ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ INSTITUT PENGAJIAN TINGGI AL-ZUHRI DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM AL-ZUHRI HADITS 1 MINGGU KETIGA 10 Apr 2014 / 6.30 PTG – 9.30 MLM
HUKUM MERIWAYAT HADITS MAUDHU’ DAN DHO’IF
HADITS DHO’IF DAN HADITS MAUDHU’ • Hadis yang dho'if(lemah) bukanlah Hadis yang maudhu’(palsu). • Hadis dho'if adalah hadits yang hanya lemah sanadnya dan bukan pula hadits yang tidak benar. • Hadits maudhu’ adalah hadits palsu, hadits yang direka-reka oleh seseorang dan disandarkan kepada Nabi saw. • Perbahasan tentang hadis dho'if disini adalah tentang penggunaan hadis dho'if yang telah disepakati kedho'ifannya dan bukan yang diperselisihkan tentangnya. Kerana hadis yang diperselisihkan mengenai kedho'ifannya, berkemungkinan mempunyai nilai yang sahih di sisi sebahgian para ulama’ yang mengamalkan dan menggunakannya. • Hadis yang dikatakan dho'if atau lemah ini ialah hadis yang darjatnya kurang sedikit dari hadits shahih atau hadits hasan.
HADITS DHO’IF DAN HADITS MAUDHU’ • Sekiranya dalam sebuah hadits yang sanad rawi-rawinya terdiri dari orang baik-baik, dengan erti baik perangainya, soleh orangnya, tidak pelupa hafalannya, maka hadisnya itu dinamai hadis shahih. • Tetapi sekiranya salah seorang rawi daripadanya terkenal dengan akhlaknya yang kurang baik, umpamanya pernah makan di jalanan, pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalannya, maka hadisnya dinamai Hadis dho'if (lemah). • Atau sekiranya hilang salah seorang daripada rawinya yang dinamakan dengan hadits Mursal, iaitu hadis yang terputus sanadnya, maka ia termasuk hadits dho'if juga. Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membikin sesuatu Hadits menjadi dho'if atau lemah seperti yang telah kita pelajari pada sesi yang lalu. • Pada hakikatnya hadis yang semacam ini adalah dari Nabi saw juga, akan tetapi “sanadnya” sahaja yang kurang baik dan bukan hadisnya yang kurang baik.
HADITS DHO’IF DAN HADITS MAUDHU’ • Umat Islam meyakini bahwa as-Sunnah merupakan pokok utama dalam syari’at ini, barangsiapa yang mengingkari as-Sunnah, maka pada hakekatnya dia telah mengingkari al-Quran. Allah berfirman:
ِ ﻟَ ُﻜﻢ ذُﻧُﻮﺑ ُﻜﻢ واﻟﻠَﻪ َﻏ ُﻔﻮر رِﺣﻴﻢ ﻗُﻞ أ َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﻠَ َﻪ ْ ٌ َ ٌ ُ َ ْ َ ْ
ﻗُ ْﻞ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ُِﲢﺒﱡﻮ َن اﻟﻠَﻪَ ﻓَﺎﺗﱠﺒِﻌُ ِﻮﱐ ُْﳛﺒِْﺒ ُﻜ ُﻢ اﻟﻠَﻪُ َوﻳَـ ْﻐ ِﻔ ْﺮ ﺐ اﻟْ َﻜﺎﻓِ ِﺮﻳﻦ َ َواﻟﱠﺮ ُﺳ ﻮل ﻓَِﺈ ْن ﺗَـ َﻮﻟﱠْﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠَﻪَ َﻻ ُِﳛ ﱡ
• Katakanlah wahai Muhammad: “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah adalah Ghofur (maha pengampun) dan Rohiim (maha pemberi rahmat)”. Katakanlah wahai Muhammad: “Taatlah kalian kepada Allah dan Rosul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang kafir.” (Ali ‘Imron: 31-32)
HADITS DHO’IF DAN HADITS MAUDHU’
• Para ulama sepakat bahwasanya hadits yang syadiidud dho’if(dho’if yang berat) tidak boleh diamalkan, dan bahwasanya hadits yang dho’if(baik berat ataupun ringan) tidak diterima dalam menetapkan suatu hukum. • Namun mereka berselisih pada perkara, Apabila hadits tersebut yasiirud dho’if (dho’if yang ringan) apakah boleh dipakai dalam fadho’il 'amal (keutamaankeutamaan amalan) atau tidak? • Difahami dari kata fadho’il 'amal, bahwa maksudnya adalah: hukum amalan tersebut memiliki dalil yang sah namun ada hadits dho’if (yang ringan) tentang balasannya (pahala-pahalanya). Termasuk ke hukum amalan, iaitu penetapan sifat amalan, kadar, waktu dan lainnya yang semua ini tidak boleh ditetapkan dengan dalil yang sah. Dengan demikian pada hakikatnya disebutkan atau tidak hadits fadho’il ini, amalan tersebut telah ditetapkan dengan dalil lain. • Namun kebanyakan ulama yang membolehkan pemakaian hadits dho’if dalam fadho’il 'amal, pada prakteknya tetap menggunakan hadits tersebut pada amalan-amalan yang tidak ada dalil yang sah dalam menetapkannya
