y lainnya ….”? “Aku akan sangat berterima kasih kepada Ciangbudjin dan hanya akan mengurung semua Susiok dalam penjara yang sama dengan Ciangbudjin, muridmu dan Tek Ui Sinkay juga akan kupenjarakan bersamamu dan semua susiok yang lain ….. tetapi, engkau harus menunjukkan dimana Gua tempat samadhi toa supek ………. Itu saja perjanjiannya, selebihnya tidak lagi dapat kami jaminkan ……” “Bagaimana pinto tahu bahwa engkau akan membebaskan muridku dan hanya akan memenjarakan semua para sute …..? dan apa jaminanmu bahwa engkau tidak akan membunuh anak murid Hoa San Pay”? “Malam ini juga seluruh susiok akan kutaklukkan dan kemudian kuberi minum puyer penghilang tenaga sehingga mereka tak berdaya dan kelak bersama Ciangbudjin kumasukkan dalam tahanan khusus. Bagaimanapun kami masih berterima kasih kepada Ciangbudjin dan para suhu dan susiok, karena itu kami hanya akan menahan kalian semua orang tua yang tidak lagi punya semangat ……… Semua murid Hoa San Pay yang turut perintah kami, tidak akan kami apa-apakan, tetapi yang menolak, maaf, kami terpaksa membunuh mereka. Selain itu, engkau beritahukan kepadaku terlebih dahulu dimana kami dapat menemukan Toa Supek …” Begitulah keadaan Kheng Seng Thaysu yang dalam keadaan terluka dan terhina, dengan terpaksa harus menelan semua hinaan itu. Dia berharap toa suhengnya akan dapat menolong, dan dia tahu benar jika ruangan rahasia tempat toa suhengnya bertapa sangat nyelimet keadaannya. Bahkan hanya dia, Lian Cu dan toa suhengnya yang paham dengan jalan-jalan rahasia didalamnya, karena itu dia memutuskan memberitahu gua rahasia tersebut. Dan benar saja, ketika Ciok Ciam Liong mencari toa suhengnya, dia tidak bertemu siapa-siapa dalam gua itu, bahkan jalan-jalan rahasia dalam gua tersebut tak dapat diketahui oleh Ciok Ciam Liong. Karenanya, malam itu juga akhirnya Ciok Ciam Liong mengeluarkan keputusannya terhadap para susioknya dan juga Kheng Seng Thaysu ……. “Jika Ciangbudjin setuju, maka malam ini juga semua susiok dan juga suhu akan kumasukkan kedalam gua rahasia tersebut, termasuk juga sumoy Kho Sian Lian dan Tek Ui Pangcu dan Ciangbudjin akan menyusul menemani mereka setelah pengukuhanku sebagai Ciangbudjin Hoa San Pay ……” Demikianlah beberapa hari kemudian terjadi perubahan di Hoa San Pay, Ciangbudjin baru yakni Ciok Ciam Liong menggantikan Kheng Seng Thaysu. Tetapi anehnya, tidak ada satupun generasi ataupu angkatan Kheng Seng Thaysu kecuali Suma Cong Beng yang hadir dalam pelantikan Ciangbudjin baru tersebut. Dan sejak saat itu, Kheng Seng Thaysu mengundurkan diri dan tidak pernah lagi munculkan diri, begitu juga ketiga sute lainnya. Bahkan tidak ada anak murid Hoa San Pay yang tahu berada dimana mereka gerangan. Dan Hoa San Pay dalam waktu 6 bulan mengalami gejolak dan perubahan drastis, dimana tak satupun anak muridnya diijinkan turun gunung dan semua urusan keluar kini ditangani oleh Ciangbudjin Ciok Ciam Liong dan dikendalikan bersama Suma Cong Beng dan Cia Nam. Tetapi, Kho Sian Lian dan Tek Ui Sinkay tidak ikut disekap bersama Kheng Seng Thaysu dan semua adik seperguruannya kecuali Suma Cong Beng, karena mereka berdua entah bagaimana menghilang dari sekapan Ciok Ciam Liong dan begundalnya. Maka, dari mereka berdualah meski dengan info terbatas yang membuat kejadian dan peristiwa di Hoa San Pay mulai menyebar dan akhirnya mengguncang rimba persilatan Tionggoan. Tentu setelah Kho Sian Lian dan Tek Ui Sinkay mengisahkan semua yang mereka alami di gunung Hoa San. ============== “Acccccchhhhhhh, biar bagaimanapun harus segera diputuskan …….. dia, bocah itu sudah berumur 14 tahunan. Waktunya sudah tiba, lagipula semuanya sudah siap. Tapi, jika dia tersesat kelak, siapa lagikah gerangan yang mampu dan sanggup untuk dapat mengendalikannya? Padahal bakatnya demikian menonjol, kecerdasannya juga di atas rata-rata …… bukankah sama saja lohu mendidik dan kemudian menghadirkan badai yang lebih besar dan bahkan melebihi teror Pek Kut Lodjin jika memang anak ini benar-benar tersesat nantinya ……..?” Kakek yang sekujur tubuhnya mengenakan warna jubah pertapaan putih dan saat itu memang rambut dan jenggotnya juga sudah pada memutih semuanya, terlihat berkalikali menarik nafas panjang. Seperti ada persoalan besar yang sedang ditimbangtimbangnya untuk diselesaikan. Dan inilah tokoh yang dikenal orang sebagai Bu In Hwesio atau kemudian menjadi Bu In Siansu dan belakangan menjadi Bu In Sin Liong. Seorang tokoh besar yang tidak pernah ingin menonjolkan dirinya tetapi yang dianggap sebagai dewa utama rimba persilatan Tionggoan. Kebanyakan orang memang hanya menempatkannya sebagai tokoh yang sejajar dengan 5 Dewa, tetapi,
