TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Sorgum Sorgum memiliki sistem perakaran serabut. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun (ratoon) hingga dua atau tiga kali ratoon dengan akar yang sama. Saat proses perkecambahan akar primer mulai tumbuh dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman akan diikuti pula dengan pertumbuhan akar sekunder pada ruas pertama. Tahap berikutnya akar sekunder lebih dominan berfungsi menyerap air dan hara dari media tumbuh serta memperkokoh tegaknya tanaman (House 1985). Sorgum memiliki batang dengan tinggi bervariasi antara 0.5 – 4.0 m. Tinggi batang sorgum yang dikembangkan di China dapat mencapai 5.0 m (FAO, 2002),.
Beberapa varietas sorgum memiliki batang yang menghasilkan
percabangan dan anakan baru (Steenis 1975).
Batang tanaman sorgum
merupakan rangkaian berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes).
Bentuk
batang silinder dengan ukuran diameter batang bagian pangkal antara 0.5 – 5.0 cm (House 1985). Daun sorgum mirip tanaman jagung, berbentuk pita dengan struktur daun terdiri atas helai dan tangkai daun. Panjang rata-rata daun sorgum adalah 1 m (House 1985).
Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang
dengan pangkal daun menempel pada buku. Menurut Martin (1970) jumlah total daun berkisar antara 13-40 helai per batang. Jumlah daun sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu 3-4 hari ( Bullard dan York 1985). Tanaman sorgum juga memiliki daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir bersamaan dengan inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku, tegak dan berfungsi penting dalam transportasi fotosintat (Freeman 1970). Sorgum tergolong tanaman C4, yaitu tanaman yang dalam proses metabolisme karbon (C) menghasilkan asam berkarbon empat (malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2. Produk asam malat dan aspartat yang dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang pembuluh, lalu
7
mengalami dekarboksilasi melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat Rubisco dan diubah menjadi 3-PGA (asam fosfo gliserat).
Sel seludang pembuluh
tanaman C4 lebih tebal dibandingkan tanaman C3, sehingga lebih banyak mengandung kloroplas, mitokondria dan organel lain yang berperan sangat penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002). Daun-daun spesies C4 mempunyai laju pertukaran CO2 yang lebih tinggi, rasio antara luas potongan melintang floem dengan luas daun yang lebih besar dan memiliki laju translokasi lebih besar dibandingkan tanaman C3 (Salisburry dan Ross 1995). Ekspor hasil asimilasi yang lebih baik oleh tanaman C4 disebabkan oleh anatomi khususnya, yaitu sel-sel seludang ikatan pembuluhnya yang mempunyai kloroplas (anatomi kranzs) atau hasil dari luas potongan melintang floem yang lebih besar. Karakteristik Tanah Masam Tanah di lingkungan tropika basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri khas sebagian besar wilayah di Indonesia. Tanah jenis ini tersebar di bebarapa daerah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera terdapat sekitar 21 juta hektar, Kalimantan 15.5 juta hektar, dan Jawa 2 juta hektar (Van der Heide et al., 1992). Menurut Hidayat dan Mulyani (2002), luas tanah masam yang berupa lahan kering mencapai 99.5 juta hektar dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Kondisi tropika basah di Indonesia dengan curah hujan tinggi dapat mengakibatkan pencucian, sehingga cadangan unsur hara dan kesuburan tanah rendah, kandungan Al dapat ditukar (Al-dd) dan kapasitas retensi P tinggi, kandungan nitrogen yang rendah, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, serta keracunan alumunium di lapisan bawah (Hairiah et al. 2000). Di Indonesia potensi tanah masam ini cukup tinggi. Menurut data Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2000, luas areal tanah bereaksi masam seperti podsolik, ultisol, oxisol dan spodosol masing-masing sekitar 47.5; 18.4; 5.0; dan 56.4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia. Pengelolaan kesuburan di tanah masam diarahkan untuk menurunkan kemasaman tanah, menambah hara dan menekan tingkat kejenuhan Al. Teknologi untuk meningkatkan kesuburan tanah masam yang dapat diterapkan antara lain pemupukan berimbang, pengelolaan hara P, pengapuran serta pemberian bahan organik
8
Pengaruh Cekaman Aluminium terhadap Tanaman Aluminium dapat mempengaruhi tanaman secara morfologis, fisiologis dan ekspresi gen tanaman. Gejala yang umum dijumpai akibat cekaman Al adalah terjadinya klorosis, defisiensi nutrisi, dan tanaman menjadi kerdil (Taiz dan Zeiger 2002).
Respon morfologi nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya
penebalan pada ujung akar dan akar cabang.
