60
Seminar Nasional
tahun Pendidikan Arsitektur
E-08
Arsitektur Sebagai Ilmu Pengambilan Keputusan dan Peluang Arah Pendidikan
Allis Nurdini Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Abstrak Arsitektur secara keilmuan telah bergerak dari yang semula dikatakan ilmu terapan (applied science) untuk rancangan lingkungan binaan menuju kepada ilmu pengambilan keputusan di dalam mengelola lingkungan binaan. Di dalam proses pengambilan keputusan, terdapat tiga hal yang perlu dipahami meliputi driving force (faktor penekan), status (dari sumber daya), dan respon (yang telah ada atau perlu dikembangkan), yang disingkat dengan DSR. Pendidikan arsitektur pernah mengalami dominasi di mana DSR didasarkan pada cita rasa perancang semata, yang kemudian menuju cita rasa perancang dan klien. Di masa lainnya terjadi tuntutan di mana produk arsitektural merupakan hasil dari keputusan yang partisipatif yang melibatkan beragam pemangku kepentingan (stake-holder). Pada kondisi kini di mana bencana alam telah mendominasi kehidupan di seluruh penjuru Indonesia serta dunia, maka muncul tuntutan agar keputusan arsitektural merupakan hasil dari pemahaman terhadap perubahan status alam yang tengah dihadapkan pada manusia masa kini. Makalah ini pada bagian awal menerangkan kedudukan arsitektur sebagai bagian dari ilmu untuk pengambilan keputusan. Pemaparan selanjutnya berupa peluang pergeseran DSR dalam tubuh arsitektur, sebagai ilmu pengambilan keputusan yang diajarkan, pada masa di mana manusia dan penduduk Indonesia dihadapkan pada gencarnya bencana dan tuntutan kehidupan yang multi-dimensi. Kata kunci: pendidikan, arsitektur, pengambilan keputusan, driving-force, status, respon
1. Pendahuluan Situasi dan kondisi di sekeliling kita selalu berubah dan perubahan merupakan sesuatu yang pasti melingkupi kehidupan termasuk bagi pembelajaran arsitektur. Hampir mustahil saat ini menemukan cara atau formula yang baku bagi setiap masalah untuk setiap situasi dan kondisi perancangan. Alam pun mengalami perubahan secara global dengan meningkatnya intensitas bencana dan menimbulkan ketidakpastian siklus
Institut Teknologi Bandung, 2010
E-77
Seminar Nasional
60
tahun Pendidikan Arsitektur
air, tanah dan udara yang melingkupi dunia saat ini. Akhirnya, selain kata perubahan, kata ketidakpastian merupakan kata kunci kedua yang patut diperhitungkan bagi pembelajaran arsitektur. Perkembangan teknologi khususnya informasi pun telah sedemikian pesat saat ini dan menimbulkan pula kerisauan bagi arah pembelajaran arsitektur. Muncullah situasi di mana seolah terjadi perlombaan dengan alat informasi yang sedemikian cepat berubah, tanpa kepastian akan keluar sebagai pemenang karena selalu berada di sisi sebagai pengguna alat dan perasaan ketertinggalan akan alat tersebut selalu melingkupi para pelaku pengajaran. Perkembangan masalah, situasi dan kondisi tersebut menuntut penyikapan yang bijak mengenai arah pembelajaran arsitektur ke depan. Makalah ini pada bagian awal menerangkan kedudukan arsitektur sebagai bagian dari ilmu untuk pengambilan keputusan. Pemaparan berikutnya menjelaskan prinsip kerangka pikir driving-force, status dan respon (DSR) ditinjau dalam bidang arsitektur dan kaitannya dengan pengambilan keputusan, dan diakhiri dengan preposisi bagi arah pendidikan arsitektur yang didudukkan sebagai ilmu untuk pengambilan keputusan atas ruang/bangunan.