tokoh-tokoh 5 Dewa sendiri sebenarnya tidak pernah dapat bertemu dan adu kesaktian dengannya. Jika ditantang dia selalu mengelak atau menghindar dan menganggap adu kesaktian sebagai permainan anak-anak belaka. Karena sikapnya dan kemisteriusannya ini, maka dari 3 Dewa, masing-masing Bu Te Hwesio, Thian Hoat Tosu dan Lam Hay Sinni memandangnya begitu tinggi. Merekalah sebenarnya yang tahu persis sampai dimana kehebatan tokoh yang gagal jadi Ciangbudjin Siauw Lim Sie ini. Sekali dia akhirnya turun tangan, yakni ketika Thian Hoat Tosu, Lam Hay Sinni dan Bu Te Hwesio secara bersamaan mendatangi pertapaannya dan memintanya untuk ikut turun tangan membantu mengatasi kebuasan Pek Kut Bun. Meski awalnya menolak, tapi Bu In Siansu akhirnya memutuskan untuk turun gunung tetapi dia tetap saja bertindak sembunyi-sembunyi dan mendatangi Pek Kut Lodjin pada episode puncak pertempuran antara tokoh-tokoh hitam melawan para pendekar yang didukung 3 Dewa. Ketidakhadiran Pek Kut Lodjin di pertarungan dahsyat itu akhirnya yang menentukan kekalahan para penjahat. Baru belakangan para pendekar menemukan Pek Kut Lodjin yang ilmunya sudah dimusnahkan orang. Maka ketika kepadanya dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, Pek Kut Lodjin akhirnya memilih membunuh dirinya sendiri dengan menggigit putus lidahnya. Tetapi dia sempat mengutuki satu nama: Bu In Siansu. Hanya Bu Te Hwesio, Thian Hoat Tosu dan Lam Hay Sinni yang tahu apa arti nama itu ketika disebutkan, karena mereka bertiga yang mengundangnya untuk turun gunung. Ternyata, benar tokoh itu sudah turun tangan dan berhasil menundukkan Pek Kut Lodjin dengan memusnahkan kepandaian iblis mengerikan itu. Kendati, mereka sendiri sadar bahwa kepandaian Pek Kut Lodjin bukanlah main-main, masih setaraf atau seimbang dengan dengan kepandaian mereka sendiri. Kawan-kawan Pek Kut Lodjin, momok-momok yang mengerikan, ada 5,6 tokoh yang kepandaian mereka tipis saja dibawah kemampuan 3 Dewa dan sampai membuat Barisan Lo Han Tin dan Barisan Tujuh Pedang Sakti Bu Tong Pay turun tangan bersama tokoh sepuh mereka. Setaker kekuatan rimba persilata Tionggoan itulah yang turun tangan dan membuat teror Pek Kut Bun dapat dipadamkan. Tetapi, korbannya luar biasa besar dan banyak. Tokoh misterius itu yang kini sedang gelisah. Dia harus segera memutuskan sesuatu. Memutuskan apakah menyempurnakan Koay Ji si bocah aneh yang berbakat mujijat itu atau tidak. Apalagi, karena kekuatan yang mengeram dalam tubuh bocah itu semakin lama semakin tersedot habis dan berubah menjadi kekuatan dahsyat dalam tubuh anak itu selama lima tahun terakhir ini. Boleh dibilang, kekuatan Koay Ji bertumbuh berapa kali lipat dibanding manusia biasa. Karena, selain dia menyerap kekuatan luar biasa yang tumbuh dalam tubuhnya dan sekaligus memecah khasiat obat mujijat yang ditelannya, diapun juga berlatih menghimpun hawa murninya sendiri dengan tuntunan Bu In Sin Liong. Dan, hanya simhoat rahasia bernama Toa Pan Yo Hian Kang yang mujijat dapat membantu anak itu melalui semua tahapan selama 5 tahun ini yang sangat menguras tenaga mereka berdua. “Memasuki tahap terakhir Toa Pan Yo Hian Kang, berarti bahwa dalam usia yang masih sangat muda, sekitar 19 atau 20 tahun, dan anak itu sudah memiliki tingkatan setinggi kemampuanku pada 20 tahun silam …….. bukankah ini terlampau berlebihan …? Bisik Bu In Sin Liong yang nampak bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tetapi, untuk menghentikannya sekarang, juga sama tanggungnya, karena dia akan selalu terkekang antara mampu dan tidak mampu menyalurkan kekuatan dahsyatnya tersebut. Padahal, semua jalan darah fital dalam dirinya sudah ditembusi oleh hawa tersebut ……….. ach, sungguh-sungguh berabe ……” Luar biasa, ternyata seorang bocah yang dipanggil Koay Ji sudah mampu menembusi semua jalan darah fital dalam tubuhnya, sehingga belajar silat dan menghimpun tenaga baginya, adalah kerja yang mudah dan gampang. Padahal, usianya baru 14 tahunan belum melampaui angka 15 tahun. Inilah dilema Bu In Sin Liong, tokoh besar yang selama 5 tahun terakhir mendidik dan membimbing si bocah aneh yang sudah tumbuh menjadi remaja dengan tubuh yang nyaris sempurna. Tubuhnya terhitung tinggi besar dibandingkan anak seusianya dan karena penderitaan panjang selama masa kanak-kanaknya, wajahnya meski terlihat masih bocah, tetapi pikiran dan tingkahnya sudah mirip orang dewasa. Dan satu hal lagi, sampai saat itu, dia tidak ingat dan tidak tahu jati diri sesungguhnya dan bahkan juga namanya sendiri. Dia selalu menyebut dirinya Koay Ji sebagaimana dahulu Ang Sinshe sering memanggil kepadanya. Dan sampai sekarang bahkan Suhunya juga memanggilnya dengan nama itu. Pertanyaan dan debat dalam diri tokoh Bu In Sin Liong memang sudah berlangsung
setahun terkahir ini. Tetapi, setelah tak ada lagi yang dapat diajarkannya selama bulan-bulan terakhir, dia sudah mesti memutuskan, melanjutkan atau cukup. Dan hari itu, dia sudah harus memutuskannya. Tidak ada kelainan sama sekali dalam tingkah si bocah aneh. Seperti dahulu, sangat wajar, polos, jujur dan begitu menghormati kakek sakti itu. “Sayang, identitasnya sama sekali gelap …… ini membahayakan …..” desisnya dalam hati. Tetapi, desisannya itu disanggahnya sendiri: “Tapi, jika memang begitu, mengapa takdir mengantarnya datang ketempatku? Dan mengapa pula tak ada tanda-tanda kesesatan dalam tindak-tanduk dan juga cara berpikir bocah itu? Bukankah aku akan menyia-nyiakan bakat besarnya yang belum pernah kutemukan sepanjang hidupku …….”