IV.
4.1.
HASlL DAN PEMBAHASAN
Hasil Suwai Pada Petani Cabai Merah Dari hasil survai pada 10 orang petani yang menanarn cabai merah di
sekitar lokasi penelitian didapatkan data seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6.
Hasil suwai Penggunaan Pestisida dan Pemupukan Cabai Yang Dilakukan Petani Cabai Merah Jenis Pestisida
Responden
Curacron a
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10
c
5 5
2 2 2 2 2 2 2
4
a
6
5 6
2
2
a. b c d e f
c
2
2
2 2
5 6
2 2 2
5 6
2
2
Keterangan :
Confidor
2 2
Antracol b
c
4 4 4 5 4 4
5 5
4
5 5 4
6 6 5
5 6
Dithan 45 b 5 5 5 4 4 4 4 4 5 4
c
4 5
6
Jenis Pupuk Pupuk NPK Kandan d e d f 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1
0 10 10 0 0 0 0 10 10 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
= = = =
Dosis lnsektisida (cc/l) Dosis Fungisida (gll) Waktu pemberian (... ... hari sekali) Dosis pupuk (tonlha) = Waktu pemberian (... ... rninggu sebelurn tanam) = Waktu pemberian (...... hari sebelum tanam)
Dari 10 petani responden, 60 % diantaranya rnenggunakan insektisida Curacron dan 70 % menggunakan fungisida Antracol. Cara penggunaannya dengan mencampur kedua jenis pestisida tersebut. Waktu pernberiannya ratarata 1 minggu sekali sampai 1 hari sebelum panen dengan dosis rata-rata untuk insektisida 2 mlll dan fungisida 4 gll.
Seratus persen petani responden menggunakan pupuk kandang dan pupuk NPK dalam usahatani cabai merah. Pupuk kandang yang digunakan berasal dari kotoran ternak kuda yang memang lebih mudah didapatkan karena adanya peternakan kuda di sekitar Lembang.
Dosis pupuk yang diberikan
ternyata sesuai dengan anjuran yang telah ditetapkan oleh Balitsa Lembang melalui program Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Pupuk kandang diberikan 1 minggu sebelum tanam, sedangkan pupuk NPK diberikan 1 hari sebelum tanam.
4.2.
Pertumbuhan Tanaman (Tinggi Tanaman dan Lebar Kanopi) Pengamatan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan lebar kanopi)
dilakukan hanya pada tanaman cabai, untuk dapat membedakan antara tanaman cabai pada petak teknologi yang diperbaiki (Improved = I) yang merupakan pertanaman tumpangsari dengan kubis dan buncis dengan petak teknologi petani (Konvensional = K) yang merupakan pertanaman sejenis (cabai saja). Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 5. Dari pengamatan pada 30, 44,58, 72 dan 86 HST (hari setelah tanam), diketahui bahwa tinggi tanaman dan lebar kanopi pada tanaman cabai merah di petak I lebih tinggi dan lebih lebar jika dibandingkan dengan pada petak
K atau 68.03 % lebih tinggi dan 25.37 % lebih lebar. Dari hasil uji statistik juga terlihat berbeda nyata. Menurut Uhan dan Nunung (1995), penggunaan mulsa plastik perak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, lebih-lebih bila ditunjang dengan menggunakan pupuk kandang dan pestisida yang selektif, pengaruhnya
terhadap pertumbuhan tanaman lebih baik lagi.
Hal ini disebabkan adanya
penambahan unsur hara dari pupuk kandang dan adanya pemeliharaan tanaman dengan penyemprotan pestida selektif rnenyebabkan tanaman lebih sehat.
Tabel 7 :
Perturnbuhan Tanaman (Tinggi tanaman dan Lebar Kanopi) Tanarnan Cabai Merah Pada Peiak I dan K
Keterangan :
S
= Signifikan = berbeda nyata berdasarkan uji T pada tingkat 5 %
HST = Hari setelah tanam
30
44
58
72
86
Hari Setelah Tanam
Gambar 5. Grafik Tinggi Tanaman dan Lebar Kanopi
4.3.
