a, aku berterima kasih kepadamu!" „Engko," berkata si nona tertawa, „kau telah insaf, kau memperoleh kemajuan satu tindak pula. Bicara sejujurnya, bicara dari hal ilmu silat, aku bukanlah tandingan dari Tjhong Leng Sianjin. Yang benar, engko, adalah ilmu pedangmu yang liehay sekali. Adakah itu ilmu silat Tionghoa?" „Bukan," menyahut Hoa Seng sambil menggeleng kepala, „sebenarnya ini asal dari Barat, yaitu Tat-mo Kiam-hoat, ilmu pedang Bodhidarma, hanya, setelah melalui tempo seribu tahun lebih, berkat bantuannya pelbagai akhli silat Tionghoa, kemajuannya luar biasa, sekarang jadi melebihkan asalnya, menjadi terlebih sampurna." Si nona mengangguk. „Engko benar juga," ujarnya. ,,Memang, di antara Barat dan Tionggoan, tidak ada perbedaannya, bahkan ilmu silat dari seluruh dunia, dapat dipersatukan ………… Mendengar pembicaraan si nona, Hoa Seng ingat sesuatu. „Tadi malam aku melihat kau menggunai seruling menuruti cara ilmu pedang, melihat itu terbukalah mataku," ia berkata. „Aku sangat mengagumi kau. Dengan begitu, juga ilmu silat kita berdua dapat disatu padukan. Mungkin perpaduan itu tak sampai membuat kita dapat menjagoi di kolong langit ini tetapi aku percaya, kita bakal bantu memancarkan cahaya gilang gemilang dalam ilmu pedang!" „Benarkah itu?" bersenyum si nona, kedua matanya menatap. Lantas ia membungkam. Hoa Seng balik menatap, ia pun berdiam. „Untuk bepergian, untuk berdiam, itulah bergantung sama jodoh," kata si nona sesaat kemudian. „Kata-katamu ini baiklah diucapkan lagi nanti apabila di kemudian hari ada jodohnya …….” Hoa Seng tidak bergembira mendengar kata-kata itu. Ia mengangkat kepalanya memandang langit. Nyata matahari sudah berada di atasan kepala mereka. Dan puncak es, di bawah sinar matahari itu, memperlihatkan pemandangan yang indah sekali. Dan bayangan sendiri bersama bayangan si nona, bayangan yang berada di bawah puncak es itu, bagaikan bersatu padu ……………. Inilah keadaan, atau pemandangan, yang ia mengharapnya tak nanti lenyap pula, supaya dapat berada dengan kekal adanya, bagaikan impian indah yang berkesan lama. Si nona memandang kelilingnya. „Sekarang sedang tengah hari, hawa dingin saatnya paling lemah, sudah waktunya kita bekerja," katanya kemudian. Hoa Seng mengangguk, lalu ia mengikuti si nona bertindak menuju ke lubang guha es. Di sana ada sinar terang, ada siuran angin dingin yang halus, tetapi mengenai tubuh, siuran itu rasanya menusuk-nusuk. „Liong Yap Taysoe telah memberikan aku kitab bahasa Sangsekerta," kata si nona, tertawa, „di dalam kitab itu ada resep obat buat melawan hawa dingin, maka aku telah membikin tujuh obat itu, yang dinamakan Yang Hoo Wan. Tapi sekarang baiklah kita mencoba dulu tenaga tubuh kita, jangan kita mengandali kekuatan obat, dikuatir di belakang hari kita nanti tidak dapat menggunai Peng-pok Hankong-kiam serta Peng-pok Sin-tan." Hoa Seng belum mengerti akan itu kata-kata Peng-pok Hankong-
kiam, yang berarti pedang inti es, dan Peng-pok Sin-tan, peluru inti es, maka ia tidak membilang suatu apa. Hanya, berdiri di mulut guha, ia memandang ke arah dalamnya. Ia melihat hanya segala apa putih, semua mirip dengan halnya istana dewa di dalam dongeng …….. Guha itu seperti tertutup mega kabut. Pemuda ini menjumput sebutir batu, ia melemparkannya ke arah guha. Atas itu ia tidak mendengar suara apa juga. Maka dapatlah diduga dalamnya guha itu. „Apakah kau jeri?" si nona menanya, mengawasi. Si pemuda tertawa. "Aku ada bersama kau, apakah yang aku takut?" katanya. Ia lantas menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam, dengan itu ia menusuk kepada tebing es yang berupa sebagai tembok, lalu ia geraki tubuhnya, untuk turun. Berulang-ulang ia menggunai pedangnya itu serta tangan kirinya, karena mana ia dapat turun ke dalam guha yang mirip lubang sumur. Ia menggunai Pek-houw Yoe-Ciang-kong, atau „Cecak Memain di Tembok", hanya bukannya memanjat, tetapi meluncur turun. Sembari turun, Hoa Seng mencoba melihat si nona, yang telah mengikuti ia turun. Hanya beda daripada ia, si nona cuma menggunai kedua tangannya yang dipentang, ditempel bergantian kepada kedua tepi guha itu, yang merupakan es semua, turunnya lancar, bagaikan tak menggunakan tenaga. Dengan cepat ia telah dilewati. „Ah" memikir pemuda ini. Ia yang bangga akan kepandaiannya, sekarang kalah oleh satu pemudi. Ia lupa bahwa Nepal adalah negara es dan di sana bocah-bocah sudah memain di es semenjak usianya tiga tahun, hingga si pemudi tidaklah menjadi kecuali, melainkan si nona ini menggunai akal, tanpa sepatu es atau bangkolan tangan. Di lain saat, nona itu telah tiba lebih dulu di dasar guha. Ketika ia melihat ke atas, Hoa Seng baru sampai di tengah. Ia bersenyum. Lantas ia mengeluarkan sehelai tambang, yang sepuluh tombak, tambang mana ia lemparkan ke atas. Dengan bantuan tenaga dalamnya, ia dapat membuat tambang itu lempang kaku. Hoa Seng melihat tambang itu meluncur naik, ia berlompat menyambar dengan gerakannya „Burung kapinis berjumpalitan," kemudian dengan ilmu „Dengan sebatang gelagah menyeberangi sungai," ia meluncur turun. Si pemuda, dengan kesebatannya, membuatnya tambang itu semakin pendek, maka lekas sekali si pemuda sudah turun, berdiri berendeng bersamanya. Di dalam guha itu, hawa dingin ada luar biasa. Maka Hoa Seng lantas mengempos semangatnya, napasnya dibikin berjalan lurus, untuk melawan hawa dingin itu. Bersama si nona, dengan tindakan perlahan, mereka berjalan. Di dalam guha luas, tak sempit seperti liangnya tadi. Di sekitarnya terlihat es yang gilang gemilang bagaikan ratusan atau ribuan buah kaca rasa, sinarnya pun berbalik, hingga tubuh mereka berbayang hampir tak dapat dibedakan. Tidak lama mereka berjalan, sinar terang mulai menjadi lemah, sebaliknya, hawa dingin bertambah. Mereka melawan, mereka berjalan terus. Sampai lenyaplah itu cahaya bagaikan kaca rasa di tembok es itu. Hanya sekarang Hoa Seng merasakan tangan dan kakinya seperti membeku dan napasnya pun mulai sesak. "Es di sini telah membeku menjadi batu," berkata si pemudi, menyelaskan, „bukan seperti es di luar yang ada seperti es wajar. Di dalam kitab bahasa Sangsekerta itu, es di sini
dinamakan 'es laksaan tahun.' Tentu saja, yang benarnya, bukan melainkan laksaan tahun saja ………” Hoa Seng menghunus pedangnya dan membacok kepada es itu, ia mengambil satu potong. Mencil sendirian, potongan es itu bersemu rada hitam, kuatnya betul seperti batu. Dipegang dengan tangan, es itu dingin luar biasa, meresap ke dalam tulang, maka lekas-lekas si pemuda melemparkannya. Dengan meminjam sinarnya pedang, muda-mudi ini berjalan terus, sampai mereka melihat sinar terang, sinar yang kehijauhijauan. „Karang Han-giok-giam berada di depan kita," berkata si nona, „di sana kita dapat menggali itu kumala han-giok yang usianya sudah jutaan tahun. Engko, dapatkah kau melawan hawa dingin di sini?" Sebenarnya Hoa Seng telah kedinginan hingga kedua barisan giginya atas dan bawah bercakrukan, akan tetapi mendengar suara si pemudi, yang halus dan merdu, ia bagaikan mendapat hawa hangat hingga ia dapat melawan hawa dingin itu. Ia mengangguk. Di depan mereka ada berdiri sebuah atau setumpuk batu karang yang besar, yang merupakan seperti angin, di kiri dan kanannya ada tembok es yang hitam. „Coba engko memapas di situ," berkata sinona seraya tangannya menunjuk. Hoa Seng menurut, ia mengajun pedangnya. Begitu lekas juga di depan mereka terlihat sinar terang mencorot ke empat penjuru, membikin terang seluruh guha itu. „Inilah inti es yang semenjak dulu kala tidak pernah lumer," si nona menerangkan. „Kalau inti es ini dibuatnya menjadi peluru, dia akan menjadi senjata rahasia yang nomor satu di kolong langit ini." Pada batu es itu ada beberapa tanda-tanda bacokan, menunjuk pada itu, si nona tertawa. „Golok Nepal tajam tetapi golok itu tidak dapat melawan pedang mustika," ia berkata pula. „Inilah buktinya kenapa batu es ini tidak dapat digempur oleh mereka yang mendahului kita datang ke mari. Tjhong Leng Siangjin tidak menyangka inti es ini begini keras dan kuat. Syukur dia tidak membawa pedang mustika. Maka syukurlah engkau, engko, aku dapat mengandal kepadamu!" Hoa Seng gembira sekali, lalu ia membacok pula berulangulang, membuat batu es itu jatuh berkeping-keping, tetapi kemudian, ia membentur serupa barang yang keras, yang tidak mempan terbacok. Suara bacokan itu nyaring. „Coba kasikan pedangmu padaku, engko," berkata si nona. Hoa Seng mengangsurkan pedangnya. Dengan pedang mustika itu, si nona mencongkel, menggali dengan hati-hati. Ia menggali memutar. Sembari bekerja, ia berdiri berendeng sama Hoa Seng. Ia bekerja bukannya, tanpa menggunai tenaga, ia malah mengerahkan tenaga Taylek Engjiauwkang. „Mari kita bekerja sama!" mengajak si nona kemudian. Terus ia menjambret inti es yang telah digali seputarnya itu, terus ia menarik sekuat tenaganya. Hawa dingin luar biasa, tetapi keduanya bertahan. Satu kali si nona berseru, lantas ia berhasil mencabuti inti es itu, ialah kumala hijau tiga kaki persegi, seluruhnya bersinar terang mengkilap. Bukan main girangnya si nona, wajahnya menjadi ramai. „Engko, kita berhasil mendapatkan ini kumala es dari laksaan tahun," katanya, „dan ini kita mengandal kepada pedangmu ini. Han-giok ini engko boleh ambil, untuk dibuatnya menjadi