2. Makna Pembelajaran Arsitektur Arsitek bisa dikatakan seperti koki yang meramu berbagai bahan sehingga menjadi masakan dalam hal ini disebut bangunan dan atau ruang. Kondisi tersebut terjadi pada situasi lampau ketika koki sekaligus pemilik kewenangan atas rumah makan dan dapur, namun situasi umum saat ini koki menjadi salah satu bagian pengelola rumah makan, hotel atau pengusaha jasa layanan terkait. Belum lagi selera konsumen yang beragam, menuntut koki bekerja keras mencari variasi formula atau menu yang pas yang dapat memuaskan cita rasa konsumennya sehingga menjadi pelanggan setia. Perbedaan ruang, waktu dan sumber daya (manusia, alam, uang dan alat) menimbulkan keragaman menu yang tersaji. Mirip dengan koki, arsitek berada di situasi tersebut namun dengan lingkup dan tanggung jawab yang lebih luas karena ‘menunya’ berkaitan dengan perubahan ruang atau tanah, di mana merupakan sumber daya yang langka dan tidak dapat direplikasi dengan mudah serta terkait dengan kepentingan pihak-pihak lain selain konsumen penggunanya. Selama ini pembelajaran arsitektur dikenal sebagai pengajaran proses dan produk rancangan ruang/bangunan. Kita disadarkan bahwa proses merancang ruang atau bangunan hingga menghasilkan produknya merupakan sesuatu rangkaian aktivitas yang spesifik dan berbeda ditinjau dari budaya. Sulit untuk membuat rancangan ruang atau bangunan yang berlaku secara universal. Bangunan merupakan konstruksi yang unik dengan kekhususan lingkungan sekitar dan konteksnya. Tingkatan proses dalam merancang ruang atau bangunan secara umum meliputi (CMHC, 2004; Day, 2003) : 1) prinsip dan tujuan proyek, 2) persyaratan dan kondisi pengguna, 3) solusi perencanaan (volume, ruang, program, dsb.), 4) solusi perancangan (artikulasi bentuk, pilihan warna, dsb.), 5) konstruksi material (pilihan material, ukuran, dsb.) dan 6) konsep jasa teknis/konsep energi. Secara umum proses rancangan mencakup fase desain dan tahap siklus hidup untuk ruang atau bangunan meliputi: - studi pra-rancangan (informasi dasar, studi kelayakan, penentuan tujuan) - proses rancangan (pengembangan konsep, fase rancangan, persiapan persetujuan)
E-78
Institut Teknologi Bandung, 2010
60
Seminar Nasional
tahun Pendidikan Arsitektur
penyiapan dokumen kerja (kontrak bangunan, spesifikasi bangunan, tender) eksekusi/pembangunan (organisasi konstruksi di lokasi, kontrol/inspeksi, dokumentasi) - penggunaan (pemanfaatan, pemeliharaan) - dekonstruksi atau perobohan (rancangan pemulihaan/dekonstruksi, persiapan dekonstruksi, dekonstruksi, pemusnahan/penggunaan kembali) Hal-hal yang diperhitungkan berdasar CMHC (2004), baik sebagai acuan kuantitatif maupun dasar kualitatif, dalam pengambilan keputusan ruang atau bangunan meliputi: 1. Aspek fungsional Bangunan harus melayani fungsi tertentu di mana dalam hal ini fungsional memiliki maksud penggunaan bangunan di masa mendatang atau manfaat dari konstruksi yang dipilih itu sendiri. 2. Aspek teknis Setiap bangunan memiliki domain teknis yang penting diterapkan seperti ketentuan teknis, teknologi konstruksi, teknologi material dan lain sebagainya. Para ahli terlibat di dalamnya untuk memastikan detil teknis di mana banyak sekali acuan atau batas nilai yang digunakan, baik berdasarkan keputusan para ahli tersebut maupun sudah berupa peraturan yang wajib diterapkan. 3. Kondisi peraturan Mendirikan bangunan, baik berskala kecil maupun berskala besar, bukan merupakan aktivitas privat, namun merupakan aktivitas yang berdampak pada pihak lain/publik karena terjadinya perubahan lansekap akibat keberadaannya. Aturan bangunan diperlukan untuk kepentingan publik (keselamatan, keamanan, dsb.) mulai dari tahap perencanaan (misalnya tata guna lahan, tinggi bangunan, dsb.) hingga detil teknis bangunan. 4. Finansial Setiap bangunan merupakan investasi yang membutuhkan biaya. Pada umumnya pemilik proyek akan menetapkan prioritas pada penghematan biaya dan konstruksi yang ekonomis. Di beberapa negara terdapat ketentuan yang memandu perkiraan biaya bangunan sesuai dengan fungsi dan rancangannya dalam rangka menyeimbangkan antara pertimbangan ekonomi/investasi dan pemanfaatan ruang. 