4 PROFIL PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
4.1 Pendidikan Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan Pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan merupakan program pendidikan yang secara khusus memberikan pengenalan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bidang kelautan dan perikanan kepada para siswa yang dididiknya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990, pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Penyelenggaraan
pendidikan
kejuruan
kelautan
dan
perikanan
merupakan upaya mengoptimalkan pemberdayaan potensi perikanan laut yang selama ini hanya diserahkan oleh para nelayan yang sebagian besar kurang berpendidikan yakni hanya tamatan SD atau kurang, sehingga masih ketinggalan dalam penguasaan iptek bidang kelautan. Upaya tersebut diatas dimaksudkan untuk mendorong proses pembudayaan dan penguasaan iptek serta penyiapan tenaga kerja agar dapat berperan dalam memanfaatkan sumber potensi kelautan Indonesia. Karena potensi kelautan tersebut merupakan salah satu kekuatan yang harus dimanfaatkan, meskipun dengan berbagai isu mengikuti dan menjadi pertimbangan manajemen seperti illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing), dan di sisi lain peluang ini harus sinerji dengan kebijakan optimasi sumber daya. Terdapat beberapa program studi yang dikembangkan pada sekolah pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan, khusus bagi lulusan pendidikan tersebut yang dipersiapkan sebagai tenaga kerja kepelautan adalah program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan Teknika Perikanan Laut (TPL). Tenaga kerja yang dimaksud adalah lulusan yang siap menjadi tenaga kerja yang berorientasi kerja pada kapal penangkap ikan sesuai untuk
mengisi
kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan oleh armada-armada penangkapan ikan yang berskala industri. Penyediaan tenaga kerja perikanan melalui pendidikan formal pada sekolah menengah kejuruan tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah baik melalui
Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Kelautan dan Perikanan, namun melibatkan peran serta pemerintah daerah maupun lembaga masyarakat (yayasan/swasta). Kebutuhan terhadap SDM kelautan dan perikanan di era otonomi daerah semakin tinggi mengingat banyaknya daerah yang merasa memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan tetapi belum didukung oleh tersedianya SDM yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal. Sehubungan dengan hal tersebut maka aspirasi masyarakat untuk mendirikan sekolah baru maupun dalam rangka pembinaan terhadap sekolah yang sudah ada memerlukan kebijakan dalam bentuk ketentuan yang berperan sebagai
pengendali
sedemikian
rupa
agar
penyelenggaraan
sekolah
menghasilkan lulusan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Strategi terhadap ketentuan pengembangan pendidikan menengah perikanan hendaknya merupakan hasil sinergitas dari lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan sektor teknis dan sektor pendidikan. 4.2 Jumlah dan Penyebaran Sekolah Pendidikan Menengah Kejuruan Kelautan dan Perikanan Penyelenggaraan pendidikan menengah kejuruan bidang kelautan dan perikanan yang khusus menghasilkan tenaga kerja bidang penangkapan ikan pada saat ini dikelola dan dibawah pembinaan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional (Dikmenjur Dikdasmen) sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nasional, juga dikembangkan dan dikelola oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang merupakan lembaga yang bertanggung jawab pada bidang kelautan dan perikanan. Selain lembaga pemerintah pengembangan pendidikan sekolah menengah kejuruan ini juga didukung oleh pemerintah daerah maupun yayasan ataupun swasta. Tercatat sekitar 161 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bidang kelautan dan perikanan yang dibina oleh
Dikmenjur Dikdasmen dan 8 Sekolah Usaha Perikanan
Menengah (SUPM) dibina DKP, dan lebih dari 90 sekolah diantara seluruhnya mengembangkan program studi penangkapan ikan dan mesin perikanan yang berorientasi untuk bekerja pada industri penangkapan ikan. 28
Pengembangan SMK bidang kelautan dan perikanan yang dimulai pada tahun 2000 sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Depdiknas merupakan bidang atau program keahlian pengalihan yang masih relevan dan prospektif terserap di pasar kerja karena kelompok program bisnis dan manajemen diproyeksikan merupakan program yang akan mengalami kejenuhan di pasar kerja. Namun demikian, keberadaan lembaga diklat dimaksud merupakan kekuatan yang perlu dioptimalkan dalam pencapaian tenaga perikanan yang kompeten dan berpeluang untuk menggantikan tenaga kerja asing (TKA) di industri perikanan tangkap ataupun berpeluang untuk mengisi permintaan tenaga kerja perikanan menengah di luar negeri. Hal ini memungkinkan karena beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah mengakui terhadap kompetensi
yang
dihasilkan
oleh
diklat
perikanan
menengah
tersebut.
