A. Pengantar
Tidak semua manusia yang dilahirkan ke dunia memiliki bentuk fisik yang lengkap atau sempurna. Mereka tergolong kelompok individu yang memiliki kebutuhan khusus (individual with special needs) karena ketidaksempurnaan kondisi fisik. Mangunsong, dkk. (1998) secara khusus menyebutkan individu yang masuk kelompok tersebut sebagai penyandang tuna daksa. Tuna daksa atau cacat tubuh menurut Mangunsong, dkk. (1998), adalah ketidakmampuan seseorang secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti manusia yang normal karena ketidaklengkapan anggota tubuh yang disebabkan bawaan sejak lahir, kecelakaan sehingga harus diamputasi, dan adanya gangguan neuromuscular. Pendapat lain mengatakan tuna daksa atau cacat tubuh adalah individu mengalami cacat, hambatan, kerugian pada jasmani, syaraf penggerak atau motorik, anggota gerak yang memerlukan pengobatan untuk meluruskan anggota gerak atau tulang punggung yang tidak lurus atau salah bentuk (Mumpuniarti, 2001). Berdasarkan data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat di dunia dan di Indonesia sangat banyak. Menurut data PBB, di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekitar 500 juta orang cacat. Sekitar 80% hidup di negaranegara berkembang (www.pikiranrakyat.com, 2004). Sedangkan data WHO memperlihatkan bahwa jumlah penyandang cacat yang ada di Indonesia adalah sekitar 20 juta jiwa (www.kompas.com, 2002). Sedangkan jumlah penyandang cacat di DIY pada tahun 1992/1993 saja menurut catatan Kantor Wilayah Departemen Sosial DIY berjumlah 16.068 orang (Koentjoro, 2000).
1
2
Kenyataan jumlah penyandang tuna daksa yang cukup banyak, ternyata belum
mendapat
perhatian
lebih
dari
masyarakat
maupun
pemerintah
(www.kompas.com, 2002). Di Indonesia, boleh dikata hampir tidak ada aksesibilitas ke ruang-ruang publik yang membuat penyandang cacat semakin merasa terpinggirkan. Menurut Sutomo (2003), selama ini tidak banyak kesempatan
yang
diberikan
kepada
penyandang
cacat,
karena
ada
kecenderungan bahwa lembaga atau industri memandang penyandang cacat dalam hal ini tuna daksa dengan sebelah mata. Sejauh ini penyandang cacat banyak mendapat perlakuan diskriminatif, salah satunya adalah penerapan UU tahun 1997 menyebutkan bahwa tiap perusahaan mempekerjakan 1% dari jumlah karyawannya adalah penyandang cacat. Undang-undang tersebut dibuat untuk memberi peluang kerja bagi penyandang cacat. Namun dalam penerapannya masih banyak lembaga atau industri yang tidak memenuhi perundang-undangan tersebut. Keadaan tersebut membuat mereka untuk menjadi mandiri menjadi lebih berat. Selain keadaan psikologis mereka juga masih harus menyiasati keadaan akibat - akibat yang ditimbulkan dari kecacatan yang ada di dalam dirinya. Akibat yang ditimbulkan dari lingkungan tersebut disikapi oleh sebagian penyandang tuna daksa dengan sikap yang negatif. Seperti yang diungkapkan oleh Sriyati yang mengalami cacat tubuh akibat polio, bahwa selama ini dia tidak mempunyai kegiatan yang lain selain menunggu rumah. Dia merasa tidak dapat membantu kegiatan
dalam
keluarganya
(pusatrehabilitasi-yakkum.co.id).