5. Estetika Bangunan merefleksikan nilai budaya yang dianut pengguna atau masyarakatnya, minimal nilai yang dianut oleh perancang atau arsiteknya. Prinsip estetika berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan yang melibatkan arsitek dengan pihak-pihak lainnya. 6. Lingkungan sekitar Lingkungan terdiri alam, buatan/binaan dan manusia atau komunitas. Pemahaman akan lingkungan ini akan memberikan acuan bagi perancang untuk menentukan pilihan rancangan atas ruang. Bila ditarik maknanya pada tingkatan yang lebih filosofis, pembelajaran arsitektur merupakan pembelajaran untuk pengambilan keputusan atas ruang atau tanah dalam wujud yang bisa dinikmati secara langsung oleh manusia sebagai pengguna atau konsumennya. Yang ditransferkan dalam pendidikan arsitektur kepada peserta didik merupakan ilmu pengambilan keputusan tersebut. -
Institut Teknologi Bandung, 2010
E-79
Seminar Nasional
60
tahun Pendidikan Arsitektur
3. Pengambilan Keputusan dan Arsitektur Pengambilan keputusan merupakan suatu proses di mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. Terdapat tiga pendekatan dalam pengambilan keputusan (Bouyssou et.als, 2009; Kahneman dan Tversky (2000); dan Triantaphyllou, 2000), meliputi: 1) pendekatan konvensional, disebut juga pendekatan untung-untungan yakni membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi dan tindakan yang diambil di masa lampau atau mengikuti tradisi. 2) pendekatan sistematis, dikatakan sebagai pendekatan transisi antara konvensional dan ilmiah, yakni membuat keputusan berdasarkan pengalaman masa lampau dan pengalaman pihak lain yang berhasil kemudian menjadi pedoman dan dipraktekkan. 3) pendekatan ilmiah, yakni membuat keputusan tidak semata berdasar penerimaan cara lampau yang dianggap berhasil namun menetapkan dengan seksama persoalan yang dihadapi, membuat acuan sebagai pedoman untuk bekerja, mengumpulkan bahan untuk mencapai cara pemecahan dan memeriksa kembali cara pemecahan tersebut. Pendekatan ini melalui rangkaian identifikasi dan analisis yang logis untuk menghasilkan rencana yang efektif. Pendekatan untuk pengambilan keputusan yang diajarkan dalam dunia akademik adalah pendekatan ilmiah. Yang patut diingat bahwa pengambilan keputusan bukanlah masalah utama, namun sebagai metodologi atau sarana untuk pemecahan masalah sehingga fokus dari pembelajaran pada metodologi tersebut. Langkah-langkah pembuatan keputusan dengan pendekatan ilmiah secara umum meliputi: 1) kumpulkan fakta 2) analisis fakta yang diperoleh 3) tentukan tujuan berdasarkan fakta yang tersedia 4) buat keputusan Langkah umum tersebut jika dideskripsikan secara terinci terkait dengan pengambilan keputusan dalam rangkaian proses arsitektur, maka terdapat urutan meliputi (CMHC, 2004): 1) identifikasi masalah, 2) deskripsi masalah, 3) penentuan hal yang harus dilakukan, 4) penetapan pra-syarat, 5) pembuatan alternatif, 6) evaluasi alternatif, 7) pra-pemilihan tahap 1, 8) pra-pemilihan tahap 2, dan langkah ke 9) pengambilan keputusan. Pada situasi khusus terdapat langkah lanjutan berupa penyusunan spesifikasi, eksekusi dan verifikasi. Masing-masing deskripsi dari langkah tersebut terurai pada Tabel 1 . Langkah-langkah pada Tabel 1 merinci proses yang ditempuh untuk menghasilkan keputusan akan ruang atau bangunan. Pengambilan keputusan dalam proses rancangan memiliki makna ‘memilih’dari sekian alternatif untuk ditindaklanjuti, baik berupa pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, pemanfaatan ulang, pemeliharaan atau perobohan; dan atau untuk dihentikan karena belum memiliki alternatif yang memadai untuk diputuskan berlanjut. Pengambilan keputusan didasari analisis multi kriteria dan dilakukan dengan teknik tertentu, baik secara kuantitatif (misalkan menggunakan tolok ukur tertentu yang obyektif) maupun secara kualitatif (misalkan menggunakan forum diskusi ahli, pengguna dan atau dengan beragam pihak terkait/stake-holder).
