KAKAWIN ABHIMANYUWIWAHA TRANSFORMASI DARI PARWA KE KAKAWIN *) (Kakawin Abhimanyuwiwaha a Transformation of Parwa to Kakawin) Oleh/By
Sunarya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang Jalan Sidodadi Timur Nomor 24, dr. Cipto Semarang Telepon 024-8316377; Faksimile 024-8448217
[email protected] Pos-el:
[email protected] *) Diterima : 2 September 2014, Disetujui : 2 Oktober 2014
ABSTRAK Kakawin Abhimanyuwiwaha (AbhW) oleh Pigeaud dan Zoetmulder digolongkan dalam kelompok kakawin minor. Mereka berpendapat bahwa kakawin AbhW ditulis kurang lebih pada abad ke-16, sedangkan menurut Helen Creese, kakawin AbhW ditulis kurang lebih pada abad ke-19. Namun, pada dasarnya mereka belum pernah meneliti kakawin AbhW secara tuntas. Mengenai teksnya, Zoetmulder mengatakan bahwa kakawin AbhW merupakan adaptasi yang begitu dekat dengan Wirāţaparwa. Kajian yang bersifat deskriptif kualitatif ini berusaha menjelaskan perbandingan teks AbhW dengan Wirāţaparwa dalam rangka transformasi teks. Perbandingan teks dilakukan secara biner, baik dari segi kebahasaan maupun kesastraan. Dari segi kebahasaan, perbandingan mencakupi kata, frasa, dan kalimat, sedangkan segi kesastraaan mencakupi bagian-bagian cerita. Mengenai transformasi kakawin AbhW dari Wirāţaparwa, penulis meyakini bahwa secara tekstual dapat dirunut berdasarkan dua bagian. Bagian pertama adalah transformasi teks sebelum perkawinan Abhimanyu, sedangkan bagian kedua adalah transformasi teks pada saat perkawinan Abhimanyu. Pada bagian pertama dapat ditemukan beberapa butir proses transformasi teks seperti berikut. 1. Penyair menggunakan kata-kata dan ungkapan yang sama. 2. Penyair mengganti kata-kata dengan kata lain yang bersinonim, yaitu antara kata Jawa Kuno dan Sanskerta. 3. Penyair meringkas kalimat dengan cara mengganti sebagian kata-katanya. 4. Penyair menghilangkan bagian-bagian tertentu yang dianggap tidak penting dalam transformasi teks. 5. Penyair memutarbalikkan urutan kalimat pada bagian cerita tertentu dengan mengganti sebagian kata-katanya. 6. Penyair memperhatikan bagian-bagian teks tertentu kemudian mendeskripsikannya secara khusus, baik deskripsi alam maupun deskripsi peristiwa. Sementara pada bagian kedua, yaitu pada perkawinan Abhimanyu, sebenarnya termasuk nomor 6 dalam proses transformasi teks bagian pertama. Namun, transformasi teks pada bagian perkawinan Abhimanyu itu mendapat perhatian yang lebih istimewa karena penyair mendeskripsikannya secara panjang lebar sebanyak 15 pupuh. Berdasarkan penelusuran proses transformasi secara tekstual itu, dapat disimpulkan bahwa teks kakawin AbhW memang merupakan transformasi langsung dan adaptasi yang begitu dekat dari teks Wirāţaparwa. Namun demikian ada bagian khusus yang mendapat perhatian istimewa oleh penyair, yaitu bagian perkawinan Abhimanyu. Kata kunci: Abhimanyuwiwaha, transformasi teks, Wirāţaparwa
97
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
97
ABSTRACT According to Pigeaud and Zoetmulder, kakawin (old Java poetry) of Abhimanyuwiwāha (AbhW) was classified into a group of minor kakawin since they argued that the AbhW was written around the 16th century. Meanwhile, according to another opinion of Helen Creese, the AbhW might be written approximately in the 19th century. However, three of them have not examined thoroughly the AbhW text yet. Regarding to the text, Zoetmulder once said that the AbhW was an adaptation that has intimate relationship with the Wirāţaparwa. This descriptive qualitative research tried to describe a comparison of two texts, the AbhW and Wirāţaparwa, in term of text transformation. Binary text comparison was conducted, both in terms of language or literature. The language comparison covered words, phrases, and sentences, while the literary one covered parts of the story. Regarding the transformation of the AbhW from the Wirāţaparwa, the writer insisted that it can be traced textually based on two parts. The first part was the text transformation before the marriage of Abhimanyu, while the second part was the text transformation the marriage of Abhimanyu. In the first part, it could be found several processes of text transformation such: 1. the poet of of the AbhW used similar words and expressions; 2. the poet substituted words with synonyms, ie between Javanese and Sanskrit words; 3. the poet summarizing sentences by replacing some words; 4 the poet omitted certain parts that were considered unimportant in the the text transformation; 5 the poet distorted the order of the sentences in certain parts of the story by substituting words; 6 the poet paid more attention to certain parts of the text, and described those parts in special manner, both natural or event descriptions. In the second part, the marriage of Abhimanyu, that was actually included in the first part’s 6th transformation. However, the the text transformation of Abhimanyu’s marriage was given special attention by the poet because this section was described at length by 15 stanzas. Based on the tracing of textual transformation processes, it could be concluded that the kakawin text of AbhW was a direct transformation of the Wirāţaparwa text and a close adaptation. However, there was a special section that was obviously given special attention by the poet, part of Abhimanyu’s marriage. Keywords: Abhimanyuwiwaha, text transformation, Wirāţaparwa
I.