Bobot
Buah
dan
Persentase
Buah
Terserang
Organisme
Pengganggu Tanarnan (OPT) Dari Tabel 8 terlihat bahwa hasil panen yaitu bobot buah cabai di petak I lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil panen di petak K.
Hal ini
dimungkinkan karena tanaman cabai yang ditanam pada petak I lebih subur jika dibandingkan dengan tanaman cabai pada petak K. Peranan penggunaan mulsa plastik perak dan bertanam secara tumpangsari pada petak I berpengaruh pada pertumbuhan tanaman diatasnya. Menurut Soetiarso, dkk. (1999), penggunaan rnulsa plastik perak dapat meningkatkan jumlah buah sehat per tanaman, bobot buah sehat pertanaman dan bobot buah per petak secara nyata. Menurut Uhan dan Nunung (1995) penggunaan rnulsa akan dapat mengurangi serangan harna pengisap daun seperti Thrips, tungau dan Aphid serta dapat mengurangi pencucian unsur hara dari dalam tanah oleh air hujan Tabel 8 :
Bobot Buah Cabai Merah (kg) dan Presentase Kerusakan Buah Cabai Merah oleh Hama dan Penyakit
("/I
I
I (Improved) K (Konvensional)
Keterangan :
1
35.49
S
1
4.13
/
1.92
3.85
9.32
10.73
s
S
S
= Signifikan = her!Jeda nyata berdasarkan uji T pada tingkat 5 %
/
serta menjaga kelembaban dan temperatur tanah, sehingga unsur hara dapat ditahan dan diambil oleh tanaman cabai untuk pertumbuhannya. Persentase buah terserang lalat buah (Dacus dorsalis) pada petak I lebih rendah dibandingkan pada petak K , demikian pula dengan persentase buah yang terserang antraknosa pada petak I lebih rendah jika dibandingkan dengan petak K.
Hal ini disebabkan dengan pemakaian mulsa plastik perak dan
pemberian pestisida selektif dapat menekan tingkat kerusakan buah akibat serangan dacus dan antraknosa, sehingga tanaman tumbuh dengan baik (Uhan dan Nunung, 1995). Penanaman secara tumpangsari dapat menekan infeksi jamur. Hasil analisis statistik terhadap data menunjukkan adanya interaksi yang nyata antara perlakuan mulsa, tumpangsari dan pestisida selektif dengan bobot buah dan persentase kerusakan buah oleh hama dan penyakit.
4.4.
Persentase Kerusakan Tanaman Akibat Serangan Hama dan Penyakit
Hasil pengamatan terhadap tingkat kerusakan tanaman cabai rnerah dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 6.
Dari keseluruhan pengamatan
selama satu musim tanam, tingkat kerusakan tanaman oleh hama bertluktuasi. Pada 30 HST (hari setelah tanam) ti~gkatkerusakan tanaman oleh hama antara perlakuan pada petak I dan K secara statistik tidak berbeda nyata. Demikian pula pada 44 HST dan 65 HST.
Tabel 9 :
Tingkat Kerusakan Tanaman Cabai Merah Akibat Serangan Hama dan Penyakit Cabai Merah Pada Petak I dan Petak K
Keterangan :
HST = Hari Setelah Tanam NS = Non Signifikan = tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada Tingkat 5 % S = Signifikan= berbeda nyata berdasarkan uji T pada tingkat 5 %
I
I
Gambar 6. Grafik Tingkat Kerusakan Tanaman Cabai
. Sedangkan pada 37 HST, 51 HST, 58 HST, 72 HST, 79 HST dan 86 HST tingkat kerusakan tanarnan oleh harna antara perlakuan pada petak I dan K secara statistik sangat berbeda nyata.