Respon fisiologi berupa
pembentukan kompleks Al-asam organik dan peningkatan kandungan asam organik pada akar tanaman dengan cara: 1) Al mengaktivasi kerja enzim yang berperan dalam biosintesis asam organik, serta adanya asam organik yang ditransportasikan dari batang menuju akar (Matsumoto et al. 2003). Respon pada tingkat gen untuk tanaman sorgum belum diteliti, tetapi pada beberapa tanaman lain antara lain pada arabidopsis menunjukkan ekspresi spesifik gen WAK1 (cell wall-associated reseptor kinase 1) dan tipe sel yang merupakan lokasi spesifik dari protein WAK (gen WAK ini terekspresi di akar) (Kochian et al. 2005). Pada tanaman gandum, resistensi terhadap Al bersifat multigenik. Gengen tersebut mengendalikan pengeluaran beberapa senyawa pengkelat ion Al+3. Hasil penelitian Pelle et al. (1996) menunjukkan, gandum kultivar resisten akan mengeksudasikan P tinggi yang diduga dikendalikan oleh gen yang berbeda lokus. Kelarutan Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap metabolisme tanaman dan tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman tertekan.
Menurut Alam et al. (1999), secara umum
pengaruh Al pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah masam adalah: 1) mengurangi kation bervalensi dua yang diserap oleh akar tanaman (khususnya Ca). Menurut Matsumoto (2003), hal ini terjadi karena penghambatan Al dengan cara menggantikan posisi Ca yang melekat pada Calmodulin (dinding sel), ikatan Al dengan karboksil (RCOO-) membentuk ikatan kuat sehingga sel tidak mampu membesar. 2) menghambat fungsi sel-sel pada jaringan meristem akar melalui penetrasi Al ke dalam protoplasma akar dan menghasilkan morfologi akar yang tidak normal dan dapat mengganggu proses penyerapan hara tanaman, dan 3) menurunkan adsorpsi anion (SO4-2, PO4-3, dan Cl-) karena meningkatnya daerah jerapan positif pada rizosfir dan apoplas akar.
9
Kesulitan dalam mempelajari Al berhubungan dengan proses-proses yang terdapat dalam tanaman disebabkan karena kompleksnya Al ( Kinroide, 1991). Al dihidrolisis dalam larutan sebagai ion trivalent Al3+ dan dominan pada kondisi pH <5, sedangkan Al(OH)2+ merupakan bentuk yang dominan dengan makin tingginya pH. Pada keadaan tanah yang bereaksi netral, Al berbentuk Al(OH)3 atau gibsit, sedangkan pada tanah alkalin dijumpai bentuk Al(OH)4-. Kation Al monomer membentuk ikatan dengan berbagai ligand asam organik dan anorganik seperti PO43-, SO42-, asam organik, protein dan lemak. Tanah dengan pH rendah memiliki kapasitas ion H+ tinggi sehingga penyerapan unsur-unsur lainnya menjadi berkurang dan unsur Al meningkat. Meningkatnya konsentrasi Al terlarut mengakibatkan terjadinya defisiensi P, K dan hara mikro seperti Mo. Hasil penelitian Yamamoto et al. (1992) mendapatkan bahwa toksisitas Al selain mengakibatkan tanaman kekurangan hara juga mengubah struktur dan fungsi dari membran plasma dan menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar.
Akhirnya, Al akan menghambat
pertumbuhan akar dan menunjukkan berbagai gejala kekurangan hara akibat keracunan Al (MacDiarmid dan Gardner, 1996). Kasus pada tanaman jagung menunjukkan bahwa cekaman Al terhadap tanaman mula-mula akan menekan pertumbuhan akar yaitu akar menjadi pendek, tebal dan rapuh.
Terhambatnya pertumbuhan akar disebabkan karena Al
berasosiasi dengan DNA pada inti sel dan menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Pellet et al. 1995). Daerah yang paling peka terhadap keracunan Al terutama pada bagian ujung akar (tudung akar, meristem, dan zona pemanjangan) sekitar 2 mm.
Ujung akar mengakumulasi Al lebih banyak
(Delhaize dan Ryan 1995). Sasaran utama cekaman Al pada akar adalah tudung akar. Rusaknya tudung akar akan mengakibatkan berkurangnya sekresi mucilage. Keracunan Al dapat menghambat pertumbuhan tajuk dengan cara menghambat pasokan hara, air dan sitokinin dari akar karena buruknya penetrasi akar ke sub-soil atau kondisi hidrolik akar rendah (Marschner 1995). Rusaknya akar oleh Al menyebabkan terganggunya penyerapan dan transpor hara Ca, K, P, Mg dan N, serta peka terhadap kekeringan yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan
10
produktivitas tanaman (Polle dan Konzak 1990).
Akumulasi Al akan
menyebabkan kebocoran membran, disintegrasi struktur dan berkurangnya kandungan K dalam jaringan ujung akar, serta menurunkan viabilitas protoplasma. Terbentuknya ikatan polimer Al dengan membran plasma akar akibat cekaman Al akan menyebabkan kerusakan pada membran dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 2003). Toksisitas Al mempengaruhi efluks unsur K dan Ca.
