4.1 Geologi Bawah Pemukaan Daerah Penelitian 4.1.1 Analisa dan Interpretasi data sumur (well log) Dalam analisa ini, digunakan 8 sumur, yaitu KRN-01, JT-04, JT-03, ADL-01, YN-05, YN-02, KML-02, dan KEM-01, dimana sebagai data pembantu dalam penentuan marker – marker pada well dan horizon pada seismik. Analisa ini berupa penentuan composite dari suatu well dan hasil korelasi antar sumur. Analisa dan interpretasi data sumur dilakukan dengan membaca marked log pada sumur-sumur acuan. Adapun jenis log yang digunakan yaitu log Gamma Ray, log Spontaneous Potensial (SP), log Resisitivitas, log Densitas dan Porositas. Log Gamma Ray digunakan untuk untuk menentukan jenis litologi yang ada dan log Spontaneous Potensial (SP) yang memperlihatkan tipe fluida yang ada pada formasi dan dapat membantu juga dalam menentukan jenis litologi. Log Resistivitas digunakan untuk menentukan jenis fluida dalam batuan yang memiliki porositas yang tinggi berdasarkan besar kecilnya nilai resistivitas, bila nilainya besar (>10 Ohm) maka kemungkinan batuan mengandung minyak atau gas, tetapi bila nilai resistivitasnya kecil (<10 Ohm) maka kemungkinan batuan tersebut mengandung air. Log Densitas dan Porositas menentukan besar kecilnya nilai densitas porositas pada batuan, semakin besar nilai porositas dan densitas semakin banyak fluida yang dikandung batuan tersebut dimana kurva pada kedua log tersebut membentuk bentukan cross over yang mana biasanya memperlihatkan kehadiran minyak atau gas dalam suatu sumur, dimana biasanya nilai densitas lebih besar dibandingkan nilai porositas. Hasil interpretasi marker – marker pada lapangan Seribu North dari bawah ke atas adalah : x
Bsmt Marker ini merupakan top batuan dasar dari daerah penelitian ini, yaitu
top basement, dimana terlihat dari penampakan log gamma ray yang tidak beraturan. x
L_Bnwt Marker ini merupakan top dari formasi Banuwati bagian bawah. Marker
ini terletak di bagian atas dari kurva log gamma ray yang berbentuk blocky, dimana menunjukkan litologi batupasir (Gambar 4.2). Karena nilai gamma ray
36
yang sangat kecil, dan dilihat dari deskripsi data sampel log lumpur dan conto inti batuan, menunjukkan jenis litologi yang lebih spesifik, yaitu konglomerat. x
LM_Bnwt Marker ini merupakan top dari Formasi Banuwati bagian tengah ke bawah
(lower-middle). Marker ini terletak di atas bagian dari kurva log gamma yang yang berbentuk blocky, dimana menunjukkan litologi batupasir (Gambar 4.2). Dilihat dari log Densitas dan Porositas yang membentuk bentukan cross over, maka dapat disimpulkan bahwa lapisan ini diperkirakan sebagai suatu reservoir daerah prospek. x
M_Bnwt Marker ini merupakan top dari Formasi Banuwati bagian tengah. Marker
ini ditunjukkan oleh nilai log gamma ray yang tinggi dan rendah secara berurutan yang menunjukkan perselingan litologi batupasir dan serpih (Gambar 4.2). Beberapa batupasir pada lapisan ini, dilihat dari log Densitas dan Porositas yang membentuk bentukan cross over, maka dapat disimpulkan bahwa lapisan ini diperkirakan sebagai suatu reservoir. x
U_Bnwt Marker ini merupakan top dari formasi Banuwati itu sendiri, yang
ditunjukkan dengan bentukan log gamma ray yang blocky dan memiliki nilai yang rendah. Tetapi jika dibandingkan dengan data sampel lumpur, lapisan ini memiliki jenis litologi serpih, yaitu serpih hitam yang merupakan batuan induk dari daerah prospek (Gambar 4.2). x
TAF
Marker ini merupakan top dari Formasi Talang Akar. Dilihat dari bantuan deskripsi sampel log lumpur dan conto inti batuan, formasi ini memiliki litologi batupasir, serpih dan batubara. Pada daerah penelitian ini, marker TAF dibedakan menjadi 2, atas dasar kandungan batubara yang dicirikan dengan kurva log gamma ray dan log densitas yang ekstrim, yaitu :
37
¾ TAF_Zelda Marker ini merupakan top Formasi Talang Akar dimana penampakan batubara pada kurva log gamma ray menipis dan sedikit. ¾ TAF_Gita Marker ini merupakan top Formasi Talang Akar. Marker ini terletak diatas bentukan kurva log gamma ray ekstrim untuk pertama kalinya, dimana kandungan batubara lebih banyak dan tebal dibandingkan dengan TAF_Zelda. x
BRF
Marker ini merupakan top dari Formasi Baturaja. Marker ini terletak di atas bentukan kurva log gamma ray yang memiliki nilai rendah dan kurva resistivitas yang tinggi dan membentuk bentukan runcing (spiky). Lapisan ini memiliki litologi batugamping dan perselingan batupasir dan serpih yang dilihat dari deskripsi sampel log lumpur dan log gamma ray. x
F_Gumai
Marker ini merupakan top dari Formasi Gumai. Marker ini terletak di atas bentukan kurva log gamma ray dan Spontaneous Potensial yang memiliki nilai yang tinggi, dan juga log resistivitas dengan nilai yang rendah, yang mencirikan litologi serpih.