E-80
Institut Teknologi Bandung, 2010
60
Seminar Nasional
tahun Pendidikan Arsitektur
Tabel 1. Langkah dan Deskripsi Proses Perancangan dan Pengambilan Keputusan dalam Arsitektur Langkah Identifikasi masalah Deskripsi masalah Penentuan dilakukan
hal
yang
Penetapan pra-syarat
Pembuatan alternatif
Evaluasi alternatif Pra-pemilihan tahap 1
Pra-pemilihan tahap 2
Pengambilan keputusan
Kasus khusus: Penyiapan spesifikasi Eksekusi Verifikasi
harus
Deskripsi kenali masalah hadirkan kesadaran akan masalah analisis dan deskripsi tentang titik awal analisis dan deskripsi persyaratan tetapkan program persyaratan/kebutuhan nyatakan kondisi teknis dan lingkup peraturan nyatakan kondisi ekonomi dan lingkup ekologis evaluasi kemungkinan pedoman/guideline tetapkan kriteria evaluasi tetapkan nilai batas dan target susun solusi atas masalah pilih metode dan alat pengukuran pilih metode dan alat evaluasi evaluasi sumber informasi evaluasi studi kasus, acuan, preseden susun alternatif jelaskan parameter teknis susun keseimbangan gunakan metode dan alat pengukuran evaluasi kinerja secara teknis, ekonomis dan ekologis gunakan metode, indikator dan alat evaluasi tetapkan apakah solusi dimungkinkan berdasarkan ‘peraturan’ gunakan batasan/ambang batas (secara teknis) gunakan ‘kriteria pengecualian’ untuk sortir bandingkan ‘manfaat’ atas solusi gunakan ‘nilai target’ secara teknis/ekonomis/ekologis gunakan ‘kriteria yang direkomendasikan’ pilih alternatif untuk ditindak-lanjuti atau untuk dihentikan atau tidak ada keputusan gunakan metode pengambilan keputusan multi-kriteria gunakan ‘bantuan’ pengambilan keputusan -
pastikan ukuran bangunan yang penting siapkan dokumen teknis, peraturan dan organisasi tetapkan kinerja ukur, monitor dan bandingkan kinerja relatif terhadap nilai batas dan target
Sumber: CMHC, 2004 Bila dibuat intisari langkah dan proses perancangan arsitektur hingga proses pengambilan keputusan atas ruang/bangunan, maka terdapat tiga hal mendasar yang perlu dipahami meliputi driving force (faktor penekan), status (dari sumber daya), dan respon (yang telah ada atau perlu dikembangkan), yang disingkat dengan DSR. Kelompok pemahaman akan ‘driving force’ (pendorong) merinci tentang situasi yang menjadi latar belakang dan pemicu suatu kondisi kebutuhan akan ruang. kelompok berikutnya merupakan upaya pemahaman akan ‘status’ (kondisi), yang merinci tentang kondisi sumber daya yang akan dirancang. Sementara kelompok ‘respon’ merinci tentang upaya dari aktor, baik sektor publik, swasta dan masyarakat untuk mengelola kondisi ruang/bangunan.