Gangguan Al
terhadap Ca pada ujung akar menyebabkan defisiensi Ca pada sel apikal akar atau mengubah homeostatis Ca. Perubahan ini akan memicu penyimpangan fungsi metabolisme dalam sel ujung akar yang selanjutnya dapat menghambat pemanjangan akar (Huang et al. 1992). Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium Suatu tanaman yang toleran terhadap keracunan Al mempunyai kriteria antara lain: 1) pertumbuhan akar normal 2) mampu meningkatkan pH tanah di sekitar perakaran, 3) sebagian besar Al tertahan di akar dan sedikit ditranslokasikan ke bagian atas tanaman, dan 4) ion Al tidak dapat menghambat serapan dan translokasi Ca, Mg, K dan P (Kochian 1995). Pengaruh cekaman Al+3 tidak sama pada setiap spesies, bahkan pada tanaman dalam satu spesies. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan adanya mekanisme toleransi yang berbeda pada setiap tanaman dalam mengatasi cekaman. Mekanisme toleransi terhadap Al menurut Marschner (1995) adalah: 1) ekslusi Al di membran akar, 2) KTK dinding sel rendah, 3) alkalisasi di daerah perakaran, 4) proteksi ujung akar oleh mucilage, dan 5) efluks Al. Mekanisme toleransi tanaman secara umum terbagi dalam dua kelompok yaitu: 1) mekanisme penolakan secara eksternal (external tolerance exclusion mechanism), dengan cara mencegah Al masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif melalui immobilisasi dinding sel, permeabilitas selektif membran plasma, barier pH di rizosfir dan apoplas akar, eksudasi ligan pengkelat (eksudasi asam organik), eksudasi fosfor dan efluks Al, dan 2) mekanisme secara internal (internal tolerance mechanism), yaitu dengan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein
11
pengikat Al, enzim yang tahan Al serta peningkatan aktivitas enzim (Taylor, 1991). 1. Kelatasi Al oleh Eksudasi Asam Organik Tanaman Salah satu penyebab terjadinya detoktisifikasi Al oleh tanaman yang toleran adalah karena adanya asam organik yang dieksudasikan sehingga Al terkelatasi oleh asam organik baik di dalam jaringan maupun di media/larutan (Delhaize dan Ryan 1995). Asam organik yang dieksudasikan oleh akar tanaman umumnya adalah asam malat, asam sitrat dan asam oksalat (Tabel 1). Jumlah dan jenis yang dieksudasikan tergantung spesies dan kultivar tanaman. Hasil penelitian Magalhaes et al. (2004) menunjukkan bahwa asam sitrat merupakan asam organik yang dieksudasikan tanaman sorgum dalam menghadapi cekaman Al, asam malat merupakan asam organik yang paling banyak dieksresikan oleh ujung akar pada tanaman gandum yang toleran Al (Delhaize et al. 1993; Ryan et al. 1995 dan Pellet et al. 1996). Tabel 1 Jenis-jenis asam organik yang dieksudasi tanaman dalam hubungannya dengan toleransi terhadap Al __________________________________________________________________ Asam organik Tanaman Sumber __________________________________________________________________ Sitrat Cassia tora Ishikawa et al. (2000) Sitrat Glycine max Silva et al .(2001), Yang et al (2000) Sitrat Nicotiana tabacum Delhaize et al. (2001) Sitrat Oryza sativa Ma et al. (2002) Sitrat Sorghum bicolor Magalhaes (2002) Sitrat Zea mays Ishikawa et al (2000) Sitrat dan Malat Avena sativa Zheng et al. (1998) Sitrat dan Malat Raphanus sativus Zheng et al. (1998) Sitrat dan Malat Triticale sp. Ma et al. (2000) Sitrat dan oxalat Zea mays Kid et al. (2001) Malat Triticum aestivum Huang et al. (1996), Ishikawa et al. (2000) Oksalat Colocasia esculenta Ma (1998) Oksalat Fogopyrum esculentum Zheng et al. (1998) __________________________________________________________________ Sumber: Kochian et al. (2005). Tanaman jagung yang toleran Al mengeksudasikan asam sitrat lebih banyak dibanding yang peka (Ma et al. 1997). Tanaman kedelai yang toleran
12
(Yelow Biloxi) mengeksudasikan asam oksalat dan asam sitrat lebih tinggi dibanding kedelai peka (Lumut) (Sopandie, 2006). Gambar 2 menunjukkan mekanisme pengikatan Al oleh asam organik dengan membentuk kompleks sehingga Al tidak toksik dalam sel tanaman yang toleran terhadap Al, dan aktivasi ion channel pengikat Al serta perbandingannya dengan mekanisme pada tanaman respon toksisitas Al (peka). Tanaman toleran Al akan membentuk ikatan kompleks Al-COOH (Carboxylate-Al) sehingga Al menjadi tidak aktif. Ikatan kompleks ini akan ditranslokasikan ke vakuola menembus membran tonoplas dan akan terjadi detoksifikasi Al. Tanaman peka tidak membentuk kompleks Al-COOH sehingga Al tetap aktif dan dapat menghambat pembelahan sel serta penghambatan aktivitas ion channel yang dapat mempengaruhi transportasi dalam sel tanaman.