Perlakuan penggunaan mulsa plastik
perak dapat mengurangi kerusakan tanaman cabai karena antraknosa, thrips,
aphids dan dapat menunda insiden virus yang merupakan kendala penting dalam peningkatan hasil cabai (Vos, 1994; Uhan dan Duriat,1996). Menurut Duriat, dkk.
(1992). pertanaman secara tumpangsari dapat
mengurangi infestasi hama dan penyakit. Disamping itu kuantitas produksi cabai merah juga naik dibandingkan dengan pertanaman secara tunggal. Perlakuan tumpangsari cabai merah dengan buncis dan pemberian pestisida yang selektif pada petak Ijuga dapat rnengurangi serangan hama thrips dan aphid pada cabai karena kedua hama tersebut juga menyerang tanaman buncis. demikian kerusakan tanaman cabai @leh hama juga berkurang.
Dengan lntensitas
serangan oleh cendawan Cercospora sp. pada tanaman cabai dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 :
lntensitas Serangan Cencawan Cercospom sp Pada Tanaman Cabai
Periakuan 30
I (lmpmved)
K(Konvensiona1) Keterangan :
Intensitasserangan cendawan Cercospora sp pada HST (%) 65 72 79 51 58 44 37
86
4.60
6.80
8.40
10.60
13.40
16.40
20.60
25.M)
31.M)
10.00
8.20
9.20
12.40
14.80
20.40
25.60
36.60
46.60
HST = Hari Setelah Tanam
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerusakan tanaman akibat serangan cendawan Cercospora sp. pada petak I lebih kecil jika dibandingkan dengan plot K. Hal ini disebabkan pada petak I diberi perlakuan tumpangsari tanarnan cabai dengan buncis. Cendawan
Cercospora sp. juga menyerang
tanaman buncis, sehingga intensitas serangan cendawan tersebut pada cabai menjadi berkurang.
4.5.
Mikroorganisme Tanah dan Kesuburan Tanah Terdapat interaksi antara tanaman dengan mikroorganisme. Berbagai
tanaman menyediakan bagi berbagai mikroorganisme sejumlah besar energi dan nutrisi dalam bentuk sejumlah residu dalam akar-akar tanaman dan tunggul atau jerami-jerami tanaman.
Akar tanaman mempengaruhi struktur tanah dan
menyebabkan suatu perbaikan aerasi tanah, sehingga sangat berpengaruh dan mempengaruhi perkembangan berbagai mikroorganisme tanah. Demikian pula mikorooganisme tanah melapukkan atau menghancurkan berbagai residu tanarnan dan binatang di dalam tanah, menimbulkan mineralisasi, sehingga berbagai mikroorganisme dapat membebaskan nutrisi yang diperlukan bsgi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama karbohidrat, nitrat, fosfat dan sulfat (Sutedjo, dkk., 1996). Berbagai
mikroorganisrne
diakui
menghasilkan
zat
perangsang
pertumbuhan tanaman. Diantaranya adalah mikroorganisme efektif Trichoderma C
spp. dan Bacillus spp. yang mernbantu mempercepat proses dekomposisi pupuk ataupun kornpos untuk nutirisi tanaman (Gunawan, 2000). Dari hasil penelitian (dilakukan di laboratorium Balitsa) didapatkan bahwa populasi mikroba Trichoderma spp. dan Bacillus spp. pada petak I lebih tinggi dibandingkan dengan pada petak K yaitu sebesar 65.65 % dan 34.43 % seperti terlihat pada Tabel 4 1 . Hal ini rnenunjukkan bahwa tanah pada petak I lebih
subur daripada petak K. Lebih tingginya populasi kedua mikroba tersebut pada petak I disebabkan perlakuan yang diterapkan pada petak I adalah pemakaian pestisida yang selektif.