Berdasarkan
wawancara terhadap beberapa penyandang tuna daksa diperoleh data bahwa (ESW), menyatakan bahwa selama ini ia merasa minder karena merasa dia sendiri yang mengalami kecacatan dalam lingkungannya. Kemudian hal lain
3
diungkapkan oleh (Sj), yang mengatakan bahwa ia jarang keluar rumah karena merasa minder, selama ini ia dianggap tidak dapat berbuat apa-apa. Keinginannya untuk sekolah tidak dapat tanggapan yang positif dari keluarganya, menurut mereka sekolah bagi orang cacat tidak berguna. Perasaan minder yang dialami oleh penyandang tuna daksa itu dapat menyebabkan terhambatnya aktivitas atau kegiatan yang bersifatnya positif. Namun tidak semua penyandang tuna daksa mengalami hal tersebut. Beberapa penyandang tuna daksa berhasil mencapai prestasi yang cukup membanggakan, seperti yang terjadi pada Titik Winarti (Jawapos.com, Maret 2005), yang berhasil meraih penghargaan pertama Pengusaha Mikro Indonesia (Microcredit Award) dengan sebagian besar karyawannya adalah penyandang tuna daksa. Kemudian Siswadi (www.Kompas.com, Juni 2002) ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) berhasil dipercaya sebagai tim perumus visi Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi sekaligus. Dia juga menjadi tim perumus pendirian Badan Wakaf Produktif Bekasi, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Daerah Kota Bekasi, dan aktif di Dewan Pakar Pusat Kajian Managemen Strategik. Ia berhasil membuktikan bahwa cacat bukan berarti bodoh. Masih menurut Siswadi, kalau orang normal bisa melakukan sesuatu, dan ia tidak bisa maka itu suatu kewajaran. Namun bila ia bisa melakukan seperti orang normal bisa lakukan maka itu suatu kelebihan. Berdasarkan pengamatan pada penyandang tuna daksa di Mandiri Craft, menunjukkan bahwa mereka sanggup membuat karya atau barang kerajinan yang orang normal dapat membuatnya, seperti mainan kuda, puzzle, sepatu, dompet, dan berbagai barang kerajinan lainnya. Bahkan menurut pimpinan dari
4
Mandiri Craft, barang kerajinan yang mereka hasilkan berhasil menembus pasar luar negeri seperti Australia, Selandia Baru, dan Hongkong. Kemampuan penyandang tuna daksa dalam berkarya dan menghasilkan barang atau jasa tersebut merupakan salah satu bentuk perilaku produktif. Menurut Sinungan (2003) menjelaskan bahwa manusia yang produktif adalah manusia yang menghargai kerja sebagai suatu sikap pengabdian kepada Tuhan, berbudi luhur, cakap bekerja dan trampil, percaya kepada kemampuan diri sendiri, mempunyai semangat kerja yang tinggi dan memandang hari esok dengan gairah dan optimis. Perilaku produktif memerlukan prasyarat lain sebagai faktor pendukung antara lain kemauan kerja yang tinggi, kemampuan kerja yang sesuai dengan isi kerja, lingkungan kerja yang nyaman, penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, jaminan sosial yang memadai, kondisi kerja yang manusiawi dan hubungan kerja yang harmonis. Di samping itu, untuk meningkatkan perilaku produktif pada penyandang tuna daksa diperlukan keyakinan penyandang tuna daksa akan kemampuannya dalam hal ini dinamakan self efficacy. Menurut Damayanti dan Rostiana (2003), salah satu yang berperan dalam diri penyandang tuna daksa adalah self efficacy. Self efficacy secara lebih detail merupakan penilaian atau pendapat individu tentang keyakinannya terhadap kemampuan melakukan sesuatu untuk mencapai performansi tertentu (Bandura, 1986). Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan merasa mampu untuk mandiri yaitu mampu mencukupi kehidupan diri dan keluarganya, individu merasa memiliki keyakinan yang kuat bahwa ia tidak perlu tergantung dari orang lain dalam melanjutkan kelangsungan hidupnya karena ia merasa mampu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya itu. Sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang rendah
5
kurang memiliki kekuatan dan keyakinan akan kemampuannya sehingga mudah menyerah dan dalam hidupnya selalu mengharapkan bantuan dan tergantung dari orang lain. Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa penyandang tuna daksa secara umum menyikapi perlakuan yang kurang adil dari lingkungan dengan sikap yang negatif. Namun beberapa penyandang tuna daksa menyikapi hal tersebut dengan positif. Mereka tetap dapat mandiri dan bekerja menghasilkan suatu karya, baik barang atau jasa yang merupakan salah satu bentuk perilaku produktif. Salah satu yang dapat meningkatkan perilaku produktif adalah self efficacy. Sehingga peneliti berasumsi bahwa keyakinan seseorang akan kemampuannya (dalam hal ini self efficacy) akan dapat membuat seseorang semakin berperilaku produktif. Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah hubungan self efficacy dengan perilaku produktif pada penyadang tuna daksa.
