WACANA KALEPASAN DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA Ni Made Ari Dwijayanthi Program Studi Magister Linguistik Konsentrasi Wacana Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana Abstract This study analyze Kakawin Panca Dharma manuscript which consists of five kakawins namely Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus. The focus of this research are to reveal the form of kalepasan, its function, and its meaning in Kakawin Panca Dharma. Semiotic theory from Pierce is used to intreprete the text, while theory “Rasa” from Sharma is used to analyze the deep esthetic experience in Kakawin Panca Dharma. Basically Kalepasan is to free ourself by simple way of life. Keywords: discourse, kalepasan, Kakawin Panca Dharma, the freedom of soul. Abstrak Penelitian ini menganilisis teks Kakawin Panca Dharma yang terdiri dari lima teks kakawin yaitu Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus. Fokus penelitian ini untuk mengungkapkan bentuk, fungsi, dan makna kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma. Teori yang digunakan untuk menginterpretasi teks adalah teori semiotika dari Pierce sementara teori rasa dari Sharma digunakan untuk menganalisis kedalaman pengalaman estetik dalam Kakawin Panca Dharma. Kalepasan pada intinya adalah pembebasan jiwa dengan kesederhanaan perilaku. Kata Kunci: wacana, kalepasan, Kakawin Panca Dharma, pembebasan jiwa. PENDAHULUAN Kalepasan
merupakan
pengembalian
seperti
semula
dengan
cara
membebaskan segala kemelekatan. Mikrokosmos bentuk analog dari makrokosmos, segala yang ada dalam makrokosmos itu pun terdapat dalam mikrokosmos. Tubuh adalah mikrokosmos sedangkan semesta adalah makrokosmosnya. Penyatuan antara
1
tubuh (aku), semesta, dan pencipta (Tuhan) adalah proses melepas, membebaskan diri, memenuhi pikiran dengan kesadaran dan keikhlasan1. Kakawin2 Panca Dharma yang terdiri dari Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus. Dikatakan sebagai Kakawin Panca Dharma, karena disusun dari lima teks kakawin. Kelima teks kakawin ini terdapat dalam satu keropak disimpan di Perpustakaan Pusat Dokumentasi Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Seorang pembaca KPD yang selanjutnya disingkat KPD, tidak akan menemukan kisah naratif yang berakhir dengan kebahagiaan atau pun kesedihan3. Hal yang bisa ditemukan adalah berbagai ajaran yang berdasar atas kalepasan. Ajaran tersebut tidak begitu saja ada dalam teks kakawin. Pembaca harus terus menerus menafsirkan, memberi interpretasi terhadap kata-kata yang dimaksudkan si pengarang kakawin. Ketertarikan penulis melakukan penelitian terhadap KPD adalah keinginan untuk menjelaskan tentang kalepasan. Kelima teks kakawin ini merupakan ajaran baik secara dasar maupun lanjut untuk menekuni kalepasan. KPD akan membantu 1
Bdk. Zoetmulder, 1991:3. Kata Kakawin berasal dari kata Sanskerta kavya, jenis epik kerajaan Sanskerta klasik yang berkembang pesat di India khususnya antara abad ke-5 sampai ke-14. Kakawin adalah sebuah bentuk nominal yang berasal dari akar kata Kawi (“penyair”; “bahasa puisi”). Ortografi bahasa Sanskerta v, umumnya diterjemahkan sebagai w dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kavya Sanskerta menjad kawya dalam bahasa Jawa Kuna (Creese, 2012:5). Kakawin diikat oleh metrum atau aturan bunyi yang dikenal dengan Guru atau suara berat dan Laghu atau suara ringan (bdk. Suarka, 2009:9). 3 Palguna, 1999:3, menyatakan bahwa “seorang pembaca Dharma Sunya jangan berharap menemukan kisah yang digerakkan oleh konflik seorang protagonis yang kemudian selesai entah happy ending atau sad ending”. 2
2