? Sampai akhirnya matahari sudah akan terbenam, pada akhirnya Bu In Sin Liong bergumam …. tanda dia telah memutuskan: “Jika memang dia tersesat, biarlah takdir yang kelak menghukumnya ……. Semoga Thian tidak murka dengan keputusanku …..” Sementara Koay Ji si bocah aneh, pada saat suhunya sedang bersamadhi, memilih untuk bermain-main di luar gua. Gua pilihan suhunya memang unik, setelah menembus perut gunung sejauh beberapa ratus meter, ujung gua akan tembus ke lembah di balik gunung-gunungan dan ada kurang lebih 200-300 meter dataran yang pepohonannya tumbuh jarang. Setelah itu, daratan akan menukik tajam membentuk jurang yang tak terukur dalamnya, tetapi di samping kiri dan kanan jurang itu, membentuk panorama alam yang terjal, terdapat pepohonan yang sangat lebat di sebelah kanan. Pepohonan itu bahkan berbaris dan tumbuh memanjang dan bahkan menukik keatas menuju puncak gunung Thian Cong San. Sementara ke sebelah kiri, lebih berupa tebing-tebing cadas yang sangat berbahaya dan teramat sulit untuk didatangi manusia. Tetapi, di daerah itulah akhir-akhir ini Koay Ji bermainmain. Pada tahun-tahun awal masa berlatihnya, satu-satunya teman bermain Koay Ji adalah seekor monyet besar peliharaan Suhunya yang juga berwarna putih. Binatang inilah yang suka mencarikan mereka berdua makanan. Monyet ini jangan dikira hanya binatang biasa, karena dia adalah monyet mustika yang memiliki kepandaian setingkat jago-jago kelas satu dan memiliki tenaga gwakang alami yang sangat tinggi. Dari tokoh monyet putih inilah Koay Ji belajar bahasa monyet dan mampu berkomunikasi secara baik dengan monyet-monyet di hutan. Tidak heran jika kemudian Koay Ji menjadi sangat paham bahasa monyet dan menjadi sahabat nyaris seluruh monyet yang mendiami dataran seluas 300 meteran itu. Bukan hanya itu, kepandaian mengobati yang dipelajari Koay Ji selama ini, justru membuatnya memperoleh keuntungan yang tidak sedikit. Di tahun ketiga masa belajarnya, kebetulan Suhunya sedang bersamadhi dan dia sedang bermain-main dengan si Monyet Putih, tiba-tiba datang belasan monyet yang dari suaranya sedang menjerit-jerit dan mengirimkan sinyal sesuatu yang tidak baik sedang terjadi. Melihat suara mereka, si monyet putih yang dituakan dan didewakan semua monyet di hutan itu menjerit dan berkata kepada Koay Ji: “Ada serangan …….” Tidak lama keduanya berkelabat mengejar monyet-monyet yang tadi datang mengabari mereka berdua. Saat itu kepandaian ginkang Koay Ji sudah lumayan tinggi dan mampu mengimbangi daya lari si monyet putih. Benar saja, tidak lama mereka tiba di tempat dimana sedang terjadi perkelahian antara beberapa monyet sedang mengerubuti seekor harimau belang yang cukup besar dan buas. Terlihat sudah ada 5 monyet yang terluka, sementara di dekat si harimau juga ada seekor monyet kecil, tepatnya bayi monyet yang ternyata sudah jatuh ditangan si harimau. Semua monyet yang berada disana bercuit-cuit dan memberi semangat kelima monyer besar yang sedang mengerubuti sang harimau, tetapi mereka selalu takut mendekati. Melihat perkelahian yang sudah makan korban masyarakatnya itu, si monyet putih dengan geram meloncat sambil berteriak keras. Teriakannya itu membuat semua monyet yang tadi mengerubuti sang harimau meloncat mundur dengan masih menahan amarah karena belum berhasil memukul kalah sang harimau. Sementara itu, tarung antara harimau besar dengan si monyet putih langsung berlangsung seru, dan kali ini sang harimau tidak dapat seenaknya seperti sebelumnya. Sekali dia menerima kibasan lengan monyet putih dan dia terlempar kesakitan. Sontak dia sadar, lawannya bukanlah ayam sayur dan mesti dilawan dengan penuh kekuatan. Sementara itu, Koay Ji sudah pula mendekati arena, bukan hanya itu, ketika pertarungan terjadi, dengan cepat dia meloncat mendekati si bayi monyet dan kemudian menggaitnya dan membawanya pergi ke tempat yang aman. Kasihan, si bayi
monyet nampak ketakutan dan sedikit terluka di kedua lengannya, namun tidak terlampau berbahaya. Dengan keahlian pengobatannya, diapun mengobati si bayi monyet, bahkan kemudian mengobati semua monyet yang terluka dalam pertempuran. Sementara si monyet putih masih terus bertarung dan selalu berada di atas angin, sudah terhitung 3 kali dia memukul sang harimau hingga terlontar kesakitan. Harimau itu bukannya takut malahan menjadi bertambah murka, tetapi juga mulai cemas karena lawannya lebih kuat dan lebih tangkas, semua pukulannya menyakitkan. Karena itu, perjuangan sang harimau jadi liar dan tidak lagi mengandalkan tarung normal tetapi berusaha sedapat mungkin menerkam si monyet putih. Tetapi, beberapa kali, kembali si harimau terlontar terkena pukulan si monyet putih sampai akhirnya dia sadar kalau monyet putih besar itu bukan lawannya. Pada akhirnya, dengan kepala sedikit pening, harimau itu akhirnya melarikan diri ….. Tepat ketika pertarungan selesai, Koay Ji juga selesai mengobati semua monyet yang terluka. Saat dia usai, dia melihat adegan yang menggelikan ketika si Monyet Putih dengan lengan terangkat mencuit-cuit dan menyatakan dirinya sebagai pemenang dan diikuti dengan cuitan kegirangan seluruh warga monyet yang jumlahnya mungkin ribuan dan memenuhi pepohonan disana. Beberapa saat kemudian, beberapa monyet besar menyadari kehadiran Koay Ji dan tahu dialah yang mengobati mereka yang terluka. Karena itu, Koay Ji kemudian juga di salami dan disoraki, dan sejak hari itu, warga monyet disana memandang Monyet Putih dan Koay Ji sebagai pemimpin besar mereka. Bahkan, luka apapun yang diderita warga monyet itu, semua akan meminta pertolongan kepada Koay Ji, dan semakin akrablah hubungan antar