Air, Dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Kapitalisme Global
Air, Dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Kapitalisme Global1 R. Herlambang Perdana2
•
Perspektif Terhadap Air Perspektif
•
Negara
Pemilik Modal
Rakyat
Politik
State Based
Fasilitasi regulasi state
Community Based
Ekonomi
Capital Based (investasi/ privatisasi/utang)
Jaminan pembengkakan capital/investasi (industri air/komoditas)
Jaminan ketersediaan air
Sosial
Rakyat sebagai obyek (uniformitas)
Mementingkan diri sendiri
Kebersamaan/collectivity & pluralism
Budaya
Perilaku eksploitatif, ekspansif
Monopoli, perilaku eksploitatif dan ekspansif
Etika lingkungan sebagai system local (local knowledge & wisdom)
Ekologi
Eco-Developmentalism
Eco-Proseduralism
Eco-Populism
Konflik Air Konflik
Isu pertarungan
Detil
Paradigma
State & capital based vs. community based
Konsepsi negara budiman
Nilai
Nilai instrumental/”barang” vs. air sebagai sumber kehidupan (molecular hingga ekosistem)/intrinsic value
Air sebagai alat kapital/untuk diperdagangkan, bukan sebagai pemenuhan hajat hidup orang banyak
Kebijakan (peraturan)
Pengendalian hukum yang anti pluralism vs. hukum rakyat/adat
RUU Sumberdaya Air vs. kesepakatan local
Pengelolaan (otoritas)
Monopoli (pemilik modal/pengambil kebijakan) vs. kolektif/kebersamaan/akses komunitas
Privatisasi, penghancuran kearifan/pengetahuan lokal
Kelembagaan
Penyeragaman (uniformitas) vs. kelembagaan adat/lokal
P3A/Hippa yang menggusur lembaga/sistem adat (subak, sambong, mitra caik, ulu-ulu, dll).
1
Bahan untuk pengantar diskusi terbatas di Pusat Studi HAM Universitas Airlangga, Desember 2003.
2
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya
http://www.huma.or.id
1
R. Herlambang Perdana
Persoalan Air Merupakan Persoalan Kaum Miskin
Saat ini, krisis air menjadi isu besar dalam forum internasional. Bukan sekedar soal pembagian air yang tak merata atau juga hanya karena kebutuhan air meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun yang mengakibatkan satu dari lima penduduk dunia tak punya akses pada air bersih. Atau habisnya sumber air. Namun, persoalannya justru terjadi karena pencemaran/perusakan air akibat ulah manusia itu sendiri, seperti pembangunan wadukwaduk besar pembangkit listrik tenaga air (PLTA), masifnya polusi/limbah industri dan perkotaan, penggundulan hutan, penggunaan pestisida kimiawi pertanian,dan pertambangan. Mengutip laporan Maria Hartiningsih dalam Kompas, bahwa setiap manusia membutuhkan sedikitnya 50 liter air untuk minum, masak, mencuci, untuk sanitasi dan untuk bertumbuhnya tanaman pangan setiap hari. Namun, dalam penggunaan air juga terjadi ketidakadilan luar biasa. Warga di AS rata- rata menggunakan 250-300 liter air setiap hari, sedang warga Somalia hanya bertumpu pada sembilan liter air per hari. Di dalam suatu negara pun terjadi ketidaksetaraan penggunaan air bersih. Kelompok yang memiliki posisi ekonomi lebih kuat memiliki akses yang lebih besar kepada air bersih. Ironisnya, kelompok ekonomi lebih lemah harus mengeluarkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Sam Pablo dari Bolivia misalnya memaparkan situasi di Bolivia setelah perusahaan internasional Bechtel mengambil alih pengelolaan air di negeri itu. "Kaum miskin mengeluarkan 35 persen dari penghasilannya untuk air. Yang lebih miskin lagi mengeluarkan 75 persen," ujarnya. (World Social Forum (WSF) III di Porto Alegre, Brasil, 2003) Ekosistem global mengalami transformasi akibat perubahan iklim dan penggurunan, yang merupakan dampak dari ketersediaan air. Peneliti perencanaan kawasan Hendro Sangkoyo, berkali-kali mengingatkan besarnya potensi konflik akibat perebutan sumber daya air. Air adalah "blue gold", emas biru yang kini jadi rebutan antara rakyat di banyak negara dengan korporasikorporasi transnasional (TNCs) milik negara maju, seperti Vivensi Universal, Suez-Lyonnaise des Eaux, RWE Group/Thames Water, Bechtel International Water, Biwater, Enron/Asurix. "Kalau mereka menguasai air kita, berarti kehidupan kita pun mereka kuasai," ujar Sam Pablo. 3 Petani-petani sawah di pedesaan Dagangan Madiun juga mengalami nasib serupa, hanya karena kebijakan birokrasi yang mengutamakan pemilik modal, maka industri gula (PG Pagotan & PG Kanigoro) harus mengalahkan ribuan petani sawah dalam perebutan air. Bayangkan, DAS Sewu sebagai aliran air utama di sana, 50 persen dikuasai untuk dua industri gula tersebut, sementara sisanya diperebutkan oleh kebutuhan air minum/keseharian perkotaan, industri lain, dan pengairan persawahan.