Karena keterbatasan data wireline log, interpretasi data sumur dan pembuatan marker hanya hingga top Formasi Gumai. Daerah fokus penelitian terletak pada batuan dasar hingga top Formasi Banuwati .
38
Untuk mengkorelasi sumur–sumur yang ada, terkadang terdapat ketidaksesuaian dengan pola seismik yang ada serta tidak mencerminkan pola log yang sama antara satu sumur dengan sumur lainnya, maka dari itu dilakukan pengecekan ulang dengan membandingkan top formasi pada data sumur dengan refleksi seismik yang ada, serta dengan melihat konsistensi pola log untuk setiap formasi pada setiap sumur.
Tebal dari setiap formasi di daerah penelitian ini cukup beragam. Tebal formasi yang beragam ini bisa diakibatkan oleh struktur geologi yang berkembang seperti terdapatnya aktifitas sesar yang ada atau memang pada saat pengendapan formasi itu tidak pada suatu dasar yang horizontal. JT-4
YN-5
Gambar 4.3 Perbedaan ketebalan pada Formasi Banuwati Atas 40
4.1.2
Analisa Seismik Interpretasi seismik dilakukan dengan menggunakan software IESX,
Geoframe. Data seismik yang digunakan dalam interpretasi berupa data seismik tiga dimensi (3D seismik). Interpretasi seismik dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan struktur geologi, geometri reservoir dan penyebaran lapisan pada daerah penelitian. Langkah pertama adalah melakukan pengikatan sumur pada seismik dengan syntetics, untuk mendapatkan kepastian dalam picking horizon sesuai dengan marker – marker yang ada pada sumur. Dengan menggunakan survei check shot untuk mendapatkan kurva kedalaman-waktu yang lebih lanjut dapat dimanfaatkan untuk pengikatan data seismik dan sumur dalam pembuatan seismogram sintetik yang ditunjukkan pada gambar 4.6 :
Gambar 4.6 Hasil sintetik dengan menggunakan survei checkshot dari sumur YN-05
43
Langkah selanjutnya adalah menarik horizon – horizon dengan menggunakan batuan data log sumur – sumur, Penentuan atau Picking dilakukan pada sayatan seismik secara inline dan crossline serta arah lainnya untuk mendapatkan data yang akurat, yang berguna untuk analisa selanjutnya. Lalu dilanjutkan dengan menginterpretasi sesar – sesar yang menembus basement. Sesar – sesar diberikan penamaan yang terpisah – pisah sesuai hubungannya dengan sesar yang lain serta memudahkan interpretasi. Setelah semua sesar yang ada dan terlihat selesai diinterpretasikan, selanjutnya melakukan picking kontak atas dan kontak bawah sesar –sesar yang ada terhadap suatu level horizon yang ada, yang selanjutnya digunakan untuk melihat seberapa besar pergeseran sesar – sesar tersebut. Hasil yang didapat dari interpretasi di atas, dapat dilihat pada gambar 4.7 dan gambar 4.9 :
Gambar 4.7 Hasil interpretasi pada salah satu garis penampang seismik Selanjutnya pembuatan batas sesar untuk melihat bentukan sesar dan hubungan antara sesar yang satu dengan sesar yang lain. Hasil dari griding dari peta dasar dapat membuat peta struktur. 44
4.1.3 Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian didasarkan pada data log dan beberapa analisis core dari sumur JT-04 dan YN-02. Tetapi karena keterbatasan data log, tidak semua formasi terlihat. Berdasarkan analisa data log sumur acuan dan seismik, daerah penelitian terdiri dari beberapa formasi. Secara umum urutan formasi berdasarkan data sumur YN-05 adalah batuan dasar yang terdiri atas batuan metamorf tingkat rendah berupa sekis, gneiss, dan kuarsit, serta batuan beku, serta batuan ektrusif berupa basalt, andesit dan trachyte, Formasi Banuwati, Formasi Talang Akar yang terdiri dari dua kelompok, yaitu Kelompok Zelda dan Kelompok Gita, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Formasi yang difokuskan pada daerah penelitian adalah Formasi Banuwati. Berdasarkan data log dan data sampel lumpur, Formasi Banuwati dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu Formasi Banuwati Bawah, Formasi Banuwati TengahBawah, Formasi Banuwati Tengah, dan Formasi Banuwati Atas.