Penyebaran pendidikan menengah kejuruan bidang kelautan dan perikanan pada setiap propinsi di Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran jumlah lembaga lendidikan menengah perikanan (SMK/SUPM) yang mengembangkan program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan program studi Teknika Perikanan Laut (TPL) per propinsi tahun 2005 No.
SMK
Propinsi
SUPM
NPL
TPL
NPL
TPL
1. Sumatera
19
9
3
3
2. Jawa dan Bali
50
14
1
1
3. Kalimantan
5
1
1
1
4. Sulawesi
21
4
1
-
5. Maluku
9
3
1
1
6. NTB
4
1
-
1
7. NTT
7
1
1
1
8. Papua
4
1
1
1
Sumber : Direktorat Pendidikan dan Menengah Kejuruan Depdiknas,2005 Keterangan : NPL : Nautika Perikanan Laut TPL : Teknika Perikanan Laut
Berdasarkan lokasi dari tabel 7 di atas tergambar bahwa jumlah dan keberadaan SMK dan SUPM sebagian besar terdapat di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan telah
tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang lebih 29
memadai dibandingkan di daerah lain di Indonesia. Hal ini dapat terjadi diantaranya karena hal-hal berikut : (1) sebagian besar SMK yang berada di Jawa merupakan SMK pengalihan bidang studi (transformasi pada bidang kejuruan yang lain), sehingga memungkinkan
penyelenggaraan
pendidikan
dengan
menggunakan
prasarana yang tersedia dapat berjalan walaupun sarana pendidikan yang lebih mendukung bagi pelaksanaan praktek kelautan dan perikanan masih jauh dari lengkap. (2) Banyaknya jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di wilayah utara Jawa (3) Pulau Jawa merupakan daerah yang lebih berkembang dibandingkan dengan daerah-daerah yang berada di pulau-pulau lain di Indonesia, sehingga pengembangan pendidikan lebih cepat terjadi di pulau Jawa Gambaran penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan dan SUPM program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan Teknika Perikanan Laut (TPL) di seluruh Indonesia sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4
.
CENTER NPL
Gambar 3 Lokasi penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan serta SUPM program studi NPL di seluruh Indonesia
30
CENTER TPL
Gambar 4 Lokasi penyebaran SMK bidang kelautan dan perikanan serta SUPM program studi TPL di seluruh Indonesia
4.3 Standar Pengembangan Program Studi NPL dan NPL Menyongsong era globalisasi khususnya persiapan dalam menghadapi era perdagangan bebas maka tenaga pelaut khususnya pelaut kapal penangkap ikan harus mampu berkompetisi dengan pelaut dari negara lain. Khususnya bagi pelaut di dalam negeri diharapkan agar mampu menggantikan posisi yang sekarang masih diisi pelaut asing. Sehubungan dengan hal tersebut kebijakan pengembangan pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat memenuhi keinginan pasar tenaga kerja sangatlah memerlukan acuan yang telah diakui secara regional maupun internasional. International Maritime Organization (IMO) pada tahun 1995 telah mengeluarkan suatu konvensi yang telah disepakati oleh anggotanya, walaupun belum diratifikasi, merupakan ketentuan yang diakui telah memenuhi semua unsur yang menggambarkan kemampuan seorang personil / awak kapal yang berkualitas. Konvensi 1995 ini juga merupakan konvensi untuk mengatur standar pelatihan, ujian dan sertifikasi pelaut pada kapal penangkap ikan. Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F 1995) secara prinsip mengatur pelatihan, ujian dan sertifikasi serta jaga laut bagi awak kapal penangkap ikan. Penggolongan kapal penangkap ikan dalam konvensi ini menjadi 3 kelompok, yaitu : 31