3
World Social Forum (WSF) III di Porto Allegre, Brasil, 2003.
http://www.huma.or.id
2
Air, Dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Kapitalisme Global
Konsepsi Hak Atas Air
Kencangnya isu privatisasi sumber daya air menjadi persoalan pelik yang menghadapkan komunitas publik versus sekelompok pemilik modal. Ini sama halnya dengan menghadapkan sumberdaya yang menguasai hajat hidup manusia versus subyek kepemilikan untuk diperdagangkan. Dalam sejarah soal air, yang ditemukan dalam komunitas tradisional sebagai bagian pranata sosial yang lebih dahulu lahir sebelum negara, memandang hubungan manusia dengan air sebagai relasi alamiah/natural. Namun, pola interaksi lembaga negara justru menempatkan hubungan manusia dan air secara tidak etis, dengan menempatkan ‘ownership politic’ melalui kebijakan perundang-undangan. Sehingga dalam perspektif etika lingkungan, persoalan “hak atas air” tidak dapat diterima dengan mudah, karena pengetahuan dari hujan kosmik pun yang telah berlangsung milyaran tahun, agak susah menyebut klaim air sebagai “milik” siapapun, meskipun telah dikonstruksi dalam politik perundangan negara, apalagi TNCs. Lalu, pertanyaan sebaliknya, apakah ‘air tanpa pemilik’ ? Pertanyaan ini lebih mungkin dijawab dengan pandangan sumberdaya air merupakan milik bersama (common resources/common property), dan tanggung jawab pengelolaan dilakukan pula secara bersama-sama. Namun seiring dengan krisis dan pertarungan perebutan air, konsepsi ‘milik bersama’ menjadi tidak ada, alias omong kosong. Publik banyak terkesima dengan slogan ‘Water for All’, akan tetapi tidak menyadari bahwa slogan itu berarti air direduksi menjadi sekadar kebutuhan, dan nyatanya TNCs-lah yang sanggup memenuhi kebutuhan itu dengan pola dominasi/privatisasi. Air bukan lagi merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Friends of the Earth (FoE), organisasi non-pemerintah yang menentang liberalisasi pasar masif, slogan ‘water for all’ diubah menjadi ‘water justice for all’, atau keadilan bagi rakyat untuk mendapatkan air. Di Indonesia, konsepsi hak atas air menjadi kian carut marut dengan mempergunakan istilah-istilah yang tidak berbasis pada perspektif perlindungan hak kaum lemah, entah apa karena adopsi ‘for all’ tadi sehingga bias penafsiran air untuk siapa (?). Lihat, RUU Sumberdaya Air (draft Mei 2002) membagi konsepsi hak atas air dalam 3 jenis hak, yakni : 1. Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh, memakai dan/atau mengusahakan sumber daya air untuk berbagai keperluan. 2. Hak Guna Pakai Air adalah hak untuk memperoleh, memakai sumber daya air guna memenuhi keperluan pokok sehari-hari dan kebutuhan lain yang non komersial. 3. Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk mengusahakan sumber daya air guna tujuan komersial. Konsepsi ketiganya, sangat jelas instrumental yang menyulitkan kepentingan masyarakat tradisional atau lokal, atau juga masyarakat adat. Pemberian atau batasan hak air yang dilakukan dalam RUU tersebut sangat tidak menghargai hak-hak air hukum adat yang sangat pluralis (legal pluralism). Bandingkan dengan pandangan Lily Beccar dkk, yang mentabulasi ‘concrete terms’ soal hak air : http://www.huma.or.id
3
R. Herlambang Perdana
•
Water Rights4 Operational Rights
Rights to take part in collective decision making
Right to use part of the water flow
Right to take part in decision making about management/system operation: Defining details about water distribution, irrigation schedules, flow rates, organizational posts and responsibilities, etc.