a) Formasi Banuwati Bawah – Kipas Aluvial Fasies ini terdiri dari tumpukan konglomerat berselang seling dengan serpih berwarna merah-coklat. Ketebalan kipas aluvial pada formasi ini bisa lebih dari 1500 kaki. Berdasarkan korelasi sumur dan interpretasi seismik menyatakan bahwa fasies kipas aluvial ini berada di bawah fasies fluvial dan karenanya berumur lebih tua. Jika hasil penentuan umur menyatakan bahwa Serpih Banuwati memiliki umur Oligosen, maka fasies ini diperkirakan berumur Eosen dan bukan Paleosen. Menurut hasil dari pengamatan conto inti batuan yang diambil pada kedalaman 9552 kaki pada sumur JT-04, batuan pada Formasi Banuwati Bawah memiliki ciri-ciri batuan konglomerat, sangat kompak, berwarna ciklat muda, butiran kasar hingga kerikil dengan fragmen batuan beku, semen silika, porositas buruk (Gambar 4.10) Jika dilihat dari penampang seismik berarah baratlaut-tenggara, terlihat bentukan kipas aluvial pada posisi flatening horizon BRF (Formasi Baturaja) (Gambar 4.10).
47
Menurut hasil dari pengamatan conto inti batuan yang diambil pada kedalaman 10.250-10.251 kaki pada sumur YN-02, batuan pada Formasi Banuwati Tengah-Bawah ini memiliki ciri-ciri batuan, batupasir, berwarna coklat keabu-abuan, butiran kasar hingga sangat kasar, butiran subrounded hingga subangular, pemilahan buruk, porositas cukup baik, non calcareous, terdapat jejak hidrokarbon sangat sedikit (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Conto Inti Batuan (core) pada kedalaman 10250-10251 pada kaki sumur YN-02
b) Formasi Banuwati Tengah Penyusun utama fasies ini adalah perselingan batupasir dan batulempung. Ada tiga unit yang dapat dibedakan secara jelas pada fasies ini berdasarkan korelasi log yaitu unit bawah, tengah dan atas. Unit bawah tersusun atas endapan channel sehingga didominasi oleh batupasir. Batupasir ini memperlihatkan urutan vertikal yang menipis dan menghalus ke atas, mengindikasikan peristiwa transgresi pada saat pengendapannya. Semua unit batupasir penyusun Formasi Banuwati Tengah memiliki besar butir halus sampai sedang dan tebal lapisan antara 5-20 kaki. Fasies ini diendapkan pada lingkungan fluvial – laut dangkal. Berdasarkan sampel log lumpur, secara umum, pada formasi ini terdapat perselingan antara batulempung dan batupasir. Batulempung, berwarna keabu-abuan hingga kecoklatan, terdapat jejak fosil foraminifera,
49
karbonan, lanauan. Sedangkan batupasir, berwarna putih hingga coklat muda, butiran halus hingga sedang, terpilah baik, porositas baik hingga buruk, terkadang terdapat jejak hidrokarbon, semen silika, terdapat sedikit fosil rombakan.
c) Formasi Banuwati Atas Fasies ini merupakan representasi dari puncak transgresi di Cekungan Sunda yang tersusun atas serpih dan dibeberapa sumur ditemukan sisipan batubara. Batuan serpih pada fasies ini memiliki ciri-ciri berwarna coklat kehitaman dan sangat carbonan. Warna coklat gelap menunjukkan kondisi pengendapan yang kurang akan kandungan oksigen (anoxic). Maka dapat disimpulkan bahwa fasies ini masuk dala lingkungan pengendapan danau dalam (deep lacustrine). Kombinasi antara lingkungan yang anoxic dan besar butir yang halus dari serpih menyebabkan material organik dapat terawetkan dengan baik sehingga fasies ini menjadi batuan induk yang sangat baik. Menurut Noble et al. (1997) op. cit. Jiafu et al, (2005), Cekungan Sunda termasuk dalam jenis oil prone yang biasanya berasal dari endapan serpih danau. Berdasarkan sampel log lumpur, secara umum, batuan yang ada pada formasi ini merupakan batulempung dengan ciri-ciri coklat hingga coklat tua kehitaman, sangat carbonan, terdapat sisipan batubara.
50
4.1.4 Struktur Geologi Daerah Penelitian.
NE
SW
Gambar 4.12 Peta dasar dan lintasan seismik daerah penelitian yang memperlihatkan bentukan sesar-sesar yang ada
Cekungan Sunda adalah cekungan dengan bentukan half – graben pada batuan dasar berumur Tersier yang sudah aktif dalam bentukan back – arc basin pada Oligosen Awal. Terlihat pada gambar 4.12, bahwa terdapat sesar – sesar dengan arah utara – selatan, relatif barat – timur dan baratlaut – tenggara (NW-SE). Semua karakteristik sesar yang terlihat pada daerah ini merupakan sesar normal dengan bentukkan beberapa sesar normal miring dan half graben system yang terlihat dari seismik dengan arah barat – timur maupun utara – selatan.
