53 PRAKTEK PEMBEBASAN TANAH DI DKI JAKARTA ADAKAH DASAR HUKUMNY A? oleh: Tony Kartono
Didalam Hukum Agraria, te rdapat dua istilah yang keiihatannya mirip satu sarna lain, tetapi sebenarnya secara prinsip kedua istilah tersebut berbeda satu sarna lain. Kedua istilah tersebut ialah PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH dan PEMBEBASAN TANAH.
a.
Pcngertian Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah ialah : '1>cngambiJan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah itll menjadi hapus, tanpa yang bcrsangkulan melakukan suatu pelanggaran atau lalai dalarn memenuhi kewajiban hukum"
Dari perumusan diatas, dapatlah dUmat bahwa pencabutan hak atas tanah, ada lah suatu tindakan dati Negara/aJat -3I at perlengkapannya, yang dilakukan secara paksaan t:.!rhadap tanah-tanah dan benda-benda yang ada diatas milik penduduk, untuk diserahkan kepada pihak yang minta pencabutan itu, se-
dangkan yang bersangkutan (pemilik tanah) tidak pemah melakukan suatu pelanggaran hukum atau melalaikan suatu kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya. Karena itu, tidak termasuk didalamnya pengertian perampasan terhadap tanah-tanah, disebabkan karena yang bersangkutan clinyatakan hersalah t1alam suatu tindak pidana, atau pensitaan tanah oleh Pengadilan dalam hubungannya dengan gugatan Perdata; dan juga tidak termasuk dalam pengertian ini suatu perbuatan . penyerahan/pelepasan secara sukarela oleh pemilik tallah kepada Negara, yang memintanya dengan pembayaran ganti rugi secu kupnya , sekalipun hal tersebut diperuntukan guna kepentingan umum.
Istilah pencabutan hak-hak atas tanah terdapat dalam pasal 18 UndangUndang I'okok Agraria, dan tata eara peneabutan hak terse but diatur dalarn Undang-Undang No. 20 tahun 1961; sedangkan ten tang Acara Penetapan Gantirugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Peneabutan hak·hak atas tanah dan benda-benda diatasnya' diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 39 tahun 1973. Sedangkan mengenai pelaksanaan peneabutan hak·hak atas tanah dan benda-benda yang diatasnya, tertuang pada lnstruksi Presiden Republik Indonesia No.9 tahun 1973. Sebelumnya, dalam Stb. 1920 no. 574, dipergunakan istilah ONTEIGENING, yang menurut arti yang sesungguhnya, hanya berarti Pencabutan Hak "Eigendom' (hak-milik) saja. Sedangkan dalam Undang-Undang RIS tahun 1949, pada pasal 26 ayat I dinyatakan, bahwa pencahutan hak (ontcigening) untuk kepentingan umum
54
Ilukum dan pembangunan
atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, kecuali dengan rnengganti kerugian dan menurut aturan Undang-Undang. Didalam Undang-Undang Semen tara 1950, juga tercanturn mengenai pencabutan, yaitu dalarn pasal 27 ayat 1 nya, yang mana dinyatakan, bahwa ; "Pencabutan Hak Milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aluran-
Berkenaan dengan pencabutan hak-hak atas tanah inl, maka menuwt ketentuan hukum yang beriaku, untuk terlaksananya suatu pencabutan hak atas tanah guna kepentingan umum; harus dipenuhi beherapa persyaratan se bagai berikul: 1.
Peneabulan hak hanya dapal dilakukan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendakinya. Unsur kepentingan umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabu tan hak ini. Termasuk dalam pengertian kepentingan umurn mi, adalah kepen.tingan Bangsa , kepentingan bersama dari rakyat, serta kepentingall pem bangunan.
2.
Peneabulan hak hanya dapal dilakukan oleh pihak yang berwenang menurut tatacara yang ditentukan dalam ketentuan llndangUn dang No. 20 lahun 1961 (yailu Presiden), serla berbagai peraturan pelaksanaannya seperti tersebut diatas.
3.