sebatang pedang mustika, dengan memakai pedang ini, kau bakal tanpa lawan lagi!" Hoa Seng tertawa. „Tanpa bertemu sama kau, tidak nanti aku ketahui guha es ini," ia berkata. „Maka itu, bagaimana aku berani mengambilnya? Lagi pula pepatah Tionghoa ada menyebutnya, benda itu enteng, budi itu berat, dari itu, dengan kau hendak memberikan kumala ini padaku, aku telah menerima budimu, budi yang terlebih berharga daripada kumalanya sendiri. Aku mengerti kau, budimu ini tidak nanti aku melupakannya." Si nona bersenyum, „Kau bisa sekali bicara, engko!" katanya. „Karma kau membilang demikian, baiklah aku menghendaki kumala es ini." Ia mengeluarkan sebuah kantung sulam, kumala es itu dimasuki ke dalam kantung itu. „Dari apa dibuatnya kantungmu ini?" Hoa Seng menanya. „Kenapa kantung bersinar menyilaukan mata, bukan seperti kantung sulam biasa?" „Kantung ini terbuat dari sutera dari India Barat," menyahut si nona. „Air dan api tak dapat membasahkan atau membakar sutera ini. Kau melihatnya sendiri, kumala ini dapat dimasuki ke dalamnya tanpa sinarnya nembus keluar." Hoa Seng kagum hingga ia pegang-pegang kantung itu. Perkataan si nona benar adanya. „Karena kau mempunyai kantung wasiat ini," ia berkata, „baiklah kau ambil sekalian ini potongan-potongan inti es, supaya kemudian kau dapat membuatnya menjadi peluru es Peng-pok sintan." „Benar," si nona menyahuti, lalu ia tertawa. „Hanya saja, selagi aku mendapatkan barang, kau sendiri pulang dengan tangan kosong!" Hoa Seng tertawa, lalu ia membacok pula beberapa kali, mendapatkan beberapa potong sisa kumala es. „Kumala ini tidak dapat dibikin jadi pedang es tetapi masih dapat dijadikan barang mainan!" katanya. „Toako, tahan!" mendadak si nona berkata. Ia bersikap sungguh-sungguh. „Coba lihat, apakah ini?" Si nona menunjuk, dan si pemuda mellhatnya. Di bekas tumpukan karang han-giok itu terlihat lukisan aneh seperti huruf. Si nona mengawasinya, hingga kemudian ia berseru: „Inilah huruf-huruf Sangsekerta! Inilah penyelasan caranya membikin pedang Pengpok Hankong-kiam! Ah, aku mengerti sekarang. Orang berilmu itu, yang membuat kitab rahasia bahasa Sangsekerta itu adalah seorang pendeta yang berilmu tinggi, rupanya dulu dia yang bermula menemui gunung kumala es ini, tetapi dia tidak mempunyai pedang mustika, dia tidak berhasil mendapatkannya, tetapi dia liehay sekali, dia dapat bertahan melawan hawa dingin di sini, maka dia berhasil juga mengukir huruf-huruf ini, untuk memberi pelajaran kepada mereka yang akhirnya mendapatkan kumala es ini." Habis berkata, si nona lantas duduk bersila, tubuhnya tegak, sembari bersila, ia membaca huruf-huruf itu, sekalian dengan menuruti pengajaran itu, ia melatih diri melawan hawa dingin itu. Dengan beraturan ia memainkan pernapasannya. 07. Pencipta Ilmu Pedang Sungai Es Hoa Seng mengerti tugasnya, maka ia berdiri diam di samping si nona dengan pedang terhunus di tangan. Dengan begitu ia hendak melindungi si nona yang tengah berlatih itu. Tugas ini sangat berat untuknya. Hawa dingin menyerang hebat sekali
kepadanya, sampai ia merasakan hampir tak dapat bertahan lebih lama pula ……………… Mereka tidak tahu sudah berapa lama mereka berdiam di dalam guha itu, sedang sebenarnya ketika itu sudah lewat lohor, lagi mendekati magrib. Coba latihan tenaga dalam dari Hoa Seng tidak sempurna, tidak nanti ia dapat bertahan sampai begitu lama, atau tentulah ia sudah beku. Tengah Hoa Seng berdiam seraya menyalurkan napasnya, buat tetap melawan serangan hawa dingin itu, tiba-tiba kupingnya mendapat dengar satu suara berkelisik, yang datangnya dari arah luar. Ia terkejut. Ia menduga kepada datangnya seorang berilmu. Ia heran ada lain orang yang begitu tangguh, yang dapat memasuki guha itu. Ia berpaling, untuk memasang mata. Suara tadi terdengar pula semakin nyata, lalu di lain detik terlihat siapa yang menyebabkan itu. Yaitu seorang yang luar biasa sekali, sebab tubuhnya kurus-kering mirip sebatang bambu, jidatnya celong, matanya merah seperti api, rambutnya berdiri riap-riapan. Tegasnya, ia beroman sangat aneh dan bengis. Lainnya lagi, yang mendatangkan rasa heran, adalah kedua tangannya. Dengan kedua tangannya itu ia menyerang kalang-kabutan, kalau tangan itu mengenai es, es itu lantas gempur lumer seperti terkena sorot matahari. Tidakkah aneh, inti es yang tidak mempan senjata tetapi runtuh oleh tangannya manusia aneh itu? Tengah Hoa Seng tercengang itu, si manusia aneh mengasi dengar bentakannya: „Hai, kedua bocah, sungguh besar nyalimu? Cara bagaimana kamu berani lancang memasuki Puncak Bidadari untuk mengambil mustika?" Walaupun orang beroman bengis, tetapi Hoa Seng tidak takut. Ia bahkan tertawa. „Inilah benda laksaan tahun yang tak ada pemiliknya!" ia menjawab. „Siapa ada mempunyai kepandaian, dia dapat mengambilnya? Dapatkah kau menghalang-halangi kami?" „Hm!" manusia aneh itu mengejek. Lalu dia meneruskan dengan dingin: „Jadinya kumala han-giok yang sudah laksaan tahun usianya telah dapat diambil oleh kamu?" „Benar! Habis kau mau apa?" Hoa Seng menantang. „Kau keluarkanlah, kau serahkan padaku!" berseru manusia aneh itu. Hoa Seng tertawa bergelak. „Di kolong langit ini mana ada urusan demikian gampang?" katanya. „Benda yang dengan susah-payah aku mendapatkannya, mana dapat aku memberikannya padamu? Kau ada mempunyai hak apakah?" Manusia aneh itu bukannya gusar, bahkan dia tertawa. „Kamu mempunyai kepandaian memasuki guha ini mengambil mustika, maka aku pun ada mempunyai kepandaian akan merampasnya dari tangan kamu! Apakah yang aku andalkan? Kedua tanganku ini!" Sembari mengucap demikian, manusia aneh itu bertindak menghampirkan, ketika ia menghentikan suaranya, mereka berdua terpisah tinggal sepuluh tombak lebih. Begitu suaranya berhenti, begitu tubuhnya mencelat, pesat luar biasa, sejenak saja ia sudah sampai di depan si pemuda, ketika kedua tangannya diangkat, kedua tangan itu tertampak merah sebagai darah segar. Koei Hoa Seng telah bersiap sedia, akan tetapi melihat tangan orang itu, ia kaget juga, tapi karena ia tidak takut, ia lantas
menusuk dengan pedangnya ke arah tangan orang itu. Ia menggunai jurus „Menunjuk Langit Selatan," pedangnya mengarah ke telapakan tangan. Si orang aneh seperti mendapat tahu pedang itu sangat liehay, dia menarik pulang tangannya yang ditikam itu, dia membaliknya, maka di lain saat terlihatlah cahaya merah berkelebat, dan di antara suara angin, tangan itu menyambar ke muka si anak muda. Hebat manusia aneh itu, sudah tangannya itu kuat dan sebat sekali, juga anginnya mendatangkan hawa panas, seperti api yang menghembus karena dikipasi. Hoa Seng berkelit, terus ia berkelit berulang-ulang karena ia segera diserang saling-susul. „Tahan!" teriaknya kemudian. „Apakah kau Seat San Yauwjin Cek Sin Coe?" Tepat dugaannya pemuda ini, manusia aneh itu benar-benar Soat San Yauwjin Cek Sin Coe atau si Siluman dari Seat San, Gunung Salju. Dialah orang yang menyebutnya si iblis dari perbatasan Sinkiang dan Tibet di mana dia biasa malang malintang, tetapi pada sepuluh tahun yang lalu dia telah dihajar dikalahkan Boe Keng Yauw, salah satu dari Thian San Cit Kiam, yang memaksanya berdiam di atas Seat San, Gunung Salju itu, dan dilarang keluar pula dari gunung itu, tetapi dia tidak puas, maka itu dia berdiamnya di gunung dengan hatinya terus panas. Selama belasan tahun itu, dia telah melatih dirinya, ialah dia melatih kedua tangannya dengan caranya yang luar biasa pula. Dia telah membuang kulit tangan dan kakinya, dia rendam itu di racunnya semacam rumput, maka lama-lama tangan dan kakinya itu menjadi merah sebagai darah, berhawa panas, kalau mengenai orang, orang dapat binasa. Hebat pula, tenagadalamnya dapat disalurkan kepada kedua tangannya, membuat tangannya itu jadi liehay luar biasa juga. Dengan latihannya ini, Cek Sin