51
Setelah melakukan interpretasi menggunakan data seismik, maka tahap selanjutnya adalah menyajikan hasil interpretasi tadi ke dalam bentuk peta struktur, Sehingga akan terlihat bentukan morfologi bawah permukaan dari daerah penelitian pada saat ini, serta penyebaran sesar yang ada di daerah penelitian, dalam kaitannya dengan analisis struktur yang akan dilakukan. Untuk mengetahui pola tektonik dari daerah penelitian ini maka penulis melihat perkembangan orientasi sesar mulai dari basement hingga Formasi Banuwati Atas. Sehingga dari peta tersebut diharapkan akan mendapatkan evolusi struktur semenjak Kapur Akhir sampai pada kala Oligosen Akhir.
52
Gambar 4.13 peta struktur pada batuan dasar
Dari peta struktur batuan dasar (Gambar 4.13), bagian yang berwarna biru merupakan daerah yang rendah, sedangkan yang berwarna pink tua merupakan daerah yang tinggi. Terlihat pada peta struktur, seluruhnya merupakan sesar-sesar normal dan memiliki Orientasi sesar dengan arah rata-rata baratlaut – tenggara dan utara - selatan
53
Gambar 4.14 peta struktur pada Formasi Banuwati Tengah-Bawah
Sama halnya dengan peta struktur kedalaman dari batuan dasar, seluruhnya merupakan sesar-sesar normal dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Tengah – Bawah masih berarah baratlaut – tenggara dan utara - selatan
54
Gambar 4.15 peta struktur dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Tengah
Sama halnya dengan peta struktur kedalaman dari Formasi Banuwati TangahBawah, seluruhnya merupakan sesar-sesar normal dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Tengah masih berarah baratlaut – tenggara dan utara - selatan
55
Gambar 4.16 peta struktur dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Atas
Sama halnya dengan peta struktur dari batuan dasar, seluruhnya merupakan sesar-sesar normal dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Atas masih berarah baratlaut – tenggara dan utara - selatan
56
4.1.4.1 Pembahasan Terbentuknya sebagian besar sesar-sesar yang berarah NW-SE dan U-S ini bukan hanya dikontrol oleh subduksi antara Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Eurasia saja, namun pembentukan sesar-sesar normal ini dipengaruhi oleh aktifitas dua sesar mendatar besar dari Sumatera yaitu Sesar Semangko dan Sesar Malacca (Darman & Sidi, 2000).
NE
SW
1
3
3
Gambar 4.17 Bentukan negative flower structure pada penampang seismik pada lintasan berarah NE-SW beserta perbandingan model gambar negative flower structure (Davis dan Reynolds, 1996) 57
Seperti yang terlihat pada gambar 4.17, Pada bagian tengah cekungan yang ada di daerah penelitian ini membentuk struktur strike slip dengan bentukan flower structure (struktur bunga) yang lebih dikenal dengan struktur tulip (Twiss dan Moores, 1992 op.cit. Davis dan Reynolds, 1996) Bentukan flower structure yang ada berupa negative flower structure dimana suatu sesar geser memicu terbentuknya sesar-sesar normal disekelilingnya. Pada daerah penelitian, dilihat dari penampang seismik berarah baratlaut – tenggara (NWSE), terlihat bentukan negative flower structure yang membelah batuan dasar hingga Formasi Banuwati Atas. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa bentukan sesar – sesar normal, yang berarah baratlaut – tenggara (NW – SE) merupakan kejadian yang dipengaruhi oleh strike slip system. Bentukan sesar geser yang terjadi pada batuan dasar ikut mempengaruhi lapisan batuan diatasnya, sehingga pada lapisan batuan diatas batuan dasar terbentuk sesar-sesar normal sebagai hasil dari pergerakan sesar geser tersebut. Dilihat dari bentukan sesar-sesar normal yang rata-rata berarah baratlaut – tenggara dan bentukan en echelon pada sesar-sesar minor menandakan bahwa terjadi pergerakan di tengah sub-cekungan pada daerah penelitian. Jika dilihat dari peta dasar daerah penelitian, dapat disimpulakn bahwa pergerakan sesar geser yang ada adalah menganan
(gambar
4.18).
Sedangkan
sesar
besar
berarah
utara-selatan
diinterpretasinya sebagai akibat lanjut dari pergerakan sesar-sesar normal yang ada.
Gambar 4.18 Model struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian
58
Jika dibandingkan dengan sistem simple shear dapat kita interpretasikan bahwa untuk analisa model mekanika, dimana oblique - slip fault system ini pergerakannya menganan. Batuan yang paling tua dalam Cekungan Sunda adalah batuan dasar yang terdiri dari batuan metamorf berupa sekis, gneiss, dan kuarsit, serta batuan beku, yang terdiri dari batuab beku intrusif, berupa granit dan granodiorit, serta batuan ektrusif berupa basalt, andesit dan trachyte. Struktur batuan dasar ini sendiri pembentukannya juga dipengaruhi dua kejadian tektonik utama, yaitu tumbukan lempeng Sunda dengan lempeng kecil Kangean pada
Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan
Tumbukan antara lempeng Sunda dengan lempeng India-Australia pada masa Tersier Awal.