PENDAHULUAN
Kakawin Abhimanyuwiwaha (AbhW) adalah karya sastra Jawa Kuno yang berbentuk puisi. Karya sastra itu merupakan hasil gubahan dari bentuk prosa, yaitu Wirāţaparwa, bagian keempat Mahabharata. Naskah kakawin AbhW tersebut tersimpan di beberapa tempat. Pertama, di perpustakaan Kirtya, Singaraja, Bali, tersimpan naskah lontar dengan huruf Bali dan diberi kode Krt. 80. Kedua, di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, tersimpan naskah salinan dengan huruf Latin yang dikerjakan oleh Soegiarto dari naskah Krt.80 dengan ukuran naskah 34 x 21 cm
98
dan diberi kode BCB. prtf. 26. Ketiga, di dalam koleksi Jlantik, di Singaraja, Bali, tersimpan naskah dengan huruf Bali dan teksnya tidak selesai dengan ukuran naskah 17,5 x 29 cm dan diberi kode CB. 40 (Pegeaud, 1968:766— 794). Keempat, di dalam perpustakaan pribadi Zoetmulder, Kemetiran, Yogyakarta (sekarang di perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta), tersimpan naskah salinan dari naskah BCB. prtf. 26 atau salinan dari naskah yang tersimpan di Leiden dengan ukuran naskah 34 x 21 cm. Kakawin AbhW tergolong kakawin yang cukup panjang, yaitu terdiri atas
ALAYASASTRA, Vol. 10, No. 2, November 2014, hlm. 97—110
75 pupuh, 853 bait, 3400 larik, 60.297 suku kata. Jumlah bait pada tiap-tiap pupuh bervariasi. Jumlah paling banyak adalah 37 bait yang terdapat pada pupuh II dan jumlah paling sedikit adalah satu bait yang terdapat pada pupuh XXXVIII dan XLVI. Metrum yang dipakai dalam kakawin AbhW ada 32 macam, delapan di antaranya metrum non-India atau metrum Jawa Kuno. Di antara delapan metrum non-India itu, ada satu metrum yang belum dapat diidentifikasikan, yaitu yang terdapat pada pupuh LX sebanyak 23 bait. Di antara 32 jenis metrum itu, metrum Jagaddhita merupakan metrum yang paling banyak dipakai, yaitu sebanyak 9 kali. Menurut Zoetmulder (1985:131), metrum Jagaddhita dalam kepenyairan Jawa Kuno memang menduduki tempat yang utama sehingga tampil menyolok dalam setiap kakawin. Kakawin Abhimanyuwiwāha digolongkan ke dalam jenis kakawin “minor” oleh Pigeaud dan Zoetmulder (Zoetmulder, 1985:480—484). Zoetmulder mengatakan bahwa kakawin minor ditulis dalam rentang waktu sejak akhir kerajaan Majapahit sampai abad ke-19 dan beberapa di antaranya dapat dipastikan ditulis di Bali. Kebanyakan cerita yang dijumpai dalam parwa-parwa (Ādiparwa, Wirātaparwa, Bhīsmaparwa, Udyogaparwa, Āśramawasaparwa, Mośalaparwa, Prasthānikaparwa) dalam salah satu bentuk diwakili dalam kakawin-kakawin minor. Adapun sebagian besar kakawin minor bahannya diambil dari Ādiparwa, yaitu kitab pertama epos Mahābhārata, seperti kakawin Subhadrāwiwāha, Hariwijaya, Kālayawanântaka, Āstīkâśraya, Dimbhiwicitra, Ratnawijaya dan lainlain (Pigeaud, 1967:175—192). Sementara itu, kakawin Abhw bahannya
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
diambil dari Wirātaparwa, yaitu bagian keempat epos Mahābhārata. Pigeaud (1967:192) dalam Literature of Java berpendapat bahwa kakawin AbhW dibuat kira-kira pada abad ke-16 atau sesudahnya. Kemudian Zoetmulder juga berpendapat, bila diperhatikan kesalahan gramatikalnya, kakawin AbhW dapat disamakan dengan kakawin Subhadrāwiwāha dan Krsnândaka. Dengan demikian, kakawin-kakawin tersebut berasal paling tua dari abad ke-16. Namun, ada informan Bali yang mengatakan bahwa kakawin Krsnândaka masih sangat muda dan tidak lebih tua dari abad ke-19 (Zoetmulder, 1985:484). Sementara itu, dalam tesisnya yang berjudul Subhadrāwiwāha An Old Javanese Kakawin, Helen Creese mengatakan bahwa selain kemiripan gramatikal, bait pembuka dan bait penutup ketiga kakawin itu memiliki kemiripan kalimat yang secara tersamar menunjukkan nama pengarangnya (Creese, 1981:31— 36). Subhadrāwiwāha pupuh I bait 3 berbunyi: pańgil śrī Surawīryawańsaja sirâńanumata gati niń nirarthaka. Krsnândaka pupuh LI bait 1 berbunyi: ńhiń hantusakéna ulih (B Gati) iń nirarthaka dinuryasa kawi wiphala. Abhimanyuwiwāha pupuh LXXV bait 1 berbunyi: mańgěh pwêki těhěr tamolin Abhimanyuwiwāha těkap iń nirarthaka. Contoh kalimat dalam ketiga kakawin itu terdapat kata nirarthaka. Helen Creese menduga bahwa kata itu merupakan nama samaran pengarang ketiga kakawin tersebut. Menurutnya, kata nirarthaka mengingatkan nama seorang pendeta dan sekaligus seorang kawi, yaitu Nirartha. Helen Creese juga menambahkan bahwa kakawin AbhW dan kakawin Subhadrāwiwāha memiliki
99