Sumber : Kochian et al. (2004). Gambar 2. Mekanisme detoksifikasi Al dalam sel tanaman toleran Al
13
2. Akumulasi Al pada Ujung Akar/ Hambatan Transpor Al ke Tajuk Tanaman toleran Al akan melakukan akumulasi Al pada ujung-ujung akar sebagai upaya hambatan terhadap transpor dan akumulasi Al pada bagian tajuk. Gambar 6 dibawah ini menunjukkan hasil uji pewarnaan hematoxylin terhadap jagung cultivar cateto columbia dan Mo17 (Pineros et al. 2002).
Sumber: Pineros et al. (2002). Gambar 3. Pola-pola akumulasi Al di dalam akar jagung toleran Al CatetoColombia 96/71(kiri) dan cv.Mo17 (kanan) hasil uji pewanaan Hematoxylin (A) B. Penampang memanjang akar daerah apikal (tanda panah menunjukkan lapisan sel bagian luar tudung akar yang mengakumulasi Al. C. Distribusi akumulasi Al pada ujung akar cv Cateto-Colombia. D. Penampang melintang akar hasil uji pewarnaan (tanda panah menunjukkan penetrasi pewarnaan ke dalam lapisan sel akar bagian dalam tanaman yang mengakumulasi Al 3. Kemampuan Menaikkan pH Rizosfir Peningkatan pH rizosfir pada larutan/media merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Peningkatan pH rizosfir akan
14
meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al (Haynes 1990). Genotipe toleran tanaman jagung, gandum, barley dan padi yang ditumbuhkan pada larutan hara meningkatkan pH larutan dan menurunkan kelarutan dan toksisitas Al, sedangkan genotipe yang peka tidak mempunyai pengaruh terhadap pH dan konsentrasi kelarutan Al nya tetap tinggi (Gupta 1997). Tanaman Arabidopsis thaliana yang diinkubasi dengan 300
M AlCl3
selama 12 jam menunjukkan bahwa, genotipe toleran mampu menaikkan pH larutan dari 4.3 – 4.4 menjadi 4.53, sedangkan genotipe peka hanya mampu menaikkan pH sampai 4,39. Kenaikan pH rizosfir sebesar 0.1 unit pada kondisi cekaman Al menyebabkan kenaikan laju pertumbuhan akar dua kali lipat pada genotipe toleran dibandingkan genotipe peka (Degenhardt et al. 1998). Hasil penelitian Delhaize et al. (1995), pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki kemampuan dua kali lipat dalam meningkatkan pH rizosfir dibandingkan genotipe peka.
4. Eksudasi Fosfor Organik Ujung akar tanaman jagung disamping dapat mengeksudasi asam organik, juga mampu mengeksudasikan fosfor organik. Eksudasi P dari akar tanaman merupakan proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pelle et al. 1996). Eksudasi fosfor organik oleh akar tanaman merupakan mekanisme sekunder yang membuat kemampuan tanaman toleran terhadap Al. Detoksifikasi Al oleh fosfor karena terbentuknya kompleks Al-P (Delhaize et al. 1993; Pelle et al. 1995 dan 1996). Ketika suplai P terbatas, secara absolut eksudasi P berkurang, tetapi secara relatif meningkat dan menjadi komponen utama dalam penyerapan hara P. Jika tanaman disuplai P dengan baik, maka akan meningkatkan eksudasi P dibandingkan dengan tanaman dalam kondisi cekaman P. Jumlah fosfor organik yang dieksudasi pada tanaman jagung maupun pada gandum yang toleran nyata lebih banyak dibanding tanaman yang peka (Pelle et al. 1995 dan 1996).
15
Interaksi Fosfor dengan Aluminium Tanaman menyerap P dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO4-2. Bentuk dominan yang diserap pada pH rendah adalah H2PO4-, pH sekitar netral (pH 6-7) kedua bentuk tersebut dapat diserap, sedangkan pada tanah alkalis, bentuk hara P dominan yang diserap adalah HPO4-2
(Marschner 1995).