Institut Teknologi Bandung, 2010
E-81
Seminar Nasional
60
tahun Pendidikan Arsitektur
Faktor penekan kebutuhan/driving force akan ruang secara umum muncul akibat beberapa latar, di antaranya pertumbuhan populasi/permintaan; permintaan akan diversifikasi ruang (misal keragaman harga/keterjangkauan, tipe produk dan kualitasnya); efek samping kemunculan konektifitas/jejaring (seperti jalan, jembatan, dsb); investasi/motif peningkatan nilai aset tanah/ruang; dan lain-lain. Pemahaman faktor penekan ini penting untuk diketahui sebagai masukan awal dalam pengambilan keputusan untuk merubah atau merancang ruang/bangunan. Selain rincian mengenai faktor penekan untuk mencapai keputusan, maka perancang/arsitek dihadapkan pula pada ‘status’ pengambilan keputusan. Status yang penting dikenali dalam proses pembelajaran arsitektur merupakan stauts dari sumber daya, yang meliputi: 1) sumber daya alam beserta siklusnya (misal siklus bumi/tanah, air, udara, vegetasi, dsb.); 2) sumber daya buatan beserta siklusnya (misal aneka bahan material buatan dan siklus/usia pemanfaatan hingga dampaknya); dan 3) sumber budaya atau norma (misal pandangan tentang estetika, nilai ekonomis, nilai religi, dsb serta siklus keberlakuannya). Poin yang ke-3 tentang budaya atau norma dipandang sebagai bagian dari sumber daya karena merupakan ‘energi’ tersendiri yang pada waktu berikutnya menentukan pula posisi pilihan dua sumber daya sebelumnya (alam dan buatan). Kerangka ini penting dipahami sebagai modal perancang di dalam memutuskan pilihan (membangun, memperbaiki atau merobohkan) ruang dari sejumlah alternatif, terutama pemahaman akan siklus dari masing-masing sumber daya. Secara umum terdapat tiga kondisi ‘status’ dalam pengambilan keputusan yang berpotensi terjadi di saat perancang memutuskan, meliputi: 1. Status yang pasti (certainty), di mana para pembuat keputusan mengetahui apa yang akan terjadi di waktu mendatang karena tersedia informasi yang akurat, terpercaya dan dapat diukur sebagai dasar keputusan. 2. Status beresiko (risk), di mana para pembuat keputusan mengetahui besarnya probabilitas hasil, tetapi informasi lengkap tidak tersedia. 3. Status yang tidak pasti (uncertainty), di mana para pembuat keputusan tidak mengetahui besarnya probabilitas atau bahkan tidak mengetahui kemungkinan hasil-hasil. Masing-masing status memiliki implikasi ‘respon’ pengambilan keputusan yang berbeda dan pada akhirnya produk rancangan yang berbeda pula. Hal-hal yang dipilih akan memiliki dampak pada lingkungan perencanaan, yang rinciannya meliputi: 1. pilihan proyek (perobohan, konstruksi baru, perbaikan) 2. pilihan tapak dan interface setempat (iklim, utilitas) 3. pilihan konsep desain (hubungan dengan tapak, geometri, konfigurasi bentuk, zonasi, perhubungan) 4. pilihan kinerja termal selubung bangunan 5. pilihan energi (untuk menjalankan bangunan) 6. pilihan sistem energi (efisiensi, polusi) 7. pilihan manajemen sistem energi (pengendalian) 8. pilihan sistem konstruksi 9. pilihan terkait ketahanan bangunan dan adaptasinya 10. pilihan material (energi produksinya, transportasi) 11. pilihan kenyamanan untuk pengguna (termal, visual, akustik, tekstur) 12. pilihan metode penghitungan biaya (contohnya biaya siklus hidup) 13. pilihan konsekuensi pelayanan dan pemeliharaan
E-82
Institut Teknologi Bandung, 2010
60
Seminar Nasional
tahun Pendidikan Arsitektur