kemiripan dalam mendeskripsikan ulah cinta antara pengantin pria dan wanita dan percakapan antara pengantin dan ibunya. Berdasarkan perbandingan itu, Helen Creese menyimpulkan bahwa ketiga kakawin tadi dikarang oleh penyair yang sama. Helen Creese mendapatkan gambaran berdasarkan indikasi yang ada dalam kakawin Pārthâyana A dan kakawin Parthâyana B (Subhadrāwiwāha). Dalam kakawin Pārthâyana A, terdapat nama raja pelindung Śrī Surawīrya, sedangkan dalam kakawin Pārthâyana B atau Subhadrāwiwāha, terdapat nama raja Surawīryawangśaja. Menurut Babad Ksatriya, Surawīrya adalah raja Klungkung (biasa dikenal dengan nama Dewa Agung) yang memerintah pada awal abad ke-18 (sebelum 1736). Helen Creese kemudian menjelaskan bahwa raja pelindung dalam kakawin Subhadrāwiwāha atau Pārthâyana B adalah seorang keturunan (wangśaja) dari Surawīrya. Berdasarkan bukti itu ia menyimpulkan bahwa kakawin Subhadrāwiwāha dibuat tidak lebih tua dari abad ke-19. Pendapatnya itu diperkuat oleh informan dari Bali yang mengatakan bahwa kakawin Krsnândaka, yang memiliki kesamaan gramatikal dengan kakawin Subhadrāwiwāha, dibuat pada abad ke19 (Creese, 1991:413). Berkaitan dengan kakawin AbhW, penyair kakawin itu dapat dipandang sebagai pembaca, penyambut, dan penafsir dari teks Wirātaparwa. Kemudian penyair mentransformasikannya ke dalam kakawin AbhW. Untuk mengetahui proses transformasi itu, perlu membandingkan teks Wirātaparwa dengan teks kakawin AbhW. Tujuan
100
kajian ini adalah mencari unsur-unsur perbedaan dan persamaan antara teks Wirātaparwa sebagai teks sumber transformasi dan teks kakawin AbhW sebagai teks basil transformasi.
II. METODE PENELITIAN Kajian ini merupakan hasil penelitian deskriptif kualitatif yang berusaha menjelaskan perbandingan dua teks antara kakawin AbhW dan Wirātaparwa. Kedua teks itu dibandingkan secara biner, baik dari segi kebahasaan maupun kesastraan. Dengan membandingkan kedua teks itu, selain ditemukan perbedaan ataupun persamaannya, diketahui juga bagianbagian teks yang menjadi perhatian istimewa bagi penyair dalam rangka transformasinya. Namun, kajian ini belum memusatkan perhatian dalam hal makna atau fungsi transformasi itu, tetapi kadar transformasi teks itu dilakukan. Dengan kata lain, kajian ini hanya memperhatikan transformasi secara tekstual tidak secara kontekstual. Mengenai teks Wirātaparwa, kajian ini menggunakan teks yang diterbitkan oleh Juynboll (1912) dan teks yang diterbitkan oleh Fokker (1938). Teks Wirātaparwa terbitan Fokker menampilkan teks yang lebih muda dan hanya sampai cerita kematian Kicaka. Sementara itu, terbitan Jyunboll menampilkan teks yang jauh lebih tua dan lebih utuh karena menceritakan perkawinan Abhimanyu. Oleh sebab itu, untuk membandingkan cerita sebelum kematian Kicaka, digunakan teks terbitan Fokker. Namun, setelah kematian Kicaka sampai perkawinan
ALAYASASTRA, Vol. 10, No. 2, November 2014, hlm. 97—110
Abhimanyu, digunakan teks terbitan Juynboll. Berkaitan dengan bahasa Jawa Kuno, kajian ini menggunakan pedoman kamus Jawa Kuna berjudul Old Javanese English Dictionary yang disusun oleh Zoetmulder tahun 1982 (volume I dan II). Ketentuan pengutipan ejaan bahasa Jawa Kuno, baik dari kakawin AbhW maupun dari Wirātaparwa adalah seperti berikut. Huruf ng akan ditulis ń (misal kata nikang ditulis nikań), huruf s palatal ditulis ś (misal s pada kata śuddha), huruf s lingual ditulis ş (misal ş pada kata inahiş ), huruf e pepet ditulis ě (misal ě pada kata anděl), huruf e taling ditulis e biasa (misal pada kata wiweka), huruf er atau vokal er ditulis ŗ (misal dalam kata kŗta), untuk menulis vokal panjang akan menggunakan tanda ˉ di atas vokal yang bersangkutan (misal dalam kata mūla), dan untuk menulis sandi atau hubungan antar vokal digunakan tanda ˆ di atas vokal yang bersangkutan (misal kata Syapa dan iki ditulis syapêki). Perbandingan antara teks AbhW dan Wirātaparwa dilakukan dengan memperhatikan unsur terkecil, khususnya unsur kebahasaan seperti kata, frasa, dan kalimat. Adapun unsur kesastraan dengan memperhatikan unsur cerita, misalnya peringkasan cerita atau perluasan cerita, penambahan deskripsi pada bagian cerita tertentu, penghilangan bagian cerita tertentu, perhatian suatu tokoh, ataupun pengabaian suatu tokoh. Mengenai kaidah-kaidah kesastraan akan dilakukan semaksimal mungkin mengembalikan teks ke dalam bentuknya, yaitu kakawin. Adapun caranya dengan memperhatikan kaidah metrum, baik mengenai panjang pendek vokal maupun jumlah suku kata pada setiap larik.