memberikan sumbangan penjelasan tentang kalepasan, agar masyarakat tidak terburu-buru menjadikan diri berpenampilan spiritualis 4 namun tidak tahu dasar pijakannya. Berdasarkan pengamatan penulis, fenomena masyarakat sekarang justru cenderung lari ke jalan spiritual untuk melarikan diri dari tuntutan zaman. Bermunculannya kelompok-kelompok spiritual baru, seolah menegaskan bahwa, dunia spiritual merupakan tempat ketenangan, padahal ketenangan tidak didapatkan dengan jalan yang instan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menitikberatkan masalahnya pada bentuk, fungsi, dan makna wacana kalepasan dalam KPD. Penelitian ini bertujuan menjelaskan tentang bentuk, fungsi, makna kalepasan serta memberikan manfaat kepada para pembaca tentang pemahaman ajaran kalepasan. METODE PENELITIAN Penelitian terhadap sebuah karya sastra merupakan penelitian dalam ranah ilmu humaniora. KPD diteliti menggunakan metode kualitatif. Selain itu metode kualitatif dapat memberikan perincian secara detail terhadap fenomena yang belum diketahui dalam objek penelitian. PEMBAHASAN Pierce menyatakan bahwa tanda adalah logika, hasil pemaknaan tanda dikatakannya adalah hal yang logis. Perpaduan pemikiran keduanya dapat dikatakan, bahwa semiotika adalah suatu bidang ilmu yang meneyelidiki semua bentuk 4
Seseorang dikatakan menjadi matang (masak), apabila dia mengetahui hakikat dari Sang Hyang Siddhanta, tidak karena orang itu berkumis, berambut putih, atau hanya dia dilahirkan saja (bdk. Soebadio, 1985:267)
3
komunikasi yang terjadi melalui sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda. Semiotika memokuskan penelitiannya pada tanda. Teori semiotika akan membantu mengungkapkan tanda yang membentuk makna dalam kesatuan wacana kalepasan. Sementara itu, teori rasa berperan untuk menjelaskan pengalaman estetik para kawi KPD sehingga membentuk satu kesatuan wacana kalepasan. Rumusan tentang rasa yang ditulis Bharata kemudian diterjemahkan oleh Sharma (1987:95; Yasa, 2007:5-6), dirumuskan bahwa rasa dibawa bersama dengan pengalaman melalui hubungan antara wibhawas (keadaan atau situasi dan objek yang membangkitkan emosi), anubhawa/sthayibhawa (emosi dasar yang ada dalam diri manusia), dan wyabhicaribhawas (emosi atau keadaan mental yang bersifat sementara yang timbul sebagai penyerta yang timbul dalam proses bangkitnya rasa). Tiap-tiap kakawin memiliki substansi sendiri dalam membentuk wacana kalepasan yaitu Kakawin Dharma Sawita bertutur tentang seorang guru yang sedang memberikan petuah kepada muridnya. Petuah itu berupa hakikat mengolah Sadrasa (enam rasa) untuk mencapai titik kebebasan. Titik kebebasan ini didapatkan dengan cara melakukan yoga yang tanpa harus dipersiapkan berlebihan. Maksudnya jalan ini diperolah ketika sedang berbicara, bercakap, atau melakukan kegiatan sehari-hari yang didasari dengan keikhlasan. Kakawin Dharma Wimala memiliki kekhasan yaitu pengarang kakawin mengibaratkan jalan kebebasan itu seperti perjuangan antara kebajikan melawan kebatilan. Karakter Panca Pandawa dan Korawa dipinjam untuk melukiskan bahwa dalam diri ada dua hal yang berbeda kutubnya. Keseluruhan isi Dharma Wimala yaitu 4
tentang pengendalian indria atau nafsu melalui jalan memuja Sanghyang Maheswara. Sanghyang Maheswara dipuja dengan cinta kasih dan pemuja Sanghyang Maheswara menebarkan cinta kasih untuk mencapai kebebasan tertinggi. Kakawin Dharma Niskala, secara utuh Dharma Niskala mendeskripsikan tentang kemanunggalan ketika seseorang menempuh jalan agar menyatu dengan Siwa yang disebut Sanghyang Licin. Menyatu dengan cara menumbuhkan rasa kehampaan terhadap suka dan duka. Dharma Niskala lebih banyak menekankan ikhlas dengan cara menggunakan alam pikiran. Kakawin ini menyebutkan, bahwa pikiranlah sebagai alam niskala. Kakawin Dharma Sunya mendeskripsikan kalepasan adalah bentuk pencarian dalam perjalanan seseorang. Jalan akan ditemukan oleh orang yang berjalan, seseorang yang memilih jalan kalepasan, tidak harus melakukan tapa fisik. Ditekankan, bahwa pengendalian terhadap pikiranlah yang sangat diperlukan. Kenikmatan yang paling tinggi adalah di saat seseorang mengikhlaskan segala yang terjadi. Kakawin Dharma Putus, mengungkapkan pencapaian paling tinggi adalah lepas. Titik tertinggi adalah nihilium. Pembebasan pikiran, menuju kekekalan jiwa menuju pembebasan tertinggi. Pembebasan tidak hanya dilakukan dengan jalan tapa, tetapi juga dengan melapangkan hati, memahami hakikat hidup dengan jalan mengikhlaskan segala apapun. Kalepasan adalah cara memahami diri dengan benar (amuter tutur pinahayu) melalui jalan sunyi untuk menuju kesunyian dan menuju Hyang Tunggal. Kalepasan 5