Pencabutan hak atas tanah harus disertai dengan ganti rugi yang layak. Pemilik hak alas lanah berhak atas pembayaran yang layak, berdasarkan atas harga yang pantas, apabila Pencabutan Hak atas lanah ilu dilakukan (yailu oleh Presiden Republik Indonesia) setelah mendengar s.aran dan pertimbangan dati Menteri Dalam Negeti, Menteri Kehakirnan dan Menteri yang bidangnya meliputt usaha dari yang rneminta dilaksanakannya pencabutan hak itu.
Apabila yang berhak alas lanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak bersedia menerirna ganti rug! yang telah ditetapkan dalarn Surat Keputusan Presiden, rnaka mereka dapat minta BANDING kepada Pengadilan Tinggi, ditempat letak tanah dan/atau benda terse but yang termasuk kekuasaan Pengadilan Tinggi terse but. Pengadilan Tinggi akan rnemutus soal tersebut dalam Tingkat Pertarna dan Terakhir; tetapi selarna proses sengketa tanah dan atau benda-benda tersebut berjalan, hal ini TIDAK MENUNDA JALANNY A PENCABUTAN HAK DAN PENGUASAANNYA. Demikianlah sekedar ten tang pengertian Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah. b. Selanjutnya, mengenai istilah Pernbebasan tanah. tidak terdapat dalam Un dang-Un dang Pokok Agraria (Undang-Undang No.5 lahun 1960), tetapi terdapat dalam Peraturan Men teri Dalam Ncgeri No . IS -tahun 1975 dan No.2 tahun 1976; dan khususnya di DKI Jakarla, Sural
pembebasan tanah
55 I
Kepulusan Gubernur DKI Jakarta No. Ib/3/1/11/1969 dan No. Da 11/3/11/1972. Yang ada dalarn Un dang-Un dang Pokok Agraria hanyalah istilah Pencabutan lIak-Hak A tas Tanah; Dalam pasal 27 Un dang-Un dang Pokok Agraria, hanya dikatakan bahwa hak milik atas tanah hapus dan tanahnya jatuh kepada Negara, karena penyerahan dengan sukarela oIeh pemiliknya . Dan tentu saja, sukarela ini mempunyaj latar belakang, misalnya: Negara membutuhkan tanah untuk pembangunan Lapangan Golf, diatas tanah yang telah mempunyai status Hak Milik, sedangkan pernilik ingin rnenjual tanahnya, karen a ia membutuhkan uang. Dalarn hal ini, pihak yang rnembutuhkan tanah (yaitu Negara), memberikan gan ti ·rugi kepada pemilik tanah sejumlah yang mereka sepakati, biasanya dengan harga pasaran. Menurut Pcraturan Mendagri No. 15 tahun 1975, ten tang ketentuanketentuan mengenai tata eara pembebasan tanah, dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 dinyatakan, bahwa: "Yang dimaksud dengan Pembebasan Tanah ialah Melepaskan hubungan hukurn yang semula terdapat diantara pemegang hakjbangunan atas tanahnya dengan eara memberikan ganti rugi. Jadi unsur dari Pembebasan Tanah ialah: Meiepaskan hubungan hukum, dai1 adanya ganti rugi atas pelepasan hubungan hukum tersebut, yang mana hal ini merupakan syarat mutlak dalam pembebasan tanah. Meiepaskan hubungan hukum berarti bahwa hubungan an tara pemegang hak at as tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan sebagainya, dengan tanahnya telah menjadi terputus sejak dibebaskannya tanah terse but oleh Pemerintah. Pemegang hak atas tanah yang semula . tidak lagi berhak untuk mengadakan hubungan hukum dengan tanah yang telah dibebaskan terSe but , misalnya: menjual, menghibahkan, menukar, menggarap sendiri tanahnya dan lainlainnya serta hak-hak atas tanah tersebut. berpindah kepada pihak yang membutuhkan areal tanah. Disebutkan pula dalam I'craturan Mendagri ini, bahwa Panitya Pembebasan tanah adalah suatu panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/ penelitian dan ganti rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunanjtanah tumbuh diatasnya, yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepaia Daerah untuk masing-masing Kabupatenj Kotamadya dalam suatu wiiayah Prapinsi yang hersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Pcmbebasan Tanah berpedoman kepada PeraturanPeraturan yang berlaku berdasarkan aZas musyawarah dan harga urnum setempal. "Kemudian didalam mengedakan penaksiran/penetapan rnengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pem bebasan Tanah hams mengadakan musyawarah dengan para pemilikjpemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada diatasnya bcrdasarkan harga urn urn seternpat"
56
JlIlkum dall pembangulloll
Dari ketentuan-ketentuan diatas, nampaklah bahwa peiaksanaan dari tindakan pembebasan tanah, haruslah dilakukan secara musyawarah. jadi tidaklah terdapat sifat paksaan sedikitpun juga, Kalau temyata didalam
pelaksanaannya, terjadi kegagalan ·dalam musyawarah. maka salah satu pihak tidaklah dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak lain, sehingga tindakan pembebasan tanah tidak dapat dilaksanakan. Menurut Peraturan Mendagri No.2 tahun 1976, ten tang penggunaan acara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta, dalam pasai 1 nya dikatakan: "Pembebasan tanah
oleh pihak swasta untuk kepentingan umum 3tau termasuk dalam bidang pembangunan saran a umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut Acara Pembebasan Tanah untuk kepentingan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Bab I, 11 dan IV Peratur.an Mendagri No. 15 tahun 1975". Jadi jelaslah bahwa Peraturan Mendagri No.2 tahun 1976 ini, hanyalab merupakan pengkhususan saja dari Peraturan Mendagri NO . 15 tallUn 1975, yaitu khusus/terbatas pada Acara Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta. Demikian juga dalam Surat Menteri Dalam Negeri tanggal : 19-0KTOBER 1976 No. 5J 16/1 0/41 kepada Gubernur Tingkat-I di scluruh Indonesia, perihal Peraturan Mendagri No. 15 tahun 1975 dan No.2 tahun 1976 , dinyatakan bahwa: "Apabila telah tercapai kata sepakat ten tang besarnya uang ganti rugi dian tara pihak-pihak , maka pelaksanaan pembayaran ganti rugi harus dilakukan secara langsung an tara Instansi yang memcrlukan tanah talii kcpada yang berhak dan bersarnaan itu dilakukan pula pcnyerahan/pclepasan hak at.as tanah, secara t~rtulis dihadaran sckurang-kurangnya ern pat orang anggauta panitia Pern bcbasan Tanah, diantaranya Kepala Dcsa yang bcrsangklltan". Didalam kalimat diataspun disyaratkan adanya "kata scpakat" tcntang besarnya ganti rugi dian tara rihak -pihak yang hcrsangkutan. Apahila telah terjadi kata sepakat, barulah dilakukan penycrahan/pciepasan hak atas tanah oleh pcmilik tanah kepada Ncgara. Demikianlah kiranya sangaUah jelas bahwa kctcntuan-kctcntuan tcrscbut diatas (Pcraturan Mendagri No. 15 tahun 1975 dan No.2 tahun 1976, Surat Menteri DaJam Negeri No. SJ 16/l 0/41), scsuai sckali dcngan yang dimaksud dalam pasal 27 Undang-Undang I'okok Agraria . bahwa hak milik atas tomah dan tanahnya jatuh kcpada Negara, karcna pcnycrahan dcngan sukarcla oleh ilemiliknya . Sehaliknya menur:ut Surat Keputusan (;ubcrnur OKI Jakarta No. Ih .3/1/11/69 (Lcmbaran lJacrah Khusus Ibu Kota Jakarta No. I tahun 1969, yang dimaksud dengan Pcmbcbasan Tanah ialah: "Pcmbcbasan atas scmuu hak yang atus tanah. tcrmasuk pcngosongan". Jadi unsur dari pcmbcbasan tanah mcnurut Sk Guhcrnur ini, ialah: Pcmbchasan atas scmua hak yang at as tanah; tcrmasuk pula pcngoson!!an.
57
pemhebasan tanall
Pembebasan atas
semua hak yang atas tanah, berarti bahwa segala
macam hak yang melekat pada tanah terse but, dilepaskan hubungannya dengan pemegang haknya .
