 60.0 20 48.8 Kurang 6 60.0 4 36.4 8 40.0 18 43.9 Total 10 100.0 11 100.0 20 100.0 41 100.0 Total praktek keamanan pangan Baik 0 0.0 4 36.4 0 0.0 4 9.8 Sedang 5 50.0 5 45.5 16 80.0 26 63.4 Kurang 5 50.0 2 18.2 4 20.0 11 26.8 Total 10 100.0 11 100.0 20 100.0 41 100.0 Variabel
Uji
p=0.024 r=0.018
p=0.022 r=0.029
p=0.267 r=0.254
p=0.040 r=0.046
p=0.004 r=0.005
Penjaja PJAS Berdasarkan uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebijakan keamanan pangan dengan pengetahuan (p=0.457), dengan higiene (p=0.533), dengan penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman (p=0.218), dengan sarana dan prasarana (p=0.909), dengan pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p=0.813) serta dengan total praktek keamanan pangan (p=0.733). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wijaya, R tahun 2009 pada penjaja PJAS di Kota dan Kabupaten Bogor, bahwa tidak ada hubungan antara peraturan sekolah dengan praktek keamanan pangan pada penjaja PJAS. Hal ini diduga karena penerapan peraturan, pengawasan, pembinaan maupun sanksi yang merupakan bagian dari penerapan kebijakan keamanan pangan belum diberlakukan dan disosialisasikan kepada penjaja PJAS dari pihak sekolah.
41
Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan pengetahuan disajikan pada Tabel 24 dan hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan disajikan pada Tabel 25. Tabel 24 Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan pengetahuan Variabel Pengetahuan Baik Sedang Kurang Total
Penerapan kebijakan keamanan pangan penjaja PJAS Kurang Sedang Baik Total n % n % n % n % 2 9 9 20
10.0 45.0 45.0 100.0
0 11 10 21
0.0 52.4 47.6 100.0
6 16 19 41
14.6 39.0 46.3 100.0
8 36 38 82
9.8 43.9 46.3 100.0
Uji
p=0.457 r=0.236
Tabel 25 Hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan Penerapan kebijakan keamanan pangan penjaja PJAS Kurang Sedang Baik Total n % n % n % n % Higiene pengelola kantin 0 0.0 0 0.0 1 2.4 1 1.2 Baik 9 45.0 6 28.6 19 46.3 34 41.5 Sedang 11 55.0 15 71.4 21 51.2 47 57.3 Kurang 20 100.0 21 100.0 41 100.0 82 100.0 Total Penanganan serta penyimpanan makanan dan minuman 0 0.0 2 9.5 8 19.5 10 12.2 Baik 13 65.0 13 61.9 25 61.0 51 62.2 Sedang 7 35.0 6 28.6 8 19.5 21 25.6 Kurang 20 100.0 21 100.0 41 100.0 82 100.0 Total Sarana dan prasarana 2 10.0 2 9.5 4 9.8 8 9.8 Baik 1 5.0 3 14.3 4 9.8 8 9.8 Sedang 17 85.0 16 76.2 33 80.5 66 80.5 Kurang 20 100.0 21 100.0 41 100.0 82 100.0 Total Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan 0 0.0 1 4.8 1 2.4 2 2.4 Baik 2 10.0 3 14.3 7 17.1 12 14.6 Sedang 18 90.0 17 81.0 33 80.5 68 82.9 Kurang 20 100.0 21 100.0 41 100.0 82 100.0 Total Total praktek keamanan pangan 0 0.0 0 0.0 1 2.5 1 1.2 Baik 2 10.0 4 19.0 8 19.5 14 17.1 Sedang 18 90.0 17 81.0 32 78.0 67 81.7 Kurang 20 100.0 21 100.0 41 100.0 82 100.0 Total Variabel
Uji
p=0.533 r=0.465
p=0.218 r=0.098
p=0.909 r=0.902
p=0.813 r=0.738
p=0.733 r=0.646
Winarno (1991) menyatakan jenis pangan jajanan yang dijual oleh pedagang kecil lebih besar peluangnya terhadap kontaminan dan bahaya kesehatan
42
dibandingkan yang berasal dari pedagang besar dengan perlengkapan yang memadai. Penjaja PJAS pada umumnya merupakan usaha kecil yang masih kekurangan modal untuk memenuhi sarana dan prasarana yang baik. Apabila tidak dibantu oleh pihak lain untuk melengkapi sarana dan prasarana yang memadai akan sulit bagi penjaja PJAS untuk menerapkan syarat higiene dan sanitasi makanan yang meliputi higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan.