HADITS DHO’IF DAN HADITS MAUDHU’ • Seseorang mesti memperhatikan penggunaan istilah yang berbeda dikalangan ulama seperti istilah hasan yang dipakai oleh Imam Tirmidzi, kalau diteliti, ternyata istilah beliau tidaklah sebagaimana yang digunakan majoriti ulama. • Beliau mengatakan dalam sunannya: “Apa-apa yang kami sebutkan dalam kitab ini dengan hadits hasan, yang kami maksudkan dengan hasan di sisi hanyalah: Setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat seseorang yang muttaham bilkadzib (istilah muhadditsin bermaksud orang yang diketahui berdusta pada selain hadits nabi), dan bukan pula haditsnya syadz, serta hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu sisi saja, demikianlah yang kami katakan hadits hasan di sisi kami”. Maka dengan pernyataannya ini, tidak boleh dinukilkan dari Tirmidzi hadits hasan sebagaimana istilah yang umum. • Demikian juga bagi seorang pencari kebenaran tidak mencukupkan diri dari pembahasan ‘Ilal (kecacatan tersembunyi) yang disampaikan oleh imam terdahulu.
HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF
HUKUM MERIWAYATKAN HADITS DHO’IF 1. Telah jelas larangan berdusta atas nama Nabi saw dengan menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshahihannya. Imam Muslim didalam Muqoddimah Kitab shahihnya, beliau berkata: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufiq padamu, bahwasanya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shahih dari riwayat yang lemah dan antara perawi yang tsiqoh(terpercaya) dari perawi yang tertuduh(berdusta), agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshahihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah(yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini berdasarkan firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)
HUKUM MERIWAYATKAN HADITS DHO’IF 2. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolany dalam kitabnya Tabyin al- ‘Ajab Fi Bayan Fadhli Rajab, menyebutkan bahwa sebagian ulama membolehkan meriwayatkan hadits yang lemahnya ringan jika dalam fadhail-'amal dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan. Kemudian beliau mengemukakan pendapatnya dan berkata: “Hendaknya seseorang takut terkena ancaman Rasul saw dalam sebuah haditsnya: “Barangsiapa yang menyampaikan satu hadits dariku dan dia menyangka bahwa hadits itu dusta maka dia termasuk satu dari dua pendusta.” Jika meriwayatkan hadits dho’if saja terlarang apalagi mengamalkannya. Dan tidak ada perbedaan (hukum) dalam hal mengamalkan suatu hadits dalam masaalah Ahkam atau Fadhailul 'amal karena semua itu adalah bagian dari syariat. 3. Berkata al-Syeikh al-Muhaddits Ahmad Syakir: “..Bahwasanya tidak ada perbedaan antara masaalah ahkam (hukum-hukum), Fadhail-’amal dan yang lainnya tentang tidak bolehnya mengambil hadits-hadits dho’if sebagai pegangan, bahkan seseorang tidak boleh berhujjah kecuali dari kabar yang benar datangnya dari Rasulullah saw ( berupa hadits shahih atau hasan)”.