Coe hendak menempur pula Boe Keng Yauw, hanya di luar dugaannya, selagi latihannya telah berhasil, Boe Keng Yauw dan juga Ie Lan Coe, dua-dua telah saling-susul meninggalkan dunia yang fana ini. Tapi karena meninggalnya dua lawan tangguh itu, dia menganggapnya dia tak ada tandingannya lagi di kolong langit ini, maka sekarang dia berani turun dari Soat San, akan muncul pula di Tibet. Yang pertama dia lakukan ialah mencari sahabat karibnya, yaitu Tjhong Leng Siangjin, guna mendengar pelbagai keterangan selama tahun-tahun yang belakangan ini. Sungguh kebetulan, justeru Cek Sin Coe tiba, justeru dia bertemu sama Tjhong Leng Siangjin, di saat pendeta itu baru saja dipecundangi Koei Hoa Seng. Pertemuan itu terjadi di kaki gunung Nyenchin Dangla itu. Kapan Tjhong Leng mengetahui niat sahabatnya ini, untuk malang melintang pula, ia kata: „Jangan kau menganggap kau telah berhasil melatih tangan iblismu, lantas kau menganggap dirimu tanpa tandingan di dalam dunia ini. Tahukah kau apa yang tersembunyi di dalam guha es dari Puncak Bidadari? Di sana ada kumala es yang usianya sudah jutaan tahun, yang dapat menjadi lawan yang akan mengalahkanmu. Sekarang ini justeru ada orang yang tengah memasuki guha es itu, buat mengambil inti es itu buat dibikin menjadi pedang Pengpok Han-kong-kiam, guna membunuh kau!" Kata-kata ini membuatnya Cek Sin Coe penasaran, maka tidak ayal lagi ia mendaki gunung, ia mencari guha es itu dan terus masuk ke dalamnya. Ia pun hendak mengambil inti es itu. Ia
hanya heran, ia justeru bertemu sama si anak muda dan si pemudi, bahkan segera ternyata, pemuda itu liehay. Karena ia berpengalaman, dalam beberapa jurus saja ia mengenali ilmu silat Hoa Seng ada ilmu silatnya salah satu Thian San Cit Kiam, ialah dari kaumnya Boe Keng Yauw, musuh besarnya itu. Ia heran berbareng gusar, maka itu ia berkelahi dengan lantas menggunai tangan iblisnya itu. Hebat lawannya Koei Hoa Seng. Ke mana tangannya Cek Sin Coe menyambar, di situ es lumer tersampok tangannya itu, maka di antara hawa dingin, ada juga hawa panas yang menyambar kepadanya. Coba tenaga-dalamnya tidak sampurna, mungkin ia sudah roboh karena pusingnya. Toh lama-lama ia merasakan pernapasannya terintang, tenaganya mulai berkurang, hingga ia menjadi mirip orang yang lagi terserang penyakit berat. Ketika ia mencoba melirik si nona, ia mendapatkan nona itu tetap lagi duduk bersamedhi, dia seperti tidak memusingkan apa yang terjadi di sekitarnya itu. Serangan Cek Sin Coe menjadi bertambah-tambah dahsyat, sambaran anginnya menjadi menderu-deru. Hoa Seng melawan terus. Ia terpaksa mencoba kelincahannya, akan senantiasa berkelit diri dari setiap serangan lawan, agar tidak sampai kena terpukul. Oleh karena ini, ia menjadi kena terkurung. Hanya celaka untuknya, selagi hawa dingin sedang hebatnya, hawa panas pun demikian, pernapasannya jadi semakin tertindih, ia menjadi merasai kepalanya pusing, matanya mulai berkunang-kunang, ia merasa bagaikan bumi gempa dan langit ambruk ……….. Di saat pemuda ini sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, sekonyong-konyong ia mendengar suara yang merdu dari si pemudi yang menjadi kawannya itu. Kata si nona: „Engko, kau ke marilah, jangan kau layani si manusia aneh!" Menyusuli kata-kata si nona, lantas terdengar suara sar-ser tak hentinya, suara mana disebabkan meluncurnya sebutir demi sebutir dari peluru-peluru inti es, yang sinarnya berkeredepan, semua menyambar ke arah Cek Sin Coe. Terkena hawa panas, peluru itu jatuh hancur, akan tetapi berbareng dengan hancurnya, keluarlah hawanya yang dingin, hawa dingin yang terus menentang hawa panas dari Cek Sin Coe itu. Tak usah berjalan lama atau Cek Sin Coe menggigil sendirinya. Hawa dingin itu menentang hawa panas, hingga dia merasa hawa panasnya berubah menjadi hangat. Koei Hoa Seng tidak mengundurkan diri walaupun si nona telah memanggilnya, dari bertahan, ia maju menyerang, melakukan pembalasan. Ia pun telah merdeka dari kurungan hawa panas. Dengan serangan „Sin Hong tiauw bwee," atau „Naga sakti menggoyang ekor," ia memaksa Cek Sin Coe terdesak mundur beberapa tindak. Adalah setelah itu, baru ia lompat mundur, meninggalkan lawan yang tangguh itu, untuk berdiri di dampingnya si nona manis. Cek Sin Coe kaget berbareng murka. „Kalau begini tidaklah dusta kata-katanya Tjhong Leng Siang¬jin," dia berpikir. „Peluru es saja sudah begini liehay, bagaimana lagi kalau mereka ini berhasil membuatnya pedang inti es itu? Mana aku mempunyai tempat lagi akan menancap kakiku?" Karena berpikir begini, mendadak dia berseru dan maju berlompat, untuk menerjang si nona. Di saat orang berlompat hampir sampai di depannya, si nona mencelat dari tempatnya duduk bersila, kemudian sambil
bersenyum ia berkata: „Kecewa kau hidup sampai kepada usiamu sekarang ini! Kenapa kau masih tidak tahu mundur atau maju? Kenapa pikiranmu gelap begini rupa? Kenapa kau mencari kegetiran?" Si nona berkata dengan manis tetapi tangannya lantas melayang, melayangkan tujuh buah peluru esnya. Cek Sin Coe menjadi kelabakan, bagaikan binatang liar yang ditombaki si pemburu, hingga ia mesti memperdengarkan kaokannya yang keras. Kedua matanya menjadi merah saking murkanya. Walaupun kemurkaannya itu, ia toh terpaksa mundur. Sebab tiga jalan darahnya kena dihajar peluru es itu, hawa dingin luar biasa masuk meresap ke dalam tubuhnya, mengikutinya. Latihan tenaga dalam dari Cek Sin Coe adalah latihan sesat, meski begitu, tenaga dalam itu dapat dipersatukan dengan tenaga dalam sejati, maka dengan terserang peluru es itu, ia dapat mempertahankan diri apabila ia lantas duduk bersila untuk bersamedhi. Tapi sekarang, ia tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat, si nona sudah mengulangi timpukannya yang bertubi-tubi, percuma ia menahan dengan hawa panasnya, hawa dingin itu tidak mau buyar lenyap. Dengan ia paksakan mengeluarkan hawa panasnya, ia menjadi mensia-siakan tenaganya, di lain pihak, si nona menimpuk tak habisnya. Celakanya untuk Cek Sin Coe, latihannya masih belum menyampaikan puncak kemahirannya. Diserang terus-menerus, Cek Sin Coe menjadi seperti orang kalap, hawa dingin menyerang dia sampai tubuhnya menggigil. Koei Hoa Seng menyaksikan keadaan orang, ia menjadi heran sekali. „Sungguh senjata rahasia yang luar biasa aneh!" pikirnya. ,,Lainnya macam senjata rahasia melukai atau meracuni tubuh tetapi ini membuatnya orang kedinginan!" Tengah orang kalap dan menggigil itu, si nona tertawa dan berkata: „Aku berkasihan melihat kelakuanmu ini, aku suka mengasi ampun padamu. Kau pergilah!" Meski ia suka memberi ampun, si nona toh mengajun tangannya, akan menimpuk dengan tiga peluru lainnya. Cek Sin Coe membuang dirinya hingga ia roboh terguling. ketika ia bangun berdiri pula, tanpa berpaling lagi, ia lari kabur sekuat-kuatnya. Si nona mengawasi tanpa mengejar, ia kata sambil tertawa: „Tiga peluru barusan mengenai jalan darah leng kie hiat, karenanya dia tidak dapat lagi melatih diri hingga dia mendapatkan pula tenaga aslinya. Coba aku menggunai tujuh peluru, dia mesti segera terbinasa di sini. Dia rupanya tahu bahaya, maka itu dia lari kabur!" Hoa seng menghela napas lega. „Jikalau kau tidak turun tangan di saatnya yang tepat, pasti aku telah roboh terbinasa di tangannya siluman ini," ia berkata. la ingat ancaman bahaya barusan, bagaimana hawa panas dan dingin membuatnya napasnya sesak, sendirinya ia menggigil, ia seperti kehabisan tenaga, hatinya pun tidak tenang. Si nona melihat keadaan kawannya ini, ia bersenyum. Ia merogo sakunya, akan mengasi keluar peles peraknya, dari mana ia mengambil sebutir pel warna hijau. „Engko, kau makanlah obat ini," ia berkata seraya mengangsurkan obat itu. „Kau menempur Cek Sin Coe sampai lebih dari seratus jurus, syukur tenaga dalammu mahir sekali, melebihkan aku, dengan begitu kau masih dapat