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sebagian besar SD yang menjadi tempat penelitian di Jakarta (55.8%) dan Bogor (66.7%) memiliki status negeri. Hampir 50% SD berakreditasi B, yaitu di Jakarta (48,1%) dan Bogor (46.7%). Dalam hal sarana dan prasarana, SD yang berada di Jakarta lebih baik daripada SD di Bogor, dimana sarana dan prasarana yang termasuk dalam kategori baik di Jakarta sebanyak 94.2% dan Bogor hanya 33.3%. Sebagian besar kepala sekolah memiliki sikap mengenai keamanan pangan yang berkategori sedang yaitu di Jakarta (78.8%) dan Bogor (63.3%). Hal ini sejalan dengan penerapan kebijakan keamanan pangan pangan yang berkategori baik di Jakarta (53.8%) dan Bogor (43.3%). Sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor berjenis kelamin laki-laki. Pendidikan pengelola kantin (41.5% SMA/sederajat) lebih baik daripada penjaja PJAS (62.2% SD/sederajat). Secara umum, pengetahuan pengelola kantin (17.1%) lebih baik daripada penjaja PJAS (9.8%). sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki persepsi bahwa telah menjual makanan yang bergizi, pangan yang dijual aman dan tidak menyebabkan sakit, dan telah menjaga kebersihan disekitar penjualan. Praktek pengelola kantin secara umum lebih baik daripada penjaja PJAS, dimana penanganan dan penyimpanan makanan pengelola kantin yang berkategori baik sebanyak 39.0% sedangkan pada penjaja PJAS hanya 12.2%. sarana dan prasarana pengelola kantin yang berkategori baik sebanyak 43.9% sedangkan pada penjaja PJAS hanya 9.8% serta pada pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan pengelola kantin yang berkategori baik sebanyak 7.3% sedangkan penjaja PJAS hanya 2.4%. Berdasarkan wilayah, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
sikap
kepala sekolah, penerapan kebijakan pangan sekolah, pengetahuan dan praktek keamanan pangan dan gizi (higiene, penanganan dan penyimpanan makanan, sarana dan prasaran serta total praktek) (p≥0.05). Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada pengetahuan dan praktek (higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman dan pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS (p≥0.05). Namun terdapat perbedaan yang
44
nyata pada sarana dan prasarana pada pengelola kantin dan penjaja PJAS (p≤0.05), dimana pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik sekolah, karakteristik contoh dan sikap kepala sekolah dengan perilaku keamanan pangan pada pengelola kantin. Namun terdapat hubungan yang signifikan positif antara penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan praktek higiene, praktek penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, praktek pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan serta total praktek keamanan pangan pengelola kantin. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik sekolah, karakteristik contoh, sikap kepala sekolah serta penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku keamanan pangan dan gizi. Saran Diharapkan kepada pihak sekolah untuk meningkatkan sosialisasi mengenai penerapan kebijakan keamanan di sekolah yaitu mengenai peraturan, sanksi, pengawasan serta penyuluhan yang rutin kepada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Pihak sekolah diharapkan untuk lebih memperhatikan praktek keamanan pangan pada semua aspek, terutama pada higiene, sarana dan prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Cara yang diberikan dapat berupa bantuan fasilitas dari pihak sekolah kepada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Diharapkan kepada semua pihak yaitu kepada Dinas Pendidikan serta dari pihak sekolah yaitu dari kepala sekolah, guru, staff sekolah dan orang tua murid untuk dapat bekerjasama dalam melakukan pengawasan yang berhubungan dengan keamanan pangan jajanan di sekolah.
