this file is downloaded from www.aphi-net.com
MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 700/Kpts-II/99
TENTANG
PENETAPAN KEMBALI BESARNYA IURAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN (IHPH) UNTUK SELURUH INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a.
b. c.
d.
Mengingat
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 kepada setiap Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Alam maupun Hutan Tanaman diwajibkan membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH); bahwa jenis penerimaan IHPH tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 dikategorikan sebagai penerimaan negara; bahwa penerimaan negara dimaksud pada amar b di atas telah ditetapkan perimbangannya dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 untuk Pemerintah Pusat sebesar 20 persen dan Pemerintah Daerah sebesar 80 persen; bahwa sambil menunggu ketetapan lebih lanjut yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dipandang perlu menetapkan rincian perimbangan penerimaan IHPH; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967; Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999; Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997; Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998; Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999; Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 jo. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1990; Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998; Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 138/Kpts-II/99 Jo. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 245/KptsII/99;
this file is downloaded from www.aphi-net.com
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN TENTANG PENETAPAN KEMBALI BESARNYA IURAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN (IHPH) UNTUK SELURUH INDONESIA.
Pasal 1 Setiap Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman wajib membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH).
Pasal 2 Besarnya Iuran Hak Pengusahaan Hutan Alam (IHPH) untuk tiap hektar selama jangka waktu masa Hak Pengusahaan Hutan 20 (dua puluh) tahun, ditetapkan :
a.
HPH baru dan areal tambahan (perluasan) 1) Untuk Wilayah Sumatera dan Sulawesi sebesar Rp. 37.500,- (Tiga Puluh Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah); 2) Untuk Wilayah Kalimantan dan Maluku sebesar Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu Rupiah); 3) Untuk Wilayah Irian Jaya, NTB dan NTT sebesar Rp. 20.000,- (Dua Puluh Ribu Rupiah);
b.
HPH perpanjangan dan eks areal HPH yang pernah dieksploitasi 1) Untuk Wilayah Sumatera dan Sulawesi sebesar Rp. 22.500,- (Dua Puluh Dua Ribu Lima Ratus Rupiah); 2) Untuk Wilayah Kalimantan dan Maluku sebesar Rp. 30.000 (Tiga Puluh Ribu Rupiah); 3) Untuk Wilayah Irian Jaya, NTB dan NTT sebesar Rp. 15.000,- (Lima Belas Ribu Rupiah);
this file is downloaded from www.aphi-net.com
Pasal 3 Besarnya Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) Tanaman Industri dengan sistim Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) untuk tiap hektar untuk jangka waktu selama masa HPHTI yang bersangkutan, ditetapkan :
a. b. c.
Areal baru sebesar Rp. 2.600,- (Dua Ribu Enam Ratus Rupiah); Areal tambahan (perluasan) sebesar Rp. 2.600,- (Dua Ribu Enam Ratus Rupiah); Areal Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) untuk setiap 35 Tahun setiap hektar sebesar :
1) 2) 3)
Untuk Wilayah Sumatera dan Sulawesi Rp. 22.500,- (Dua Puluh Dua Ribu Lima Ratus Rupiah); Untuk Wilayah Kalimantan dan Maluku Rp. 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah); Untuk Wilayah Irian Jaya, NTB dan NTT Rp. 15.000,- (Lima Belas Ribu Rupiah);
Pasal 4 Besarnya Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) Bambu untuk tiap hektar selama masa HPH yang bersangkutan, ditetapkan sebesar Rp. 2.600,- (Dua Ribu Enam Ratus Rupiah).
Pasal 5 Besarnya Iuran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman Rotan untuk tiap hektar selama masa HPH yang bersangkutan, ditetapkan sebesar Rp. 2.600,- (Dua Ribu Enam Ratus Rupiah).
Pasal 6 a.
b.