CARA MERIWAYATKAN HADITS DHO’IF • Walaupun jumhur mengharuskan meriwayatkan hadits dho’if, namun terdapat kaedah yang harus gunakan, seperti tidak menggunakan perkataan yang menunjukkan kepastian (sighah jazam) seperti “ َﻗﺎ َلtelah berkata Rasullalah s.aw” ketika meriwayatkan hadits dho'if, ini kerana untuk mengelakkan daripada menisbahkan kepada Rasulullah saw apa yang tidak dikatakan oleh Nabi saw, bahkan hendaklah digunakan kalimah yang menunjukkan ketidakpastian (sighah tamridh), seperti “ ر ُِويdiriwayatkan atau ِﻗﯾ َلdikatakan bahawa Nabi saw pernah berkata dan seumpamanya. (Taqrib an-Nawawi)
HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHO’IF • Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengamalkan hadits dho’if. Perbedaan ini terbagi pada tiga pendapat: • Golongan Pertama: Hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masaalah hukum, aqidah, targhib wa tarhib(galakan dan ancaman) fadhail-‘amal (kelebihan beramal) dan selainnya. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar ulama hadits, diantaranya: al-Hafizh Yahya bin Ma’in, alHafizh Abu Bakar Ibnu al-’Arabi al-Maliki, Imam Ibnu Hazm as-Dzahiri, Abu Syamah al-Maqdisi, Imam al-Bukhori, Imam Muslim dan yang lainnya. • Golongan Kedua: Boleh(harus) mengamalkan hadits dho’if seperti dalam bab Fadhail-'amal, dan targhib wa tarhib, namun tidak diamalkan dalam masaalah aqidah dan hukum. Pendapat ini dicetuskan oleh sebagian ahli Fiqih dan ahli Hadits, seperti Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Sholah, dan al-Imam Nawawi rahimahumullah. Berkata Imam Ahmad: “Hadis dho’if lebih kami sukai daripada fikiran seseorang”.
HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHO’IF • Golongan Ketiga : Boleh mengamalkan hadits dho’if secara mutlak, baik dalam masaalah fiqh, aqidah, Fadhail-‘amal, peringatan, kisah-kisah dan sebagainya, jika dalam masaalah itu tidak didapatkan hadits-hadits shahih ataupun hasan. Pendapat atau mazhab ketiga ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan muridnya Abu Dawud, Imam Nawawi dan Al-Hafiz Ibnu Hajar.
SYARAT-SYARAT MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF
• Para Ulama yang membolehkan periwayatan dan pengamalan hadits dho’if, secara umumnya menetapkan beberapa syarat berikut: 1. Hadits tersebut tidak lemah sekali, bukan hadits yang derajatnya dho’if jiddan apalagi maudhu’. 2. Hadits dho’if tersebut termasuk atau ditunjuki oleh suatu dasar umum dan dipegangi yang berasal dari hadits shahih. Dimana hadits dho’if itu tidak boleh dijadikan asal dan dasar dalam menetapkan suatu hukum. 3. Tidak boleh meyakini bahwa ia adalah sabda Nabi saw atau perbuatan beliau. Hadits itu diamalkan hanya karena kehati-hatian berbanding dengan mengamalkan sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali. 4. Hadits tersebut khusus untuk Fadhail-'amal atau Targhib wa Tarhib. Bukan dalam masaalah aqidah, hukum urusan halal haram dan lainnya, tafsir alQuran dan sebagainya yang sifatnya prinsip dalam al-Dien ini
SYARAT-SYARAT MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF
5. Orang yang mengamalkan tidak boleh memasyhurkan hadits tersebut, karena masyarakat awam jika melihat hadits itu mereka pasti menyangka bahwa ia merupakan hadits Rasulullah saw. 6. Dalam periwayatannya tidak boleh menggunakan sighah (bentuk) al-jazm, seperti ( َﻗﺎ َلRasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda). namun hendaknya menggunakan sighah al-tamridh (bentuk-bentuk yang menunjukkan bahwa hadits itu ada cacatnya), seperti:” ( ِﻗﯾ َلdikatakan), ي َ ( ر ُِوdiriwayatkan) dan lafazh-lafazh lain yang dikenal di kalangan ahli hadits. •
Tambahan syarat dari Imam Nawawi: • Yang diguna dalam soal hukum ialah hadis-hadis sahih dan hasan sahaja • Boleh digunakan dalam soal hukum untuk 'berjaga-jaga', sebagai usaha untuk menjauhi perkara-perkara syubhat
PENJELASAN PENDAPAT ULAMA YANG TIDAK MEMBOLEHKAN PENGAMALAN HADITS DHO’IF SECARA MUTLAK
ALASAN PENDAPAT YANG MENOLAK SECARA MUTLAK • Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Muslim : • Kata beliau di dalam Muqoddimah kitab Shahihnya: “Hadits dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang galakan (targhib) atau ancaman (tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian ada pula perawi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan hadits yang mengandung perawi semacam ini adalah orang yang berdosa karena perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam. Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang yang mendengar haditshadits dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebagian atau lebih banyak. Padahal di antara hadits-hadits tersebut ada yang berisi perawi pendusta, sebagian lainnya adalah hadits yang tidak diketahui asal usulnya”.