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Transformasi Teks Sebelum Perkawinan Abhimanyu Berikut ini akan dijelaskan transformasi teks dengan membandingkan antara teks Wirātaparwa dan teks kakawin AbhW. Namun, perbandingan teks yang dilakukan tidak secara menyeluruh, tetapi hanya diambilkan pada bagianbagian teks yang dapat mewakili butirbutir proses transformasi. Dalam proses transformasi dari teks Wirātaparwa ke dalam teks kakawin AbhW, penulis menggunakan teks Wirātaparwa (Wir) terbitan Fokker (1938) dengan menuliskan nomer halaman teks dan nomor baris teks. Adapun teks terbitan Juynboll (1912) dengan menuliskan nomor halaman saja. Kutipan teks terbitan Fokker sebagian memiliki perbedaan kata dengan teks Joynboll dan akan ditandai penulis dengan huruf J. Adapun proses transformasi seperti berikut. 3.1.1 Penyair Menggunakan Katakata dan Ungkapan yang Sama : haywa mada-madani pahyas iń tuhan; AbhW. II. 1 : tan amada-mada riń hyas pahyas sań pinakatuhan 2) Wir. 9. 9–1 : haywa mańěnakěn (J : mańhanakěn) byaya irikań karma; AbhW. II. 2 : taněhěri mańěnakěn byayěń kārya. 3) Wir. 10. 5 : tělas pwa sira pinagawayakěn prasthanamańgala; 1) Wir. 9. 9
101
AbhW. II. 4 : karma pinagawayěn prasthamańgala. 3.1.2 Penyair Mengganti Kata-kata Tertentu dengan Kata Lain yang Bersinonim Pergantian kata itu ada yang dari Jawa Kuno ke Jawa Kuno, dari Sanskerta ke Jawa Kuno, dari Jawa Kuno ke Sanskerta, dan dari Sanskerta ke Sanskerta. 3.1.2.1 Pergantian Kata dari Jawa Kuno ke Jawa Kuno Misalnya: 1) wuri menjadi walakań ‘ belakang ‘: Wir.8. 30–31 : haywatâńawuryakěn; AbhW. I. 25 : haywêkâmalakań 2) pańku menjadi ěmban ‘ pangku ‘: Wir. 10. 28 : pinańkwakěn dewi Dropadī desań Arjuna; AbhW. III. 6 : Parthâńěmban i sira 3.1.2.2 Pergantian Kata dari Sanskerta ke Jawa Kuno Misalnya: 1) citta menjadi manah ‘hati‘: Wir. 9. 13 : santusta ni (J: niń) citta; AbhW. II. 3 : santusti ri manah ira. 2) suka menjadi girań ‘senang’: Wir. 21. 1 : tatan wuwusěn suka mahāraja Wirāţa; AbhW. X. 10 : śrī Matsyanatâgirań 3.1.2.3 Pergantian Kata dari Jawa Kuno ke Sanskerta Misalnya: 1) hati menjadi manah ‘hati’
102
Wira. 10. 10 : rěměk ta manik nikań hati; AbhW. VII. 10: rěměk juga těnyuh manah nira. 2) ńaran menjadi nāma ‘nama’ Wir. 21. 20 : Kicaka ńaran ira AbhW. XI. 4 : nāma Kicaka sira. 3.1.2.4 Pergantian Kata dari Sanskerta ke Sanskerta Misalnya: 1) maņi atau maņimaya menjadi ratna ‘permata’ Wir. 12. 5 : waidurya maņimaya AbhW. IV. 3 : ratna widurya 2) śūra menjadi wīra ‘berani’ Wir. 12. 5 : syapa ta kunań śūra mapagakěna saktinikê; AbhW. IV. 3 : syapêki tań wīra susāra śakti 3.1.3 Penyair Meringkas Kalimatkalimat Tertentu dalam Parwa Penggantian sebagian kata-katanya, misalnya dengan cara: 1) Wir. 18. 24–28 : tělas anak kagorawan sań paňca Pāņdawa mwań sań Dropadī de māhāraja matsyadipa apagěh anděl nirêń Wirāţapura. Arti : setelah kelima Pāņdawa beserta Dropadī diterima baik oleh raja Wirāţa, mereka menetap dikerajaan Wirāţa.