mempertahankan diri. Sayang hari-hari dari berkumpulnya kita tidak banyak, kalau tidak, ingin aku memohon pengajaran dari padamu." Mendengar itu, dingin hatinya Hoa Seng. Si nona menyebut hal perpisahan …….. Maka bersendunglah ia perlahan-lahan: „Di dalam dunia ini sukar mencari dua orang yang cocok satu dengan lain, mengapakah tuan dengan gampang sekali menyebut dari hal perpisahan?" Mendengar itu si nona tertawa. „Ah, kau telah melupakan apa yang aku bilang perihal pergi dan berdiam itu ada mengikuti jodoh!" ia berkata. „Di dalam dunia ini di mana ada pesta yang tidak bubar? Jikalau kau berkukuh, baiklah aku percepat kepergianku …… Eh, lekaslah kau telan obat ini!" Hoa Seng tidak berani membilang apa-apa lagi, ia menyambut pel itu, terus ia kasi masuk ke dalam mulutnya. Segera ia merasakan bau yang harum dan hatinya menjadi lega, tubuhnya yang dingin pun lantas mulai terasa hangat. „Kau cuma terganggu sedikit tenaga-asalmu," berkata pula si nona, „tidak demikian dengan Cek Sin Coe, dia bakal roboh dengan sakit berat. Sekarang kau duduklah beristirahat, untuk bersamedhi, kalau sebentar hawa dingin sudah berkurang, kita boleh keluar dari guha es ini." Hoa Seng mau berduduk bersila tetapi tak dapat ia menenangkan diri, sikap si nona membuatnya pikirannya kacau, tapi ia mendengar ketika si nona seperti berbisik di kupingnya mengatakan dengan perlahan: „Bodhi itu bukannya pohon, kaca itu bukannya ranggon, pikiran sesat datangnya dari hati, karena sendirinya terkena debu ……..” Berpengaruh kata-kata ini, Hoa Seng lantas mencoba menguasai dirinya. Nampaknya ia berhasil menenteramkan hatinya. Berapa lama ia sudah beristirahat, inilah si pemuda tidak tahu ketika ia mendengar suara si pemudi: „Sekarang bolehlah kita berangkat pergi!" Tanpa bersangsi sedikit juga, Hoa Seng mencelat bangun. Dan segera ia merasakan dirinya segar sekali. Hawa dingin telah lenyap seanteronya. Maka itu ia lantas menghadapi pemudi di depannya itu. „Terima kasih untuk petunjukmu," ia mengucap. „Aku tidak menyangka kau telah menurunkan kepadaku tenaga dalam yang mahir sekali." Si nona bersenyum. „Sebenarnya aku tidak mempunyai kepandaian seperti apa yang kau sebutkan," ia berkata. „Semua ini aku menginsyafinya karena bunyinya ajaran kitab Sangsekerta itu, begitupun ilmu menyerang dengan peluru es itu, aku dapatkannya dari bunyinya huruf dari karang es Han Giok Giam tadi. Bicara terus-terang, aku pun seharusnya menghaturkan terima kasih kepadamu atas bantuanmu menemani aku masuk ke dalam guha es ini." Hati Hoa Seng lega juga. Keduanya lantas keluar dari guha es itu sambil bicara-bicara dengan diseling tertawa mereka. Di luar mereka mendapatkan matahari merah di atasan kepala mereka. Tak tahu mereka berapa lama mereka berada di dalam guha, tahu-tahu itulah sudah tengah-hari dari hari yang kedua. „Sebenarnya aku ingin sekali berdiam pula di dalam guha es itu beberapa hari lagi," berkata Hoa Seng sembari tertawa, „Adik Giok, seberlalunya dari sini, ke mana kau hendak pergi? Di rumahmu masih ada siapa-siapakah keluargamu? Dan ilmu
silatmu itu, dari manakah kau dapatkannya?" Si nona tertawa. „Ah, kembali kau mencari tahu asal-usulku!" katanya. „Jikalau di belakang hari kita berjodoh untuk bertemu pula, semua ini kau bakal mengetahuinya tanpa kau menanyakannya! Hari ini marilah kita pesiar di antara keindahan gunung salju ini, kita mengicipi pemandangan dari Thian Ouw, jangan sekali kita bicara dari hal keduniaan ……..“ Hoa Seng dapat menginsafi keadaan mereka, ia menerima ajakan itu dengan gembira, maka hari itu mereka melewatinya dengan si nona dengan mendatangi peng-coan atau sungai es dan telaga Thian Ouw itu, juga pesiar di atas puncak es di mana mereka meninggalkan tapak kaki mereka. Apa yang mereka bicarakan adalah tentang ilmu sastra atau kerohanian. Begitu asjik mereka berada bersama, tanpa merasa mereka telah melewatinya tiga hari berturut-turut. Demikianlah itu hari, berdua mereka berada di Puncak Bidadari, memandangi sungai es yang malang-melintang di atas gunung. „Apakah yang bagus dari sungai es ini?" menanya si anak muda. Ia heran mendapatkan kawannya seperti tersengsam. "Lihatlah sungai es itu bagaikan naga perak menari-nari," menjawab si nona. „Kalau kita melihatnya dari dekat, es di bagian atas beku-keras, hampir tak nampak bergeraknya, tapi yang benar, es di bagian bawahnya mengalir tak hentinya. Inilah keindahannya sungai es ini, bergerak dalam diam. Ya, pedang Pengpok Han-kong-kiam yang bakal aku yakinkan pasti akan beda sekali dari pedang yang mana saja di dalam dunia ini, aku akan membangun suatu partai persilatan pedang dengan ilmu pedangnya yang paling istimewa!” „Aku pun mempunyai semacam cita-cita!" kata Hoa Seng dengan gembira. „Maka kita …….. kita ………..” Pemuda ini belum sempat melanjuti kata-katanya itu atau mendadak si nona berlompat turun dari puncak itu, akan menghunus serulingnya, akan lantas bersilat di atas es, sebentar perlahan, sebentar cepat, bagaikan „air mengalir atau mega melayang-layang," indah dan menarik nampaknya. Mengawasi si nona, Hoa Seng berkata di dalam hatinya: „Kalau nanti dia berhasil dengan ilmu pedangnya, mesti itu luar biasa sekali, mungkin melebihkan ilmu pedangnya Pekhoat Mo Lie dari Thian San. Sekarang masih kelihatan beberapa kelemahannya, entahlah di belakang hari ……….” Tidak lama si nona bersilat, lalu ia menyimpan seruling kumalanya itu. Ia lantas menghadapi Hoa Seng untuk berliamjin, memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya, wajahnya tersungging senyuman. „Aku tidak dapat menyembunyikan apa-apa dari matamu, engko, maka itu aku mengharap petunjukmu!" katanya. „Adik kecil kau cerdas luar biasa," berkata Hoa Seng, kagum. „Bukankah ilmu pedangmu kau ciptakan dari gerak-geriknya sungai es tadi?" „Memang, untuk menciptakan suatu partai baru, itu tak gampang seperti diucapkannya," berkata si nona, dengan penyahutannya yang menyimpang. „Aku tidak menghendaki pujianmu untuk mengumpak-umpak aku, aku ingin kau omong dengan terus-terang. Ada apakah kelemahannya dengan ilmu silat pedangku ini?" „Dalam kesebatan, kau telah menyampaikan puncaknya," berkata si anak muda, mengutarakan pendapatnya, „cuma pengaruh tersembunyinya masih belum mencukupi. Kau telah mendapati gerak-gerik sungai es itu, kau belum mencakup
kebekuannya." „Kalau begitu," berkata si nona, „sari ilmu pedang Tat-mo kiam-hoatmu bakal menutup kekuranganku itu …….” Mendengar demikian, hati Hoa Seng tergerak. „Jikalau demikian adanya," katanya, „lebih baik kita berdiam bersama di Puncak Bidadari ini selama tiga tahun untuk bersama-sama meyakinkan dan menciptakan satu ilmu pedang yang luarbiasa istimewa, untuk kemudian menamakannya itu ilmu silat pedang Peng-coan Kiam-hoat. Wajah si nona menjadi merah-dadu, ia berdiam. Ia menunduk mengawasi sungai es. Ia menjumput beberapa potong kepingan es, ia menghancurkan itu. Ia pun memungut selembar bunga yang mengambang di atas es itu, ia memecahkannya, ia melepaskannya hingga hancurannya terbang terbawa angin. Habis itu ia menghela napas dan berkata perlahan, „Bunga terbang melayang sendirinya, es mengalir sendirinya pula, melainkan sinarnya es dan bayangannya es berdua yang berduka sendirinya ………” Habis mengucap begitu, tubuh si nona mencelat, melompati sebuah sungai es, akan menaruh kaki di lain tepinya, di mana ia berdiri diam, matanya memandang ke udara di mana mega bergumpal, melayang-layang, ketika kemudian ia memandang ke bawah, tanpa merasa sinar matanya beradu sama sinar mata Koei Hoa Seng, yang mengawasi padanya. Anak muda itu lantas saja merasa dirinya terbenam sendirinya, ia lantas bersenandung. „Ah," mengatakan si nona. Hoa Seng berdiam, ia berdiri menjublak, sampai kemudian jauh di atas gunung sana, ia mendengar suara seruling, halus tetapi terang. Mendengar itu, si nona tertawa sedih. „Ah, di sana budak pelayanku memanggil aku pulang," katanya. „Hendak aku pergi sekarang!" Hoa Seng terkejut. „Kau hendak pergi ke mana?" tanyanya. „Dari mana aku datang, ke mana aku pergi," sahutnya. „Mustahil secara begini saja kita berpisahan?" menanya pula si pemuda. „Habis di belakang hari? “ „Urusan di belakang hari, nanti saja di belakang hari kita membicarakannya ......" menyahut pula si pemudi. Ia lantas mengeluarkan tangannya yang putih-halus, ia menggeraki itu seperti menekan tiga kali, ia membalikinya dengan jerijinya terbuka, terus ia menunjuk ke arah dadanya di mana ada tergantung satu kaca rasa dari kumala yang menjadi barang perhiasannya, terus ia bersenandung dengan suaranya yang terang nyata: „Jikalau nanti kita bertemu pula janganlah menanya lagi, masing-masing mengikuti saja jodohnya hingga di ujung pangkalnya langit!" Kata-kata ini ditutup sama lompatan tubuhnya, yang terus berlari-lari keras dengan ilmunya ringan tubuh ……… 08. Masuk Ke Istana Potala Hoa Seng berdiri menjublak, lama, lama sekali, hingga tahutahu ia mendapatkan si Puteri Malam mulai muncul di arah timur, sedang puncak es memperlihatkan sinar berkilau bagaikan kaca. Ia kehilangan kawan, ia menjadi merasa sangat sunyi, sunyi sekali. Lalu teringatlah pengalamannya selama beberapa hari ini. Ia merasa bahwa ia baru saja habis bermimpi. Sayang sekali, ia telah terlalu lekas mendusin .......