Tabel 11 :
Populasi Mikroorganisme Tanah pada Petak Idan K Populasi Trichcdema sp (10')
Populasi Bacillus sp. (10')
I (Improved)
2.17
0.82
K (Konvensional)
1.31
0.6?
Perlakuan
Pendayagunaan meningkatkan
bahan
mikroorganisme
organik tanah,
seperti
pupuk
mengurangi
kandang
infestasi
dapat
patogen,
meningkatkan resistensi tanaman dan mengurangi toksisitas tanah. Menurut Lal (1989) dengan adanya mikroorganisme efektif seperti Trichodema sp dan Bacillus sp., tanah menjadi lebih dalam dan gembur. Dengan demikian dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produksi sayuran. Adanya anggapan petani sayuran terhadap penggunaan bahan kimia (pestisida dan pupuk) untuk dapat meningkatkan hasil panennya bisa saja dibenarkan, asalkan dalam penggunaan bahan-bahan kimia tersebut tidak secara berlebihan.
Bahan-bahan kimia yang telah diaplikasikan ke tanarnan
tidak semuanya dapat diserap oleh tanaman tersebut, malahan sebagian besar akan luruh ke tanah. Akumulasi dari deposit bahan-bahan kimia yang ada di tanah ini selanjutnya akan berpengaruh pula terhadap sifat fisik tanah sekitarnya
(Fery, 1999). Dari hasil analisis tanah di laboratonurn Lembang didapatkan bahwa dilihat dan sifat kimia dan fisik tanah di lokasi penelitian, kesuburan tanah pada petak Idan K tidak berbeda nyata seperti terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12 :
Karakteristik Tanah pada Petak Idan Petak K
Perlakuan Tekstur (%) Pasir Debu I.iat
Awal PH
Akhir Bahan KTK Tekstur (%) PH Bahan KTK Organik (mllmg) Pasir Debu Liat Organik (milmg) (%)
(%)
(Improved) 33.00 40.0026.00 3.80
5.59
22.11 33.00 40.0026.003.80
5.88
22.88
(Konvensio 33.0040.0022.00 3.80
4.81
20.5033.0040.0026.003.70
5.80
21.26
Penggunaan mulsa selain dapat mengurangi erosi, juga mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan agregat dan aerasi tanah.
Menurut Suwarjo (1981), mulsa yang menutupi
permukaan tanah menyebabkan cahaya matahari tidak dapat langsung ~ n c a p a tanah, i sehingga suhunya lebih rendah dari tanah terbuka.
Pada
malam hari mulsa dapat mencegah pelepasan panas, sehingga suhu minimum lebih tinggi. Peristivia ini menyebabkan turunnya fluktuasi suhu tanah herian. Tobing dkk. (1994) menyatakan bahwa penggunaan mulsa dapat menurunkan suhu tanah karena adanya lapisan udara yang terperangkap diantara permukaan tanah dan mulsa. Lapisan udara ini akan rnenghambat aliran panas dari mulsa kepermukaan tanah, karena udara rnempunyai konduktivitas yang sangat rendah. Berkaitan dengan ini, maka kadar bahan organik tanah pada petak I lebih tinggi dibandingkan dengan pada petak K.
4.6.
Populasi Fauna
A.