1. Kapal penangkap ikan yang berukuran panjang kurang dari 12 m; 2. Kapal penangkap ikan yang berukuran panjang dari 12 m sampai dengan kurang dari 24 m; dan 3. Kapal penangkap ikan yang berukuran panjang dari 24 m atau lebih Untuk pelatihan awak kapal dari masing-masing kelompok tersebut di atur dengan standar minimum pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh awak kapal untuk nakhoda (skipper), perwira (officer), KKM (chief enginer), masinis II (second enginer), ABK senior (skilled fisher), awak kapal penangkap ikan (fishing vessel personnel). Sedangkan untuk sertifikasi di atur persyaratan umur, kesehatan dan penerbit sertifikat. Demikian juga untuk jaga laut, hal ini diatur kewajiban-kewajiban perwira jaga maupun awak kapal dalam melaksanakan jaga laut. Disamping belajar dari pengalaman di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang telah mengadopsi STCW 1995 yang mengatur tentang pelaut kapal niaga maka Departemen Kelautan dan Perikanan mengeluarkan ketetapan bahwa pengembangan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kepelautan perikanan mengacu pada STCW-F 1995. Kebijakan ini selanjutnya juga diikuti oleh pendidikan menengah perikanan yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan.
Hal kongkret implementasi ini adalah
acuan mata uji untuk ahli nautika dan ahli teknika kapal penangkap ikan telah disesuaikan dengan mata uji pada konvensi tersebut serta didukung oleh Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 09/2005 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi Pelaut Kapal Penangkap Ikan.
Hal ini
merupakan salah satu kekuatan sertifikasi karena mengacu pada ketentuan internasional yang telah berlaku. Dampak dari sertifikasi tersebut dan sekaligus sebagai ancaman adalah pelanggaran terhadap pengawakan dan persaingan tenaga kerja. Sehingga perlu pemahaman pemangku kepentingan dalam regulasi dan implementasi pengawakan kapal penangkap ikan.
4.3.1 Sarana dan prasarana Salah satu komponen pendidikan yang memegang peranan penting adalah penyediaan sarana dan prasarana pendidikan bagi penyelengaraan pendidikan sesuai standar yang diacu. Standar perikanan dalam yaitu STCW-F tahun 1995, menyebutkan bahwa untuk menghasil tenaga pelaut perikanan yang 32
profesional yang memiliki kemampuan dalam hal keselamatan, pengendalian sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab, dan lingkungan perairan maka standar sarana prasarana yang dimiliki meliputi dan terkait dengan Basic Safety Training (BST), Restricted Radio Operator for Global Maritime Distress Safety System (ROC for GMDSS), Fishing and
Navigation Simulator (FNS), Kapal
Latih, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Berkaitan sarana dan prasarana pada pendidikan menengah kejuruan maka untuk dapat menghasilkan nasional maupun internasional,
lulusan yang berkualitas
sesuai standar
diperlukan sarana dan prasarana yang
mengacu kepada ketentuan-ketentuan berdasarkan standar kompetensi serta standar sarana dan prasarana yang dipersyaratkan agar lulusan yang dihasilkan memenuhi standar kompetensi diakui secara nasional dan internasional. Sarana dan prasarana pada lembaga pendidikan kejuruan menengah perikanan yang ada pada saat ini, berdasarkan survei yang telah dilakukan pada beberapa SMK dan SUPM menunjukkan rata-rata masih jauh dari memadai yang berarti merupakan salah satu kelemahan diklat.