Dengan lenyap kegembiraannya pemuda ini jalan turun gunung, sembari berjalan ia berpikir. Apakah artinya gerakan tangan si nona tadi — menekan tiga kali, lalu menunjuk kaca kumala di dadanya? Apakah artinya senandungnya itu? Bukankah itu berarti bahwa bakal datang saatnya yang mereka akan bertemu pula kelak di belakang hari? Di manakah tempatnya bertemu pula itu? Dan kapankah waktunya itu? Ia memikir dengan sia-sia, bahkan ia jadi seperti kelelap dalam. Sungguh sebuah teka-teki yang tidak dapat dipecahkan, sukar sekali ………. Tiba di kaki gunung, Hoa Seng memandang jauh ke Kota Iblis. Di sana ia melihat stupa putih yang dibangun oleh putera raja Nepal. Lantas ia ingat akan pesan Maskanan. Maka berpikirlah ia: „Itu sekalian boesoe Nepal telah diusir si nona baju putih, tetapi putera raja Nepal itu masih berada dengan cita-citanya yang besar, cita-cita itu belum dapat ditumpas. Maskanan meminta aku pergi ke Lhasa untuk menghadap Buddha Hidup, untuk aku menyampaikan amanat hoat-ong dari agama Putih, kenapa aku melupakan itu?" Setelah ingat begitu, pemuda ini lantas membuka tindakannya ke arah Lhasa. Ketika itu sudah mulai permulaan musim semi, es dan salju yang menutupi gunung-gunung sudah mulai lumer, jalanan jauh lebih menyenangkan untuk dilewati, maka itu berjalan hampir satu bulan, ia telah tiba di ibukota Tibet. Hari sudah sore ketika Hoa Seng memasuki kota Lhasa. Ia menampak rumah-rumah yang wuwungannya rata bercampur baur sama tenda-tenda, pemandangan mana sungguh beda sama pemandangan di Tionggoan. Di tengah jalan ada banyak orang yang mundar mandir. Dari setiap tenda ada mengepul keluar asap dupa, ada sinar lilinnya yang menggenclang, bahkan di depan sejumlah tenda ada orang-orang Tibet yang membakar dupa dan menjalankan kehormatan, yang bersembahyang. „Adakah hari ini hari besar?" ia menanya seorang tua yang di sampingnya, tangan siapa ia tarik. „Bukan hari ini, hanya besok," menyahut orang tua itu. Dia lantas menunjuk pada sang Puteri Malam yang terangbenderang, dia menanya: „Tuan, kau datang dari mana? Bukankah kau penganut Sang Buddha yang maha suci? Mengapa sampaikan hari ulang tahunnya Sang Buddha kau melupakannya?" Hoa Seng dongak melihat ke langit, ia mendapatkan rembulan tengah bundar dan besar. Ia menjadi heran. „Bukankah ulang tahunnya Sang Buddha pada tanggal delapan bulan empat?" tanya ia. Orang tua itu tercengang, lalu ia tertawa. „Tuan, kau seorang Han, ada yang kau tidak tahu," ia berkata. „Syukur aku mengerti penanggalan orang Tiong¬hoa, jikalau tidak, aku tentunya heran sekali untuk pertanyaanmu ini. Besok ialah tanggal delapan bulan empat!" Hoa Seng memandang pula sang rembulan. „Rembulan toh sedang bundarnya ………." katanya. Orang tua itu tertawa pula. „Kami menggunai penanggalan Tibet dan kamu orang Tionghoa menggunai imlek," ia menerangkan. „Untuk kamu bulan purnama ialah di tanggal limabelas, akan tetapi bagi kami tidaklah demikian, untuk kami ada kalanya di permulaan tanggal, ada kalanya juga di akhir bulan. Menurut hitungan Imlek, hari ini ialah tanggal empat belas bulan tiga dan besok tanggal limabelas.
Oleh karena tahun ini hari ulang Sang Buddha kebetulan bulan purnama, ramainya perayaan menjadi luar biasa. Semenjak kemarin kami sudah mulai mandi bersih dan pantang dan membakar dupa untuk menghormati Buddha kami." Hoa Seng ingat suatu apa. „Bulan tiga tanggal lima.... bulan tiga tanggal limabelas ….." katanya perlahan. Mendadak saja ia sadar. Bukankah si nona baju putih menekan tangannya tiga kali? Bukankah itu berarti tiga kali lima menjadi limabelas? Bukankah itu berarti tanggal limabelas bulan tiga? Dan tangannya menunjuk kepada kacanya dari kumala, bukankah dengan itu diartikan sang rembulan purnama? „Tuan, kau sungguh beruntung," berkata pula si orang tua, yang ternyata suka berbicara. „Tahun ini Buddha Hidup Dalai bakal mengepalai sendiri upacara, besok. Ia akan muncul di antara kami. Tiga buah pendopo besar di depan Istana Potala pun besok akan dibuka, untuk mengijinkan semua pria dan wanita yang sujud, bersujud di undakan tangga pendopo besar itu. Dalam seumur hidup kami, belum tentu kami dapat memandang wajahnya Buddha Hidup sekalipun hanya satu kali, tetapi kau, begitu kau datang, kau menemui saatnya yang baik. Kalau besok kau berkumpul di antara orang banyak, akan melihatnya wajah Buddha Hidup kami itu. Itulah sungguh suatu keberuntungan yang maha besar!" Hoa Seng girang bukan main, ia lantas menghaturkan terima kasih kepada orang tua itu, kemudian ia pergi mencari sebuah tenda yang biasa menerima menumpangnya tetamu. Akan tetapi malam itu ia tidak dapat tidur pulas, hatinya banyak berpikir. „Kiranya adik Giok menjanjikan aku bertemu besok tengah malam di Istana Potala ini?" demikian pikirnya. „Hanya, dengan cara bagaimana ia dapat memasukinya istana? Mungkinkah di waktu malam pun istana dibuka untuk umum seperti di siang hari dan orang dibiarkannya pesiar sesukanya?" Oleh karena ia tidak dapat tidur, Hoa Seng berbangkit untuk mencari pemilik tenda, guna meminta keterangan, dan ia memperoleh keterangan sama seperti dituturkan si orang tua tadi, hanya tuan rumah ini menjelaskan juga, pendopo yang besok bakal dibuka ialah tiga-tiganya, pembukaan dilakukan di siang hari, begitu tiba magrib, semua orang harus meninggalkan pendopo itu. Kata pula tuan rumah ini: „Buddha Hidup sangat mulia dan agung, mana dapat sembarang orang memasuki perdalaman istananya? Bahwa kami telah diperkenankan menghunjuk hormat di undakan tangga saja sudah suatu keberuntungan yang bukan main besarnya!" Di waktu mengucap demikian, tuan rumah itu bersikap sangat bersujud. Hoa Seng menjadi masgul, pikirannya menjadi bertambah ruwet. „Apakah aku salah mentafsirkan pertanda si nona baju putih?" ia menanya dirinya sendiri. „Tapi, kalau bukan demikian dugaanku, bagaimana mestinya? Maka ia jadi semakin merasa aneh untuk hal ikhwalnya si nona baju putih itu. „Biarlah sang besok lekas datang!" akhirnya ia kata dalam hatinya. Malam itu ia tak pulas semalam suntuk. Begitu sang fajar di hari kedua muncul, ia lantas berbangkit untuk menemui tuan
rumah kepada siapa ia minta pinjam seperangkat pakaian orang Tibet. Ia hendak menyamar supaya di waktu berkumpul sama banyak orang tidaklah ia menyebabkan tertariknya perhatian orang banyak itu. Halnya Dalai Lama membuka Istana Potala untuk umum dan ia sendiri bakal mengepalai upacara ulang tahun Sang Buddha telah menggemparkan seluruh Lhasa, bahkan ada penduduk dari lain tempat yang memerlukan datang berkunjung. Hoa Seng menganggap ia bangun pagi-pagi sekali, siapa tahu sekeluarnya ia dari tempatnya mondok, ia melihat jalan-jalan umum telah penuh dengan orang banyak. Ia menyelip di antara mereka itu, ia turut mereka menuju ke istana. Perlahan-lahan jalannya semua orang itu. Istana Potala dibangun di luar kota Lhasa, di atas gunung Anggur. Orang Tibet menamakannya gunung itu Potala, maka nama istana diambil namanya gunung itu. Tingginya istana ada tigabelas tingkat. Menurut cerita maka raja Tibet yaitu Srontsan Gampo telah menikah sama Puteri Wen Cheng dari Kaisar Lie Sie Bin dari ahala Tang (tahun 611) dan puteri inilah yang meminta dibangunnya istana …… Setelah perbaikan tahun ketemu tahun, istana itu menjadi bertambah indah. Batu yang dipakai membangun itu pun ada potongan-potongan batu ukuran persegi yang digali dari tengah gunung. Di atas istana ada tiga buah wuwungan besar dari emas serta delapan stupa emas dari tubuhnya Buddha Hidup. Buddha Hidup Tibet, ialah seluruhnya dibungkus dengan lembaran-lembaran daun emas yang tengahnya ditabur mutiara, yang dilihat dari jauh, nampak bersinar gemerlapan, indahnya bukan buatan. Hoa Seng mengikuti terus orang banyak itu. Mendekati tengah hari, barulah ia tiba di jalanan gunung di bawah Istana Potala. Ia melihatnya jalanan yang menuju ke pintu istana merupakan tangga batu yang berliku-liku. Di sebelah depan terdapat dua baris lhama dengan jubah kuning menjadi penunjuk jalan. Pintu dari tiga pendopo besar sudah dipentang lebar-lebar, maka semua pria dan wanita yang bersujud itu mengikuti kedua barisan lama itu memasuki pintu-pintu besar itu. Ketika Hoa Seng sampai di tangga batu pendopo, orang telah penuh padat, hingga umpama kata tidak ada tempat untuk sepotong jarum, hingga mereka yang datang belakangan harus bersujud dari luar pintu. Dengan mementang matanya Hoa Seng memandang kelilingan. Ia hendak mencari si nona baju putih, nona yang ia panggilnya adik Giok. Ia merasakan ia seperti mencari sepotong jarum di dalam lautan besar. Nona itu tak ada bayangannya. Ia penasaran, ia mendesak maju, untuk ini ia mengerahkan tenaga dalamnya. Maka setiap orang di dekatnya merasa tubuhnya tertolak suatu tenaga besar, hingga dengan sendirinya mereka masing-masing membuka jalan untuk ia maju lebih jauh. Tidak ada orang yang menaruh curiga, mereka itu menyangka itulah desakan biasa saja dari mereka, dari orang-orang yang ber¬ada di sebelah belakang ........ Hoa Seng seperti menjelajah semua tangga batu dari ketiga pendopo besar itu, tangga yang terdiri dari beberapa ribu undakan, ia telah menggunai tempo satu jam, masih ia tidak mendapat si nona baju putih. Ketika itu arus orang banyak menuju ke lorong di luar pendopo, maka ia pun mendesak ke sana. Ia ketahui, upacara bakal dilakukan di pendopo besar yang tengah. Segera ia melihat empat patung emas yang merupakan muka manusia bertubuh burung, yang digantungi kelenengan yang terukir halus dan indah.