hanya bisa diresapi ketika dilaksanakan bukan hanya sebatas kata. Sebab, kalepasan berdasarkan sastra, dan sastra itu sendiri adalah sikap. Kalepasan merupakan sebutan untuk menyebut bebasnya atma dari salah satu titik di dalam tubuh (dalam hal ini pusar). Ubun-ubun (kamoksan), ujung hidung (kanirbanan), mulut (kamuktan), dan pusar (kalepasan) menjadi jalan yang dengan sadar dipilih atma untuk membebaskan diri dari keterikatan pada tubuhnya. Proses pembebasan jiwa diperoleh dengan kesadaran dengan penuh keikhlasan dan kesederhanaan pada hakikat diri, semesta, dan Pencipta. Pembebasan jiwa, menyatunya jiwa dengan semesta, dan hilangnya keterikatan jiwa pada tubuh adalah pengertian tentang kalepasan. Begitu banyak sebutan dan pemahaman terhadap kalepasan. Acuan pemahaman itu tergantung pada jalan mana yang dipilih oleh penekun spiritual, tingkatan yoga seseorang, dan letak titik pada tubuh saat pembebasan jiwa. Jalan pembebasan jiwa dapat dilakukan sedari dini dari hal-hal yang kecil, semisal mengatur nafas mengendalikan indra. Berbagai ajaran yoga menjadi dasar untuk menuju pembebasan jiwa5. Jñānasiddhânta memang lebih banyak menguraikan jalan kematian, jalan kematian yang benar sesuai dengan ajaran
yoga.
Kemanunggalan
adalah
tujuan
akhir,
tetapi
sesungguhnya
kemanunggalan merupakan kehidupan yang kekal, bukan sebuah kematian6.
5
Beberapa ajaran yoga seperti Astangga Yoga, Sad Angga Yoga, yang diadopsi dari India ini, menjadi dasar-dasar ajaran kalepasan. Baik Astangga Yoga maupun Sad Angga Yoga sama-sama mengajarkan betapa tiap tahap ajaran yoga menjadi penentu bebasnya jiwa (bdk. Soebadio, 1985:8-9). 6 Bdk. Agastia, 2010:10.
6
Segala sesuatu di semesta ini bersifat dikotomis. Setiap yang ada akan menjadi tiada dan yang tiada menjadi ada kembali. Menyelam ke dasar mencari ketiadaan kemudian melesat ke permukaan menemukan yang ada. Hakikat kalepasan diibaratkan seperti menyelam ke dasar samudera. Atma menyelam ke dasar lalu berenang ke permukaan mencari tepi menemukan tujuannya. Dasar dan permukaan merupakan dualisme, seperti sebuah keyakinan semua memiliki dua sisi, tidak ada dasar tanpa permukaan, begitu pula sebaliknya. Jika dasar adalah awal, maka permukaan adalah tujuan. Jika permukaan adalah awal, maka dasar menjadi tujuan. Tentunya, tidak ada perkara yang permukaan lebih bagus, yang dasar kurang bagus. Semua karena dualisme sudut pandang. Bukankah, tidur pun mata tidak selalu terpejam? Seperti yang diungkapkan dalam kutipan di bawah ini. Hana ta lěkas apurwā de saŋ pandita mawuwus/ ri sěděŋ ika harip niŋ nidrā lina těŋětakěn/ paměsat ira hilaŋ niŋ swapnā tan paŋěn-aŋěnan/ ya tika hupaya sandhi saŋ wus labdha warah ikā// (Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-10). Terjemahannya Ada cara kuna dikatakan oleh Sang Pendeta/ rahasiakan, ketika sedang mengantuk, dalam tidur yang mati/ adalah saat-saat melesat hilangnya mimpi tanpa dipikirkan/ itulah upaya rahasia bagi orang yang telah berhasil melakoni ajaran itu// (Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-10). Seorang penekun ajaran kalepasan tidak langsung memperoleh ajaran kebebasan seperti yang menjadi tujuannya. Proses merupakan suatu hal yang selalu melekat dalam diri seorang hamba yang mengabdi pada jalur kebebasan. Tahap demi tahap dilalui, dari merangkak, berdiri, berjalan, berlari, sampai kemudian merangkak kembali. Sederhananya, seperti yang telah dikutip dalam Kakawin Dharma Sunya