45
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan et al. 2009. Laporan Akhir Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional 2008. Direktorat Surveilan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Pangan Berbahaya. BPOM RI dan SUCOFINDO. Anonimous. 2006. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). www. Bpom.go.id [BPOMRI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Melamin dalam Produk Makanan. http://Perpustakaan .pom.go.id. BPOM. 2007. Food Watch Sistem Keamanan Pangan Terpadu Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. http://www.pom.go.id Eunike Sri. 2009. Gambaran Perilaku Jajan Murid Sekolah Dasar di Jakarta. http://Psikobuana.com Engel FJ, et al. 1994. Perilaku Konsumen. Edisi VI. Jilid I. Jakarta : Binarupa Akasara. Fardiaz D. dan S. Fardiaz. 1994. Proyek Makanan Jajanan. Bogor: Materi Semiloka Program Intervensi Pembinaan Usaha Makanan Jajanan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM IPB). Februhartanty &Iswaranti. 2004. Amankah Makanan Jajanan Siswa Sekolah di Indonesia. http://www.Gizi.net [15 Mei 2010]. Fitriyanti, Ida. 2009. Perilaku Guru Sekolah Dasar terkait Gizi dan Keamanan Pangan [skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Harris JR & Liebert RM. 1991. The Child. New Jersey: PRENTICE Hall. Judarwanto W. 2006. Antisipasi http://www.pdpersi.co.id.
Perilaku
Makan
Anak
di
Sekolah.
Kemanan Pangan dan Pangan Berbahaya. BPOM RI dan SUCOFINDO. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan sumber daya Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Lusiana SA. 2008. Status Gizi, Konsumsi Pangan, dan Usia Menarche Anak Perempuan Sekolah Dasar di Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Madanijah S. 1994. Makanan Bekalan. Pelatihan dan Penyuluhan Pangan dan Gizi di Kalangan Pendidik Sekolah Dasar dan Menengah. Kantor Menteri Urusan Pangan Bekerjasama dengan Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor. ______. 2004. Pola Konsumsi Pangan, Dalam Pengantar Pangan dan Gizi. YF Baliwati, A Khomsan, CM Dwiariani (editor). Jakarta: Penebar Swadaya. Muhilal, D. Damayanti. 2006. Gizi Seimbang untuk Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta : PT Primamedia Pustaka.
46
Notoatmodjo S.2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta __________. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:Rineka Cipta. Nuraida L.et al.Menuju Kantin Sehat di Sekolah. Bogor:SEAFAST Center. Papalia DE, Olds SW. 1979. A Child’s World Infancy though Adolescence (2nded) New York: Marcel Decker. Pranadji D. K. 1998. Pendidikan Gizi (Diktat yang tidak Dipublikasikan). Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Santoso. Soegeng dkk. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Ribeka Cipta. Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta : Dian Rakyat. Setiadi N. J. 2003. Perilaku Konsumen. Jakarta: Prenada Media. Slamet J.S. 1998. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan _______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan gizi. Jakarta :Bumi Aksara. _______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Sumarwan U. 2004. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor. Ghalia Indonesia. Tjahja, M. dan Kadarisman, D. 2005. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan Bogor: IPB Press. Tjitarsa IB. 1992. Pendidikan Kesehatan:Pedoman Pelayanan Kesehatan Dasar. Bandung:Penerbit ITB dan Unibersitas Udayana. Wijaya R. 2009. Penerapan Peraturan dan Praktek Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Kota dan Kabupaten Bogor [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Winardi. 1991. Marketing dan perilaku konsumen. Bandung: Mandar Maju. Yusuf A. L. 2004. Studi Keamanan Mikrobiologi Makanan di Kantin Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama IPB [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan
1
Makanan yang bergizi
Pengelola kantin Jakarta Bogor (n=33) (n=8) n % n % 32 97.0 8 100.0
2
4 sehat 5 sempurna
32
97.0
7
87.5
39
95.1
43
82.7
19
63.3
62
75.6
3
Kandungan makanan penghasil tenaga
22
66.7
5
62.5
27
65.9
31
59.6
13
43.3
44
53.7
4
Jenis makanan penghasil tenaga
26
78.8
4
50.0
30
73.2
42
80.8
26
86.7
68
83.0
5
Kandungan buah dan sayur
25
75.8
6
75.0
31
75.6
33
63.5
24
80.0
57
69.5
6
Defenisi jajanan
9
27.3
2
25.0
11
26.9
16
30.8
8
26.7
24
29.2
7
Akibat mengkonsumsi pangan jajanan yang tidak sehat dan bersih Arti ditemukannya sehelai rambut pada es cendol Kebiasaan cuci tangan yang baik
30
90.9
8
100.0
38
92.7
48
93.2
20
66.7
68
83.0
28
84.8
5
62.0
33
80.5
33
63.5
19
63.3
52
63.4
32
97.0
8
100.0
40
97.6
50
96.2
29
96.7
79
96.3
Es sirup yang terasa manis, namun agak pahit sesaat setelah Bahan tambahan yang diizinkan untuk mengolah/mengawetkan makanan
28
84.8
8
100.0
36
87.8
38
73.1
24
80.0
62
75.6
21
63.6
4
50.0
25
61.0
22
42.3
19
63.3
41
50.0
12
Jika es batu dibuat dari air mentah
21
63.6
5
62.5
26
63.4
18
34.6
18
60.0
36
44.0
13
Pangan jajanan yang menyebabkan sakit
12
36.4
3
37.5
15
36.6
22
42.3
13
43.3
35
42.7
14
Contoh bahan tambahan pangan alami
15
45.5
2
25.0
17
41.5
19
36.5
7
23.3
26
31.7
No
8 9 10 11
Pengetahuan
% 97.6
Penjaja PJAS Jakarta Bogor (n=52) (n=30) n % n % 37 71.2 15 50.0
n 52
% 63.4
Total (n=41) n 40
Total (n=82)
47
Lampran 2 Sebaran contoh berdasarkan praktek higiene serta penanganan dan penyimpanan makanan yang benar No
Praktek keamanan pangan
Pengelola kantin Jakarta Bogor (n=33) (n=8) n % n %
Total (n=41) n
%
Penjaja PJAS Jakarta Bogor (n=52) (n=30) n % n %
n
%
33.3
52
63.4
29
96.7
70
85.4
92.3
23
76.7
71
86.6
9
17.3
10
33.3
19
23.2
46.3
32
61.5
18
60.0
50
61.0
37
90.2
45
86.5
23
73.3
68
82.9
100.0
38
92.7
47
90.4
27
90.0
74
90.2
0 0
0.0 0.0
2 1
4.9 2.4
1 1
1.9 1.9
0 0
0.0 0.0
1 1
1.2 1.2
78.8
7
87.5
33
80.5
11
21.2
2
6.7
13
15.9
26 29
78.8 87.9
8 8
100.0 100.0
34 37
82.9 90.2
43 48
82.7 92.3
28 30
93.3 100.0
71 78
86.6 95.1
Makanan/minuman disajikan atau dikemas dalam pengemas yang bersih Plastik bekas tidak digunakan sebagai kemasan makanan/minuman Makanan/minuman yang dijual selalu ditutup
31
93.9
8
100.0
39
95.1
41
78.8
27
90.0
68
82.9
29 14
87.9 42.4
8 4
100.0 50.0
37 18
90.2 43.9
44 36
84.6 69.2
27 13
90.0 43.3
71 49
86.6 59.8
Bahan tambahan kimia atau alami yang ditambahkan ke dalam minuman adalah bahan yang diizinkan Penggunaan bahan tambahan kimia atau alami yang ditambahkan ke dalam minuman sesuai dengan petunjuk dan ketentuan yang berlaku
24
72.7
7
87.5
31
75.6
34
65.4
28
93.3
62
75.6
4
12.1
4
100.0
8
19.5
4
7.7
6