Fauna pada Tanaman Keragaman fauna pada pertanaman diamati dengan mengamati jumlah
dan jenis fauna yang menempel pada pertanaman. Dari hasil pengamatan terhadap keragaman fauna terlihat bahwa jenis fauna yang menempel pada pertanaman kesemuanya merupakan hama tanaman. Keragaman hama pada petak teknologi yang diperbaiki (Improved =I) lebih tinggi dibandingkan dengan petak teknologi petani (Konvensional =K), seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13 :
Keragaan Jenis Hama Tanaman pada Petak I dan Petak K Jumlah dan Jenis Hama
Perlakuan I (Improved)
4 (P.xylostella, C. binostalis, Thrips dan Aphid)
K (Konvensional)
2 (Thrips dan Aphid)
Hal ini disebabkan karena pertanaman pada petak I merupakan pertanaman ttimpangsari (cabai - kubis - buncis tegak), sedangkan pada petak K merupakan pertanaman monokultur (cabai). Hama yang menyerang petak
I adalah
P. xylostella, C. binotalis, thrips dan aphid, sedangkan pada petak
K adalah thrips dan aphids. P. xylostella dan C. binotalis menyerang pertanaman kubis pada petak I,
sedangkan thrips dan aphid menyerang pertanaman cabai dan buncis tegak di petak I dan cabai di petak K. Dari hasil pengamatan terlihat juga bahwa jumlah
thrips dan aphids pada petak I lebih sedikit dibandingkan pada petak K seperti terlihat pada Tabel 14.
Hal ini disebabkan pada petak I insektisida yang
digunakan adalah insektisida yang selektif (spinosad dan biopestisida), yang toksisitasnya sangat rendah terhadap rnanusia dan relatif tidak rnerusak lingkungan. lnsektisida selektif ini digunakan secara bergantian dengan interval penyernprotan 1 rninggu sekali, sehingga jurnlah aplikasi sampai panen pertarna cabai untuk spinosad 5 kali dan untuk biopestisida 5 kali, sedangkan pada petak K pestisida yang digunakan adalah carnpuran profenofos dan propineb yang disernprotkan 1 rningsu sekali, sehingga jurnlah aplikasi sampai panen pertama cabai adalah 10 kali. Menurut Wisnuwardhana (1997), penyernprotan ekstrak kasar bahan organik yang berasal dari Agonal dapat rnengendalikan hama dan penyakit. Senyawa aktif yang terdapat pada daun rnirnba mernpunyai potensi sebagai pengendali virus yang rnenyerang tanarnan; daun serai wangi yang rnengandung rninyak atsiri dapat mernbunuh serangga harna dan mengharnbat peletakan telur (Sudarrnadji, 1993 dan Kardinan, 1999).
Tabel 14 :
Populasi Hama Thrips dan Aphid pada Petak I dan Petak K Jurnlah lndividu
Perlakuan
Aphid
Thrips
I
l (improved)
K (Konvensional)
1
I 1130 2168
1
236 576
1
Disarnping penggunaan insektisida selektif, perlakuan lain yang diberikan pada petak I yang dapat rnenurunkan populasi hama adalah penggunaan rnulsa rnulsa plastik perak dalarn plastik perak dan pertanarnan turnpangsari. P e n g a ~ h ,menurunkan populasi thrips dan aphid disebabkan dengan adanya refleksi cahaya oleh rnulsa plastik perak (Vos, 1994). Penolakan terhadap thrip dan aphid dapat diasosiasikan dengan adanya gangguan onentasi sebelum hinggap ditanaman. Kemungkinan lain adalah berkurangnya tempat-tempat yang cocok untuk berpupa di dalarn tanah di bawah naungan. Bertanarn secara turnpangsari dapat rnenurunkan serangan harna dan penyakit dengan melalui cara : (I) mengurangi penyebaran karena adanya bamer tanarnan bukan inang; (2) salah satu spesies tanarnan berguna sebagai perangkap dan penolak (Duriat, dkk., 1992).
B.
Fauna Tanah
Fauna tanah adalah sernua fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di perrnukaan tanah rnaupun di dalarn tanah, yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalarn tanah serta dapat berasosiasi dan beradaptasi dengan lingkungan tanah (Brown, 1980). Kelornpok fauna tanah yang terjaring baik rnelalui perangkap jebak(Piffal1) rnaupun bor tanah terdiri dari makrofauna dan rnikrofauna. Dan sepuluh kali pengamatan ternyata jenis dan jurnlah fauna yang tertangkap rnelalui perangkap jebak (Pitfall) yang dipasang diatas perrnukaan tanah pada petak I lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah
fauna
yang tertangkap pada petak K seperti terlihat pada Tabel 15 dan
Gambar 7.