Kelarutan Al+3 sangat tinggi di lahan masam menyebabkan P tidak larut dan kurang tersedia bagi tanaman (hanya sebagian kecil saja seperti bentuk H2PO4- yang tersedia bagi tanaman). Al tidak hanya menghambat ketersediaan P, tetapi juga menghambat transpor dan penggunaan P (Rao et al. 1999). Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfor dari ATP atau fosfolipid pada membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton. Hal ini akan mengakibatkan penyerapan hara yang dikatalis pompa proton menurun (Matsumoto et al. 1992). Al secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Marscner 1995). Reaksi sederhana pengendapan P oleh Al adalah sebagai berikut: Al+3 + H2PO4- (larut) + 2H2O.2H2
Al(OH)2H2PO4 (tidak larut)
Keracunan Al dapat diasosiasikan dengan gejala defisiensi P, sebaliknya P efektif sebagai agen detoksifikasi Al.
Interaksi Al-P dalam tanaman adalah: 1)
pengendapan Al-P dan 2) mengganggu metabolisme P (Baligar et al. 1997). Kemiripan gejala toksisitas Al dengan defisiensi P antara lain nekrosis pada ujung daun, penghambatan pertumbuhan, daun berwarna hijau tua, dan kadang-kadang daun atau batang berwarna ungu. Defisiensi P disebabkan karena menurunnya penyerapan dan transpor P oleh pengendapan Al-P pada akar tanaman, dan gangguan Al dalam metabolisme P yang sudah terdapat pada pucuk tanaman (Matsumoto et al. 1992). Hasil penelitian Syafruddin (2002) menunjukkan, genotipe jagung yang toleran Al jika ditumbuhkan pada larutan hara dengan konsentrasi Al rendah (2.5 ppm) dikombinasikan dengan konsentrasi P rendah (6 ppm) menunjukkan pertumbuhan akar baik yang disebabkan oleh meningkatnya kadar P. Hal ini
16
ditunjukkan oleh genotipe AMATL-HS-C2-S0 (toleran) yang mempunyai Panjang Akar Relatif (PAR) lebih tinggi pada konsentrasi 2.5 ppm Al disertai 6 ppm P dibandingkan tanpa Al pada konsentrasi P sama atau pada konsentrasi 2.5 pm Al dengan 11.5 ppm P.
Pemanjangan akar
kemungkinan dimaksudkan untuk
mencegah tanaman kekurangan P di akar.
Bertambahnya panjang akar,
menyebabkan bertambahnya luas permukaan akar, sehingga kontak akar dengan larutan untuk mengambil hara P akan lebih tinggi. Sebaliknya, tanaman peka Al akan memperlihatkan penurunan pertumbuhan akar, bobot kering tanaman serta kadar dan serapan hara P. Pengaruh buruk ini dapat ditekan dengan meningkatkan konsentrasi P di larutan/media. Rasio P akar/tajuk meningkat secara nyata dengan penambahan Al larutan pada tanaman yang toleran dibandingkan genotipe peka. Peningkatan rasio kadar P akar/tajuk ini diduga untuk mencegah berkurangnya kadar P di akar oleh adanya Al, karena P di akar sangat penting dalam eksudasi P ke larutan (Swasti 2004).
Fungsi dan Gejala Defisiensi Fosfor Fosfor termasuk hara makro dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak seperti halnya N, K, Ca, Mg dan S. Dalam tanaman P dijumpai dengan kadar 0.10.4% (Tisdale et al., 1985). Menurut Marschner (1995), fungsi P pada tanaman dapat digolongkan dalam tiga bagian. Fungsi pertama adalah sebagai penyusun makro molekul. Dua makro molekul yang utama dan terpenting yang melibatkan P adalah asam nukleat (DNA dan RNA) dan fosfolipid biomembran.
Asam
nukleat adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman. Pada biomembran P membentuk ikatan atau jembatan antara digliserida dan molekul lainnya seperti asam amino, amina atau alkohol, membentuk fosforidilkolin (lesitin) yang menjaga integritas membran. Fungsi kedua P adalah sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan dan perpindahan energi.
