Dilema Ekonomi Melayu: Dari Melayu Kopidaun hingga Kapitalisme Global Mestika Zed
Abstrak: This paper analyzes the identity of the Malay World in the context of the dilemma crisis in the Malay economic dimension, by taking cases study in West Sumatra in the Dutch colonial era as one of the Malay World locus. By using a historical approach, the authors show that the Malay World has perspective and internal wealth rersources that can compete in the global kepitalism era. Keywords: Dunia Melayu, Kopi Daun, kapitalisme global
I. Pengantar Dewasa ini sungguh tidak mudah berbicara tentang “Dunia Melayu” (the Malay World). Bukan saja karena Dunia Melayu sekarang ini sudah mengalami rentetan perubahan mendasar sedemikian jauh dan berbeda-beda, setidak-nya, sejak satu abad terakhir, melainkan juga karena dalam diskusi-diskusi tentang Dunia Melayu sejak beberapa tahun terakhir ini, para pakar mengalami kesulitan untuk merumuskan ta’rif yang bulat tentang apa yang dimaksud dengan Dunia Melayu dan identitas tamaddun Melayu dewasa ini. Paling tidak inilah yang muncul ke permukaan dalam serangkaian diskusi tentang “kondisi objektif kebudayaan Melayu hari ini dan esok” di Padang beberapa waktu yang lalu.1 Bagaimanapun variasi pemahaman (insight) tentang Dunia Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
209
Mestika Zed
Melayu dan identitas Melayu dewasa ini menjadi kurang penting bilamana dibandingkan dengan semangat kebangkitan kesadaran Melayu (Malay consciousness) akhir-akhir ini. Kebangkitan kesadaran ini tentu berkaitan dengan banyak faktor. Paling menonjol di antara nya ialah adanya kerisauan karena timbulnya perasaan tertekan atau merasa dikepinggirkan oleh kekuatan yang lebih besar, tapi sering kali abstrak—entah itu namanya “globalisasi” (dalam tanda petik) dan “birokrasi negara” atau “pembangunan”. Biasanya, ketika suatu kelompok mengalami krisis dan merasa tergusur atau terancam, baik secara kultural, maupun pisik, adakalanya mereka menemukan jalan buntu untuk beberapa lama. Dalam keadaan seperti itu, mereka tak tahu persis hendak ke mana atau bagaimana jalan keluarnya. Jika demikian halnya, maka yang terjadi berikutnya ialah upaya merumuskan kembali identitas lama dengan mengadopsinya dengan yang baru. Proses seleksi ini terjadi dalam pergumulan, penyesuaian atau pertarungan dalam wacana hegemoni kekuasaan, ekonomi dan budaya. Kebangkitan kesadaran Melayu akhir-akhir ini tampaknya berkaitan erat dengan krisis semacam itu. Suatu krisis kompleks dan multidimensional, yang menyentuh hampir setiap aspek kehidupan orang Melayu dewasa ini, termasuk di antaranya ekonomi, pendidik an, kualitas lingkungan, hubungan sosial, politik, dampak teknologi dan sebagainya. Risalah ini akan membatasi pembahasannya pada krisis dilema tis dalam dimensi ekonomi Malayu, dengan mengambil contoh dari kasus Sumatera Barat sebagai salah satu locus Dunia Melayu, dalam hal ini Melayu-Minangkabau. Dengan mengambil contoh kasus 1 Sekedar contoh, misalnya, Malaysia hari ini cenderung memahami Melayu sebagai “bangsa” (nation) dan bukan sekedar etnik. Sementara di Indonesia, khususnya di Sumetera, suatu daerah mengklaim daerahnya “asli” etnik Melayu atau lebih Melayu ketimbang yang lain dan bahkan adakalanya mencap yang lain “bukan Melayu”. Isu ini muncul dalam diskusi Panel Praseminar Internasional tentang “Telaah Kritis tentang Kondisi Objektif Kebudayaan Melayu Hari ini dan Esok”, Padang, 27 Januari 2002; Seminar Internasional tentang “Menelusuri Hubungan Melayu Minangkabau melalui Sastra, Budaya dan Bahasa”, Padang, 24-25 Maret 2002. 2 Samuel Popkin, The Rational Peasants. The Political Economy of Rural
210
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
mikro Sumatera Barat, risalah ini diharapkan bisa menarik sejumlah generalisasi terbatas, yang pada dasarnya juga terjadi di lain tempat di Dunia Melayu pada umumnya. Izinkanlah saya mulai dengan sebuah “anekdot” sejarah “Melayu Kopi Daun” dalam upaya untuk menunjukkan dilema ekonomi petani Minangkabau di masa lalu dan tanpaknya juga masih berlaku sekarang.