ALASAN PENDAPAT YANG MENOLAK SECARA MUTLAK • Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab shahihnya - secara zhohir (tekstual)- bermakna hadits dalam masaalah targhib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masaalah hukum”. Artinya jika hadits yang membicarakan tentang masaalah hukum tidak boleh berasal dari hadits dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masaalah fadhilah ‘amal. Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya menggunakan hadits dho’if secara mutlak baik dalam masaalah Fadhail-'amal dan masaalah lainnya. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dan juga murid-muridnya.
ALASAN PENDAPAT YANG MENOLAK SECARA MUTLAK • Diantara dalil-dalil umum yang dikemukakan bagi yang melarang menyampaikan hadits dho’if, kecuali yang shahih dan benar datangnya dari Rasulullah saw - dalil-dalil mereka adalah dengan menisbatkan atau menyandarkan hadits dho’if kepada Rasulullah saw, tidak benar sama sekali. • Mereka mengatakan, bahwa kabar yang bersumber dari hadits dho’if itu hanya memberikan faedah berupa dzon (prasangka) yang lemah, iaitu masih diragukan apakah benar sabda Nabi saw atau bukan. Oleh itu, atas dasar apa kita mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan?, padahal Allah mencela zhan itu dalam beberapa ayat al-Quran seperti :
اﳊَ ﱢﻖ َﺷْﻴﺌًﺎ ْ َوَﻣﺎ َﳍُ ْﻢ ﺑِِﻪ ِﻣ ْﻦ ِﻋ ْﻠ ٍﻢ ۖ◌ إِ ْن ﻳَـﺘﱠﺒِﻌُﻮ َن إِﱠﻻ اﻟﻈﱠ ﱠﻦ ۖ◌ َوإِ ﱠن اﻟﻈﱠ ﱠﻦ َﻻ ﻳـُ ْﻐ ِﲏ ِﻣ َﻦ
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (An-Najm :28)
ALASAN PENDAPAT YANG MENOLAK SECARA MUTLAK • Mereka mengatakan, bahwa kabar yang bersumber dari hadits dho’if itu hanya memberikan faedah berupa dzon (prasangka) yang lemah, iaitu masih diragukan apakah benar sabda Nabi saw atau bukan. Oleh itu, atas dasar apa kita mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan?, padahal Allah mencela zhan itu dalam beberapa ayat al-Quran seperti :
اﳊَ ﱢﻖ َﺷْﻴﺌًﺎ ْ َوَﻣﺎ َﳍُ ْﻢ ﺑِِﻪ ِﻣ ْﻦ ِﻋ ْﻠ ٍﻢ ۖ◌ إِ ْن ﻳَـﺘﱠﺒِﻌُﻮ َن إِﱠﻻ اﻟﻈﱠ ﱠﻦ ۖ◌ َوإِ ﱠن اﻟﻈﱠ ﱠﻦ َﻻ ﻳـُ ْﻐ ِﲏ ِﻣ َﻦ
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (An-Najm :28) • Demikian pula dalam hadits Rasulullah saw:
ِ اﳊ ِﺪ ِ ِ ﱠ ﱠ ﱠ َ ﻳﺚ ﺬ ﻛ أ ﻦ ﻈ اﻟ ن ﺈ ﻓ ﻦ ﻈ اﻟ و ﻢ ﻛ ﺎ ﻳ َْ ب َ ْ ﱠ ُ ﱠ ﱠ َ ُ َْ إ
Jauhilah dzon (prasangka), karena prasangka itu sedusta-dusta perkataan atau ucapan". (Muttafaqun Alaihi).
PEMBAHASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Sebagian ulama ada yang memberi keringanan dalam menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi tiga syarat: 1. Dho’ifnya tidak terlalu dho’if. 2. Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih. 3. Tidak boleh diyakini bahwa Nabi saw mengatakannya. • Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dho’if (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedho’ifannya.