14. pilihan kualitas kesehatan bagi pengguna 15. pilihan perobohan (demolition), dsb. Respon terkait erat dengan pemahaman akan peran dari setiap pelaku atau aktor dalam pengambilan keputusan. Arsitektur merupakan keseimbangan antara teknik, fungsi dan bentuk. Awalnya arsitek atau teknisi bertanggung jawab untuk seluruh pekerjaan, namun kini terjadi diversifikasi atas peran dan tanggung jawab tersebut. Rancangan dan konstruksi ruang atau bangunan telah menjadi domain yang multi fungsi dan trans-disiplin. Aktor dan disiplin yang berbeda terlibat di dalamnya. Secara terinci pelaku dan peran dalam perancangan ruang atau bangunan terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Daftar Aktor dan Peran dalam Proses Desain Aktor Produsen Manufaktur
Perancang/konsultan bangunan
Kontraktor/ Teknisi
Pemilik bangunan Penyandang dana/stake-holder Pembeli/pengguna/ pengelola Penyedia jasa Pejabat berwenang
Partisipasi Tidak langsung, melalui produknya, fungsionalnya dan karakter fisiknya. Mereka dipengaruhi secara tidak langsung oleh permintaan dari para pengguna bangunan, perancang bangunan dan pejabat berwenang. Secara langsung dengan dukungan pemilik bangunan. Ia harus mengumpulkan semua informasi dan menunjukkan beragam kemungkinan solusi (termasuk konsekuensinya) Secara langsung melalui uji nyata dan perhitungan dari solusi yang memungkinkan. Ia seringkali memberi tipe solusi yang menunjukkan manfaat teknis dan fungsionalnya. Ia mendukung arsitek dan (atau) pemilik bangunan. Secara langsung, pemilik pasti membuat keputusan dari pilihan yang disajikan. Dukungan tersedia dari arsitek atau konsultan. Secara tidak langsung melalui hibah atau kredit
Contoh Penyedia bahan dasar atau pendukung teknis
Secara tidak langsung melalui prediksi permintaan dan kebutuhannya Secara tidak langsung melalui tipe layanannya
Pelaku di belakang layar
Secara langsung, yang bertanggung jawab secara keseluruhan proses
Penyedia prinsip dasar, dukungan teknis, persiapan keputusan, koordinasi kerja Penyedia bahan dasar, dukungan teknis dan persiapan keputusan
Pengambil keputusan yang utama
Pelaku di belakang layar Pelaku di belakang layar, pengendali baik untuk memberi batasan solusiruang, dan memaksakan standar kualitas
Sumber: CMHC, 2004 Aktor dapat pula dikelompokkan sesuai organisasi sebagai berikut: 1) Pemilik kepentingan kolektif, seperti legislator/wakil rakyat terpilih, pejabat administrasi, pemerintah daerah dan instansi berwenang; 2) Pengambil keputusan operasional, seperti perusahaan pengembang, pemilik bangunan dan pendukung jasa terkait; 3) Perancangan, seperti kontraktor utama, arsitek, perusahaan teknisi, perencana kota, ahli lansekap, surveyor; 4) Eksekutor, seperti pemilik pabrik, kontraktor, kantor penilaian/verifikasi, dan 5) Pengguna dan operator, seperti penyedia jasa terkait ruang/bangunan, pengelola bangunan, pengguna, penyedia asuransi.
Institut Teknologi Bandung, 2010
E-83
Seminar Nasional
60
tahun Pendidikan Arsitektur
Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran arsitektur akan terdapat hal-hal yang terus mengalami perubahan, mencakup tiga variabel, yaitu variabel pada faktor pendorong/ ‘driving force’, variabel ‘status’, dan variabel ‘respon’. Pertemuan ketiga variabel tersebut dapat dipastikan sulit digeneralisasikan atau direplikasikan untuk semua kasus perancangan ruang/bangunan, sehingga yang penting diarahkan dalam pendidikan arsitektur adalah kesadaran akan kerangka masing-masing faktor pendorong, status dan respon serta peluang/probabilitas hasil dari pertemuan ketiga hal tersebut.
