Dibubarkan Paksa, Ratusan Keluarga Korban HAM 65/66 Pingsan http://harianterbit.com/national/read/2015/02/23/20235/25/25/Dibubarkan-Paksa-Ratusan-Keluarga-Korban-HAM-6566-Pingsan
Di Publish Pada Tanggal : Senin, 23 Februari 2015 10:16 WIB Jakarta, HanTer - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pembubaran paksa terhadap acara temu korban pelanggaran HAM di Sumatera Barat, Minggu (22/2/2015). Acara yang dihadiri para korban 65/66 tersebut dibubarkan secara paksa oleh ratusan warga Kelurahan Bukik Cangan Kayu Ramang, aparat dari TNI dan Polres Bukittinggi pada pukul 10:30 WIB. Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan, acara temu korban 65/66 sekaligus juga perayaan ulang tahun ke-15 YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) Sumatera Barat. Namun ketika acara belum berlangsung sudah dibubarkan ratusan massa dan aparat. Padahal acara yang dihadiri oleh perwakilan KontraS, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK tersebut untuk mengadakan pertemuan dengan para korban 65/66. Akibat dari pembubaran paksa tersebut, lebih dari 200 korban 65/66 yang hadir dalam acara tersebut mengalami intimidasi dan kekerasan berupa ancaman, makian/hinaan, serta pemaksaan keluar dari lokasi dengan cara didorong atau ditarik secara paksa oleh warga. "Akibat aksi tersebut, beberapa korban yang berusia antara 65-90 tahun mengalami shock dan pingsan di tempat," ujar Haris Azhar dalam pesan tertulisnya, Minggu (22/2/2015) malam. Menurut Haris, dalam kurun waktu satu (1) tahun kebelakang, setidaknya KontraS mencatat telah terjadi tiga kali pembubaran paksa yang disertai intimidasi dan penyerangan kepada korban pelanggaran HAM berat 1965/1966, yakni pembubaran temu korban 65/66 di Semarang, Jawa Tengah pada 16 Februari 2014 oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). 1
Selain itu ada juga pembubaran pemutaran film Senyap masing-masing di dua lokasi di Malang dan Yogyakarta (Sekretariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Warung Kelir, Kota Malang, Jawa Timur, serta pembuaran acara yang digelar di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada) pada Desember 2014. "Pembubaran paksa yang disertai dengan keterlibatan dan pembiaran oleh aparat, jelas melanggar UUD 1945 Pasal 28 E Ayat 3 dan 28 F tentang hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat," jelas Haris. Haris menilai, terjadinya keberulangan jelas menunjukkan pemerintah belum berhasil menjaga hak-hak sipil warga negaranya, yang dalam hal ini adalah korban dan keluarga korban 1965/1966, serta khalayak yang memiliki empati terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Terlebih, keberulangan tindakan serupa di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, menegaskan bahwasanya komitmen negara dalam menjamin terpenuhinya hak warga negara, dalam hal ini adalah korban pelanggaran HAM berat, serta janji yang tertuang dalam visi-misi Jokowi-JK sama sekali belum terimplementasikan. "Kami meminta agar Polisi menindak tegas pelaku pembubaran paksa diatas," tegasnya
Pernyataan Sikap Nomor 01/YPKP65/2015
YPKP 65 Mengecam Keras Aksi Pembubaran Rapat Korban 65 dan Penggeledahan oleh Sekelompok Preman di Bukittinggi YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) mengecam keras aksi pembubaran terhadap peserta rapat Korban 65 yang disertai aksi penggeledahan oleh sekelompok preman di rumah Ibu Nadiani Bukitcangang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada Minggu 22 Februari 2015 pukul 10.30 – 14.00 Aksi kekerasan, yang diikuti 50-90 orang preman memaksa 200 korban pelanggaran HAM berat tragedy 65 yang rata-rata berusia 65-85 tahun harus meninggalkan acara
2
pertemuan. Para korban diseret , didorong dan bahkan ada yang jatuh terinjak dan mengalami kesakitan serta menimbulkan ketakutan. Ada seorang bapak-bapak yang duduk di lantai tidak mau meninggalkan ruang karena sakit, tidak luput dari amukan penyerang. Seorang korban yang sedang menderita rabun mata (tidak melihat) juga didorong hingga terjatuh dan terinjak. Para penyerang dengan histeris, mengeluarkan kata-kata tidak sopan, berteriak-teriak mengancam nyawa para korban, dan kemudian melanjutkan aksinya dengan menggeledah ruang tamu serta kamar-kamar milik tuan rumah, menginjak alas lantai karpet tanpa melepas sepatu. Anak dan cucu ibu Nadiani diusir dari rumahnya. Para penyerang juga memaksa tamu pejabat negara yaitu Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Ibu Yuni salah seorang Pimpinan Komnas Perempuan, Ibu Nursyahbani Katjasungkana mantan Anggota DPR-RI, Ferry Kusuma dari KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan) serta Bedjo Untung Ketua YPKP 65 Pusat untuk meninggalkan ruang rapat. Para tamu/narasumber gagal mengisi acara memberikan