Tabel 15 :
Jenis dan Jumlah Fauna Tanah yang tertangkap perangkap jebakan di permukaan tanah Jumlah Species
Jurnlah lndividu (ekor)
I (improved)
8
362
K (Konvensional)
8
1195
Perlakuan
Gambar 7. Populasi Fauna Yang Tertangkap Oleh Pitfall
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada petak I
tertangkap
sebanyak 362 fauna yang terdiri dari 192 makrofauna dan 170 mikrofauna. Pada petak K tertangkap 1195 fauna yang terdiri dari 653 makrofauna dan 542 mikrofauna. Rendahnya jumlah fauna yang tertangkap di petak I disebabkan
pertanaman di petak I diberi rnulsa plastik perak, sehingga fauna-fauna yang ada di permukaan tanah tidak bisa keluar karena terhalang oleh rnulsa. Berdasarkan pengamatan jenis dan jurnlah fauna yang tertangkap rnelalui bor tanah pada petak I lebih tinggi sebesar 133.05 % dibandingkan dengan pada petak K seperti terlihat pada Tabel 16 dan Gambar 8. Dari hasil pengarnatan menunjukkan bahwa pada petak I teitangkap sebanyak 1636 fauna yang terdiri dari 1006 makrofauna dan 630 rnikrofauna. Pada petak K tertangkap sebanyak 702 fauna yang terdiri dari 475 rnakrofauna dan 227 mikrofauna. Fauna tanah berfungsi sebagai dekornposer dalam merubah sisa-sisa organisme lain rnenjadi bahan organik yang lebih sederhana di dalam tanah.
Tabel 16 :
Jenis dan Jumlah Fauna Tanah pada pertanaman d i petak Idan petak K yang terdapat di dalam tanah Jumlah Species
Jumlah lndividu (ekor)
I (Improved)
8
1636
K (Konvensional)
8
702
Perlakuan
Berkurangnya fauna di dalarn tanah pada petak K disebabkan reridahnya nilai kadar bahan organik karena intensifnya pernakaian pestisida.
Menurut
Adianto (1993), penggunaan insektisida untuk mengendalikan harna sayuran dapat menurunkan populasi fauna tanah, seperti yang terlihat pada petak K. Dengan dernikian dapat dikatakan bahwa penerapan perlakuan pada petak I dapat mengurangi dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistern. Dalam ekosistem dengan diversitas tinggi urnumnya terdapat rantai rnakanan yang lebih
(6.94 %), Diptera (4.95 %), lsoptera (3.59 %), Protura (2.95 %) dan Odonata (1.93 %). Banyaknya jenis Collembolla yang ditemukan menunjukkan bahwa jenis fauna ini rnempunyai toleransi cukup tinggi dari setiap faktor lingkungan hidupnya. Menurut Fery (1999), meskipun terjadi perbedaan faktor fisik tanah akibat penerapan teknologi yang berbeda, tetapi tampaknya faktor tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap kepadatan populasi dan kehadiran Collembolla. Hal ini sesuai dengan hasil peneliiian Hagvar dan Abrahamsen (1980)
dalam
Fery (1999) yang menyatakan bahwa perubahan pH tanah melalui penambahan kapur tidak ticiak menyebabkan perubahan kepadatan populasi Collembolla. Sedangkan jenis fauna tanah yang terdapat di dalam tanah ada 8 jenis fauna, yang
paling dominan adalah Hemiptera (56.54 %), diikuti oleh Collernbolla
(30.33 %), Mallophaga (4.02 %), Coleoptera (3.51 %), Protura (1.79 %), Hornoptera (1.54 %), lsoptera (1.54 %) dan Diplura (0.73 %).
4.7.
Residu Pestisida
A.