Awal mula E-W extensional graben system kemungkinan merupakan suatu atribut patahan batuan dasar yang diiringi dengan kolisi pada Tersier Awal pada lempeng India dan Eurasia (Taponier, 1982 op.cit. Jiafu et al, 2005), yang mana menghasilkan NW – SE zona shear utama yang memanjang disepanjang Sumatra. Sedangkan sesar dengan arah utara – selatan merupakan bentukkan dari tumbukan lempeng antara Lempeng Sunda dengan Lempeng India – Australia pada masa Tersier juga. Semua sesar-sesar ini diperkirakan bahwa struktur sesar-sesar ini sudah ada pada batuan dasar, sebelum proses sedimentasi pertama, yaitu Awal Tersier atau sebagai akibat lanjut dari subduksi di selatan Jawa pada kala Eosen hingga Oligosen (Clements dan Hall, 2007). Namun Menurut Koesoemadinata (2004), kedua sesar dengan arah yang berbeda tetapi terbentuk dalam kurun waktu yang bersamaan tersebut kemungkinan akibat lanjutan dari pergerakan wrench fault dengan arah NW – SE yang memunculkan hasil patahan normal pada batuan dasar dengan arah N – S yang mengontrol pengendapan syn – rift pada rift-valley basin.
59
4.2 Analisa Sekatan Sesar Untuk analisa sekatan sesar daerah Utara Cekungan Sunda secara detail, penulis hanya menggunakan empat buah sesar, yaitu sesar F1, F4. F6 dan F15, dimana sesar-sesar tersebut berbatasan langsung dengan area yang produktif , yaitu lapangan Seribu North. Maksud adanya penelitian di daerah ini adalah untuk mengetahui properti – properti patahan disekitar Lapangan Seribu North, serta jika dilihat dari migrasi hidrokarbon dari arah selatan, tempat pusat sedimentasi berada dan apakah sesar-sesar tersebut dapat menjadi perangkap atau hanya menjadi kompartemen atau pembatas dari reservoar yang ada saja. Tahap awal pengerjaan adalah membuat bidang sesar (fault plane) dari segmen-segmen sesar yang ada. Biasanya horizon pada seismik dipetakan sebagai polygon pada patahan yang mana harus di pick pada sumur – sumur sebelum atribut dari kurva yang ingin dipetakan dimodelkan. Selanjutnya membuat fault polygon (gambar 4.19), dimana sesar tersebut telah dimasukkan data seismic slice, agar dapat membandingkan antara horizon yang ada pada footwall maupun hangingwall . Lalu membuat suatu framework pada sesar-sesar yang ada untuk melihat bentuk sebaran sesar-sesar yang ada di daerah penelitian (gambar 4.20). Hasil akhir dari pembuatan fault polygon berupa proyeksi jurus dari bidang patahan atau dikenal sebagai Peta bidang patahan atau Allan Map. Allan Map memperlihatkan displacement horizon akibat sesar yang ada. Garis tegas mewakili horizon foot-wall dan garis putus-putus mewakili horizon hanging-wall (gambar 4.21 dan gambar 4.22).
60
Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai kandungan serpih rata–rata pada tiap sumur untuk masing-masing lapisan batuan, baik reservoar maupun non – reservoar.
Nilai dari kandungan serpih tersebut di interpolasi ke bidang sesar
sehingga didapatkan atribut kandungan serpih sepanjang permukaan footwall dan hangingwall sesar (Yielding, 1999). Atribut kandungan serpih bersama-sama besar throw di gunakan untuk menghitung nilai SGR. Perhitungan V-shale dilakukan berdasarkan persamaan sebagai berikut :
dimana, Vsh adalah volume serpih, GR adalah nilai gamma ray yang direkam pada alat logging GR sumur disetiap titik kedalaman, GRmin adalah nilai gamma ray minimum dan GRmax adalah nilai gamma ray maksimum.
Gambar 4.23 kurva Vshale (berwarna ungu) pada beberapa sumur
64
Gambar 4.23 merupakan kurva Vclay, dimana terkadang suatu proses patahan menghasilkan yang dinamakan membrane seal dimana akan membuat suatu patahan tersebut bersifat sebagai perangkap. Untuk melihatnya menggunakan kurva Vshale atatu Vclay untuk melihat seberapa besar kandungan serpih atau lempung yang ada, untuk memprediksi properti komposisi batuan pada suatu zona patahan.
0.4073
0.1485 0.4207 0.5505
0.1469
0.5483
Gambar 4.24 kurva Vshale (berwarna ungu) beserta hasil Vshale rata-rata dari tiap marker
65
Gambar 4.24 memperlihatkan dasar penentuan marker dan hasil perhitungan vsh tiap kedalaman dan rata-rata tiap lapisan berdasarkan data log. Garis-garis horizontal mewakili batas-batas lapisan, harga vsh rata-rata ditunjukkan oleh angka.
4.2.1 Peta Penyebaran Throw Langkah selanjutnya adalah pembuatan model fault surface attribute dimana untuk menggabungkan tampilan semua atribut – atribut untuk fault surface, yaitu menentukan throw patahan. Throw patahan dihitung dari perbedaan kedalaman horizon foot-wall dan hanging-wall di sepanjang bidang sesar. Perbedaan kedalaman tersebut didapatkan dari perpotongan antara bidang sesar dengan horizon pada footwall dan hanging-wall.