7
Bait 10, tidur dengan kesadaran pikiran, menyublimkan kesadaran pikiran yang kemudian terlelap. Maka, atma dengan sadar meninggalkan tubuh melesat sesaat dalam kelelapan tidur. Kepergian atma yang sesaat memengaruhi bawah sadar untuk mendatangkan bayangan yang disebut mimpi. Ketika mimpi, tubuh sedang dipinjam oleh keinginan atau bawah sadar. Peristiwa sebelum bermimpi dengan tubuh yang pelan-pelan lemas (tertidur) adalah waktu ketika atma itu melesat sesaat. Maka, tidur dikatakan sebagai bentuk sederhana dari kalepasan dalam bait-bait awal Kakawin Dharma Sunya. Pikiran bermuara pada perkataan dan tingkah laku, seperti dalam KPD, setiap teks mengisyaratkan bahwa pikiran merupakan pusat segalanya. Isi pikiran diwujudkan dengan yoga yang bermacam-macam bentuknya. Yoga sastra
7
merupakan jalan yang dipilih pengarang teks kakawin untuk menemukan jalan kalepasan lalu membiarkan hilang dan menyatu dalam karyanya. Semesta dan penyair dualisme yang tidak dapat dipisahkan. Setiap musim memiliki keindahannya masing-masing. Pada manggala-manggala 8 kakawin puja seorang penyair dan keindahan alam dipadukan menjadi sebuah persembahan. Kalepasan dalam masing-masing kakawin tidak hanya dilukiskan dengan mati raga,
7
Yoga Sastra adalah cara memuja dengan men-sthana-kan Dewa yang dipuja dan memusatkan pikiran kepada-Nya. Menulis kakawin merupakan suatu latihan yoga, dan untuk memahami hal tersebut kita harus memahami ajaran yoga yang dianut oleh kawi wiku tersebut. Para kawi wiku dikenal sebagai penganut yoga yang mencari sang dewa lewat sarana-sarana yang menghadirkan seorang dewa atau ke dalam mana dewa turun. Berhubung sarana-sarana tersebut termasuk lingkungan yang khas bagi sang kawi, maka praktek-praktek itu dengan tepat dinamakan sebagai yoga sastra (Agastia, 2010:26-27). 8 Manggala adalah bagian awal dari kakawin, biasanya berisikan tentang puja-puji sang penyair terhadap Bhatara yang dipujanya dan dipercayai memberikan anugrah kepada sang penyair.
8
bahkan dalam beberapa kakawin di luar KPD hampir keseluruhan manggala menunjukkan pembebasan jiwa penyair. Seorang penyair juga dikatakan sebagai pendeta dalam upacara karangmengarang, bahkan penyair secara keseluruhan pada setiap gubahannya disebut-sebut sebagai para pencari kesunyian dengan menjalankan Karma Yoga9. Pemujaan tidak hanya dilakukan dengan menyakupkan tangan, menyembahkan dengan upakara atau mengadakan upacara. Penyair melakukan pemujaan dengan pikirannya, di mana tubuh adalah upakara, kata adalah mantra, dan getaran hati adalah suara genta. Penyair menjalankan titah Sanghyang Paramawisesa sebagai pencatat dunia, sekaligus menjadi penyelamat zaman, dan pembawa pesan sebuah peradaban. Kalepasan dijadikan tujuan penyatuan penyair dengan dewa keindahan. Penyatuan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi penyair yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan sebagai Yang Mutlak dalam alam niskala (transeden), berkat semadi sang kawi berkenaan turun dan bersemayam di alam sakala-nişkala (imanen-transeden), di atas padma (muŋgw iŋ sarasija) di dalam hati atau jiwa sang kawi (twas, jñāna, hiděp, tutur). Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan dewa yang nampak dalam alam sakala (imanen), dalam segala sesuatu yang indah. Dengan menyadari kesatuannya dengan dewa di dalam aneka ragam pernyataannya itu, sang kawi pun menyadari
9
Karma Yoga adalah bagian dari ajaran catur marga (empat jalan) memuja kekuasaan pencipta. Ajaran Karma Yoga dipahami sebagai memuja kebesaran beliau dengan cara bekerja, bekerja, dan bekerja. Mereka yang menempuh jalan ini memakai „tubuh‟ atau dirinya sebagai sarana pemujaan (bdk. Soebadio, 1985:48).