4.3.2 Kurikulum dan tenaga pengajar Pendidikan profesional yang akan diberikan kepada siswa agar nantinya siap bekerja sesuai dengan tuntutan pasar menuntut adanya suatu institusi pendidikan yang memiliki kurikulum yang mengacu pada standar STCW-F 1995. Permintaan pasar dan perkembangan teknologi serta prospek kedepan menuntut kurikulum yang berorientasi minimum 5 (lima) tahun ke depan. Untuk mendapatkan kurikulum yang berdasarkan kompetensi yang ingin dicapai dan kecenderungan perkembangan pasar global perlu disiapkan beberapa mata pelajaran yang fleksibel dalam suatu kurikulum sehingga dapat
diisi dengan
paket ilmu dan teknologi yang menjadi program departemen dan permintaan pasar global. Selain kurikulum yang sesuai kebutuhan, komponen penting lain yang berperan dalam penyelenggaraan pendidikan adalah tenaga pendidik. Walaupun kurikulum telah tersedia namun tanpa kemampuan profesionalisme dari pendidik dalam menyampaikan materi maka hasil yang diharapkan tidak akan tercapai secara memadai. Kondisi kurikulum pendidikan menengah kejuruan perikanan saat ini melalui penentu kebijakan pendidikan yaitu Departemen Pendidikan Nasional 33
bersama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai lembaga pemerintah penentu kebijakan sektor telah menyusun kurikulum yang telah menyesuaikan dengan standar yang diacu. Kurikulum berbasis kompetensi telah dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan menengah perikanan di seluruh Indonesia. Walaupun dalam implementasinya kurikulum tersebut belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena kurikulum berbasis kompetensi lebih banyak mengutamakan kelas pemahiran siswa terhadap kemampuan yang harus dimiliki yang mana hal tersebut sangatlah tergantung pada sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki. Disamping itu hambatan utama lain adalah belum banyak memadai dan tersedianya tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan ataupun kompetensi sebagaimana yang telah dijabarkan dalam STCW-F 1995. Sebagai contoh, pengajar dan penguji pada ujian keahlian pelaut dituntut untuk menempuh dan memiliki sertifikat IMO Model Course baik sebagai pengajar maupun penguji. Sehingga kebutuhan tenaga kependidikan berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap program studi serta pengembangan wawasan dan keterampilan (metodik didaktik dan teknologi) bagi tenaga kependidikan tersebut baik melalui pelatihan berjenjang dan terstruktur serta peningkatan jenjang pendidikan formal dapat berjalan sesuai dengan bidang ilmu di pengajar.
4.4 Proses Sertifikasi Potensi sumber daya ikan dan sumber daya manusia akan memberi arti apabila diikuti dengan teknologi, pasar dan profesionalisme sumber daya manusia sehingga menciptakan hubungan ekonomi. Terkait hal yang penting dengan profesionalisme pelaut perikanan adalah bagaimana pendidikan dan pelatihan dilaksanakan semasa menempuh sertifikasi. Bekerja di kapal perikanan seperti halnya di kapal niaga dituntut memiliki keberanian tinggi dalam menghadapi segala tantangan alam, ulet, displin tinggi, dan tahan hidup (otak segar, mental tegar, dan fisik bugar) dalam suatu komunitas kecil di atas kapal dalam jangka lama, sekitar dua sampai tiga bulan di tengah laut, sehingga perlu dijaga hubungan yang harmonis antar individu di atas kapal serta profesional terhadap pekerjaan yang dihadapi. Berkaitan dengan kompetensi pelaut, sekarang ini untuk para pelaut niaga dituntut untuk memenuhi persyaratan Standard Training Certification and Watchkeeping for Seafarer, sedangkan untuk pelaut kapal perikanan dituntut 34
untuk memenuhi standar kompetensi berdasarkan
Standard of Training
Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnels (STCW-F) 1995 dari International Maritime Organization (IMO). Pelaut berstandar dimaksud, yakni memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang keselamatan jiwa, harta dan menjaga lingkungan agar laut tetap bersih dan terbebas dari polusi (clean ocean)
serta
melakukan
penangkapan
ikan
yang
bertanggung
jawab
(responsible fishing). Untuk dapat beroperasi membawa kapal di laut maka nakhoda, perwira dan rating di kapal perlu dilengkapi dengan sertifikat yang sesuai dengan jabatannya di kapal yang diperoleh melalui suatu pengujian oleh pihak yang berwenang. Untuk pengakuan yang diberikan kepada lulusan pendidikan tingkat menengah untuk dapat bekerja pada industri penangkapan ikan diberikan dalam bentuk sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan (ANKAPIN II) dan Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan (ATKAPIN II) apabila mereka dinyatakan lulusan dalam mengikuti ujian sertifikat yang diikuti. Sertifikat tersebut sekaligus merupakan bentuk pengukuhan terhadap pemegang sertifikat sebagai personil yang memiliki kemampuan sebagai ahli nautika kapal penangkap ikan dan ahli teknika kapal penangkap ikan. Ketentuan yang mengharuskan lulusan pendidikan menengah perikanan yang bekerja pada kapal penangkap ikan untuk memiliki sertifikasi kepelautan telah ditetapkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000 tentang kepelautan sebagai standar persyaratan kompetensi bagi tenaga kerja berpendidikan kepelautan yang siap bekerja.