B. Tinjauan Pustaka 1. Individu yang Produktif Sinungan (2003) menjelaskan bahwa manusia pembangunan yang produktif adalah manusia yang menghargai kerja sebagai suatu sikap pengabdian kepada Tuhan, berbudi luhur, cakap bekerja dan trampil, percaya kepada kemampuan diri sendiri, mempunyai semangat kerja yang tinggi dan memandang hari esok dengan gairah dan optimis. Kerja produktif memerlukan ketrampilan kerja yang sesuai dengan isi kerja sehingga bisa menimbulkan penemuan-penemuan baru untuk memperbaiki cara kerja yang sudah baik. Kerja produktif memerlukan prasyarat lain sebagai
6
faktor pendukung yaitu: kemauan kerja yang tinggi, kemampuan kerja yang sesuai dengan isi kerja, lingkungan kerja yang nyaman, penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, jaminan sosial yang memadai, kondisi kerja yang manusiawi dan hubungan kerja yang harmonis. Menciptakan perilaku produktif bagi seseorang tidaklah mudah. Menurut Suhariadi (2002), ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Menurutnya untuk membentuk dan mengubah perilaku produktif seseorang haruslah ditanamkan terlebih dahulu kepercayaan pada diri individu tentang arti pentingnya produktivitas bagi dirinya. Kalau keyakinan akan pentingnya produktivitas ini sudah terbentuk, nantinya akan muncul sikap positif terhadap produktivitas. Sikap positif ini akan mendorong kemauan untuk berperilaku cukup besar dalam bentuk niat untuk berperilaku produktif. Niat ini nantinya akan menimbulkan perilaku produktif pada seseorang. Dengan demikian produktif berarti bekerja dengan giat dan optimis untukmenghasilkan sesuatu dengan jumlah yang banyak dan memandang hari esok secara optimis dan menghargai kemampaun diri sendiri sehingga dapat berguna bagi kehidupannya. 2. Self Efficacy Self Efficacy menurut Bandura (1986) adalah keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam mengerjakan tugas, aktivitas ataupun usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara itu, Baron dan Byrne (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy perasaan akan keyakinan individu akan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan dan berhasil
7
dalam suatu tugas atau tindakan tertentu. Keyakinan akan kemampuan tersebut mengarah pada fungsi kognitif seseorang dalam usahanya untuk berhasil dalam melakukan suatu tindakan atau tugas tertentu. Bandura (1977) mengungkapkan bahwa self efficacy memiliki tiga dimensi, yaitu: a. Dimensi tingkat (magnitude) Berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, dimana individu merasa mampu melakukannya. Individu merasa mampu melakukan tugas, apakah berkaitan dengan tugas yang sederhana, agak sulit, atau sangat sulit. b. Dimensi kekuatan (strength) Dimensi
ini
dikaitkan
dengan
kekuatan
penilaian
tentang
kecakapan individu. Dimensi ini mengacu pada derajat kemampuan individu terhadap keyakinan akan harapan yang dibuatnya. c. Dimensi generalisasi (generality) Dimensi ini berhubungan dengan luas bidang perilaku. Self efficacy seseorang tidak terbatas hanya situasi spesifik saja. Dimensi ini mengacu pada variasi situasi dimana penilaian tentang self efficacy dapat diungkapkan. Menurut Bandura (1986), informasi mengenai self efficacy dapat berasal dari empat sumber informasi utama, yaitu: a. Pengalaman keberhasilan atau prestasi (Enactive Attainment) b. Pengalaman orang lain (Vicarious Experience) c. Persuasi verbal (Verbal Persuasion) d. Kondisi fisiologis dan perasaan (Physiological Affective State) Menghadapi kehidupan yang serba kompleks saat ini menuntut penyandang tuna daksa untuk selalu siap, baik secara fisik maupun psikologis.
8
Kondisi fisik yang tidak sehat dan keadaan afeksi yang berada dalam tekanan akan mempengaruhi self efficacy penyandang tuna daksa untuk tidak tergantung dari orang lain. Kemampuan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia memiliki keyakinan untuk menghadapi semua rintangan dengan kemampuan yang dimiliki akan meningkatkan perkembangan diri dan self eficacy individu. Dikaitkan dengan penyandang tuna khususnya tuna daksa, self efficacy adalah sejauh mana penyandang tuna daksa dengan segala kekurangannya mempunyai keyakinan tentang sejauh mana kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan tugas dan tindakan tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan. 3. Tuna Daksa Menurut Simangunsong, dkk (1998), tuna daksa atau cacat tubuh mempunyai
pengertian
yang
luas
dimana
secara
umum
dikatakan
ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. dalam hal ini yang termasuk tuna daksa adalah orangorang yang lahir dengan cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, orang yang kehilangan anggota badan karena amputasi, orang dengan gangguan neuro muscular seperti cerebral palsy, orang dengan gangguan senso motorik (alat pengideraan) dan orang yang menderita penyakit kronis. Sedangkan Mumpuniarti (2001) mengartikan cacat tubuh atau tuna daksa sebagai individu yang keadaannya mengalami cacat, hambatan, kerugian pada jasmani, syaraf penggerak atau motorik, anggota gerak yang memerlukan pengobatan untuk meluruskan anggota gerak atau tulang punggung yang tidak lurus atau salah bentuk. Khusus yang menjadi tekanan keadaan rugi, hambatan, cacat adalah pada anggota gerak.