II. Dilema “Melayu Kopi Daun” Ungkapan “Melayu Kopi Daun” berasal dari pengalaman sejarah ekonomi Minangkabau abad ke-19. Sewaktu Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) kopi di Sumatera Barat sejak perte ngahan abad ke-19, orang Minangkabau diperintahkan untuk mena nam sejumlah bibit tanaman kopi di atas tanah yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil panen kopi nantinya harus disetor ke gudang kopi (pakhuis) pemerintah. Mulanya tak ada masalah. Soalnya lidah orang Minang, lain dari lidahnya orang Belanda. Bagi orang Minang, yang sudah mengenal tanaman kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, daun kopi lebih penting daripada buahnya. Daun kopi dikonsumsi untuk minum “kawa” (Arab, qahwa), yakni semacam minuman teh dari daun kopi, dengan cangkir dari batok kelapa (tempurung) yang dituangkan dari tempat penyimpannnya berupa “perian bambu” dengan tutupnya dari bahan “ijuk”. Sebaliknya bagi Belanda buah kopi justru jauh lebih berharga. Bukan saja untuk dikonsumsi sendiri, tetapi sebagai komoditas yang laku di pasar dunia. Ketika komoditi semakin naik harganya, orang Minang kemudian malah bersedia menanam bibit kopi lebih banyak daripada yang ditetapkan Belanda. Tetapi hasilnya tak lagi sepenuh nya diserahkan ke gudang kopi Belanda, melainkan dijual sendiri ke pantai timur sampai ke Singapura dan Malaka, yang berada di luar kontrol Belanda. Salah satu penyebab gagalnya kebijakan cultuurstelsel di Sumatera Barat adalah karena penyimpangan ini, sehingga terpaksa dihapuskan pada tahun 1908. Mereka yang pernah hidup di zaman penjajahan dulu pastilah masih ingat bagaimana Belanda, kalau sudah kesal, gampang melon Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
211
Mestika Zed
tarkan ucapan: God verdomd zeg.... Melayu kopi-daun! Kalau diterjemah kan carut Belanda pasaran itu bunyinya kira-kira begini: “Sialan... lho, dasar Melayu kopi daun!” Dasar “Melayu kopi daun”, tahunya hanya daun kopi, sedang buahnya disia-siakan. Tetapi buah kopi toh akhirnya disantapnya juga. Oleh orang Minang ungkapan itu dianggap sebagai penghinaan karena mereka dicap ‘bodoh’, “galir” dan ‘suka melanggar aturan’. Bagaimanapun, pameo itu pada gilirannya bukan lagi sekedar soal selera. Juga bukan hanya melulu mengacu pada praktik cultuur stelsel kopi. Dalam arti tertentu ungkapan itu merupakan refelkesi bagaimana orang Minang menanggapi kekuatan besar (kolonialisme Belanda), yang tak mampu mereka lawan secara vis-a-vis. Yang terjadi kemudian, ialah “penghindaran” (avoindance) atau bersikap bungkam atau bermacam bentuk ekspresi prilaku seperti diunjukkan oleh James C. Scott, dalam bukunya Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (1985). Setiap masyarakat biasanya memiliki konsep-konsep tertentu dalam menjawab persoalan zamannya sesuai dengan referensi-refe rensi sosio-kultural setempat. Hasilnya, boleh jadi, tak selalu sejalan dengan kemauan mereka. Dalam konteks sejarah Minangkabau abad ke-19, petani Minangkabau relatif berhasil menyiasati tekanan kekuasaan politik ekonomi Belanda. Gambaran yang membesar-besarkan streotipe petani sebagai “pemalas”, “dungu” atau “bodoh”, “tak rasional”, “pendek pikir” atau apa yang disebut Eric R. Wolf sebagai “tukang cocok tanam yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok penguasa yang dominan” sesungguhnya menyesatkan. Petani Minangkabau, seperti juga kebanyak petani di tempat lain, sesungguhnya cukup rasional.2 Mereka bukan tidak tahu dengan resiko pasar dan pilihan-pilihan terbaik dalam setiap pengambilan keputusan dalam usaha mereka dan bisa terbuka menerima ide baru. Hanya karana tekanan-tekanan dari struktur kekuasaan dan pasar kapitalislah yang menyebabkan curiga dan yang membuat nasib mereka senantiasa Society in Vietnam (Berkeley: Univ. of California Press, 1979). 3 Data lengkap tentang gejala ini telah diungkapkan oleh Elizabeth 212