Dua
senyawa kaya energi yang paling umum adalah ATP dan ADP. Energi dalam ATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfor yang pemecahannya akan melepaskan energi, yang dikenal dengan proses fosforilasi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua proses biologi yang membutuhkan energi. Unsur P juga diperlukan dalam proses fotosintesis yakni pada fotofosforilasi dan pembentukan
17
ribulosa 1.5-bifosfor. Fungsi ketiga P adalah regulator reaksi biokimia melalui fosforilasi yang dapat mengaktivasi atau inaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci dalam transduksi sinyal. Secara agronomis unsur P diketahui berperan dalam percepatan pematangan biji, kekuatan batang sereal, serta mutu buah, hijauan dan biji-bijian. Benih yang dihasilkan dari tanaman yang cukup P akan memiliki daya kecambah dan vigour yang tinggi karena kandungan senyawa phytin meningkat (Mengel dan Kirby 1982). Tanaman menyerap P dari larutan tanah terutama dalam bentuk orthofosfor primer dan sekunder (H2PO4- dan HPO42-) dan sedikit dalam bentuk senyawa organik (Tisdale et al., 1985). Orthofosfor sekunder lebih dominan pada pH di atas 7.22, namun tanaman menyerap P lebih lambat dibanding orthofosfor primer. Bagian tanaman yang aktif menyerap P adalah jaringan muda dekat ujung akar. Konsentrasi P yang relatif tinggi menumpuk di ujung akar diikuti oleh akumulasi rendah pada bagian pemanjangan. Penyerapan P oleh tanaman dari tanah adalah penyerapan aktif karena melawan gradien konsentrasi (Clarkson dan Grignon 1991). Kadar P larutan tanah di luar sel akar umumnya 1µM atau kurang, sedangkan kadar dalam sitoplasma adalah 103 sampai 104 lebih tinggi. Setelah diserap, fosfor dapat tetap sebagai P inorganik atau teresterifikasi (melalui gugus hidroksil) dengan rantai karbon sebagai ester P sederhana (gula P) atau terikat dengan P lainnya dengan ikatan pirofosfor kaya energi (ATP, ADP) atau diester. Berbeda dengan unsur hara N dan K, P bergerak menuju akar melalui difusi yang berjalan lambat. Pergerakan secara difusi merupakan mekanisme pergerakan P menuju akar yang paling penting. Difusi P sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah, kapasitas penyangga P tanah, temperatur dan bentuk lintasan difusi (Tisdale et al., 1985). Mobilitas P yang rendah pada tanah menyebabkan karakter morfologi akar seperti panjang akar dan luas permukaan ditemukan sangat mempengaruhi serapan P pada beberapa spesies tanaman.
Dalam
penelitian dengan beberapa kultivar padi ditemukan bahwa toleransi terhadap P rendah seluruhnya tergantung variasi genetik dalam serapan P, yang sangat tergantung pada ukuran akar (Wissuwa dan Ae 2001).
18
Gejala khas kekahatan sering sukar terlihat, tidak seperti gejala kekahatan unsur lainnya seperti K dan Mg. Kekerdilan dan pengurangan jumlah anakan pada tanaman monokotil atau cabang pada dikotil, daun pendek dan tegak, serta penundaan pembungaan adalah gejala yang umum pada kebanyakan tanaman (Rao dan Terry 1999). Penurunan luas dan jumlah daun juga merupakan gejala kekahatan P akibat tertekannya perkembangan sel epidermis daun. Tanaman yang kekahatan P juga sering memperlihatkan daun sempit berwarna hijau gelap, hal ini terjadi karena pertambahan luas daun lebih tertekan dibandingkan pembentukan kloroplas dan klorofil. Pemberian pupuk fosfor adalah salah satu usaha untuk mengatasi kekahatan P. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemupukan fosfor pada tanaman sangat rendah, hanya 15-20% dari P yang diberikan dapat diserap tanaman (Baharsyah 1990).
Rendahnya efisiensi
pemupukan P ini menurut Tisdale et al., (1985) disebabkan terjadinya transformasi (fiksasi dan presipitasi) P yang diberikan dengan ion-ion besi, alumunium, kalsium, magnesium dan mangan menjadi bentuk yang sukar larut dalam air. Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi Fosfor Toleransi terhadap cekaman hara rendah adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan hasil pada kondisi hara terbatas. Sifat toleran ini tidak dapat dipisahkan dengan efisiensi seperti terlihat pada mekanisme yang mendasarinya (Rao et al. 1999). Toleransi lebih menggambarkan dinamika atau respon tanaman terhadap perubahan lingkungan dan menggambarkan kemampuan adaptasi tanaman (Wissuwa dan Ae 2001). Secara umum adaptasi tanaman terhadap defisiensi P dicapai melalui mekanisme peningkatan penyerapan dan peningkatan efisiensi penggunaan (Rao et al., 1999).
Peningkatan penyerapan dicapai melalui perbedaan morfologi
(pertumbuhan dan distribusi, diameter, rambut akar), dan fisiologi akar (sistem penyerapan dan mobilisasi P pada rizosfir), sedangkan efisiensi penggunaan dicapai melalui partisi (mobilisasi) P dalam tanaman dan efisiensi penggunaan pada level selular.