Tcrmasuk disini hak-hak atas tanah yang dapat dibebaskan yaitu: Hak Milik (pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria), lIak Guna Usaha (pasal 28 Un dang-Un dang Pokok Agraria); Hak Guna Bangunan (pasal 35 Undang-Undang pokok Agraria); Hak Pakai (pasal 41 Undang-Undang I'okok Agraria); flak Sewa untuk bangunan (pasal 44 Un dang-Un dang Pokok Agraria) ; flak Membuka Tanah dan memungut hasil hutan (pasal 46 Undang-Un dang Pokok Agraria); Hak Guna Air, Perneliharaan dan Penangkapan lkan (pasa! 47
Un dang-Un dang I'okok Agraria); Menarik sekali disini, bahwa dalam Pembebasan Tanah menurut SK Gubernur ini, tercakup pula tindakan pengosongan, yang mana lemhaga yang tcrakhir ini sebenarnya termasuk dalam ruang lingkup Undangwundang Pokok Perumahan. Berdasarkan pasal 19 Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No.7 tahun 1971 ten tang Pcraturan Pelengkap dan Pclaksanaan Peraturan Perumahan untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, maka: '''Pengosongan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan dan dilaksanakan oleh Dinas Perumallan dengan dibantu oleh Alat Negara yang ditugaskan untuk itu. Pelaksanaan pengosongan baru dapat dilaksanakan apabila teIah diketahui dan disetujui oleh Gubemur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu J).
Atas perumahan yang ditempati , dipakai atau digunakan tanpa suatu hak yang sah (penyabotan), maka pengosongan dapat dilaksarfakan dengan tanpa rnelaIuj proses dan biaya, tetapi cukur dengan Surat Perintah dari Kepala Dinas Perumaha.n apabila penempatan, pemakaian atau penggunaan perumahan tersebut belum melampaui jangka waktu en am bulan. Terhadap pengosongan perumahan yang penempatan, pemakaian at au penggunaannya tanpa hak yang sah telah bcrlangsung lebih dari en am bulan, maka pengosongan harus dilaksanakan menurut proses bjasa, Dari uraian diatas, narnpaklah bahwa batasan dati Pembebasan Tanah dalam pengertian SK Gubcrnur Tersebut, sangatlah luas , jauh Iebih luas dad pengertian Pembebasan Tanah yang sebenarnya (dan juga pencabutan
hak atas tanah), sebab dalam hal ini meliputi pembebasan hak atas tanah itu sendiri, ditambah dengan hak-hak lain diatas tanah, yaitu termasuk pula pengosongan tanah dan bangunan diatasnya.
Selanjutn ya pula, menurut SK Cubernur OK! Jakarta No. Da 11/3(11/ I 972 (Lembarao Daerah No.6 tahun 1972), yang dimaksud dengan Pembcbasan Tanah iaIah: "Pembelian, pelepasan hak, pemberian ganti rugi dan atau dengan nama apapun atas tanah beserta benda-henda diatasnya dengan maksud untuk dipergunakan serta dimohonkan sesuatu hak".
58
hukum dan pembangullan
Termasuk dalam batasan dari Pembebasan Tanah disini, menurut SK nur DKI Jakarta, adaIah: a).
Gub~r~
Pembeliaan:
Dalam masyarakat sendiri pada waktu sekarang, jika seseorang hendak membeli tanah , seolah-olah dapat memilih an tara dua macam cara membeli tanah.
1.
2.
Setelah tercapai kata sepakat mengcnai tanah dan harga si PembeIi langsung menerima tanah dari si Penjual dan sebalik..l1ya si penjual langsung menerima , kadang-kadang disertai dengan katakata resmi dan dilakukannya dirnuka atau dengan perantaraan Kepala Desanya, dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi. Dan selesailah perbuatan juai beli secara sah. Semen tara itu, dikehanyakan orang-orang dikota-kota, memilih cara yang kedua yaitu dengan dilakukannya sepakat itu dengan disertai serah terirna dan harga itu didepan Carnat (Notaris) seIaku Pejabat Pem buat Akta Tanah (PPA T) ·dengan mengikuti tatacara rnenurut ketentuan-ketentuan Un dang-Un dang Pokok Agraria (Undang·Undang NO . 5 tahun 1960).