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Jika sesuautu hadits tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih : Riwayat hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dho’if. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih. Walaupun haditsnya dho’if, namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadits shahih. • Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, iaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dho’if tersebut berasal dari Nabi saw. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits shahih dari Nabi saw karena tidak ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga ini, para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi Saw.
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’(kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masaalah hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i(yang shahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu terlarang(haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan diketahui bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perawi pendusta, maka hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib(memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib(untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perawi pendusta. Namun perlu diketahui bahwa memotivasi suatu amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang buruk didukung dengan dalil lain (yang shahih),bukan hanya dengan hadits yang tidak jelas status keshahihannya.”
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Ada dua point berharga yang boleh kita ambil dari penjelasan ibn Taimiyah ini. 1. Tidak boleh menggunakan hadits maudhu’(hadits palsu yang berisi perawi pendusta) dalam masaalah targhib wa tarhib. 2. Hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal, hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih lainnya. Sehingga sebenarnya yang kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits dho’ifnya. • Beliau juga menjelaskan, “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan masaalah fadhilah amal, maka hadits tersebut boleh diriwayatkan asalkan haditsnya bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perawi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala, tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masaalah ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang maudhu’(yang dusta), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta.
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan meriwayatkan hadits dho’if dalam masaalah fadhail-'amal. Adapun jika suatu amalan dikatakan sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata), maka beliau menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.” • Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dho’if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu, seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau tata cara tertentu, maka hadits semacam ini tidak boleh diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan orang sedang lalai.”
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat bagus dalam perkataan selanjutnya,
ِﻴﺐ واﻟﺘـﱠﺮ َِ ﺎب ﰒُﱠ ْاﻋﺘ ِﻴﺐ َﻻ ِﰲ ِاﻻﺳﺘ ِ أَ ﱠن ﻫ َﺬا اﻟْﺒﺎب ﻳـﺮوى وﻳـﻌﻤﻞ ﺑِِﻪ ِﰲ اﻟﺘـﱠﺮ: ﺎﺻﻞ ِ ﺎﳊ ِ ِ ِ ﺎد ﻘ ﺒ ﺤ ﻫ ﻏ ُ َْ ْ ْ َِ ِْ ُ َ ْ ُ َ ِ َ ُِْ َ ِ َ َ ِ ُ ِ ِ َِْ َﻓ . ﻒ َﻋﻠَﻰ اﻟﺪﱠﻟ ِﻴﻞ اﻟﺸ ْﱠﺮﻋ ﱢﻲ ُ ُﻣﻮﺟﺒﻪ َوُﻫ َﻮ َﻣ َﻘﺎد ُﻳﺮ اﻟﺜـ َﱠﻮاب َواﻟْﻌ َﻘﺎب ﻳَـﺘَـ َﻮﻗﱠ
Intinya, hadits dho’if boleh diriwayatkan namun dalam masaalah targhib wa tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau akibat buruk dari suatu amalan buruk, maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan.
ALASAN PENDAPAT GOLONGAN YANG LEBIH RINGAN • Adapun perkataan Imam Ahmad (pendapat atau madzhab ketiga) bahwasanya beliau, jika tidak mendapatkan hadits shahih dalam satu bab maka beliau berpegang pada hadits yang dho’if ketimbang berpegang pada pendapatnya sendiri atau pendapat imam yang lain. Maksud daripada hadits dho’if di sini adalah hadits hasan menurut istilah kita sekarang. • Adapun pada masa mereka ilmu mushtholah hadits belum begitu berkembang sehingga pembagian hadits yang mereka kenal ketika itu hanyalah shahih dan dho’if, jadi jika mereka menyebutkan hadits dho’if ketika itu maka boleh jadi yang mereka maksud hadits hasan menurut istilah kita sekarang, karena yang pertama kali banyak menggunakan pembagian hadits menjadi tiga : shahih, hasan, dho’if adalah Imam At-Tirmidzi, yang mana beliau datang sesudah Imam Ahmad.