ALAYASASTRA, Vol. 10, No. 2, November 2014, hlm. 97—110
2) AbhW. IV. 9
Arti
: swashtā tânděl nira n Pāņdawa kinasěgěhan ńka rikań rājyadhani : sejahteralah keberadaan para Pāņdawa yang diterima baik di kerajaan.
3.1.4 Penyair Menghilangkan Bagian-bagian Tertentu yang Dianggapnya Kurang Penting dalam Mentransformasi Teks Misalnya: 1) Dalam perjalanan saat kelima Pāņdawa beserta Dropadī menuju Wirāţa, mereka melewati daerahdaerah seperti Kuruksetra, Yakŗiloma dan Surasena. Daerahdaerah yang disebutkan dalam parwa itu tidak disebutkan dalam kakawin AbhW. 2) Pada waktu para Pāņdawa hampir tiba di kerajaan Wirāţa, mereka menyembunyikan senjata dan berganti pakaian. Selain itu, mereka membuat nama lain, yaitu Yudhistira bernama Jaya, Bhimasena bernama Jayanta, Arjuna bernama Wijaya, Nakula bernama Jayatsena, dan Sahadewa bernama Jayadwala. Nama-nama tersebut dalam kakawin AbhW tidak disebutkan. 3) Untuk menghilangkan rasa takut Uttara saat menghadapi Korawa, Arjuna menjelaskan identitasnya yang sebenarnya. Dia menjelaskan kesepuluh namanya, yaitu Arjuna, Phalguna, Jisnuh, Kiriti, Swetawahana, Bhibatsu,
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
Wijaya, Kŗşņa, Sawyasaci dan Dhananjaya (Wir. 62–63). Kesepuluh nama Arjuna tersebut dalam kakawin AbhW tidak disebutkan. 3.1.5 Penyair Memutarbalikkan Letak Kalimat pada Bagian Cerita Tertentu dengan Mengganti Sebagian Kata-katanya Hal ini dilakukan penyair kakawin AbhW terhadap bagian cerita ketika Dhomya memberikan pengarahan kepada Pāņdawa yang akan pergi ke Wirāţa. Urutan kalimat-kalimat tersebut dalam Wirāţaparwa dapat diambil sebagian sebagai berikut. 1) Haywa wiśwāsâparěk (J: Wiśwatâparěk ) riń rājadrwya wruha ta riń yogya paluńguhana (Wir. 8:12—13); 2) Haywa mamarah-marah sań prabhu yan tan pasańkan tinakwanan (Wir. 8:16–17); 3) Haywa ta ginulań buddhi abwat akadat (Wir. 8:23); 4) Haywa tâńawuryaken wwań amawa saňjata (Wir. 8:30—31). Letak kalimat itu dalam kakawin AbhW diubah dan diganti sebagian katakatanya menjadi seperti berikut (AbhW. I, 21–26). 1) Amběk bwat makadat nda haywa ginulań – gulańakěn těkapta pindahěn (dari kalimat Wir. C, AbhW. I, 21); 2) Haywâgya mamarah niń ińgita tatan saka ri wuwus irâtaňê kita (dari kalimat Wir. b, AbhW. I, 24);
103
3) Haywêka malakań ikań mamawa kańdaga atawa asiń warayuddha (Wir. d, AbhW. I. 25); 4) Yadyâstun hana rājadŗwya nira n alpa tuwi tan iya yapwan kêńina (dari kalimat Wir. d, AbhW. I, 26). 3.1.6 Penyair Memperhatikan Bagian-bagian Cerita Tertentu Kemudian Mendeskripsikannya Secara Khusus Deskripsi yang dimaksud adalah deskripsi alam dan deskripsi peristiwa. 1) Deskripsi alam Deskripsi alam secara istimewa dapat ditemukan pada pupuh II. Dalam Wirāţaparwa, ketika para Pāņdawa beserta Dropadī menuju Wirāţa, mereka melewati daerah Kuruksetra, Yakŗiloma dan Surasena (Wir. 14). Namun, dalam kakawin AbhW nama daerah-daerah tersebut tidak disebutkan. Kemudian penyair menggantinya dengan deskripsi alam sebanyak 27 bait (AbhW. II, 11–37). Deskripsi alam itu kebanyakan menggambarkan tentang flora dan fauna. 2) Deskripsi Peristiwa Selain deskripsi alam, penyair juga menambahkan deskripsi peristiwa dalam kakawin AbhW. Adapun peristiwa-peristiwa yang dideskripsikan itu, antara lain pesta para wiku di istana Wirāţa (Wir. 22; AbhW. VIII, 1—12), serangan tentara Trigarta terhadap ternak lembu dan gembalanya (Wir. 46; AbhW. XXX, 1—24), dan secara istimewa mengenai perkawinan Abhimanyu dengan Uttarī di Wirāţa (Wir. 93—96; AbhW. LIX—LXXIII
104