4. Simpulan : Menuju Pengambilan Keputusan yang Diajarkan Pertanyaan terpenting berikutnya adalah apa fokus dan bagaimana mengajarkan ilmu pengambilan keputusan atas ruang. Berdasarkan pemahaman penulis bahwa arsitektur penting didudukkan sebagai ilmu pengambilan keputusan, maka hal yang perlu menjadi fokus dalam pembelajaran arsitektur terdiri dari prinsip sebagai berikut. Pertama : unsur yang mempengaruhi pengambilan keputusan atas ruang perlu ditransfer kepada peserta didik sebagai kerangka pikir hingga kerangka tindaknya, meliputi kondisi masalah, basis waktu, sumber daya, aktor pengambil keputusan dan komunikasi. Kerangka kondisi/masalah atau faktor driving-force, meliputi: 1) kondisi normal, 2) kondisi khusus dan 3) kondisi bencana/chaos. Setiap perencanaan dan perancangan ruang memiliki kerangka kondisi masalah yang berbeda. Kondisi normal memiliki makna kondisi di mana secara umum terdapat basis data, informasi, prediksi hasil hingga dampak yang dapat diperkirakan, sehingga proses dan produk rancangan dapat disusun berdasarkan urutan/prosedur ilmiah yang wajar. Kondisi khusus berarti kondisi di mana terdapat pengecualian atas proses atau produk rancangan sehingga terjadi prosedur yang di luar kebiasaan diakibatkan tidak adanya salah satu atau beberapa bagian dari data, informasi, prediksi hasil hingga dampak yang dapat diperkirakan. Sementara kondisi bencana/chaos bermakna kondisi di mana berpotensi terjadi proses dan produk rancangan yang luar biasa (di luar kebiasaan/kewajaran) diakibatkan ketiadaan basis data, informasi, prediksi hasil hingga dampak yang dapat diperkirakan dan adanya tuntutan penyelesaian masalah yang cepat. Kerangka kondisi masalah ini penting diketahui oleh peserta didik di dalam mengambil keputusan atas ruang atau bangunan agar hadirnya solusi ruang didasari oleh kesadaran akan kondisi yang melingkupinya. Kerangka ‘status’ sumber daya, meliputi: 1) sumber daya alam beserta siklusnya (misal siklus bumi/tanah, air, udara, vegetasi, dsb.); 2) sumber daya buatan beserta siklusnya (misal aneka bahan material buatan dan siklus/usia pemanfaatan hingga dampaknya); dan 3) sumber budaya atau norma (misal pandangan tentang estetika, nilai ekonomis, nilai religi, dsb serta siklus keberlakuannya). Kerangka ini penting dipahami sebagai modal perancang di dalam memutuskan pilihan (membangun, memperbaiki atau merobohkan) ruang dari sejumlah alternatif, terutama pemahaman akan siklus dari masing-masing sumber daya. Kerangka ‘respon’ waktu, meliputi: 1) basis masa lalu, 2) basis masa kini, dan 3) basis masa mendatang. Suatu solusi rancangan ruang dihadirkan karena memiliki dasar argumentasi salah satu atau beberapa poin berikut: karena telah berhasil di masa lalu, telah terpakai di masa kini (sebagai rule of thumb), atau mencapai bobot yang diasumsikan memadai bagi pemenuhan kebutuhan di masa mendatang. Pemahaman
E-84
Institut Teknologi Bandung, 2010
60
Seminar Nasional
tahun Pendidikan Arsitektur
akan basis waktu ini akan menghadirkan pembelajaran mengenai ruang yang hadir sebagai solusi statis untuk kebutuhan saat ini atau ruang yang dinamis untuk pemenuhan di masa mendatang. Sifat statis atau dinamis pada rancangan ruang ini dapat dihadirkan sebagai hasil dari rangkaian keputusan tertentu dan tidak bermakna benar atau salah namun lebih bermakna kesadaran akan pilihan solusi ruang. Kerangka ‘respon’ aktor pengambil keputusan, meliputi pelaku dan peran masing-masing dalam pengambilan keputusan atas ruang seperti arsitek, arsitek dan klien, arsitek dan ahli lain/trans-disiplin, arsitek dan komunitas, arsitek dan arsitek lain, arsitek dan regulator, dsb. Kerangka pikir ini perlu disadari dan dimiliki ketrampilannya oleh para peserta didik karena era arsitek tunggal sebagai satu-satunya aktor pengambil keputusan telah berlalu. Proses dan produk rancangan mutlak melibatkan peran-peran lain di luar seorang arsitek, bahkan salah