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
kurang mujur. Mereka miskin bukan karena miskin, tetapi dimiskin oleh hegemoni kekuatan yang tak mampu mereka lawan. Masih untung, jika nasib petani Minangkabau di masa lalu relatif mampu keluar dari perangkap sistem tanam paksa, tidak seperti yang dialami oleh saudar-saudara mereka di Jawa misalnya. Hal ini antara lain berkat didukung oleh bakat “menggalas” orang Minang, di samping budaya “merantau” yang berorientasi outward looking itu. Lagi pula, konsep petani Minangkabau agaknya memang merupakan suatu jenis yang khas dari tipe rational peasant (petani rasional) seperti yang diidentikasi oleh Popkin. Khas karena petani Minangkabau pada dasarnya adalah individu-individu yang sebelah kakinya berada dalam sawah-ladang dan yang sebelah lagi dalam pasa. Maka definisi konvensional tentang petani sebagai “tukang cocok tanam yang senantiasa terbenam untuk mencukupi kebutuhan sendiri (self-sufficiency), karena alasan mentaliteit mereka yang statik tak mau berkembang, seperti dikatakan Boeke, kurang mengena bagi mereka ini. Sistem tanam kopi tidak hanya mendatangkan keuntungan ekonomi bagi orang Miangkabau, melainkan juga diinvestasikan untuk pendidikan dan naik haji ke Mekkah. Pada akhir abad ke-19 dan terlebih lagi sejak awal abad ke-20, generasi muda yang pulang dari di Timur Tengah mendirikan madrasah dan sejak itu Sumatera Barat menjadi pusat pembaharuan Islam paling terkemuka di Indonesia. Dari jalur pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda sejak pertengahan abad ke-19 melahirkan elit baru Minangkabau modern yang sejak awal abad ke-20 tampil sebagai pemimpin terkemuka bangsa.3 Meskipun demikian, dilema “Melayu Kopidaun” bukan tidak menyisakan ironisme sejarah pada masanya dan pada masa yang lebih kemudian. Komoditi kopi di satu pihak membuat orang Minang berkanalan dengan komersialisasi tanaman pertanian, tetapi di Graves dalam bukunya The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Indonesia Project, Cornell University, 1979). 4 B. J. O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies (Den Haag dan Bandung: Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
213
Mestika Zed
lain pihak makin terikat erat-erat dengan mentaliteit “materialistik”, pengejar keuntungan ekonomi maksimal dalam pelbagai dunia usaha. Lebih dari itu, komersialisasi pertanian juga menimbul kerawanan konflik keluarga, rusaknya hubungan-hubungan keluarga yang lama, umumnya karena sengketa tanah pusaka. Studi Schrieke4 dengan jelas menunjukkan kecenderungan ini dan yang juga menjadi salah satu penyebab makin meningkatnya arus merantau. Reaksi-reaksi lokal terhadap kebijakan pemerintah tidak selamanya menghasilkan buah seperti yang mereka harapkan. Contoh penting dalam hubungan ini ialah berkenaan dengan Gerakan Dewan Banteng yang bermuara pada meletusnya pemberontakan PRRI 19581961. Asal mula dari gerakan itu amat mirip dengan kejadian-kejadian sebelum Reformasi Mei 1998 belakangan ini. Protes daerah atas kekuasaan yang sangat sentralistik, pengurasan sumber kekayaan lokal dan gejala korupsi serta kesewenang-wenangan mesin politik orde yang berkuasa. Pada gilirannya