66
Throw dari sesar dihitung dari dari perbedaan kedalaman horizon footwall dan hangingwall di sepanjang bidang sesar (Yielding, 1999). Perbedaan kedalaman tersebut didapatkan dari perpotongan antara bidang sesar dengan horizon pada footwall dan hangingwall. Peta throw menunjukkan dengan jelas distribusi besar pergerakan vertikal dari horizon-horizon yang terdapat di daerah penelitian yang terpotong oleh bidang sesar. Dari empat buat sesar yang dianalisis, hasil analisis peta trow menunjukkan bahwa pada sesar F1, terlihat distribusi trow yang membesar (berwarna merah) terdapat pada marker batuan dasar (polygon berwarna oranye) dan Banuwati Bawah (L_Bnwt, polygon berwarna hijau muda), dimana diperkirakan nilai trow sekitar 100 kaki lebih (gambar 4.25) Pada sesar F4 (gambar 4.26), distribusi trow lebih terlihat fariatif pada markermarker diatas batuan dasar. Terlihat bahwa trow pada marker Banuwati Tengah dan reservoar 1 (berwarna hitam dan biru) membesar pada bagian barat laut dan bagian tengah dari sesar. Sama halnya dengan sesar F1, trow paling besar terdapat pada marker batuan dasar (polygon berwarna oranye). Pada sesar F6 dan F15, (gambar 4.27 dan 4.28) sama halnya dengan sesar F1 dan F4, memiliki trow terbesar pada marker batuan dasar (polygon berwarna oranye), tetapi mengecil ke arah baratlaut. Dari semua gambaran peta throw diatas (gambar 4.25 – 4.28), terlihat bahwa yang berwarna merah merupakan throw dengan displacement yang paling besar. Terlihat marker batuan dasar (polygon berwarna oranye) memiliki throw yang paling besar pada semua sesar-sesar yang ada.
4.2.2 Peta Penyebaran Vshale Selanjutnya pembuatan model fault surface attribute yang lain, yaitu Vshale.
Interpolasi Vshale pada permukaan sesar berbeda-beda pada tiap sesar-sesar yang ada. Hal ini dikarenakan kandungan Vshale dari tiap sumur-sumur terdekat dari sesar-sesar yang ada selalu berbeda-beda. Dibawah ini merupakan salah satu contoh peta penyebaran Vshale pada foot-wall dan hanging-wall pada sesarF1.
71
Foot-wall
hanging-wall
Gambar 4.29 Vshale di FootWall dan HangingWall pada patahan F1
Terlihat pada gambar 4.29, Vshale rata-rata pada marker Banuwati TengahBawah (LM_Bnwt, polygon berwarna ungu) memiliki rata-rata Vshale yang paling kecil dari lainnya, karenanya terbukti bahwa Banuwati Tengah-Bawah dapat bertindak sebagai reservoar .
4.2.3 Peta sebaran Litologi Juxtaposition Berdasarkan Kualitas Reservoar Sama halnya dengan membuat Vshale pada sesar, untuk membuat stratigrafi pada sesar adalah dengan membuat suatu framework pada patahan dengan menggunakan fault polygon. Biasanya disebut dengan peta litologi juxtaposition (Yielding 1997). Peta Allan secara memperlihatkan bagian dari sesar dimana reservoar berpotensi saling berkomunikasi. Sifat menyekat dapat terjadi karena terjadinya juxtaposition litologi reservoar dan litologi non-reservoar.
Hasil yang
didapat adalah :
72
Juxtaposition atau fault plane diagrams (Allan Diagrams) hanya menunjukkan pola dari litologi pada setiap sisi, didalam sebuah sesar. Biasanya batupasir dengan batupasir bertemu selalu di asumsikan bocor, yang ditunjukkan oleh warna merah. Peta litologi juxtaposition untuk sesar-sesar diatas, memperlihatkan bagian dari sesarsesar yang menyebabkan litologi batupasir berhadapan dengan litologi batupasir (berwarna merah), litologi batupasir lempungan berhadapan dengan litologi batupasir lempungan (berwarna kuning tua) dan litologi serpih berhadapan dengan litologi serpih (berwarna hitam). Pada sesar F1 (gambar 4.30), terlihat juxtaposition antara litologi serpih dengan serpih pada bagian atas (berwarna hitam), yaitu horizon Banuwati Atas, dimana merupakan litologi non-reservoar. Pada bagian tengah sesar terlihat kontak horizon yang berwarna kuning tua mendominasi horizon-horizon pada kedalaman tersebut, yaitu horizon Banuwati Tengah dengan horizon Reservoar 1 (polygon biru) dan Reservoar 2 (polygon putih). Hal itu menandakan bahwa kontak reservoar pada kedalaman tersebut mempunyai kualitas yang buruk dikarenakan litologinya berupa batupasir serpihan. Sedangkan bagian bawah pada sesar, terlihat kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah – Bawah yang merupakan reservoar utama dengan horizon Banuwati Bawah