19
Menurut Peng dan Ismail (2004), mekanisme adaptasi tanaman terhadap P rendah dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) mekanisme internal yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan P oleh jaringan, dan (2) mekanisme eksternal yang memungkinkan efisiensi serapan P yang lebih tinggi oleh akar. Mekanisme Internal dicapai melalui kemampuan tanaman untuk: (a) memanfaatkan P dengan efisien, dan (b) memobilisasi P dari jaringan yang tidak aktif lagi bermetabolisme. Menurut Kochian et al. (2004), ketersediaan P tanah yang rendah akibat mudahnya P terfiksasi oleh bahan organik menyebabkan mekanisme eksternal menjadi lebih penting karena tanaman mengembangkan berbagai mekanisme untuk membuat P menjadi tersedia dan untuk meningkatkan kemampuan menyerap P. Mekanisme eksternal meliputi: (a) kemampuan tanaman untuk membentuk perakaran yang lebih panjang, (b) kemampuan meningkatkan luas serapan dengan pertumbuhan rambut-rambut akar, (c) kemampuan melarutkan P tidak tersedia melalui perubahan pH atau sekresi senyawa pengkelat, (d) kemampuan menggunakan P organik melalui sekresi fosfatase, dan (e) kemampuan dalam bersimbiosis dengan mikorhiza.
Menurut Kochian et al. (2004), salah satu
mekanisme eksternal penting dalam meningkatkan kemampuan menyerap P adalah dengan peningkatan kinetika serapan P. Perubahan fisiologi akar juga merupakan mekanisme toleransi tanaman terhadap terbatasnya suplai P yang terutama disebabkan oleh perubahan kinetika serapan.
Kinetika serapan P
menunjukkan adanya high affinity transporter yang lebih aktif pada konsentrasi P rendah dibanding low affinity transporter. Hasil penelitian Syarief (2005) juga menunjukkan afinitas karier akar yang tinggi terhadap P yang ditunjukkan oleh konstanta Michaelis-Menten (Km) yang rendah yang merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap P rendah pada tanaman padi. Gordon-Weeks et al. (2003) melaporkan peningkatan ekspresi gen-gen dari kelompok Pht 1 yang menyandikan proton-Pi cotransporter pada akar tanaman kentang yang ditumbuhkan pada keadaan kahat P. Penyerapan P melalui transporter dimediasi oleh H+-Pi cotransport yang mendapat energi dari H+-ATPase.
Mekanisme
adaptasi tanaman terhadap kekahatan P yang meliputi respon morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler disajikan pada Tabel 2.
20
Eksudasi asam organik (malat, sitrat dan oksalat) adalah mekanisme lain tanaman untuk meningkatkan P dari tanah. Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme pelarutan senyawa P sukar larut (Al-P, Fe-P) dengan penurunan pH atau desorbsi P dari tapak jerapan dengan pertukaran anion (Crowley dan Rengel 2000).
Anion dari asam organik dapat membentuk
kompleks dengan Al atau Fe sehingga dapat melepaskan ion fosfor atau mencegah ion fosfor bereaksi dengan ion Al atau Fe.
Tabel 2. Respon tanaman terhadap defisiensi P Tingkatan respon Respon Tanaman tanaman __________________________________________________________________ Morfologis
Peningkatan nisbah akar- tajuk, perubahan morfologi dan arsitektur akar, peningkatan jumlah dan panjang rambut akar, akumulasi pigmen antosianin, dan pembentukan akar proteoid Fisiologis peningkatan serapan P, penurunan efluks Pi, peningkatan efisiensi penggunaan P, mobilisasi Pi dari vakuola ke sitoplasma, translokasi antar jaringan, sekresi asam organik, proton, sekresi fosfatase dan Rnase, perubahan metabolisme karbon, fotosintesis dan fiksasi nitrogen Enzimatis aktivasi enzim-enzim, peningkatan produksi fosfatase, Rnase dan asam organik, serta perubahan dalam fosforilasi protein Molekuler aktivasi gen-gen yang mengendalikan sintesa Rnase, fosfatase, fosfor transporter, Ca-ATPase, beta-glukosidase dan PEPCase. __________________________________________________________________ Sumber: Roghothama (1999) dalam Sopandie (2006) Kompartementasi P intraselular dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan P. Penelitian Mimura et al. (1996) menunjukkan terjadi pergerakan P dari vakuola ke sitoplasma pada kondisi kahat P yang memungkinkan kadar P dalam sitoplasma dapat dipertahankan agar proses fisiologis tetap berjalan normal. Penelitian Swasti (2004) juga menunjukkan bahwa proporsi fraksi P anorganik yang lebih rendah pada perlakuan P rendah dibanding perlakuan P tinggi pada tanaman padi mengindikasikan adanya transfer P (anorganik) dari vakuola dan digunakan untuk sintesis bahan organik.
21
Beberapa tanaman yang dapat toleran pada kondisi P rendah menunjukkan aktivitas PFP (Phyrophosphat-dependent phospho fruktokinase) yang tinggi.
Enzim ini mengkatalisis reaksi yang memotong reaksi ATP-
dependent fruktokinase (PFK).
Modifikasi ini dapat mendaur ulang Pi dan
menghemat penggunaan ATP (Murley et al. 1998). Remobilisasi
P
dalam
tumbuhan
untuk
meningkatkan
efisiensi
penggunaan P juga merupakan salah satu mekanisme yang penting. Fosfor yang terdapat pada organ atau jaringan yang kurang atau tidak aktif akan dimobilisasikan ke organ atau jaringan aktif sehingga P yang telah diserap tumbuhan dapat digunakan kembali dalam proses fisiologi. Menurut Caradus (1990), kadar P rendah pada organ yang dipanen dapat dianggap meningkatkan efisiensi agronomis penggunaan P.