9
Menurut As’jari (1995), Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi, kurang dan daksa berarti tubuh”. Tuna daksa ditujukan kepada mereka-mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, misalnya buntung atau cacat. Sedangkan istilah tuna daksa atau cacat tubuh dimaksudkan untuk menyebut mereka yang memiliki cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat pada inderanya. Ditambahkan bahwa pengertian tuna daksa adalah sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Dengan demikian, cacat tubuh atau tuna daksa dapat diartikan sebagai bentuk ketidaknormalan atau ketidaksempurnaan bagian tubuh yang disebabkan karena bawaan atau kejadian yang menyebabkan tidak dapat berfungsinya anggota tubuh sehingga tubuh tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal. Tuna Daksa diklasifikasi atas dasar bahwa jenis kelainan tuna daksa amat bervariasi ragamnya dan setiap jenis kelainan juga bervariasi tingkatannya. Klasifikasi ini akan memperlihatkan jenis-jenis kelainan yang termasuk tuna daksa (Mumpuniarti, 2001). a. Klasifikasi berdasarkan penyebab orang menjadi tuna daksa. b. Klasifikasi tuna daksa berdasarkan sistem jaringan tubuh yang mengalami kelainan. c. Klasifikasi berdasarkan jumlah anggota badan yang kelainan atau ketunaan. Satu anggota badan. d. Klasifikasi berdasarkan tingkatan ketunaan atau cacat yang disandang. e. Klaifikasi berdasarkan kemampuan dalam mengikuti pendidikan.
10
f. Klasifikasi berdasarkan kecerdasannya. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tuna daksa antara lain: a. Asalnya faktor, yaitu: 1) Faktor yang berasal dari dalam (internal).Termasuk faktor ini adalah faktor keturunan (genetis), faktor kromosom, faktor RH (Rhesus factor). 2) Faktor yang berasal dari luar (external). Seperti faktor gizi yang kurang sewaktu anak masih dalam kandungan (malnutrition), faktor kejiwaan dari ibu sewaktu anak masih dalam kandungan, berbagai macam penyakit (polio, TBC tulang dan persendian), berbagai macam zat kimia yang terbawa oleh makanan dan minuman pada waktu ibu mengandung anak, berbagai macam kecelakaan, berbagai radiasi, sinar tembus (rontgen), atau sinar yang mengandung ion lain. b. Munculnya/ terjadinya kelainan 1) Terjadi dalam kandungan yang sering disebut dengan faktor bawaan (congenital). 2) Terjadi sewaktu lahir, seperti: waktu lahir sulit sehingga lama dijalan lahir, lama di jalan lahir ini dapat menyebabkan kekurangan oxygen yang merusak otak, sehingga memunculkan cerebral palsy. 3) Terjadinya setelah anak lahir dan berkembang sampai dewasa. Dijelaskan oleh Mumpuniarti (2001), bahwa karakteristik tuna daksa dapat ditinjau secara fisiologis dan psikologis, hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Karakteristik fisiologis terlihat pada gejala fisik di antaranya: 1) Gerak di antara keempat anggota tubuh tidak sempurna, misalnya: kaku, kejang, gerak sendiri, gerak tidak terkoordinir. 2) Pada bentuk tubuh terlihat bengkok, bungkuk, geraknya sempoyongan karena tidak mempunyai keseimbangan.
