[97] UU Hamidy, Budayawan Melayu: Melayu Butuh Solusi Namun Bukan Demokrasi Sunday, 03 February 2013 13:58
“Kalau topeng demokrasi dapat kita runtuhkan maka besok khilafah dapat ditegakkan serta jangan lagi kita robah jalan hidup kita, ihdinash shiraathal mustaqiim.”
Di kalangan peminat budaya dan sastra Melayu, tentu nama UU Hamidy sudah tidak asing lagi. Dengan piawai dan mengena, ia memberi nilai dan rasa terhadap simbol-simbol budaya. Serta yang tak kalah pentingnya, ia selalu berupaya meluruskan budaya yang tidak sesuai pada tempatnya.
Misalnya menjelaskan kepada masyarakat, bahwa Riau menjadi ladang perburuhan untuk kepentingan hawa nafsu oleh segelintir orang, lautnya dirusak, hutannya habis dikuasai perusahaan-perusahaan sehingga masyarakat tradisional banyak yang gigit jari di negeri mereka sendiri.
Tentu saja kritik itu ia sampaikan dengan bait-bait syair, seperti yang ditulisnya dalam buku Ja gad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau (2006), yang salah satu penggalannya berbunyi: adat hidup orang beriman / tahu menjaga laut dan hutan / tahu menjaga kayu dan kayan / tahu menjaga binatang hutan // tebasnya tidak menghabiskan / tebangnya tidak memusnahkan / bakarnya tidak membinasakan //
1/5
[97] UU Hamidy, Budayawan Melayu: Melayu Butuh Solusi Namun Bukan Demokrasi Sunday, 03 February 2013 13:58
Kritiknya pun ditegaskan kembali dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam acara Temu Tokoh Umat Riau yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Riau. “Dalam sistem kapitalisme sekuler rakyat Melayu jadi kuli, dengan syariah dan khilafah kita akan kembali jaya,” ujarnya di hadapan sekitar seribu peserta yang hadir, Ahad (10/6/2012) di Pekanbaru.
Dapat Penghargaan
UU Hamidy lahir di Rantau Kuantan, Riau, 17 Nopember 1943. Ia memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dalam Bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Padang pada tahun 1970. Sejak tahun 1971, ia bekerja sebagai tenaga edukatif pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan, Universitas Riau, Pekanbaru, dan memasuki masa pensiun dari masa tugasnya sebagai dosen pada tanggal 1 Desember 2008.
Pada tahun 1978-1979, UU Hamidy memperdalam studi tentang Kebudayaan Melayu pada Jabatan Pengajian Melayu Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Tesisnya yang berjudul Randai Dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Riau (1980) menyandangkan gelar Master of Arts kepadanya.
Tulisannya banyak tersebar di berbagai media di dalam dan luar negeri. Lebih kurang 57 judul buku yang pernah ia publikasikan, sejak buku pertamanya yang berjudul Bahasa Melayu Riau ( 1973). Saat ini ada tujuh buku lagi yang akan diterbitkan. Sebagian besar karya UU Hamidy bertemakan tentang kajian kebudayaan Melayu, kesusastraan, dan pengembangan budaya Melayu yang bermartabat. Hingga pada 2007 ia mendapat Anugerah Sagang Kategori Budayawan dan Seniman Pilihan .
2/5
[97] UU Hamidy, Budayawan Melayu: Melayu Butuh Solusi Namun Bukan Demokrasi Sunday, 03 February 2013 13:58
Anugerah Sagang merupakan penghargaan/award dunia Melayu yang diberikan kepada sosok atau tokoh yang berdedikasi pada kehidupan kesenian, karya yang dinilai unggul, berkualitas dan monumental, serta pemikiran yang mampu menggerakan budaya Melayu pada ranah tertentu.
Mengenal HT
UU Hamidy mengaku mengenal Hizbut Tahrir pada 2008, setelah dirinya dikunjungi dua orang aktivis HTI Riau yaitu Yadi Isman dan Edi Manik. Sejak itu, ia langsung merasa klop. Karena selama ini dirinya berpikir bahwa penjajahan dan pemerasan yang dialami masyarakat Melayu butuh solusi, namun tidak mungkin dengan demokrasi.
“Sejak mengenal HT saya klop dengan solusinya yaitu syariah dan khilafah, sehingga semakin leluasa untuk menuliskan ke media-media kebobrokan-kebobrokan demokrasi sekuler,” ungkapnya kepada Media Umat.