Penurunan laju
kematian daun juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan P karena dengan cara ini P dapat digunakan lebih lama. Hara yang diserap dan ditranslokasikan ke tajuk juga menentukan efisisiensi penggunaan P. Penyerapan hara yang tinggi belum tentu memecahkan masalah defisiensi P, tergantung penyerapan yang tinggi tersebut disertai juga dengan translokasi ke tajuk atau tidak. Arabidopsis thaliana tipe liar misalnya, penyerapan yang tinggi tidak disertai oleh translokasi yang tinggi. Hanya 35% dari P yang diserap ditranslokasikan ke tajuk, dibandingkan dengan tipe mutannya yang mencapai 90%. Menurut Poirer et al. (1991), penyerapan dan translokasi ke tajuk diatur oleh mekanisme terpisah yang dikendalikan secara genetik. Respon tanaman terhadap cekaman P berlangsung secara bertahap. Hammond, Brodley dan White (2004) mengelompokkan gen-gen yang berperan dalam adaptasi terhadap cekaman P menjadi kelompok gen-gen yang merespon paling awal dan umumnya tidak spesifik terhadap kahat P (early genes) dan gengen yang menyandikan perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia (late genes) yang aktif ketika terjadi cekaman P dalam waktu lama. Secara hipotesis dapat digambarkan urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P (Gambar 4).
22
Awal dari kekahatan P Signal awal / cekaman umum Morfologi Ribo regulators Faktor transkripsi Tanggap umum
Perubahan hormonal Nisbah akar/tajuk meningkat Perbanyakan akar rambut Pembentukan akar lateral Metabolisme Perubahan/pengalihan metabolisme Metabolisme sekunder Fisiologi Penyerapan P meningkat Modifikasi rhizosfer Mobilisasi P internal Perubahan P internal Daur ulang P internal Taraf Kekahatan P
Sumber : Sopandie (2006) Gambar 4. Urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P secara hipotetik Hasil penelitian Wasaki et al. (2003), terhadap tanaman white lupins (Lupinus albus L. cv. Kievskij mutant) pada media hidroponik di dalam rumah kaca pada kondisi defiensi P dan P-cukup, menunjukkan bahwa
akar
mengsekresikan lebih banyak asam fosfatase (S-APase) saat ditumbuhkan pada kondisi cekaman P rendah dibanding P yang cukup (Gambar 8 dan 9). P yang rendah juga menginduksi vigor pertumbuhan kelompok cluster akar, dimana fungsi cluster ditemukan ada kaitannya dengan sekresi S-APase. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa ekpresi gen S-Apase juga paling tinggi di dalam akar yang tumbuh pada kondisi defisiensi P. Juga diketahui bahwa penurunan konsentrasi P internal menstimulir ekpresi S-Apase dan pembentukan cluster akar.
23
(A)
(B)
Sumber: Wasaki (2003) Gambar 5. Sekresi S-APase dari akar white lupin yang ditumbuhkan pada kondisi P rendah. (A) : Akar Lupin yang ditumbuhkan pada kondisi tanpa P dan diinkubasi 24 jam (B). Sekresi aktivitas gen S-APase
Sumber: Wasaki (2003) Gambar 6. Pola sekresi S-APase pada akar Wite Lupin setelah ditumbuhkan 25 hari dan dipindahkan ke larutan hara dengan P rendah dan P-cukup selama 24 jam. Bagian yang di bingkai menunjukkan cluster roots Asam Phytic merupakan bentuk penyimpanan P di dalam benih dan pollen (Maga, 1982). Phytase sangat penting dalam mobilisasi ketersediaan P pada pertumbuhan
benih
yang
dapat
menghidrolisis
sodium
phytate
dan
perkecambahan polen. Hasil penelitian Li et al. (1997) menunjukkan bahwa defisiensi P meningkatkan sekresi asam phytase pada akar beberapa jenis tanaman. Namun P rendah tidak hanya meningkatkan sekresi phytase, tetapi juga
24
meningkatkan asam fosfat. Sekresi phytase dalam tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi P rendah akan tinggi pada
Brachiaria decumbens CIAT 606,
Stylosanthes guianensis CIAT 184 dan tomat, sedangkan
pada Brachiaria
brizantha CIAT6780, Stylosanthes guianensis CIAT 2950, alfalfa, white clover dan orchard grass, dan lebih rendah pada Andropogon gayanus CIAT 621, Stylosanthes capitata CIAT 10280, padi gogo, timothy, redtop, alsike clover, red clover dan white lupin.