kekuasaan otoriter rejim Orde Baru Soeharto, yang represif menyediakan “bom waktu” bagi munculnya gerakan reformasi. Gerakan semacam pula yang terjadi zaman PRRI. Diprakarsai oleh pemimpin lokal di Sumatera Barat lewat Gerakan Dewan Banteng di bawah Ahmad Husein, Sumatera Barat melakukan protes ke pusat. Merasa diperlakukan tidak adil dengan tindakantindakan otoriter rejim Soekarno, sementara orang Minang merasa mereka turut berjasa dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan Belanda, maka terjadilah pemberontakan yang menimbulkan malapetaka yang menyengsarakan itu. Dewasa ini, walaupun petani masih merupakan bagian terbesar dari masyarakat Minangkabau, tempat mereka dalam sejarah kon temporer hari ini masih dipandang sebelah mata. Memang, program ‘pembangunan’ pemerintah selama Orde Baru memberikan cukup perhatian terhadap pertanian. Namun kalau dicermati secara lebih kritis, apa yang dilakukan Orde Baru selama ini sebetulnya ialah kebijaksanaan petanian dalam arti luas dan bukan pembangunan untuk Van Hoeve, 1955), 90-114. 5 Lihat misalnya, ekspose laporan data hasil penelitian yang ditulis oleh 214
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
petani. Keduanya berbeda, baik konsep maupun hasilnya. Yang pertama berangkat dari kemauan politik (mobilisasi) Jakarta dan hasilnya lebih dititikberatkan pada perolehan devisa negara dan/ atau keuntungan bagi para pemilik modal, sedang yang kedua adalah dari dan untuk kepentingan petani itu sendiri. Yang terjadi bukannya partisipsi, melainkan justeru intervensi negara yang berlebihan ke lingkungan petani, baik berupa perangkat kebijakan (politik), maupun modal dan teknologi dari luar, sehingga kebanyakan pengamat percaya, bahwa kebijakan pertanian sejak masa kolonial sampai masa Orde Baru pada dasarnya tidak mengalami perubahan substansial.5 Dapat dilihat, melalui program pembangunan pertanian, khu susnya apa disebut “revolusi hijau” sejak awal 1970-an, pemerintah Indonesia berupaya mempromosikan penggunaan bibit unggul secara luas, termasuk pengguna-an pupuk buatan, racun tanaman (pestisida dan insektisida) dan kredit untuk petani. Sejak itu mulailah “revolusi hijau” yang dipropgandakan secara gencar kepada petani, tetapi belakangan hasilnya dipertanyakan kembali.6 Selama tiga dekade kemudian, “revolusi hijau” menyisakan debat kontoversial karena dinilai gagal mengangkat tingkat pendapatan petani. Hasil pembangunan ekonomi Orde Baru dengan tepat dilukiskan oleh seorang pengamat dalam kata-katanya sendiri ¾ sebagai “sejarah tanpa perubahan”.7
III. Ekonomi Kapitaslisme Global Sawidji Widoatmodjo, “Kebijaksanaan Pertanian untuk Petani”, Kompas, 3 November 1992. Lihat juga Francis Wahono, “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, Prisma, XXIII, No. 3 (Maret 1994), hal.3-22. 6 Istilah “revolusi hijau” (the green revolution) pertama kali diusulkan oleh William S. Gaud, staf USAID pada tahun 1968 untuk menyambut keberhasilan pemuliaan bibit varietas unggul gandum dan padi, yang nantinya digunakan sebagai senjata untuk melawan “revolusi merah”, yaitu bahaya komunis internasional. Di Indonesia “revolusi hijau” telah dirintis oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mengadopsi teknologi bibit-unggul padi dari IRRI (International Rice Research Institute) Pilipina tahun 1966. Dua tahun kemudian rejim Orde Baru memanfaatkannya dengan mencanangkan program Bimas (Bimbingan Massal). Tentang ini lihat, misalnya, Gordon R. Conway and Edward B. Barbier, After the Green Revolution (London: Earthscan Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