Right to use the water intake and conduction and distribution infrastructure to get the water to a certain community or plot
Right to take part in decision making about inclusion/exclusion of members: Defining who can and who cannot be system members
Right to be eligible and to occupy positions in the water users organization, and to implement decisions regarding water distribution and system management
Right to take part in decision making about changing or expanding the hydraulic system and irrigation technology Right to take part in decision making about transferring rights to use part of the water flow, the source it self or hydraulic infrastructure
Pembagian hak air, dalam ‘hak operasional’ dan ‘hak untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan’ lebih kongkrit daripada definisi RUU. Tetapi, persoalannya, bahwa air telah demikian mengakar tradisi pengelolaannya di dalam masyarakat dalam bentuk pelestarian kearifan-kearifan sosial-ekonomi yang menyejarah, dan ini bisa dijawab secara jelas berbasiskan pandangan masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, menarik untuk dipertanyakan apa persepsi rakyat dalam soal hak air (water rights) ?5 Termasuk pula, mengikutsertakan pandangan masyarakat miskin perkotaan, petani, buruh tani, dan komunitas adat/pedesaan lainnya.
Hari Ini, Siapa Rezim (Penguasa) Air ?
Menyedihkan kondisi hari ini, sekitar 2,4 milyar orang tidak dapat menikmati air bersih dan sanitasi yang memadai di negara-negara miskin, sehingga 6000 anak-anak meninggal setiap hari akibat diare. Petani-petani di pedesaan mulai bangkrut sejak krisis air yang meyebabkan gagal panen, sementara buruh-buruh desa pun kehilangan pekerjaaan merasakan pula dampak krisis air. ‘Keberhasilan’ konspirasi antara lembaga-lembaga keuangan internasional (Multilateral Development Bank’s/MDB’s), TNCs, Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) untuk menggasak rakyat miskin telah terjadi di mana-mana. Soal isu air, dalam perundingan internasional, seperti World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan 2002, kesepakatan maksimum yang bisa dicapai dalam masalah sanitasi misalnya, adalah privatisasi air (baca : monopoli/dominasi/kapitalisasi air) ! Lily Beccar, Rutgerd Boelens and Paul Hoogendam, Water rights and Collective action in community irrigation, dalam Water Rights and Empowerment, KvG, 2002, hal 5-6.