11
3) Satu, dua, tiga di antara keempat anggota tubuh tidak dapat digerakkan atau bahkan tidak ada (amputasi). 4) Bagi penyandang yang kelainannya pada persyarafan pusat di otak akan berpengaruh pada kemampuan-kemampuan yang lain. 5) Didapatkan juga kelainan yang nampak pada penderita dalam keadaan lemas, lumpuh, tidak mempunyai tenaga untuk bergerak, dan penderita yang tidak mampu bergerak bebas berhubung jika bergerak keadaan tulang menjadi retak. b. Karakteristik psikologis. Penyandang
tuna
daksa
akan
mengalami
gejala
yang
dapat
membahayakan perkembangan kepribadian, seperti: 1) Terhambatnya aktivitas normal pada penyandang cacat akan dapat menyebabkan frustasi. 2) Orang tua yang overprotection akan dapat menghambat perkembangan penyandang cacat. 3) Karena kecacatannya tersebut, orang yang ada disekitarnya menganggap dia berbeda dengan orang yang lain. Perlakuan yang berbeda tersebut dapat menyebabkan penyandang cacat merasa dirinya berbeda pula. Ketiga hal diatas dapat menimbulkan sifat-sifat, seperti; harga diri yang rendah, tidak percaya pada diri sendiri, dan kurang atau bahkan tidak mempunyai inisiatip dalam menjalani aktivitas kehidupannya. 4. Self Efficacy dan Perilaku Produktif Pada Penyandang Tuna Daksa Selama ini, penyandang tuna khususnya penyandang tuna daksa mengalami perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Mereka beranggapan penyandang tuna daksa adalah orang-orang yang hanya dapat berpangku
12
tangan. Keadaan tersebut membuat mereka untuk menjadi mandiri menjadi lebih berat. Selain keadaan psikologis mereka juga masih harus menyiasati keadaan akibat-akibat yang ditimbulkan dari kecacatan yang ada di dalam dirinya. Seseorang
dikatakan
mengalami
tuna
daksa
apabila
menderita
kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang dan otot). Kecacatan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bergerak, menggunakan lengan dan kakinya secara efektif serta bernafas secara bebas (Hardman, dalam Damayanti dan Rostiana, 2003). Menurut Koentjoro (2000), bahwa pada dasarnya penderita tuna daksa umumnya memiliki rasa rasa percaya diri yang rendah dan hal itu semakin membuat adanya hambatan-hambatan interpersonal. Ditambahkan oleh Hill dan Monks
(dalam
Wrastari
dan
Handadari,
2003),
bahwa
penyimpangan-
penyimpangan pada seseorang akan menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan penilaian diri dan sikap sosialnya. Oleh karena itu pada penyandang tuna daksa, dengan ketidaksempurnaan bagian tubuhnya akan menghambat
perkembangan
kepribadian
yang
sehat.
Pendapat
lain
mengemukakan bahwa akibat dari kecacatan yang dialami, penyandang tuna daksa seringkali mengalami masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan pekerjaan (Damayanti dan Rostiana, 2003). Sehingga dalam bekerja penyandang tuna daksa banyak yang mengalami ketidakyakinan, ketidakpercayaan diri, tergantung akan orang lain, dan menjadi tidak produktif. Damayanti dan Rostiana (2003) mengatakan bahwa, salah satu faktor yang dipandang turut berperan dalam diri penyandang tuna daksa adalah self efficacy. Self efficacy merupakan faktor kunci untuk melihat bagaimana seseorang berupaya mengatasi atau menghadapi keadaan di atas. Individu
13
dengan self efficacy yang tinggi akan terlihat optimis, percaya diri, dan berpandangan positif. Sebaliknya individu dengan self efficacy yang rendah akan terlihat pesimis, tidak percaya diri, dan dipenuhi perasaan khawatir. Dengan self efficacy yang tinggi, individu akan termotivasi untuk terus berusaha mengatasi masalah yang dihadapi. Keyakinan dimilikinya
akan
penyandang meningkatkan
tuna
daksa
terhadap
kemampuannya
dalam
kemampuan bekerja.
yang
Dengan
meningkatnya kemampuan akan dapat membuat penyandang tuna daksa untuk berbuat lebih baik dalam bekerja maupun pada kehidupan yang lain. Self efficacy pada penyandang tuna daksa dapat ditingkatkan. Menurut Apriadi (2001), bahwa ada hubungan antara sikap terhadap program pelayanan rehabilitasi dan penyesuaian diri pada self efficacy remaja penyandang tuna daksa.