KESIMPULAN • Rasulullah telah meninggalkan hadits-haditsnya yang banyak kepada kita. Dimana tidak seorang pun di muka bumi ini yang mampu menguasai seluruh hadits-hadits Rasulullah yang shahih, karenanya barangsiapa yang berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah maka sungguh ia telah menjalankan adDien ini secara sempurna sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar ra:
ِ وﻣﺎ ﻃَﺎﺋ، ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ ﱢ : ﻗَ َﺎل، إِﻻ َوُﻫ َﻮ ﻳُ َﺬ ﱢﻛُﺮﻧَﺎ ِﻣْﻨﻪُ ِﻋ ْﻠ ًﻤﺎ، ﺎﺣْﻴ ِﻪ ِﰲ ا ْﳍََﻮ ِاء ﻨ ﺟ ﺐ ﻠ ﻘ ـ ﻳ ﺮ َ • ﺗَـَﺮْﻛﻨَﺎ َر ُﺳ َ َ َُ ْ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ َ ُ َ ِ وﻳـﺒ، اﳉﻨ ِﱠﺔ ِ ﻣﺎ ﺑ ِﻘﻲ َﺷﻲء ﻳـ َﻘﱢﺮب: ﻓَـ َﻘ َﺎل ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠَﻴ ِﻪ وﺳﻠﱠﻢ .ﲔ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻦ ﻣ ْ إِﻻ َوﻗَ ْﺪ ﺑـُ َﱢ، ﺎﻋ ُﺪ ِﻣ َﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ َُ َ َ ُ ُ ٌْ َ َ َ َ ََ َْ ُ
• Rasulullah saw telah meninggalkan kami dan tidak seekor burung pun yang (terbang) membolak-balikkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami” “Beliau mengatakan, Rasulullah berkata: “Tidak tinggal sesuatu pun yang mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu”
KESIMPULAN • Asy-Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani(1999M) berkata: “Kami menasihati seluruh saudara-saudara kami sesama muslim di bagian timur dan barat bumi ini, untuk meninggalkan pengamalan hadits dho’if secara mutlak dan hendaknya mereka memusatkan perhatiannya untuk mengamalkan hadits-hadits yang telah benar datangnya dari Rasulullah saw karena sesungguhnya hadits-hadits shahih itu sudah cukup bagi kita dan dengan mengamalkannya berarti menyelamatkan diri kita dari jatuh ke perbuatan dusta atas nama Nabi saw. Karena sesungguhnya kami telah mengetahui dengan pengalaman yang ada, bahwa orang-orang yang tidak sependapat dengan kami dalam masaalah ini telah terjatuh kepada apa yang telah kami sebutkan berupa dusta (atas nama Nabi). Karena mereka mengamalkan setiap apa “yang bertiup” dan “melata” dari hadits-hadits. Dan Rasulullah saw telah mengisyaratkan akan hal ini lewat sabda beliau: “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta jika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengar”, karenanya saya (Syeikh al-Albani) berkata “Cukuplah seseorang itu berada dalam kesesatan jika dia mengamalkan setiap apa yang dia dengar” (yakni tanpa menyaringnya terlebih dahulu).
KESIMPULAN • Sangat tepat ungkapan yang pernah disampaikan oleh Imam Abdullah bin Mubarak :
ِ ِﰲ ﺻ ِﺤﻴ ِﺢ اﳊ ِﺪﻳ ﺚ ُﺷﻐُ ٌﻞ َﻋ ْﻦ َﺳ ِﻘْﻴ ِﻤ ِﻪ ْ َ ْ َ ْ
Hadits yang shahih sudah menyibukkan dari hadits yang dho’if. • Maksudnya adalah seandainya kita konsisten dalam mengamalkan haditshadits yang shahih maka kita tidak memiliki waktu yang memadai untuk mengamalkan hadits yang lemah,
LATIHAN ILMIAH MENGKRITIK PANDANGAN 1. Anda berpandangan seperti Golongan Pertama. • Bincangkan pandangan Golongan Pertama ini dalam masaalah Hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if. • Berikan kritikan anda pada golongan kedua dan ketiga yang berlainan pandangan dari anda.
2. Anda berpandangan seperti Golongan Kedua. • Bincangkan pandangan Golongan Kedua ini dalam masaalah Hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if. • Berikan kritikan anda pada golongan pertama dan ketiga yang berlainan pandangan dari anda.
3. Anda berpandangan seperti Golongan Ketiga. • Bincangkan pandangan Golongan Ketiga ini dalam masaalah Hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if. • Berikan kritikan anda pada golongan pertama dan kedua yang berlainan pandangan dari anda.