4
Terdapat 22 orang ahli yang telah mengkaji pertanyaan ‘water rights’ dengan melakukan serangkaian penelitian di berbagai belahan dunia. Vide : Bryan Randolph Bruns & Ruth S. Meinzen-Dick (ed), Negotiating Water Rights, IFPRI-Vistaar Publications, 2000. 5
http://www.huma.or.id
4
Air, Dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Kapitalisme Global
Lebih dari 10 tahun lalu sebenarnya konspirasi tersebut dilakukan dengan membangun jalan memuluskan privatisasi sebagai kondisionalitas pemberian utang ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Plus, didorong dengan perjanjian perdagangan yang mendesak negara pengutang menderegulasi sektor air dan membukanya bagi investasi asing. Liberalisasi sektor publik merupakan konsekuensi logis setelah liberalisasi modal, barang dan jasa yang dilakukan secara bertahap mulai 1970-an. Perluasan pasar dan pangsa pasar merupakan cita-cita para kapitalis monopolistik agar bisa mempertahankan dominasinya (Lidy Nacpil dari Jubilee South-Filipina, 2003) Persisnya dalam konteks Indonesia hari ini, Bank Dunia -yang setuju mengeluarkan pinjaman khusus 300 juta dollar AS untuk mendanai program reformasi menyeluruh di sektor air yang dikenal sebagai Water Resources Sector Adjustment Loan (Watsal)-ikut campur tangan. Sementara Asian Development Bank bekerja untuk memberdayakan (sekaligus memantapkan uniformitas P3A/Hippa) dalam utang-utangnya yang mengucur ke Depkimpraswil.6 Gempuran utang/modal asing di bidang pengelolaan air ini patut dikhawatirkan. Fakta di Kolumbia misalnya, setelah privatisasi dapat dimenangkan sektor swasta dalam menguasai pengelolaan air, semua sumber air harus memiliki lisensi, termasuk sumur-sumur. Bahkan petani harus membeli lisensi air agar bisa sekadar menampung air hujan untuk tanah pertaniannya.
Hak Air Sebagai Hak Asasi Manusia
Penyajian
fakta di atas, memperlihatkan bahwa krisis air kian membesar dan pelayanan publik atas air kian mahal. Pemberlakuan UUPA 1960 yang diikuti pemerintah dengan mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sebagai respon pasal 47 UUPA, juga tidak menjawab perlindungan hak manusia untuk memperoleh akses air. Setelah 28 tahun berlalu, kini pemerintah yang menyiapkan RUU Sumberdaya Air, dikenal istilah ‘membayar jasa pelayanan’ (pasal 25 ayat 5), yang ditempatkan dalam kerangka pelayanan publik. Ini menunjukkan bahwa model hubungan negara rakyat bukanlah fasilitasi/mewajibkan penguasa menjamin hak-hak air dengan prinsip pelayanan public, melainkan model hubungan ‘gotong royong’, artinya fasilitas publik harus diusahakan sendiri oleh masyarakat. Lalu, apa relevansi antara ‘fungsi sosial’ (bilamana memang RUU tersebut mengadopsi UUPA) yang ada dalam pasal 25 ayat (5) dengan pembayaran jasa pelayanan (?). Saya kira, argumentasi ‘fungsi sosial’ dalam RUU Sumberdaya Air hanya ditempatkan untuk mencekik rakyat yang menggunakan sumberdaya air dengan stigma menghambat pemerintah untuk mengusahakan sumberdaya air tersebut. Pemerintah hingga sekarang masih belum mengenal kamu pelayanan publik yang menjadi kewajiban (state obligation) dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia, khususnya hak Vide : Participatory Irrigation Sector Project (TA No. 3793-INO), Asian Development Bank. Proyek utang ini dikenal dengan PKPI, Program Kebijakan Pengairan Partisipatif, yang melibatkan banyak LSM-LSM, konsultan, dan P3A/Hippa.
6
http://www.huma.or.id
5
R. Herlambang Perdana
sosial-ekonomi. Apalagi, tidak ada upaya yang disebut ‘progresif realization’ sebagaimana mandat IC-ESCR 1966. Sehingga praktis, persoalan air, yang juga merupakan persoalan yang sama kelasnya dengan problem tanah, hutan, adat, upah, akses PKL, pemulung, masalah kaum miskin kota dll, akan terpinggirkan, dan tentunya justru menambah daftar potensi konflik laten pengelolaan sumberdaya alam air di masa depan. Koalisi gerakan rakyat harus lantang menyatakan bahwa pelayanan publik air yang mahal, apalagi privatisasi yang menggusur hak komunitas local, adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (pasal 11 (1-2) IC-ESCR 1960).
ZZYY
http://www.huma.or.id
6