penjelasan tentang usaha negara untuk memberikan pemulihan, pelayanan medis dan psikososial terhadap korban. Tindakan main hakim sendiri, aksi kekerasan, pemaksaan kehendak jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 maupun prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Bahwa kebebasan berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat adalah dijamin oleh Undang-undang. Tindakan sekelompok penyerang -- meskipun tidak menimbulkan korban jiwa -- jelas merupakan terror terhadap masyarakat sipil, membuat rasa tidak nyaman dan membuat rasa takut bagi masyarakat. Tindakan penggeledahan rumah, memasuki kamar tanpa ijin serta memaksa pejabat negara meninggalkan tempat pertemuan (mengusir) adalah tindakan kriminal dan dapat dipidanakan. Yang aneh dalam hal pengamanan pertemuan, aparat polisi yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi para Korban yang usianya sudah lanjut itu, justru tunduk pada kemauan para penyerang sehingga para penyerang dapat dengan leluasa melampiaskan aksinya. Padahal, semalam sebelum terjadinya aksi preman tersebut, aparat keamanan sudah mendeteksi akan adanya potensi kekerasan dan meyakinkan kepada panitia bila terjadi hal-hal yang akan mengacaukan jalannya rapat agar segera hubungi aparat polisi. Pihak Panitia telah menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi terkait: Kapolres Bukittinggi, Kapolsek, Walikota, Kejaksaan, Komandan Kodim. Bahkan, mengundang para pejabat: Kepala Kejaksaan Bukittinggi, Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi, serta
3
Pimpinan DPRD. Ini semua dilakukan demi penyelenggaraan acara dapat berlangsung dengan aman dan lancar. Dan, di rumah ibu Nadiani sudah sering kali dilakukan acara yang sama sejak tahun 2000, bahkan pada 2012 dikunjungi Komnas HAM dan LPSK dan akhir-akhir ini di tempat ini pula diselenggarakan assessment terhadap para korban yang akan memperoleh pelayanan medis/psikososial LPSK. Semuanya aman-aman saja. Dengan adanya peristiwa kekerasan dan terror pembubaran Rapat YPKP 65 di Bukittinggi, sangat kentara secara kasat mata ada usaha sekelompok penyerang yang mengatasnamakan warga masyarakat yang terprovokasi dengan informasi menyesatkan yang dimanfaatkan oleh para pelaku (perpetrators) kejahatan 65 untuk terus melanggengkan impunitas serta menjegal usaha pemerintah/negara yang ingin menuntaskan pelanggaran HAM berat khususnya tragedy 1965/66. Oleh sebab itu, dengan ini kami mendesak: 1.
Aparat Kepolisian segera mengusut dan menyelidiki tindakan kekerasan yang menimbulkan keresahan dan rasa takut bagi masyarakat khususnya Korban 65 dan memprosesnya secara hukum sebagai penjeraan terhadap para pelaku tindak kejahatan.
2.
Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang bertugas melindungi warga Negara dari rasa takut wajib menjamin rasa aman kepada setiap warga Negara termasuk Korban 65 , yaitu perlunya melakukan investigasi, penyelidikan atas kejadian di Bukittinggi tersebut. 3. Kepada Mabes Polri/Wakapolri untuk menindak dengan tegas aparat dibawahnya yang tidak professional menjalankan tugasnya yaitu yang tidak dapat memberi rasa aman bagi warganya, tidak memberikan pengamanan maksimal terhadap masyarakatnya, serta menjamin kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di wilayah Bukittinggi kota yang selama ini dikenal sebagai kota Islami yang penuh dengan rahmat untuk mahluk di alam semesta. 4. Kepada Bapak Presiden Ir. Joko Widodo untuk segera menuntaskan/menyelesaikan pelanggaran HAM berat tragedy 1965/66 yang telah berlangsung selama 50 tahun dimana korban masih terus memperoleh ketidakadilan, stigma dan diskriminasi. 5. Kepada Walikota Bukittinggi untuk segera memfasilitasi pertemuan Korban Pelanggaran HAM berat 65 sebagai pengganti pertemuan yang gagal dilaksanakan dengan menghadirkan pejabat negara terkait. Hal ini perlu dilakukan agar ada rasa aman, untuk memulihkan trauma akibat aksi kekerasan tersebut.
4
6.
Kepada para Korban dan Keluarga Korban 65 baik secara individual maupun secara organisasi perlu meningkatkan kewaspadaan untuk tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin mengadu domba antar sesama anak Bangsa.
Demikian Pernyataan pihak-pihak terkait.
Sikap
ini
disampaikan
agar
segera
ditindaklanjuti
oleh
Jakarta 23 Februari 2015 Bedjo Untung Ketua YPKP 65 YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966
(YPKP 65)
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007 Tambahan Berita Negara RI Nomor 45
tanggal 5 Juni 2007 , PENGURUS PUSAT
Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia no. 21 Kp. Warung Mangga,RT 01 RW 02 Panunggangan , Kecamatan Pinang, Kab/Kota Tangerang 15143 Banten,INDONESIA Phone : (+62
-21) 53121770, Fax 021-53121770
, E-mail
[email protected];
[email protected]
5