yang memiliki litologi batupasir (berwarna merah). Pada kontak ini nantinya akan dilakukan analisis dari nilai SGR sehingga dapat diketahui potensi sekatnya. Sama halnya seperti sesar F1, sesar F4 (gambar 4.31) terlihat juxtaposition antara litologi serpih dengan serpih pada bagian atas, yaitu horizon Banuwati Atas, tetapi penyebarannya tidak sebesar sesar F1. Pada bagian tengah sesar terlihat kontak horizon yang berwarna kuning tua mendominasi horizon-horizon pada kedalaman tersebut, yaitu horizon Banuwati Tengah dengan horizon Reservoar 1 (polygon biru) dan Reservoar 2 (polygon putih), tetapi penyebarannya tidak sebesar sesar F1. Bagian bawah pada sesar, terlihat kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah – Bawah yang merupakan reservoar utama dengan horizon Banuwati Bawah yang memiliki litologi batupasir (berwarna merah). Pada kontak ini nantinya akan dilakukan analisis dari nilai SGR sehingga dapat diketahui potensi sekatnya. Pada sesar F6 (gambar 4.32) dan sesar F15 (gambar 4.33) terlihat juxtaposition antara litologi serpih dengan serpih pada bagian atas, yaitu horizon Banuwati Atas, dengan besar penyebaran yang hampir sama antara kedua sesar. Pada
77
bagian tengah sesar terlihat kontak horizon yang berwarna kuning tua mendominasi horizon-horizon pada kedalaman tersebut, yaitu horizon Banuwati Tengah dengan horizon Reservoar 1 (polygon biru) dan Reservoar 2 (polygon putih). Bagian bawah pada sesar, terlihat kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah – Bawah yang merupakan reservoar utama dengan horizon Banuwati Bawah yang memiliki litologi batupasir (berwarna merah). Pada kontak ini nantinya akan dilakukan analisis dari nilai SGR sehingga dapat diketahui potensi sekatnya.
4.2.4 Analisa Shale Gouge Ratio (SGR) Dari hasil gambaran Vshale pada sesar, seperti pada gambar 4.29, kita dapat menghitung SGR (Shale Gouge Ratio). Gouge ratio adalah perkiraan perbandingan masuknya material halus yang bersifat impermeabel (sebagai contoh : lempung) dari batuan samping ke dalam bidang patahan terhadap kandungan lempung dari batuan samping tersebut. Nilai SGR ini dihitung berdasarkan nilai kandungan serpih yang terdapat pada interval tertentu, dengan pergerakan vertikal tertentu pula.
(Yielding et al., 1997) Yang dimaksud dengan Vcl adalah kandungan serpih yang terdapat dalam zona patahan, ¨Z adalah ketebalan dari lapisan yang dilalui oleh sesar tersebut, baik itu lapisan reservoir maupun lapisan non-reservoir, dan Throw adalah pergerakan vertikal dari sesar tersebut. Berdasarkan rumus di atas maka nilai SGR ini berkisar antara 0 – 100 %, dimana semakin kecil nilai SGR maka sifat dari sesar itu adalah sebagai jalur migrasi dari fluida, sedangkan semakin tinggi nilai SGR maka sifat dari sesar tersebut adalah sebagai penahan dari laju fluida. SGR tinggi biasanya menunjukkan lebih banyak lempung dan phylloclastics pada zona patahan. Asumsi utama adalah material pasir dan shale dimasukkan ke dalam fault gouge dalam proporsi (ratio) yang sama seperti yang terjadi pada dinding batuan dalam slipped interval. Setelah di proses lebih lanjut dalam sofware Trap Tester, hasil yang di dapat pada gambar di bawah ini, dimana terdapat juga tabel pesentasi SGR. Warna hijau menunjukkan SGR yang sangat rendah dan sangat berpotensi untuk bocor. Hasil analisis adalah sebagai berikut:
78
Salah satu tujuan utama dari analisis sekatan sesar adalah penentuan nilai SGR pada daerah penelitian. Hasil dari perhitungan SGR dapat divalidasikan dengan membandingkan hasil perhitungan dengan data-data lain seperti data Original Water Contact, RFT, atau data sejarah produksi. Semakin banyak data penunjang yang tersedia, maka akan semakin valid hasil analisis sesar tersebut. Karena tidak adanya data tambahan untuk kalibrasi dan validasi data SGR lebih lanjut, maka hasil analisis mengacu pada hasil studi Yielding et al. (1997), Sehingga jika dilihat kembali pada Allan Map, maka daerah yang kemungkinan bersifat bocor adalah daerah yang berwarna hijau, sedangkan daerah yang bersifat sebagai penyekat adalah daerah yang berwarna kuning tua hingga merah.
Untuk analisis sesar-sesar yang ada digunakan perbandingan probabilitas dari batas leaking pada SGR dengan nilai 10% hingga 30%.