215
Mestika Zed
Dewasa ini terdapat lebih seratus blok ekonomi regional yang didirikan untuk tujuan-tujuan “kerja-sama” ekonomi antar-negara di dunia. Blok-blok ekonomi tersebut pada dasarnya merupakan bentuk proteksionisme. Salah satu pendorong utama gerakan blok ekonomi ini ialah perkembangan industri dan perdagangan internasional di negara-negara maju setelah Perang Dunia II dan semakin menjamur sejak 1980-an. Blok-blok ekonomi ini pada gilirannya mendorong terciptanya persaingan pasar yang benar-benar global—yakni suatu sistem yang di aatas kerta disebut saling-tergantung dalam perdagangan, penanaman modal dan pembangunan, yang menghubungkan hampir semua kawasan di planet bumi ini. Aturan permainannya secara khusus ditetapkan dan diubah oleh negosiasi-negoisasi bilateral dan multilateral dan persetujuan-persetujuan antara perusahaanperusahaan, industri-industri, negara-negara dan kawasan regional tertentu. Pemain utama dari ekonomi global ini ialah apa yang boleh disebut tiga versi “tiga serangkai”—Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Masing masing membangun lagi kerja sama regional dengan belahan dunia lain. Di luar “tiga serangkai” terdapat versi lanjutan yang bersifat khas, seperti Asia Timur, Amerika Latin dan Asia Tenggara dan bangsa-bangsa lain seperti di Afrika, Timur Tengah dan seterusnya. Ekonomi global yang dibangun atas dasar kerja sama ekonomi antara berbagai blok ekonomi di dunia, pada dasarnya berwatak kapitalis, meskipun dewasa ini konsep kapitalisme yang monolitik hampir tidak pernah ada lagi, melainkan tumbuh semacam “kapitalisme campuran” (erzast catalism). Dalam rangka ekonomi global inilah, misalnya, ditetapkan liberalisasi dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang pada umumnya diterapkan atas negara yang paling diuntungkan (most-favored nation, MFN). Blok-blok ekonomi yang tergabung daPublication, 1990). 7 Sarbini Sumawinata, “Sejarah Ekonomi Kita, Sejarah Tanpa Perubahan”, Prisma, XII, No. 8 (Agustus 1983), hal. 50ff. 8 Mestika Zed, “Menggagas ‘Zona Ekonomi’ Dunia Melayu. Beberapa 216
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
lam GATT secara eksplisit mendiskriminasikan bagian dunia di luar mereka dengan menerapkan pengaturan dagang preferensi kepada negara-negara anggotanya. Teoretis, liberalisasi perdagangan dalam konsep kapitalistik bertujuan untuk mengurangi ongkos transaksi dan hambatan-hambatan yang berhubungan dengan perdagangan, dan karena itu pada saat yang sama mendorong berkembangnya spesialisasi intra-dan inter-industri di negara-negara blok ekonomi tersebut. Skala perekonomian yang dihasilkan selanjutnya mendorong efisiensi industri dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hubungan ini penting untuk dicatat perkembangan baru dalam blok kerja sama ekonomi regional Uni Eropa (MEE), yang memperkenalkan mata uang baru, Euro di lingkungan negara-negara anggotanya sejak awal tahun 2002 ini. Meskipun masih dalam taraf percobaan, dan belum tampak pengaruhnya, peredaran Euro cepat atau lambat akan berdampak luas terhadap konstelasi perdagangan internasional. Paling tidak, kehadiran Euro semakin mengukuhkan dominasi negara “tiga serangkai” dalam moneter internasional. Kalau sebelumnya nilai tukar standar dalam transaksi internasional terutama mengacu pada dolar Amerika (US$) dan “Yen” Jepang), kini ditambah satu lagi dengan Euro. Dengan demikian, maka semakin lengkaplah “tiga serangkai” raksasa ekonomi global menguasai