mahluk itu. Monyet putih juga semakin senang dan sayang dengan kehadiran Koay Ji, tak ada urusan Koay Ji yang tidak melaluinya saat itu. Sejak kejadian itu, jadilah semua buah-buahan istimewa yang dipetik para monyet, mendahulukan Monyet Putih dan Koay Ji. Jika keduanya sudah memilih, maka yang tersisa akan dibagikan kepada mereka yang dianggap berjasa. Sebagaimana hari itu, Koay Ji dan Monyet Putih menerima kedatangan 3 monye besar yang membawa serta sebutir buah berwarna merah pekat. Tetapi, seiring dengan itu, ketiga monyet itu merintih-rintih kesakitan, sepertinya sedang terluka cukup berat. Dengan segera Koay Ji memeriksa keadaan mereka dan betapa terkejutnya dia ketika menemukan kenyataan betapa mereka bertiga, monyet itu, ternyata terluka oleh serangan seekor ular beracun. Ketika ditanyai, ketiga monyet itu dengan merintih lemah menceritakan bahwa mereka memetik sebutir buah merah pekat yang ternyata dijaga seekor ular besar yang berwarna putih namun dengan kepala berwarna kehijaun. Nampaknya penjaga buah itu. Ketiganya berhasil memetik sebutir saja buah dari pohon itu tetapi ketiganya terluka oleh gigitan si ular penjaga pohon. Mendengar ceritanya, Koay Ji dengan cepat menyimpulkan dan berkata kepada si Monyet Putih, “Ular Beracun Naga Saldju Bermahkota Daun ……. dalam waktu 2 jam dari sekarang, mereka bertiga akan tewas dalam keadaan mengerikan. Obat pemunah hanya ada di liur ular tersebut, harus cepat engkau bekerja karena mengalahkan ular itu sangat berat ……. engkau tunggulah kutahan racun mereka dan kita pergi mencari ular itu guna mengalahkannya …..” Tetapi si Monyet Putih dengan cepat berkata kepadanya: “Engkau obati mereka dan menyusulku nanti …….” Tanpa menunggu persetujuan Koay Ji, monyet putih sudah berlari pergi mengikuti arah yang ditunjukkan salah satu dari ketiga monyet itu. Sementara itu, Koay Ji sendiri mau tidak mau harus mengerahkan kemampuan mengobati yang dimilikinya dan berusaha membendung racun untuk tidak cepat mengalir. Dan beberapa saat kemudian, diapun berkata kepada ketiga monyet itu …… “Nach, sudah selesai, tetapi sebaiknya kalian bertiga beristirahat disini dan biarkan aku pergi membantu Kakak Monyet Putih untuk merebut obat dari si ular itu ,,,,,,,” Tepat pada waktu itulah terdengar suara seseorang: “Tahan Koay Ji ……….. sudah terlambat, kemungkinan Kakak Monyet Putihmu juga sudah ikut terluka. Engkau menjaga mereka disini, biarlah Suhumu yang menyusul kakakmu itu ……. ular itu dengan bisa dan kecekatannya masih 10 kali lebih hebat dibandingkan Harimau yang kalian kalahkan dulu …… karena itu, berjagalah disini dan segera buatkan tungku pemanas dan siapkan air mendidih untuk kebutuhan obat. Kita harus bergegas karena khasiat liur ular itu hanya tahan selama 15 menit belaka. Jika berhasil, kita mendapatkan berkah yang tidak sedikit …..” “Baik Suhu ……” Tak lama kemudian tubuh orang tua itu entah bagaimana sudah lenyap dari
pandangan Koay Ji dan bocah ajaib itupun kemudian menyalakan api dan terus memasak air sebagaimana pesan suhunya tadi. Kurang lebih setengah jam kemudian, datanglah suhunya pulang dengan membawa 2 tubuh yang nampak tak berdaya, satu adalah tubuh Monyet Putih yang terlihat terluka cukup parah dan satunya lagi adalah bangkai ular besar yang sebesar paha Suhunya di bagian kepala dan lebih besar lagi di bagian perutnya dan panjangnya kurang lebih 3 meter. Ular itu sesungguhnya sangat indah dipandang, sekujur tubuhnya putih mulus seperti tak bersisik berbeda dengan ular-ular lainnya, sementara kepala dan mahkotanya berwarna hijau daun. Begitu Suhunya tiba, langsung bangkai ular dihempaskannya ke tanah dan kemudian meletakkan tubuh Monyet Putih ke dekat Koay Ji sambil berkata: “Dia terluka parah dan keracunan …… engkau tangani dan kuatkan tubuh bagian dalamnya sementara liur ular itu akan kutuangkan ke air mendidih itu …” Koay Ji langsung mengerjakan perintah Suhunya, dan alangkah terkejutnya ketika mengetahui lewat pemeriksaan kalau beberapa tulang iga atau rusuk, bahkan kaki dan lengan kanan Monyet Putih itu patah-patah dan membuatnya kehilangan kesadaran saking sulitnya menahan rasa sakitnya. Koay Ji jadi terharu dan ikut merasa sedih melihat keadaan Monyet Putih yang sangat mengasihinya. Bukan hanya Koay Ji, rimba yang biasanya banyak monyet bermain-main langsung terasa senyap, dan ternyata banyak monyet yang dengan tegang dan trenyuh menyaksikan Monyet Putih itu dalam keadaan tak berdaya. “Untung lohu cepat datang, dia keracunan dan karenanya kalah bertarung. Bahkan nyaris menjadi santapan ular raksasa itu. Mestinya, tanpa racun ular besar itu, kakakmu itu sebenarnya mampu bertahan dan bahkan mampu mengalahkan si ular beracun yang bertubuh sangat indah itu ………” Dalam waktu setengah jam, obat sudah selesai diseduh dan dimasak Suhunya, tetapi Koay Ji sendiri belum selesai dalam menangani dan membenahi keadaan tubuh si Monyet Putih yang memang terluka hebat. Bahkan masih berlangsung sampai hampir satu jam baru dia akan selesai menangani tubuh Monyet Putih. Dia harus meluruskan dan kemudian menyambung tulang-tulang yang patah tak beraturan, selain juga harus melokalisasi racun dalam tubuh monyet putih dan ini yang makan waktu panjang. Sesudah dia menyelesaikan pemeriksaan dan penyambungan