Residu Pestisida pada Tanah Pada petak K perlakuan penggunaan pestisida dilakukan sesdai dengan
cara petani cabai di Lembang.
Dari hasil survai ke petani cabai di sekitar
Lernbang didapatkan bahwa penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani petani seternpat dilakukan secara intensif yaitu satu rninggu sekali, sehingga diduga terdapat residu pestisida yang tertinggal dalarn tanah. Pada urnurnnya petani rnelakukan aplikasi pestisida dengan menggunakan campuran dua atau
lebih pestisida dalam setiap aplikasinya.
Sebagian besar petani cabai di
Lembang menggunakan carnpuran insektisida Curacron 500 EC (dengan bahan aktif profenofos) dengan fungisida Antracol 70 WP (dengan bahan aktif propineb). Sedangkan pada petak I perlakuan yang digunakan adalah dengan menggunakan pestisida selektif dengan selang waktu dua minggu sekali. Pestisida yang digunakan adalah carnpuran insektisida Success 25 SC (dengan bahan aktif spinosad) dengan fungisida Score 250 EC (dengan bahan aktif difenokonazol) diselang dengan pestisida biorasional AGONAL, yaitu campuran antara daun mimba, sereh wangi dan lengkuas dengan perbandingan 8:6:6. Hasil analisis residu pestisida pada tanah yang dilakukan di laboratorium Balitsa di Lernbang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 :
Residu Pestisida pada Tanah di Pertanaman Petak I dan Petak K Awal (Inhibisi = %) lnsektisida Fungisida
Perlakuan
I
Akhir (Inhibisi = %) Fungisida lnsektisida
I (improved)
28.64
28.49
19.32
10.54
K (Konvensional)
28.64
28.49
48.08
36.03
I
Keterangan :
I
Batas minimum residu (BMR) untuk lnsektisida = 25 % Batas minimum residu (BMR) untuk Fungisida = 50 %
Dari sarnpel tanah yang diuji kadar residu pestisidanya didapatkan bahwa pada awal sebelurn tanarn residu pestisida pada tanah untuk insektisida persentase inhibisinya adalah 28.49 %, sedangkan untuk fungisida adalah
28.64 %.
Setelah panen terakhir, kadar residu insektisida pada tanah untuk
petak K inhibisinya adalah 36.0% dan untuk petak I adalah 10.54%, sedangkan kadar residu fungisidanya untuk petak K adalah 48.08% dan untuk petak I adalah 19.32%.
Batas maksimum residu (BMR) untuk insektisida adalah 25 % dan
untuk fungisida adalah 50 % (Chiu, 1991). Tingginya residu pestisida pada petak K disebabkan karena frekuensi pemakaian yang cukup tinggi, sehingga menimbulkan residu yang tinggi pula. Persistensi insektisida di dalam ianah sangat dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik tanah, seperti kandungan organik, kandungan logam (kation) dan kemasaman (pH).
Jenis tanah di lokasi penelitian merupakan jenis tanah
Andosol dengan tekstur lempung berliat. Kandungan bahan organik di lokasi penelitian cukup tinggi seperti terlihat pada Tabel 12.
Karakteristik tanah
tersebut merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pemakaian pestisida, karena semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, maka kandungan residu pestisida di tanah semakin tinggi. Pada lapisan yang banyak mengandung bahan organik (lapisan tanah bagian atas 10-20 cm) insektisida mudah terabsorbsi dan sukar keluar dari media tersebut (Connel dan Miller, 1995). Kondisi pH tanah di lokasi penelitian menunjukkan kondisi asam
(Tabel 12).