atau 15 pupuh, 108 bait). Khusus mengenai perkawinan Abhimanyu itu akan dibicarakan pada bagian tersendiri. Mengenai pesta para wiku, dalam Wirāţaparwa hanya diungkapkan dengan kalimat yang cukup pendek wineh tan sań brahmana bhojana mahotsawa, pinaripoş-itêń sarwwasadrasa ‘sang brahmana diberi hidangan pesta besar dan dijamu makanan dengan enam macam kelezatan’. Dalam kakawin AbhW, penyair menggambarkan tentang anak-anak wiku muda yang mabuk. Mengenai serangan tentara Trigarta terhadap ternak lembu dan gembalanya, dalam Wirāţaparwa diungkapkan dengan kalimat Irikā tań Trigartâyodha saha lāwan tuhanya, prasaritâńalahalâńalap lěmbu pirań koţi, sinikěpnya piniěrańnya pinějahnya, bheda sańkê sinańsaranya, dudū tikań binandhanya (Wir. 46). ‘Demikianlah tentara Trigarta menyerang beserta pemimpinnya, menyebar dengan bengisnya merampas lembu banyak sekali, disekap dipotong dan dibunuh olehnya, serta diikatnya’. Dalam kakawin AbhW, kalimat dalam Wirāţaparwa itu dideskripsikan sebanyak 24 bait (1 sampai 24) pada pupuh XXX. Deskripsi itu sebagian besar menggambarkan keganasan tentara Trigarta dan kesengsaraan lembu dan gembala yang menjadi sasarannya. Ada satu peristiwa lagi yang dideskripsikan oleh penyair kakawin AbhW, yaitu tentang perkawinan Abhimanyu dengan Uttarī. Bila dibandingkan dengan deskripsi peristiwa yang telah dibicarakan tadi, perkawinan Abhimanyu lebih istimewa karena kuantitas pendeskripsiannya jauh lebih lengkap. Oleh karena itu, perkawinan
ALAYASASTRA, Vol. 10, No. 2, November 2014, hlm. 97—110
Abhimanyu dalam proses transformasi teks akan dibicarakan khusus pada bagian tersendiri. 3.2 Proses Transformasi Teks pada Bagian Perkawinan Abhimanyu
dan menyampaikan semua perintah kepada mereka. Dalam kakawin AbhW, teks itu ditransformasi menjadi demikian:
AbhW.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perkawinan Abhimanyu dengan Uttarī diperhatikan secara istimewa oleh penyair kakawin AbhW. Bagian cerita itu dideskripsikan secara panjang lebar, yaitu dari pupuh LVIII sampai dengan pupuh LXXIII atau sebanyak lima belas pupuh yang terdiri atas 106 bait. 3.2.1 Teks Yang Menceritakan Tentang Persiapan Upacara Perkawinan
Wir. 95 : Ndah kāryyan tikań wiwāhasańgamôsěnusěn, konakna hundańěn rānak rakryan marā ńkê ya … Mańkonan mahārāja Yudhişţira dūta, humundańê mahārāja humundańa n kulawandhuwargga lawan priya mitra. Luńhā pwa yâdum deśa dumunuń pwa ya sapakon iriya. Arti
: Maka segeralah dilakukan upacara perkawinannya, suruh dan panggillah ananda untuk datang ke sini … Raja besar Yudhistira menyuruh utusan, agar mengundang raja besar Krsna serta Abhimanyu dan memerintahkan untuk mengundang semua saudara dan sahabat dekat. Berangkatlah mereka ke kota-kota untuk membagi
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
Arti
LVIII,6 : Matańnya bapa huņdańěn ta sira sań taruņa warahěn iń samāgama/ śramâkěna usěn tikań madanakārya widhi nira měne n paņigraha/ watěk ratu wiśeşa yêka pininań hinariwuwu samanta pūjaněn/ ujar haji huwus wināhyakěn irêń balagaņa karuhun wwań iń dalěm// : Oleh karena itu tuan panggilah ananda, dan supaya diberitahu agar datang bersama-sama/ usahakan segera keperluan upacara perkawinan ini/ para golongan raja mulia hendaknya diundang serta semuanya hendaknya diperhatikan dan dihormati/ perintah raja itu telah dikabarkan kepada para prajurit kraton, dan yang paling awal adalah orangorang yang ada di dalam istana//
AbhW. LVIII,7 : Nda motusana sań Yudhişţira umundańa ri narârya Keśawa/ muwah sań Abhimanyu yêku warahěn kaměna niki kaweni sań prabhu/ aneka taw aneh samotusan ira n lumaku maraha riń perantara/ umiňjěm ika san watěk ratu samanta sahana sań apakşa Pāņdawa//
105
Arti
: Kemudian Yudhistira memerintahkan agar mengundang yang mulia Kesawa (Krsna)/serta Abhimanyu, yaitu agar diberikan sebelumnya bahwa (hal) ini adalah undangan sang raja/ banyaklah yang lainnya, dan semua utusan berjalan memberi kabar ke kerajaan-kerajaan lain/ (mereka) mengundang para raja sahabat yang semuanya bagian dari Pāņdawa//
Dalam Wirāţaparwa, setelah teks menyebutkan tentang keberangkatan para utusan yang membawa kabar, tidak lama kemudian disebutkan kedatangan Kŗşņa dan Abhimanyu serta para tamu undangan lainnya.
Wir. 95 : Tan malawas antajinya, datěń mahārāja Kŗşņa, mwań sań tarunâbhimanyu, sinuńsuń ta sira de Arjuna, … Muwah datěń mahārāja Kāśirāja, mahārāja Śaiwya, … mahārāja Drupada, … sań Dŗştadyumna mwań sań Śikaņdī, … (dst). Arti
: Dalam selang waktu yang tidak lama, sang raja Kŗşņa datang, bersama Abhimanyu, mereka disambut oleh Arjuna, … Kemudian datang raja Kāśi, raja Śaiwya ... raja Drupada, … sang Dŗştadyumna dan Śikaņdī, … (dst).