Sehingga
dengan
pemberian
pelatihan
sebelum
bekerja
dapat
meningkatkan self efficacy penyandang tuna daksa dalam bekerja. Ditambahkan oleh Sumiatun (2002), bahwa kemampuan penyandang tuna daksa yang bekerja dapat ditingkatkan melalui program pelatihan, pendidikan, dan pengembangan. Menurut Bandura (dalam Kharis, 2001), individu yang memiliki efikasi diri umumnya lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan, tidak mudah menyerah, dan memiliki kepercayaan yang lebih tinggi untuk mengejar tantangan. Sedangkan menurut Muryanto (2004) dalam penelitiannya tentang efikasi diri dalam persaingan memperoleh pekerjaan pada alumni Universitas Islam Indonesia meyatakan bahwa keberhasilan dan efikasi diri juga memiliki keterkaitan yang timbal balik, artinya keberhasilan yang di capai individu dalam setiap aktivitas ataupun tugas akan meningkatkan keyakinan terhadap kemampuan diri individu dalam melakukan aktivitas atau tugas tersebut sehingga
14
tujuannya tercapai. Begitu pula sebaliknya, keyakinan terhadap kemampuan diri untuk melakukan aktivitas ataupun tugas untuk mencapai tujuan juga akan mempengaruhi individu untuk mencapai keberhasilan. Berdasarkan penelitian ini didapat bahwa efikasi diri mempengaruhi keberhasilan individu dalam bekerja. Menurut Bandura (1986), faktor yang dapat meningkatkan self efficacy antara lain: pengalaman keberhasilan atau prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal, dan kondisi fisiologis dan perasaan. Ditambahkan oleh Suhariadi (2002), bahwa perilaku produktif efisien terbentuk dari semangat akan kepuasan dalam bekerja. Semangat akan kepuasan dalam bekerja ini ditunjang oleh keterlibatan dalam pekerjaan yang digeluti. Semakin orang terlibat dalam pekerjaan yang digeluti maka semakin orang akan berperilaku produktif. Untuk dapat membuat seseorang menjadi semakin terlibat akan pekerjaannya maka salah satunya dibutuhkan keyakinan yang kuat akan kemampuan yang dimiliki seseorang. Dengan demikian penyandang tuna daksa yang mempunyai self efficacy yang baik akan dapat meningkatkan perilaku produktif dalam bekerja dan dalam berbagai bidang kehidupan.
E. Hipotesis Ada hubungan positif antara self efficacy dengan perilaku produktif. Semakin tinggi self efficacy maka semakin tinggi perilaku produktif pada penyandang tuna daksa.
D. Metode Penelitian 1. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel Tergantung
: Perilaku Produktif Penyandang Tuna Daksa
15
Variabel Bebas
: Self Efficacy
2. Definisi Operasional Variabel Penelitian a. Perilaku Produktif pada Penyandang Tuna Daksa adalah perilaku pada seseorang yang mempunyai bentuk tubuh yang tidak sempurna atau kurang normal namun dapat ia dapat menghasilkan suatu karya secara kontinyu yang memiliki nilai jual. Ciri-ciri perilaku penyandang tuna daksa dalam penelitian ini didasarkan pada kesimpulan dari ciri-ciri seseorang yang produktif menurut Timpe (2002), yaitu: ulet dan bekerja secara efisien, memiliki ketrampilan, hasilnya memiliki nilai jual, memahami pekerjaan, ada target yang ingin dicapai, bisa bekerja dibawah tekanan, dan merasakan kepuasan dari hasil kerja. b. Self
Efficacy
adalah
keyakinan
penyandang
tuna
daksa
terhadap
kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan tugas atau pekerjaan. Aspekaspek yang tercakup dalam self efficacy pada penelitian ini meliputi dimensidimensi yang diungkapkan oleh Bandura (1977), yaitu: tingkat kesulitan tugas (magnitude), kekuatan keyakinan terhadap kemampuan (strength), dan dimensi keluasan tugas (generality). 3. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah penyandang tuna daksa yang bekerja di Mandiri. 4. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah analisis statistik korelasi product moment dari Spearman. Dengan bantuan program komputer statistical Package for Sosial Science (SPSS) for Windows 12.
16