9
kesatuannya dengan dewa di alam niskala (transeden), yang menjadi tujuan akhir yoga10. Penyair dikatakan pengembara, pemuja keindahan, pencari kesunyian. Batin penyair yang diibaratkan seperti samudera itu, akan terus bergejolak gelisah sebelum mencari yang hilang. Pengembaraan menuju gunung (wukir) lalu menuju pantai, hutan, lalu sungai dijalankan sambil berlaku tapa. Penyatuan antara semesta dan penyair kemudian menjelma dalam bentuk karya. Selalu ada kerinduan untuk melakukan penyatuan. Betapa uniknya penyatuan ini, sungguh mempesona dengan bebasnya jiwa di saat melakukan ritual kepengarangan. Penyair menggabungkan pengalaman estetik dan religiusnya ke dalam karya. Pengorbanan dilandasi kesetiaan tertinggi dari dalam diri. Para penyair kakawin dalam mencurahkan kreativitasnya, selalu berusaha membangkitkan keinginan, rasa terpesona, dan spiritualitas dalam karya-karyanya dengan menghubungkan cerita imajiner tentang masa lalu tetapi nyata11. Kalepasan dijalani dengan menciptakan karya sastra. Menulis merupakan jalan pengendalian diri yang paling tinggi. Sehingga, baik itu menggubah, mencipta, menulis, kakawin adalah cara yang dipilih untuk mencapai kebebasan diri. Perjalanan terakhir seorang penyair adalah perjalanan menghilangkan semua yang telah dicapai dalam perjalanan (pengembaraan) sebelumnya. Melepaskan jñāna atau sakti. Menghancurkan semua wujud kenyataan yang diketahui. Berhasil
10 11
Bdk. Agastia, 2010:38-39. Bdk. Creese, 2012:269.
10
menghancurkan semua itu, seorang penyair akan menjadi mukti yaitu merasakan jiwanmukta atau moksa12. Pemusatan pikiran merupakan cara sederhana yang dikatakan oleh seorang bijak. Pembebasan jiwa ini tentu tidak mengharapkan keinginan mendapatkan imbalan, pembebasan jiwa adalah jalan untuk memutus reinkarnasi. Seorang yang dikatakan telah mencapai titik sunyi tidak akan bisa kembali untuk bereinkarnasi ke alam sakala. Seorang pencari sunyi tidak hanya dinilai dan ditentukan oleh fisik semata, terkadang banyak yang berpura-pura sebagai pencari sunyi. Mereka yang berpurapura kadang tak menyadarinya. Kepura-puraan justru dikarenakan karena ingin menunjukkan diri, seolah paling sunyi, paling tahu segalanya, termasuk paling tahu akan sastra. Kepura-puraan ini cenderung akan mengakibatkan penderitaan terlebih lagi, tidak akan mampu mencapai pembebasan total tersebut. Sastra adalah sikap, sastra bukanlah jalan yang dilakoni untuk mencapai sebuah ketenaran. Sastra lebih kepada ajaran menjadi seorang yang sederhana, guna dusun. Kesopanan, dinilai bukan dari luar (orang lain), melainkan dari diri sendiri dengan bercermin pada sikap orang lain. Sikap atau perilaku seseorang dapat dilihat dari seberapa jauh mereka memahami dan mengamalkan sastra dalam hidupnya, karena hidup adalah sastra, dan sastra adalah sikap. Ketika seseorang (pencari sunyi) telah memantapkan dirinya untuk menekuni jalan sunyi, maka pencari sunyi harus menanggalkan kecerdasan intelektualnya. 12
Palguna, 1999:193.