tulang dan melihat bahwa proses penyembuhan itu berjalan baik, dia kemudian berpaling dan berkata kepada Suhunya yang sedang memandangnya takjub: “Suhu, tolong berilah para monyet-monyet itu obat anti racun, karena keadaan mereka tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi …….. setelah selesai menangani luka-luka dan menyambung tulang kakak monyet putih, tecu akan segera menengok kembali keadaan mereka bertiga …….” Di luar takjubnya dan kagumnya sang Suhu melihat kecekatan muridnya, tanpa berkata apa-apa dan membiarkan muridnya melanjutkan pekerjaannya, Bu In Sin Liong kemudian meminumkan obat anti racun seduhannya kepada monyet-monyet yang terluka. Tidak lama setelah makan obat anti racun, ketiga monyet itu mulai berhenti merintih-rintih, rasa sakit nampaknya mulai berkurang dan wajah mereka tidak lagi terlihat merana dan kesakitan. Hal itu menyenangkan hati si orang tua dan kemudian dia kembali menengok keadaan monyet peliharaannya yang sedang ditangani muridnya yang ajaib itu ……. “Satu lagi kebisaan anak itu yang luar biasa” pikir si orang tua penuh kekaguman. “Tetapi, kesetia kawananannya dan rasa ibanya kepada kaum monyet, mestinya menjadi dasar kuatnya watak anak itu” timbang-timbang Bu In Sin Liong lagi. Dan memang, keputusan membentuk dan melatih hingga tuntas Koay Ji sudah diputuskan kakek tua itu. Hampir sejam kembali berlalu baru akhirnya terdengar suara Koay Ji yang bergumam dan jelas sangat keletihan: “Acccchhhhh, akhirnya selesai juga …… Suhu ……” “Kenapa muridku …….” “Racun sudah kutahan ditempat yang aman dan luka-luka patah tulang sudah dapat tersambung lagi dengan benar. Suhu sudah bisa memberikan obat itu untuk kemudian diminumkan kepada Kakak monyet …….” Tak berapa lama, proses pengobatanpun tuntas. Tetapi, Monyet Putih, karena keadaan dan usia serta kesehatannya, membutuhkan waktu lama untuk pulih sebagaimana biasanya. Dan selama masa penyembuhan Monyet Putih itu, adalah Koay Ji yang diperlakukan dan dianggap menjadi raja dan panglima yang ditinggikan para monyet yang anehnya semakin banyak datang dan menundukkan diri kepada Monyet Putih dan juga Koay Ji. “Muridku, berikan kepada suhu buah merah pekat itu ………… kita sungguh beruntung
karena dapat memilikinya. Dapat kutuntaskan proses membuat pil mujijat sebagaimana pil yang ditelankan Bu Te Hwesio kemulutmu dan ke mulut Sam Suhengmu tempo hari itu ….. selain itu, engkau beruntung karena kulit ular mujijat ini sehalus sutra tetapi tahan atau bahkan mampu membal serta membalikkan tenaga serangan senjata tajam. Mudah-mudahan suhumu dapat membentuknya menjadi sejenis pakaian anti senjata tajam atau bahkan tahan terhadap racun-racun jahat lainnya ……..” “Tapi, apakah buah ini tak dapat dimakan Suhu …..”? “Khasiatnya hilang jika dimakan dan rasanya juga kecut dan tidak begitu enak dilidah. Suhumu akan memulai membuat pil itu hari ini, tetapi engkau pergilah dan petik lagi beberapa buah lainnya yang berwarna hijau didekat pohon buah merah. Buah pohon itu baru memiliki khasiat penolak racun jenis serangga dan ular, tetapi terhadap racun yang bukan berasal dari khewan, dia tidak berkhasiat. Engkau boleh makan sebutir dan bawakan berapa butir buah hijau yang lainnya kemari, karena buah-buahan itu akan segera kugunakan membuat jenis obat dan pil mujijat yang suhumu sebutkan tadi itu. Kita sungguh beruntung hari ini ……” “Baik Suhu ……” Berlalunya hari itu, ditandai dengan panggilan Bu In Sin Liong pada malam harinya kepada Koay Ji untuk menghadap; “Koay Ji … terhitung mulai besok, sudah saatnya engkau melatih diri dalam latihan yang lebih jauh lagi. Jika selama lima tahun pertama engkau khusus belajar melalui simhoat tenaga iweekang, itu disebabkan, berbeda dengan manusia kebanyakan, dalam tubuhmu mengeram hawa kekuatan yang semakin lama semakin membesar. Dan pertumbuhannya selama beberapa waktu terakhir sudah menemui titik normal karena khasiat pil mujijat yang engkau makan sudah berhasil membaur dengan darahmu. Karena itu, pertumbuhan kekuatan iweekangmu, kini tergantung kepada latihan menurut simhoat yang kuajarkan, selain masih bisa terus berupaya menyerap sisa kekuatan yang masih cukup besar dalam tubuhmu. Suhumu menemukan adanya keanehan yang bisa sangat membahayakan, yakni paduan hawa dalam tubuhmu dengan obat mujijat itu mampu membangkitkan daya lekat dan daya hisap kekuatan lawan yang terlampau mujijat. Semakin kuat engkau melatih iweekangmu, semakin kuat daya serap dan daya hisapnya …… nampaknya, Bu Te Hwesio sendiri tidaklah pernah menyangka jika hasil karyanya akan sehebat dan semujijat ini. Untungnya latihanmu selama 5 tahun terakhir sudah mampu memperkuat tantianmu dan sudah memadai untuk menampung kekuatan yang sangat besar itu, sekaligus juga sudah memadai untuk menampung kekuatan yang maha hebat ……. Maka, selanjutnya, sudah tiba saatnya engkau berlatih ilmu-ilmu gerakan yang mewadahi penyaluran iweekang dalam tubuhmu menjadi kekuatan menyerang, mengelak ataupun menangkis dan sekaligus mengembalikan serangan lawan. Selama beberapa tahun kedepan, engkau akan berlatih ilmu-ilmu gerak itu, dari suhumu sendiri hanya akan mewariskan beberapa ilmu belaka karena dengan kemampuan iweekangmu nanti, maka kelak, engkau tidak begitu membutuhkan senjata untuk mmebela diri ……” “Suhu ……. Benar-benarkah Koay Ji sudah lulus untuk melatih ilmu-ilmu dan jurusjurus serangan mulai besok ….”