satu kriteria keberhasilan rancangan mulai bergeser pada parameter pelibatan pengguna atau beragam stake-holder di dalam prosesnya yang disebut dengan desain yang partisipatif (participatory design) atau desain hasil konsensus (concensus design). Tidak menutup kemungkinan pula bahwa produk ruang akan terdiversifikasi menjadi beragam wujud/klasifikasi akibat peningkatan hubungan antara arsitek dengan aktor yang trans-disiplin dan multi interest di masa mendatang. Juga dalam pembelajaran ini memunculkan kesadaran bagi peserta didik agar tidak gagap bila saatnya kelak mengambil peran lain yang terkait selain sebagai arsitek dalam perwujudan ruang atau bangunan. Kerangka ‘respon’ komunikasi/teknologi komunikasi, yakni pilihan cara menyampaikan gagasan saat proses hingga menghasilkan produk ruang dari dalam diri perancang kepada pihak lain yang terkait erat di luar dirinya. Hal ini meliputi komunikasi lisan/verbal, audial, tekstual, grafis, visual, dan sebagainya. Teknologi komunikasi dan informasi ini yang telah berkembang cukup pesat namun tidak diimbangi dengan kesadaran pembelajaran akan pilihan komunikasi yang tepat dan memadai untuk situasi dan kondisi yang berbeda. Bila arsitektur didudukkan sebagai ilmu pengambilan keputusan maka pembelajaran akan pilihan komunikasi/teknologi komunikasi ini penting untuk dilakukan. Kedua : unsur yang penting tentang bagaimana mengajarkan pengambilan keputusan atas ruang. Beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut tentang hal ini meliputi: - perlunya pentahapan dalam pembelajaran ‘driving force’, di mana setiap peserta didik dapat merasakan dan menikmati proses belajar menyelesaikan masalah ruang mulai dari kondisi normal, khusus hingga luar biasa seperti bencana. - perlunya pembelajaran, pemahaman dan keterampilan tentang pilihan sumber daya sesuai ‘status’ nya mencakup alam, buatan dan budaya/norma, di mana setiap pilihan sumber daya melahirkan konsekuensi proses, produk hingga dampak rancangan ruang yang berbeda pula. - perlunya pentahapan dalam pembelajaran ‘respon’ atas ruang meliputi respon ruang ‘statis atau dinamis’, dalam arti ruang yang memenuhi kebutuhan statis masa kini atau ruang yang dapat berkembang untuk mengantisipasi kebutuhan mendatang. Selain itu, perlunya pentahapan pembelajaran aktor yang terlibat dalam pengambil keputusan atas ruang, di mana setiap peserta didik menyadari beragam batasan, tantangan atau peluang yang muncul akibat interaksinya dengan pelaku lain di dalam perencanaan dan perancangan ruang. Dalam
Institut Teknologi Bandung, 2010
E-85
Seminar Nasional
60
tahun Pendidikan Arsitektur
kerangka ‘respon’ ini diperlukan pula pembelajaran pilihan komunikasi/teknologi komunikasi, di mana setiap cara dan alat untuk berkomunikasi (baik verbal, audial, tekstual/tulisan, grafis, visual, dsb) merupakan pilihan yang harus didasari oleh kesadaran akan situasi, kondisi dan aktor lain yang terlibat untuk mencapai keputusan rancangan ruang tertentu. Tidak semua teknologi tepat untuk diterapkan pada semua situasi dan kondisi, namun yang didorong adalah kesadaran bahwa ada pilihan teknologi atau cara atau alat yang tepat untuk situasi tertentu dan kondisi tertentu bagi para pembelajar.
Daftar Pustaka Bouyssou, Denis; Dubois, Didier; Pirlot, Marc; Prade, Henri (eds.) (2009) : Decisionmaking Process: Concepts and Methods, ISTE Ltd. Canada Mortgage and Housing Corporation/CMHC (2004). Decision Making Framework, Annex 31 Energy-Related Environmental Impact of Buildings. CMHC-SCHL, Canada. Day, C. (2003) : Consensus Design: Socially Inclusive Process, New Jersey : Architectural Press Elsevier Science. Kahneman, Daniel dan Tversky, Amos (2000). Choice, Values, Frames. The Cambridge University Press. Triantaphyllou, E. (2000). Multi-Criteria Decision Making: A Comparative Study. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers (Springer).
E-86
Institut Teknologi Bandung, 2010