Sedangkan Mahkamah Agung sendin berpcndapat, bahwa jualbeli tanah diluar PPA T, scsudah berlakunya Undang·Undang Pokok Agraria, adalah sah menurut hukum (Putusan Mahkamah Agung Rcpublik Indonesia Reg. No. 123 K/Sip/1970). Dcngan demikian, Mahkamah Agung RI daIam mcmakai ukuran sah tidaknya jual-beli tanah, lebih rnenekankan pada unsur-unsur kehendak yang be bas dari kedua
belah pihak dan kata sepakat yang timbul dari padanya. b).
Pelepasan Hak.
Dalarn pelcpasan hak ini, hak seseorang atas sebidang tanah dinyatakan hilang setelah diadakan pernbayaran ganti rugi selayaknya dan tanahnya dapat diambil serta dipergunakan untuk kcpentingan umum dan yang bersangkutan menyerahkan saja secara sukarela, asalkan rnendapat ganti rugi yang layak. "Penyerahan hak dengan cara ini, pada dasarnya adalah merupakan bentuk dati pada jual-bcli tanah saja". Cara yang seperti ini sering terjadi di jaman Penjajahan dahulu, olch karena pada umumnya harga ganti rugi yang dibcrikan otch Pcmcrintah sccara musyawarah menurut penilaian pemilik tanah yang bcrsangkutan palia waktu itu, sudah dianggap lcbih dari wajar, sehingga sering terjalii para pemilik tanah sendiri mengharap tanahnya akan dibeli olch Pemerintah, scbab berarti akan mendapatkan keuntungan yang besar. Dimasa kini, adanya kecng~anan orang-orang untuk mcnyerahkan tanahnya dcngan cara yang suka rela dcmikian, adalah discbahkan olch karen a tanah-tanah yang bersangkutan dinilai jauh dibawah harga yang pantas, dan bilamana hal terse but terjadi, bcrdasarkan pengalaman yang ada, sering terjadi ketidak beresan.
pembcbasan tanah
c.
59
Pember ian Ganti Rugi.
Dapatlah dikatakan disini, bahwa lembaga pemberian ganti rugi adalah merupakan suatu kompensasi dari keduabelah pihak. Pihak pemegang hak, menyerahkan secara sukarela hak-haknya atas tanah, sedangkan pihak yang membebaskan tanah/Penguasa, memberikan ganti mgi kepada pemegang hak sebagai imbalannya, baik berupa uang, tanah yang diternpat lain, perumahan, ataupun fasilitas lainnya. S~atu problema memang akan timbul, apabila justeru pemegang hak tidak bersedia menyerahkan hak-haknya atas tanah, karena menganggap bahwa ganti rugi yang diterimanya, dinilai tidak layak dengan nilai bak-hak atas tanahnya. Namun ; kesulitan terse but akan mudah diterobos, apabila penguasa/Pemerin tah memakai upaya "dengan nama apapun atas tanah beserta benda -benda diatasnya dengan rnaksud dipergunakan serta dimohonkan sesuatu hak" , seperti yang akan dijeiaskan dibawah ini.
d) .
Dengan nama apapun atas tanah heserta benda-benda diatasnya dengan maksud untuk dipergunakan serta dimohonkan sesuatu hak.
