1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Ayam Ayam kampung atau sering disebut ayam buras merupakan jenis ayam hutan liar yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, jenis ayam hutan mengalami seleksi alamiah berdasarkan situasi lingkungan yang berbeda antara lain melalui perkawinan antar jenis ayam hutan sehingga tercipta varietas-varietas baru (Bambang, 2010). Berdasarkan analisis variasi sekuen D-loop mitokondria diketahui bahwa domestikasi ayam dimulai di Asia Selatan (Lembah Indus) dan lembah Sungai Kuning/Henan Cina (Hanotte, 2002) dan Indonesia (Sulandari, et al., 2007). Ayam lokal di Eropa, Afrika dan Negara-negara Timur Tengah (Turki, Suriah, Yordania, Israel, Palestina, Irak, Georgia, Armenia dan Azerbaijan) berasal dari Asia Selatan sedangkan ayam lokal Jepang berasal dari Cina (Hanotte, 2002). Ayam lokal Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah (Gallus gallus) oleh penduduk setempat dan memiliki ciri yang sangat berbeda dengan ayam dari negara lain (Sulandari, et al., 2007). Jenis ayam lokal banyak dijumpai di Indonesia, baik yang asli maupun hasil adaptasi. Ayam lokal dapat digolongkan sebagai tipe pedaging (pelung, nagrak, gaok dan sedayu), petelur (kedu hitam, kedu putih, nusa penida, nunukan, merawang, wareng dan ayam sumatera), dan dwiguna (ayam sentul, bangkalan, olagan, kampung, ayunai, melayu dan ayam siem). Selain itu dikenal pula ayam tipe
2
petarung (ayam banten, ciparage, tolaki dan Bangkok) dan ternak kegemaran/hias seperti ayam pelung, gaok, tukung, burgo, bekisar dan walik (Nataamijaya, 2010). Jumlah populasi ayam kampung di Indonesia setiap tahun menurun. Berdasarkan Data Statistik Peternakan (2013), bahwa jumlah populasi ayam buras di Indonesia pada tahun 2006 yaitu 291.085.191 ekor sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 masing-masing 272.251.141 ekor dan 243.423.389 ekor. Pada tahun 2009 jumlah populasi ayam buras di Indonesia yaitu 249.963.499 ekor dan pada tahun 2010 jumlah populasi ayam buras di Indonesia yaitu 257.544.104 ekor. Jumlah populasi ayam kampung di provinsi Bali yaitu pada tahun 2006 yaitu 4.508.254 ekor, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 masing-masing berjumlah 4.281.108 dan 4.411.641. Pada tahun 2009 jumlah populasi ayam kampung di Bali yaitu 4.577.895 ekor sedangkan pada tahun 2010 jumlah populasinya yaitu 4.644.548 ekor. Populasi ayam kampung di Indonesia perlu ditingkatkan mengingat kebutuhan protein seperti daging dan telur meningkat setiap tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal diperlukan upaya perbaikan mutu genetik, pakan, budi daya, dan pengendalian penyakit. Ayam Lohman Brown merupakan jenis ayam petelur. Ayam Lohman Brown merupakan jenis ayam komersial yang dikembangkan di Jerman oleh Lohman Tierzucht GmbH. Lohman Brown merupakan hasil dari gabungan empat line komersial murni. Pada umumnya Lohman Brown dipelihara oleh peternak dengan sistem produksi intensif di Jerman (Abdelqader et al., 2006).
3
Faktor genetik untuk melawan infeksi penyakit bukanlah hal yang baru. Hal ini merupakan konsep seleksi alam yang telah digunakan untuk strategi melawan infeksi. Penelitian tentang resistensi genetik terhadap infeksi cacing gastrointestinal masih sedikit. Meskipun pengetahuan tentang resistensi genetik terhadap infeksi cacing gastrointestinal lebih mudah dalam aplikasinya dalam memilih atau mengembang biakkan ayam dalam sistem organik free range (Minga, et al., 2004). Ayam lokal dapat bertahan hidup disebabkan memiliki daya tahan tubuh setelah terinfeksi yang didapat secara alami. Ayam lokal ini dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini dikarenakan ayam tersebut telah membawa gen yang dapat mengendalikan perilaku khusus, fisiologis, penyakit dan sifat resistensi terhadap parasit (Minga, et al., 2004). Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa ayam lokal atau ayam buras tahan terhadap beberapa penyakit. Menurut Okoye, et al (1999) menyatakan bahwa ayam lokal di Negeria lebih rentan terhadap Infectious Bursal Disease daripada ayam layer. Oluyemi, et al (1979) melaporkan bahwa jenis Fayoumi dari Mesir resisten terhadap Avian Leucosis Complex. Menurut Okoye, et al (1999) dan Oluyemi, et al (1979)
menyatakan bahwa akibat kekurangan nutrisi mempengaruhi keturunan
berikutnya. Penelitian terhadap ayam lokal yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dapat membantu
dalam
upaya
melestarikan
keanekaragaman
hayati.