Pemuda ini telah melakukan perjalanan satu bulan lebih, ia senantiasa berada di tempat belukar, yang berhawa dingin sekali, sering ia berada di tanah datar dari Tibet itu di mana dalam beberapa puluh lie tidak ada manusia atau asap, tetapi sekarang berada di Istana Potala, ia seperti tengah menempati diri didalam impian yang indah dan manis ……. Segala apa indah di pendopo, tiang dan penglari dari emas, atau yang terukir indah atau gambar-gambar. Melihat semua itu, anak muda ini kagum bukan main. "Di luar saja sudah begini indah, entah di sebelah dalam," pikirnya. Ia tidak tahu, untuk membangun istana itu, berapa banyak tenaga manusia dan berapa banyak uang sudah dipergunakan. Di empat penjuru tembok, di luar dan di dalam, ada gambargambar, yang kebanyakan melukiskan pelbagai lelakon yang terdapat dalam kitab-kitab Buddha, yang umumnya aneh atau luar biasa, yang semua nampaknya hidup. Gambar itu adalah sutera putih ditempel di tembok, lalu sutera itu dilukis dengan cat minyak, maka gambar semacam itu awet, tahan lama mengkilapnya. Selama beberapa ratus tahun, entah ada berapa banyak pelukis yang datang dari Tionggoan, yang datang dari India, dari Nepal dan juga dari Bhutan, yang membuat karyanya di tembok itu. Maka itu dapatlah dikatakan pusaka seni. Selagi Hoa Seng terdesak orang banyak menikmati gambargambar indah itu, tiba-tiba ia merasakan ada dorongan keras dari sebelah belakang, lalu ia merasakan pinggangnya sesemutan, seperti ada orang yang menotok jalan darah joanmoahiat. Ia menjadi kaget sekali. Syukur ia getap, segera ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk melindungi diri. Berbareng dengan itu ia membuang tangannya ke belakang, untuk menangkap tangan yang menotoknya itu. Gerakannya ini disusul sama jeritan beberapa orang, yang tubuhnya roboh, ketika ia berpaling, ia mendapat kenyataan yang ia kena cekal ialah tangannya seorang wanita gemuk, yang matanya melotot kepadanya seraya terus menanyakan, „He, kau bikin apakah?" Lekas-lekas Hoa Seng melepaskan pegangannya, karena begitu mencekal, ia mengetahui nyonya gemuk itu tidak bertenaga. „Maaf," ia lekas berkata. „Barusan aku merasa ada orang menolak tubuhku dan merabaraba, aku menyangka kepada tukang copet, aku tidak sangka aku kena menangkap tangan kau. Nyonya, harap kau tidak menjadi gusar." Di antara orang Tibet, antara pria dan wanita tak ada aturan kesopanan yang keras dan kukuh seperti di antara orang Tionghoa, karena orang percaya perkataan pemuda ini, dari gusar nyonya teromok itu menjadi tertawa. Ia kata, „Di dalam Istana Potala, di tempat bersemayamnya Buddha Hidup, siapa berani mencopet? Mungkinkah kau orang Han yang belum lama di sini?" Hoa Seng mengangguk. „Benar," sahutnya, berlaku terus-terang. Nyonya itu masih hendak berkata-kata pula tatkala dari pendopo terdengar suara tambur dan genta, diikuti oleh dua baris lhama jubah kuning jalan mengitari istana sambil senantiasa menciprati air suci. Itulah tanda sudah dimulainya upacara besar itu. Maka sekarang, di luar dan di dalam pendopo, sunyi segala apa, bahkan semua orang lantas menunduki kepala untuk menghunjuki hormatnya.
Selagi orang bersujud itu, Hoa Seng berpikir: „Pembokong itu liehay dan cerdik, aku bergerak cukup sebat tetapi dia dapat juga meloloskan dirinya. Mereka yang roboh itu tentulah dia sengaja merobohkannya, supaya dia dapat menyingkir selagi keadaan kacau, agar aku tak mengetahuinya. Siapakah dia? Mengapa dia menyerang aku secara gelap itu?" Percuma anak muda ini menerka-nerka, ia tidak mendapat jawabannya yang tepat. Ketika itu suara tambur dan genta sudah berbunyi tiga kali, lantas dua orang lhama mengangkat kepalanya membaca doa. Lewat sesaat habis itu, di antara suara genta dan kata-kata bahasa Sangsekerta, nampak Buddha Hidup muncul dengan perlahan-lahan antara iringan pengikut-pengikutnya. Semua hadirin lantas mengasi dengar pujaan, semua bertekuk lutut dan menjura dalam, tidak ada yang berani mengangkat kepala untuk melihat orang yang dianggap suci itu. Tentu sekali Hoa Seng mesti menelad orang banyak itu, hanya diam-diam saja ia mencoba mencuri lihat wajah Dalai Lama sang Buddha Hidup itu, yang usianya ditaksir lebih kurang empat puluh tahun, tubuhnya sedikit gemuk, sikapnya agung, tetapi pada itu tidak ada lainnya yang luar biasa. Di itu waktu, yang menarik perhatiannya Hoa Seng bukan si Buddha Hidup hanya seorang lain ……………. Di belakang Dalai Lama itu ada kedapatan beberapa orang pendeta yang roman dan dandanannya istimewa, dengan satu kali melihat saja teranglah sudah mereka ada tetamu-tetamu beribadat yang datangnya dari lain negara, mungkin dari India, Nepal, Bhutan dan Sikkim. Di antara mereka ada seorang pendeta asing, yang jubahnya merah dan gerombongan, ialah si pendeta asing dengan siapa Hoa Seng pernah bertempur. „Eh, mengapa dia pun datang ke mari?" anak muda ini menanya dirinya sendiri. Ia lantas bercuriga dan menduga mesti pendeta itu muncul dengan minatnya yang luar biasa. Tempo yang digunai oleh Buddha Hidup untuk memimpin upacara singkat sekali. Paling dulu ia mencipratkan air suci kepada, patung Sang Buddha, untuk itu ia, menggunai cabang yang-lioe. Setelah itu ia mempersembahkan „hada" ialah saputangan yang terbuat dari sutera. Ini ada persembahan yang menyatakan dari kesujudan. Paling akhir hormat yang sangat, tanda dari kesujudan. Paling akhir ialah membakar dupa. Semua-mua tempo yang dipakai itu ada hanya sepasangan sebatang hio. Sampai di situ, selesailah upacara yang hikmat itu. Lalu murid Buddha Hidup yang bertugas maju mengumumkan kepada semua hadirin yang mereka diharuskan meninggalkan istana sebelumnya magrib. Hoa Seng pulang ke pondokannya selagi tuan rumahnya belum kembali. Ia lantas beristirahat. Setelah ia bersantap sore, barulah tuan rumah pulang. Dengan gembira sekali tuan rumah ini membicarakan urusan upacara tadi siang. Dia pun memujikan keselamatannya Hoa Seng, siapa membalasnya memujikan juga. Kemudian tuan rumah ini memberitahukan bahwa sebentar malam di Istana Potala akan diadakan upacara memasang lentera untuk menghormati Sang Buddha, maka akan banyak pria dan wanita yang bersujud yang akan berdiam di bawah Gunung Anggur untuk menyaksikan keramaian itu, untuk itu mereka tidak pulang lagi untuk dahar. „Sayang aku sudah berusia lanjut dan kesehatanku sudah lemah," kemudian berkata tuan rumah dengan menghela napas, „kalau tidak, aku pun akan turut menyaksikan buat mana aku
rela kelaparan satu malaman. Tetamuku yang baik, inilah ada ketikamu yang baik sekali, yang sukar dicarinya, karena itu kau haruslah tidak melewatkannya!" „Benar, benar!" berkata Hoa Seng, yang terus saja pamitan dari tuan rumahnya itu. Istana Potala di waktu malam benar-benar sangat mentakjubkan. Wuwungan emas bergilang-gemilang karena tojohannya sinar gunung salju, cahayanya kekuning-kuningan dan sangat indah. Di setiap pojok genteng atau pajon ada digantungi lentera kaca yang terhias. Di sana cahaya rembulan, sinar salju, sinar lampu, saling tojoh menjadi satu. Sesungguhnya, pemandangan itu menciptakan sesuatu yang mengesankan, yang mempengaruhi. Cuma Hoa Seng seorang, yang pendapatnya lain. Sebab di antara lain, ia memikirkan hanya si nona baju putih. Dari bawah gunung, Hoa Seng memandang ke atas, ke istana yang bertingkat-tingkat itu, yang terpecah warnanya dalam empat rupa ialah putih, merah, kuning dan merah tua. Dari tingkat ketujuh hingga ke tingkat dua belas, semua itu adalah tempat kediaman sekalian lhama. Setelah memandangi sekian lama, Hoa Seng terbenam dalam kesangsian. „Istana Potala begini luas," pikirnya, „taruh kata adik Giok benar ada di dalamnya, cara bagaimana aku mencarinya? Api pun terang-berderang begini macam, bagaimana aku mesti mencurinya masuk?" Maka itu, dengan berkisarnya sang rembulan, makin lama makin dojong ke barat, Hoa Seng menjadi sibuk sendirinya. Ia tahu, kalau sang fajar datang, tidak ada ketika lagi untuk mencari si nona. Maka itu di akhirnya ia mengambil putusan, mesti ia memasuki juga istana itu. Selagi orang banyak berkerumun di kaki gunung, Hoa Seng diam-diam jalan mengitar ke belakang gunung itu. Kalau perlu, ia jalan merayap. Senantiasa ia menyembunyikan diri di tedeng-aling pepohonan atau batu karang. Secara begini perlahan-lahan ia mendekati Istana Potala di bagian belakang. Ia memang telah membekal seperangkat pakaian lhama, maka itu di situ ia lantas menyalin dandanan. Ia menanti lagi sekian lama sebelum ia bertindak terlebih jauh. Justeru angin menghembus keras, Hoa Seng menjumput beberapa biji batu, dengan itu ia menyambit pecah tiga buah lentera di atas pintu sebelah barat. Kejadian itu membikin kaget lhama yang menjaga di situ. „Kenapa angin malam ini hebat sekali?" katanya seorang diri. Lekas-lekas ia mengambil lampu yang baru, dengan naik di tangga, ia menukar yang pecah itu. Ketika inilah yang ditunggu Hoa Seng. Selagi orang bekerja, ia berlompat dengan ilmunya enteng tubuh, masuk di pintu besar. Si lhama, yang lagi berada di atas tangga panjang, tidak melihat orang melesat masuk. Setibanya di dalam, Hoa Seng bertindak secara wajar. Ia jalan sambil tunduk, tangannya ditakepi ke depan, diangkat sedikit tinggi, hingga separuh mukanya kena teraling. Di dalam istana itu ada banyak lhama lainnya, mereka tidak memperhatikan satu sama lain, maka itu Hoa Seng dapat melalui beberapa pendopo. Selama itu ia kagum sekali. Di sebelah dalam, semua gambar di tembok melebihkan apa yang di luar. Lentera, alat-alat dari kumala, kursi meja kuno, meja abu dan perapian kuno, semua terukir indah. „Keadaan di istana kaisar pasti tak melebihkan ini," pikirnya,
Maka ia menyesal, ia bukannya lagi pesiar hanya lagi mempunyai urusan penting. Ketika terdengar tanda jam tiga, Hoa Seng sudah memasuki istana tingkat kedua di mana ada kamar tidur Buddha Hidup. Sebenarnya ia tidak tahu kamar siapa itu. Mendadak dua lhama terlihat mendatangi. Lekas-lekas ia bersembunyi, di belakang patung Buddha. „Sampai begini malam Buddha Hidup masih menerima tetamu, sungguh ia lelah," berkata satu lhama. „Kau tidak tahu, yang datang hari ini semua orang kenamaan," kata yang lain. „Sampaipun lie-hoehoat yang membawa daun bodhi suci turut datang juga. Aku percaya Buddha Hidup akan menemui nona itu." „Memang. Untuk dia, Buddha Hidup telah menyediakan satu kamar menyendiri dan dua puteri diwajibkan menemani dia. Katanya semasa Dalai Lhama generasi kedua, Istana Potala ini pernah menyambut seorang puteri dari India yang pun mempunyai daun bodhi suci itu, yang diijinkan bermalam di sini satu malam lamanya. Sudah banyak tahun, belum pernah ada wanita yang diijinkan masuk ke mari, maka kali ini, sungguh luar biasa." Mendengar itu, Hoa Seng berpikir, ia menduga-duga, liehoehoat siapa itu yang mengunjungi Istana Potala ini, yang diperlakukan demikian hormat. Untuk mendapat tahu lebih jauh diam-diam ia menguntit dua lhama itu sampai di tingkat ke tiga. Ia menanti sampai mereka itu masuk dan keluar lagi, dengan berhati-hati ia menghampirkan jendela. Dari situ ia melihat cahaya api terang-terang di dalam kamar di mana dua bayangan orang berpeta. Ia lantas mengenali, yang satu ialah Buddha Hidup, yang lain si pendeta Merah dari Nepal. 09. Pertemuan Dengan Buddha Hidup Segera terdengar suaranya si pendeta asing jubah Merah: „Sang Buddha Hidup dengan kepandaiannya yang luar biasa telah menyebar agamanya, dengan begitu negara-negara tetangga yang kecil, semua sama mendapat berkahnya. Putera raja kami sebetulnya hendak menghadap sendiri, sayang karena banyaknya urusan negara, tidak dapat ia datang ke mari, dari itu sengaja ia mengutusnya siauwceng untuk menyampaikan hormatnya sekalian untuk mendengar pengajaran." Pendeta itu menyebutnya „siauw-ceng," atau pendeta kecil, untuk merendahkan diri. Maka berkatalah Dalai Lama: „Negerimu adalah tempat kelahirannya Sang Buddha, semenjak dulu kala hingga sekarang ini, negaramu itu tetap menjadi Negara Sang Buddha, sementara rajanya, turun-temurun, semua memerintah menuruti ajarannya, maka itu dengan perlindungannya Sang Buddha, mesti negaramu hidup makmur. Putera rajamu telah menghadiahkan menara emas, tindakan itu tepat dan mendapat rasa syukur kami, maka itu tolonglah kau menyampaikan ucapan terima kasih kami." „Masih ada sesuatu yang putera raja kami, hendak menyampaikannya kepada Buddha Hidup," berkata pula sang pendeta asing jubah Merah itu. „Silahkan utarakanlah," Buddha Hidup menitah. „Hal itu ialah begini," menjawab si pendeta asing, menjelaskan: „Raja agama dari Agama Putih telah mengirim utusan ke negara kami, dia mengajukan permintaan supaya negara kami suka membantunya pulang kembali ke Tibet.