Karena dirinya sudah lama merasakan kegelisahan akibat tingkah laku orang-orang yang menerapkan demokrasi, itu semua ia jabarkan dalam tulisan-tulisan pada masa Orde Baru. Sejak awal ia memang melihat umat Islam tidak memahami Islam itu secara kaffah, karena mereka meninggalkan ajaran Islam dalam hidup bernegara.
Begitu muncul HT yang sangat membela Islam secara sungguh-sungguh sehingga sangat membantunya memberikan solusi pencerahan kepada masyarakat. Ia pun mengaku sangat terkesan kepada HT karena konsistensinya membela Islam dan secara kritis membela masyarakat dari kezaliman penguasa. Sehingga ia pun lebih bersemangat lagi menghantam demokrasi. “Setelah mengenal HT, saya lebih keras menghantam demokrasi,” akunya.
Sejak itu pula ia sering menulis tentang kepalsuan HAM, demokrasi dan kapitalisme. Salah
3/5
[97] UU Hamidy, Budayawan Melayu: Melayu Butuh Solusi Namun Bukan Demokrasi Sunday, 03 February 2013 13:58
satunya seperti yang ia tulis pada kolom Budaya di Riau Pos (17 Februari 2012) dengan judul Amuk Massa, Tingkat Emosi dan Demokrasi . Berikut penggalannya.
Amuk massa dapat dipahami dengan mudah melalui sistem demokrasi kapitalis yang telah melahirkan peta pertarungan hidup, tiga lawan satu. Tiga yang pertama ialah penguasa, pemilik modal dan pemegang senjata (alat negara). Sedang pihak yang satu yaitu rakyat. Tiga pertama dalam demokrasi kapitalis membuat semacam hubungan yang saling menguntungkan. Penguasa memberi kemudahan pada sang kapitalis untuk mengolah berbagai sumber alam, sedang pemegang senjata memberi perlindungan pada pengusaha. Pengusaha memberi imbalan materi pada keduanya.
Ketegangan timbul antara tiga pihak ini dengan rakyat ketika memperebutkan sumber-sumber kehidupan. Sumber kehidupan yang paling utama lagi mahal adalah hutan tanah, karena inilah yang tak dapat dibuat oleh sang kapitalis. Hutan tanah yang berpijak pada tanah ulayat membuat masyarakat memandang, merekalah yang paling berhak memanfaatkan hutan tanah di negeri mereka. Tapi demokrasi kapitalis membuat rakyat jadi heran, mengapa hutan tanah mereka dengan mudah dikuasai oleh pemilik modal. Maka muncullah konflik antara pihak pengusaha dengan rakyat tempatan. Dalam konflik ini rakyat melihat, penguasa berada di pihak pengusaha sedang pemegang senjata juga ternyata membela sang kapitalis.
UU Hamidy pun mengaku hampir tidak ada hambatan apa-apa dalam menyampaikan kebenaran ajaran Alquran dan hadist. “Saat ini terbuka peluang untuk menyadarkan mahasiswa-mahasiswa yang saya ajar, bahwa ilmu-ilmu budaya yang saya ajarkan sesungguhnya tidak ada apa-apanya, ilmu yang sebenar-benarnya adalah ada dalam Alquran dan hadist, sehingga saya sering memperbanyak halaman-halaman al-Wai’e dan Media Umat untuk dibagi-bagikan ke mahasiswa yang saya ajar,” bebernya.
Ia pun mengapresiasi berbagai acara yang digelar HTI Riau seperti Konferensi Rajab 1432 H, Konferensi Tokoh Umat dan Liqo Syawal. “Saya sangat mengaperesiasi setiap kegiatan HT, semoga makin banyak yang sadar dan berjuang untuk mengganti demokrasi dengan sistem Khilafah Rasyidah,” harapnya.
4/5
[97] UU Hamidy, Budayawan Melayu: Melayu Butuh Solusi Namun Bukan Demokrasi Sunday, 03 February 2013 13:58
Dalam Liqa Syawwal 1433 H, Ahad (9/9/2012) di Masjid Al Munawwarah kampus Universitas Riau, ia pun berpesan. “Kalau topeng demokrasi dapat kita runtuhkan maka besok khilafah dapat ditegakkan serta jangan lagi kita robah jalan hidup kita, ihdinash shiraathal mustaqiim,” pungkasnya.[] apri siswanto/joy
5/5