11
Kecerdasan intelektual hanya mengantarkan pada gerbang identitas popularitas, tidak sampai pada gerbang spiritual. Namun, kecerdasan spiritual pun harus ditanggalkan, karena jika segala macam kecerdasan tersebut masih melekat, maka tak ada yang akan menemukan jalan sunyi. Terkadang pencari sunyi lupa akan tujuannya, mereka yang masih menganggap diri cerdas sesungguhnya hamba yang bodoh, karena dalam kesunyian tidak ada hal-hal yang bersifat dikotomis lagi, semua hal memiliki sifat yang sama. Rumah sunyi merupakan rumah kosong yang terakhir, rumah yang tidaak akan membuat yang memasukinya bisa kembali pulang. Artinya, jika pencari sunyi; aku (atma) sudah masuk ke dalam rumah ini, dia tak akan bisa bereinkarnasi kembali. Memasuki rumah sunyi sama artinya dengan memasuki rumah yang diinginkan selama pencarian. Rumah yang ditemukan, kemudian bersama-sama hilang setelah menemukan. Ketiadaan keinginan, dikatakan sebagai bentuk sederhana kalepasan yang begitu kompleks ajarannya. Kalepasan jika dikerucutkan tidak ada ujungnya, karena ujung sesungguhnya adalah ketiadaan, kekosongan, dan kehampaan. Seorang kawi menyadari hal tersebut, karena itu sebagai sajjana (orang bijak), Dia memilih menyelamatkan dunia dengan karyanya. Karya itu sendiri adalah wujud dari kalepasan itu, seperti kutipan di bawah ini. Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ dadi/ ndatan hana tyakta ri jīwa niŋ sarat/ yawat ya māsih drda bhakti nityasa/ lanā nurāgeki huripnya tan běsur// (Kakawin Dharma Wimala, Bait Ke-120). Terjemahannya 12
Kewajiban seorang bijak adalah mengasihi (setiap orang)/ tidak ada meninggalkan jiwa (hidup) di dunia/ karena ketulusan baktinya/ kekal abadi hidupnya yang selalu mengalir// (Kakawin Dharma Wimala, Bait Ke-120). Seorang bijak juga sebutan untuk seorang kawi, hanya orang bijak yang dapat menuliskan kebajikan dan ketidakbajikan secara bersama sebagai cerminan ataupun tuntunan. Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ dadi (Kewajiban seorang bijak adalah mengasihi sesama), itu artinya setiap yang melahirkan cinta dan kasih sayang merupakan cara untuk mengobati kerinduan bertemu (baca menyatu) dengan Pencipta. Bakti yang tulus tanpa meninggalkan jejak di dunia adalah kekekalan seorang kawi, karena hidup seorang kawi selalu mengalir dan menemukan muara lalu lebur menjadi satu dalam samudera kesunyian. Seorang kawi tidak hanya menuturkan dirinya, tetapi menuturkan aku (atma) sebagai kekuatan karyanya. Aku yang bisa saja berarti dirinya (kawi) adalah bagian yang penuh romantika dalam KPD. Dia (kawi) seolah tidak terlibat tetapi terlibat, cara menyembunyikan diri di setiap kata merupakan keistimewaan yang dimiliki. Ketika karya KPD dibaca, pembaca (penulis) merasa menjadi aku (atma), aku (kawi), aku (semesta para kawi atau tubuh). Sungguh KPD penuh misteri, setiap kalimatnya adalah nyanyian sunyi yang datang dari beberapa abad silam. Nyanyian sunyi menjadi nyanyian pengiring dalam segala kehidupan aku (atma). Rumah sunyi dapat ditemukan dengan iringan nyanyian sunyi yang konstan, terus menerus didengar, dinyanyikan, dan dilaksanakan. Suara merdu nyanyian sunyi berasal dari hati seorang sunyi. Nyanyian sunyi itu adalah Kakawin Panca Dharma.
13
SIMPULAN Kalepasan adalah pencarian kebebasan dengan pendakian jalan yoga. Yoga yang berarti melakukan pengendalian dengan benar. Dasar-dasar yoga, ajaran tentang pengendalian, juga keikhlasan menjadi pondasi untuk mencapai pembebasan jiwa, menuju kekekalan yang Mahatinggi. Aku (atma) atau pencari sunyi menjadikan kehampaan (sunya) itu sebagai tujuan, karena dalam kehampaan tidak ada lagi sesuatu yang bersifat dikotomis. Pada intinya, kalepasan merupakan cara pembebasan jiwa menuju Hyang Tunggal, jalan menuju kehampaan dalam KPD bisa dilakukan dengan yoga sastra (menciptakan karya sastra).
DAFTAR PUSTAKA Agastia, Ida Bagus Gede. 1999. Di Kaki Pulau Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. ______________. 2010. Yoga Sastra. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Creese, Helen. 2012. Perempuan dalam Dunia Kakawin; Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Palguna, IBM Dharma. 1999. Dharma Sunya Memuja dan Meneliti Siwa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soebadio, Haryati. 1985. Jnanassiddhanta. Jakarta: Djambatan. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan. Yasa, I Wayan Suka. 2007. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya. Denpasar: Widya Dharma. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (cetakan ketiga). Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.
14