moneter internasional. Hampir dapat dipastikan, bahwa blok-blok ekonomi di luar pemain utama itu akan menghadapi tantangan yang lebih berat dan mungkin akan semakin tercecer, kalau tidak menyiasati perkembangan ini dengan cepat dan jitu. Ini tentu terkait erat dengan negara-negara miskin di Asia dan Afrika, termasuk di Asia Tenggara. Memang, di Asia Tenggara khususnya telah didirikan sejumlah kerja sama ekonomi regional seperti AFTA (Association of Southeast Asian Nations Free Trade Area) yang didirikan tahun 1993 dan direncanakan berlaku tahun 2003. Gerakan reformasi, yang tadinya dimaksudkan sebagai antitesis terhadap pengalaman buruk selama Orde Baru, gagal menunaikan misinya, sehingga Indonesia dewasa ini menjadi semakin terpuruk Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
217
Mestika Zed
ke titik andir yang belum pernah dialami sebelumnya. Rangkaian krisis berkepanjangan yang dihadapi Indonesia sampai hari ini, tidak hanya membuat anak-bangsa terantuk-antuk, seperti yang tampak dari konflik-konflik elit politik, konflik agama dan etnik di berbagai daerah, tetapi sekaligus menimbulkan instabilitas dan ketidakamanan, sehingga negeri ini menjadi semacam State of Fear (“Negara Menakutkan”) bagi negara luar. Tidak ada yang bisa menyangkal, bahwa krisis politik dan eko nomi di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia dewasa ini, juga terkait erat dengan ekonomi global. Di satu pihak membuat semakin terbukanya peluang-peluang kerja sama ekonomi dan kolaborasi internasio-nal, di lain pihak menciptakan persaingan dan konflik. Kesalingtergantungan global makin menghasilkan aliansi-aliansi ad-hoc. Jadi, sesuai dengan sifatnya, ekonomi global yang berwatak kapitalistik menganut sistem persaingan bebas: “laba” (keuntungan maksimal) dan “loba” (persaingan siapa kuat siapa di atas). Semua ini hanya menguntungkan sekelompok orang kaya yang kuat dan kuasa dan sebaliknya menjadikan kelompok mayoritas yang lemah menjadi mangsa. Dalam hubungan inilah kiranya pentingnya menggagas pentingnya prakarsa pembentukan zona ekonomi “Dunia Melayu.”8
IV. Zona Ekonomi Melayu dan Masalah Sumber Daya Manusia Konsep zona ekonomi “Dunia Melayu” ialah sebuah konstruksi kerja sama ekonomi khas kelompok masyarakat Melayu berbasis modal sosial, yang ditegakkan atas dasar semangat kebersamaan karena kesamaan kultural dalam arti luas. Sistem ekonomi yang hendak dibangun dalam zona ini bukan kapitalistik dan pentolannya, seperti Catatan Berdasarkan Telaah Sejarah”dipresentasikan pada Seminar Internasional tentang “Menelusuri Hubungan Melayu Minangkabau melalui Sastra, Budaya dan Bahasa”, kerja sama antara Fakultas Sastra, Universitas Andalas dan Gerakan Masyarakat Peduli Kebudayaan Melayu (GMPKM), Padang, 24-25 Maret 2002. 9 Myo Thant, Min Tang and Hiroshi Kakazu (eds.), Growth Triangle in 218
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
yang ditemukan di Asia Tenggara dalam model AFTA dan sejenisnya seperti segi tiga pertumbuhan (growth triangle) Singapura-Johor-Riau (SIJORI) dan juga bukan model pembangunan kawasan dalam satu negara seperti IKT (Indonesia Kawasan Timur) yang dikelola oleh suatu departemen pemerintah.9 Zona ekonomi “Dunia Melayu” lebih dekat dengan sistem eko nomi kerakyatan yang sudah dirasionalisasikan, dengan pengertian bahwa sistem itu lebih berpihak pada kelompok mayoritas, yaitu ekonomi lemah dan menegah ke bawah, namun juga terbuka untuk membangun koperasi koorperasi besar berdasarkan keunggulan kompe ratif yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat di “Dunia Melayu.” Zona ekonomi Melayu berbasis modal sosial. Paradigma modal sosial bukanlah konsep mengenai negara atau konsep kekua saan, melainkan konsep masyarakat itu sendiri, suatu masyarakat yang dicita-citakan berbasis modal sosial. Ia terutama menaruh perhatian khusus terhadap pentingnya dinamika kekuatan hubungan internal dan eksternal dalam kelompok-kelompok masyarakat secara sukarela (voluntary associations) serta hubungan antara kelompok masyarakat dengan negara. Inisiatif yang berasal dari dan dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam pelbagai bentuk organisasi sosial-kemasyarakatan sepenuhnya mengandalkan modal sosial dan bukan dari negara dan bukan juga dari pasar, dua unsur yang paling dominan dalam hege mony of discourse selama ini. Meskipun demikian modal sosial tetap dapat menjalin kerja sama dengan kedua unsur yang disebutkan belakangan (negara dan pasar). Fondasi dari modal sosial ialah kepercayaan. Kepercayaan terben tuk dari kejujuran, kompetensi dan komitmen keterlibatan, di samping didukung oleh ikatan civility, yaitu hubungan yang didasarkan atas suasana kebersamaan, toleransi dan kebebasan. Ketiga pasang (set) hubungan yang mendasari modal sosial tersebut akan memberi kesemAsia. A New Aproach to Regioanl Economic Cooperation (Oxford: Oxford Univ. Press, 1994). 10 Mestika Zed, “Dunia Melayu dan Kebudayaan Melayu dalam Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
219
Mestika Zed
patan kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk dapat bergerak dalam segala lapangan kehidupan masyarakat. Tidak hanya dalam soal penegakan nilai-nilai adat dan agama an sich dalam pengertian ABS-SBK yang konvensional, melainkan juga di bidang sosial, ekonomi dan politik dalam arti luas. Keberadaan modal sosial semacam itu—jika ditopong oleh komponen masyarakat yang menjalankannya—bukan saja dapat mengurangi tingginya social cost, dan biaya ekonomi dan politik yang harus ditanggung masyarakat, melainkan juga dapat berfungsi sebagai jembatan dan sekaligus meredakan ketegangan dan perbedaan kepentingan antara masyarakat dan negara. Persoalannya ialah bagaimana modal sosial tersebut dapat dibangkitkan dan dikelola dalam wilayah dan kemampuan yang terbatas? Di sini kita berhadapan dengan persoalan metodologi dan sumber daya manusia. Dilema ekonomi Melayu justru terletak di sini. Di satu pihak terdapat sumber daya manusia dan alam yang melimpah ruah, tetapi di lain pihak hampir semua sumber daya ini dimanfaatkan oleh blok ekonomi kapitalis yang berkerja dalam blok perdagangan inter-regional yang hulunya terletak di tiga negara serangkai yang disebutkan di atas. Dalam ungkapan getir disebutkan, orang Melayu tak pernah menjadi tuan di negerinya sendiri. Masyarakat “Dunia Melayu”, sebagaimana yang diutarakan dalam risalah saya yang terdahulu,10 adalah kelompok-kelompok masyarakat pendukung kebudayaan (tamaddun) Melayu yang meliputi seluruh puak Melayu yang tersebar di sebagian besar negara-negara Asia Tenggara, termasuk sebagian di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand (lihat peta). Sebagian besar kondisi ekonomi mereka (tentu dengan beberapa pengecualian) sangat menyedihkan. Mereka umumnya masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup secukupnya (ekonomi subsistensi), terutama dalam sektor agraris, nelayan, buruh kasar dan hanya sebagian kecil masuk menjadi pelaku dunia usaha padat modal. Data konkret mengenai sifat, kelompok Perspektif Sejarah. Suatu Penjajakan Awal”, Makalah Padang, 27 Januari 2002. 220