Putera raja kami mengetahui baik sekali, bahwa agama yang sejati adalah Agama Kuning, bahwa dua Dalai Lama dan Panchen Lama adalah Buddha-Buddha Hidup, dari itu, ia telah tolak permintaan itu. Putera rajaku membilang, hal itu haruslah dilaporkan kepada Buddha Hidup." Mendengar keterangan itu, Koei Hoa Seng mencaci di dalam hatinya. Terang-terang adalah putera raja Nepal itu yang mengojok-ojok, menganjurkan raja Agama Putih menyerang ke Tibet, sekarang dia membilang sebaliknya. Bukankah itu tindakan menimbulkan yang tidak-tidak? Bukankah itu perbuatan sengaja belaka supaya di Tibet terbit perang saudara, agar Nepal bisa menangkap ikan di air keruh, untuk mendapatkan keuntungan? Dalam sengitnya, Hoa Seng mau lompat keluar dari tempatnya sembunyi, guna membeber kepalsuan pihak putera raja Nepal itu, atau mendadak ia merasakan samberan angin di arah belakangnya. Tentu saja ia menjadi kaget. Untuk menolong diri, ia menyerang ke belakang, untuk menangkis. Segera ia mendengar orang membentak dalam Bahasa Tibet: „Orang jahat bernyali besar, cara bagaimana kau berani lancang memasuki istana suci ini?" Dan teguran itu disusul lagi dengan sambaran angin yang dahsyat, menyerang ke arah punggung. Hoa Seng segera menoleh. Nyata ia tidak dapat menghalau penyerang gelap itu, ialah dua pendeta, yang satu mengenakan jubah hitam, yang lain kuning. Kepala mereka digubat sabuk putih, hingga roman mereka mirip malaikat Hian Tan Kong. Teranglah mereka dua pendeta bangsa India, pendeta-pendeta mengembara. Pendeta yang berada paling dekat padanya, si jubah hitam, tengah menyerang dengan senjatanya yang berupa tongkat bambu, sangat sebat serangannya itu, sejenak saja sudah tujuh jurus, semua serangan mengarah jalan darah. Si jubah kuning cuma mengawasi saja. Ia mencekal sebuah mangkok tembaga, mangkok peranti bangsa pendeta meminta amal. Nampaknya segera bakal turun tangan akan membantui kawannya. Hati Hoa Seng bercekat juga, Ia heran untuk si pendeta jubah hitam itu, yang ilmu totoknya liehay tak kalah dengan akhli silat kelas satu dari Tiongkok. Ia pun heran untuk penyerangan mereka secara membokong itu. Tapi ia cukup sabar, ia memikir untuk minta keterangan. Atau ia didului si pendeta jubah kuning. „Bekuk saja padanya!" demikian pendeta jubah kuning ini menyerukan kawannya. „Kita jangan membuatnya Buddha Hidup menjadi kaget!" Ia berteriak begitu, ia pun lantas bergerak. Senjatanya yang istimewa itu lantas diputar balik, dipakai menyerang dari atas ke bawah, hingga mangkok itu mirip gunung Tay San yang dipakai menungkrap batok kepala! Karena ia tidak dapat ketika untuk minta keterangan atau memberi penjelasan, terpaksa Hoa Seng menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam si „Ular Naga Naik." Dengan itu ia menangkis serangan dari atas itu. Suara keras lantas terdengar akibat tusukan pedang pada mangkok peranti minta amal itu. Atas itu, si pendeta memutar mangkoknya, maka di lain saat, seperti ada tenaga yang menarik, pedang itu tak dapat lantas ditarik pulang oleh pemiliknya. Mau atau tidak, Hoa Seng terperanjat. Itulah aneh. Ia kagum
untuk kepandaiannya si pendeta bangsa India itu. Dalam saat si anak muda terancam bahaya, pendeta jubah hitam maju menyerang, tongkat bambunya menotok ke jalan soan-kie-hiat di dada, lalu itu diulangi ke jalan darah Ciangboenhiat di iga, dan kemudian ke hong-hoe-hiat di belakang kepala. Penyerangan berantai tiga kali itu dilakukan, karena beruntun Hoa Seng berhasil mengelakkan dirinya. Koei Hoa Seng adalah turunan Thian San Cit Kiam, jago-jago pedang dari Thian San Pay, kepandaiannya dalam ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat pun adalah yang asli, maka itu, walaupun ia didesak hebat, ia tidak menjadi bingung. Di saat ujung tongkat menyambar ke batok kepalanya, berbareng ia berseru nyaring sekali, suaranya bagaikan guntur. Si pendeta jubah hitam kaget, karena mana, arah serangannya menjadi kacau. Ketika ini diambil Hoa Seng, yang menjambret ujung tongkat bambu itu, untuk segera dibentak keras, lalu diteruskan ditolakkan sama hebatnya. Tanpa ampun lagi, si jubah hitam roboh terjengkang, kedua kakinya naik ke atas. Seruannya Hoa Seng ialah seruan yang dinamakan „Deruman Singa," biasanya kalau orang biasa mendengarnya, jantungnya bisa tergerak terluka, tetapi dua pendeta ini liehay tenaga dalamnya, mereka dapat bertahan, si jubah hitam cuma roboh. Si jubah kuning, yang terlebih liehay lagi, cuma kaget dan mundur dua tindak. Hoa Seng berlaku cerdik sekali, menggunai saat yang baik itu, ia geraki pedangnya yang tadi seperti tertarik mangkoknya si jubah kuning, bukannya menarik pulang, ia justeru menikam terus. Maka dengan satu suara keras, mangkok itu kena ditublas bolong! Sesudah ini barulah ia menariknya pulang. Si pendeta jubah kuning tercengang bahna heran dan kagetnya. Kedua pendeta India itu telah bersepakat untuk tidak menerbitkan suara berisik, guna mencegah Buddha Hidup menjadi kaget dan terganggu karenanya. Tapi seruan Hoa Seng justeru sebaliknya. Dalai Lama mendengar seruan itu, yang membuatnya kaget dan heran, maka itu ia sudah lantas pergi ke luar. „Buddha Hidup, sukalah dengar ……." berkata Hoa Seng, atau mendadak katanya itu terganggu, sebab si jubah kuning, begitu lenyap herannya, sudah lantas menyerang, mangkoknya yang liehay itu, dengan bergemerlap kekuning-kuningan, turun pula dari atas ke bawah, kembali hendak menungkrap kepala lawannya. Anginnya pun mendesir keras sekali. Hanya kali ini serangan bukan dilakukan seperti bermula tadi, hanya dalam rupa timpukan. Hoa Seng heran bukan main. Tidak ia menyangka, mangkok itu juga dapat dipakai sebagai senjata rahasia. Terpaksa ia tidak langsung menangkis, hanya ia menyingkir dengan berkelit, dengan jurusnya „Naga melingkar menggeser kaki," sambil berbuat begitu barulah ia menyambut dengan pedangnya. „Traang!" demikian kedua senjata itu beradu. Kena terhajar pedang, mangkok itu mental balik. Justeru itu, tongkatnya si jubah hitam pun tiba. Si pendeta Merah dari Nepal, yang turut Buddha Hidup keluar, telah menyaksikan pertempuran itu, ia maju seraya menegur: „Manusia gila yang bernyali besar, cara bagaimana kau berani lancang masuk ke istana nabi dan mengotorkan-menghina Buddha Hidup? Sungguh kau harus mampus berlaksa kali! Buddha Hidup, silahkan kembali ke dalam, nanti siauwceng yang mewakilkanmu membikin beres manusia kurang ajar ini!"