Untuk Batas probabilitas SGR sebesar 10%, terlihat horizon reservoar Banuwati TengahBawah, pada sesar F1 (gambar 4.34), terlihat terdapatnya kebocoran yang cukup menyeluruh (berwarna hijau), yaitu sekitar 75% dari lebar posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt). Dapat disimpulkan bahwa shale gouge yang terdapat pada posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt) memiliki besar komposisi yang berbeda-beda ditiap titik pada bidang sesar tersebut. Sedangkan pada horizon reservoar 1 dan reservoar 2 terlihat tersekat cukup baik. Pada sesar F4 (gambar 4.35), terlihat pada bagian tenggara dari sesar , terdapat kebocoran pada reservoar Banuwati Tengah - Bawah, dan sedikit pada bagian tengah sesar terdapat reservoar Banuwati Tengah-Bawah tidak tersekat dengan baik. Sedangkan pada bagian baratlaut tersekat cukup baik. Reservoar horizon revervoar 1 (Res_1) dan reservoar 2 (Res_2) tersekat dengan baik pada seluruh bidang sesar. Pada sesar F6 (gambar 4.36), terlihat bahwa reservoar Banuwati Tengah - Bawah, reservoar 1 dan reservoar 2, pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik. Sama halnya dengan sesar F15 (gambar 4.37), terlihat bahwa reservoar Banuwati Tengah - Bawah, reservoar 1 dan reservoar 2, pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik.
Untuk batas probabilitas SGR sebesar 20%,
pada sesar F1 (gambar 4.38), terlihat
terdapatnya kebocoran yang semakin meluas (berwarna hijau), yaitu sekitar 90% dari dari lebar
91
posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt). Hal ini dapat disimpulkan bahwa besar nilai Vshale pada titik tersebut sudah terlampaui oleh batas SGR 20%, dimana menunjukkan sedikitnya lempung dan phylloclastics pada zona patahan sehingga membran seal yang terbentuk pada zona patahan tidak mampu menyekat reservoar dengan baik. Sedangkan reservoar pada horizon reservoar 1 dan reservoar 2 masih tersekat cukup baik. Pada sesar F4 (gambar 4.39), terlihat kebocoran semakin meluas pada reservoar Banuwati Bawah-Tengah, reservoar 1 dan reservoar 2 pada bagian tenggara dari sesar. Pada bagian tengah sesar kebocoran semakin meluas pada reservoar Banuwati Tengah-Bawah.Sedangkan pada bagian baratlaut mulai terlihat adanya kebocoran pada reservoar Banuwati Tengah-Bawah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa besar nilai Vshale pada titik tersebut sudah terlampaui oleh batas SGR 20%. Pada sesar F6 (gambar 4.40), terlihat bahwa reservoar Banuwati Bawah-Tengah, reservoar 1 dan reservoar 2, pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik. Sama halnya dengan sesar F15 (gambar 4.41), terlihat bahwa reservoar Banuwati Bawah-Tengah, reservoar 1 dan reservoar 2, pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik. Hal ini diinterpretasikan bahwa nilai Vshale pada reservoar Banuwati Tengah-Bawah, reservoar 1, resevoar 2 masih lebih besar dari batas probabilitas SGR 20%, dimana menunjukkan lebih banyak lempung dan phylloclastics pada zona patahan, sehingga masih mampu menyekat reservoar-reservoar yang ada.
Untuk batas probabilitas SGR sebesar 30%, pada sesar F1 (gambar 4.42), terlihat terdapatnya kebocoran yang semakin meluas (berwarna hijau) yaitu sekitar 98% dari dari lebar posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt). Hasil posisi kesehadapan antara horizon reservoar 1 (Res_1) dengan horizon reservoar 2 (Res_2) mengalamai kebocoran pada bagian tengah bidang sesar. Pada sesar F4 (gambar 4.43) kebocoran semakin meluas pada reservoar Banuwati BawahTengah, reservoar 1 dan reservoar 2 pada bagian tenggara hingga tengah dari bidang sesar dan mulai meluas dibagian baratlaut. Pada sesar F6 (gambar 4.44), kebocoran mulai terjadi pada posisi kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah (M_Bnwt), reservoar 1 (Res_1) dan reservoar 2 (Res_2), sedangkan pada resevoar horizon Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) masih tetap tersekat dengan baik. Sama halnya dengan sesar F15 (gambar 4.45), pada posisi kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah (M_Bnwt), reservoar 1 (Res_1) dan reservoar 2 (Res_2) terlihat adanya kebocoran, dan pada resevoar horizon Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) masih tetap tersekat dengan baik.
92
Mengacu pada hasil studi Yielding et al. (1997), pada batuan silisiklastik di beberapa lapangan dunia menghasilkan batas SGR 10-20% untuk kapasitas menyekat sesar. Dari acuan tersebut maka hanya sesar F6 dan F15 berpotensi untuk menjadi perangkap (seal) untuk reservoar Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt). Hal ini diinterpretasikan bahwa nilai Vshale dari sumur terdekat yang diinterpolasikan pada bidang sesar F6 dan F15 pada reservoar Banuwati TengahBawah, masih lebih besar dari batas probabilitas SGR 10% hingga 30%, dimana menunjukkan lebih banyak lempung dan phylloclastics pada zona patahan, sehingga masih mampu menyekat reservoarreservoar yang ada.
93