20.0
10
12.2
Higiene 1 Penanganan makanan dengan bersih dan sehat
30
90.9
8
100.0
38
92.7
42
80.8
10
2
Menggunakan baju yang bersih
31
93.9
8
100.0
39
95.1
41
78.8
3
Tidak memiliki luka yang terbuka
27
81.8
8
100.0
35
85.4
48
4
Tidak memegang uang selama pengolahan pangan
6
18.2
3
37.5
9
22.0
5
Tidak menyentuh langsung makanan dengan tangan
15
45.5
4
50.0
19
6
Tidak makan, minum atau merokok selama melayani pembeli
29
87.9
8
100.0
Tidak menggaruk-garuk badan, bersin atau batuk selama melayani pembeli 8 Sebelum melayani pembeli, penjual mencuci tangan terlebih dahulu 9 Setelah melayani pembeli, penjual mencuci tangan Penanganan dan penyimpanan makanan 1 Bahan makanan yang cepat rusak disimpan di dalam lemari es/kulkas 2 Bahan-bahan kering dipisahkan dari bahan-bahan basah 3 Tidak terdapat bahan-bahan beracun di area penjualan
30
90.0
8
2 1
6.1 3.0
26
4
7
5 6 7 8
Total (n=82)
48
Lampiran 3 sebaran contoh berdasarkan praktek sarana dan prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan
No
Pengelola kantin Jakarta Bogor (n=33) (n=8) n % n %
Praktek keamanan pangan
Penjaja PJAS Jakarta Bogor (n=52) (n=30) n % n %
Total (n=41) n
%
100.0
32
78.0
27
51.9
20
3
37.5
18
43.9
19
36.5
51.5
4
50.0
21
51.2
28
16
48.5
7
87.5
23
56.1
24
72.7
8
100.0
32
Tersedia tempat pencucian peralatan dengan suplai air mengalir Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan 1 Tidak ada binatang pengerat, serangga dan binatang lainnya di tempat penjualan
24
72.7
6
75.0
32
97.0
4
2
Ada upaya untuk pencegahan masuknya hama
22
66.7
3
Tidak terdapat bahan pangan yang berserakan
26
4
Tidak terdapat air tergenang di sekitar penjualan
5
Total (n=82) n
%
66.7
47
57.3
4
13.3
23
28.0
53.8
16
53.3
44
53.6
21
40.4
14
46.7
35
42.7
78.0
22
42.3
1
3.3
23
28.0
30
73.2
11
21.2
1
3.3
12
14.6
50.0
36
87.8
43
82.7
25
83.3
68
82.9
2
25.0
24
58.3
15
28.8
9
30.0
24
29.3
78.8
7
87.5
33
80.5
40
76.9
26
86.7
66
80.5
25
75.8
7
87.5
32
78.0
38
73.1
22
73.3
60
73.2
Sampah dibuang secara teratur
9
27.3
8
100.0
17
41.5
17
32.7
7
23.3
24
29.3
6
Pencucian peralatan dengan menggunakan air mengalir
30
90.9
5
62.5
35
85.4
14
26.9
2
6.7
16
19.5
7
Tidak terdapat tumpukan tanah/kotoran disekitar tempat penjualan
28
84.8
7
87.5
35
85.4
40
76.9
20
66.7
60
73.2
8
Tidak berdekatan dengan saluran pembuangan air
32
97.0
7
87.5
39
95.1
22
42.3
22
73.3
44
53.6
9
Tempat penjualan terawat dengan baik
28
84.8
8
100.0
36
87.8
20
38.5
13
43.3
33
40.2
10
Detergen disimpan terpisah dan diberi label
21
63.6
8
100.0
29
70.7
3
5.8
1
3.3
4
4.9
Sarana dan prasarana 1 Tempat untuk makanan dalam keadaan bersih
24
72.7
8
2
Tersedia tempat cuci tangan
15
45.5
3
Tersedia lap tangan
17
4
Tersedia lap peralatan
5
Tersedia tempat sampah
6
49
No
Praktek keamanan pangan
Pengelola kantin Jakarta Bogor (n=33) (n=8) n % n % 21 63.6 7 87.5
n 28
% 68.3
Penjaja PJAS Jakarta Bogor (n=52) (n=30) n % n % 39 75.0 18 60.0
n 57
% 69.5
Total (n=41)
Total (n=82)
11
Peralatan tersimpan dalam keadaan bersih dan kering
12
Jika peralatan dikeringkan dengan lap, tersedia lap bersih dan kering
12
36.4
4
50.0
16
39.0
1
1.9
3
10.0
4
4.9
13
Gelas/mangkok/sendok selalu dikeringkan dengan lap bersih sebelum digunakan untuk menyajikan makanan/minuman
15
45.5
6
75.0
21
51.2
2
3.8
5
16.7
7
8.5
50