Dalam kakawin AbhW, sebelum menceritakan kedatangan Krsna dan Abhimanyu serta undangan lainnya, terlebih dahulu mendeskripsikan tentang
106
kesedihan Uttarī, kecantikan Uttarī, dan tentang bujukan sang permaisuri terhadap Uttarī. Ketiga hal ini dapat diberikan contoh berikut ini. 1) Deskripsi kesedihan Deskripsi kesedihan Uttarī dapat diberikan contoh satu bait (AbhW. LVIII, 9). 2) Deskripsi kecantikan Uttarī Kecantikan Uttarī dideskripsikan pada pupuh LIX sebanyak 7 bait (jumlah bait pada pupuh itu sebanyak 12 bait), yaitu bait 1 sampai 7. 3) Deskripsi bujukan permaisuri terhadap Uttarī Setelah mendeskripsikan kecantikan Uttarī sebanyak tujuh bait, bait berikutnya penyair mendeskripsikan bujukan permaisuri atau Ibu Uttarī terhadap Uttarī (AbhW. LIX, 8; AbhW. LIX, 9). Setelah mendeskripsikan ketiga hal tersebut, barulah teks menyebutkan tentang kedatangan Krsna, Abhimanyu, serta para tamu lainnya. Deskripsi itu lebih panjang dari pada dalam parwa, yaitu sebanyak 23 bait dalam pupuh LX. Kedatangan para tamu, suasana penyambutan tamu, kebahagiaan keluarga raja Wirāţa, kebahagiaan Pāņdawa, dan sebagainya dideskripsikan secara lengkap. 3.2.2 Teks yang Menceritakan Upacara Perkawinan Dalam Wirāţaparwa, teks yang menceritakan tentang upacara perkawinan Abhimanyu diceritakan pada bait 96. Sementara dalam kakawin AbhW, teks yang menceritakan tentang upacara perkawinan Abhimanyu
ALAYASASTRA, Vol. 10, No. 2, November 2014, hlm. 97—110
dideskripsikan pada pupuh LXI (8 bait), pupuh LXII (12 bait), dan pupuh LXIII (14 bait). Pupuh LXI mendeskripsikan tentang keindahan para wanita yang ikut memeriahkan upacara perkawinan. Pupuh LXII mendeskripsikan keindahan hiasan Uttarī, kesedihan Uttarī setelah upacara pidudukan pada malam harinya, dan sakit asmara Abhimanyu. Pupuh LXIII mendeskripsikan tentang keindahan semua bangunan tempat upacara perkawinan dan kemeriahan upacara perkawinan pada siang hari berikutnya.
3)
4)
5)
3.2.3 Teks yang Menceritakan Ulah Cinta dalam Perkawinan Maksud ulah cinta dalam tulisan ini adalah percintaan Abhimanyu dengan Uttarī setelah upacara perkawinannya selesai. Dalam Wirāţaparwa, teks yang menggambarkan ulah cinta Abhimanyu dengan Uttarī dikutipkan dalam Wirāţaparwa 96. Dalam kutipan teks itu terdapat kalimat Taň caritan ikań saptarasâbhyantara kabhukti denira. ‘Tak dapat diceritakan tujuh rasa yang ada di dalamnya yang dinikmati oleh mereka’. Maksud kalimat itu adalah kenikmatan dalam berulah cinta antara Abhimanyu dan Uttari. Dalam kakawin AbhW, maksud kalimat itu kemudian dideskripsikan begitu panjang, yaitu sebanyak 10 pupuh (LXIV sampai LXXIII). Berikut ini dipaparkan inti masing-masing pupuh tersebut. 1) Pupuh LXIV (7 bait) Deskripsi pada pupuh LXIV berisi tentang keindahan tempat pertemuan kedua pengantin (ranjang) dan sakit asmara Abhimanyu yang belum tersampaikan. 2) Pupuh LXV (2 bait)
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
6)
7)
8)
9)
10)
Pupuh ini mendeskripsikan tentang rayuan Abhimanyu dan kesedihan Uttarī yang belum mau menerima rayuan tersebut. Pupuh LXVI (3 bait) Pupuh ini masih mendeskripsikan tentang rayuan cinta Abhimanyu terhadap Uttari. Pupuh LXVII (5 bait) Pupuh ini masih mendeskripsikan tentang ketakutan dan kesedihan Uttari serta asmara Abhimanyu dalam kemabukan cintanya. Pupuh LXVIII (2 bait) Pupuh ini berisi deskripsi tentang kemabukan cinta Abhimanyu yang mulai dapat menaklukkan Uttari dalam “perang” cintanya. Pupuh LXIX (4 bait) Pupuh ini berisi deskripsi tentang kesedihan Uttarī setelah ditaklukkan oleh Abhimanyu dalam perang cinta dan para wanita yang memberi pelayanan pada Uttarī. Pupuh LXX (3 bait) Pupuh ini berisi tentang deskripsi perasaan cinta Abhimanyu. Pupuh LXXI (2 bait) Pupuh ini mendeskripsikan tentang keadaan Uttari dan Abhimanyu setelah melakukan senggama yang kedua kalinya. Pupuh LXXII (7 bait) Pupuh ini mendeskripsikan tentang keindahan alam menjelang siang hari. Pupuh LXXIII (4 bait) Pupuh ini berisi deskripsi tentang ulah cinta Abhmanyu dengan Uttari setelah keduanya beranjak dari tempat tidur.