? “Benar muridku ……. engkau sudah bisa memulainya. Dengan ketekunan serta juga bakatmu, terlebih dengan kekuatan yang luar biasa dalam tubuhmu, maka tidak akan butuh waktu lama bagimu untuk menamatkan ilmu-ilmu itu. Yang perlu engkau perhatikan adalah, pengetahuan mengenai jalan darah manusia dan kemampuan untuk mengatur, mengerahkan dan menakar kekuatan iweekang yang dapat engkau salurkan melalui jurus-jurus serangan dan jurus-jurus ilmu silatmu kelak …….. jika itu sudah dapat engkau kuasai, maka tidak akan sulit engkau memahami setiap ilmu yang kelak kuajarkan kepadamu mulai besok …..” “Suhu …….” kelihatannya Koay Ji ingin mengatakan sesuatu tetapi seperti tidak jadi. Tetapi, seorang yang sangat awas semisal Bu In Sin Liong sudah tentu dapat melihat gejala yang muncul dalam diri Koay Ji “Hmmmm, muridku, katakana sajalah apa yang ingin engkau kemukakan …..” “Suhu, sesungguhnya tecu pernah membaca pelajaran mengenai jalan darah manusia dan bagaimana memanfaatkan jalan darah tersebut, terutama sangat bermanfaat untuk ilmu pertabiban. Tetapi, semakin lama, tecu semakin memahami jika sebetulnya ilmu dan pengetahuan mengenai jalan darah tersebut, juga memiliki hubungan yang erat dengan tata gerak dan ilmu gerak manusia. Karena itu, tecu pernah mencatat dan mengingat sejumlah teori mengenai mengendalikan jalan darah manusia dan juga mengendalikan manusia itu sendiri ……”
“Koay Ji, maksudmu engkau pernah belajar atau membaca dari sebuah buku …..”? kejar Bu In Sin Liong terkejut “Su Pangcu pernah meminta tecu menjadi petugas kebersihan perpustakaan suhu selama setahun lebih dan tecu pernah membaca dari sebuah kitab pusaka yang dipinjamkannya untuk tecu baca di kamar tempat tinggal Ang Sinshe ……” “Apakah engkau paham dan tahu nama kitab itu Koay ji ….”? “Kitab itu tidak ada judulnya, hanya menjelaskan bahwa penulisnya adalah Pat Bin Ling Long (Delapan Wajah Serba Cerdik), dan dalam penjelasannya karena beliau tidaklah berjodoh dengan Pou Tee Pwe Yap Sian Sinkang dari Thian Tok ataupun Toa Pan Yo Hian Kang dari Tionggoan, maka dia berlatih ilmu yang lain dan menuliskan ilmu dan cara lain yang disebutnya 5 JALAN RAHASIA, dan dia menyebut Kitab Itu dengan nama Kitab 5 Jalan Rahasia …..……..” “Hahahahahaha, dan engkau dalam usiamu yang masih snagat muda ini sudah membacanya sampai habis muridku ….”? “Benar Suhu, sudah kuhafal semua, bahkan tecu pernah mengajarkan pengetahuan jalan darah kepada Ang Sinshe sehingga ilmu tabibnya semakin maju ……” “Ada lagikah selain itu yang engkau pelajari ……”? “Suhu …… ach, ini ……. Itu ……” “Katakan sajalah, Suhumu tidak akan marah Koay Ji ……” “Suhu …… kitab itu memuat banyak ilmu, salah satunya adalah “mengolah semangat menuju kesempurnaan”, sebagai imbangan Pou Tee Pwe Yap Siankang dan Toa Pan Yo Hiankang, tetapi sayangnya bagian itu sudah dicopot orang. Karenanya, tecu tidak dapat mengingat dan mencatat bagian tersebut. Bagian kedua memuat Rahasia Jalan Darah Manusia, sedangkan Bagian ketiga mengenai Rahasia Asal Gerakan Manusia, Bagian Keempat mengenai Rahasia Ilmu Sihir dan Ilmu Hitam dan terakhir Rahasia Delapan Wajah …….. semua sudah tecu hafalkan dan bahkan bagian kedua dan ketiga sudah tecu dalami cukup lama, termasuk ilmu langkah ajaib yang entah apa namanya. Locianpwee Pat Bin Ling Long tidak memberinya nama ……” “Apa maksudmu dengan sudah mendalaminya cukup lama muridku ….”? “Bagian mengenai RAHASIA JALAN DARAH sudah tecu pelajari dengan seksama dan bahkan mempraktekkan dalam ilmu pengobatan bersama Ang Sinshe. Sementara untuk bagian ketiga, pernah tecu ajarkan kepada Khong Yan dan kemudian kami berdua pergunakan bersama Khong Yan untuk menciptakan sejenis ilmu sederhana buat anakanak setelah menyaksikan pertempuran seru antara seekor induk anak ayam melawan seekor ular yang berniat memangsa salah satu anak dari si induk ayam. Tecu bersama Khong Yan bersama-sama mengamati dan kemudian coba-coba menyusunnya menjadi gerakan ilmu silat ..……..” Mimpipun Bu In Sin Liong tidak membayangkan akan beroleh murid semujijat Koay Ji. Tokoh aneh itu sampai bergidik membayangkan jika tokoh sehebat Koay Ji ini benar sampai tersesat. Dalam hati dia takjub bukan main, tetapi dia ingin melihat lebih jauh, karena itu diapun berkata: “Cobalah engkau tunjukkan kepada Suhumu, ilmu silat hasil ciptaanmu dengan Yan ji itu muridku …” “Ach, tecu malu memperlihatkan kejelekan tecu, Suhu ……” “Tidak mengapa, Suhu hanya ingin melihat kehebatan Rahasia Gerakan Manusia yang sudah engkau pahamkan itu ,,,,,,,” “Ach, benar-benarkah Suhu ingin melihatnya ….”? Tanya Koay Ji malu-malu dalam kepolosan seorang anak kecil “Tentu saja, tetapi engkau tenang-tenang saja muridku yang baik karena Suhumu ini pasti tidak akan mencelamu ……” “Baik Suhu …… tecu akan memperlihatkannya ……” “Tidak usah menggunakan tenaga, ingat Koay Ji ……” “Baik Suhu ……” Maka bersilatlah Koay Ji dengan ilmu ciptaannya sendiri, tentu saja sudah jauh lebih matang dibandingkan 5 tahun lalu. Karena dalam perjalanan 5 tahun terakhir, hanya 4 ilmu dasar Thian Cong Pay dan Ilmu itu belaka yang diingat dan sesekali dilatihnya dengan tidak mengerahkan tenaga iweekang …….. wajar jika dia mengingat dan sudah mematrikannya dalam ingatannya …………. dan setelah 7 jurus dipamerkannya, dia berhenti dan memandang suhunya dengan pandangan harap-harap cemas. Menjadi lebih cemas karena melihat suhunya duduk termenung menyaksikannya dalam memamerkan ilmu ciptaannya dan dia sungguh tak tahu isi pikiran suhunya ….. Sampai akhirnya terdengar suhunya berkata: “Koay Ji, berapa usiamu ketika menciptakan ilmu itu …..”? “Kurang 5 tahun dari sekarang ini Suhu ………..…… apakah, apakah ilmu itu terlampau