E. Hasil Penelitian 1. Uji Hipotesis Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi product moment dari Spearman, didapatkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,392 dan p = 0.016 (p< 0.05). Jadi hipotesis yang menyatakan ada hubungan yang positif antara self efficacy dengan perilaku produktif pada penyandang tuna daksa diterima. Dimana semakin tinggi self efficacy semakin tinggi pula perilaku produktifnya. 2. Analisis Tambahan Analisis tambahan pertama dilakukan untuk mengetahui perbedaan self efficacy dan perilaku produktif pada penyandang tuna daksa ditinjau dari tingkat pendidikan. Analisis dilakukan dengan teknik One Way Anova dan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan self efficacy pada penyandang tuna daksa ditinjau tingkat pendidikan dimana F = 1.228 dan nilai p = 0.310 (p > 0.05). Sedangkan pada analisis perilaku produktif menunjukkan ada tidak ada perbedaan perilaku produktif pada penyandang tuna daksa ditinjau dari tingkat pendidikan dimana nilai F = 2.691, dan p = 0.087 (p > 0.05). Analisis tambahan kedua yaitu analisis data tambahan kualitatif yang memuat data tentang perubahan-perubahan yang ingin dilaksanakan oleh subyek penelitian. Dari data tersebut secara garis besar perubahan yang ingin dilakukan oleh subyek penelitian dapt dibagi menjadi tiga perubahan, yaitu
17
42.86% menginginkan perubahan dari segi kebijakan perusahaan terkait dengan pemasaran, 28.57% menginginkan perubahan dari segi peningkatan kualitas produk, dan 28.57% menginginkan perubahan dari segi peningkatan kualitas pribadi. E. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa pada penyandang tuna daksa, self efficacy mempunyai hubungan yang positif dengan perilaku produktif. Dimana semakin tinggi self efficacy semakin tinggi pula perilaku produktifnya. Adanya hubungan yang positif antara self efficacy dengan perilaku produktif senada dengan pendapat Damayanti dan Rostiana (2003) bahwa self efficacy merupakan faktor penting yang harus dimiliki oleh penyandang tuna daksa. Self efficacy merupakan faktor kunci untuk melihat bagaimana seseorang berupaya mengatasi atau menghadapi keadaan di atas. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan terlihat optimis, percaya diri, dan berpandangan positif. Sebaliknya individu dengan self efficacy yang rendah akan terlihat pesimis, tidak percaya diri, dan dipenuhi perasaan khawatir. Dengan self efficacy yang tinggi, individu akan termotivasi untuk terus berusaha mengatasi masalah yang dihadapi. Subyek dalam penelitian ini mempunyai self efficacy dan perilaku produktif yang tinggi. Hal ini berarti bahwa subyek mempunyai keyakinan diri yang kuat di tengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki sehingga keyakinan diri yang mereka miliki mampu membuat mereka tetap berguna yaitu dengan berperilaku produktif. Tingginya self efficacy pada subyek penelitian dikarenakan mereka mempunyai ketrampilan yang diperoleh dalam pelatihan. Di samping itu, mereka juga selalu mengasah ketrampilan mereka setiap hari sehingga hal tersebut dapat menambah pengalaman yang mereka miliki. Hal itu sesuai
18
dengan pendapat Bandura (1986), yang mengatakan bahwa salah satu sumber informasi self efficacy adalah pengalaman. Dengan memiliki pengalaman dalam bekerja, mereka dapat meningkatkan perilaku produktif. Selain itu, pendapat lain dikemukakan oleh Simanjuntak dalam Ravianto (1987), bahwa orang mempunyai sikap tersebut terdorong untuk menjadi dinamis, kreatif, inovatif serta terbuka, akan tetapi kritis terhadap ide-ide baru dan perubahan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sumbangan efektif self efficacy terhadap perilaku produktif adalah sebesar 9,7 % sisanya adalah faktor lain yang mempengaruhi perilaku produktif yang tidak diteliti lebih lanjut oleh peneliti. Hal itu menunjukkan bahwa self efficacy mempunyai pengaruh yang kecil
terhadap
perilaku
produktif
penyandang
tuna
daksa.
Rendahnya
sumbangan efektif self efficacy terhadap perilaku produktif bisa disebabkan oleh adanya kebutuhan atau keinginan akan harapan dari penyandang tuna daksa yang belum terpenuhi, seperti kerjasama, pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama, disiplin, dan lain-lain (data tambahan kualitatif). Hal ini sesuai pendapat dari Bandura (1986) bahwa self efficacy dan harapan akan hasil (outcome expectancy) sebagai dua mekanisme evaluasi diri kognitif yang menyertai kinerja kecakapan individu. Ketika ada harapan-harapan dari penyandang tuna daksa yang tidak terpenuhi maka hal tersebut dapat menghambat perilaku produktif mereka. Di samping itu, rendahnya sumbangan efektif self efficacy tersebut juga disebabkan karena kurang spesifiknya alat ukur self efficacy untuk pengukuran pada penyandang tuna daksa. Kurang spesifiknya alat ukur tersebut menyebabkan penyandang tuna daksa cenderung kurang memahami setiap kalimat dalam alat ukur tersebut.
19
Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa pada penyandang tuna daksa hanya pada aspek magnitude dan aspek strength yang mempengaruhi aspek-aspek pada perilaku produktifnya, sedangkan pada aspek generality tidak ditemukan
hubungan
dengan
aspek-aspek
perilaku
produktif.