Kelestarian
keanekaragaman hayati terhadap ayam lokal ini akan meningkatkan produktivitas dan resistensi terhadap penyakit.
4
1.2 Ascaridia galli Cacing Ascaridia galli tersebar meluas pada negara-negara di seluruh dunia. Penyebaran ascaridiosis dapat terjadi pada keadaan temperatur tropis dan sub tropis. Ascaridiosis pada ayam pertama dilaporkan di Jerman, selanjutnya terjadi di Brazil, India, Zanzibar, Pilipina, Belgia, China, Kanada dan Inggris. Selain pada ayam, Ascaridia galli juga ditemukan pada jenis unggas lainnya seperti angsa, kalkun, dan pada burung liar (Permin dan Hansen, 1998). Pada umumnya Ascaridia galli mempunyai esophagus berbentuk alat pemukul tetapi tidak mempunyai bulbus posterior. Cacing jantan mempunyai penghisap preanal dengan tepian kutikuler. Spikulum sama besar atau agak sama, dan tidak ada gubernakulum. Vulva dekat berada didekat pertengahan tubuh. Telur berbentuk elips dan mempunyai kulit agak tebal (Levine, 1994).
5
Gambar 2.1. Morfologi Ascaridia galli (Ramadan dan Znada, 1992). a. b. c. d.
Bagian Kepala (bibir dan cephalic papillae) Posterior Jantan (caudal papillae) Ekor betina Bagian vulvar betina
Ascaridia galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan. Cacing ini memiliki kutikula ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda cacing dewasa. Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Panjang cacing jantan 30-80 mm dan diameter 0,5 – 1,2 mm. Pengisap preanal berdiameter sekitar 220 mikron dan mempunyai papila-papila pada tepi tubuh bagian posterior. Panjang
6
spikulum sekitar 4 mm. Cacing betina memiliki panjang tubuh 60-120 mm dan diameter 0,9-1,8 mm dengan telur berukuran 75-80 x 45-50 mikron (Levine, 1994). Levine (1994) menyatakan bahwa siklus hidup cacing Ascaridia galli bersifat langsung. Telur keluar bersama feces dan berkembang menjadi stadium infektif (L2) diatas tanah dalam waktu 8-14 hari tergantung pada temperatur serta kelembaban lingkungan. Telur infektif tertelan oleh inang definitif melalui makanan yang terkontaminasi. Telur yang mengandung L2 masuk kedalam duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24 jam pasca ingesti. Larva yang menetas dari dalam telur ke dalam lumen intestinal untuk menjadi L3 (Levine, 1994). Menurut Permin dan Hansen (1998) menyatakan bahwa L3 Ascaridia galli melanjutkan fase histotropik dengan cara menanamkan dirinya ke dalam lumen mukisa duodenum (fase jaringan) menjadi L4. Durasi fase histotropik berlangsung selama 3-54 hari pasca infeksi. Larva empat (L4) menyilih menjadi L5 (cacing muda) yang akan tumbuh dan menjadi cacing dewasa di dalam lumen duodenum. Periode prepaten cacing Ascaridia galli berlangsung dalam waktu 5-8 minggu (Levine, 1994).
7
Gambar 2.2. Siklus hidup Ascaridia galli (Permin, 1997). Larva yang menempel pada lumen usus halus dapat menyebabkan perdarahan dan hancurnya kelenjar epitel. Selain itu, proliferasi sel dapat mengakibatkan adhesi dari villi mukosa. Kerusakan tersebut tidak hanya disebabkan oleh larva melainkan juga disebabkan oleh cacing dewasa. Cacing-cacing dewasa ini akan menyebabkan atrofi villi dan nekrosis pada lapisan mukosa. Selama fase histotrofik dapat menyebabkan gula darah menurun (Permin, 1997). Ayam merupakan salah satu contoh spesies yang sering diserang oleh Ascaridia galli. Anak ayam lebih peka terhadap cacing Ascaridia galli daripada ayam dewasa. White Leghorn lebih peka daripada ayam ras yang lain. Lewat umur tiga bulan ayam
8
akan lebih tahan, hal ini berkaitan dengan meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Larva cacing lebih banyak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus, karena larva ini cenderung membenamkan diri pada mukosa sehingga sering menyebabkan perdarahan dan enteritis (Kristine dan Marilyn, 2003) Apabila cacing genus Ascaris yang ditemukan dalam usus halus terlalu banyak, ayam akan menjadi kurus. Hal ini terjadi karena cacing yang memenuhi usus akan menghambat penyerapan makanan, bahkan cacing mengeluarkan zat anti enzim yang menyulitkan pencernaan makanan (Kristine dan Marilyn, 2003). Infeksi cacing Ascaridia galli pada ayam dapat didiagnosa dengan pemeriksaan laboratorium dan menemukan telur cacing dalam feces dan identifikasi cacing dewasa secara langsung (Levine, 1994).