memalukan dan banyak titik lemahnya Suhu ……”? tanya Koay Ji dengan malu-malu sambil memandang wajah gurunya Mana Koay Ji tahu jika duduk termenungnya sang suhu karena terpesona dan kaget dengan ilmu “sederhana” yang diciptakannya dimasa masih bocah itu. “Usia sembilan dan Koay Ji sudah mampu menciptakannya? Sungguh sulit dipercaya ….” Desisnya dalam hati, benar nyaris tak percaya. “Koay Ji, engkau bakalan menjadi “seorang seniman ilmu silat” pada masamu kelak, bahkan kemungkinan besar akan melebihi capaian Suhumu ini ……… dalam usia kanakkanak, usia 9 tahun engkau mampu menciptakan ilmu baru sungguh jauh diluar dugaan dan nalar banyak orang. Bahkan sejujurnya, juga berada di luar sangkaan dan dugaan suhumu ini …….” Sesungguhnya pujian Bu In Sin Liong ini bukanlah pujian kosong. Dia memang terpukau dan kaget setengah mati melihat bagaimana seorang bocah berusia 9 tahun, hanya dengan mencuri lihat dan berlatih dari sebuah kitab tak bernama, tetapi mampu mencipta sebuah ilmu. Memang benar, diciptakan setelah menyaksikan pertempuran seekor ayam dan seekor ular, tetapi tetap saja merupakan sebuah kemustahilan. Tapi, repotnya dia menyaksikan sendiri. Siapa yang dapat percaya dengan fakta itu …….? Bahkan tokoh semujijat Bu In Sin Liong sendiripun masih belum percaya dengan kenyataan itu, bagaimana orang lain kelak …..? “Ach, Suhu, tecu menjadi malu ……….. karena sesungguhnya tecu masih harus belajar banyak dari Suhu …” “Koay Ji, sesungguhnya memang fakta itu sangat mengejutkan. Tetapi, agar engkau pahami, Kitab itu memang ciptaan seorang mujijat pada 250 tahun silam, seorang tokoh silat yang sangat berbakat dan menuliskan pemahamannya atas ilmu2 yang dia temukan dan ciptakan. Dia sangat terobsesi untuk mengejar ketinggalannya dari Ilmu-Ilmu Budha, dan kelihatannya dia menemukan jalannya yang berbeda dengan ilmu-ilmu hitam. Untungnya engkau tidak berlatih simhoatnya, sebab jika demikian, maka engkau tidak akan bisa berlatih lebih jauh sebagai muridku ……. tetapi, bagian-bagian lain, tetap saja bermanfaat untuk engkau pelajari, kecuali Ilmu Sihir dan Ilmu Hitam, masih belum waktunya engkau mempelajari ilmu kebatinan yang teramat berat seperti itu. Engkau boleh mempelajarinya setelah menyelesaikan atau menamatkan pelajaran dari Suhumu ini …… ingat itu ….. sekali lagi, kularang engkau mempelajari Ilmu Sihir saat ini, karena waktumu belum tiba ……” Ketika menyebutkan larangannya, wajah dan mata Bu In Sin Liong bercahaya sangat tajam menusuk dan membuat Koay Ji tersentak dan diapun sadar jika gurunya sama sekali tidak main-main dengan kalimatnya itu ….. “tecu akan menaati pesan dan larangan Suhu ……” “Bagus jika demikian ………” Dan keduanya kemudian terdiam sejenak. Koay Ji yang sangat antusias karena akan segera belajar ilmu-ilmu baru dan Bu In Sin Liong yang masih kaget karena kejutan baru yang ditemukannya dalam diri muridnya. Setelah terdiam beberapa saat, Bu In Sin Liong kemudian berkata lagi; “Malam ini, engkau boleh segera beristirahat, karena besok Suhumu akan memulai latihan yang berbeda …… Tapi, sebelum kita memulai proses besok hari Koay Ji, Suhumu meminta satu hal untuk engkau lakukan, apakah engkau bersedia”? “Hal apa gerangan itu Suhu …..”? “Sesungguhnya memang terlambat, tetapi karena besok engkau akan segera memulai pelajaran yang baru dna berbahaya kelak, maka Suhumu memintamu untuk angkat sumpah. Bahwa, pertama, engkau dilarang mengatakan kepada siapapun siapa Suhumu, kecuali jika ornag menebak tepat siapa diriku; kedua, engkau kuharuskan bersumpah akan mempergunakan Ilmu kepandaianmu untuk kepentingan orang banyak dan bukan untuk melakukan kejahatan ………… dan jika melanggar, maka engkau rela kehilangan seluruh kepandaianmu dan dikutuk langit dan bumi …..” Bergidik Koay Ji mendengar isi sumpahnya nanti, tetapi, Koay Ji menganggap apa yang diminta Suhunya memang normal dan wajar. Karena itu dia segera bergerak dan kemudian mengangkat sumpah: “Tecu, Koay Ji, dengan disaksikan langit dan bumi bersumpah tidak akan sembarangan menyebutkan nama Suhu Bu In Sin Liong kepada siapapun, dan bersumpah akan menggunakan seluruh kepandaian Tecu untuk kebaikan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Dan jika tecu, Koay Ji melanggar, maka biarlah langit dan bumi mengutuk tecu dan seluruh keturunan tecu kelak ………” “Baik, sudah cukup Koay Ji, ingat baik-baik sumpahmu itu dan catatkan dalam hatimu serta tepatilah ketika kelak engkau berkelana ……”