Hal
ini
menunjukkan bahwa keyakinan penyandang tuna daksa terhadap kemampuan mengerjakan berbagai tugas tidak mempunyai dampak terhadap perilaku produktifnya. Hasil tambahan kedua menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan self efficacy dan perilaku produktif berdasarkan tingkat pendidikan. Artinya bahwa subyek dalam penelitian ini tetap berperilaku produktif apapun tingkat pendidikan yang dimiliki oleh subyek. Penyandang tunda daksa yang mempunyai pendidikan rendah tetap berperilaku produktif di tengah – tengah keterbatasan yang mereka miliki, begitu juga sebaliknya penyandang tuna daksa yang mempunyai pendidikan tinggi juga berperilaku produktif di tengah – tengah keterbatasan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhariadi (2002) bahwa kepandaian tidak berpengaruh terhadap perilaku produktif. Kepandaian yang dimiliki oleh penyandang tuna daksa dapat ditentukan dari tingkat pendidikan formal penyandang tuna daksa dimana semakin tinggi pendidikan formal yang diperoleh penyandang tuna daksa maka semakin ia memperoleh banyak pengetahuan sehingga hal tersebut berdampak pada kepandaian yang dimilikinya. Di samping itu, dapat dilihat dari skor perilaku produktif yang diperoleh oleh subyek dengan melihat pada tingkat pendidikan yang dimiliki oleh subyek (lampiran data tambahan kualitatif). Hasil analisis tambahan berikutnya adalah analisis kualitatif. Dari data tersebut didapatkan hasil bahwa sebagian besar subyek dalam penelitian ini
20
menginginkan perubahan dalam hal kerja sama. Hal ini berarti bahwa dengan peningkatan dalam hal kerja sama seperti pengambilan keputusan yang dibicarakan bersama-sama antara pimpinan dengan pengrajin diharapkan akan mampu meningkatkan sikap produktif penyandang tuna daksa. Secara keseluruhan bahwa perilaku produktif yang dimiliki oleh penyandang tuna daksa banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor dari dalam seperti keyakinan penyandang tuna daksa akan kemampuan yang dimilikinya (dalam hal ini self efficacy), juga dipengaruhi oleh faktor luar seperti sistem penggajian, kerja sama antar sesama pengrajin, perhatian dari pimpinan (lampiran data tambahan). Perilaku produktif pada penyandang tuna daksa dapat ditingkatkan dengan usaha dari penyandang tuna daksa itu sendiri, maupun dukungan dari lingkungan sekitar. Kelemahan dalam penelitian ini adalah kurang spesifiknya alat ukur self efficacy untuk mengukur self efficacy pada penyandang tuna daksa. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini masih mengukur hal-hal yang bersifat umum, hal tersebut menyebabkan penyandang tuna daksa kurang dapat memahami kalimat dalam alat ukur tersebut. Menurut Brehm dan Kassin (1990) bahwa
self
efficacy
berkaitan
dengan
keyakinan
seseorang
terhadap
kemampuannya dalam melakukan tugas yang spesifik untuk memperoleh hasil yang diinginkan dalam suatu situasi. Oleh sebab itu, dalam penyusunan alat ukur self efficacy hendaknya disesuaikan dengan kondisi keseharian yang dilakukan oleh subyek penelitian yang dijadikan sebagai sasaran penelitian. Sebagai contoh, dalam penelitian ini subyek penelitian adalah penyandang tuna daksa yang bekerja sebagai pengrajin sehingga dalam penyusunan alat ukur self
21
efficacy disesuaikan dengan kegiatan penyandang tuna daksa yang berkaitan dengan proses membuat barang kerajinan.
F. Kesimpulan Self efficacy pada penyandang tuna daksa mempunyai hubungan positif dengan perilaku produktif mereka, dimana semakin tinggi self efficacy penyandang tuna daksa maka semakin tinggi perilaku produktifnya. Self efficacy mempunyai sumbangan efektif yang kecil terhadap perilaku produktif yaitu sebesar 9.7%. A. Saran Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran-saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya, antara lain: 1. Saran Bagi Lembaga Pihak lembaga diharapkan dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan pengrajin dilakukan secara bersama-sama. Dengan begitu, pengrajin merasa lebih diperhatikan dan lebih diperlukan dalam pekerjaan mereka.
Dengan
ditekuninya,
semakin
mereka
terlibatnya
akan
semakin
pengrajin terpacu
dalam untuk
pekerjaan
yang
mengingkatkan
kemampuannya dan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas barang yang dihasilkannya. 3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya Mengingat kurang spesifiknya alat ukur self efficacy pada penelitian ini yang menyebabkan sumbangan efektif self efficacy terhadap perilaku produktif pada penyandang tuna daksa, diharapkan peneliti selanjutnya dapat membuat sebuah
22
alat ukur self efficacy yang lebih spesifik yang disesuaikan dengan kegiatan subyek penelitian yang akan diteliti. Dengan pembuatan alat ukur self efficacy yang lebih baik, diharapkan dapat menyempurnakan dan membuat penelitian ini menjadi lebih baik lagi.