107
Demikianlah proses transformasi teks pada bagian perkawinan Abhimanyu dengan Uttarī. Dapat dikatakan bahwa penyair kakawin AbhW memang memunyai perhatian istimewa pada bagian cerita itu dibandingkan dengan bagian cerita yang lainnya. Pada bagian akhir teks, khususnya setelah perkawinan Abhimanyu dengan Uttari selesai, dalam Wirāţaparwa disebutkan bahwa Yudhişţhira memberikan anugerah atau hadiah kepada para brahmana dan pendeta … mahārāja Yudhişţhira sira tâńdumakěn puņyadāna ri sań brahmana wŗddha pańdita (Wir. 96), artinya ‘… raja agung Yudhişţhira, ia memberikan hadiah kepada para brahmana dan pendeta tua’. Kalimat itu merupakan bagian teks terakhir yang mengakhiri cerita dalam Wirāţaparwa. Namun, pada bagian akhir teks kakawin AbHW menyebutkan bahwa setelah perkawinan Abhimanyu selesai, Yudhişţhira menguasai kembali istana Indraprastha. Hal itu ditunjukkan dalam kalimat Rikā n sampun śrī Dharmasuta maluyêń rājya wijaya/ pratisthêndraprastha ta sira mańěmit loka siniwi/ (AbhW. LXXIV, 3) yang artinya ‘Ketika itu Raja Dharmasuta telah kembali di istana atas kemenangannya/ dan (ia) bertahta di Indraprastha, dan ia menjaga rakyat yang diperintahnya/’. Demikianlah perbedaan pada akhir bagian cerita teks antara Wirāţaparwa dan kakawin AbhW. Meskipun demikian, penyair kakawin AbhW tetap mengikuti cerita yang ditransformasikannya. Penyair hanya menambahkan deskripsi secara panjang lebar pada bagian perkawinan Abhimanyu dan Uttarī.
108
IV. PENUTUP Secara tekstual, transformasi kakawin AbhW dari Wirāţaparwa dapat dirunut berdasarkan dua bagian. Bagian pertama adalah transformasi teks sebelum perkawinan Abhimanyu, sedangkan bagian kedua adalah transformasi teks pada perkawinan Abhimanyu. Pada bagian pertama dapat ditemukan beberapa butir proses transformasi teks seperti berikut. 1. Penyair menggunakan kata-kata dan ungkapan yang sama. 2. Penyair mengganti kata-kata dengan kata lain yang bersinonim, yaitu antara kata Jawa Kuno dan Sanskerta. 3. Penyair meringkas kalimat dengan cara mengganti sebagian katakatanya. 4. Penyair menghilangkan bagianbagian tertentu yang dianggap tidak penting dalam transformasi teks. 5. Penyair memutarbalikkan urutan kalimat pada bagian cerita tertentu dengan mengganti sebagian katakatanya. 6. Penyair memperhatikan bagianbagian teks tertentu kemudian mendeskripsikannya secara khusus, baik deskripsi alam maupun deskripsi peristiwa. Pada bagian kedua, yaitu pada perkawinan Abhimanyu, sebenarnya termasuk nomor 6 dalam proses transformasi teks bagian pertama. Namun, transformasi teks pada bagian perkawinan Abhimanyu itu mendapat perhatian yang lebih istimewa karena penyair mendeskripsikannya secara panjang lebar sebanyak 15 pupuh.
ALAYASASTRA, Vol. 10, No. 2, November 2014, hlm. 97—110
Berdasarkan penelusuran proses transformasi secara tekstual itu, dapat disimpulkan bahwa teks kakawin AbhW memang merupakan transformasi langsung dan adaptasi yang begitu dekat dari teks Wirāţaparwa. Namun demikian ada bagian khusus yang mendapat perhatian istimewa oleh penyair, yaitu bagian perkawinan Abhimanyu. Untuk penelitian lebih lanjut, proses transformasi dalam kakawin AbhW itu dapat dimaknai berdasarkan konteks kepengarangannya. Bisa dari konteks agama, sosial politik, sejarah, dan lain sebagainya. Penelitian lebih lanjut juga memungkinkan adanya titik terang mengenai kapan kakawin AbhW diciptakan. Apakah lebih ke arah pendapat Zoetmulder atau Helen Creese.
DAFTAR PUSTAKA Creese, Helen. 1991. “ Surawīrya, Dewa Agung of Klungkung (c. 1722— 1736) The Historical Context for Dating the Kakawin Pārthâyana”, dalam Bijdragen tot de taal-, landen volkenkunde (BKI) Fokker. 1938. Wirātaparwa. Den Haag. Juynboll. 1912. Wirātaparwa: Oudjavaansch prozageschrift. ‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff. Zoetmulder. 1982. Old Javanese – English Dictionary, vol. I–II. Martinus Nijhoff. ________. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.
Kakawin Abhimanyuwiwaha .... (Sunarya)
109