Tarif IHPH sebagaimana tersebut pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 berlaku terhadap satuan unit pengusahaan hutan dengan Iuas hingga 100.000 (seratus ribu) hektar, dan dikategorikan sebagai tarif standar. Terhadap HPH dengan luas Iebih dari 100.000 (seratus ribu) hektar kelebihan areal dikenakan IHPH dengan pengaturan sebagai berikut :
1) Kelebihan 0 (nol) hektar hingga 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar pertama dikenakan IHPH dengan tarif sebesar 125 (seratus dua puluh lima) persen tarif standar;
this file is downloaded from www.aphi-net.com
2) Kelebihan 0 (nol) hektar hingga 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar kedua dikenakan IHPH dengan tarif sebesar 150 (seratus lima puluh) persen tarif standar; 3) Kelebihan 0 (nol) hektar hingga 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar ketiga dikenakan IHPH dengan tarif sebesar 175 (seratus tujuh puluh lima) persen tarif standar; 4) Kelebihan luas selanjutnya dikenakan IHPH dengan tarif sebesar 200 (dua ratus) persen tarif standar.
Pasal 7 Penyetoran IHPH sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dilakukan pada Bank Indonesia Cabang Thamrin untuk untung rekening Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Pasal 8 (1) Perimbangan IHPH ditetapkan sebagai berikut : a. 80 % (delapan puluh persen) diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi yang bersangkutan; b. 20 % (dua puluh persen) diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Bagian yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi dipergunakan : a. 16 % (enam belas persen) untuk pembiayaan pembangunan Kehutanan dan Perkebunan Daerah/Propinsi yang bersangkutan; b. 32 % (tiga puluh dua persen) untuk pembiayaan pembangunan Kabupaten/Kota penghasil. c. 32 % (tiga puluh dua persen) untuk pembiayaan pembangunan Kabupaten/Kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.
(3) Bagian yang diserahkan kepada Pemerintah Pusat dipergunakan : a. 10 % (sepuluh persen) untuk pembiayaan program penghijauan nasional di seluruh tanah air; b. 10 % (sepuluh persen) untuk pembiayaan intensifikasi pengelolaan, perencanaan, pengawasan, dan inventarisasi di bidang kehutanan dan perkebunan.
this file is downloaded from www.aphi-net.com
Pasal 9 Bagi perusahaan yang telah mendapat perpanjangan sementara dan telah diterbitkan SPP IHPH sementara serta IHPH terhutang telah dilunasi sebelum diberlakukannya keputusan ini, IHPH ditagih untuk jangka waktu pengusahaan dikurangi masa perpanjangan sementara yang telah dilunasi IHPH dengan ketentuan masa perpanjangan HPH dihitung sejak berakhirnya HPH yang bersangkutan.
Pasal 10 Bagi perusahaan pemegang HPH perpanjangan yang telah melunasi IHPH perpanjangan yang terhutang dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran IHPH, maka kelebihan pembayaran IHPH tersebut dapat ditarik kembali oleh perusahaan yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Pasal 11 Tata cara penagihan dan pembayaran IHPH diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi.
Pasal 12 Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan ini maka : a. b. c.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/1991 tanggal 10 April 1991 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 345/Kpts-II/996 tanggal 5 Juli 1996; Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 935/Kpts-II/92 tanggal 25 September 1992; Kehutanan Menteri Kehutanan Nomor 94/Kpts-IV/1993 tanggal 17 Februari 1993; dinyatakan tidak berlaku lagi.
this file is downloaded from www.aphi-net.com
Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : J A K A R T A pada tanggal :14 September 1999 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI
MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,
ttd. YB. WIDODO SUTOYO, SH.MM.MBA. NIP. 080023934.
Dr.Ir. MUSLIMIN NASUTION
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. : 1. Sdr. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 2. Sdr. Menteri Dalam Negeri; 3. Sdr. Menteri Keuangan; 4. Sdr. Gubernur Bank Indonesia; 5. Sdr. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan; 6. Sdr. Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan; 7. Sdr. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, di Yogyakarta; 8. Sdr. Direktur Jenderal/Kepala Badan Lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan; 9. Sdr. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di Seluruh Indonesia; 10. Sdr. Direksi Bank Dagang Negara di Jakarta; 11. Sdr. Direksi Bank Bumi Daya di Jakarta; 12. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi di Seluruh Indonesia; 13. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Dati I di Seluruh Indonesia.