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
dan bidang kegiatan ekonomi mereka ini masih memerlukan riset selanjutnya. Namun secara gamblang mereka inilah yang menjadi sasaran dan sekaligus pelaku utama dalam zona ekonomi “Dunia Melayu” nantinya. Dalam semua mata-rantai zona ekonomi “Dunia Melayu”, perguruan tinggi dan pelaku bisnis Melayu menjadi stakeholders utamanya. Riset-riset dan pengembangan harus dilakukan secara terus menerus dengan agenda dan fokus yang terintegrasikan satu sama lain. Dalam hubungan ini, paling tidak, ada empat dimensi utama yang perlu menjadi tumpuan perhatian untuk menilai aset atau kekayaan internal puak Melayu: 1. Modal sosial—yaitu nilai keluarga, komunitas dan berbagai organisasi yang menyatukan masyarakat Melayu secara keseluruhan. 2. Modal Manusia—yaitu nilai kultural dan nilai produktif pendu duk. 3. Modal Fisik—yaitu nilai dari tanah, air, bahan-bahan mineral, hutan dan sumber daya alam lainnya. 4. Modal Terknologi—yaitu nilai dari mesin-mesin, bangunanbangunan dan pekerjaan umum serta infrastruktur lainnya. Dalam serba keterbatasan ruang, kesempatan dan pengetahuan kami, tidaklah mungkin untuk membahas persoalan di atas secara satu persatu. Namun sebagai penutup perlu ditandaskan di sini, bahwa urutan keempat faktor di atas sedikit banyak mencerminkan kekhasannya dan juga segi pentingnya karena modal sosial dan juga modal material yang justeru menjadi faktor penting mengundang daya tarik asing sejak zaman kuno hingga sekarang. Mula-mula mereka datang untuk berdagang, lalu menjajah negeri Melayu. Orang Melayu kemudian terpecah-pecah ke dalam negara-negara bangsa yang modern. Sejak itu “Dunia Melayu” hilang dari peta modern. Pengkajian sejarah yang lebih mendalam tentang keempat faktor di atas akan membantu menjelaskan bahwa pembentukan “zona ekonomi Melayu” bukanlah hal yang mustahil.
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
221
Mestika Zed
222
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Dilema Ekonomi Melayu
BIBLIOGRAFI Conway, Gordon R. and Edward B. Barbier, After the Green Revolution (London: Earthscan Publication, 1990). Graves, Elizabeth. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Indonesia Project, Cornell University, 1979). Popkin, Samuel, The Rational Peasants. The Political Economy of Rural Society in Vietnam (Berkeley: Univ. of California Press, 1979). Schrieke, B. J. O., Indonesian Sociological Studies (Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955) Sumawinata, Sarbini. “Sejarah Ekonomi Kita, Sejarah Tanpa Perubahan”, Prisma, XII, No. 8 (Agustus 1983) Thant, Myo, Min Tang and Hiroshi Kakazu (eds.), Growth Triangle in Asia. A New Aproach to Regioanl Economic Cooperation (Oxford: Oxford Univ. Press, 1994). Wahono, Francis. “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, Prisma, XXIII, No. 3 (Maret 1994) Widoatmodjo, Sawidji. “Kebijaksanaan Pertanian untuk Patani”, Kompas, 3 November 1992. Zed, Mestika. “Dunia Melayu dan Kebudayaan Melayu dalam Perspektif Sejarah. Suatu Penjajakan Awal”, Makalah Padang, 27 Januari 2002. Widoatmodjo, Sawidji. “Menggagas ‘Zona Ekonomi’ Dunia Melayu. Beberapa Catatan Berdasarkan Telaah Sejarah”dipresentasikan pada Seminar Internasional tentang “Menelusuri Hubungan Melayu Minangkabau melalui Sastra, Budaya dan Bahasa”, kerja sama antara Fakultas Sastra, Universitas Andalas dan Gerakan Masyarakat Peduli Kebudayaan Melayu (GMPKM), Padang, 24-25 Maret 2002.
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
223