Batasan ini sangatlah demikian luasnya , sehingga lembaga-lembaga hukum yang ada, yang jelas-jelas dengan maksud untuk dipergunakan serta dimohonkan sesuatu hak . akan lercakup didalamnya. . Misalnya saja Nasionalisasi, dan juga pencabutan hak-hak atas tanah, adalah juga dengan maksud untuk dircrgunakan serta dimohonkan hak atas tanah. Dalam hubungan dengan pembahasan disini , jeiaslah bahwa pengertian Pembebasan tanah menumt SK Gubemur DKl Jakarta mi, yang meliputi "dengan nama apapun", mencakup juga pengertian pencabutan hak-hak atas tanah . Akibatnya dalam praktek, Gubernur DKI Jakarta dalam melaksanakan pembcbasan tanah, seringkali meninggalkan nnsur sukarela bahkan sering menggunakan kekerasan, karena yang dipakai sebagai dasar adalah SK Gubernur DKI Jakarla No. Ib 3fl/3/69 dan No. Da 11 / 3/ 11 / 1972. Scpanjang pengetahuan penulis, sampai detik ini, tidak pernah ada .5atu kao:;uspun yang tcrjadi mengcnai pembebasan tanah , sehubungan dengan Pcraturan Mendagri No. 15 tahun 1975 dan No.2 tahun 1976, karena memang Gubcrnur DKI Jakarta tidak pernah memakai upaya seperti yang tcrsebut dalam Pe raturan Mcndagri tcrsebut. Dengan dcrnikian, praktek ·pcmbebasan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta, 5cbenarnya adalah praktck pcncabutan hak atas tanah! Masalah ini timbllt schubungan ocngan belum disesuaikannya pengerlian bembebason lanah dalam SK (;ubernur DKI Jakarta No. Ib 3fl / 3/69 dan No . Da 11/3fllfl97~ ucngan Peraturan Mcndagri No. 15 tabun 1975, yang diperiakukan kemudian hari kcdua SK Guhcrnur DKI tcrsebut. Maka kcsimpulan yang didapat disini . adalah : " Uahwasanya praktek pcmbcbasan tanah yang dilakukan olch Pcmcrintah OKI Jakarta selama ini. yang berdasarkan SK Gubemur DKI Jakarta No. Ib 3/1/3/(,9 uan No. Da
lrukllm dan pembangunal1
60
11/3/11/1972, sebenamya tidak melawan hukum, (karena mempunyai dasar); akan tetapi SK terse but oertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi , yaitu Peraturan Mendagri No.1.5 tahun 1975" Dilain pihak, pihak Menteri Dalam Negeri sebagai pihak "atasan" yang berperan mengadakan fungsi pengawasan, juga tidak mengadakan tegoran atau reaksi atas adanya kedua SK Gu bemur tersebu t. Maka disarankan oleh Penulis disini, hendaknya SK Gubernur DKI
Jakarta No. Ib 3/1/3/69 dan No. Da 11 /3/1 1/1972 segera dieabut, dan diganti dengan SK yang baru, yang isinya tidak bertentangan dengan maksu d yang sebenamya dari Pem bebasan Tanah.
Dengan demikian, praktek pembebasan tanab yang akan datang akan dapat dilaksanakan, sesuai dengan arti daTi Pembebasan, dan berdasarkan pada Peraturan Mendagri No. 15 tabun 1975, dan SK Gubemur yang baru , yang isinya konsisten dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut. KEPUSTAKAAN (I)
A.B . LUBIS SH, "GANTI KERUGIAN PEMBEBASAN TANAH & PENCABUTAN HAK ATAS TANAH", Penerbit Seksi Penerbitan & Informasi Law Firm Lubis (L.F.L), Jakarta.'
(2).
Lembaran Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. I tahun 1969. "PERATURAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NO.7 TAHUN 1968 DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL ASING D1WILAYAH DAERAH KHUSUS IBU KOTA JAKARTA".
(3).
Lembaran Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 16 tahun 1972, "PENYEMPURNAAN PROSEDUR PERMOHONAN IDZIN MEMBEBASKAN DAN PE NUNJUKAN/PENGGUNAAN TANAH SERTA PROSEDUR PEMBEBASAN TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA UNTUK KEPENTINGAN D1NAS/SWASTA DI WILAYAH DAERAH KHUSUS IBU KOTA JAKARTA"
(4)
BINA YUSTlSIA, "KUMPULAN TULISAN HAKIM-HAKIM TlNGGI PENGADILAN TlNGGI BANDUNG BESERTA TANGGAPANTANGGAP ANNY A, Pener bit Bina Cipta, Bandurig, tabun 1977.
(5) .
Hukum No.4 tahun ke-tiga 1976, "MASALAH PENCABUTAN HAKHAK ATAS TANAH UNTUK KE~ENTlNGAN UMUM", Penerbit Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), Jakarta, tahun 1976.
(6)
SINAR HARAPAN, 17 MEl 1976, "SK GUBERNUR MEMBINGUNGKAN PENGERTIAN PENCABUTAN HAK ATAS TANAH", Jakarta, tabun 1976.