Hal ini akan rnempengaruhi waktu tinggal suatu pestisida di
lingkungan, karena pada kondisi asam (pH rendah) akan meningkatkan persistensi suatu pestisida, sehingga pestisida ini mempunyai keterbatasan untuk bergerak di lingkungannya. Demikian pula dengan nilai Kapasitas Tukar
Kation (KTK) pada lokasi penelitian nilainya rendah (Tabel 12). Sernakin kecil nilai KTK, rnaka residu insektisida pada tanah akan mengikat lebih besar, dernikian pula sebaliknya sernakin tinggi nilai KTK, rnaka residu insektisida aka6 lebih sedikit diikat oleh tanah (Mc. Ewen and Stephenson, 1979).
B.
Residu Pestisida pada Cabai, Krop Kubis dan Buncis Pada waktu panen pertama buah contoh dari petak I dan K diarnbil untuk
dianalisis kandungan residu pestisidanya. Analisis residu pestisida dilakukan di laboratoriurn Pengujian Pestisida dan Pupuk Ditjentan di Jakarta.
Dari hasil
analisis residu pestisida didapatkan bahwa buah contoh baik cabai maupun krop kubis dan buncis dari petak I tidak terdeteksi analisis residu pestisidanya, sedangkan buah contoh cabai dari petak K mernperlihatkan kadar residu pestisida yang cukup tinggi, yaitu untuk insektisida sebesar 19.75 mgkg (pprn). Untuk melihat residu fungisida pada cabai dilakukan dengan rnetode cepat (RBPR = rapid bioassay of -pesticide residues) di laboratoriurn Balitsa dan didapatkan inhibisinya sebesar 49,75 %. Menurut Chiu (1991), batas maksirnurn residu insektisida Profenofos adalah 1.387 mgkg (pprn) atau untuk insektisida lain sebesar 25 %, sedangkan ur;Cuk fungisida adalah 50 %. Menurut Jonathan J (1988), psstisida yang terdeposit pada tanarnan akan terbawa bersarna dengan hasil panenan sarnpai ke konsurnen. lnsektisida spinosad (Success 25 SC) yang diberikan pada petak I merupakan insektisida golongan rnikrobia yang berasal dari Actinomycetes (Saccharopolyspora spinosa) yang bersifat sebagai racun perut dan racun
kontak (Chiang, 1994).
Menurut Setiawati (2000), spinosad rnerupakan
insektisida selektif yang arnan terhadap lingkungan, karena insektisida ini efektif untuk mernbasrni harna pada tanarnan, tetapi arnan terhadap parasitoid tanaman, contoh : sangat efektif rnengendalikan P. xylostella dan aman terhadap parasitoid D. semiclausum pada tanaman kubis.
Pernberian insektisida ini
diselingi dengan pernberian biorasional Agonal. Kemarnpuan formula Agonal dengan perbandingan 8:6:6 telah dicoba untuk rnengendalikan penyakit busuk daun (Phytopthom infestans) pada tanarnan kentang, penyakit antraknosa, penyakit bercak daun Cercospora pada cabai, hama thrips dan aphids pada tanarnan cabai (Hadisoeganda dkk.,1996).
Dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa formula tersebut sangat efektif untuk mengendalikan OPT (Organism Pengganggu Tanarnan) pada tanarnan cabai dan kentang. lnsektisida profenofos (Curacron 500 EC) yang diberikan pada petak K terrnasuk dalam golongan Organofosfat dan mernpunyai toksisitas kelas I1 yang sangat membahayakan lingkungan yang setara dengan DDT walaupun persistensinya relatif lebih pendek dibandingkan dengan DDT (Naegely, 1994). Menurut Suryaningsih (1997). insektisida dari golongan Organofosfat merupakan insektisida yang persistensinya di dalam jaringan tanarnan lebih lama. Dari hasil analisis residu insektisida pada buah cabai di petak K sebesar 19.75 pprn yang berada diatas BMR, rnaka buah cabai tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Residu fungisida pada buah cabai di petak K sebesar 49.75 %, walaupun masih dibawah BMR yang telah ditetapkan (< 50 %), akan tetapi perlu diwaspadai karena angkanya cukup tinggi.