Kelemahan terhadap peraturan
tersebut dan perlu diperbaiki adalah mengenai tumpangtindih kebijakan, perhatian dan kompensasi terhadap tenaga yang bersertifikat serta secara umum adalah rendahnya implementasi peraturan.
Jika hal ini terus berlanjut
dikawatirkan tidak ada perbedaan signifikan antara tenaga menengah perikanan bersertifikat dan tidak bersertifikat serta sekaligus ancaman jika ketentuan internasional diberlakukan. Saat ini penyelenggaraan ujian sertifikasi ANKAPIN dan ATKAPIN diselenggarakan oleh Dewan Penguji Keahlian Pelaut Bidang Pelaut Perikanan melalui empat wilayah yakni Pelaksana Ujian Keahlian Pelaut Kapal Penangkap Ikan (PUKP-KAPIN) wilayah I di Belawan, PUKP-KAPIN wilayah II di Jakarta, PUKP-KAPIN wilayah III di Tegal dan PUKP-KAPIN wilayah IV di Bitung. 35
Pembentukan PUKP-KAPIN tersebut berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut nomor PH 34/1/16/DJPL-06. Beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan perikanan di Indonesia yang sudah, sedang dan akan dilengkapi dengan fasilitas pendidikan dan pelatihan sesuai standar konvensi STCW-F 1995 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Lembaga pendidikan dan pelatihan perikanan tangkap di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan profesi bersertifikat nasional dan internasional
Nama UPT Sekolah Tinggi Perikanan Akademi Perikanan Bitung Akademi Perikanan Sorong Sub Jumlah SUPM Ladong SUPM Pariaman SUPM Tegal SUPM Pontianak SUPM Ambon SUPM Sorong SMKN 1 Cirebon SMKN Muh Tuban SMKK Tuban SUPM Yamipura Sub Jumlah Balai Diklat Perikanan Medan Balai Diklat Perikanan Tegal BalaiDiklat Perikanan Banyuwangi Balai Diklat Perikanan Aertembaga Balai Diklat Perikanan Ambon Sub Jumlah Jumlah
Rata-rata lulusan 50 50 40 40 40 40 260 40 40 40 40 50 40 30 30 40 40 50 40 100 60 60 80 780 40 40 40 40 30 30 40 40 40 40 380 1420
Program Studi TPI MPI TPI MPI TPI MPI
36
Tingkat sertifikat ANKAPIN-I ATKAPIN-I ANKAPIN-I ATKAPIN-I ANKAPIN-I ATKAPIN-I
DKP DKP DKP DKP DKP DKP
TPI MPI TPI MPI TPI MPI TPI MPI TPI MPI TPI MPI TPI TPI TPI TPI
ANKAPIN-II ATKAPIN-I ANKAPIN-II ATKAPIN-II ANKAPIN-II ATKAPIN-II ANKAPIN-II ATKAPIN-II ANKAPIN-II ATKAPIN-II ANKAPIN-II ATKAPIN-II ANKAPIN-II ANKAPIN-II ANKAPIN-II ANKAPIN-II
DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP Depdiknas Yayasan Yayasan Yayasan
TPI MPI TPI MPI TPI MPI TPI MPI TPI MPI
ANKAPIN-III ATKAPIN-III ANKAPIN-III ATKAPIN-III ANKAPIN-III ATKAPIN-III ANKAPIN-III ATKAPIN-III ANKAPIN-III ATKAPIN-III
DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP DKP
Keterangan