Pendeta ini segera maju dengan menggeraki jubahnya, yang bagaikan segumpal api merah marong, berbareng dengan mana si pendeta jubah kuning pun sudah mengulangi serangannya dengan mangkok¬nya yang terbang menyambar. Dengan bersendirian, dengan sebatang pedangnya, Koei Hoa Seng melayani tiga pendeta yang liehay itu, dengan begitu. dalam repotnya itu, tidak sempat lagi ia berbicara kepada Buddha Hidup, guna memberikan keterangannya. Dalai Lama tidak mengundurkan diri sebagaimana diminta oleh si lhama jubah merah, ia mengawasi kepada itu anak muda hingga ia mendapat lihat di leher orang ada tergantung sebuah patung Buddha dari emas. Itulah tanda mata dari Maskanan kepada Hoa Seng, dan itulah benda yang Buddha Hidup ini mengenalinya dengan baik. Patung emas itu ada satu di antara tujuh rupa barang kepercayaan dari raja agama dari Lama Putih. Menampak itu, ia menjadi heran, hingga maulah ia menyangka, Hoa Seng adalah orangnya raja agama Putih untuk melakukan pembunuhan secara menggelap terhadap dirinya. Hanya sejenak saja, ia lalu mendapat pikiran lain. Ia mau percaya tidak nanti raja agama Putih mau berbuat sehina itu, membunuh ia secara menggelap. Raja agama Putih tak ada semulia dirinya sendiri, akan tetapi dia tetap adalah raja agama, dialah satu Buddha Hidup pula. (Di dalam agama Lama, Dalai adalah paling termulia, Buddha Hidup yang paling agung). Karena ini ia mau menduga juga Hoa Seng sebagai utusannya pihak Agama Putih. Oleh karena kesangsiannya ini, ia tidak mau mengundurkan diri dengan masuk ke perdalaman, hanya ia berdiri menonton dengan dilindungi oleh dua lhama sebagai pahlawannya. Di saat mangkok suci itu menungkrap kepalanya, Hoa Seng menangkis dengan gerakan dari Taylek Kim-kong-cioe, berbareng dengan itu pedangnya menyontek jubahnya si pendeta berjubah merah, kemudian dengan satu puteran tubuh, satu kelitan, ia menyingkir dari totokan tongkat bambu dari si jubah hitam. Dalai Lama tidak mengerti ilmu silat akan tetapi ia ketahui dengan baik, dua pendeta asing itu adalah dua pendeta India dari kelas satu, sedang si pendeta jubah Merah adalah koksoe atau guru negara dari negara Nepal, jadi dialah bukan seorang yang lemah. Maka itu, menyaksikan Hoa Seng demikian kosen, gerak-geriknya demikian lincah, diam-diam ia memberikan pujiannya. Sebenarnya Hoa Seng, dalam pertempurannya ini, menampak kesulitan. Coba mereka bertempur satu lawan satu, tidak ada seorang musuhnya juga yang dapat menandingi ia, akan tetapi ia dikerojok bertiga, ia repot juga. Terutama ia mesti berjagajaga dari itu mangkok yang liehay, yang dapat diterbangkan sebagai senjata rahasia. Ketiga pendeta itu pun berkelahi dengan hebat sekali, agaknya mereka dapat memernahkan diri, maka itu, dapat mereka merangsak, hingga makin lama Hoa Seng makin terdesak walaupun pemuda ini telah mencoba sebisanya akan mempertahankan diri. Selagi kalangannya menjadi semakin ciut, ia dengan sendirinya mulai menghadapi ancaman bencana. Dengan sekonyong-konyong si pendeta jubah kuning berlompat tinggi, mangkoknya diangkat bersama, untuk terus dikasih turun dengan kaget. Buat kesekian kalinya, ia menungkrap pula dengan gerakannya „Gunung Tay San
menindih batok kepala." Hoa Seng menginsyafi bahaya, ia angkat sebelah tangannya guna menahan serangan yang berbahaya itu, ia tidak memperdulikan yang tangannya itu nanti dapat disedot mangkok yang liehay itu. Berbareng dengan itu si pendeta jubah Hitam membawakan ujung tongkatnya ke dada orang, untuk menotok. Guna menghindarkan bahaya, Hoa Seng menggeraki pedangnya, untuk menangkis. Atau mendadak si lama jubah Merah menyambar ia dengan jubahnya, guna membungkus pedangnya itu! Tanpa ampun lagi, karena tidak ada rintangan sama sekali, ujung tongkat si pendeta jubah hitam mengenai sasarannya, tepat pada jalan darah tan-tiong-hiat. Serangan telak ini tapinya tidak menerbitkan suara. Justeru di dalam saat yang sangat mengancam itu, tiba-tiba semua orang mendengar suara ting tang dari gelang beradu diberikuti dengan bau harum semerbak yang seperti memenuhi kalangan pertempuran itu dan sekitarnya, lalu dua lhama jubah kuning naik ke lauw-teng sambil berseru: „Lie-hoehoat menghadap Buddha Hidup!" Mendengar itu, Dalai Lama sudah lantas menyahuti: „Persilahkan!" Hoa Seng girang mendengar suara itu. Di saat itu ia kebetulan menggunai kepandaiannya yang istimewa untuk melawan tongkatnya si pendeta jubah hitam itu. Ia membikin dadanya melesak hingga tak dapat ditotok, meski juga totokan itu tepat kepada sasarannya. Sembari berbuat begitu, ia menggunai ketika untuk melirik. Segera terlihat munculnya seorang wanita muda di tangga lauwteng, hingga meluaplah kegirangannya. Sebab yang datang ini bukanlah lain dari sinona dengan pakaian putih yang ia harapkan, yang ia buat pikiran siang dan malam. Dengan munculnya si nona serba putih itu, dengan sendirinya berhentilah pertempuran yang seru itu. „Kau tidak mau pulang, kau bikin apa di sini?" menegur si nona seraya menunjuk kepada si pendeta jubah merah, yang ia awasi dengan tajam. Air mukanya pendeta itu berubah, lekas-lekas ia menarik pulang jubahnya, setelah itu ia menoleh kepada Buddha Hidup untuk merangkap kedua tangannya akan memberikan hormatnya. „Lie-hoehoat menitahkan kau pulang, tidak dapat aku membiarkan kau berdiam lebih lama pula di sini," berkata Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan beberapa kata-kata dalam bahasa Nepal, habis itu ia memutar tubuhnya untuk terus berlalu dari istana Potala itu. Pedangnya Hoa Seng tengah dilibat jubahnya si pendeta jubah merah itu, dengan jubah orang ditarik pulang, bebaslah pedang itu, hanya selagi ia menarik pulang, pedang membabat mangkoknya di pendeta jubah kuning, hingga mangkok itu menjadi sempoak! Adalah di ketika itu, si nona pakaian putih berbicara dengan Dalai Lama, habis mana Buddha Hidup, dengan memberi tanda dengan kibasan tangannya, berkata kepada kedua pendeta yang masing-masing berjubah kuning dan jubah hitam itu: „Kiesoe yang datang dari Tionggoan ini bukan saja bukannya pembunuh gelap bahkan dia berjasa terhadap agama kita, maka itu tuan-tuan, aku minta sukalah kamu menghentikan pertempuran ini."
Kedua pendeta itu mengunjuk roman yang bergelisah. Sebenarnya, dengan berlalunya si pendeta jubah merah, hati mereka sudah ciut. Bertiga mereka tidak sanggup merobohkan Hoa Seng, apapula sekarang mereka tinggal berdua. Mereka lega mendengar suaranya Buddha Hidup, sedang serangannya Hoa Seng pun ter¬henti sesudah pedangnya menghajar mangkok istimewa itu. Napas mereka pun sengal-sengal, suatu tanda mereka sudah letih sekali. Dengan cepat mereka berlutut kepada Buddha Hidup seraya mengangguk, kemudian mereka memberi hormat juga kepada si nona sambil mereka menekuk sebelah kakinya. Dari mulut mereka keluar kata-kata yang perlahan. Hoa Seng tidak mengerti bahasa mereka itu tetapi dapat ia menduga bahwa orang tengah memohon maaf. Habis memberi hormat kepada si nona, mereka itu pun berlalu dari situ dengan terus turun dari lauwteng. Sebenarnya Hoa Seng heran bukan main, hingga ia merasakan bagaikan ia tengah bermimpi. Keanehan ini ada melebihkan saat ketika untuk pertama kali ia bertemu si nona di Kota Iblis. Ia tidak menyangka nona itu adalah lie-hoehoat, atau pelindung bagi agama Buddha, hingga sekalipun Dalai Lama, Buddha Hidup yang sangat dijunjung, pun menaruh hormat demikian rupa terhadapnya. Sampai di situ pemuda ini menghampirkan Dalai Lama, untuk memberikan hormatnya, setelah mana ia pun mengunjuk hormat kepada si nona. Nona itu bersenyum manis. „Engko," katanya, „mengapa kau berlaku begini sungkan terhadapku?" Halus dan merdu terdengarnya suara nona ini. Dalai Lama tak menghiraukan pembicaraan orang. „Adakah kau utusan dari raja agama Putih?" ia bertanya. „Menurut katanya lie-hoehoat, selama di Kota Iblis kau telah melakukan sesuatu yang menguntungkan Tibet." „Aku justeru hendak menyampaikan sesuatu kepada Buddha Hidup," menyahut Hoa Seng. Belum lagi Dalai Lama berkata pula, untuk menanya tegas, si nona sudah berkata kepadanya. „Inilah engko yang aku kenal selama di Tionggoan," demikian katanya. „Buddha Hidup, harus kau mempercayai perkataannya. Sudah lama aku datang ke Tibet ini, telah aku menghadap Buddha Hidup, maka itu sudah selayaknya yang sekarang aku meminta diri. Jikalau ada jodohnya, biarlah lain kali aku datang menghadap pula." Setelah mengucap begitu, si nona menjura, terus ia memutar tubuh, akan turun dari lauwteng. Dalai Lama merangkap kedua tangannya, tanda ia mengantar orang berlalu. Heran Hoa Seng menyaksikan kelakuan si nona. Ia bergirang berbareng sedih. Baru ia bertemu pula nona itu, atau segera mereka berpisah lagi. Ia menyesal yang ia tidak dapat berlompat untuk membetot bajunya nona itu, untuk menahannya, buat mengajak bicara. Ia dapat menguasai dirinya. Di situ ada Buddha Hidup dan ia pun tidak dapat berlaku kurang ajar. Maka itu ia cuma dapat mengawasi nona itu bertindak pergi, di dalam hatinya ia menyesal dan berduka sekali. „Kiesoe, silahkan duduk di kamar samedhi." Dalai Lama mengundang tetamu