“Tecu akan mengingatnya baik-baik Suhu ……” “Sekarang, engkau sudah boleh beristirahat …..” “Baik, selamat malam Suhu ……” Demikianlah keesokan harinya Bu In Sin Liong mulai melatih Koay Ji dengan ilmuilmu andalannya. Hal ini ditempuhnya karena melihat dasar-dasar ilmu silat dan gerakan silat Koay Ji dengan ditunjang iweekangnya sudah memadai melatih ilmuilmu yang lebih berat. Hebatnya dan ini sudah diduga sang Suhu, Koay Ji melahap semua dengan sangat mudah dan cepat. Dalam waktu singkat, Koay Ji mampu melahap ilmu-ilmu andalan Bu In Sin Liong, yakni Ilmu Ginkang Liap In Sut (Ginkang Mengejar Awan) sebuah ginkang super mujijat dan Ilmu Pukulan Sian In Sin Ciang (Lengan Sakti Bayangan Dewa) serta ilmu tinju Sam Im Ciang (Tiga Ilmu Pukulan Rahasia). Ilmu-ilmu tersebut adalah ciri khas Perguruan Bu In Sin Liong yang sudah digubahnya dari Ilmu-ilmu Siauw Lim Sie namun dengan kedalaman yang lebih, karena merupakan hasil pencernaan dan pendalaman Bu In Sin Liong sendiri. Tetapi, keuletan Koay Ji boleh dipuji. Atau, mungkin juga karena masa kecilnya yang keras, penuh rasa sakit dan derita, membuat anak itu benar-benar mampu mengerjakan dan melatih diri melampaui anak-anak lain seusianya. Setelah mendapat ijin berlatih ilmu silat, maka pada malam harinya, Koay Ji masih lanjut dengan melatih ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya sebelumnya. Terutama yang paling dia sukai dan difacoritkannya adalah Ilmu Langkah Thian Liong Pat Pian atau Naga langit berubah delapan kali. Selama 6 bulan dia juga mendalami ilmu langkah ini selain juga ilmu Ci Liong Ciu Hoat (Ilmu Mengekang Naga – ilmu totok) maupun Ginkang Cian Liong Seng Thian (Naga Naik ke Langit). Tetapi, ilmu-ilmu tersebut lebih didalaminya dan menjadi lebih maju karena dia mulai memahami bagaimana mengerahkan tenaga secara terukur dan juga tenaga iweekangnya sendiri sudah termasuk lihay luar biasa. Dari semuanya, adalah Ilmu Langkah Naga Langit yang paling disukainya dan boleh dibilang sudah dikuasainya secara sempura. Dan tanpa disadari Suhu dan Murid, kemajuan Koay Ji melonjak berlipat-lipat karena sekarang kemampuannya menjadi lengkap dalam menakar kekuatan tenaga dan bagaimana menggunakan tenaga dalamnya yang berlimpah …….. Sampailah suatu saat, setelah nyaris 7 tahun berlatih dengan Suhunya, seseorang datang mengunjunginya secara tidak disangka-sangka. Itulah untuk pertama kalinya Koay Ji bersama Suhunya kedatangan tamu yang belum dikenalnya. Dan tokoh yang datang sudah sama tua dan sama rentanya dengan Suhunya. Tokoh yang tahu-tahu saja sudah berdiri dibelakangnya, di ujung kanan dataran sepanjang 300 meter dengan berujung jurang. Orang tua dengan jubah pertapaan yang mirip dengan Suhunya itu tersenyum senyum memandangnya dan mengejutkan Koay Ji ketika berkata : “Omitohud ………. anak yang aneh …….. selamat siang anak yang baik. Kemana gerangan Suhumu itu …….. katakan Thian Hoat Tosu ingin menjumpainya ….” Tidak perlu lagi sebenarnya Koay Ji memanggil Suhunya, karena suara Thian Hoat Tosu, si tua renta yang mujijat itu sudah pasti terdengar hingga ke telinga Bu In Sin Liong. Tetapi, meski demikian, Thian Hoat Tosu masih nampak suka berlamalama dengan Koay Ji, apalagi karena kelihatannya sebelum memperlihatkan diri, dia sudah sempat mengamati latihan Koay Ji yang hari itu berlatih dengan hanya ditemani si Monyet Putih yang kondisinya sudah pulih kembali. Kedatangan Thian Hoat Tosu tidak membuat Monyet Putih murka, mungkin karena tahu tokoh itu sakti mandraguna dan seperti saling kenal dengan majikan tuanya. Karena itu, si Monyet Putih, seperti layaknya manusia, malah datang dan memberi hormat sambil bercuitcuit di hadapan Thian Hoat Tosu si tua renta itu. “Amitabha …….. angin apa gerangan yang membawa Thian Hoat Tosu sampai menyambangi dan mengunjungi Thian Cong San …..”? terdengar suara yang mengalun di udara namun sedap masuk ke telinga yang mendengarkannya. “Hahahaha, Bu In Sin Liong …… bagaimana ceritanya engkau menemukan seorang bocah sehebat muridmu ini ….”? “Amitabha …………. Adalah takdir yang membawa dan mempertemukan bocah itu denganku, jika dibicarakan terlampau sulit untuk diterima akal. Karena dia menjadi muridku setelah selama 4 tahun menjadi pelayan di rumah murid bungsuku dan menjadi pembantu tabib Thian Cong Pay. Tapi, begitulah takdir, jika memang berjodoh tidak akan lari kemana-mana ….” “Astaga, jika demikian, justru dia yang berlari datang untuk menemui takdirnya ….. tapi, Sin Liong, mata tuaku menangkap sejumlah getaran yang sangat luar biasa dalam diri bocah aneh itu. Dan, jika dia sudah lama berada disini, mustahil engkau tidak menyadari keadaan tersebut ……”?
“Sesungguhnya, karena urusan itulah lohu tidak pernah beristirahat selama 7 tahun terkahir ini. Terlampau banyak kemujijatan dan keanehan yang mengiringi bocah aneh itu, hal-hal yang nyaris membuatku membatalkan niat untuk menggemblengnya …..” “Syukurlah jika demikian, karena mata tuaku tidak melihat ada bibit orang jahat dan naluri licik dalam dirinya. Engkau beruntung memperoleh murid sehebat itu ……” Percakapan kedua tokoh tua yang terakhir dilakukan dalam ilmu menyampaikan suara dari jarak ratusan lie, dan tak seorangpun yang mampu menangkap percakapan mereka berdua itu. Apalagi cuma Koay Ji, dan ech, ternyata saat itu Koay Ji sudah sedang berhadapan dengan seorang nona cilik. Paling banyak nona cilik itu berusia 13 tahun, kanak-kanaknya masih sangat terasa. Dan dia sedang berhadapan dan entah membahas apa dengan Koay Ji yang tentunya bertindak sebagai tuan rumah …. (Bersambung)